Rabu, 03 Desember 2008

Berburu Tikus

Tak terbayang sebelumnya bahwa saya akan pernah berurusan dengan tikus. Tepatnya, tikus rumah (house mouse, mus musculus). Cerita tentang tikus ini bermula dari kekesalan seluruh penghuni rumah saya atas ulah tikus-tikus ini, terutama di dapur.

Dapur kami bukanlah dapur modern. Dapur kami adalah dapur tradisional yang menggunakan tungku dan kayu bakar. Kompor minyak tanah hanya digunakan sesekali dalam situasi darurat. Lantai dapur kami bukan dari batu ubin, tapi plester biasa. Lantai plester itu sudah tak rapi lagi dan banyak bercampur tanah yang diangkut oleh alas kaki dari luar. Kualitas plesternya pun tak cukup bagus, termasuk di ruang makan kecil dan sederhana yang langsung bersebelahan di barat dapur. Ruang makan yang dihubungkan ke dapur dengan pintu itu juga berfungsi menyimpan alat-alat dapur dan makanan, karena jika makanan diletakkan di dapur saat malam, kucing-kucing garong ternyata sudah punya jalur teraman untuk masuk dan menjarah: melalui saluran air tempat mencuci di salah satu pojok dapur.

Nah, tikus-tikus rumah itu rupanya telah bersarang di dapur kami. Tak hanya bersembunyi di antara barang-barang perabot dan bahan-bahan dapur, tikus-tikus itu juga punya sarang di bawah tanah di salah satu sudut ruang makan dan di wilayah dapur. Lantai plester di ruang makan itu menyerah tak berdaya atas pasukan tikus yang ternyata juga pintar menggali. Jadilah campuran pasir dan semen di ruang makan itu berantakan, retak-retak, dan berlubang.

Di ruang makan, tikus menjadi aktor pengganti yang baik dan cerdas yang mengancam keamanan makanan-makanan kami. Mereka menggantikan peran para kucing garong yang belakangan sudah tak cukup kerasan di lingkungan rumah kami karena lebih sering tak berhasil menemukan target incaran mereka. Sering kali kami menemukan makanan yang bahkan sudah diamankan dalam semacam kurung-plastik-makanan berhasil dijarah para tikus yang rakus itu. Saya baru sadar bahwa mereka ternyata makhluk yang cukup cerdas. Mereka begitu lihai menyelinap masuk ke kurung-plastik-makanan itu tanpa meninggalkan jejak kriminalitas yang kuat untuk bisa dibuktikan di depan majelis pengadilan.

Tambah hari, kelakuan para tikus ini sungguh membuat kesal. Mereka terkadang juga melahap buah-buahan yang juga disimpan di dapur, seperti pisang, mangga, atau semangka. Saya kadang tersenyum sendiri melihat sisa-sisa semangka yang berantakan dimakan tikus. Saya jadi teringat Afrizal Malna. Mungkin, suatu saat, jika dia sempat berkunjung ke dapur kami, dia akan pulang dan kemudian menulis puisi berjudul “Biografi Tikus dalam Semangka”.

Yang lebih menyebalkan, para tikus itu sebagian ada yang juga masuk ke rumah. Beberapa bulan yang lalu, saat kami membetulkan atap dan saluran air di genteng rumah, si tukang menemukan sarang tikus di sana. Rupanya para tikus itu sudah benar-benar menyebar ke mana-mana. Hingga suatu hari, salah satu tikus itu ada yang benar-benar membuat saya kesal. Ia menggigit kabel audio Altec Lansing ACS 22 yang saya beli 25 Oktober 1999 silam, sehingga saat menghidupkan komputer di kamar, tak ada lagi suara “start windows” yang saya dengar. Dengan susah payah, saya menyambung serat-serat kabel audio yang sangat halus korban gigitan si tikus nakal.

Mempertimbangkan polah-tingkah tikus-tikus ini, kami pun berusaha mengambil langkah-langkah serius. Berbagai jenis senjata untuk melumpuhkan kawanan hewan pengerat ini kami siapkan, mulai dari lem tikus, berbagai perangkap yang biasa ditemukan di pasar, atau racun tikus yang mengklaim ampuh. Salah satu racun tikus yang kami beli membuka sedikit wawasan tentang tikus rumah. Katanya, tikus itu tergolong makhluk yang cerdas. Mereka begitu pintar dan dapat belajar dari pengalaman rekan-rekannya. Jika ada salah satu di antara mereka yang mati gara-gara makan sesuatu makanan, maka tikus yang lain akan menghindari makanan itu. Karena itulah, salah satu racun tikus yang kami beli menjelaskan di kemasannya bahwa produk racun itu tak langsung bereaksi, tapi baru akan bekerja beberapa hari kemudian untuk membunuh si korban perlahan-lahan.

Akan tetapi, senjata-senjata kimia dan perangkap tradisional itu tak mampu menahan laju serbuan para tikus. Tentu saja. Selain karena mereka lihai menyelamatkan diri dari jebakan-jekaban, tikus-tikus itu setiap tahun beranak-pinak 5-10 kali. Dan setiap melahirkan, tikus betina akan beranak 3-14 ekor tikus (rata-rata 6-8 ekor). Laju pertambahan penduduk negeri tikus tak mampu dibendung dengan perburuan yang ternyata masih tidak efektif.

Akhirnya, kami pun segera membentuk tim khusus. Adik saya menjadi koordinator Tim Pemburu Tikus. Anggota tim utama terdiri dari dua orang: saya dan salah satu rekan dari Kemisan. Kami diberi wewenang penuh untuk menyelesaikan masalah ini.

Maka, awal Oktober kemarin, saat suasana lebaran masih belum hilang, pembantaian yang sebenarnya pun dimulai. Kami mulai beraksi. Langkah pertama, kami mencoba mencari informasi umum tentang karakter para tikus ini. Alhamdulillah, Wikipedia menyediakan informasi yang cukup lengkap. Revolusi akan kami lancarkan dengan landasan teks yang meski tak ideologis—seperti layaknya traktat-traktat Karl Marx dan Lenin yang turut berperan dalam Revolusi Rusia—tapi terasa cukup membantu kelancaran operasi dan penyusunan strategi di lapangan.

Kami langsung berburu di markas-markas utama mereka di wilayah dapur. Wilayah-wilayah lembab dan aman yang menjadi tempat penyimpanan bahan-bahan dapur. Sungguh kami tak menduga bahwa memang di situlah salah satu sarang utama mereka. Tempat semacam itu menjadi persembunyian yang cukup aman. Mereka juga membuat lubang-lubang yang mirip bunker atau lorong jika ada serangan mendadak. Maka kami pun pertama menangani bunker-bunker dan terowongan itu. Kami memasukkan arang dan membakar mulut lubang sebagai upaya awal untuk mengusir dan melumpuhkan mereka yang ada di dalam. Setelah itu, kami pun menutup lubang itu dengan tanah dan batu dengan rapat. Lubang-lubang yang dibuat para tikus di sudut ruangan juga kami hancurkan sekalian, agar tak bisa berfungsi sebagai tempat pengungsian jika serbuan dilancarkan.

Aksi perburuan yang sesungguhnya pun segera dilangsungkan. Satu per satu, tikus-tikus itu kami tangkap dengan alat-alat sederhana: bambu atau kayu untuk melumpuhkan dan membunuh mereka.

Perburuan berlangsung seru. Untuk menangkap seekor tikus yang berhasil ditemukan persembunyiannya, kami kadang membutuhkan waktu hingga 30 menit. Benar, tikus rumah memang makhluk yang cerdas. Mereka cergas memanjat, melompat, dan bahkan berenang. Saya telah membuktikannya, saat menangkap tikus terbesar yang kami tangkap di pagi itu. Tikus itu semula bersembunyi di bawah piring yang tertangkup. Jika bukan karena ekor panjangnya yang kelihatan menjulur ke luar piring, kami tak akan menemukannya. Lagi pula, ekornya itu berada di sudut gelap dan baru kami temukan saat disorot senter. Langkah taktis segera diambil. Perabot-perabot di sekitar piring tempat persembunyian itu pelan-pelan kami singkirkan, dipindah ke tempat aman. Si tikus diam saja. Ia merasa telah menemukan tempat suaka paling aman. Tapi ia keliru.

Saat semuanya sudah bersih, kami kemudian berdiskusi sebentar untuk mengambil keputusan: bagaimana kami akan menyergapnya. Dengan menargetkan ekor panjangnya dulu, atau dengan serangan mendadak dengan mengambil piring itu secepatnya sambil melancarkan pukulan-pukulan mematikan?

Kami tak mau berlama-lama dan menunda membuat keputusan. Kami segera mencongkel piring itu dengan ujung bambu. Si tikus secepat kilat melesat ke arah timur lalu berbelok ke selatan berlari di pinggiran jeding. Saya sempat memukulkan bambu ke pinggiran jeding itu, yang membuat langkah si tikus berbelok ke arah timur. Ia terjatuh ke dalam bak tempat air. Akan tetapi, tanpa saya bayangkan sebelumnya, tiba-tiba ia terus berlari di atas air ke arah selatan dan keluar dari bak. Saat di atas air, ia tampak seperti berselancar di siang hari di pantai Kuta. Tapi di selatan, ia langsung terjatuh ke dalam kotak besar tempat mencuci piring-piring kotor.

Kami segera memburunya, memukul-mukulkan bambu dan kayu secara sporadis ke kotak besar yang berair kotor itu. Rupanya si tikus masih tangkas untuk keluar dari situasi kritis yang dihadapinya. Ia memanjat dinding setinggi satu meteran itu dan berhasil melewati kami dan mengamankan diri di sisi selatan dapur, di bawah perabot dan di antara berbagai bahan dapur. Ya, saya bayangkan, ia seperti Zinadine Zidane yang menggiring bola dan berhasil melewati bek-bek tangguh kelas dunia.

Kami tak ingin memberinya kesempatan rehat. Kami terus memburu ke arah ia menghilang. Si tikus, yang mungkin juga panik, akhirnya keluar dan kembali ke arah timur, kembali ke kotak besar tempat mencuci piring itu.Dan ternyata, takdir yang tercatat telah menunggu untuk dirinya: ia kemudian mati di situ, terkena pukulan keras bambu rekan tim saya saat ia berada di sudut timur laut, di antara air kotor yang menggenang. Pukulan keras itu lalu dilanjutkan dengan tekanan kuat yang dihunjamkan ke tubuhnya yang sudah kepayahan. Ada suara mengerang bercampur mencicit sebentar.

Salah satu bagian yang cukup menarik diceritakan adalah saat kami berhasil menemukan bayi-bayi tikus yang masih tak berdaya. Jika dicocokkan dengan informasi dari Wikipedia, sepertinya tikus-tikus yunior itu umurnya masih kurang dari tiga hari, karena bulu-bulunya belum tumbuh dan matanya masih tertutup. Kami menemukan enam ekor bayi tikus itu saat sedang memburu seekor tikus yang melarikan diri ke pojok gelap yang lantainya sudah tak keruan bercampur tanah. Di saat itulah, saat semuanya menahan napas dan mencoba memasang telinga dan siap beraksi, saya mendengar suara mencicit yang begitu halus dari salah satu sudut gelap di dekat kami berdiri. Saat menelusuri sumber suara, kami pun mendapatkan keenam bayi tikus yang masih kemerahan itu. Kami segera mengevakuasi mereka, meletakkannya di pot plastik, dan meletakkannya di halaman.

Perburuan dua hari yang kami lakukan dari pagi hingga siang hari itu ternyata cukup efektif untuk memberi efek jera. Setelah perburuan dan pembantaian, tikus-tikus tak kelihatan lalu-lalang seenaknya di dapur. Kami pun segera mengambil langkah-langkah lanjutan untuk mengamankan dapur dan ruang makan dari generasi kedua dari tikus-tikus rumah itu. Lantai ruang makan yang sudah diobrak-abrik tikus itu kami perbaiki sekalian—termasuk juga sudut-sudut gelap di dapur yang berpotensi menjadi sarang yang aman.

Setelah langkah-langkah itu diambil, laporan tentang tikus di dapur tak kami dengar lagi. Cuma saja, beberapa hari yang lalu ada seekor tikus yang masuk ke rumah. Si tikus ini sempat juga bermain-main ke kamar saya saat malam, sehingga membuat tidur saya terganggu. Karena dibuat kesal, keesokan paginya adik saya memburu tikus yang terjebak di salah satu kamar rumah. Pintu kamar ditutup rapat. Barang-barang ditata untuk memudahkan perburuan. Setelah berlangsung hampir satu jam, si tikus terjebak karena bersembunyi di gulungan tikar pandan di atas lemari. Tim segera beraksi. Dalam waktu yang bersamaan, saya dan adik saya menutup kedua ujung lubang gulungan tikar itu dengan kertas yang digumpal, lalu segera melipat ujungnya, untuk meyakinkan agar si tikus tak bisa keluar. Gulungan tikar itu pun kami turunkan dari lemari, dan kemudian dibawa ke halaman madrasah.

Saat itu masih sekitar menjelang jam tujuh pagi. Murid-murid di sekolah keheranan melihat kami berdua membawa gulungan tikar dan sepasang bambu di tangan. Gulungan tikar itu pun kami letakkan di tengah halaman. Kedua lubang di ujungnya masih tertutup. Kami mengambil kuda-kuda. Saya mendorong gulungan tikar itu sehingga membuka. Begitu terbuka, si tikus sadar bahwa ia berada di bawah terik matahari yang amat ia benci. Seketika ia mengambil langkah seribu, melesat ke arah utara lurus menuju emperan perpus. Bambu dan kayu di tangan kami terdengar membentur aspal karena pukulan kami tak mengenai si tikus. Si tikus sempat bersembunyi sebentar di rimbunan bunga-bunga depan emperan perpus, tapi segera keluar dan lari ke arah timur, dan berbelok ke utara. Adik saya, yang lebih dulu bersiap di arah timur, segera mengejarnya. Akhirnya, si tikus pun tak berdaya saat adik saya berhasil memukulnya di utara gedung perpus.

Semenjak itu, kami benar-benar tak mendengar kabar lagi tentang tikus. Entah ke mana mereka bersembunyi (atau bermigrasi?). Mungkinkah di antara mereka ada yang kembali ke tanah leluhur mereka di India Utara?

Perburuan tikus rumah berakhir sudah. Alhamdulillah, urusan kami dengan tikus untuk sementara selesai. Saya tidak tahu, apakah suatu saat saya akan kembali berurusan dengan tikus-tikus itu. Atau, bisa jadi tikus-tikus jenis yang lain yang akan saya jumpai di lain waktu. Wallahualam.

Foto tikus paling atas bersumber dari Wikipedia. Foto lainnya diambil dari koleksi pribadi.

7 komentar:

Anonim mengatakan...

kok bayinya ada yang tertangkap, diuntal in the flesh katanya bikin kita kuat. coba saja. Saya juga pernah berurusan dengan tikus saat ruang mesin saya jadi tempat bersembunyi dan meninggalkan kencing dan tahinya. saya pake DORA dan sepertinya ampuh.

Muhammad-Affan mengatakan...

meski terkadang menjengkelkan, wajahnya tetap imut imut ya Kak..

hh..ngegemmesyin..

Muhammad Izzy mengatakan...

Kok beda ya dengan tikus-tikus di rumah. di rumah saya tikus biasa bantuin memanen kacang tanah. sampe' pemiliknya gak usah sibuk-sibuk datang ke sawah

Sunan Achmad Sunandar mengatakan...

Saya seperti terseret dalam medan pertempuran melawan tentara tikus, dan melihat sendiri kelihaian tentara tikus saat menghindari lawan yang diamtsalkan seperti gerakan step-overnya zidane. Sepertinya, perang itu seru banget yah. Dan, gambar-gambarnya itu, loh, bagus banget. Ada tentara yang mati terjepit, tergeletak tanpa nafas, bayi-bayi tikus yang tak berdaya, hehe.

Anonim mengatakan...

tulisannay keren. tapi foto-fotonya itu lho...hiiii sangat menganggu perasaan....hiii..........

Anonim mengatakan...

Wah keren ya.
RUmah saya juga banyak tikus neh gan.
Saya semalam beli senapan angin, buat hobi dan terkhusus untuk berburu tikus. Siap mental sekalian olah raga.
Bisa bantu gak gan, bagaimana cara berburu atau memancing tikus agar masuk dalam posisi siap saya tembak?

M Mushthafa mengatakan...

@doydan: pengalaman saya, mancingnya pake cara kekerasan. karena tampaknya mereka itu cukup cerdas. kalau hanya pake umpan biasa, agak sulit. maaf kalau kurang membantu. semoga sukses.
@heru: iya juga ya, fotonya cukup sadis. maaf kalau kurang berkenan.