Rabu, 15 Juli 2009

Inspirasi dari Kaliandra dan Malang

Begitu mobil yang saya tumpangi tiba di PPPTK VEDC Malang, malam itu saya kembali ke keramaian kota. Lampu-lampu bertebaran dari bangunan-bangunan dan kendaraan yang lalu lalang, dan suara binatang-binatang malam tertimbun deru mesin kendaraan. Saat saya melangkah ke kamar tempat menginap di komplek VEDC, suasana menjadi sedikit agak senyap. Komplek VEDC sangatlah luas, berisi bangunan-bangunan tempat praktik pendidikan yang bermacam-macam dalam bidang otomotif dan elektronika. Kamar tempat saya menginap terletak di sudut komplek di bagian belakang, sehingga dari halaman depan komplek, saya harus berjalan agak lama ke sudut belakang.

Di malam hari, VEDC beristirahat dari kesibukannya, dan hanya menjadi tempat istirahat bagi alat-alat praktik dan sejumlah peserta pelatihan yang kebetulan sedang dilaksanakan di salah satu unit pelaksana teknis tempat penggemblengan para tenaga kependidikan di lingkungan Depdiknas itu. Di balik pagar yang memanjang sepanjang sisi barat VEDC, kadang terdengar suara pengeras suara yang menyebut nama bus dan trayeknya dengan setengah berteriak. Memang, di sebelah barat komplek VEDC, terminal Arjosari, terminal terbesar di kota Malang, nyaris selalu hidup 24 jam.

Saat melangkah menyusuri lorong-lorong yang panjang dan beratap, di antara lelah, pikiran saya masih terus teringat dengan tiga sesi yang saya ikuti hari itu. Tiga sesi di hari Selasa (16/6) itu dilaksanakan di Kaliandra, di Dusun Gamoh, Desa Dayurejo, Kecamatan Prigen, Kabupaten Pasuruan. Sekali lagi, kunjungan saya ke Kaliandra memberi inspirasi banyak hal. Seharian di Kaliandra, saya tidak saja disuguhi dengan pemandangan, semangat, dan keramahan yang membuat pikiran saya ke mana-mana. Bersama para trainer Depdiknas, hari itu saya berdiskusi dengan Om Didit bersama lima orang anak dari Sanggar Alang-Alang Surabaya, Mas Rosek Nursahid dari PWEC (Petungsewu Wildlife Education Center) dan ProFauna, dan Mas Prigi Arisandi dari Ecoton (Ecological Observation and Wetlands Conservation).

Acara seharian di Kaliandra ini adalah bagian dari kegiatan Training of Trainers Education for Sustainable Development: Climate Change Education Resources Project (CCERP) yang dilaksanakan oleh PMPTK Depdiknas bekerja sama dengan British Council Jakarta 15-19 Juni 2009. Alhamdulillah saya bisa mengikuti kegiatan ini sebagai “penggembira” atas undangan British Council. Kegiatan ini bertujuan untuk menyusun modul pembelajaran yang mengintegrasikan berbagai disiplin pelajaran di sekolah dengan perspektif pendidikan lingkungan. Para peserta sebelumnya sudah dibekali berbagai macam wawasan tentang pendidikan lingkungan, dan Selasa kemarin, di Kaliandra, mereka mendapatkan pengayaan bahan.

Selasa kemarin kami berangkat ke Kaliandra dari VEDC Malang pada pukul 08.15 WIB. Perjalanan ditempuh sekitar satu jam. Tiba di Kaliandra, kami langsung disuguhi makanan ringan dan minuman khas ramah lingkungan. Setelah ada penyambutan singkat dari Kaliandra, rombongan kemudian dibagi dalam tiga kelompok untuk berkeliling komplek Kaliandra. Meski sudah pernah satu minggu di Kaliandra, saya tetap ikut berkeliling menikmati udara segar dan pemandangan hijau yang menyejukkan. Acara keliling Kaliandra berakhir jelang makan siang.

Sesi diskusi yang pertama dimulai setelah kami makan siang. Menurut jadwal, sesi pertama yang akan diisi oleh Sanggar Alang-Alang Surabaya akan mencoba memperkaya kami dengan perspektif sosial dan budaya. Saya yang terbilang tak pernah menonton televisi sejak tiga tahun terakhir dan jarang membaca koran dengan cermat tak pernah bertemu dengan nama Sanggar Alang-Alang. Akan tetapi, saat Om Didit Hape, pengelola Sanggar Alang-Alang, mulai menceritakan latar belakang dan aktivitas Sanggar, perhatian saya langsung terpaku untuk tidak melewatkan kisah-kisah menarik yang dipaparkannya. Presentasi Sanggar Alang-Alang ini diselingi dengan permainan dan aktivitas musik yang menyenangkan.

Sanggar Alang-Alang yang dikelola Om Didit berusaha memberikan pendidikan alternatif untuk anak-anak jalanan di Surabaya. Saat ini, lebih 160 anak sehari-hari bersama Om Didit dengan segala aktivitas kependidikannya. Saya membayangkan, Sanggar Alang-Alang ini mirip dengan tempat rehabilitasi dan reorientasi anak-anak yang berkeliaran di jalanan. Memang, persoalan anak-anak jalanan di kota-kota besar di Indonesia belakangan menjadi problem tersendiri yang tak kunjung menemukan pemecahan konkret dan radikal.Dari presentasi dan kisah Om Didit, yang diperkuat dengan kesaksian lima anak yang menyertainya, saya dapat merasakan bagaimana komitmen dan kerja keras Om Didit menyelamatkan masa depan anak-anak yang sebelumnya hidup dalam suram itu. Problem sosial yang begitu akut telah menempatkan anak-anak itu di jalanan, menjadi liar, tak berpendidikan, dan bahkan dieksploitasi oleh orangtua mereka. Di sisi yang lain, anak jalanan telah tertempeli berbagai stigma negatif dalam masyarakat: bahwa mereka itu jorok, jahat, tak tahu sopan santun, dan semacamnya.

Di Sanggar Alang-Alang, Om Didit berusaha menghidupkan kembali sisi-sisi manusiawi anak jalanan. Om Didit berupaya menghidupkan kembali harapan mereka yang redup. Om Didit mengembalikan harga diri anak-anak tak berdosa itu sehingga di masa depan mereka dapat hidup bermasyarakat dengan baik.

Om Didit menjelaskan empat hal mendasar yang ingin ditanamkan di Sanggar Alang-Alang: etika, estetika, norma, dan agama. Keempat hal itu secara sederhana diterjemahkan menjadi: tahu sopan santun, tidak jorok dan menjaga kebersihan, taat peraturan, dan mengamalkan ajaran-ajaran agama. Keempat hal ini secara kuat ditanamkan di antara berbagai kegiatan kependidikan Sanggar yang secara sederhana dibagi menjadi tiga jenjang: Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), Pendidikan Anak Usia Sekolah (PAUS), dan Pendidikan Anak Usia Remaja (PAUR). Saat anak-anak itu sudah berusia 18 tahun, mereka harus meninggalkan Sanggar. Mereka yang keluar dari Sanggar dianggap lulus jika mereka telah dapat bekerja dan mandiri secara ekonomi.

Pendidikan di Sanggar diarahkan untuk dapat membumi. Karena itu, pada tingkat remaja, anak-anak diajak untuk mendiskusikan peristiwa-peristiwa yang hangat dibicarakan masyarakat. Anak Sanggar tidak diwajibkan sekolah formal. Akan tetapi, jika mereka tetap mau bersekolah, baik itu dengan mengikuti Kejar Paket A/B/C, mereka diberi dukungan.

Saat sesi tanya-jawab, ada yang menanyakan tentang relasi anak-anak dan Om Didit dengan para orangtua anak-anak jalanan itu. Dari penjelasan Om Didit yang kemudian disambung dengan penjelasan kelima anak yang bersama Om Didit, saya mendapatkan kesimpulan bahwa ternyata kepedulian dan proses perjuangan Om Didit di satu sisi dapat pula menghidupkan semangat para orangtua anak-anak jalanan yang kebanyakan para preman atau orang-orang yang tersisih dan tertekan secara sosial-ekonomi. Setiap hari Jum'at, misalnya, Om Didit bersama orangtua dan anak-anak Sanggar secara khusus mengagendakan kegiatan pelajaran agama di Sanggar.

Mendengarkan kisah dan pengakuan kelima anak yang menyertai Om Didit, yakni Ghea (15), Silvi (15), Mujil (14), Tomi (15), dan Bambang (16), mata saya seperti dibukakan kembali dengan berbagai agenda sosial yang harus dikerjakan: anak-anak yang terlantar dan tak memiliki kesempatan untuk mengenyam pendidikan yang baik dan mencukupi serta menyiapkan diri menghadapi tantangan dan problem zaman yang tak terkirakan. (Tidakkah mereka juga ada di sekitar kita?)

Penuturan kelima anak ini menjadi contoh tentang kerasnya kehidupan perkotaan pada khususnya. Bambang mengatakan pernah mengamen selama dua bulan sehingga dia berhenti dari sekolah saat dia masih duduk di bangku kelas dua SD. Dia mengamen atas perintah orangtuanya, dan jika dia tidak mau mengamen, dia dipukul. Sementara itu, Tomi, jika mengamen, biasanya baru satu minggu pulang ke rumah. Silvi menceritakan kesan yang mendalam sejak dia ikut Sanggar, sehingga dia menemukan tempat berbagi dan menemukan kasih sayang yang tak dia dapatkan di rumahnya. Mujil, yang mengaku dulu termasuk nakal, setelah masuk Sanggar merasa menemukan banyak hal selain ilmu dan pengalaman. Ghea, yang mengaku tomboy, merasa menemukan kembali kasih sayang orangtuanya setelah ia bergabung di Sanggar dan menampakkan perubahan sikap yang positif.

Mengikuti sesi presentasi dari Sanggar Alang-Alang ini, banyak peserta yang tampak terharu. Kehidupan saat ini mungkin telah menipiskan kesempatan kita untuk sejenak berempati dengan orang-orang malang di sekeliling kita.

Jika sesi pertama ini seperti menceritakan tentang nestapa kehidupan anak-anak jalanan, pada sesi berikutnya, kami berdiskusi dengan Mas Rosek dari PWEC/ProFauna. Mas Rosek dengan kedua organisasinya itu mempunyai perhatian dan kepedulian pada penyelamatan satwa liar. Akibat perubahan iklim, kehidupan dan keberlangsungan satwa liar saat ini terancam. Perubahan iklim mengancam mereka karena satwa liar memiliki kemampuan adaptasi (survival) yang berbeda dengan manusia. Elang dari kawasan negeri utara, saat di sana musim dingin, akan bermigrasi ke wilayah tropis/selatan. Akan tetapi, jika di selatan ternyata cuacanya tak lagi panas, tentu mereka akan menghadapi masalah. Mas Rosek bercerita tentang kegiatannya bersama jaringan peduli satwa liar lainnya yang pernah mencoba mengamati jalur migrasi elang-elang itu, dan bagaimana mereka terganggu oleh perubahan iklim.

Keterancaman satwa liar ini senyatanya juga adalah ancaman bagi manusia, karena dalam pelajaran Biologi kita diajari tentang rantai makanan; di situ dijelaskan bahwa keterancaman satu jenis hewan atau tumbuhan dapat memberi pengaruh pada manusia. Saat satu spesies ikan kecil di lautan terancam punah, berarti akan ada satu rantai yang terputus, dan itu berarti mengancam keseimbangan ekosistem laut. Nah, hal semacam ini sebenarnya juga berarti merupakan satu ancaman bagi nelayan, tepatnya pada sumber penghasilan nelayan, dengan kemungkinan akan berkurangnya jenis dan jumlah ikan yang biasa mereka tangkap setiap hari.

Mas Rosek bersama PWEC berusaha mendorong masyarakat untuk peduli terhadap kelangsungan hidup satwa liar ini. Bersama rekan-rekannya, dia mempromosikan sikap hidup yang bersahabat dengan satwa liar, menyebarkannya ke berbagai komunitas dan masyarakat luas.

Sesi ketiga berlangsung setelah makan malam. Saya agak telat di sesi ini karena saat istirahat shalat Maghrib, saya meninggalkan Kaliandra untuk berkunjung ke rumah teman tak jauh dari Kaliandra.

Di sesi ketiga ini, Mas Prigi menceritakan aktivitasnya di Ecoton yang fokus pada upaya penyelamatan sungai. Satu poin paling menarik yang dapat saya simpulkan dari penuturan Mas Prigi adalah pernyataan bahwa selama ini ruang partisipasi masyarakat untuk ikut mengontrol sumber daya alam agar dapat tetap berkelanjutan cenderung dihadang oleh aturan-aturan pemerintah. Nah, Mas Prigi bersama Ecoton berupaya untuk memperluas ruang partisipasi bersama berbagai perangkat pendukungnya itu, dengan fokus pada sungai. Mas Prigi bercerita tentang pencemaran sungai di Surabaya, sehingga impian masa lalunya tentang mandi di sungai sudah tak bisa dimiliki oleh generasi anak-anak masa kini. Manfaat sungai sebagai sumber air bersih menjadi surut gara-gara pencemaran dari limbah industri dan masyarakat yang tak diberi ruang untuk ikut peduli dan berpartisipasi menjaga sungai.

Pada titik inilah Mas Prigi melakukan berbagai kegiatan advokasi sungai ke berbagai komunitas, terutama mereka yang hidup berdampingan dengan sungai. Yang menarik, Mas Prigi juga bergerak ke sekolah: menanamkan kesadaran kecintaan untuk menjaga sungai kepada mereka yang muda, karena merekalah yang sebenarnya akan mendapatkan dampak buruk dari situasi sekarang ini. Mas Prigi bercerita bahwa ia secara khusus bekerja sama dengan satu sekolah yang fokus pada upaya pelestarian sungai. Mas Prigi, yang dalam presentasinya tampak selalu berapi-api, menegaskan bahwa dengan keterlibatan para muda ini, mestinya mereka yang tua-tua malu karena hanya mewariskan kerusakan pada anak cucunya.

Secara agak akademik—tapi sederhana—Mas Prigi memperkenalkan satu cara pengamatan tingkat ketercemaran sungai dengan meneliti jenis binatang yang masih bisa bertahan hidup di sungai itu. Jadi ada semacam tabel yang menunjukkan gradasi tingkat ketahanan binantang sungai terhadap pencemaran. Di level teratas, salah satu binatang yang paling tahan dari pencemaran adalah cacing, dan yang paling rentan adalah udang. Saya lalu jadi teringat di salah satu sumber air di dekat rumah saya yang dulu menjadi salah satu tempat kesukaan saya untuk bermain di masa kecil. Di hulu, dekat sumber mata air, banyak sekali udang. (Apakah sekarang masih ada?)

Tiga sesi diskusi di Kaliandra ini sungguh memberi inspirasi tentang berbagai hal. Saya kira peserta pelatihan yang lain juga merasakan hal yang serupa.

Tiga hari berikutnya acara pelatihan mulai difokuskan pada upaya penyusunan modul suplemen untuk pengintegrasian pendidikan lingkungan di sekolah. Sebelum masuk ke situ, Rabu pagi dan siang masih ada materi lagi tentang Green Map (Peta Hijau) yang tak kalah menginspirasi, serta pemaparan dari Ibu Sari Oktafiana dari Sekolah Ciputra.

Saat penyusunan modul suplemen, saya mencoba bergabung di tim SMA, sambil berusaha berbagi pengalaman saya bergiat di kegiatan pendidikan lingkungan di SMA 3 Annuqayah. Pada mulanya, saya merasakan bahwa kami kesulitan untuk mencari pintu masuk, bagaimana agar pendidikan lingkungan dapat benar-benar terintegrasi ke dalam kurikulum sekolah. Yang menjadi tantangan di sini adalah soal integrasi, dalam pengertian bahwa pendidikan lingkungan tidak hanya menjadi isu bidang studi tertentu, tapi melibatkan beberapa bidang studi. Tantangan paling konkret yang tampak sejak awal adalah bagaimana guru-guru bidang studi dari mata pelajaran yang akan diintegrasikan dalam satu proyek pendidikan lingkungan ini siap menerima dan berkomitmen untuk mengkampanyekan isu lingkungan itu di bidangnya masing-masing. Tidak hanya sebagai tempelan, tapi berangkat dari kepedulian dan tanggung jawab. Artinya, ada ideologi, nilai, dan kesadaran. Pada tingkat yang paling sederhana, guru-guru itu pertama harus duduk bersama dulu untuk menyamakan visi, menyusun strategi, dan secara teknis memanfaatkan modul suplemen seperti yang sedang disusun ini untuk menjadi perangkat teknis yang mendukung.

Hari Kamis (18/6), masing-masing tim sesuai tingkat pendidikan seharian bekerja keras untuk menyelesaikan modul suplemen dan perangkat pembelajaran pendukung. Dengan segala keterbatasan yang ada, akhirnya keesokan harinya, sebelum penutupan, draft hasil kerja masing-masing tim dipresentasikan untuk diberi masukan sekadarnya. Dibilang sekadarnya karena draft modul suplemen ini masih akan digodok oleh tim penyunting sebelum akhirnya dipresentasikan dalam suatu forum yang lebih komprehensif dan melibatkan banyak pihak, termasuk dari kementerian pendidikan nasional.

Setelah satu bulan dari pelatihan di Malang, saya memang masih belum mendapat kabar lebih terperinci soal hasil dan tindak lanjutnya. Meski demikian, workshop di Malang ini adalah satu langkah awal yang strategis untuk memasukkan isu pendidikan lingkungan ke sekolah. Memang, ada kawan yang agak meragukan keberhasilan langkah ini, mengingat pola dan budaya di lingkungan sekolah negeri yang cenderung formal, birokratis, top-down, dan semacamnya, yang menyulitkan berkembangnya improvisasi dan pengayaan pendidikan yang lebih substansial semacam isu pendidikan lingkungan ini. Meski demikian, upaya melalui jalur formal tentu akan bernilai penting.

Tanpa membayangkan akan seperti apa nanti hasilnya, buat saya pribadi, workshop di Malang ini memberi banyak inspirasi untuk pengembangan isu pendidikan lingkungan di lembaga tempat saya bergiat (Annuqayah). Selain berbagai sesi yang disajikan, perbincangan dan diskusi pribadi dengan beberapa orang di forum ini sungguh memberikan pencerahan tentang banyak hal, tak hanya soal pendidikan lingkungan, tapi juga tentang pendidikan sebagai penguatan peradaban masyarakat. Dalam konteks pendidikan lingkungan, strategi baru yang lebih kaya perlu terus dikembangkan, agar sikap hidup yang lebih bersahabat dan ramah lingkungan dapat tersebar, atas dasar rasa syukur atas anugerah Allah swt.

Sumenep-Parung
Juni-Juli 2009

Tulisan terkait:
>> Sepekan di Kaliandra

0 komentar: