Minggu, 05 September 2004

Reposisi Agenda Sayap Politik NU

Keputusan Mukernas PKB baru-baru ini untuk bersikap netral dalam pemilihan presiden putaran kedua menarik untuk dicermati, terutama dalam konteks masa depan politik masyarakat NU. Pilihan untuk netral ini di satu sisi sepertinya merupakan hasil dari refleksi para elit PKB sendiri atas mulai melemahnya kontrol para elit partai terhadap keragaman pendapat massa pendukungnya. Kecenderungan semacam ini sebenarnya tidak saja terjadi di lingkungan PKB.


Jika salah satu landasan berpikir elit PKB dalam memutuskan sikap netral pada pilpres putaran kedua memang demikian adanya, dari satu sisi ini sebenarnya akan cukup memberi ruang yang lebih besar bagi proses demokratisasi dan penguatan daya tawar masyarakat vis-à-vis para elit partai. Artinya, ke depan nanti para pengurus atau pemegang otoritas dalam partai politik harus berpikir lebih kreatif dan cerdas untuk menarik simpati massanya, tidak cukup hanya dengan memanfaatkan instruksi partai, preferensi subjektif, ketokohan, atau kedekatan emosional saja. Perkembangan internal komunitas NU belakangan menunjukkan semakin kayanya perspektif, terutama di lapis kaum muda NU, yang mengarah pada semakin dibutuhkannya pendekatan-pendekatan yang bersifat objektif-rasional dalam bergaul dengan komunitas NU itu sendiri.


Adapun persoalan yang menarik untuk dicermati dalam konteks PKB adalah, sejauh mana pilihan sikap PKB untuk bersikap netral dalam pilpres putaran kedua tersebut memberi warna dan memengaruhi arah politik masyarakat NU pada umumnya. Kecenderungan pertama yang menarik untuk disorot, yang lebih bersifat temporer dan berjangka pendek, adalah mulai ramainya arus-arus dukungan dari berbagai elemen NU kepada salah satu pasangan capres. Beberapa DPW PKB misalnya menyatakan dukungan kepada pasangan Megawati-Hasyim, beberapa kepada pasangan SBY-Kalla. Para kiai dan pesantren-pesantren juga bergerak menyatakan dan menghimpun dukungan.


Sejauh ini memang aksi dukung-mendukung itu belum memperlihatkan tingkat konflik internal yang cukup mengganggu. Kenyataan ini dapat cukup dimaklumi karena sebenarnya warga NU sendiri selama ini memang telah menyebar ke berbagai kekuatan politik di luar PKB. Selain itu, elemen-elemen NU juga memiliki tingkat independensi yang bersifat relatif kuat, sehingga ketika ada satu kelompok yang menyatakan dukungan untuk pasangan tertentu, relatif cukup sulit kiranya untuk mengintervensi keputusan dukungan pihak yang lainnya.


Perbedaan pilihan dukungan politik untuk pemilu presiden memang sudah terlihat pada pemilu presiden putaran pertama, dan memang terbukti tidak cukup melahirkan konflik yang berarti di kalangan NU.


Hal kedua yang menarik dicermati adalah pola relasi antara komunitas NU pada umumnya dengan PKB, sebagai organ politik resmi NU. Sebagaimana diketahui, PKB adalah partai politik yang kelahirannya secara resmi dibidani oleh para elit NU untuk menjadi saluran politik dan untuk mengakomodasi aspirasi politik warga NU. Dari perspektif yang lain, lahirnya PKB juga berarti bahwa para elit NU sebenarnya bermaksud untuk “melokalisasi” sayap politik warga NU ke dalam PKB, sehingga agenda-agenda pemberdayaan masyarakat sipil yang selama ini telah dikerjakan NU sebagai sebuah organisasi sosial kemasyarakatan dapat terus berlanjut tanpa harus terpecah fokusnya pada soal-soal politik kekuasaan.


Realitas yang menunjukkan adanya keragaman aspirasi politik dalam tubuh NU, seperti diulas tadi memang tidak terlalu menimbulkan masalah. Yang menjadi masalah adalah ketika kader-kader NU yang aktif di organisasi NU (NU struktural) itu sendiri juga ikut terjun dalam kancah politik praktis, utamanya dalam ajang pemilu presiden.


