Minggu, 20 Januari 2002

Harmoni Keluarga dan Politik Orba

Judul Buku: Pahlawan-Pahlawan Belia: Keluarga Indonesia dalam Politik
Penulis : Saya Sasaki Shiraishi
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia Jakarta bekerjasama dengan Yayasan Adikarya IKAPI dan The Ford Foundation
Cetakan: Pertama, April 2001
Tebal: x + 290 halaman


Salah satu hal penting dikeluhkan beberapa tokoh dan pengamat belakangan ini sehubungan dengan gerakan reformasi sosial-politik di Indonesia adalah masih belum berubahnya budaya politik di Indonesia secara signifikan. Sisa peninggalan kultur Orde Baru terutama berupa praktik KKN (korupsi, kolusi, nepotisme) masih saja merajalela. Para koruptor masih belum dihadiahi hukuman setimpal. Padahal upaya penegakan hukum dan lebih-lebih upaya memutus pola kultur politik yang tidak sehat itu merupakan suatu keniscayaan menuju terwujudnya cita-cita Indonesia Baru.

Buku ini merupakan suatu rekonstruksi terhadap beberapa pola budaya politik di Indonesia dengan mengambil fokus terhadap persoalan keluarga Indonesia dalam politik. Upaya mengangkat persoalan Keluarga Indonesia ini pada perspektif yang lain juga dapat dilihat sebagai suatu rekonstruksi terhadap pembentukan spirit kebangsaan (nasionalisme) di Indonesia.

Suatu kesimpulan menarik yang diajukan penulis buku ini, Saya Sasaki Shiraishi, adalah bahwa arus sejarah Indonesia banyak dipengaruhi dan bersifat isomorfis dengan cara-cara kehidupan keluarga. Aktor-aktor politik digambarkan tidak jauh berbeda dengan sosok bapak, ibu, atau anak.

Dengan mengambil fokus pada masa Orde Baru, penulis buku ini menunjukkan bahwa kelahiran Orde Baru yang bertolak dari peristiwa G-30-S merupakan suatu kontra-revolusi melawan hubungan bapak-anak yang revolusioner (seperti dalam Peristiwa Rengasdengklok—anak buah menculik dan memaksa Bapak) demi mempertahankan kebahagiaan keluarga. Soeharto kemudian bertindak sebagai Bapak Tertinggi (Supreme Father) bagi bawahannya dan rakyat Indonesia. Harmoni keluarga adalah kunci pengaturan negara yang memungkinkan rakyat (anak) tak berani menentang pemerintah (bapak).

Membimbing dari belakang (tut wuri handayani) adalah semboyan yang seringkali dikutip dalam panggung politik di Indonesia. Sayangnya, ketika dialihkan ke dalam khazanah politik nasional, semboyan itu tidak lagi dipahami sebagai upaya bimbingan dari belakang, malah mengisyaratkan adanya mata yang siap menghukum dan mengawasi dari belakang.

Yang cukup unik dari familiisme menurut penulis buku ini adalah bahwa bapak Orde Baru mewarisi dualisme bahasa kolonial antara usaha mengatasi hukum dan peraturan organisasi atas nama ikatan keluarga dan tindakan merusak aturan dengan kesewenang-wenangan. Para bapak terikat secara moral untuk melindungi anak-anaknya meski berarti harus melanggar peraturan, hukum, dan kewajiban, demi memenuhi harapan dan keinginan tanpa batas anak-anaknya. Sifat mendua bapak ini terungkap dalam sebuah frase terkenal: semua bisa diatur.

Sebuah kasus menarik yang diangkat dalam buku ini adalah skandal Bank Duta pada tahun 1990. Kasus ini menggambarkan bagaimana bapak mengatasi masalah untuk menjaga agar sistem keluarga tetap utuh. Dalam kasus ini terlihat persoalan yang bersifat sistemik-struktural tidak terlalu diindahkan—seperti masalah kerugian nasabah dan atau pertanggungjawaban bank terhadap masyarakat—dan lebih menganggap bank itu sebagai sebuah rumah besar sebuah keluarga. Kerugian besar yang diderita bank tersebut oleh kebijakan Sang Bapak Tertinggi ditutupi dengan bantuan dua orang konglomerat (anak yang lain) yang sebagai kompensasinya mendapatkan proyek berskala besar.

Proses penanaman dan pengendapan kultur politik semacam ini menurut penelitian penulis buku ini sudah tertanam dimulai sejak masa pra-kemerdekaan, mulai dari ajaran-ajaran Taman Siswa. Terminologi dan kosakata Bahasa Indonesia menyangkut kehidupan keluarga yang pada waktu itu tidak memiliki acuan sosiologis yang jelas diisi dengan ajaran-ajaran Ki Hajar Dewantoro. Pada masa Orde Baru peran ini dipegang oleh sekolah-sekolah formal, kantor-kantor, perusahaan, dan birokrasi pada umumnya.

Buku bagus yang semula adalah disertasi di Departemen Antropologi Cornell University ini amat layak dibaca untuk mendapatkan gambaran cerdas tentang proses pembentukan kebudayaan nasional. Dengan data-data lapangan berupa peristiwa-peristiwa di tingkat keluarga yang sederhana (arisan, pernikahan, kelahiran, dan sebagainya) hingga buku-buku dan majalah, buku ini ini berhasil mengungkap satu sisi budaya politik yang tanpa sadar menyeret bangsa Indonesia ke titik krisis yang belum juga teratasi. Dari buku ini, bangsa Indonesia dapat belajar banyak tentang bagaimana membangun masa depan bangsa dan kebudayaannya.

Tulisan ini dimuat di Media Indonesia, 20 Januari 2002.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Saya baru sedang membaca buku ini, dan saya kira memang buku yang bagus!