Kamis, 01 April 2004

Pemilu 2004 dan Kembalinya Apatisme Politik

Ketika pemilu yang dalam orde reformasi ini untuk kedua kalinya akan segera diselenggarakan tidak lama lagi, muncul pertanyaan sederhana yang cukup menggelitik: Apa bedanya Pemilu 1999 dengan Pemilu 2004?

Sekilas pertanyaan ini tidak bermakna apa-apa dalam situasi sosial-politik sekarang ini. Akan tetapi, dalam pertanyaan singkat tersebut, juga tersimpan jawaban mendalam tentang langkah maju macam apa yang telah diraih setelah panji reformasi dikibarkan di mana-mana dengan gairah politik demokrasi yang begitu menggebu.

Pemilu diyakini dapat menjadi sebuah media politik yang paling tepat untuk menjadi jembatan emas bagi pemulihan negeri ini. Pemilu adalah jalan yang konstitusional, sehingga hasilnya nanti diharapkan akan lebih mudah diterima oleh semua kalangan. Akan tetapi, bila mengamati bagaimana Pemilu 2004 dipersiapkan, terbersit keraguan apakah harapan besar itu dapat tercapai. Di samping kekurangsigapan dalam langkah penyiapannya, menjelang pemilu yang sudah tidak lama lagi ini muncul sejumlah kecenderungan yang mengarah kepada dugaan kuat bahwa pola budaya politik reformasi saat ini menjadi cukup sulit dibedakan dengan pola budaya politik orde baru yang mengantarkan keterpurukan negeri ini.

Perilaku partai dan berbagai elemen di dalamnya (elit partai, calon legislatif, ataupun massa partai) seperti menjadi kabar buruk di tengah harapan yang meluap dari masyarakat. Berita di mana-mana tentang rebutan nomor jadi antarcaleg dan digunakannya ijazah palsu semakin menyingkap borok akut di tubuh partai yang selama ini sudah terendus. Dalam kasus semacam ini, yang terbaca dengan cukup mudah oleh masyarakat adalah raibnya ketulusan para elit partai dalam berpolitik. Menjadi calon legislatif saat ini cukup sulit dibedakan dengan zaman orde baru, ketika badan legislatif bukan lagi menjadi sebuah tempat untuk memperjuangkan nilai-nilai luhur, kebijaksanaan, idealisme, dan kepentingan rakyat, ketika legislatif hanya menjadi ajang permainan kekuasaan belaka dan dengan mudah mencampakkan nilai-nilai moral.

Di daerah, aksi saling sikut antarcaleg menjadi pemandangan yang begitu mudah disaksikan oleh masyarakat awam. Ironisnya, beberapa elit partai bahkan tidak punya cukup rasa malu ketika mempertontonkan hal semacam itu di depan tatapan polos masyarakat.

Pertunjukan politik menjelang Pemilu 2004 yang semestinya memercikkan harapan fajar perubahan yang benar-benar mencerahkan ini malah memunculkan kekhawatiran akan kembalinya apatisme politik masyarakat. Ketika politik tampak begitu sulit menjanjikan perbaikan, bisa saja masyarakat akan lari dan memilih tidak peduli apakah negeri ini akan diperintah dengan gaya diktator berkedok demokrasi atau apa, asalkan kehidupan sehari-hari mereka dapat cukup terjamin. Atau, dengan kata lain, jangan-jangan masyarakat akan merindukan kembalinya otoritarianisme orde baru yang memiliki harmoni semu itu.

Apatisme di sini memiliki substansi yang tidak jauh berbeda dengan politik massa mengambang ala orde baru, dengan memotong jalur-jalur partisipasi politik. Bedanya, politik massa mengambang orde baru diterapkan dengan dukungan politik intimidasi dan hegemoni penguasa, sedang saat ini politik massa mengambang didorong oleh berbagai kekuatan politik yang haus kekuasaan dengan membiarkan rakyat dalam cengkeraman ketidakdewasaan.

Menghadapi situasi semacam ini, ada dua hal yang bisa kita harapkan dapat membantu merawat semangat perubahan dan harapan masyarakat dalam konteks reformasi. Pertama, dengan semakin mendekatnya waktu pelaksanaan pemilu, termasuk juga kampanye, berbagai elemen partai politik pada khususnya diharapkan dapat bersikap lebih arif dalam memperlakukan masyarakat (pemilih). Parpol tidak boleh semata-mata melihat masyarakat sebagai objek yang bisa diperalat untuk memenuhi ambisi kekuasaan belaka. Parpol harus ikut mendukung setiap upaya untuk menjadikan Pemilu 2004 lebih berkualitas. Misalnya, dengan ikut menyosialisasikan mekanisme pemilihan yang lebih menekankan pada sosok person ketimbang pada nomor urut yang sudah ditetapkan parpol.

Dalam ajang kampanye, parpol juga diharapkan memperlihatkan perilaku yang lebih dewasa dengan tidak hanya mengumbar pesona massa, tetapi juga diimbangi dengan pendekatan rasional dan mendidik. Simpati rakyat harus didapat dengan cara-cara yang jujur dan dewasa, bukan dengan pembodohan. Intinya, rentang waktu yang tersisa ini harus bisa digunakan dengan sebaik-baiknya oleh berbagai kekuatan politik untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat atas peran yang dimainkan berbagai kekuatan politik itu, untuk terus mengawal proses perubahan dengan baik.

Kedua, berbagai elemen masyarakat, terutama kelompok-kelompok kritis dan strategis, harus terus dengan gencar mengawal proses pemilu ini agar dapat memberi hasil yang sesuai dengan harapan. Gerakan Anti-Politisi Busuk sebagai sebuah gerakan yang ingin menghindari hadirnya kembali sosok-sosok politisi yang miskin nurani sangat perlu didukung secara luas.

Lebih umum lagi, poin yang kedua ini sebenarnya ingin menitiktekankan bahwa agenda reformasi terpenting saat ini adalah bagaimana menjaga agar kultur politik orde baru tidak kembali berkuasa dan menyebar epidemi yang sulit diobati. Turunnya Soeharto dari kekuasaan orde baru dan bergantinya sosok penguasa tidak menjamin bahwa sistem dan pola orde baru yang terkutuk juga lenyap. Berbagai gerakan prodemokrasi saat ini masih harus berjuang keras melawan praktik korupsi yang semakin canggih dan menyusup ke mana-mana, menyingkap kebusukan nurani politik yang terbungkus dalam retorika menawan, dan terus menanamkan budaya kritis dan rasional kepada masyarakat.

Partisipasi politik yang semakin meluas dari berbagai elemen masyarakat dan iklim yang cukup memberi ruang bagi kebebasan berekspresi setelah tergulingnya rezim orde baru merupakan modal besar bagi upaya reformasi. Ini tidak boleh disia-siakan dan mesti dihargai. Kita harus memberinya makna dengan selayaknya, dengan mengerahkan segala usaha yang berlandaskan pada niat tulus demi masa depan bangsa yang lebih baik.

Tulisan ini dimuat di Harian Surya, 31 Maret 2004.

0 komentar: