Sabtu, 04 November 2017

Ihwal Pembiayaan Pendidikan di Amerika

Ruangan untuk makan siang di St Alban's School

Saat terbang dari Jakarta ke Surabaya dalam rute perjalanan terakhir dari Amerika di awal Oktober lalu, di pesawat saya sempat membaca sebuah esai di Harian Kompas yang mengangkat profil tokoh yang berjuang di bidang pendidikan. Esai di halaman 16 itu secara singkat memaparkan sosok bernama Irma Suryani, seorang perempuan yang memperjuangkan akses pendidikan bagi anak-anak yang tidak mampu di Kalimantan Selatan.

Kisah singkat Irma Suryani bagi saya merupakan gambaran tentang satu sisi persoalan pendidikan di Indonesia. Isu keterbatasan dana dalam akses pendidikan yang bermutu masih menjadi masalah yang cukup mengemuka di negeri ini. Kewajiban pemerintah untuk memberikan pelayanan pendidikan dasar yang baik untuk semua warga masih belum sepenuhnya terpenuhi. Di sekolah-sekolah negeri, kita masih bisa menjumpai beban pembiayaan yang harus dibayar oleh orangtua murid.

Selama kunjungan tiga pekan di Amerika dalam rangka program International Visitor Leadership Program (IVLP) bertema Pendidikan Berbasis Agama, ada beberapa hal yang cukup menarik perhatian saya terkait pembiayaan pendidikan di Amerika. Dari berbagai diskusi bersama para ahli dan kunjungan ke sekolah negeri dan swasta, juga ke instansi terkait seperti Department of Education di Washington DC dan lembaga terkait lainnya, saya mencatat beberapa hal menarik.

Pertama, tentang pemenuhan kewajiban negara atau pemerintah. Di Amerika, sekitar 90 persen peserta didik hingga jenjang menengah atas mengikuti pendidikan yang diselenggarakan pemerintah. Di sekolah negeri, mereka mendapatkan layanan yang penuh sehingga bebas dari pembiayaan. Ada fasilitas bus jemput-antar—bus kuning yang sering kita jumpai di film-film Amerika. Kebutuhan buku juga dipenuhi.

Yang menarik, kebijakan nasional terkait pengelolaan pendidikan yang dibuat oleh pemerintah federal Amerika lebih bersifat umum. Menurut Maureen F. Dowling, Ed.D., Direktur Kantor Pendidikan Swasta Departemen Pendidikan Pemerintah Amerika Serikat, Kementerian Pendidikan pemerintah federal Amerika memiliki empat wilayah kewenangan dan tugas pokok. Pertama, wewenang dalam hal distribusi dana, termasuk juga pengawasannya. Kedua, mengumpulkan data-data di bidang pendidikan yang dapat dijadikan dasar bagi perumusan kebijakan. Ketiga, menggarisbawahi isu-isu penting di bidang pendidikan untuk diprioritaskan dan ditekankan. Keempat, memastikan bahwa tidak ada diskriminasi dalam praktik dan layanan pendidikan.

Sementara itu, pemerintah negara bagian memiliki kewenangan yang cukup leluasa untuk mengarahkan kurikulum, misalnya. Itu pun dengan ruang yang cukup luwes sehingga kita dapat dengan mudah menemukan sekolah negeri yang mengakomodasi kebutuhan khas siswa-siswanya. Fordson High School di Detroit, Michigan, misalnya, mengakomodasi kebutuhan siswa-siswanya yang sekitar 95 persen keturunan Arab. Di sekolah ini, misalnya, diajarkan pelajaran Bahasa Arab sehingga tak heran guru-gurunya juga sedikit mengerti Bahasa Arab meski bukan keturunan Arab. Untuk momen-momen yang terkait dengan peribadatan umat Islam seperti bulan Ramadan atau perayaan Islam, Fordson dengan cukup luwes memberi keringanan untuk kegiatan olahraga di bulan Ramadan, waktu libur, dan semacamnya.

Jadi, poinnya, dari jumlah keikutsertaan masyarakat yang tinggi pada sekolah negeri di Amerika, kita mungkin dapat mengatakan bahwa pemerintah Amerika tampaknya memberikan layanan pendidikan dasar yang cukup baik sehingga dapat mengurangi beban masyarakat dalam pembiayaan pendidikan. Memang, biaya pendidikan selain di sekolah negeri di Amerika terbilang mahal.

St. Alban’s School di Washington DC, misalnya, yang secara kelembagaan merupakan anggota the Protestant Episcopal Cathedral Foundation, menetapkan beban biaya yang cukup mahal untuk ukuran kantong orang Indonesia secara umum. Sekolah yang mengelola pendidikan khusus untuk siswa tingkat 4-12 dan juga memiliki fasilitas asrama siswa ini kurang lebih memungut biaya pendidikan setidaknya sekitar 40 juta per bulan.

Namun, fasilitas dan layanan pendidikan di sekolah ini memang terbilang bagus. Saat kami berkunjung, kami melihat ruang-ruang kecil yang ternyata merupakan ruang kerja guru. Salah satu kelas yang kami amati memuat siswa sebanyak 8 orang. Saat ke bengkel seni, kami melihat 5 orang siswa sedang praktik didampingi seorang guru. Di ruangan teater, kami melihat satu orang siswa tengah berdiskusi dengan guru seni.

Sekolah swasta lainnya, seperti Al Fatih Academy, di Reston, Virginia, memungut biaya yang relatif lebih murah dibandingkan dengan biaya pendidikan di St. Alban’s School. Di Al Fatih Academy, misalnya, untuk tingkat 1-8 (masuk Senin sampai Jum’at, tiap hari Senin hingga Kamis masuk dari pukul 08.30 hingga pukul 15.30, dan untuk hari Jum’at masuk dari pukul 08.30 hingga pukul 13.30), biaya tahunannya per siswa 8.512 dolar Amerika (Rp 114.912.000,- jika menggunakan kurs satu dolar setara Rp 13.500,-). Untuk jenjang taman kanak-kanak (kindergarten), biaya tahunannya per siswa 9.924 dolar Amerika (Rp 133.974.000,- jika menggunakan kurs satu dolar setara Rp 13.500,-).

Secara statistik, sekolah swasta di Amerika yang dalam ukuran kantong rata-rata orang Indonesia mungkin cukup mahal itu memang hanya sekitar 10 persen. Tapi orangtua di Amerika punya alasan tersendiri untuk memilih menyekolahkan anak mereka di sekolah swasta meski biayanya mahal.

Namun demikian, meski mahal, orangtua yang menyekolahkan anaknya di sekolah swasta bisa mendapatkan bantuan keuangan dari lembaga swasta, bahkan juga dari pemerintah.

Di Al Fatih Academy, misalnya, orangtua siswa bisa mengajukan bantuan keuangan melalui prosedur yang informasinya bisa diperoleh di laman sekolah tersebut. Bantuan keuangan diberikan setelah melalui proses penilaian kelayakan terhadap keluarga yang mengajukan bantuan. Penilaian dilakukan oleh pihak ketiga, yakni oleh FACTS Management, sebuah perusahaan yang khusus membidangi bantuan di bidang pendidikan yang berkantor di Lincoln, Nebraska, dan telah menjalin kerja sama dengan lebih dari 13 ribu sekolah.

Faktor yang dipertimbangkan meliputi pemasukan dan aset keluarga, jumlah anggota keluarga, usia orangtua, jumlah anak dalam keluarga yang membutuhkan pembiayaan dalam pendidikan, kota atau negara bagian tempat tinggal keluarga, dan jumlah anggota keluarga yang bekerja.

Sumber dana bantuan diambil dari zakat yang diterima dan dikelola oleh Al Fatih Academy. Tentu saja pengelolaannya berdasarkan prinsip-prinsip pengelolaan zakat dalam Islam yang melibatkan para ahli hukum Islam.

Yang juga menarik, data-data terkait pengajuan bantuan keuangan ini dijaga kerahasiaannya. Siapa yang mengajukan dan seperti apa hasil penilaian dari FACTS Management hanya diketahui oleh bagian terkait di sekolah, dan dijamin kerahasiaannya.

Ada lagi hal menarik lainnya yang saya dapatkan tentang pembiayaan pendidikan di Amerika. Kita tahu, fasilitas dan layanan pendidikan di sekolah negeri diberikan oleh pemerintah dari sumber pajak warga. Nah, masyarakat yang memilih untuk menyekolahkan anaknya di sekolah swasta berarti tidak ikut menikmati pemanfaatan pajak yang dibayarkannya kepada pemerintah. Atas situasi ini, beberapa negara bagian membuat kebijakan khusus, yakni dengan memberikan voucher untuk membantu pembiayaan pendidikan di sekolah swasta khusus bagi orangtua yang menyekolahkan anaknya di sekolah swasta. Besar dana dalam voucher yang diberikan tidaklah sama, disesuaikan dengan pembayaran pajak yang dilakukan.

Sistem voucher untuk pendidikan ini cukup menjadi isu yang kontroversial, karena pada tingkat tertentu seperti turut mendelegitimasi mutu layanan pendidikan sekolah negeri. Namun, di sisi lain, voucher pendidikan ini dinilai positif karena dapat mengakomodasi pilihan orangtua tanpa mengesampingkan kewajiban negara untuk membantu dalam hal pembiayaan pendidikan warganya.

Kunjungan singkat yang saya ikuti selama mengikuti program IVLP di sepanjang bulan September 2017 lalu tentu tidak bisa memotret secara lengkap dinamika dunia pendidikan di Amerika. Salah satu hal yang masih belum tergambar, misalnya, adalah tentang kebijakan ekonomi liberal yang bisa diberi label kapitalistik dan imbasnya di dunia pendidikan. Saya belum bisa memberikan gambaran spesifik, misalnya, tentang bagaimana kepentingan industri di Amerika mempengaruhi dan mengarahkan kebijakan-kebijakan pendidikan, termasuk juga nuansa politisnya.

Yang dapat dikemukakan melalui tulisan singkat ini baru sebatas beberapa hal terkait pembiayaan pendidikan di Amerika yang dari situ menggambarkan upaya dan pelaksanaan kewajiban negara untuk memberikan layanan pendidikan, usaha-usaha masyarakat sipil untuk ikut menyelenggarakan pendidikan yang khas, dan juga siasat untuk mengatasi masalah pembiayaan yang dihadapi oleh sebagian masyarakat.

Meski demikian, dari beberapa informasi yang masih secuil ini, kita tentu dapat mengambil pelajaran khususnya untuk memperkuat masalah aspek pembiayaan dalam pendidikan untuk mencapai kualitas pendidikan yang baik.

0 komentar: