Tampilkan postingan dengan label Religious Issues. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Religious Issues. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 15 Februari 2025

Nyai Fairuzah Tsabit: Pengawal al-Qur’an dari Sabajarin

Nyai Fairuzah dalam kegiatan "Al-Qur'an Camp", September 2022


Menjelang subuh, kabar itu begitu mengejutkan saya. Nyai Fairuzah putri Kiai Tsabit Khazin meninggal dunia di RSUD dr Moh Anwar, Sumenep. Beliau dikabarkan dirawat di Klinik Pratama Annuqayah mulai hari Kamis pagi karena kadar HB turun. Lalu malam harinya, menjelang wafatnya Kiai Muqsith Idris, beliau dirujuk ke Sumenep.

Beliau adalah putri pertama Kiai Tsabit yang memang dikader untuk mendalami al-Qur’an. Kuliah di Jakarta jenjang sarjana dan magister di jurusan tafsir-hadits. Setelah kuliah dan kemudian berkeluarga, di Annuqayah beliau menjadi dosen tetap di jurusan tafsir di Universitas Annuqayah (sejak masih bernama Sekolah Tinggi Ilmu Keislaman Annuqayah atau STIKA) dan juga mengajar bidang al-Qur’an di Madrasah Tsanawiyah 3 Annuqayah dan SMA 3 Annuqayah. Beliau juga terlibat dalam kegiatan tahfiz di lingkungan Pondok Pesantren Annuqayah, juga kegiatan sima’an tahfiz di Kabupaten Sumenep.

Di SMA 3 Annuqayah, beliau merintis program tahfiz juz ‘amma sejak 2008, sebuah program yang hingga sekarang terus berkembang dalam berbagai kegiatan, yang kemudian juga dilaksanakan di MTs 3 Annuqayah. Apresiasi luar biasa atas inisiatif dan kepemimpinan Nyai Fairuzah dalam mengembangkan program al-Qur’an di Sabajarin. Sejak mulai diprogram di sekolah di Sabajarin, program ini menjadi bagian dari identitas lembaga pendidikan di Sabajarin pada khususnya.

Dengan semangat meneruskan identitas Annuqayah sebagai pesantren yang menaruh perhatian pada al-Qur’an, Nyai Fairuzah dengan penuh semangat mengawal program tahfiz dan al-Qur’an di Sabajarin pada khususnya. Untuk mendukung kegiatan tahfiz juz ‘amma tersebut, pada tahun 2014 dibentuk Komunitas Sima’an Juz ‘Amma yang melibatkan para alumni untuk merawat hafalan mereka. Pada tahun pelajaran 2014/2015, di SMA 3 Annuqayah juga diberikan pelajaran Tafsir Juz ‘Amma di kelas XI dan XII yang mempelajari tafsir juz ‘amma dari Tafsir Jalalayn.

Upaya untuk merawat semangat santri dalam menghafalkan juz ‘amma juga dilakukan oleh Nyai Fairuzah dengan merancang kegiatan yang diberi nama “Al-Qur’an Camp”. Ini dimulai tahun 2022. Jadi, secara cukup sistematis, beliau berpikir perlu ada kegiatan yang lebih terstruktur untuk tahfiz ini. Muncullah konsep kegiatan yang dimulai dari proses inisiasi untuk siswa baru, lalu evaluasi dan monitoring, kendali mutu, hingga ujian akhir dan "wisuda".

“Al-Qur’an Camp” ini dilaksanakan di awal tahun pelajaran untuk siswa kelas XII di SMA 3 Annuqayah untuk memastikan bahwa pada tahun terakhir mereka di sekolah mereka dapat menuntaskan target hafalan juz ‘amma. Ragam kegiatan dilaksanakan di situ, mulai dari yang sifatnya motivasi, refleksi, teknik menghafal yang lebih mudah, dan juga wawasan tafsir.

Setiap kali saya hadir dan berbicara di forum keguruan di Annuqayah khususnya di lingkungan Sabajarin, tak ragu saya memberi apresiasi dan pujian untuk Nyai Fairuzah atas konsistensinya dan semangatnya mengawal program-program al-Qur’an di Annuqayah. Saya sampaikan bahwa kerja-kerja beliau ini akan menjadi amal yang nilainya luar biasa. Saya menyampaikan ini dengan penuh emosi, membayangkan betapa amal saya jauh kalah mulia dari kerja-kerja beliau dalam menjadi “pengawal” al-Qur’an. Al-Qur’an, kalamullah yang juga adalah mukjizat Rasulullah saw, dan beliau menjadi “pengawal” yang berdiri di baris terdepan dengan penuh semangat untuk merawat kecintaan pada al-Qur’an.

Nyai Fairuzah, saya yakin keberkahan al-Qur’an akan mengantarkan Ajunan untuk mendapatkan syafa’at Rasulullah saw. dan bahagia selamanya di surga.


Sumber foto: Ditangkap dari video di kanal Annuqayah TV YouTube di sini.


Read More..

Rabu, 05 Februari 2025

Jejak Hasyim, Keramahan Mekah, dan Ironi Era Kini

Kalau Anda berada di sekitar Masjidil Haram, Mekah, dan merasa agak lapar, jangan khawatir. Biasanya ada banyak orang yang menyediakan makanan dan minuman gratis di sekitar sana. Begitu kata teman saya yang sedang umrah awal bulan Maulid yang lalu. Ada orang-orang yang membagikan kurma gratis di sekitar area Masjidil Haram. Juga minuman, baik itu air mineral, kadang juga teh.

Saya hanya bisa membayangkan dan mereka-reka dalam pikiran, karena memang waktu itu saya belum punya pengalaman langsung. Namun saya lalu teringat tentang kisah Hasyim, buyut Nabi Muhammad saw.

Nama Hasyim, tutur M. Quraish Shihab dalam salah satu bukunya, sebenarnya adalah gelar. Nama asli Hasyim adalah ‘Amr. Hasyim secara harfiah berarti “menghancurkan roti dan mencampurnya dengan kuah (daging) sehingga siap untuk dimakan”. Gelar itu disematkan kepadanya karena kedermawanan Hasyim dalam memberi pelayanan kepada tamu-tamu peziarah yang berkunjung ke Kakbah.

Setelah ayah Hasyim, Abd Manaf, meninggal, Hasyim kebagian tugas untuk mengurus pelayanan konsumsi di Mekah. Namun gelar itu diberikan bukan semata karena Hasyim bertanggung jawab atas tugas tersebut. Gelar itu diberikan karena Hasyim menunjukkan keramahan dan kedermawanan terutama kepada para peziarah di kota Mekah.

Keramahan dan kedermawanan Hasyim terbukti saat salah satu ponakannya yang bernama Umayyah (putra Abd Syams) merasa iri atas popularitas Hasyim dan kemudian menantang untuk menanyakan kepada sekelompok orang tentang siapa yang paling unggul di antara keduanya. Siapa yang kalah maka harus menyerahkan lima puluh ekor unta dan harus diasingkan selama sepuluh tahun. Ternyata Hasyim menang. Umayyah mengasingkan diri ke Syam. Kemudian lima puluh ekor unta itu disembelih oleh Hasyim dan dibagi-bagikan kepada khalayak umum.

Keramahan seperti ini oleh Ismail Fajrie Alatas juga digambarkan menjadi cara untuk membangun jamaah dan otoritas keagamaan. Konsep karam (kedermawanan) dijunjung tinggi oleh suku Arab. Jamuan dan pelayanan kepada tamu-tamu adalah salah satu bentuk konkretnya. Keramahan dan kedermawanan dapat mengatasi sekat kabilah dan kesukuan, dan itu berarti memperluas jangkauan otoritas seseorang atau kelompok tertentu. Bib Ajie juga menuturkan bahwa ulama Ba Alawi di Hadramaut juga mempraktikkan tradisi keramahan dan kedermawanan ini dalam membangun otoritas religius mereka di sana.

Kiranya, keramahan seperti itulah yang mungkin terus dilanjutkan dalam tradisi orang Arab khususnya di kota suci Mekah saat ini. Jika Anda perhatikan, di titik-titik tertentu sekitar Masjidil Haram ada orang atau sekelompok orang yang secara rutin membagikan kurma dan minuman. Di sekitar hotel di kawasan Tower Zamzam, saya menemukan beberapa rombong yang menjadi pos pembagian kurma dan minuman. Ada juga orang yang membagikan minuman di sepanjang jalan akses ke arah Ajyad. Mereka berdiri di tengah atau di pinggir jalan, biasanya saat terik matahari.

Kalau di dalam kawasan masjid, beberapa kali saya melihat sejumlah petugas membagikan paket makanan yang berisi roti, jeruk, kurma, dan air zamzam, kepada jamaah menjelang shalat maghrib. Di kemasannya, tertulis bahwa itu adalah untuk buka puasa. Tapi petugas tak bertanya apa orang yang diberi paket tersebut sedang berpuasa atau tidak. Petugas langsung membagikannya dari shaf terdepan di area tertentu.

Saat menyaksikan salah satu rombong yang seperti tak putus-putus membagikan kurma kepada orang yang lalu-lalang di salah satu titik dekat WC 3 ke arah Ajyad, terlintas dalam ingatan saya bayangan orang-orang yang berjualan di sepanjang jalan sekitar Masjidil Haram. Para penjual itu menggelar lapak mereka ala kadarnya. Mereka menjajakan pakaian, aneka makanan, dan juga minuman. Sesekali, mereka akan bubar berlarian saat ada petugas keamanan yang berpatroli. Pasar tumpah itu begitu meriah selepas shalat subuh. Jalanan penuh dengan para pelapak ini. Pemandangan serupa akan kita temukan di sekitar kawasan Masjid Nabawi, Madinah, meski tidak seramai di Mekah.

Orang-orang ini mencoba mengais rezeki dari para peziarah. Saya membayangkan situasinya mungkin sama dengan zaman Nabi dulu. Bedanya, peziarah sekarang datang dari berbagai penjuru dunia dengan jumlah yang berlimpah ruah. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana ramainya jika musim haji. Atau waktu-waktu padat seperti di bulan Ramadan atau di sekitar masa liburan akhir tahun.

Selain para pelapak dadakan di pinggir-pinggir jalan itu, di jalanan kerap juga saya jumpai para peminta-minta baik itu anak-anak maupun dewasa. Sebagian dari mereka itu difabel. Saya menduga sebagian besar dari pelapak dan peminta-minta itu adalah pendatang. Entah apa mereka mempunyai dokumen keimigrasian yang resmi atau tidak.

Mengingat itu semua, saya tak habis pikir membayangkan bagaimana keramahan dan kedermawanan bersanding dengan kepapaan dan kesengsaraan di situ. Saya teringat para pelapak yang lari tunggang langgang saat para petugas patroli datang. Itu juga terjadi di Madinah di jalan-jalan kawasan hotel sekitar Masjid. Saat patroli datang, tak jarang para pelapak itu meninggalkan barang-barang dagangannya dan berlari untuk menghindari petugas. Ada salah seorang teman saya yang bercerita bahwa ia sedang membeli pakaian di salah satu pelapak itu saat petugas tiba-tiba datang. Uang kembaliannya belum diserahkan penjual, tapi ia bilang telah merelakannya.

Saya lalu teringat peristiwa hilful fudhul (Pakta Kehormatan), kejadian saat Nabi masih remaja dan belum diangkat sebagai utusan. Saat itu, seorang pedagang yang adalah pendatang di Mekah dizalimi oleh seorang pembeli yang enggan untuk membayar barang yang diambilnya. Si pedagang mengeluh dengan untaian syair. Pemuka Mekah tergugah, lalu akhirnya membuat kesepakatan yang dikenal dengan nama hilful fudhul. Kesepakatan itu menegaskan bahwa para pemuka suku di Mekah harus bertanggung jawab untuk mengambil langkah intervensi jika ada orang yang ditindas atau dizalimi—siapapun mereka yang menindas dan yang ditindas itu. Nabi Muhammad terlibat dalam pertemuan yang menyepakati pakta tersebut.

Pikiran saya bertanya-tanya, apakah ironi yang saya saksikan itu, tentang pelapak yang berlarian dari kejaran petugas dan semacamnya, dapat menuntut ditegaskannya poin-poin kesepakatan seperti yang tertuang dalam hilful fudhul tersebut? Bukankah ketika sudah diangkat sebagai rasul dulu Nabi bersabda: “Kalau aku diajak lagi untuk terlibat dalam penyusunan pakta semacam itu (hilful fudhul) setelah datangnya Islam, niscaya akan kusambut dengan senang hati”?

Keramahan dan kedermawanan sebagai sebuah tradisi di Arab mungkin adalah semacam etika personal yang pada tingkat selanjutnya mungkin perlu dinaikkan pada tingkat struktural sehingga persoalan-persoalan yang lebih bersifat kompleks dapat juga dipecahkan dengan semangat keramahan dan kedermawanan tersebut.

Mungkin situasi ini adalah bagian dari ironi era kini. Ironi agama era kini, ketika ia berhadapan dengan masalah sosial yang semakin kompleks. Dari pusat berkembangnya Islam, dari Baitullah, saya terpikir bahwa misi kerasulan penting untuk terus ditegaskan dan didialogkan dengan kondisi kekinian.

Wallahu a’lam.


Baca juga:
>> Masjid Quba, Ruang Suci, dan Penghayatan Keimanan


Read More..

Jumat, 01 November 2024

Masjid Quba, Ruang Suci, dan Penghayatan Keimanan


Dari kejauhan, bangunan itu tampak berdiri megah. Bangunan yang bagian separuh ke atas itu berwarna putih menjadi pusat perhatian. Tak ada hal menonjol lain di sekitarnya. Pohon-pohon kurma yang ada di salah satu sisi bangunan terlihat biasa saja.

Memasuki pintu salah satu masjid itu, bagian utama masjid ternyata tidak begitu luas. Ruangnya melebar ke samping. Dua lampu berbentuk lingkaran dan bersusun yang lurus dengan tempat imam tampak menarik perhatian. Lampu serupa ada di bagian lain masjid itu. Sebagian besar orang-orang di ruangan itu melaksanakan shalat.

Di seberang ruang utama itu, ada ruang terbuka yang seperti menjadi halaman dalam masjid. Halaman dalam itu dikelilingi semacam ruang teras yang menjadi bagian terluar bangunan masjid. Cahaya matahari masuk melalui halaman tengah di dalam masjid itu, memberikan penerangan alami ke bagian dalam masjid bersejarah yang pertama kali dibangun oleh Rasulullah itu.

Ya, itu adalah masjid pertama yang dibangun Rasulullah dalam perjalanan hijrah dari Mekah ke Madinah pada tahun 622 M. Masjid Quba, berjarak sekitar 4 km dari Masjid Nabawi di kota Madinah. Dengan hanya tinggal selama tiga sampai empat hari di Quba, yang dimaksud Rasulullah “membangun masjid” tentunya tak bisa kita bayangkan seperti pembangunan masjid saat ini. Saya berpikir mungkin Rasulullah hanya menetapkan tempat itu sebagai masjid atau tempat shalat bersama untuk umat Islam. Mungkin Rasulullah memancangkan batas-batas area masjid di situ dan membuat pondasi.

Lebih dari sekadar detail yang bersifat teknis, masjid pertama itu merefleksikan banyak hal dalam perkembangan sejarah Islam baik secara personal bagi seorang muslim maupun secara sosial dalam konteks masyarakat Islam. Itu hal yang ada dalam pikiran saya saat akan memasuki masjid itu.

Saya teringat refleksi yang ditulis oleh Tariq Ramadan dalam buku In the Footsteps of the Prophet ketika menuturkan pendirian masjid pertama dalam peristiwa hijrah Rasulullah. Menurut Tariq Ramadan, pembangunan masjid itu “menunjukkan signifikansi dan sentralitas masjid dalam hubungannya dengan Tuhan, ruang, dan masyarakat”. Ruang semesta yang dalam pandangan spiritual Islam bersifat sakral mendapatkan label khusus sebagai ruang suci setelah ditetapkan sebagai “tempat bersujud” (masjid). Sebagai “tempat bersujud”, ia adalah tempat hamba merendahkan dan menundukkan ego di hadapan Tuhan Sang Maha Pencipta.

Kesucian ruang itu menegaskan bahwa ada hubungan antara ruang tertentu dan penghayatan spiritualitas. Secara objektif, ruang mungkin hanya dibedakan oleh detail spesifikasi teknis. Tapi secara subjektif, ruang menjangkau nilai sejarah dan nilai lainnya sehingga dapat membawa pada makna penghayatan spiritualitas tertentu. Mungkin itu juga akan terkait dengan “wadah” dan kesiapan subjek untuk menampung makna ruang tersebut. Jejak dan pengalaman hidup, wawasan dan pengetahuan, serta rekam penghayatan interaksinya dengan semesta membentuk wadah subjektif tersebut.

Masjid menurut Tariq Ramadan juga adalah gambaran realitas kehidupan menetap, tempat kesadaran keimanan menemukan rumah tinggalnya. Rasanya bukanlah suatu kebetulan bahwa masjid ini dibangun dalam momentum hijrah. Dalam kehidupan umat Islam di Mekah, keimanan mereka mungkin bisa dibilang masih berada dalam status “kehidupan nomad”. Kesadaran keimanan masih terombang-ambing dalam pengasingan karena tak menemukan rumah tempat berpulang. Tak ada masjid di era Mekah. Umat Islam masih terlunta-lunta, berjuang mengokohkan keimanan dalam deraan dan tekanan kaum kafir. Masyarakat muslim belum cukup kuat untuk membangun rumah keimanan mereka dalam skala komunal.

Dengan mendirikan masjid, Rasulullah menegaskan satu titik penting poros kehidupan bermasyarakat. Masjid adalah rumah—rumah bersama. Dalam keterombang-ambingan, baik dalam sebuah perjalanan atau pengasingan, masjid adalah tempat berpulang agar seorang muslim tidak kehilangan arah dan makna.

Namun begitu, pemaknaan masjid yang sedemikian itu akan berhadapan dengan kenyataan objektif dan subjektif seorang muslim dalam kehidupan sehari-hari, termasuk juga penghayatan keagamaannya. Norma ideal akan berhadapan dengan fakta dan kenyataan. Apakah seorang muslim sudah menempatkan masjid sebagai ruang suci dan poros keimanannya? Seberapa intens dia menjadikan masjid dalam pemaknaan dan penghayatan tersebut, baik secara kuantitatif maupun kualitatif? Bagaimana upaya sebuah komunitas untuk menjadikan masjid sebagai ruang bersama tempat berbagi penghayatan keagamaan dalam pengertian yang luas? Bagaimana masjid dikelola untuk menampung keragaman latar dan karakter individu dalam sebuah komunitas?

Kunjungan saya ke Masjid Quba di akhir September lalu memantik refleksi dan pertanyaan-pertanyaan itu. Pertanyaan yang tentu kembali ke diri saya juga. Pertanyaan yang juga mengundang semacam kegelisahan. Pertanyaan yang mengingatkan saya pada pengalaman 15 tahun yang lalu, saat saya mencari dan menemukan masjid di sebuah kota kecil di Zeist, Utrecht, dalam episode “pengasingan” saya.

Saat saya berpisah dengan sebuah ruang suci dengan nilai sejarah yang kental itu, saya khawatir pertanyaan-pertanyaan penting ini kemudian tenggelam dalam rutinitas sehari-hari. Pertanyaan pengingat ini bisa saja kemudian berhenti berdering dan tak berdaya. Tapi mungkin dengan menuliskannya, setidaknya saya berharap dapat merawat pertanyaan dan kegelisahan ini agar tidak hilang begitu saja ditelan waktu.

Saya juga percaya bahwa suatu saat mungkin pertanyaan-pertanyaan itu akan menjelma kerinduan—pada ruang suci dengan sosok agung dan sejarah yang melingkupinya.


Read More..

Kamis, 15 Agustus 2024

Decolonizing Javanese-Islamic Identity in the Discourses of Contemporary Indonesian Islamic Studies


Abstrak

Artikel ini membahas fenomena dekolonisasi studi Islam sebagai kelanjutan dari proyek kritik postkolonial yang marak di berbagai wilayah kajian. Secara khusus, tulisan ini ingin menjawab dua persoalan pokok, yakni tentang latar dan landasan dekolonisasi studi Islam serta pergulatannya dalam diskursus Islam Indonesia dengan mengambil fokus pada isu identitas Islam-Jawa. Dengan menganalisis data-data yang relevan, tulisan ini menyimpulkan bahwa dekolonisasi dilatarbelakangi oleh keresahan para ilmuwan atas dampak kolonialisme di wilayah akademik-ilmiah yang membentuk konstruksi budaya yang menindas. Dekolonisasi berusaha melampaui proyek postkolonial yang pada titik tertentu masih dibayang-bayangi oleh gagasan-gagasan tokoh Barat. Landasan epistemologis dekolonisasi berupa pendekatan kritis dalam studi agama pada umumnya yang juga melibatkan faktor politik pengetahuan pada salah satu dimensinya. Dalam konteks identitas Islam-Jawa, dekolonisasi berusaha menegaskan jalinan erat antara kejawaan dan keislaman yang cenderung dipisahkan oleh jejak kajian kolonial.

Tulisan selengkapnya bisa dibaca di sini.

Read More..

Kamis, 05 Oktober 2023

Memori dan Legitimasi dan Pencarian Umat Islam Masa Kini

Catatan Membaca The First Muslims (2007) karya Asma Afsaruddin


Buku karya Asma Afsaruddin, The First Muslims: History and Memory (Oxford: OneWorld Publication, 2007), ini berusaha menyajikan peta perebutan makna sejarah dan ajaran Islam oleh umat Islam masa kini. Secara garis besar, buku ini memuat dua bagian. Bagian pertama, buku ini menyajikan secara singkat sejarah dan pemikiran tiga generasi muslim awal yang juga dikenal dengan sebutan al-salaf al-shalih. Kedua, buku ini memaparkan beberapa butir pemikiran umat Islam masa kini yang dibagi dalam dua kelompok besar tentang beberapa isu pokok yang banyak diperbincangkan. Dua kelompok itu disebut kelompok islamis dan kelompok modernis.

Bagian yang pertama merupakan titik tolak yang menjadi landasan perdebatan dari dua kelompok yang dituturkan di bagian kedua. Pergulatan sejarah umat Islam di tiga generasi awal dipandang telah melahirkan memori dan menjadi basis legitimasi bagi aneka penafsiran sikap keagamaan yang muncul saat ini, termasuk yang dikemukakan oleh kelompok islamis dan kelompok modernis.

Dengan menyadari pentingnya pemaparan fase sejarah tiga generasi awal tersebut, buku ini menyandarkan rujukannya pada sumber-sumber klasik berbahasa Arab baik berupa biografi atau sejarah, tafsir, adab, dan sebagainya. Terkait sumber rujukan ini, Asma sejak awal menegaskan bahwa klaim kaum revisionis yang cenderung meragukan beberapa sumber Islam awal dapat tertolak, sebagian juga karena adanya rujukan dan manuskrip terkini yang memperkuat posisi sumber-sumber klasik tersebut.

Asma memaparkan bagian pertama ini dalam delapan bab, meliputi periode kehidupan Nabi Muhammad saw, khulafa’ al-rasyidun, masa sahabat, tabi’un, dan tabi’ al-tabi’in, dalam 147 halaman (dari total 199 halaman bagian isi). Dengan ruang pembahasan yang singkat, Asma memberi penekanan pada penggalan sejarah yang penting seperti tentang Konstitusi Madinah, isu-isu kunci dalam kepemimpinan setelah Rasul, perubahan tata kehidupan bermasyarakat setelah meluasnya wilayah Islam, dan sebagainya.

Konstitusi Madinah misalnya memuat term jihad militer tapi dalam arti bertahan. Perjanjian itu juga memaknai ummah tidak saja beranggotakan komunitas muslim tapi juga umat Yahudi dan juga Kristen. Menarik dicatat bahwa sejauh terkait konflik Nabi dengan suku Yahudi di Madinah, yang mengemuka menurut Asma adalah lebih terkait dengan pelanggaran perjanjian yang dilakukan oleh suku Yahudi tersebut. Tak ada sentimen Yahudi yang mengemuka. Ini juga terbukti dalam kisah seorang perempuan Yahudi yang berusaha meracun Nabi tapi kemudian terbongkar. Nabi tidak menjadikan kasus ini untuk mengangkat sentimen Yahudi di kalangan umat Islam.

Pada masa khulafa’ al-rasyidun, beberapa khalifah mengambil keputusan yang cukup menarik diperbincangkan dan menjadi cermin tentang bagaimana para sahabat membaca norma Islam sepeninggal Nabi. Abu Bakar misalnya memutuskan untuk memerangi pada pembangkang yang tidak mau membayar zakat di masa kepemimpinannya. Keputusan ini diprotes oleh sebagian sahabat karena tak ada teks yang tegas yang dapat melegitimasi keputusan tersebut. Namun Abu Bakar kemudian menjelaskan landasan keputusannya dengan baik. Dari poin ini, menurut al-Jahiz, Abu Bakar menunjukkan bahwa untuk mengikuti ajaran Islam diperlukan kedalaman pemahaman dan pengetahuan yang dapat melampaui permukaan teks. Hal serupa juga terjadi pada masa Umar bin al-Khaththab, misalnya ketika Umar menangguhkan hukuman bagi pencuri saat wilayah kekuasaannya mengalami masa paceklik. Sementara ada sumber yang menggambarkan Umar bersikap diskriminatif terhadap kelompok agama lain, Asma menolak dengan menyatakan bahwa sumber tersebut baru muncul pada abad ke-9, dan apalagi banyak fakta sejarah lain yang menunjukkan sikap toleran Umar dalam pendudukan di beberapa wilayah seperti Yerusalem, yang jauh lebih baik daripada penguasa Bizantium sebelumnya.

Tarik menarik antara semangat egalitarianisme Islam yang dibangun sejak awal kelahirannya terus terjadi pada masa tabi’un. Jika pada masa pemerintahan Bani Umayyah suku Arab tampak dominan dan superior, pada era Abbasiyah hal itu bisa dikatakan tidak terlihat lagi. Berbagai unsur warga wilayah kekuasaan Islam yang multi-etnis berpartisipasi aktif dalam tata pemerintahan dan kehidupan bermasyarakat. Namun, pada saat yang sama, pada era Abbasiyah ini mulai muncul pemaknaan jihad sebagai aktivitas militer. Pada masa ini, jihad juga kadang dimaknai sebagai qital (pertempuran).

Bagian kedua buku ini kemudian memetakan pandangan kelompok islamis dan modernis masa kini dalam menyikapi beberapa masalah, seperti negara Islam, syariah, posisi perempuan, dan jihad. Menurut Asma, pembacaan kaum modernis jauh lebih berhasil dalam berusaha bercermin dari pemikiran dan praktik kaum al-salaf al-shalih daripada kaum islamis. Kaum modernis lebih adaptif dalam soal penerapan hukum Islam, terbuka dalam membincang konsep kenegaraan, toleran terhadap kelompok minoritas, dan juga membuka ruang partipasi publik bagi kaum perempuan. Kaum islamis yang terpengaruh dengan doktrin takfir akhirnya cenderung gagal menampilkan teladan wajah Islam yang tecermin dari generasi al-salaf al-shalih.

* * * * *

Kesan dan pertanyaan yang pertama muncul setelah membaca buku ini terkait ruang kosong yang dilewatkan oleh Asma pada fase sejarah setelah periode tabi’ al-tabi’in. Jika tujuan menulis buku ini tidak sekadar berbicara tentang umat Islam awal, tapi juga kaitannya dengan umat Islam masa kini, maka seorang diasumsikan bahwa umat Islam masa kini semata merujukkan sikap dan pandangannya pada periode tiga generasi muslim awal sebagaimana yang dibahas Asma dalam buku ini.

Menurut saya, sikap dan pandangan umat Islam masa kini bisa saja juga terbentuk oleh peristiwa, memori, atau warisan dari periode yang tidak dibahas Asma. Misalnya, periode yang melibatkan terjadinya peristiwa Perang Salib pada akhir abad ke-11 hingga abad ke-13. Mungkin benar, bahwa perujukan pada periode generasi al-salaf al-shalih lebih banyak terkait dengan soal legitimasi. Namun penyikapan kaum muslim saat ini tidak hanya tentang legitimasi, tapi bisa juga terbentuk dari apa yang oleh Karen Armstrong dalam The Holy War (2001) disebut sebagai krisis identitas, seperti yang juga melatari peristiwa Perang Salib, sehingga kaum islamis misalnya oleh Asma disebut lebih menempatkan Islam sebagai ideologi politik semata.

Apakah dengan demikian berarti Asma berasumsi bahwa peristiwa Perang Salib, misalnya, tidaklah signifikan dalam pembentukan sikap dan pandangan kaum islamis dan modernis?

Pembacaan terhadap titik sejarah yang dianggap penting, seperti Perang Salib, penting juga untuk menelusuri pembentukan cara pandang diri kaum islamis dan modernis, atau pembentukan identitas. Beberapa sejarawan menulis pemaparan sejarah juga kadang dari perspektif pencarian makna identitas ini, seperti Tamim Ansary yang menulis Destiny Disrupted: A History of the World Through Islamic Eyes (2009), atau Tariq Ramadan yang menulis In the Footsteps of the Prophet (2006).

Selanjutnya, jika dibandingkan dengan buku Khaled Abou El Fadl, The Great Theft: Wrestling Islam from the Extremists (2005), mungkin akan lebih baik jika secara khusus Asma juga memberi porsi untuk menjelaskan sedikit latar kemunculan kelompok islamis ini, terutama dalam konteks tatanan sosial-politik dunia. Di buku The Great Theft, misalnya, Abou El Fadl secara khusus menjelaskan cukup panjang lebar kelahiran kaum puritan baik di era awal maupun di masa kini, sebelum kemudian menguraikan satu persatu doktrin atau pemahaman keagamaan mereka.

Pertanyaan yang menarik dan mungkin cukup menantang adalah jika uraian Asma dihubungkan dalam konteks Islam di Indonesia, baik itu menyangkut perujukan pada memori sejarah, legitimasi, dan klaim autentisitasnya secara doktrinal, maupun juga pada identifikasi dan pengelompokan kecenderungan pemikiran yang berkembang saat ini.

Wallahu a’lam.




Read More..

Sabtu, 01 April 2023

Rekonstruksi Kesadaran Keberagamaan: Perspektif Makrohistoris dan Mikrohistoris


Abstrak

Kelahiran setiap agama pada mulanya selalu berupaya untuk mewujudkan kedamaian bagi semesta. Agama lahir untuk meredam kekerasan, egoisme, dan nafsu rendah dan sifat-sifat kebinatangan. Namun demikian, dalam konteks agama Islam misalnya, visi agama untuk menyebarkan kedamaian dan kasih sayang bagi semesta itu kurang mendapatkan titik tekan dari umat pemeluknya. Ada semacam keterputusan epistemologis yang terjangkit dalam konstruksi kesadaran keberagamaan umat Islam. Keterputusan epistemologis ini terjadi tidak hanya dalam level pemaknaan segi-segi ajaran keberagamaan, tapi lebih jauh lagi sudah relatif cukup meresap dalam perilaku dan pola pikir kehidupan beragama sehari-hari, bahkan dalam bentuk yang sederhana. Tulisan ini hendak menelusuri titik epistemologis keterputusan visi Islam ini dengan melihat dari sisi makrohistoris dan mikrohistoris. Bagian pertama dilakukan dengan mencermati titik-titik sejarah krusial yang menjadi landasan berpikir umat Islam untuk mengejawantahkan ajaran agamanya. Bagian kedua berkaitan dengan dimensi subjektif keberagamaan, yakni berhubungan dengan “dunia kecil” yang membentuk subjektivitas seseorang. Misalnya, lingkungan sosial budaya, pendidikan, dan sebagainya. Dengan mencermati melalui dua perspektif epistemologis tersebut, tulisan ini menawarkan model pembacaan dimensi normatif dan historis untuk merawat visi Islam yang damai.

Tulisan selengkapnya bisa dibaca di sini.

Read More..

Jumat, 31 Januari 2020

Menanam Gus Dur di Hati Kita


"Menanam Gus Dur di hati kita." Itu adalah frasa yang disebutkan Mas Inung (Zainul Hamdi) di acara Gusdurian Pamekasan 28 Januari lalu. Menurut beliau, membahas gagasan dan pemikiran Gus Dur itu jauh lebih mudah daripada menanam Gus Dur di hati kita. Kalau berhasil, itu bisa menjadi jalan keluar untuk penyelesaian masalah-masalah bangsa.

Dr Abdul Wahid Hasan membahas Gus Dur dari sisi spiritualitasnya—tema yang menjadi penelitian disertasinya. Spiritualitas adalah akar kekuatan kepribadian Gus Dur yang kemudian mewujud dalam sosok humanis dan perjuangan-perjuangannya.

Saya yang sejak awal hadir ke forum ini dengan niat untuk ngalap berkah dari Gusdurian senior seperti Mas Inung dan Pak Wahid, serta Gusdurian lain yang berasal dari berbagai unsur, berbicara sekadarnya tentang bagaimana Gus Dur merawat kebhinnekaan terutama dalam jalur politik selama menjadi presiden RI. Saya menyampaikan ulang beberapa gagasan pokok Mas Ahmad Suaedy dalam disertasinya yang telah diterbitkan oleh Gramedia. Menurut Mas Suaedy, Gus Dur mempraktikkan model kewarganegaraan bhineka yang bisa dikatakan dipadukan dari konsep kewarganegaraan multikultural yang berpendekatan sosiologis dan kewarganegaraan yang berperspektif budaya. Dalam perspektif ini, semua kelompok warga dipandang setara. Tidak seperti pada waktu sebelumnya. Pemerintah mendefinisikan beberapa kelompok masyarakat sebagai musuh yg kemudian direpresi, seperti kelompok separatis, komunis, atau fundamentalis.

Untuk menerjemahkan kesetaraan, keadilan haruslah diperjuangkan . Karena kesetiaan pada negara mestinya akan terbit jika keadilan sudah diwujudkan.

Dalam kesempatan ini, saya mengajak Gusdurian Pamekasan untuk bisa menerjemahkan gagasan Gus Dur dalam memperjuangkan kebhinnekaan ini dalam konteks lokal, yakni Pamekasan pada khususnya. Salah satu yang sedang dikerjakan Gusdurian Pamekasan saat ini adalah upaya untuk mengkaji ulang konsep Gerbang Salam di Pamekasan yang ditengarai kadang digunakan sebagai alat politik yang tidak mencerminkan makna kesetaraan sebagaimana di atas. Katanya ide proyek kajian ini diinisiasi oleh Kiai Habibullah Bahwi dari Sumberanyar. Saya pikir, kalau perspektif kewarganegaraan bhineka digunakan sebagai perspektif untuk membedah, mungkin menarik.

Acara keren ini dihadiri oleh banyak elemen pegiat kantong kantong budaya di Pamekasan, menunjukkan bahwa sosok Gus Dur bisa menjadi magnet bagi unsur masyarakat yang beragam.

Sukses terus Gusdurian Pamekasan.

Sumber foto : Taufiq, ketua Gusdurian Pamekasan.


Read More..

Sabtu, 15 Juni 2019

Tahlilan, Strategi Dakwah ala Islam Nusantara


Di desa tempat saya tinggal saat ini, di pedalaman Madura, ada tradisi tahlilan bersama di pemakaman umum desa di sore hari di hari lebaran Idulfitri. Sekitar pukul empat sore, sebagian warga desa—tua, muda, laki-laki, perempuan, remaja, anak kecil—berbondong-bondong datang ke pemakaman umum Desa Taro’an, Kecamatan Tlanakan, Kabupaten Pamekasan. Beberapa warga yang mudik dari tempat mereka merantau pun turut hadir.

Tradisi tahlil bersama di hari lebaran sebenarnya sesuatu yang lazim khususnya di Madura. Di tanah kelahiran saya di Desa Guluk-Guluk, Kecamatan Guluk-Guluk, Kabupaten Sumenep, tahlilan dilakukan tepat setelah salat Idulfitri di masjid.

Berbeda dengan tahlilan yang dilaksanakan setelah salat Idulfitri yang juga digelar di tempat saya salat Id, tahlilan di pemakaman umum Desa Taro’an di sore hari di hari lebaran ternyata punya sedikit latar cerita yang cukup menarik.

Menurut para tetua di desa kami, dulunya di hari lebaran pemakaman umum desa kami sering ditempati orang-orang bermain taruhan atau judi. Waktunya biasanya antara setelah asar hingga jelang maghrib. Orang-orang bergerombol di sudut-sudut lokasi pemakaman. Warga resah. Tak ada yang berinisiatif mengambil tindakan.

Kemudian salah satu tokoh masyarakat desa mengajukan usulan. Namanya Kiai Zainuddin Abdul Mu’thi. Dengan beberapa tokoh masyarakat, dia mengajak warga untuk tahlil bersama di pemakaman umum di sore hari di hari lebaran. Tujuan utamanya agar orang-orang yang biasa main taruhan di pemakaman umum jadi sungkan dan berhenti main taruhan di sana.

Walhasil, usulan ini disambut baik oleh warga. Di sore hari di hari lebaran, warga berduyun-duyun ke pemakaman umum Desa Taro’an. Beberapa orang membawa alas. Ada juga yang menyiapkan pengeras suara. Tahlil pun digelar secara rutin tiap lebaran Idulfitri—juga Iduladha.

Sejak saat itu, orang-orang yang bermain taruhan di pemakaman tak ada lagi. Tak terdengar kabar apakah orang-orang itu masih melanjutkan kebiasaannya di tempat yang lain.

Dalam tahlilan yang rutin dilaksanakan, Kiai Zainuddin yang memimpin tahlilan juga mengingatkan warga pada leluhur desa yang makamnya ada di pemakaman umum tersebut. Memang, orang-orang di Desa Taro’an tidak tahu tentang riwayat dan silsilah tetua desa yang makamnya ada di pemakaman umum desa. Makamnya pun cukup unik. Dua makam yang dari batu nisannya teridentifikasi jenis kelamin laki-laki dan perempuan terletak di tengah pemakaman umum desa. Dua makam ini dikelilingi oleh batu karang setinggi sekitar setengah meter. Cukup aneh, karena lokasi Desa Taro’an berjarak sekitar 6,5 km dari pantai.

Jadi, selain memberantas maksiat, kegiatan tahlilan ini juga menjadi sarana untuk menyambungkan silsilah keimanan dan dakwah warga dengan leluhur desa yang dipercaya merintis dakwah Islam di desa kami. Hal ini terus diingatkan setiap acara tahlil digelar, sambil juga ditambahi dengan pesan-pesan keagamaan yang bersifat kontekstual.

Tahun demi tahun, perhatian masyarakat Desa Taro’an pada pemakaman umum di desanya semakin membaik. Dua tahun yang lalu, secara bergotong royong masyarakat desa membangun congkop atau pendopo kecil tepat di tengah lokasi pemakaman umum, di sekitar dua makam leluhur desa. Ukurannya sekitar 10 x 8 meter.

Setelah bangunan ini selesai, masyarakat juga membuat kegiatan rutin bulanan. Setiap hari Jum’at legi, masyarakat Desa Taro’an menggelar acara khataman Alquran, dimulai dari pagi-pagi benar setelah subuh hingga siang. Selain mendoakan para leluhur, khataman juga diniatkan untuk keselamatan desa dan masyarakatnya.

Bagi saya, kisah ini memberikan sedikit gambaran tentang pola dan strategi dakwah ala Islam Nusantara yang teduh dan tidak menggunakan cara kekerasan. Saya yakin, model dan strategi dakwah Islam yang seperti ini cukup banyak untuk ditemukan di tingkat akar rumput, meski minim publikasi.


Read More..

Selasa, 04 Juni 2019

Pesan Kebangsaan Idul Fitri


Idul Fitri memiliki makna spiritual yang bersifat individual dan sosial. Pada tingkat perorangan, Idul Fitri adalah perayaan kembalinya seseorang ke fitrah kemanusiaan yang suci setelah melalui tempaan puasa satu bulan penuh. Melalui olah rohani pengendalian diri selama bulan puasa, pribadi yang berhasil akan meraih kemenangan dengan kembali ke status asal penciptaan—seperti terlahir suci.

Pemahaman tentang makna spiritual Idul Fitri secara sosial dapat berangkat dari pemahaman fitrah individual manusia. Menurut M Quraish Shihab, penamaan manusia dengan kata al-insan—dalam bahasa Arab yang kemudian diserap ke dalam bahasa Indonesia—diambil dari kata uns yang berarti senang atau harmonis. Artinya, manusia memiliki fitrah mendasar untuk menjalin hubungan baik yang bersifat harmonis dengan sesama.

Manusia yang jalinan hubungannya dengan orang lain terganggu pasti juga akan mengalami kegelisahan. Hidupnya tidak akan bisa tenang. Manusia yang menyakiti orang lain, mendendam, atau melakukan dosa, berarti telah mengotori fitrah kemanusiaannya.

Dalam konteks kehidupan bermasyarakat dan berbangsa, di antara pesan Idul Fitri yang penting digarisbawahi, dorongan untuk menjaga dan memperkuat jalinan harmoni antarmanusia. Berbagai fenomena kehidupan kebangsaan dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan, ancaman terhadap harmoni kebangsaan tidak pernah usai. Memang benar di balik keragaman bangsa juga tersimpan potensi bekerja sama menuju bangsa yang unggul. Namun, tidak sedikit pula gejala yang menunjukkan bahwa harmoni itu dapat terganggu.

Salah satu pengganggu yang semakin mengkhawatirkan adalah persebaran hoaks karena intensitasnya semakin meningkat dan dampaknya semakin meluas mulai dari lokal hingga nasional. Menurut Kementerian Komunikasi dan Informatika, dalam empat bulan pertama tahun 2019, persebaran hoaks media sosial terus meningkat. Kemenkominfo mencatat ada 175 hoaks di bulan Januari 2019, 353 di bulan Februari, 453 di bulan Maret, dan 486 di bulan April.

Hoaks yang mengancam harmoni kebangsaan ini terutama berkaitan dengan isu politik. Identifikasi Kemenkominfo, periode Agustus 2018 hingga April 2019, dari 1.731 hoaks, 620 di antaranya masuk dalam kategori politik dan 210 masuk kategori pemerintahan.

Hoaks di bidang politik terkait pemilu yang baru usai digelar. Dampak persebarannya membuat masyarakat terbelah ke dalam kubu-kubu politik yang terus membangun narasi disharmoni yang tidak sehat. Beberapa dampaknya bahkan berupa tindak kekerasan seperti Mapolsek Tambelangan di Kabupaten Sampang pada 22 Mei lalu akibat hoaks yang ditelan mentah-mentah.

Narasi disharmoni terus terbangun terutama di media sosial, disusun oleh kaum awam yang memang kurang berpendidikan hingga dilakukan oleh mereka yang secara formal sudah cukup terdidik. Narasi disharmoni dan ancaman perpecahan sangat mengganggu kehidupan berbang-sa dan bernegara karena jalan untuk membangun dan meningkatkan mutu kehidupan masyarakat akan terhambat. Nalar dan emosi warga banyak dikotori informasi sesat, sehingga ruang kerja sama untuk berbuat kebajikan menyempit.

Secara teknis, hoaks dapat diatasi dengan klarifikasi dan peningkatan literasi. Kemenkominfo sendiri tak hanya berhenti mengidentifikasi hoaks di internet, tapi juga memverifikasi dan memvalidasi, sehingga diharapkan dapat memulihkan keadaan. Selain Kemenkominfo, banyak komunitas yang juga gigih mengidentifikasi dan mengklarifikasi hoaks.

Harmoni kebangsaan yang terancam hoaks dapat juga dilawan dengan memperkuat makna spiritual Idul Fitri khususnya dalam konteks fitrah harmoni manusia sebagai makhluk sosial. Dengan merayakan Idul Fitri, umat Islam khususnya didorong menjernihkan sikap batin dalam memandang dan berinteraksi dengan orang lain.

Dalam literatur dan tasawuf, umat Islam sering diingatkan tentang bahaya prasangka, dengki, dan dendam. Dalam sebuah hadis, Nabi Muhammad Saw mengingatkan agar kita berhati-hati dengan prasangka karena bisa serupa berita bohong. Dalam hadis yang lain dikatakan, jika di benak terlintas prasangka buruk tentang orang lain, jangan melayani dan melanjutkannya dengan tindakan lain.

Hoaks tentang “polisi Tiongkok” dalam aksi demo yang berlanjut rusuh pada 21-22 Mei lalu dapat menjadi cermin dan pelajaran tentang tindakan ceroboh dan grusa-grusu yang dipupuk oleh prasangka. Pelaku tanpa menyadari dapat mengganggu harmoni dan mengancam keutuhan bangsa.

Sikap dengki juga tak kalah berbahaya. Imam Syafi’i (w 820) mengingatkan, setiap permusuhan sejatinya dapat diharapkan bisa membaik, kecuali yang didasari sikap dengki. Sikap dengki mengotori pikiran seseorang, sehingga menutup pintu nalar dan hati yang jernih.

Maaf dan Cinta

Prasangka dan dengki mengotori hati, sehingga mengganggu fitrah harmoni sebagai modal pokok dalam membangun kehidupan berbangsa dan bernegara. Idul Fitri mengajarkan agar umat terus belajar mencapai tingkat ketulusan maaf yang sejati. Maaf adalah wujud kesadaran bahwa dendam, kebencian, dan kemarahan hanyalah penghalang kebebasan yang justru memerangkap kita di ruang ego yang sempit dan pengap.

Orang yang mampu memberi maaf dapat menahan diri dari upaya membalas dendam. Menurut ajaran Islam sebagaimana tertuang dalam Surah Annahl ayat 125, membalas dengan setimpal itu diizinkan. Akan tetapi, memaafkan itu jauh lebih baik. Jalaluddin Rakhmat menerangkan, memaafkan itu lebih baik. Menurutnya, manusia cenderung membalas lebih buruk, sehingga terjerembap ke perilaku zalim.

Dalam kehidupan sosial, maaf di sini tentu saja tidak berarti kita menafikan nilai dan dampak perilaku buruk, zalim, dan tidak adil. Perbuatan buruk tetap harus diadili. Namun, maaf di sini lebih sebagai sebuah sikap batin dalam melihat dan membuka jalinan dengan orang lain. Sebab, tertutupnya pintu maaf juga berarti tertutupnya kemungkinan jalinan harmoni dan kerja sama dengan orang lain.

Pada lapisan makna yang terdalam, memaafkan adalah ungkapan cinta. Memberi maaf dengan tulus merupakan ungkapan cinta pada orang yang dimaafkan. Ini tingkat tertinggi sikap batin memaafkan. Jika terus dipupuk akan menjadi kekuatan besar dalam merawat harmoni kebangsaan.

Umat Islam yang sudah menjalani puasa harus berbesar hati bahwa dirinya sudah berhasil melewati jihad dan latihan batin menaklukkan berbagai bentuk nafsu sepanjang bulan. Inilah yang perlu terus dijaga. Sebab di antara pesan kebangsaan Idul Fitri yang cukup kontekstual saat ini adalah panggilan untuk senantiasa menjaga fitrah harmoni kemanusiaan sebagai dasar bagi upaya untuk terus menebarkan kebajikan dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa.

Tulisan ini dimuat di Koran Jakarta, 4 Juni 2019.

Read More..

Senin, 18 Juni 2018

Idulfitri, Mudik Rohani


Idulfitri adalah kisah perjalanan pulang menuju fitrah kemanusiaan. Berkelana di belantara dunia yang penuh karut-marut dan cenderung mencipta kegundahan, Idulfitri adalah momentum bagi kita untuk kembali pada karakter dasar manusia tanpa embel-embel identitas duniawi yang berbeda-beda yang kadang memecah belah dan dapat mengerdilkan nilai kemanusiaan.

Secara kebahasaan, kata “Idulfitri” yang berasal dari Bahasa Arab dapat berarti “kembali ke asal”. Asal yang dimaksud adalah asal penciptaan, yakni bahwa manusia terlahir suci. Berdasarkan teks kitab suci, dalam Islam diyakini bahwa fitrah manusia adalah naluri beragama (agama tauhid) dan kecenderungannya pada kebaikan. Karena itu, berbuat baik pada dasarnya menenteramkan, dan berbuat buruk harus dilakukan dengan susah payah, penuh keterpaksaaan, dan justru berujung pada kerisauan.

Fitrah untuk mengimani agama tauhid dibangun di atas keyakinan adanya perjanjian primordial antara roh manusia dengan Tuhan untuk beriman pada Tuhan Yang Maha Esa (Q.,s. Al-A’raf/7: 172). Tugas manusia adalah menjaga kesucian perjanjian iman ini dari kekufuran dan kelak harus dipertanggungjawabkan di akhirat.

Sementara itu, fitrah manusia untuk cenderung pada kebaikan dalam bahasa yang lain mungkin identik dengan pengakuan akan adanya nilai moral universal dalam konteks kemanusiaan dan peradaban. Nilai-nilai yang sama dalam semua kebudayaan ini dalam ungkapan James Rachels (2004: 60) adalah aturan moral yang diperlukan untuk menjamin kelestarian masyarakat.

Dalam perjalanannya, fitrah kemanusiaan ini, seperti juga fitrah keimanan yang sifatnya mendasar, dapat tercederai oleh kehidupan duniawi dengan berbagai godaannya. Perbuatan-perbuatan buruk, yang kadang juga bercampur dengan asumsi atau cara pandang yang kurang jernih, sekecil apapun bentuknya, lambat laun juga dapat menutupi potensi suci manusia yang cenderung pada kebajikan itu sehingga keimanan dan fitrahnya pun layu dan gugur.

Penjara Ego

Perjuangan untuk menjaga dan perjalanan untuk meraih kembali fitrah ini tentu bukan perjalanan yang mudah. Imam Jamal Rahman (2013: 174-176), praktisi dan ahli spiritualitas lintas agama dari Amerika, mencatat bahwa umat beragama kadang gagal merawat fitrah kemanusiaan ini akibat kungkungan ego yang belum berhasil dijinakkan. Wujudnya dapat berupa bias dan eksklusivitas kelembagaan serta perasaan superioritas moral atas kelompok yang lain.

Akibatnya, kita terjebak pada diri-kecil yang eksklusif dan menghalangi kita untuk menjalin ikatan kemanusiaan dalam makna yang lebih luas. Orientasi fitrah untuk berbuat kebajikan kemudian menyempit dalam lingkar kelompok tertentu. Dalam konteks kisah Adam, situasinya mungkin mirip dengan klaim iblis yang sombong dengan mengakui bahwa ia lebih baik ketimbang manusia.

Nalar eksklusif ini bertentangan dengan penjelasan al-Qur’an bahwa tujuan keberagaman dalam penciptaan manusia adalah agar manusia saling mengenal (Q., s. al-Hujurat/49: 13). Khaled Abou El Fadl (2005: 206-207), tokoh muslim moderat dari University of California Los Angeles, memaknai fakta keberagaman ini sebagai sebuah tantangan etis bagi seorang muslim untuk dapat bekerja sama dengan orang lain yang berbeda demi kebajikan bersama.

Daya tarik untuk berpikir secara eksklusif ini belakangan cenderung menguat seiring dengan semakin keruhnya lalu-lintas informasi yang mengganggu kejernihan pikiran dan kebeningan hati yang sejatinya merupakan perkakas penting dalam menjaga fitrah kemanusiaan tersebut. Berita-berita palsu (hoax) yang disebarkan sembarangan secara masif pada titik tertentu mengubah kebohongan sebagai kebenaran, dan kemudian mengotori pikiran dan hati manusia saat membuat keputusan tindakan.

Tempaan Puasa

Idulfitri dapat dilihat sebagai sebuah etape bagi perjuangan kembali kepada fitrah kemanusiaan tersebut setelah melewati fase olah tubuh dan olah batin sepanjang bulan Ramadan. Al-Qur’an menyebutkan bahwa tujuan diwajibkan puasa bagi umat Islam adalah agar kita bertakwa (Q.s, al-Baqarah/2: 183).

Menurut Fazlur Rahman (1999: 29), akar kata “taqwa” dalam Bahasa Arab berarti “menjaga atau melindungi diri dari sesuatu”. Jadi, takwa bermakna melindungi seseorang dari akibat-akibat perbuatan buruk yang dilakukannya. Dalam diri orang yang bertakwa tertanam rasa takut (kepada Allah) yang mengarahkannya pada kesadaran akan tanggung jawab di Hari Akhir sehingga ia selalu berpegang pada fitrah kemanusiaannya itu.

Meraih takwa dengan berpuasa tentu bukan perkara yang gampang. Nabi Muhammad saw telah mengingatkan bahwa tidak sedikit orang yang berpuasa hanya mendapatkan lapar dan dahaga—jauh dari capaian takwa. Tingkatan takwa ini hanya bisa diraih jika seseorang telah berpuasa menurut tingkatan ketiga sebagaimana yang dijelaskan al-Ghazali, yakni saat seseorang tidak hanya menahan lapar, dahaga, dan nafsu seksual, tetapi juga berhasil mempuasakan anggota badan dari perbuatan dosa, hati dan pikirannya dari urusan duniawi dan hal-hal yang bernilai rendah.

Menahan lapar dalam puasa menurut al-Ghazali dapat melunakkan dan menjernihkan hati dan meruntuhkan tabir yang menghalangi hati dari pancaran kebenaran sejati. Nafsu konsumsi, bahkan meski terarah pada yang halal, menurut al-Ghazali dapat menjerumuskan seseorang pada tindakan yang dapat mencederai hak orang lain.

Selain pengendalian nafsu tubuh, puasa juga adalah kesempatan untuk menajamkan refleksi dengan perenungan (tafakur) dan iktikaf yang sangat disarankan terutama pada 10 hari terakhir Ramadan. Aktivitas reflektif ini dilakukan untuk mengisi energi batin secara intensif (Chodjim, 2013: 97). Menarik diri dari keramaian dan kegaduhan hidup yang rutin dalam kerangka reflektif telah dilakukan oleh tokoh-tokoh revolusioner sebelum mendapatkan pencerahan. Buddha bermeditasi di bawah pohon Bodhi, dan Nabi Muhammad juga menyepi di Gua Hira di bulan Ramadan sebelum menerima wahyu.

Berdasarkan uraian singkat di atas, pada tingkatan yang paling tinggi, puasa memuat kekuatan penuh dari fitrah kemanusiaan untuk selalu terhubung dengan Sang Asal, untuk mematrikan kesadaran pada perjanjian primordial, dan menerjemahkannya dalam laku perbuatan.

Idulfitri dengan demikian adalah mudik rohani untuk meneguhkan kembali fitrah kemanusiaan kita. Umat Islam pada khususnya diajak untuk menyegarkan kembali makna perjanjian primordialnya dengan Allah, meneguhkan keimanan dan mengagungkan Allah, dan mengorientasikan visi keimanannya pada kebajikan untuk sesama.

Kerangka orientasi makna Idulfitri yang demikian ini tidak saja menguatkan filosofi manusia menurut perspektif Islam yang berpandangan terbuka dan menghormati keberagaman, tetapi juga menjadi pengingat bahwa sejatinya Islam adalah agama yang dapat menebarkan rahmat bagi semesta alam.


Versi lebih pendek dari tulisan ini dimuat di Koran Jakarta, 18 Juni 2018.

Read More..

Senin, 11 Juni 2018

Pesantren, Ramadan, dan Jeda Reflektif


Sebagai subkultur, pesantren di antaranya memiliki cara pandang tersendiri tentang waktu dan pengelolaannya. Ritme dan jadwal kegiatan belajar santri sehari-hari di pesantren berlangsung dengan mengikuti jadwal shalat lima waktu. Dalam rentang satu tahun, libur pesantren juga mengikuti liburan hari-hari besar Islam, termasuk libur Ramadan.

Namun, saat pesantren mulai mengadopsi sistem pendidikan formal dengan kalender pendidikan yang diatur sedemikian rupa oleh otoritas pemerintah, ritme waktu di pesantren juga berubah. Hal ini juga terkait dengan libur bulan Ramadan.

Berdasarkan pengalaman saya saat belajar di Pondok Pesantren Annuqayah, Guluk-Guluk, Sumenep, dahulu libur Ramadan adalah libur akhir tahun pelajaran. Waktu itu, kalender pendidikan di pesantren dalam satu tahun mengikuti kalender hijriyah (lunar), dan Ramadan adalah libur panjang akhir tahun.

Kegiatan akhir tahun pelajaran madrasah di Pesantren Annuqayah dahulu hingga tahun 1992 dimulai tepat keesokan hari setelah malam Nisyfu Syakban. Itu adalah waktu perayaan setelah ujian akhir di madrasah yang dikenal juga dengan istilah Haflatul Imtihan. Puncak Haflatul Imtihan dilaksanakan sekitar sepekan kemudian, lalu setelah itu liburan panjang pun dimulai. Santri kembali ke pesantren dua pekan setelah lebaran.

Dalam sistem kalender pendidikan seperti itu, Ramadan bagi pesantren adalah semacam jeda reflektif. Setahun ditempa dengan berbagai kegiatan kependidikan dan keagamaan di pesantren, libur Ramadan adalah saat bagi santri untuk kembali ke rumah dan lingkungan masyarakatnya. Selain hidup bermasyarakat, Ramadan di kampung halaman adalah kesempatan bagi santri untuk mengikuti ritme kegiatan keagamaan di masa bulan Ramadan.

Kiai M. Faizi, salah satu pengasuh di Pesantren Annuqayah saat ini yang juga dikenal sebagai penyair dan budayawan, di laman Facebook-nya mencatat ada 11 manfaat liburan pesantren dalam konteks kekinian. Selain sebagai tempat santri “berlatih” berkiprah di masyarakat, di antara manfaat yang ditulis Kiai Faizi adalah bahwa libur Ramadan merupakan “aktivitas politik pertanggungjawaban” saat santri kembali dipasrahkan kepada orangtuanya.

Sementara itu, sebagian santri ada juga yang kembali ke pondok untuk mengikuti pengajian kitab yang diselenggarakan di pesantren. Di pesantren, selain mengaji kitab, mereka juga bertadarus dan tarawih bersama. Kegiatan belajar dan berkegiatan di pesantren saat Ramadan bisa dikatakan berbasis kesadaran santri—tidak ada tekanan dan aturan seketat saat hari-hari aktif.

Jeda reflektif santri saat Ramadan ini mungkin mendekati atau mirip dengan momen saat Nabi Muhammad saw. menjalani masa-masa rutin tahannuts di Gua Hira. Tahannuts, menurut Quraish Shihab, “bisa jadi merupakan tata cara yang sesuai dengan ajaran Nabi Ibrahim as.”. Bentuknya bisa berupa renungan, tafakkur, dan zikir. Dalam al-Qur’an dan ajaran tasawuf pada khususnya, tafakkur yang dapat berarti juga sebagai momen reflektif mendapat tempat yang cukup penting.

Secara sederhana, al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumiddin menerangkan bahwa kegiatan tafakur itu dapat menghasilkan ilmu atau pengetahuan, dan ilmu atau pengetahuan dapat mengubah keadaan hati. Jika hati berubah maka perilaku anggota badan juga dapat berubah.

Kini, ritme tahunan kegiatan kependidikan dan keagamaan pesantren sedikit berubah. Ramadan tidak mesti menjadi akhir tahun pelajaran madrasah/pendidikan. Seperti tahun ini, pelaksanaan perayaan akhir tahun pelajaran dilaksanakan pada saat yang berbeda-beda di beberapa pesantren dan lembaga pendidikan keagamaan bercorak pesantren. Ada yang bentuknya disederhanakan dan dilaksanakan beberapa hari sebelum Ramadan. Ada juga yang dilaksanakan di bulan Ramadan. Lainnya ada yang akan dilaksanakan di bulan Syawal atau setelah lebaran.

Apakah perubahan ritme tahunan kegiatan di pesantren terkait Ramadan ini berpengaruh pada kehidupan pesantren atau cara berpikir santri secara umum? Ini mungkin bisa ditelaah secara khusus dan lebih mendalam. Tata waktu adalah salah satu unsur orientasi dalam sistem kebudayaan manusia. Yang jelas, tata waktu subkultur pesantren saat ini tengah berubah akibat perubahan kalender pendidikan ini.

Masalah ini semakin menarik untuk diteliti lebih jauh jika kita meletakkan situasi yang berubah ini dalam kerangka kebudayaan yang melatarinya. Bagaimanapun, harus diakui bahwa tata waktu pendidikan formal yang saat ini diadopsi pesantren sedikit banyak mengikuti pengaturan waktu menurut dunia industri yang bisa dibilang bias Barat. Masa akhir tahun pelajaran yang berlaku saat ini sejatinya sangat cocok untuk negara empat musim seperti di Eropa atau Amerika Utara. Itu adalah masa liburan musim panas, saat kerja dan kegiatan pokok diliburkan. Sedangkan waktu libur di pertengahan adalah libur natal dan tahun baru, saat turunnya salju mencapai puncaknya.

Yuval Noah Harari dalam buku larisnya yang berjudul Sapiens menjelaskan semakin berkuasanya waktu industrial dalam kebudayaan manusia di berbagai penjuru dunia. Sistem waktu yang mengandalkan ketepatan dan keseragaman di sektor industri lambat laun juga diadopsi sekolah, rumah sakit, kantor pemerintah, dan lainnya. Jika waktu industrial semakin dominan, dan sistem ini secara tidak disadari juga menjadi landasan ritme waktu kegiatan kependidikan di pesantren, kemungkinan adanya pengaruh—disadari atau tidak—sangatlah terbuka.

Memang, perubahan yang dialami pesantren bukan hanya terkait ritme waktu. Ini hanya salah satu sisi yang dalam kerangka kebudayaan dapat bermakna dan memiliki konsekuensi yang cukup samar namun bisa cukup penting. Sisi lainnya tentu saja terkait dengan berbagai bentuk perubahan sosial dalam kehidupan masyarakat kita, seperti penetrasi teknologi informasi yang luar biasa yang juga berdampak pada kehidupan santri pada khususnya.

Semua perubahan ini mungkin memang bagian dari perubahan alamiah dalam kehidupan sosial dan kebudayaan yang terus berkembang. Yang perlu dipikirkan secara lebih serius adalah pengaruhnya terhadap nilai-nilai dan pandangan dunia pesantren, dan yang lebih penting lagi antisipasi dan langkah konkretnya yang harus diambil oleh pesantren.

Tulisan ini dimuat di Radar Madura, 11 Juni 2018.


Read More..

Sabtu, 30 September 2017

Shalat Jum'at di Gereja


Ada sedikit kejutan di hari terakhir kami di Amerika. Setelah kegiatan terakhir, yakni evaluasi program, dilaksanakan, saya dan beberapa teman bermaksud untuk shalat Jum'at. Menurut panduan yang dikeluarkan panitia, shalat Jum'at terdekat digelar oleh Muslim Student Association Portland State University di salah satu gedung kampus. Jaraknya sekitar 1 mil dari hotel tempat kami menginap. Menurut Google Maps, dari hotel ke tempat tersebut dapat ditempuh dengan jalan kaki 22 menit.

Di luar gerimis, persis seperti ramalan cuaca di televisi yang saya tonton sebelum subuh. Saya berangkat dengan membawa payung, berdua dengan Pak Yasir, dosen dari UIN Arraniry Banda Aceh. Kami bergegas di antara terpaan angin karena khawatir terlambat.

Saya berjalan di depan mengikuti petunjuk Google Maps. Tak sulit untuk menemukan gedung yang dimaksud. Gedung Peter W Stott sudah terlihat. Begitu pintu masuk terlihat, kami bergegas ke dalam. Setelah beberapa saat mencari, ternyata tak ada shalat Jum'at di gedung itu. Menurut salah seorang yang kami temui, katanya sebagian gedung itu sedang direnovasi sehingga mungkin tempat shalat Jum'at dipindah. Dia memberi petunjuk agar kami ke tempat Muslim Student Association di gedung sebelah.

Kantor Muslim Student Assoiation ternyata cukup jauh. Setelah mencari-cari kantor Muslim Student Association di gedung dimaksud, kami menemukan informasi yang cukup mengejutkan: shalat Jum'at hari ini digelar di First Christian Church di 1314 SW Park Ave, dan khotbah akan dimulai pada pukul 13.40.

Beruntung sekali di kantor tersebut ada jaringan Wi-Fi gratis. Saya segera cek Google Maps. Ternyata gedung First Christian Church tidak jauh dan tidak sulit. Enam menit jalan kaki, begitu menurut Google Maps. Gedungnya bersebelahan dengan Oregon Historical Society yang sebelumnya kami tempati salah satu sesi kegiatan.

Saat itu waktu menunjukkan pukul satu lewat beberapa menit. Masih cukup waktu untuk ke sana. Sebelum meninggalkan kantor Muslim Student Association, saya berkirim pesan ke teman-teman yang lain tentang perubahan tempat shalat Jum'at tersebut dan lokasi gereja di Google Maps.

Sesampai di depan gereja yang dimaksud, kami mencari pintu masuk. Pintu masuk utama tertutup rapat, terkunci. Ternyata di sebelah ada pintu yang sepertinya mengarah ke kantor gereja, dan di pintunya tertulis pengumuman tentang pelaksanaan shalat Jum'at di situ.

Setelah menunggu sebentar, seorang perempuan muda datang membukakan pintu. Dengan ramah, dia mengantar kami ke tempat pelaksanaan shalat Jum'at, yakni di lapangan basket yang ada di kompleks gereja. Saat kami tiba, hanya ada 2 orang di situ. Waktu menunjukkan pukul 13.10.

Namun tak lama setelah saya tiba, orang-orang mulai berdatangan. Lalu datang pula beberapa anak muda yang kemudian menggelar tikar bermotif sajadah di ruangan tersebut. Saat tikar mulai digelar, beberapa teman kami datang juga.

Seperti di pengumuman, khotbah dimulai pada pukul 13.40. Khotibnya masih muda. Saya menduga dia mahasiswa di Portland State University. Khotbahnya tidak lama. Standar. Isinya di antaranya seruan untuk meneladani sosok Nabi Muhammad saw dalam konteks kehidupan dan tantangan kaum muslim di Amerika. Sekitar pukul 2, shalat Jum'at digelar.

Setelah shalat Jum'at, panitia dari Muslim Student Association memberi pengumuman singkat. Di antaranya tentang pemindahan tempat shalat Jum'at. Dia menjelaskan bahwa Muslim Student Association sangat senang karena telah diberi tempat oleh First Christian Church untuk shalat Jum'at di situ; bahkan petugas di kantor gereja tersebut tidak pulang, menunggu selesainya pelaksanaan shalat Jum'at. Lalu dia mengumumkan bahwa ada kotak amal untuk gereja di belakang jika ada jamaah yang berkenan membantu.

