Jumat, 23 Januari 2015

Fenomenologi Stigma Terorisme Islam

Judul buku: Apa Jadinya Dunia Tanpa Islam?: Sebuah Narasi Sejarah Alternatif
Penulis: Graham E. Fuller
Penerbit: Mizan, Bandung
Cetakan: Pertama, November 2014
Tebal: 406 halaman


Saat Islam kerap dihubung-hubungkan dengan kekerasan dan terorisme, adakah jalan lain untuk menyangkalnya selain dari paparan normatif pandangan dunia Islam yang inklusif dan praktik toleran dalam sejarah Islam?

Buku ini mencoba memberi ulasan alternatif yang cukup menyeluruh tentang posisi Islam dalam isu-isu kekerasan dan terorisme dengan meletakkannya dalam terang sejarah peradaban dunia. Penulisnya, Graham E. Fuller, yang pernah menjabat sebagai Wakil Ketua Dewan Intelijen Nasional di CIA, mencoba menawarkan eksperimen berpikir dengan skenario alternatif andai Islam tidak pernah ada.

Kesimpulan utamanya adalah bahwa faktor-faktor geopolitik yang lebih intens menjadi faktor pertentangan Barat dengan Timur yang sudah ada sebelum Islam. Dalam kerangka pertentangan yang terbentuk lebih awal dan lebih mendalam inilah, Islam dipergunakan sebagai bendera yang berperan sebagai pemersatu yang sangat efektif dalam tataran praktis.

Metode eksperimen berpikir yang digunakan Fuller terilhami dari salah satu metode kerja intelijen. Caranya, kita membayangkan sebuah peristiwa penting di masa depan dengan skenario agak teperinci tentang jalan peristiwa tersebut. Tujuannya untuk melihat kemungkinan kecil yang sebelumnya tak terpikirkan yang ternyata dapat mendorong terjadinya hal yang sangat penting itu.

Secara metodologis, perspektif ini mirip pendekatan fenomenologis. Pembaca diajak meletakkan Islam sebagai sebuah agama dan ideologi ke dalam tanda kurung, lalu berbagai konflik besar dalam sejarah dunia dilihat secara lebih sederhana. Dalam bahasa Fuller, buku ini mengajak pembaca untuk men-de-Islami-kan persepsi tentang konflik-konflik tersebut dan melihatnya sebagai masalah sosial dan politik manusiawi yang bersifat universal. Dalam bahasa fenomenologi, mengembalikan peristiwa-peristiwa itu ke dunia pra-reflektif atau Lebenswelt (dunia keseharian) sebelum dikerangkakan dalam bingkai ideologi.

Dengan cara pandang seperti ini, Fuller menemukan bahwa Timur Tengah tanpa Islam tetap akan berpotensi mencurigai Barat. Kekuatan pengganti Islam dalam berhadapan dengan Barat adalah Kristen Ortodoks Timur, yang dalam pikiran Fuller akan mendominasi kawasan Mediterania dan Timur Tengah andai tak ada Islam. Sikap anti-Barat Gereja Ortodoks Timur dinarasikan panjang lebar oleh Fuller yang lalu tampak mirip sekali dengan sikap umat Islam terhadap Barat.

Di antara uraiannya, Fuller mengutip potongan pidato Paus Urbanus II pada 1095 yang menjadi titik mula Perang Salib. Fuller menggarisbawahi bahwa dalam pidatonya, Paus Urbanus II tidak spesifik menyebut musuh mereka itu kaum muslim. Musuh dan penindas kaum Kristen adalah agama apa pun di luar agama Kristen. Terbukti, dalam Perang Salib kaum Barat juga menunjukkan sikap agresif pada kaum Gereja Ortodoks Timur bahkan juga pada kaum Yahudi.

Kristen Barat yang menjadi musuh Islam dalam Perang Salib digambarkan secara kontras dengan kaum Kristen Timur yang telah lama hidup berdampingan secara damai dengan umat Islam, termasuk juga dengan Yahudi. Bahkan Fuller mencatat bahwa kaum Yahudi pernah berperang membantu umat Islam menghadapi serbuan Tentara Salib. Hal ini menegaskan bahwa agama bukanlah faktor terpenting.

Saat ini, konfrontasi Barat dan Timur terus berlangsung. Di antara wakil Timur adalah Rusia. Rusia, seperti negara-negara Eropa Timur yang kerap masih dianggap sebagai dunia yang berbeda dengan Eropa Barat, dipandang sebagai pewaris ortodoksi Timur.

Menurut Fuller, adopsi negara Rusia pasca-Soviet atas Gereja Ortodoks lebih terkait dengan problem identitas nasional, mirip dengan penggunaan Islam sebagai identitas pemersatu di Timur Tengah untuk menghadapi Barat. Karena itu, tak heran jika beberapa tahun yang lalu Parlemen Rusia mengesahkan undang-undang yang membatasi kebebasan dakwah asing yang ditujukan pada Kristen Barat, bukan Islam.

Upaya Fuller untuk memarkir sementara ideologi agama, dalam hal ini Islam, dalam memahami konflik dan terorisme dan melihatnya secara fenomenologis dapat dipandang sebagai upaya untuk melucuti stigma terorisme Islam. Stigma ini telah menyesatkan pandangan banyak pihak dan membuat solusi yang tepat dan manjur atas peristiwa dan potensi konflik dan terorisme tak kunjung ditemukan.

Di bagian akhir, Fuller mengajukan beberapa langkah praktis yang harus dilakukan Barat, khususnya Amerika, atas dasar perspektif yang dikembangkan dalam buku ini. Misalnya, campur tangan militer Amerika di Dunia Islam harus dihentikan. Bagi Fuller, 700 pangkalan militer Amerika di luar negeri sangatlah provokatif dan menyumbang bagi terciptanya konflik dan terorisme.

Buku karya Fuller yang kini menjadi guru besar sejarah di Simon Fraser University, Kanada, ini adalah sebuah langkah introspeksi Barat yang patut diapresiasi untuk membuka jalan bagi pandangan berimbang demi masa depan dunia yang damai.


Versi yang sedikit berbeda dengan tulisan ini dimuat di Majalah Gatra, 22-28 Januari 2015.


0 komentar: