Senin, 20 Juli 2009

Keliling Dunia (di) Jakarta (1)

Untuk mengurus kelengkapan persyaratan keberangkatan saya melanjutkan studi ke Eropa, saya pun berangkat ke Jakarta. Dari rumah, saya tidak langsung menuju Jakarta. Saya ke Jogja terlebih dahulu untuk mengantar adik saya kembali ke pondok, transit di kos teman satu hari, baru melanjutkan perjalanan ke Jakarta. Dari Jogja, saya ke Jakarta dengan kereta, berangkat Sabtu (11/7) jelang jam sembilan pagi. Tiba di Jakarta sekitar setengah lima sore, saya langsung menuju Parung, tempat bibi saya.

Ada dua agenda utama yang harus saya selesaikan: melegalisasi kutipan akta kelahiran, dan memproses aplikasi visa ke Norwegia. Misi pertama mulai dikerjakan pada hari Senin (13/7). Rencananya, di hari itu saya akan memproses legalisasi akta kelahiran di Departemen Hukum dan HAM RI. Saya tiba di kantor kementerian yang beralamat di Kuningan itu sebelum pukul sepuluh. Loket tempat pelayanan legalisasi dokumen dan yang lain tampak masih belum begitu ramai. Setelah mengambil nomor antrean dan menunggu sebentar, saya maju ke loket legalisasi.

Seorang petugas berkaca mata yang tampak dingin menanyakan dokumen yang akan dilegalisasi. Saya, yang hanya mendapat informasi tentang proses legalisasi dari milis, mencoba menegaskan beberapa hal terkait dengan negara tujuan saya, yakni Belanda dan Norwegia.

Ternyata dokumen yang akan saya legalisasi, yakni fotokopi akta kelahiran, tidak bisa diproses hari itu di Dephukham. Pasalnya, saya tidak membawa spesimen tanda tangan pejabat Capil yang tanda tangan (melegalisasi) di fotokopi akta kelahiran itu. Sebenarnya saya sudah mendapat informasi bahwa saya mesti membawa spesimen tanda tangan itu. Akan tetapi, yang saya pahami, spesimen yang dibawa adalah spesimen penanda tangan kutipan akta kelahiran, dan tidak usah spesimen tanda tangan pejabat Capil yang melegalisasi fotokopi akta kelahiran saya. Karena itu, di Capil Sumenep, saya hanya meminta spesimen tanda tangan Kepala Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Sumenep, pejabat yang menandatangani kutipan akta kelahiran saya.

Petugas Dephukham mengatakan bahwa dokumen kutipan akta kelahiran saya (yang asli) bisa diproses untuk dilegalisasi di Dephukham, tapi yang fotokopi tidak bisa. Dia menjelaskan bahwa saya harus mendapatkan spesimen tanda tangan si pejabat, atau—alternatifnya—saya meminta pengesahan dokumen versi fotokopi itu ke notaris.

Dari loket, saya berembuk dengan bibi saya perihal langkah berikutnya. Ketika kami sedang berbincang, seseorang tampak mendekat dan menanyakan masalah saya. Saya jelaskan kepadanya. Saya juga mencoba menanyakan tentang dokumen yang akan saya legalisasi apakah sebaiknya juga termasuk dokumen yang asli. Dia bilang, kalau yang ke Belanda bisa yang fotokopi, tapi yang Norwegia tidak tahu.

Orang yang kemudian memperkenalkan diri dan berinisial P serta sempat memberikan nomor ponselnya ke saya itu kemudian juga menjelaskan soal pengesahan notaris dan biaya yang mesti dikeluarkan untuk itu.

Mempertimbangkan penjelasan P dan petugas Dephukham, akhirnya saya memutuskan untuk ke Kedutaan Norwegia dan Belanda terlebih dahulu untuk mendapatkan kepastian. Untung saja, kedua kedutaan itu masih berada di wilayah Kuningan juga, sehingga perjalanan ke sana tak cukup memakan waktu.

Pertama, ke Kedutaan Norwegia, yang berkantor di Menara Rajawali kawasan Mega Kuningan—bersebelahan dengan Ritz Carlton Hotel yang baru saja mendapat teror bom itu. Di sana saya sekalian menanyakan kembali prosedur dan persyaratan aplikasi visa. Khusus untuk legalisasi akta kelahiran, ternyata untuk Norwegia tidak seribet Belanda. Mereka menerima legalisasi dokumen versi fotokopi. Selain itu, jika kutipan akta kelahiran kita sudah ada terjemahan bahasa Inggrisnya (akta kelahiran versi baru yang bilingual), kita tidak perlu menerjemahkannya lagi.

Lain Norwegia, lain pula Belanda. Untuk masuk ke tempat pelayanan informasi pun, di Kedutaan Belanda kami tidak diperkenankan membawa tas dan ponsel. Tas dan ponsel harus diletakkan di loker setelah saya mengambil semacam nomor antrean. Maklum, Kedutaan Belanda memiliki komplek gedung yang luas, tidak seperti Kedutaan Norwegia yang berkantor bersama beberapa kedutaan negara Skandinavia yang lain serta perusahaan di Menara Rajawali.

Petugas di Kedutaan Belanda yang logat bicara bahasa Indonesianya sudah berbau Belanda itu menyarankan agar dokumen yang dilegalisasi itu yang asli saja, karena menurutnya ada kota tertentu di Belanda yang tidak menerima versi fotokopi. Sampai di sini saya menyimpan rasa penasaran saya: mengapa dokumen asli (akta kelahiran) mesti dilegalisasi? Biasanya, dokumen yang perlu dilegalisasi itu kan versi fotokopi, pikir saya.

Agenda selanjutnya adalah mencari pengesahan ke notaris. Dari Kedutaan Belanda, kami mampir ke kantor INFID di Mampang Prapatan. Dari situ, sambil mencari informasi notaris, saya juga mencoba mencari informasi tentang apakah untuk kota Utrecht menerima dokumen akta kelahiran versi fotokopi (yang sudah dilegalisasi). Petugas Kedutaan Belanda sebenarnya menyarankan agar saya meminta informasi ke International Office Utrecht University, agar mereka menanyakan ke dinas terkait di Utrecht. Akan tetapi, menurut saya ini jelas akan memakan waktu; sementara email penting saya yang terakhir belum dibalas oleh mereka. Saya pun mencoba mencari informasi dari rekan-rekan yang ada di Utrecht. Beruntung di siang itu beberapa di antara mereka sedang online di Facebook. Saya pun menanyakan hal ini, dan ternyata saya tak menemukan jawaban yang pasti. Akhirnya, saya putuskan bahwa untuk ke Belanda saya akan melegalisasi dokumen akta kelahiran yang asli.

Setelah membuat keputusan ini, saya pun ke notaris diantar oleh Om Warno. Saya diantar ke notaris yang biasa dipakai INFID yang kebetulan tak terlalu jauh dari Mampang. Di sana saya mengesahkan dua lembar fotokopi akta kelahiran, karena aplikasi visa Norwegia membutuhkan dua salinan dokumen. Biaya per lembar lima puluh ribu rupiah.

Saya tidak bisa melanjutkan proses legalisasi ke Dephukham di hari itu, karena jam sudah menunjukkan pukul tiga sore. Maka saya pun kembali ke kantor Dephukham keesokan harinya. Tiba di Dephukham sekitar pukul setengah sebelas di hari Selasa (14/7), saya masih harus melengkapi syarat-syarat legalisasi berupa fotokopi KTP (sudah disiapkan), materai sejumlah dokumen yang akan dilegalisasi (3 lembar), fotokopi dokumen yang akan dilegalisasi, dan surat permohonan serta map khusus yang dibeli di Koperasi AHU Dephukham.

Saat antre di loket yang kebetulan cukup ramai di siang itu, saya bertemu kembali dengan P yang tampak baru masuk ke tempat antre. Dia tampak sudah sangat akrab dengan tempat ini. Dia sempat bertanya ke saya tentang proses legalisasi yang saya lakukan. Saat dia membuka tasnya, saya sempat melihat dia membawa lembaran materai yang sangat banyak.

Alhamdulillah, sebelum jam dua belas siang, permohonan legalisasi saya sudah masuk dan diproses. Setelah itu, saya langsung membayar biaya legalisasi (dua puluh lima ribu rupiah per dokumen) di Bank BNI di komplek Dephukham.

Dua hari berikutnya, yakni hari Kamis (16/7), saya kembali ke Dephukham untuk mengambil dokumen saya itu. Alhamdulillah lancar. Lagi-lagi saya melihat P ada di situ sedang berbincang dengan seseorang. Setelah saya selesai memproses legalisasi di Dephukham, saya jadi mengerti mengapa dokumen asli pun harus dilegalisasi. Di cap/stempel legalisasi Dephukham, tertulis: “LEGALISASI TANDA TANGAN”. Jadi, rupanya Dephukham ini melegalisasi keaslian tanda tangan di dokumen kita sebagai pengantar sebelum dokumen kita itu “diinternasionalisasi” (digunakan dalam wilayah hukum internasional) untuk kemudian diproses di kedutaan negara yang kita tuju.

Dari Dephukham, saya langsung meluncur ke Departemen Luar Negeri di dekat Gambir. Proses legalisasi di Deplu tak seribet di Dephukham. Loket tampak tak begitu ramai, karena di Deplu saya lihat jenis layanan di loket tak sebanyak di Dephukham. Persyaratannya pun sederhana: fotokopi dokumen yang akan dilegalisasi (yang sudah dicap di Dephukham), map kuning yang saya beli di toko/fotokopi dekat Deplu, dan biaya legalisasi sebesar sepuluh ribu rupiah per dokumen. Petugas Deplu mengatakan bahwa saya bisa mengambil dokumen saya di hari Selasa (21/7).

Proses pengurusan legalisasi dokumen ini memang menjadi pekerjaan teknis yang cukup ribet dan cukup memakan waktu, tenaga, dan biaya. Akan tetapi, saya berusaha menikmatinya. Saya cuma agak menyesalkan mengapa informasi yang cukup terperinci tentang hal-hal terkait tak saya temukan di website lembaga-lembaga itu, termasuk di website kedutaan. Khusus terkait dengan Kedutaan Norwegia, saya mendapatkan informasi tentang aplikasi visa dari mereka via email (catatan: konsultasi via email harus berbahasa Inggris), dan ketika saya berkunjung langsung ke sana, saya mengambil formulir aplikasi visa/residence permit (yang sebenarnya bisa saya unduh dan cetak sendiri dari website mereka) dan mendapatkan kejelasan tentang legalisasi akta kelahiran (bahkan saya sampai diperlihatkan contoh dokumen yang sudah diproses).

Untuk proses legalisasi di Dephukham, sebenarnya saya sempat menelepon langsung ketika masih di rumah menanyakan persyaratannya secara lebih jelas karena tak berhasil menemukan penjelasannya di website. Sayangnya, petugas yang menerima telepon saya terkesan enggan memberikan penjelasan lengkap di telepon. Jadinya, spesimen tanda tangan yang saya bawa ternyata kurang tepat—padahal saya mendapatkannya dengan proses yang agak berliku di Sumenep.

Jika kekurangjelasan informasi itu hanya berakibat bahwa saya harus bolak-balik menegaskan atau menyiapkan hal yang kurang jelas sebelumnya, itu masih mending. Saya menduga bahwa kekurangjelasan informasi ini di antaranya membuka peluang adanya praktik-praktik yang cukup mengganggu di Dephukham. Dari beberapa orang yang juga mengajukan proses legalisasi, saya menjadi tahu bahwa di Dephukham ini banyak orang-orang yang menawarkan jasa membantu proses legalisasi dengan imbalan tertentu—jelasnya: calo. Justru dari mereka inilah beberapa informasi mengenai persyaratan atau prosedur legalisasi bisa didapat lebih terperinci, meski mereka jelas menyimpan motif tertentu.

Terkait dengan aturan, koordinasi dengan instansi terkait tampak lemah. Catatan Sipil Sumenep, misalnya, tidak paham soal legalisasi akta kelahiran di Dephukham ini dalam kaitannya dengan persyaratan spesimen tanda tangan. Menurut P, spesimen dibutuhkan karena contoh tanda tangan pejabat Capil di daerah yang mestinya dikirimkan ke Dephukham nyatanya tak tersedia (tak dikirimkan).

Karena kekurangjelasan informasi inilah, calo di Dephukham menawarkan jasa, di antaranya, untuk memproses pengesahan ke notaris dengan tarif yang ternyata cukup jauh dari standar. Seorang yang saya jumpai di Dephukham dan sedang memproses legalisasi ijazah untuk melanjutkan studi ke Taiwan menceritakan bahwa di komplek gedung Dephukham ini sebenarnya ada notaris yang bisa mengesahkan fotokopi dokumen kita, dengan tarif yang ternyata cukup murah.

Di sebuah blog, saya menemukan seseorang yang juga mencoba menjelaskan proses legalisasi akta kelahiran menulis bahwa “rumitnya birokrasi ternyata bisa menjadi mata pencaharian untuk sebagian orang”. Benar juga ya, pikir saya. Akan tetapi, masalahnya, seperti saya singgung di atas, fenomena ini juga terkait dengan transparansi informasi yang buruk dan koordinasi antar-instansi pemerintah yang lemah.

Saat di kantor Dephukham, sempat terpikir: ini instansi yang termasuk berupaya menegakkan supremasi hukum di negeri ini. Akan tetapi, kenyataannya, warga masyarakat yang sedang ingin mendapatkan pelayanan administrasi hukum di sini justru kadang masih harus “terteror” oleh calo (bukan “drakula” lho) yang gentayangan yang terjadi—di antaranya—gara-gara akses informasi yang terbatas. Pertanyaannya: apakah aparat hukum di negeri kita masih belum mengagendakan atau memprioritaskan upaya pemberantasan “terorisme percaloan” di berbagai sudut dan instansi pemerintah di negeri ini—mungkin juga termasuk calo politik?

Tulisan terkait:
>> Keliling Dunia (di) Jakarta (2)
>> Keliling Dunia (di) Jakarta (3-Habis)

1 komentar:

Anonim mengatakan...

hey...emmh...aq pernah ketemu kamu loh di dephumkam (yang sempat ngajak ngobrol bibi kamu_red), hohoho tapi bukan si abang P yah..yang bawa banyak materai ;D eniwe, foto yang di profilenya pas masih muda yah? beda beet...hahaha ^^ no offense bro, nice to read your blog;)