Jumat, 25 Januari 2019

Melawan Hoaks, Merawat Demokrasi


Judul buku: Kebohongan di Dunia Maya: Memahami Teori dan Praktik-Praktiknya di Indonesia
Penulis: Budi Gunawan dan Barito Mulyo Ratmono
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia (KPG), Jakarta
Cetakan: Pertama, 2018
Tebal: xvi + 166 halaman
ISBN: 978-602-424-868-0

Belakangan ini, berita bohong (hoax) dan berita palsu (fake news) semakin merajalela. Pembuat, penyebar, dan konsumennya bahkan melibatkan orang-orang terdidik. Dampaknya, kehidupan sosial menjadi kacau. Harmoni dan kesatuan masyarakat terancam.

Ancaman ini kian nyata jika kita melihat data Kementerian Komunikasi dan Informatika tahun 2018 yang menyebutkan bahwa penanganan konten negatif seperti hoaks, berita palsu, dan ujaran kebencian pada tahun 2017 meningkat sembilan kali lipat dibandingkan dengan tahun sebelumnya.

Buku ini membedah fenomena hoaks yang menjamur di Indonesia pada beberapa tahun terakhir ini. Uraiannya yang ringkas, kaya data, dan memberi pemetaan dan solusi konkret adalah kelebihan buku ini. Apalagi kedua penulisnya berpengalaman di berbagai jabatan di instansi kepolisian dan saat ini bekerja di Badan Intelijen Negara (BIN).

Hoaks muncul bersamaan dengan munculnya media baru di jagat maya khususnya media sosial. Platform media baru ini mendorong berkembangnya budaya partisipasi (participatory culture) yang tidak saja menempatkan masyarakat sebagai konsumen teknologi, tetapi juga sebagai produsen yang siap menyumbangkan konten sesederhana apa pun di dunia internet.

Melalui media baru yang lazim disebut media sosial inilah hoaks di Indonesia pada khususnya menyebar dengan cara yang cukup mudah dan juga murah. Murah, karena memang tanpa biaya. Mudah, karena pengguna media sosial di Indonesia khususnya terus meningkat.

Pola produksi berita hoaks pada dasarnya masih memanfaatkan media arus utama. Para pembuat hoaks mengamati berita yang berpotensi menimbulkan kontroversi, meramunya dengan fiksi diberi bumbu SARA dan ujaran kebencian, dan mengganti judul (kadang juga gambar) dengan gaya bombastis dan provokatif.

Mesin penyebaran hoaks melalui media sosial menggunakan beberapa strategi. Di antaranya dengan membuat akun-akun anonim dan mengikuti situs-situs sumber hoaks, lalu membagikan berita-berita hoaks tersebut ke jaringan pertemanannya. Pengelola akun anonim ini membidik jaringan pertemanannya yang gemar membagikan postingan hoaks mereka untuk diteruskan pada kelompok pertemanannya masing-masing.

Penyebaran hoaks kadang juga memanfaatkan pengamat politik atau politisi yang memiliki kesesuaian sikap politik dengan muatan hoaks secara sadar atau tidak didorong untuk dapat dijadikan mesin viralisasi.

Penyebaran hoaks terutama dilatarbelakangi oleh motif ekonomi dan politik. Situs-situs penyebar hoaks terbukti dapat meraup keuntungan yang besar dari iklan. Situs postmetro.co misalnya memperoleh pendapatan iklan 25 hingga 30 juta rupiah per bulan dengan memproduksi sekitar 80 berita palsu. Sementara itu, portalpiyungan.co diperkirakan memperoleh penghasilan 379 dolar AS per tahun dari iklan, sedangkan seword.com 854 dolar AS per tahun. Secara politik, berita hoaks digunakan untuk menyerang lawan politik, menebar kebencian, dan juga meningkatkan rasa percaya diri dan untuk personal branding.

Di sini kita dapat melihat bahwa hoaks sangatlah mengancam kehidupan demokrasi. Saat ruang publik dikotori oleh berita-berita palsu, masyarakat dapat digiring pada sikap tertentu dengan lebih mengandalkan sentimen emosional dan mengabaikan nalar sehat mereka. Di sisi lain, hoaks juga memperlihatkan cara-cara yang tidak sehat dan tidak bermoral untuk meraih pengaruh kekuasaan.

Menghadapi fenomena hoaks ini, buku ini mengajukan solusi dengan pendekatan reflexive security dengan melibatkan unsur negara, pasar, dan masyarakat. Negara harus memperkuat aturan dan perangkat terkait pemberantasan hoaks, seperti sanksi atas laman pembuat dan pelaku penyebar hoaks. Pasukan siber pemerintah juga harus lebih berdaya dan sigap cara kerjanya. Selain itu, korporasi atau pelaku pasar, seperti yang terkait sumber iklan yakni Google dan Facebook, harus didorong agar dapat bekerja sama baik dalam hal menghentikan iklan pada sumber-sumber hoaks maupun dalam hal penyaringan informasi.

Yang tak kalah penting, masyarakat perlu terus didorong untuk kritis dan aktif memerangi hoaks. Melek informasi atau literasi digital harus terus diupayakan.

Beriringan dengan fakta-fakta mutakhir yang semakin jelas di depan mata, buku ini mengingatkan kita semua bahwa ancaman hoaks harus segera dilawan dan diantisipasi bersama. Tujuan utamanya demi menyelamatkan mutu kehidupan demokrasi, agar masyarakat dapat menemukan ruang publik yang jernih dan dapat menghasilkan keputusan-keputusan yang lebih baik dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa.


Tulisan ini adalah naskah awal yang kemudian disunting redaksi dan dimuat di Koran Jakarta, 24 Januari 2019.

Read More..