Bagaimanapun juga harus diakui bahwa kasus-kasus semacam ini di beberapa daerah berbasis NU seperti di Jawa Timur betul-betul terjadi, dan pada satu titik tertentu akan dapat menghasilkan hal-hal yang kontraproduktif bagi NU itu sendiri. Pada pilpres putaran pertama yang lalu, misalnya, ketika secara resmi PKB menyerukan untuk memilih pasangan pilpres Wiranto-Shalahuddin Wahid, di beberapa daerah terjadi fenomena pengurus-pengurus NU (NU struktural) yang malah menjadi tim sukses pasangan pilpres yang lain. Dalam konteks proses demokrasi yang menjunjung kebebasan hak-hak politik warga negara, itu sah-sah saja dilakukan. Tak salah jika dikatakan bahwa setiap warga negara, termasuk yang aktif sebagai pengurus NU, punya hak politik yang dapat disalurkan ke mana saja.


Tapi pertanyaannya adalah, apakah pilihan untuk secara terbuka masuk ke dalam blok-blok politik tertentu dalam konteks perebutan kursi kekuasaan akan memberikan efek yang baik kepada agenda-agenda NU sebagai sebuah organisasi sosial kemasyarakatan? Ataukah justru itu akan membuat NU menjadi semacam kekuatan politik tandingan bagi PKB yang pada tingkat tertentu dapat memicu konflik internal di kalangan NU dalam konteks perebutan kekuasaan? Bila ini yang terjadi, ada kemungkinan bahwa institusi NU akan lebih berfungsi sebagai kendaraan politik atau batu loncatan untuk kepentingan kekuasaan tertentu, dan menelantarkan agenda-agenda pemberdayaan masyarakat yang sejatinya menjadi concern utamanya. Dalam konteks otonomi daerah, kecenderungan semacam ini dapat semakin marak terjadi mengingat besarnya tingkat otonomi relatif kelompok-kelompok NU di daerah.


Dari dua hal tersebut di atas, terlihat bahwa sebenarnya pilihan politik PKB untuk bersikap netral pada pilpres putaran kedua merupakan suatu pilihan yang terbaik untuk masyarakat NU pada umumnya, karena dengan begitu, keragaman aspirasi politik warga NU dapat tersalurkan. Namun demikian, ada satu agenda besar yang harus segera dituntaskan oleh warga NU ke depan, yakni menyangkut pola relasi antara PKB sebagai sayap politik NU yang bekerja dalam kerangka agenda politik kekuasaan, dan institusi NU yang lebih bergerak pada agenda-agenda peradaban.


Memang harus diakui bahwa semenjak reformasi digulirkan, kekuasaan menjadi semacam titik perhatian yang diperebutkan banyak elemen-elemen politik bangsa ini, setelah gumpalan kekuasaan yang memusat pada rezim Orde Baru meledak dan menyebar tak menentu. Realitas semacam ini sebenarnya terjadi karena cara pandang masyarakat kita terhadap kekuasaan cenderung berdasar pada paradigma modernisme (Marxian dan Weberian), yang memandang kekuasaan sebagai sesuatu yang terlokalisasi dan terpusat, yakni terutama pada negara. Padahal, jika kita mau mencermati pemikiran seorang filsuf Prancis, Michel Foucault (1926-1984), terungkap bahwa kekuasaan itu sebenarnya bersifat menyebar dan bergerak secara dinamis.


Ini berarti bahwa dengan bekerja pada wilayah-wilayah yang bisa disebut mikro-politik, pada titik tertentu NU sebenarnya dapat menjadi suatu kekuatan “politik” yang layak diperhitungkan berhadapan dengan berbagai kekuatan di area makro-politik. Tentu bergerak dalam wilayah mikro-politik tidak menjanjikan kursi kekuasaan yang memang menggiurkan itu, tapi itu akan menjadi sebuah investasi kekuatan politik masa depan yang amat berharga nilainya.


Berbagai sumber daya yang dimiliki NU sampai saat ini telah cukup kaya, beragam, dan cukup memiliki akar di masyarakat bawah. Jika semua elemen dan sumber daya NU tersebut terjebak ke dalam ajang politik kekuasaan, maka mungkin saja energi produktif NU akan terkuras habis, dan NU kemudian pelan-pelan meninggalkan kerja-kerja pemberdayaan yang sebenarnya lebih bersentuhan dengan realitas kehidupan masyarakat Indonesia pada umumnya.

0 komentar: