Jumat, 21 Desember 2001

Mengasah Kepekaan Kemanusiaan

Diskursus masalah hakikat manusia yang kemudian menerbitkan kesadaran nilai martabat kemanusiaan sebenarnya sudah cukup lama dilakukan, terutama di kalangan para filsuf. Demikian pula semangat rasa kemanusiaan yang menjadi spirit perjuangan sosial sudah cukup purba dimiliki oleh pelbagai kekuatan sosial, seperti agama, atau gerakan politik tertentu. Akan tetapi, pengakuan martabat manusia dalam konteks kehidupan bernegara yang lebih luas sepertinya memang merupakan sesuatu yang melalui proses panjang dan tidak serta merta terdefinisikan secara pasti. Dari sini sebenarnya tampak betapa yang namanya Hak-Hak Asasi Manusia—yang merupakan rumusan nilai martabat kemanusiaa—terbentuk secara historis-sosiologis sesuai dengan dialektika masyarakat. Lokalitas epistemologis terbentuknya nilai inilah yang memicu perdebatan masalah universalitas HAM itu sendiri.
Tulisan berikut tidak akan mengurai perdebatan klasik tersebut, tapi lebih ingin menyoroti masalah kepekaan kemanusiaan yang dalam bentangan panjang sejarah perjuangan HAM mengalami pasang-surut. Yang menarik, pasang-surut kepekaan kemanusiaan itu justru banyak pula ditentukan oleh berbagai institusi sosial yang mula-mula meniatkan untuk memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan itu sendiri. Ambil saja contoh dua institusi sosial yang sudah cukup akrab: agama dan negara. Seringkali tindakan kekerasan yang mencederai nilai kemanusiaan dilakukan atas nama panji agama atau juga atas nama pembangunan oleh aparat negara. Penghalalan darah kelompok lain oleh suatu kelompok agama misalnya adalah suatu bentuk ekstrimisme yang mengakumulasi melahirkan keabaian orang terhadap martabat kemanusiaan. Sementara negara dengan kekuasaannya yang menggurita dapat dengan seenaknya menggusur warga miskin di perkotaan, misalnya dengan alasan penertiban dan berlindung di balik dalih peraturan.
Dalam terang pemahaman HAM yang bersifat historis-sosiologis, fenomena semacam ini dari suatu perspektif memang mengandung kewajaran, seiring dengan arus perkembangan kehidupan sosial yang semakin tak terkontrol. Anthony Giddens (1999) mengatakan bahwa proses globalisasi saat ini telah menjebak manusia dewasa dalam situasi hiruk-pikuk keserbatakpastian, yang merupakan konsekuensi logis yang inheren dari sistem relasi yang diciptakan manusia sendiri (manufactured uncertainties). Sementara harkat kemanusiaan memang amat terkait dengan perkembangan pengalaman hidup manusia. Artinya, kesadaran kemanusiaan muncul terutama sebagai respons negatif terhadap ancaman yang berusaha merenggutnya.
Pernyataan Hak Asasi Manusia yang diterima Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 10 Desember 1948 misalnya tidak hanya memuat hak-hak asasi yang diperjuangkan oleh liberalisme atau sosialisme di Barat, tapi juga mencerminkan pengalaman penindasan oleh rezim-rezim fasis dan nasional-sosialis tahun 1920-an hinggal 1940-an. Kemudian pada tanggal 9 Desember 1983 lahir Declaration of the Basic Duties of ASEAN Peoples and Governments yang tampak amat memperhatikan perkembangan konstelasi politik regional Asia (Franz Magnis-Suseno, 1994: 125).
Jadi, jelas bahwa rumusan hak-hak asasi yang merupakan salah satu representasi martabat kemanusiaan ini lahir dari pengalaman pergaulan manusia dalam kehidupan masyarakat.
* * *
Mengamati sejumlah proses sosial yang berlangsung di negeri ini, maka penting untuk dipikirkan agar elit-elit bangsa ini merenung ulang untuk mendapatkan rasa kepekaan kemanusiaan yang wajar. Persoalan perlakuan manusiawi sesuai harkat kemanusiaan terhadap warga negara di negeri ini memang cukup banyak ditentukan oleh kesadaran dan perilaku elit. Selama berpuluh-puluh tahun masyarakat Indonesia sama sekali tidak dididik untuk memiliki kesadaran kritis atas hak-hak asasi yang dimilikinya. Ini adalah bagian dari strategi negara untuk melanggengkan tindakan penindasan dan represi yang dilakukannya.
Gelombang reformasi dan terbukanya akses masyarakat luas terhadap informasi sedikit demi sedikit telah menyemaikan benih-benih kesadaran kritis masyarakat terhadap hak-hak asasi yang memang dimilikinya itu. Meski demikian, peranan para elit sosial dalam konteks ini masih amat dominan, baik itu elit negara (politisi di eksekutif, legislatif, ataupun yudikatif), elit agama (ulama, rohaniawan, pemuka agama), ataupun elit akademik (ilmuwan, pengamat, peneliti). Hal ini karena berbagai institusi sosial itu saat ini justru berpeluang menjadi aktor pembunuh rasa kepekaan kemanusiaan setelah dieksploitasi oleh setting sosial modernitas yang penuh paradoks.
Pemenuhan hak-hak asasi sosial oleh negara terhadap warganya misalnya saat ini di negeri kita menjadi sesuatu yang betul-betul sulit. Di tengah suasana krisis multidimensional yang berkepanjangan, beban 40 juta penganggur—demikian menurut sebuah data—menjadi sesuatu yang amat berat. Sementara berbagai indikasi tindakan korupsi masih belum juga terselesaikan dengan baik di jalur hukum, sehingga rasa keadilan rakyat yang sudah lama menderita itu belum juga terpenuhi. Bahkan, belakangan muncul tindakan penggusuran yang tidak hanya terjadi di Jakarta, tapi juga di daerah-daerah.
Sudah saatnya para pengambil kebijakan di negeri ini harus berpikir ulang tentang langkah-langkah konkret yang perlu diambil menangani masalah ini. Tidak terpenuhinya kesamaan minimal, terutama di bidang ekonomi, antara semua warga negara pada gilirannya akan menularkan bentuk ketidakadilan di bidang lainnya: sosial, politik, budaya, dan sebagainya. Peluang-peluang sosial terhadap mereka yang masih lemah perlu mendapat prioritas, sehingga akses mereka terhadap pekerjaan, keterampilan, pendidikan, informasi, teknologi, lebih terbuka lebar. Langkah semacam ini terasa lebih penting tinimbang memberi mereka segepok uang tanpa dapat mengelolanya dengan baik.
Dari sini terlihat betapa pemenuhan hak-hak asasi manusia kepada segenap warga negara adalah merupakan sine-qua-non bagi pembangunan yang adil dan beradab. Pembangunan hanya dapat disebut maju bila menunjang perkembangan manusia secara utuh, yakni bila perlakuan hormat yang utuh terhadap hak-hak asasi manusia dijunjung tinggi (Franz Magnis-Suseno, 1995, 222-223).
Elit intelektual juga telah mendapat kritik pedas dalam hal perhatiannya terhadap pengabdian martabat kemanusiaan. Adalah Amartya Sen, peraih Nobel Ekonomi 1998 dari India, dalam On Ethics and Economics (1988) yang secara lantang mengatakan bahwa selama ini ilmu ekonomi cenderung lebih berorientasi pada perkembangan pasar dan bisnis tingkat dunia saja tanpa memperhatikan proses-proses pembangunan ekonomi yang menurut kenyataannya telah merampas hak-hak asasi manusia. Untuk itulah, Sen dalam berbagai kajiannya selalu berusaha mempertemukan ekonomi dan etika—yang menurutnya juga sudah pernah diulas Aristoteles. Asumsi dasarnya amat sederhana: kegiatan ekonomi pada dasarnya adalah suatu kegiatan manusiawi biasa yang karena itu semestinya juga memperhatikan segi-segi etis. Dengan memberi perhatian yang lebih besar secara eksplisit terhadap pertimbangan-pertimbangan etis inilah, lanjut Sen, ilmu ekonomi nantinya dapat lebih bersifat efektif mengatasi persoalan-persoalan ekonomi masyarakat yang sebenarnya.
Demikian juga elit-elit agama perlu juga mendapat kritik atas cara-cara berpikir yang bersifat dogmatis terhadap ajaran agama, sehingga menghilangkan sifat manusiawi agama itu sendiri. Sikap semacam ini terbukti hanya akan melahirkan sikap infantilisme keberagamaan dan justru hanya semakin menyumbangkan tindakan kekerasan. Abdurrahman Wahid (1999: 167) mengkritik upaya menjadi agama sebagai alternatif terhadap kekuasaan. Menurutnya, ini justru akan berpotensi mengundang sikap represif agama untuk mempertahankan dirinya. Bagi Gus Dur, agama hanya berfungsi suplementer dan hanya menyediakan "sarana" bagi proses perubahan, karena dunia berkembang menurut "dunianya" sendiri.
Sementara itu, I. Bambang Sugiharto dan Agus Rachmat W. (2000: 263) menyerukan agar agama seharusnya memerlukan suatu lingkaran hermeneutik kritis, yakni suatu penafsiran timbal-balik antara paradigma agama dan modernitas: paradigma modern dikritik oleh agama, dan agama juga perlu dikritik oleh paradigma modern, untuk menemukan kembali energi pembebasan (humanisme) yang dimilikinya.
***
Kekuatan yang dimiliki negara dan para elit yang berada di dalamnya—selain juga elit sosial yang lain—memang sebegitu besar. Perhatian mereka terhadap rakyat kecil yang belum sepenuhnya terlindungi hak-hak asasinya mestinya harus lebih ditampakkan. Ini bukannya suatu bentuk sikap mengemis yang berlebihan, tapi lebih berdasar pada rasa keprihatinan mendalam atas nasib mereka yang terpinggirkan. Selain itu, perlakuan manusiawi antara sesama manusia tidak lain merupakan tolok ukur keberadaban sebuah masyarakat dan negara.
Salah satu tantangan yang dihadapi cara berpikir para elit saat ini adalah pola-pola pikir birokratis yang mengabaikan rasa kepekaan kemanusiaan. Fenomena kemanusiaan hanya dilihat sebagai data kering, data statistik yang tidak menyentuh naluri kemanusiaan. Di sinilah, maka usaha penegakan HAM, baik yang bersifat kultural (konsientisasi, penyadaran) maupun struktural pada dasarnya adalah suatu praksis etis yang pada momen-momen tertentu kadang harus berhadapan dengan perangkat birokrasi modern yang bersifat impersonal. Jadinya, rasa tanggung jawab sosial menjadi terkikis ditelan pola rasionalitas prosedural.
Berbagai tantangan inilah yang sudah waktunya dijawab oleh para elit dengan tindakan-tindakan nyata, bukannya retorika belaka.

Tulisan ini dimuat di Harian Kompas, 21 Desember 2001.

Read More..

Minggu, 09 Desember 2001

Belajar dari Pengalaman Islam di Timur Tengah

Judul Buku: Islam Garda Depan: Mosaik Pemikiran Islam Timur Tengah
Editor: M. Aunul Abied Shah, et al.
Penerbit: Mizan, Bandung
Cetakan: Pertama, Juli 2001
Tebal: 350 halaman (termasuk indeks)


Adalah sesuatu yang sangat ironis bila kobaran elan vital agama di suatu kawasan tiba-tiba lindap diterpa angin waktu. Apalagi hal itu terjadi di tempat kelahiran agama itu sendiri. Ini yang dialami oleh umat Islam di kawasan Timur Tengah ketika beberapa abad terakhir mengalami kemunduran luar biasa baik di bidang sosial, budaya, politik, ekonomi dan intelektual. Diawali dengan masuknya kekuatan kolonialisme Barat di Mesir pada akhir abad ke-18, runtuhnya kekhalifahan Turki Utsmani akibat kolonialisme Barat, dan dilanjutkan dengan kekalahan bangsa Arab melawan Israel di tahun 1967, kaum muslim di Timur Tengah digugah untuk mempertanyakan kembali doktrin agama Islam yang dipeluknya: di mana letak kelemahan ajaran mereka sehingga semangat agama mereka itu tidak mampu membendung arus serbuan kekuatan asing, baik yang bersifat fisik maupun yang bersifat sosio-kultural?
Buku yang ditulis bersama oleh sekelompok mahasiswa Indonesia yang sedang menempuh studi di Mesir ini merupakan sebuah mosaik dan pengantar mengenal pergulatan beberapa intelektual muslim Timur Tengah yang berusaha memaknai dan mengkritisi kembali warisan ajaran agama Islam untuk menjawab tantangan zaman yang dihadapinya itu. Ada dua belas tokoh yang diperkenalkan, yakni: Hasan Al-Banna, Abd Al-Halim Mahmud, Muhammad Quthb, Amin Al-Khulli, Malak Hifni Nashif Bek, Muhammad Al-Ghazali, Muhammad Imarah, Hassan Hanafi, Muhammad Syahrur, Ali Harb, Nashr Hamid Abu Zaid, dan Muhammad Al-Jabiri.
Kedua belas tokoh muslim ini sebenarnya tidak semuanya seorang intelektual murni, sebab ada beberapa di antaranya yang juga giat dalam kegiatan-kegiatan yang cenderung bersifat politik praktis dalam kerangka memenuhi motivasi ajaran agamanya. Kedua belas tokoh ini pula kurang lebih merangkum berbagai kecenderungan aliran pemikiran yang berusaha menjawab persoalan benturan Islam dan modernitas di kawasan Timur Tengah.
Tokoh pertama yang dipaparkan dalam buku ini adalah Hasan Al-Banna, seorang tokoh pergerakan Islam di Mesir yang juga adalah pendiri organisasi Ikhwan Al-Muslimin. Seperti diketahui bersama, Hasan Al-Banna dengan Ikhwan Al-Muslimin-nya telah banyak memberi inspirasi bagi kelompok muslim lainnya di berbagai belahan dunia, terutama dalam kerangka pembentukan komunitas muslim yang kuat yang tidak lain adalah cita-cita utama organisasi ini.
Setting sosial Islam di Mesir awal abad ke-20 yang mengalami berbagai kemunduran telah mendorong Al-Banna untuk mencari pemecahan yang kurang lebih bersifat ajeg dan kuat, yakni dengan memperkokoh persatuan umat Islam melalui sebuah wadah organisasi serta bersama-sama membangkitkan kembali semangat kemurnian ajaran agama yang nyaris hilang melalui gerakan dakwah yang intens. Dakwah di sini dimulai dari level individu, keluarga, masyarakat, dan komunitas negara dan pemerintahan. Di sini terlihat betapa pada akhirnya pemikiran dan pergerakan Al-Banna banyak bersentuhan dengan wilayah politik, karena dalam pandangan Al-Banna kaum muslim selama ini hidup di bawah payung negara sekuler, sehingga sulit mengaktualisasikan ajaran-ajarannya.
Sementara itu Hassan Hanafi—tokoh lain yang juga lahir di Mesir—berusaha melihat warisan pemikiran Islam dan situasi kekinian yang dihadapinya di tengah-tengah hegemoni kebudayaan asing. Ada tiga poin perhatian dari proyek intelektual Hassan Hanafi, yakni upaya penyikapan terhadap realitas kekinian dengan melakukan rekonstruksi terhadap tradisi (turats), penegasan posisi di hadapan kebudayaan Barat, dan sikap kritis terhadap realitas kekinian.
Turats (tradisi) yang dimiliki umat Islam menurut Hassan Hanafi selama ini telah banyak tercemari oleh hegemoni feodalisme yang mencekam yang tidak lain akibat ulah tangan kotor para penguasa, sehingga menyisihkan kelompok-kelompok tertindas. Untuk itulah, catatan penting Hassan Hanafi adalah ajakannya untuk bersama-sama mengeksplorasi kembali elemen-elemen budaya, kesadaran berpikir, dan potensi yang hidup dalam ajaran-ajaran Islam itu demi kepentingan kelompok-kelompok tertindas. Turats, bagi Hassan Hanafi, harus mampu menjadi titik tolak kekuatan yang revolusioner yang membebaskan bagi umat Islam. Dari sinilah lahir sebuah istilah yang cukup unik dari Hassan Hanafi, yakni Islam Kiri (Al-Yasar Al-Islami).
Proyek intelektual Hassan Hanafi penting lainnya adalah gagasannya tentang Oksidentalisme. Oksidentalisme yang secara sederhana berarti studi tentang ke-Barat-an ini dimaksudkan untuk mempertegas posisi ego (kebudayaan masyarakat Timur, Islam) di hadapan the other (kebudayaan masyarakat Barat). Selama ini Identitas kultural masyarakat Timur secara lambat-laun tersingkir dan ikut terlebur dalam identitas kultural masyarakat Barat bersama-sama dengan arus globalisasi yang hegemonik dan kian tak terbendung.
Selain Hassan Hanafi, ada pula Nashr Hamid Abu Zaid yang mengajukan kritik mendasar terhadap konstruksi nalar umat Islam memandang kitab sucinya, Al-Qur’an. Abu Zaid mengajak umat Islam untuk mengkritisi kembali pemahaman terhadap teks Al-Qur’an. Kritik pedas Hassan Hanafi terhadap nalar umat Islam ini bertolak dari keprihatinannya terhadap studi ilmu-ilmu Al-Qur’an yang selama ini berkembang, yang cenderung memperlakukan teks (Al-Qur’an) secara terlalu istimewa (mensakralkan teks secara berlebihan), sehingga menjauhkan karakter tekstual wahyu (Al-Qur’an) yang nyata-nyata dimilikinya. Akibatnya, wahyu Tuhan yang awalnya ditujukan kepada manusia sebagai anggota masyarakat dengan tujuan untuk merekonstruksi realitas demi kebaikan dan kesejahteraan manusia, lambat-laun beralih fungsi lebih dalam wilayah ilustratif-ikonik, yakni dalam kerangka gerak menaik manusia menuju Tuhan.
Untuk itu, Abu Zaid memberikan tawaran kepada umat Islam untuk mengembalikan kaitan antara kajian-kajian Al-Qur’an dengan kajian-kajian kritik sastra. Dengan pendekatan ini Al-Qur’an memang dilihat sebagai sebuah respon kultural yang memiliki akar-akar sosiologis.
* * *
Pro dan kontra yang lahir secara alamiah sesuai dengan kecenderungan keyakinan agama yang sudah dimiliki masyarakat mesti terlihat dalam menanggapi pemikiran-pemikiran tokoh dalam buku ini. Dalam buku ini sendiri digambarkan bagaimana beberapa kelompok tertentu melihat beberapa intelektual ini bergerak terlalu berani karena mengotak-atik kesucian wahyu Tuhan—seperti yang dilakukan Abu Zaid dan juga Ali Harb.Akan tetapi, justru dari berbagai perbedaan itulah kita dapat banyak belajar untuk kemudian menilai dimana letak kelebihan dan kekurangannya.
Terlepas dari itu semua, buku ini memiliki makna penting bagi umat Islam di Indonesia. Pertama-tama buku ini jelas berguna sebagai pengantar pengenalan yang cukup untuk memahami perkembangan pemikiran Islam di Timur Tengah. Yang menarik karena beberapa respon intelektual yang terjadi di Timur Tengah dan tergambarkan dalam beberapa tokoh di buku ini ternyata memiliki pengaruh yang cukup luas bagi umat Islam Indonesia dewasa ini.
Buku ini pula menunjukkan kekayaan khazanah umat Islam yang mestinya disadari dan digali bersama untuk membangkitkan kesadaran keberagamaannya di tengah situasi global. Pada bagian-bagian tertentu pula, beberapa tokoh dalam buku ini memperlihatkan kritiknya baik terhadap dogmatisme-ideologis umat Islam maupun terhadap abainya umat Islam membangun komunitas yang kokoh dan bersatu.
Sebuah pemikiran atau ajaran memang dapat berfungsi sebagai motor penggerak laju peradaban. Akan tetapi bila ia dibiarkan tergenangi nalar ideologis dan kejumudan dogmatisme, maka bisa saja ia berubah wajah menjadi hantu yang menakutkan. Bersama buku ini, kita bersama belajar terhadap pengalaman umat Islam di Timur Tengah untuk memaknai dan menyikapi warisan ajaran dan pemikiran Islam secara positif dan konstruktif, untuk membangun masa depan kemanusiaan yang lebih baik.

Tulisan ini dimuat di Harian Solopos, 9 Desember 2001.

Read More..

Minggu, 02 Desember 2001

Akar Kebencian Terhadap Tentara

Judul Buku: Militer dan Politik Kekerasan Orde Baru
Penulis : Ikrar Nusa Bhakti, dkk (Tim Peneliti LIPI)
Penerbit: Mizan, Bandung bekerjasama dengan PPW-LIPI Jakarta
Cetakan: Pertama, Juli 2001
Tebal: 303 halaman


Stigma negatif terhadap kelompok tentara (TNI) sudah sedemikian mengendap dan nyaris berkarat dalam kesadaran masyarakat. Kenyataan ini memang cukup mudah untuk dimengerti. Betapa tidak, sepanjang 30 tahun lebih rezim Orde Baru berkuasa, tentara tidak berperan sebagai penjaga kepentingan nasional, melainkan menjadi pelayan kepentingan penguasa.
Akibatnya, setelah gong reformasi dibunyikan, kelompok tentara (TNI) seperti kehilangan pegangan dan dalam beberapa hal cenderung terpecah ke dalam beberapa kelompok kepentingan. Yang paling mengenaskan adalah bahwa akibat terburuk dari itu semua berdampak dalam performance TNI di era reformasi: ia susah berbuat atau berpartisipasi, karena di samping masih tersisanya antek-antek kekuatan Orde Baru di tubuh TNI, baik yang bersifat struktural maupun personal, rasa percaya diri TNI nyaris tidak ada.

Buku yang disusun oleh Tim Peneliti LIPI ini adalah sebuah upaya rekonstruksi terhadap berbagai perilaku politik TNI selama rezim Orde Baru berkuasa. Dari judul buku ini tampak bahwa TNI diasumsikan menjadi mesin politik kekerasan yang diterapkan Orde Baru. Politik kekerasan ala Orde Baru adalah ideologi kekerasan yang dibangun untuk melegitimasi berbagai kebijakan rezim selama berkuasa. Fokus kajian yang dibidik buku ini adalah berbagai tindakan kekerasan politik Orde Baru yang dikawal oleh TNI dalam meredam berbagai gejolak sosial-politik yang muncul ke permukaan.

Gejolak sosial-politik yang dimaksudkan adalah berbagai usaha perlawanan atau resistensi masyarakat terhadap represi penguasa. Secara lebih khusus buku ini memilih kasus Komando Jihad 1981 dan Tanjung Priok 1984 (kelompok Islam), kekerasan politik dalam pemilu-pemilu Orde Baru (penyerbuan Kantor DPP PDI 27 Juli 1996), aktivis mahasiswa, kelompok-kelompok marginal (petani Kedung Ombo, Nipah, dan Jenggawah), serta kasus kekerasan militer atas gerakan separatisme di Aceh dan Irian Jaya.

Berbagai gejolak sosial-politik yang berkembang di masyarakat itu menurut penelitian buku ini tidak lain bersumber dari tersumbatnya saluran aspirasi rakyat, sehingga pada akhirnya kegeraman masyarakat itu justru seperti menjelma bara dalam sekam yang siap terbakar kapan saja. Logika politik Orde Baru yang menekankan political order demi menopang ideologi pembangunanisme diterapkan dengan menempatkan kelompok TNI sebagai stabilisator politik dan cenderung menjadi penjaga keamanan rezim.

Karena itulah tidak berlebihan bila kemudian dikatakan bahwa berbagai tindakan kekerasan politik yang dilakukan jajaran militer ini disebut sebagai organized political crime. Dengan menggunakan pola yang profesional dan rapi, kalangan tentara ini juga memiliki jalinan kongkalikong yang amat erat dengan kepentingan penguasa.

Hal ini terlihat betul dalam kasus pemilihan umum selama Orde Baru. Setelah melakukan langkah depolitisasi massa terhadap parpol yang ada, rezim Orde Baru kemudian mengerahkan kekuatan tentara untuk menjamin agar partai pemerintah, yakni Golongan Karya, tetap menjadi pemenang pemilu—dengan cara apapun, bahkan dengan kekerasan. Demikian pula ketika militer digunakan untuk meredam aksi para aktivis mahasiswa.

Kasus yang lain adalah ketika terjadi perlawanan rakyat atas kasus sengketa agraria seperti di Kedungombo (Jawa Tengah), Nipah (Madura, Jawa Timur), atau Jenggawah (Jember, Jawa Timur), tentara turun tangan, bahkan dengan tanpa basa basi memuntahkan peluru tajamnya ke barisan rakyat yang melawan.

Lalu pertanyaan yang muncul saat ini—terutama dalam suasana ulang tahun TNI—adalah apa yang harus dilakukan TNI selanjutnya di alam reformasi ini? Seperti kemudian disampaikan di akhir buku ini, jika TNI ingin dihargai dan dicintai kembali oleh rakyat, tak ada cara lain kecuali TNI harus merelakan para anggotanya yang terlibat dengan berbagai kasus kekerasan politik era Orde Baru itu untuk diadili dan berjanji untuk tidak mengulanginya kembali di masa kini dan mendatang. Kemudian para politisi sipil pun harus terampil dan dengan penuh kesadaran berhati-hati agar jangan sampai terjebak dalam rayuan untuk berselingkuh dengan kelompok TNI demi tujuan kekuasaan tertentu.

Buku ini menarik dan penting dibaca, terutama untuk menjadi sahabat kritis terhadap sejarah kelam TNI di era Orde Baru, sehingga akhirnya TNI dapat bersikap yang lebih bijak pada hari-hari mendatang.

Tulisan ini dimuat di Harian Jawa Pos, 2 Desember 2001.

Read More..