Minggu, 17 Maret 2013

Menjadi Kepala Sekolah yang Cakap



Sejak diangkat menjadi kepala sekolah pada pertengahan 2010 yang lalu, saya belum pernah mendapatkan arahan atau pelatihan secara khusus yang berkaitan dengan kecakapan (kompetensi) kepala sekolah. Secara lebih terperinci, saya tidak tahu persis tugas-tugas sebagai kepala sekolah. Sementara itu, latar belakang atau riwayat pendidikan saya bukan dari jurusan kependidikan.

Namun bukan berarti saya bekerja tanpa arahan sama sekali. Di tahun pertama, bersama pengurus sekolah, saya mencoba menegaskan tata kerja struktur pengurus sekolah yang memang sudah ada. Butir-butir dalam tata kerja ini dibuat lebih jelas dan ditegaskan maksud serta cakupan pengertiannya.

Melihat jauh ke belakang, di tahun 2008 saya sebenarnya pernah mengikuti pelatihan untuk kepala sekolah yang diadakan oleh Teacher Institute Sampoerna Foundation, Jakarta. Kebetulan pada waktu itu Pondok Pesantren Annuqayah Guluk-Guluk, Sumenep, sedang menjalin kerja sama dengan Sampoerna Foundation untuk peningkatan mutu madrasah, dan saya bekerja sebagai petugas setempat di Annuqayah yang membantu mengelola kegiatan dalam kerja sama tersebut. Jadi, meski waktu itu saya bukan kepala sekolah, saya juga mengikuti kegiatan pelatihan kepala sekolah itu.

Silabus kegiatannya meliputi beberapa tema, di antaranya: kepemimpinan, pengembangan visi dan misi sekolah, pengembangan kebijakan, pengelolaan keuangan, dan sebagainya.

Namun kegiatan tersebut bagi saya terasa kurang secara jelas memberikan gambaran tugas dan kecakapan yang harus dimiliki seorang kepala sekolah. Mungkin kesan kurang jelas ini saya dapatkan karena waktu itu saya sendiri belum menjadi kepala sekolah.

Karena itu, ketika di pertengahan Januari lalu saya mendapatkan informasi bahwa Pusat Pengembangan Tenaga Kependidikan (Pusbang Tendik) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI akan merekrut tim penulis Bahan Pembelajaran Utama (BPU) untuk pengembangan keprofesian berkelanjutan kepala sekolah, saya seperti menemukan sesuatu yang saya tunggu-tunggu. Ini kesempatan untuk belajar tentang bagaimana menjadi kepala sekolah “yang benar” dalam sudut pandang yang lebih utuh. Tambahan lagi, ini juga kesempatan untuk terlibat dalam sebuah tim kerja yang akan berperan cukup penting di tingkat nasional.

Singkat cerita, pertengahan Februari saya mendapatkan kabar bahwa saya lolos seleksi masuk sebagai salah satu anggota tim penulisan Bahan Pembelajaran Utama (BPU) untuk pengembangan keprofesian berkelanjutan kepala sekolah tersebut.

Lokakarya Penulisan Bahan Pembelajaran Utama (BPU) untuk pengembangan keprofesian berkelanjutan kepala sekolah dilaksanakan selama 5 hari di Hotel Grand Mercure, Jakarta, tepatnya pada tanggal 4-8 Maret yang lalu. Ada sekitar 100 anggota tim yang hadir pada kegiatan ini.

Kenapa anggota timnya bisa banyak sekali?

BPU pengembangan profesi keberlanjutan kepala sekolah dibuat dengan bertitik tolak pada Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 13 Tahun 2007 tentang Standar Kepala Sekolah/Madrasah. Dalam peraturan tersebut, disebutkan ada 33 kecakapan yang harus dimiliki oleh kepala sekolah yang meliputi lima dimensi, yakni kepribadian, manajerial, kewirausahaan, supervisi, dan sosial. Nah, BPU yang disusun ini menargetkan untuk secara berkelanjutan memberi bekal semua kecakapan tersebut kepada kepala sekolah.

Berbeda dengan modul, BPU ini menggunakan pendekatan in-on-in dan berbasis kegiatan. Pendekatan in-on-in maksudnya adalah rancangan kegiatan yang terdiri dari tiga tahapan. Tahap pertama, in service learning (disingkat in-1), kepala sekolah mendapatkan pelatihan awal untuk bekal kecakapan tertentu. Selanjutnya, di tahapan on the job learning (disingkat on), kepala sekolah diberi tugas belajar mandiri untuk melakukan sesuatu di sekolahnya terkait kecakapan tertentu tersebut. Di tahapan ketiga, in service learning (disingkat in-2), kepala sekolah kembali berkumpul untuk berbagi pengalaman dan mengevaluasi atas apa yang sudah dilakukan pada tahap on the job learning.

Tim penyusun BPU dari Pusbang Tendik yang bekerja sama dengan Australia’s Education Partnership with Indonesia (AEPI), School System and Quality (SSQ)-AusAID, telah memetakan ketiga puluh tiga kecakapan tersebut dengan juga mempertimbangkan 8 Standar Nasional Pendidikan. Dalam peta yang dibuat itu, dirumuskan ada tiga level kecakapan kepala sekolah yakni pemula, berpengalaman, dan mahir. Di level pemula, kecakapan yang dimasukkan sifatnya mendasar. Maksudnya, kecakapan yang menjadi syarat utama kepala sekolah untuk dapat melaksanakan tugas dasarnya. Di level berpengalaman, kecakapannya sudah lebih rumit karena beberapa merupakan gabungan dari sejumlah butir kecakapan yang ada dalam Permendiknas 13/2007. Di level mahir, kecakapannya lebih bersifat pengembangan tingkat lanjut.

Secara kasar, dari ketiga level ini, ada 24 BPU yang akan disusun untuk masing-masing jenjang pendidikan. Padahal, BPU ini akan dibuat untuk jenjang SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA, dan SMK/MAK. Artinya, target kasarnya nanti ada sekitar 96 BPU.

Sebenarnya, Pusbang Tendik sudah memiliki BPU tingkat SD/MI untuk level 1, 2, dan 3. BPU tingkat SD inilah yang kemudian dikaji dan dikembangkan untuk tingkat SMP/MTs, SMA/MA, dan SMK/MAK. Sekitar seratus anggota tim yang diundang kemudian dibagi ke dalam kelompok-kelompok kecil yang terdiri dari 4-5 orang.

Saya kebagian BPU Kewirausahaan. BPU Kewirausahaan ini termasuk dalam kelompok BPU level 2. Anggota tim BPU Kewirausahaan ini adalah Drs. Achmad Ghozin, M.Pd. (pengawas TK/SD pada Dinas Pendidikan Kota Banda Aceh, Provinsi Aceh), Drs. Sunnaidi Solihin, M.M. (Kepala SMK Yapentob Toboali, Kab. Bangka Selatan, Provinsi Bangka Belitung), Ahmad Fadloli, M.Pd. (Kepala SMP Negeri 7 Karawang Barat, Karawang, Jawa Barat), dan saya sendiri.

Semua tim bekerja mengikuti arahan dari panitia dengan runtutan, alokasi waktu, dan pelaporan kemajuan yang terus dipantau. Alur pertama adalah mencermati BPU jenjang SD/MI dengan membuat ringkasannya dalam bentuk tabel. Kemudian masing-masing tim memberikan rekomendasi atas BPU SD tersebut. Rekomendasi di sini bisa dibilang sama dengan kerangka baru untuk BPU yang akan disusun. Pada tahapan ini diskusi di tim terasa cukup serius. Argumen bertaburan dan menghangatkan ruangan yang cukup dingin itu.

Setelah rekomendasi selesai dibuat, tim diminta untuk memasukkan kerangka yang sudah disusun ke dalam template yang telah disediakan panitia untuk kemudian dikembangkan sebagai draft BPU yang dikumpulkan di acara penutupan lokakarya.

Dalam proses penyusunan, tim BPU Kewirausahaan terbilang perlu bekerja lebih keras. Pasalnya, menurut salah seorang peserta yang pernah terlibat dalam proses penyusunan BPU SD/MI, BPU Kewirausahaan termasuk BPU yang paling banyak disorot karena mutunya di bawah rata-rata dibandingkan dengan BPU lainnya. Jadinya, tim BPU Kewirausahaan memang sejak awal sudah merasa tertantang untuk bekerja sebaik mungkin.

Hari Jum’at tanggal 8 Maret sekitar pukul 10.00 WIB, lokakarya ditutup. Berkas BPU dari semua tim dikumpulkan untuk kemudian dievaluasi oleh tim Pusbang Tendik dan SSQ. Alhamdulillah, BPU Kewirausahaan dengan segala keterbatasan akhirnya selesai meski anggota tim memang merasa belum puas. Ada beberapa hal yang belum tuntas. Akan tetapi, karena keterbatasan waktu bagaimanapun naskah BPU harus dikumpulkan.

Perjalanan BPU ini masih panjang. Menurut Pusbang Tendik, sebagaimana disampaikan dalam acara penutupan, dalam satu atau dua bulan ini Pusbang Tendik akan menyelenggarakan lokakarya lanjutan. Namun tidak semua peserta akan diundang. Pusbang Tendik terlebih dahulu masih akan melihat laporan hasil kerja seluruh tim dan laporan pemantauan kerja seluruh peserta selama lokakarya kemarin.

Ya, perjalanan BPU masih panjang untuk benar-benar selesai dan digunakan dalam kegiatan pelatihan peningkatan kecakapan kepala sekolah. Setelah BPU ini selesai disusun, menurut Pusbang Tendik BPU akan diujicobakan di beberapa daerah terlebih dahulu dan dimintakan masukan dari para ahli pendidikan. Baru setelah melewati proses ini, maka BPU secara definitif dianggap selesai, siap dipergunakan, dan diperbanyak sesuai kebutuhan.

Banyak hal baru yang saya peroleh dari kegiatan ini. Jika mau disebutkan, ada tiga manfaat pokok yang saya dapatkan. Pertama, sekarang saya punya pemahaman yang lebih utuh tentang apa yang disebut kepala sekolah yang cakap (kompeten). Dan kecakapan tersebut sudah dipetakan secara baik sehingga dapat lebih mudah dipahami. Memang daftar kecakapan dan pemetaannya itu tidak bersifat statis. Masih terbuka kemungkinan untuk menambahkan bentuk kecakapan yang baru yang belum termuat dalam dokumen Permendiknas 13/2007. Namun daftar kecakapan yang ada saya pikir sudah bagus.

Kedua, saya punya pengalaman baru dalam menyusun buku yang mirip dengan modul, atau buku yang akan dipergunakan untuk pelatihan. Dengan pendekatan in-on-in untuk membekali kepala sekolah dengan sejumlah kecakapan yang telah dirumuskan, model buku yang disusun tentu tak semata menuntut keluasan wawasan dan penguasaan teori yang memadai. Tim penulis dituntut untuk dapat merangkai sejumlah kegiatan (dalam kerangka pendekatan in-on-in) dengan target penguasaan kecakapan tertentu.

Sedangkan manfaat ketiga, melalui kegiatan lokakarya ini saya berjumpa dan berkenalan dengan para pegiat pendidikan yang memiliki latar belakang bermacam-macam. Ada kepala sekolah, pengawas, dosen, pejabat Kemendikbud, penulis, dan sebagainya. Dengan kata lain, kegiatan ini telah memperlebar jaringan kependidikan saya.

Semoga kegiatan ini dapat memberi manfaat kepada saya, dan yang terpenting kegiatan ini dapat terus berlanjut sehingga tujuan untuk meningkatkan mutu kepala sekolah dapat terwujud. Jika lembaga-lembaga pendidikan di negeri ini dikelola oleh kepala sekolah yang baik, saya pikir kita bisa punya harapan yang lebih besar untuk perbaikan mutu kehidupan bangsa ini di hari-hari yang akan datang.

2 komentar:

rasyid mengatakan...

setiap kali membaca, tak mau berhenti disatu bacaan saja, saya tunggu karangan lainnya.

M Mushthafa mengatakan...

Terima kasih, Rasyid.