Rasanya, shalat Jum'at terakhir di Amerika ini memberi kesan menarik buat saya. Pengalaman shalat Jum'at di gereja bagi saya adalah pengalaman pertama. Dan ini di antaranya menggambarkan bahwa paling tidak di tingkat akar rumput, kehidupan antar-umat beragama di Amerika tidak selalu jauh dari harmoni. Selama 3 pekan di Amerika, berpindah dari satu kota dan negara bagian yang berbeda (Washington DC, Reston di Virginia, Detroit di Michigan, Dallas dan Austin di Texas, dan Portland di Oregon), kami menemukan harmoni dan wajah toleransi yang mengesankan.

Di Dallas, Texas, misalnya, di masjid tempat kami Jum'atan saya menemukan surat dari komunitas Yahudi, komunitas Kristen, dan juga tetangga sekitar masjid, yang memberikan dukungan saat komunitas muslim mendapatkan perlakukan yang tidak nyaman dari kelompok masyarakat tertentu.

Dari sudut konstitusi, kebebasan beragama di Amerika dijamin oleh undang-undang. Umat beragama harus tidak mendapat hambatan untuk melaksanakan ajaran-ajarannya. Dari komunitas-komunitas muslim yang kami kunjungi, kami mendapatkan kisah bahwa secara umum menjalankan ajaran Islam di Amerika tidak sulit. Bahkan di kampus Georgetown University Washington DC, kampus Jesuit tersebut mengangkat seorang imam untuk mahasiswa muslim yang memiliki kantor dan mengelola kegiatan keagamaan bersama pemimpin agama yang lain.

Kesan saya tentang hubungan antar-agama di Amerika mendapatkan pengalaman menarik saat shalat Jum'at di gereja. Tambahan lagi, saat saya keluar dari kompleks gereja, saya menemukan sebuah tulisan menarik di salah satu sisi gedung kompleks gereja. Begini kalimatnya: "As a christian I am sorry for times we've been silent and the narrow-minded, judgemental, deceptive, manipulative, ignorant, harmful ways we have denied rights, equality and inclusion to so many in the name of God."



Pengakuan dan permintaan maaf atas kesalahan dan sikap buruk kepada orang lain tidaklah mudah untuk dkeluarkan. Untuk bisa demikian, kita harus selangkah mengalahkan ego dalam diri kita. Dalam menghargai dan menghormati orang lain, itu mungkin salah satu tahap tersulit yang harus kita lewati.

Jum'atan terakhir di Amerika seperti merangkum dan menegaskan pesan penting tentang makna hidup bersama sebagai manusia yang melampaui sekat-sekat identitas kelompok yang berpotensi mengundang sikap tidak manusiawi dan tidak beradab.

Portland-Los Angeles, 30 September 2017

Read More..

Selasa, 07 Juni 2016

Jihad dalam Berkeluarga


Belakangan ini, kasus kekerasan anak semakin marak terjadi. Semakin beratnya masalah kekerasan anak ini dapat dilihat dari fakta bahwa anak tidak lagi hanya menjadi korban kekerasan. Beberapa tahun terakhir, dalam kasus kekerasan, jumlah anak yang berstatus sebagai pelaku kekerasan cenderung naik. Pada Oktober 2014, Komnas Anak menyiarkan data bahwa anak yang menjadi pelaku kekerasan seksual pada tahun 2014 hingga bulan Oktober berjumlah 26%, sedang pada sepanjang 2013 jumlahnya 16% dari 3.339 kasus (Tempo, 22/10/2014).

Kasus kekerasan anak yang makin banyak terjadi ini salah satunya dapat dilihat sebagai kegagalan keluarga untuk memerankan diri sebagai tempat pewarisan nilai dalam sistem kehidupan bermasyarakat. Anak-anak menyerap nilai-nilai dan membentuk diri dari lingkungan sosial yang cenderung semakin keras dan menyimpang dari norma-norma sosial.

Bagaimana sebenarnya posisi lembaga keluarga atau pernikahan? Syekh Hujjatul Islam Imam Al-Ghazali dalam Ihya’ ‘Ulumiddin menjelaskan bahwa salah satu faidah pernikahan adalah sebagai sarana jihad-diri (mujâhadah al-nafs). Sebagaimana arti dasarnya, jihad bermakna “berjuang” atau “berusaha sungguh-sungguh” untuk tujuan mencapai kebaikan tertentu. Menurut al-Ghazali, pernikahan menjadi sarana jihad dalam kaitannya dengan tugas memberi pendidikan yang baik sesuai dengan tuntunan agama.

Beberapa tugas dan fungsi keluarga (pernikahan) yang oleh al-Ghazali diletakkan dalam kerangka jihad-diri terutama sangat terkait dengan fungsi pewarisan atau pelestarian nilai. Al-Ghazali menjelaskan bahwa jihad-diri ini meliputi tugas seperti membimbing anggota keluarga agar tetap berada di jalan agama, bersikap sabar dalam menghadapi perilaku anak yang tidak baik, memenuhi hak anggota keluarga, atau berupaya mencari nafkah (yang halal).

Dalam konteks situasi kehidupan yang semakin mendunia saat ini, fungsi sosialisasi dan pelestarian nilai dalam keluarga di antaranya berhadapan dengan tarikan berbagai unsur sosial yang semakin rumit dan memiliki kekuatan yang tidak dapat disepelekan. Arus informasi yang begitu cepat dan deras dengan mudah merasuk ke ruang-ruang pribadi anak dan anggota keluarga yang lain sehingga berpeluang menggiring pada perilaku menyimpang.

Selain itu, ada kecenderungan bahwa kehidupan saat ini tampak lebih mendorong anak atau siapa pun untuk lebih memberi perhatian pada upaya pencapaian hal-hal baru—produksi dan prestasi. Sedangkan pelestarian hal-hal berharga yang sudah dicapai dan dimiliki kadang cenderung diabaikan. Dengan kata lain, dalam cengkeraman nalar kapitalis yang kadang cukup samar, gerak dunia saat ini cenderung mengabaikan nilai konservasi.

Cara berpikir berdasarkan gaya hidup (kapitalis) masa kini inilah yang mungkin juga membuat fungsi pendidikan atau pelestarian nilai dalam keluarga terabaikan. Ritme kehidupan yang menjadi semakin cepat terkadang justru membuat orang lupa untuk merawat hal-hal yang berharga dalam keluarga, baik berupa nilai, maupun hal yang lainnya.

Dalam situasi seperti ini, maka sangatlah penting untuk membekali kalangan remaja dengan visi yang bersifat mendasar dalam berkeluarga—yang di antaranya adalah kerangka pandang jihad-diri dalam berkeluarga sebagaimana dijelaskan oleh al-Ghazali. Jangan sampai kaum remaja hanya terjebak dalam romantisme cinta yang dangkal dan semu dalam memandang laku berkeluarga sehingga peran strategis keluarga dalam sistem hidup bermasyarakat kurang terwujud dengan baik.

Pada titik ini, berbagai lembaga sosial yang ada diharapkan dapat berbagi dan mengambil peran untuk saling memperkuat penanaman visi berkeluarga yang bernilai strategis, kontekstual, dan visioner terutama bagi kalangan remaja. Melalui sekolah, perkumpulan informal, maupun dalam keluarga itu sendiri, atau juga lembaga sosial yang lain, kaum remaja hendaknya terus didorong untuk mempersiapkan diri agar kelak dapat mengambil peran yang baik sebagai pelestari nilai-nilai penting dalam masyarakat.

Kesiapan untuk menjadi orangtua dapat menyangkut hal yang bersifat abstrak seperti visi dan cara pandang tentang fungsi keluarga. Namun ia juga dapat berupa keterampilan praktis dalam menjalin komunikasi, membangun rasa saling percaya di antara anggota keluarga, memberi bimbingan, maupun memecahkan masalah.

Dengan memandang laku berkeluarga sebagai jihad, dengan sendirinya kita juga tengah mendorong visi sosial para remaja dalam berkeluarga. Yakni bahwa berkeluarga itu bukan semata perkara personal, tapi juga menyangkut kelestarian kehidupan dan peradaban masyarakat—di sinilah letak fungsi sosial keluarga terkait konservasi.

Ini sejalan dengan penjelasan Allah swt. dalam al-Qur’an surah al-Furqan [25] ayat 74 yang mengidealkan bahwa seorang “hamba Allah Yang Maha Pemurah” (‘ibâdurrahmân) adalah mereka yang peduli pada pendidikan anggota keluarga mereka sekaligus dapat mengantar anak-anak mereka sebagai teladan dan pemimpin umat.


Tulisan ini dimuat di Majalah Auleea edisi Juni 2016.


Read More..

Minggu, 07 Desember 2014

Inspirasi al-Qur’an untuk Literasi


Al-Qur’an adalah kitab suci yang telah menjadi sumber inspirasi banyak orang di berbagai penjuru dunia. Inspirasi itu di antaranya mewujud dalam bentuk buku. Tak terbilang berapa buku yang sudah ditulis—baik oleh kaum muslim maupun nonmuslim—yang terilhami oleh al-Qur’an, mulai dari tafsir yang ditulis oleh ulama muslim klasik hingga kontemporer, buku bertema tertentu yang berperspektif al-Qur’an, hingga akhirnya al-Qur’an menjadi bidang keilmuan tersendiri sehingga kemudian melahirkan banyak karya tulis.

Di Indonesia kita punya Tafsir Al-Misbah karya M. Quraish Shihab, Tafsir al-Azhar karya Buya Hamka, Tafsir al-Ibriz karya KH Bisri Mustofa yang berbahasa Jawa, dan karya-karya yang lain. Kajian keilmuan tertentu berperspektif al-Qur’an di kalangan intelektual Indonesia juga sudah dikenal, seperti buku Al-Qur’an dan Lautan (Penerbit ‘Arasy, 2007) karya Agus S. Djamil.

Beberapa buku yang disebutkan di atas dan yang sejenisnya bisa dikelompokkan sebagai karya yang coraknya relatif akademis. Karena itu, karya-karya tersebut mungkin hanya dikenal di kalangan tertentu saja.

Namun, seiring dengan makin meluasnya minat masyarakat Indonesia pada wacana keislaman pada beberapa dekade terakhir, kita menemukan produk-produk perbukuan populer yang terinspirasi dari al-Qur’an. Mungkin yang paling banyak kita temukan paling tidak dalam 10 tahun terakhir adalah berupa pengemasan mushaf al-Qur’an dalam bentuk yang lebih menarik dengan berbagai pernik kreasinya.

Di toko-toko buku, kita menemukan al-Qur’an yang dicetak dengan pengemasan dan tata artistik dengan diberi nilai tambah tertentu. Ada al-Qur’an yang ayat-ayat di dalamnya diberi tanda tertentu terkait cara bacanya sesuai dengan Ilmu Tajwid. Ada pula yang selain memuat terjemahan versi Kementerian Agama RI juga mencantumkan terjemah per kata. Yang demikian ini dimaksudkan untuk mempermudah pembaca mendaras al-Qur’an secara benar dan membantu pembaca memahami makna literal al-Qur’an secara lebih teperinci.

Selain itu, pengembangan pengemasan al-Qur’an ini juga masuk pada minat-minat khusus. Salah satu edisi menyebut al-Qur’an yang diterbitkannya dengan istilah “edisi wanita” karena secara khusus juga memuat hal-hal yang berkaitan dengan perempuan, seperti kisah-kisah perempuan yang ada dalam al-Qur’an, ibadah tertentu terkait perempuan, dan semacamnya.

Ada juga al-Qur’an yang memberi tanda warna khusus pada ayat-ayat kauniah untuk menunjukkan keluasan cakupan al-Qur’an pada bidang sains. Ayat-ayat kauniah yang jumlahnya jauh lebih banyak dibanding ayat-ayat hukum itu diyakini merupakan isyarat al-Qur’an agar kita meneliti dan mengkaji isyarat-isyarat semesta dengan nalar.

Ada pula al-Qur’an yang disebut edisi “famy bi syauqin”. Edisi ini membagi seluruh surah al-Qur’an dalam tujuh bagian (yang lazim disebut “manzil”) yang dimaksudkan sebagai pedoman bagi mereka yang berkomitmen untuk mengkhatamkan membaca al-Qur’an selama sepekan.

Kreativitas penerbit dalam hal ini sudah menyentuh pada sisi teknologi. Penerbit Syaamil, misalnya, menerbitkan al-Qur’an yang selain memberi banyak nilai tambah dengan tafsir singkat, sebab turunnya ayat, doa terkait, dan sebagainya, juga melengkapinya dengan pena elektronik yang dapat bersuara atau melantunkan ayat al-Qur’an yang sedang ditunjuk.

Salah satu al-Qur’an yang terbit dikeluarkan oleh Penerbit Al-Mizan, Bandung berjudul al-Qur’an al-Karim: The Wisdom (Mei 2014). Selain memuat terjemahan versi Kementerian Agama RI dan terjemah per kata, al-Qur’an ini juga memuat 1420 artikel tafsir dan pengaya wawasan di setiap halamannya yang terpetakan dalam enam tema besar: akidah, akhlak, ibadah, muamalah, ilmu, dan kisah. Al-Qur’an yang penerbitannya melibatkan 17 kontributor artikel dan tebalnya mencapai 1236 halaman ini kemudian tampak seperti tafsir tematik terpilih yang penyajiannya bersifat populer. Rujukan yang digunakan meliputi kitab-kitab tafsir otoritatif, mulai dari tafsir klasik seperti al-Thabari hingga kontemporer seperti karya Wahbah Zuhaili.

Berbagai edisi pengemasan al-Qur’an dalam bentuk baru dan populer ini bisa dilihat sebagai kreativitas dan kejelian penerbit untuk melihat kebutuhan dan peluang pasar. Di media massa, khususnya televisi, kita dapat melihat bangkitnya minat keagamaan masyarakat muslim khususnya di kalangan kelas menengah perkotaan. Di industri mode, busana muslim juga mengalami peningkatan minat yang cukup luar biasa.

Seiring dengan inilah kreasi penerbit untuk mengemas al-Qur’an dengan sedemikian rupa juga muncul. Melihat semakin beragamnya kreasi penerbit dalam penerbitan al-Qur’an ini, kita dapat menilai bahwa berbagai versi al-Qur’an tersebut sangat laku di pasaran. Penerbit tampak tak ragu untuk mengeluarkan modal penerbitan yang cukup besar (tampak dari cetakannya yang rata-rata mewah) karena laba yang bisa diperoleh cukup menjanjikan.

Demikianlah, dalam bentuk yang lebih populer, kita belakangan ini menyaksikan bagaimana al-Qur’an menginspirasi dunia literasi. Sampai di titik ini, kita patut menggarisbawahi bahwa ayat al-Qur’an yang pertama diturunkan, yakni surah al-‘Alaq ayat 1-5, memang memuat semangat literasi yang kuat.

Berbagai versi al-Qur’an yang sifatnya kreatif itu memberi akses yang lebih mudah dan lebih luas pada masyarakat umum untuk dapat membaca, memahami, dan menggali pesan-pesan al-Qur’an sebagai pedoman hidup kaum muslim. Mereka yang awam di bidang ilmu keislaman dapat belajar al-Qur’an melalui produk populer ini. Tentu ini bisa menjadi kabar yang menggembirakan. Harapannya, semoga inspirasi al-Qur’an untuk literasi ini bisa memberi dampak yang lebih nyata bagi peningkatan mutu keberagamaan dan mutu kehidupan masyarakat.


Versi pendek tulisan ini dimuat di Harian Radar Surabaya, 7 Desember 2014.


Read More..

Kamis, 16 Oktober 2014

Kepekaan pada Alam sebagai Landasan Keimanan

Sinergi Nilai-Nilai Kenabian dan Upaya untuk Membentuk Kepedulian Lingkungan



Pendahuluan

Isu lingkungan hidup dalam beberapa dekade terakhir ini mengemuka sebagai salah satu isu penting dunia. Persoalan ini mendapatkan perhatian yang cukup besar dari berbagai pihak terutama karena dua alasan. Pertama, krisis lingkungan mengancam keberlangsungan hidup seluruh manusia dan makhluk hidup di bumi karena krisis ini langsung terkait dengan hal-hal yang berhubungan dengan kebutuhan hidup mendasar manusia dan makhluk hidup pada umumnya, seperti air, udara, makanan, dan sebagainya.

Kedua, krisis lingkungan merupakan persoalan global sehingga isu ini bisa disebut sebagai masalah bersama penduduk dunia. Krisis lingkungan ini juga meneguhkan kondisi sosiologis dunia saat ini yang disebut berada dalam era globalisasi. Dalam salah satu bukunya, Peter Singer (2004: 19-20) memberi ilustrasi bahwa seseorang yang menyemprotkan deodoran ke ketiaknya di apartemennya di New York bisa saja menyumbang bagi meninggalnya warga Punta Arenas di Chili akibat kanker kulit. Demikian pula, karbon diaoksida yang dikeluarkan oleh mobil seseorang di sebuah tempat di dunia secara berantai dapat menjadi salah satu penyebab banjir mematikan di Bangladesh.

Dampak global krisis lingkungan yang mengemuka dalam dua hingga tiga dekade terakhir dituangkan dalam risalah ilmiah dan populer, termasuk juga dalam berbagai film dokumenter. Laporan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) pada tahun 2001 memperlihatkan adanya tanda-tanda pemanasan yang jelas dalam satu abad terakhir. Menurut laporan ini, dekade 1990-an adalah dekade terpanas, dan 1998 adalah tahun terpanas. Permukaan laut juga dilaporkan naik antara 10 hingga 20 centimeter dalam satu abad terakhir. Sejak tahun 1960-an, salju dan tutup es berkurang sekitar 10 persen, dan gletser juga menyusut kecuali di dekat kutub (Singer, 2004: 15-16).

Gambaran ilmiah krisis lingkungan yang lebih bersifat populer, singkat, namun menyeluruh diterbitkan oleh National Geographic pada 2008 dalam dua edisi khusus bertajuk “Detak Bumi” dan “Perubahan Iklim”. Dua edisi spesial ini melaporkan perubahan iklim (climate change) dan kecenderungan global sumber daya bumi yang mengancam kualitas hidup manusia. Meski dituturkan dengan bahasa yang datar, secara tersirat diskusi semacam ini bagaimanapun akan menyentuh aspek keadilan sosial (social justice). Misalnya ketika dipaparkan bahwa 2 orang terkaya di dunia memiliki lebih banyak uang dibandingkan dengan total PDB 45 negara termiskin.

Data kuantitatif dan ilustrasi visual yang cukup menarik tersaji dalam film dokumenter berjudul “Home” (2009) arahan sutradara Yann Arthur-Bertrand. Film yang mengambil gambar di puluhan negara di dunia ini menelusuri jejak manusia pada bumi yang mewujud dalam bentuk krisis lingkungan. Dalam film ini, di antaranya dituturkan bahwa setiap tahun, 13 juta hektar hutan menghilang. Spesies punah dalam ritme 1.000 kali lebih cepat daripada kepunahan alaminya. Di seluruh dunia, satu dari sepuluh sungai besar sudah tidak lagi mengalir ke laut selama beberapa bulan dalam setahun. Sementara itu, 40% tanah subur mengalami kerusakan jangka panjang. Sejak 1950, penangkapan ikan telah meningkat lima kali lipat dari 18 juta menjadi 100 juta metrik ton per tahunnya. Kebanyakan ikan besar telah dipancing hingga punah karena mereka tak diberi kesempatan untuk bereproduksi.

Bagaimana dengan Indonesia? Laporan Kementerian Lingkungan Hidup pada tahun 2007 menyatakan bahwa Indonesia kehilangan 24 pulau kecil dalam periode 2005-2007 sebagai dampak dari perubahan iklim (Muhammad, 2008). Laporan UNDP pada tahun 2007 memaparkan bahwa pada akhir 1990-an, Indonesia kehilangan area hutannya seluas 1,6 juta hektar per tahun. Laporan Majalah Tempo tahun 2007 menyatakan bahwa pada tahun 2003, laju penggundulan hutan ini meningkat menjadi 3 juta hektar per tahun. Institut Pertanian Bogor melaporkan bahwa pada periode 1992-2000, setiap daerah di Indonesia kehilangan sekitar 300 ribu ton produksi per tahun (UNDP, 2007: 4-8).

Ancaman terhadap pertanian juga meningkat di antaranya akibat siklus musim yang tidak teratur. Pada periode Januari hingga Juli 2010, banjir telah mengakibatkan sawah seluas 66.909 hektar mengalami gagal panen (Kompas, 2/9/2010). Akibat pengaruh perubahan iklim pula, pada musim tanam (MT) I dan MT II 2010, produktivitas panen per hektar lahan padi di Banyumas dan sekitarnya hanya 3-4 ton gabah atau turun antara 40 persen dan 50 persen dibandingkan dengan rata-rata biasanya (Kompas, 14/9/2010).

Keberlanjutan sumber daya air juga mengancam Indonesia. Kecukupan air untuk berbagai keperluan penduduk di Pulau Jawa pada tahun 2025 diperkirakan hanya mencapai 320 meter kubik per kapita per tahun. Jumlah ini hanya separuh dari yang dibutuhkan sehingga akan terjadi tingkat kerawanan yang sangat parah (Kompas, 3/12/2009).

Situasi seperti yang tergambar di atas menjadi tantangan tersendiri bagi manusia. Selain isu keadilan sosial, nilai yang mengemuka adalah soal keberlangsungan manusia dan makhluk hidup lainnya di alam semesta. Menghadapi masalah dan tantangan ini, berbagai upaya telah ditempuh baik yang berupa usaha-usaha politis yang sifatnya nasional maupun global, juga pendidikan lingkungan yang dilakukan oleh lembaga formal maupun komunitas.

Selain itu, di bidang kajian ilmiah, upaya serupa juga dilakukan. Penggalian nilai dan norma keagamaan maupun kebijaksanaan lokal dilakukan untuk menopang dan membangkitkan kepedulian masyarakat luas dalam menghadapi tantangan global ini.

Tulisan pendek ini akan berupaya menggali sejarah kehidupan Nabi Muhammad saw dan memeras nilai-nilai yang terkait dengan kepedulian lingkungan. Tulisan ini mengasumsikan bahwa Nabi Muhammad adalah sosok teladan umat Islam yang menjadi salah satu rujukan utama nilai dan norma Islam. Keteladanan Nabi Muhammad juga terdapat dalam cara pandang dan cara bersikap terhadap lingkungan hidup. Diriwayatkan bahwa Nabi tidak pernah merusak sumber alam dan tanaman, bahkan dalam situasi peperangan. Dalam sejarah, hanya sekali Nabi merusak tanaman yakni saat mengepung benteng Bani Nadir. Sikap Nabi yang sangat tidak lazim ini dilakukan karena memang menghadapi situasi yang tidak biasa, sehingga untuk itu Allah pun perlu menegaskan izinnya terkait kasus ini dalam surah al-Hasyr [59] ayat 5. Lebih jauh, menurut M. Quraish Shihab, sebenarnya Nabi sekadar menebang pohon kurma yang dijadikan perlindungan oleh Bani Nadir (Shihab, 2011: 679-684).

Pertanyaan yang hendak dijawab oleh tulisan ini adalah apa saja bangunan mendasar yang dimiliki sosok Nabi Muhammad saw sehingga dirinya memiliki kepedulian yang besar untuk menjaga alam? Bagaimana jika kerangka dasar tersebut disinergikan dengan pendekatan yang dilakukan dalam ilmu lingkungan, khususnya pendidikan lingkungan sebagai sebuah bidang yang belakangan ini berkembang untuk merespons persoalan krisis lingkungan?


Krisis Lingkungan: Krisis Spiritualitas

Sebelum menjawab pertanyaan utama tersebut, penting untuk terlebih dahulu melihat akar masalah yang menjadi penyebab terjadinya krisis lingkungan yang dihadapi umat manusia saat ini.

Dari beberapa rujukan, disebutkan bahwa penyebab krisis lingkungan ini terkait dengan aktivitas manusia. Krisis lingkungan bukan disebabkan oleh sesuatu yang bersifat alamiah. Secara lebih khusus, aktivitas manusia yang dimaksud adalah aktivitas ekonomi manusia (Speth, 2008: 6; Singer, 2004: 16).

James Gustave Speth, seorang tokoh lingkungan Amerika, dalam bukunya yang berjudul The Bridge at the Edge of the World (2008) secara lebih khusus menyebut kapitalisme modern sebagai faktor kunci penyebab krisis lingkungan. Dengan melihat berbagai perubahan penting pada periode tahun 1750-2000, terlihat betapa aktivitas ekonomi manusia memang mendorong bagi banyak hal: konsentrasi karbon dioksida yang meningkat, penipisan lapisan ozon, naiknya suhu rata-rata di belahan utara bumi, meningkatnya frekuensi bencana banjir, eksploitasi ekosistem laut yang semakin meningkat, keanekaragaman hayati yang semakin terancam, dan sebagainya. Berbagai fenomena ini berjalan seiring dengan meningkatnya investasi asing, meningkatnya penggunaan air, kertas, pupuk, dan kendaraan bermotor.

Dalam uraian Speth, kapitalisme modern di antaranya didukung oleh masyarakat konsumsi. Konsumsi menjadi penting untuk memastikan salah satu landasan penting kapitalisme, yakni pertumbuhan ekonomi. Mengutip Daniel Bell, Speth menyebut pertumbuhan ekonomi sebagai “agama sekular masyarakat industri yang bergerak maju” (Speth, 2008: 47-58, 147-148).

Penekanan pada konsumsi inilah yang membuat kapitalisme menghasilkan dampak yang tak terkira. Masyarakat konsumtif terbentuk sedemikian rupa sehingga menyebabkan terputusnya kesadaran manusia akan keterikatannya dengan alam. Manusia, karena dikejar hasrat konsumsi, melupakan nilai kesinambungan atau kelestarian (sustainability).

Secara ekonomi-politik, orang-orang dalam berbagai status sosial dan profesi kemudian diperlakukan dan dipandang berdasarkan kemampuan konsumsi mereka pada produk-produk kapitalisme. Oleh karena itu, orang-orang atau kelompok masyarakat yang tidak terlibat dalam arus produksi-konsumsi kapitalisme dipandang tak memiliki nilai (Leonard, 2008). Dari sudut pandang kapitalisme, orang-orang yang sudah merasa tercukupi kebutuhannya akan dipandang “miskin” hanya karena mereka tidak masuk dalam jejaring ekonomi pasar (Shiva, 1989: 10-12).

Secara perseorangan, kapitalisme menyerang psikologi manusia dengan mempersalahkan mereka jika mereka tidak ikut serta dalam arus ekonomi (terutama konsumsi) kapitalisme ini. Dengan cara ini, masyarakat modern dipaksa untuk menyesuaikan diri dengan ritme hidup yang dikehendaki kapitalisme seperti yang tergambar dalam kutipan berikut:

So we are in this ridiculous situation where we go to work, maybe two jobs even, and we come home and we’re exhausted so we plop down on our new couch and watch TV and the commercials tell us “YOU SUCK” so gotta go to the mall to buy something to feel better, then we gotta go to work more to pay for the stuff we just bought so we come home and we’re more tired so you sit down and watch more TV and it tells you to go to the mall again and we’re on this crazy work-watch-spend treadmill... (Leonard, 2008).

Jadi, kita berada dalam situasi yang menggelikan ini: kita pergi bekerja, bahkan mungkin dengan dua pekerjaan, dan kita pulang dan kelelahan sehingga kita menjatuhkan diri di sofa baru kita sambil menonton televisi dan iklan yang memberi tahu kita “KAMU MEMALUKAN” jadi pergilah ke mall untuk membeli sesuatu agar lebih baik, kemudian kita bekerja lebih keras lagi untuk membeli barang yang baru kita beli dan kemudian kita pulang dan lebih kelelahan lagi sehingga kamu duduk dan menonton televisi lagi dan televisi kemudian menyuruhmu untuk pergi ke mall lagi dan kita lalu berada dalam lingkaran kerja-nonton-belanja yang membosankan ini...

Melalui ritme hidup seperti dalam kutipan di atas, ideologi konsumsi pada akhirnya mengubah cara pandang seseorang dalam mendefinisikan dirinya dan memahami hubungan dirinya dengan alam. Nilai diri manusia kemudian banyak ditentukan oleh benda-benda yang dikonsumsi. Inilah yang kemudian mewujud dalam cara pandang materialisme. Pada gilirannya, setelah tenggelam pada perilaku konsumsi yang berlebihan, pelan-pelan hubungan manusia dengan alam diputus. Dalam ideologi konsumsi, manusia dan berbagai bentuk kekayaan alam kemudian direduksi menjadi unit-unit produksi (Abdul-Matin, 2010: 22, 30).

Kapitalisme modern dan ideologi konsumsi inilah yang menjadi akar penyebab eksploitasi sumber daya alam yang merusak ketahanan lingkungan dan mengancam keberlangsungan hidup manusia yang lestari. Dari gambaran di atas, tampaklah bahwa kapitalisme dan ideologi konsumsi dapat dilihat sebagai gambaran krisis spiritualitas manusia dan mengalihkan kebutuhan kerohaniannya pada benda. Manusia tak berhenti untuk memuaskan dirinya dengan benda-benda konsumsi. Tepatlah kiranya pernyataan terkenal Mahatma Gandhi bahwa dunia tidak akan cukup untuk melayani keserakahan manusia.

Inilah potret masyarakat modern yang dalam ilustrasi Seyyed Hossein Nasr disebut telah kehilangan visi keilahiannya dalam menghadapi realitas hidup. Visi tersebut menjadi tumpul ketika manusia memuja ilmu dan teknologi sehingga integritas kemanusiaannya tereduksi dan kemudian ia terperangkap ke dalam sistem yang tidak manusiawi. Krisis spiritual dalam pandangan Nasr digambarkan saat manusia memiliki cara pandang yang terbatas dan tereduksi atas realitas berupa pudar dan hilangnya dimensi spiritual. Alam kehilangan dimensi sucinya dan benar-benar menjadi sesuatu yang banal (Nasr, 1988: 17-50).

Dengan melihat krisis lingkungan sebagai sesuatu yang berakar dari krisis spiritual inilah maka upaya untuk melihat kembali sejarah kehidupan Nabi Muhammad saw. menjadi sangat relevan untuk dilakukan. Bagaimanapun, sejarah kehidupan Nabi adalah sumber ajaran dan inspirasi kaum muslim pada khususnya yang sarat dengan nilai-nilai mendasar agama, termasuk juga unsur spiritualitas dalam melihat alam. Bagian berikut akan menelaah secara singkat bagaimana sisi spiritualitas Nabi dibangun secara beriringan dengan kepekaan dan penghargaan pada alam.


Kepekaan pada Alam dan Dasar Keimanan: Padang Pasir dan Ayat Kawniyyah

Pendekatan spiritual untuk mengatasi tantangan krisis lingkungan telah banyak diupayakan, termasuk yang menggunakan sudut pandang Islam. Ibrahim Abdul-Matin (2010: 5), muslim Amerika yang juga aktivis lingkungan, misalnya mengutip prinsip-prinsip dasar agama hijau (green deen) yang disarikan dari ajaran-ajaran Islam. Menurut sumber yang dikutipnya itu, ada enam prinsip dasar agama hijau menurut Islam, yakni: (1) memahami kesatuan Tuhan dan ciptaan-Nya; (2) melihat tanda-tanda (ayat) Tuhan di mana saja; (3) menjadi penjaga (khalifah) di bumi; (4) menjaga kepercayaan Tuhan (amanah); (5) berjuang menegakkan keadilan (‘adl); dan (6) menjalani kehidupan yang seimbang dengan alam.

Terkait isu lingkungan, Nurcholish Madjid menghubungkan konsep manusia sebagai khalifah dengan konsep taskhir yang sama-sama bersumber dari pemaparan al-Qur’an. Dalam kerangka taskhir (lihat, surah al-Jatsiyah [45] ayat 13), nilai segala sesuatu di alam semesta berada lebih rendah daripada manusia. Namun, dalam memanfaatkan alam, manusia sebagai duta Tuhan memiliki tugas untuk menjaga dan menggunakannya secara bertanggung jawab (Madjid, 1992: 294-302).

Kajian ini berusaha untuk menelaah secara lebih dekat sejarah kehidupan Nabi Muhammad saw. pada khususnya dan teks suci Islam yakni al-Qur’an pada umumnya yang memperlihatkan bagaimana Nabi dan Islam memiliki pandangan dan sikap yang bercorak ramah lingkungan. Dengan cara ini, diharapkan dapat diperoleh temuan yang sifatnya lebih memperlihatkan proses pembentukan nilai ramah lingkungan pada diri Nabi dan Islam.

Periode formatif yang bernilai penting pada pembentukan karakter peduli lingkungan terdapat pada masa kanak-kanak Nabi Muhammad. Kesimpulan ini secara sekilas diulas oleh Tariq Ramadan (2007) dalam bukunya yang merupakan sejarah singkat Nabi Muhammad yang bercorak reflektif.

Sebagaimana diketahui bersama, tak lama setelah Nabi dilahirkan di kota Mekah, Nabi kemudian diasuh oleh Halimah al-Sa‘diyah di pedalaman Arabia selama empat tahun. Pengasuhan ini sebenarnya mengikuti tradisi masyarakat Arab perkotaan pada waktu itu, termasuk Mekah. Keluarga besar Arab perkotaan menitipkan anak-anak mereka untuk disusui oleh suku pengembara agar anak-anak mereka dapat menghirup udara segar padang pasir dan menyerap kemampuan berbahasa yang fasih dan puitis yang masih bertahan di sana. Apalagi, menurut sebuah riwayat, Mekah saat kelahiran Nabi diserang wabah penyakit yang menyebabkan tingginya angka kematian bayi (Lings, 2009: 34-35).

Bagaimanapun, kehidupan di padang pasir sangatlah berbeda dengan kehidupan kota Mekah yang menjadi salah satu kota dagang penting di Semenanjung Arabia. Kehidupan suku pengembara di padang pasir memberikan pengalaman langsung kepada Nabi untuk hidup secara alamiah dan dekat dengan alam. Pengalaman yang bersifat langsung inilah yang menurut Tariq Ramadan membentuk dasar keimanan pada diri Nabi dengan dasar kedekatan pada alam. Keimanan sebagai hubungan personal dengan Tuhan terbentuk melalui perenungan yang tidak bersifat formalistik, tapi bersifat langsung.

Thus, God decided to expose His Prophet, from his earliest childhood, to the natural lessons of creation, conceived as a school where the mind gradually apprehends signs and meaning. Far removed from the formalism and soulless religious rituals, this sort of education, in and through its closeness to nature, fosters a relationship to the divine based on contemplation and depth that will later make it possible, in a second phase of spiritual education, to understanding the meaning, form, and objectives of religious rituals. Cut off from nature in our towns and cities, we nowadays seem to have forgotten the meaning of this message... (Ramadan, 2007: 13-14).

Jadi, Tuhan memutuskan untuk memberi pengalaman kepada Nabi sejak usia dini berupa pelajaran dari alam tentang penciptaan, mirip dengan sebuah sekolah yang di dalamnya pikiran menangkap dan memahami tanda dan makna. Jauh dari bentuk formalisme ritual keagamaan yang tak bermakna, pendidikan semacam ini, dalam dan melalui kedekatannya pada alam, mengembangkan sebuah hubungan dengan Tuhan didasarkan atas perenungan mendalam yang pada tahap pendidikan spiritual berikutnya akan memungkinkan untuk memahami makna, bentuk, dan tujuan ritual keagamaan. Karena kehidupan perkotaan kita saat ini menyebabkan kita terputus dari alam, kita sekarang sungguh telah melupakan pesan ini...

Secara khusus, kehidupan padang pasir dalam konteks kehidupan bangsa Arab memiliki makna lebih jauh yang cukup beragam. Selain soal khazanah bahasa suku pengembara, padang pasir dan kehidupan mengembara sebenarnya cukup terkait dengan landasan keimanan yang kemudian dibangun oleh Islam.

Menurut Martin Lings, kehidupan mengembara identik dengan kebebasan. Keduanya tak bisa dipisahkan. Penduduk kota yang hidup menetap digambarkan sebagai tahanan. Mereka “menjadi bulan-bulanan waktu”. Kehidupan yang rutin dan statis di perkotaan ini diperhadapkan secara kontras dengan kehidupan mengembara yang bebas. Kebebasan dalam mengembara ini kemudian tampaknya identik dengan ladang subur bagi imajinasi sastrawi yang bagi masyarakat Arab dipandang berharga (Lings, 2009: 34-35). Sementara itu, menurut Tariq Ramadan, selain pengalaman akan kebebasan, padang pasir memberi pengalaman kefanaan, kerapuhan, dan kehinaan (Ramadan, 2007: 12). Pengalaman tentang kefanaan ini menjadi penting untuk digarisbawahi karena menurut Toshihiko Izutsu, bangunan etik yang ditawarkan oleh Islam di antaranya adalah pandangan tentang kesementaraan kehidupan dunia. Menurut Izutsu, masyarakat Arab jahiliah tidak memiliki imajinasi tentang kehidupan lain di masa yang akan datang sehingga mereka tidak punya gagasan tentang akhirat (Izutsu, 1993: 53-64).

Untuk menunjukkan pentingnya nilai-nilai yang dapat muncul dari kehidupan padang pasir ini, Tariq Ramadan kemudian mengutip sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari:

كُنْ فِي الدُّنْيَا كَأَنَّكَ غَرِيبٌ ، أَوْ عَابِرُ سَبِيلٍ

Artinya: “Hiduplah di dunia seakan-akan kau orang asing atau pengembara.”

Ibn Hajar al-Asqalani (Vol. 12, 2004: 197-198) menyebutkan bahwa hadis ini mengajarkan sikap zuhd di dunia dan agar kita memenuhi kebutuhan hidup secukupnya saja. Seorang pengembara, tulis al-Asqalani, tidak butuh pada bekal yang melebihi dari keperluan untuk tiba di tempat yang dituju di perhentian berikutnya. Al-Ghazali mendefinisikan zuhd secara sederhana sebagai “mengalihkan kesenangan (raghbah) pada sesuatu yang lebih baik”. Pada zuhd, sikap berpaling dari kesenangan duniawi dilakukan meski yang bersangkutan memiliki kemampuan untuk meraihnya (al-Ghazali, Vol. 4, tt: 211-212).

Dalam konteks kehidupan kontemporer yang dipenuhi dengan ideologi konsumsi, sikap zuhd menjadi salah satu hal yang penting dikemukakan. Keterjebakan manusia modern pada materialisme di satu sisi terjadi karena kealpaannya pada kesementaraan kehidupan duniawi akibat beragam bentuk godaan yang kian hari semakin gencar.

Kehidupan gurun juga menawarkan bentang pemandangan cakrawala tanpa batas yang mengundang pengamatan indera manusia. Secara khusus, dalam kehidupan gurun, benda-benda langit akan hadir dengan lebih jelas bagi pandangan mata manusia. Pemandangan langit di malam hari yang sunyi dan minim polusi cahaya di tengah gurun pada tingkat tertentu mampu menguatkan nuansa makna dan rasa yang begitu kaya dari suasana gurun.

Dalam sebuah riwayat, dikisahkan bahwa saat di malam hari Muhammad kecil tampak merasa gelisah, Halimah membawanya keluar kemah. Menurut Halimah, Muhammad kecil biasanya akan tenang setelah ia memandang bintang-bintang di langit sehingga lalu matanya tertutup dan tidur nyenyak (Shihab, 2011: 227).

Kekuatan pemandangan langit yang terbuka sebagaimana di gurun sebenarnya ditegaskan dalam banyak ayat di dalam al-Qur’an, di antaranya dalam surah Alu ‘Imran [3] ayat 190-191.

إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ وَاخْتِلاَفِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لآيَاتٍ لِّأُوْلِي الألْبَابِ - الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَىَ جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَذا بَاطِلاً سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ

Artinya: Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan Kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah Kami dari siksa neraka.”

Al-Razi menjelaskan bahwa kandungan ayat ini sebenarnya mirip dengan surah al-Baqarah [2] ayat 164. Keduanya sama-sama menjelaskan tanda-tanda keagungan Allah dalam berbagai bentuk fenomena alam. Bedanya, dalam surah al-Baqarah ada 8 fenomena alam yang disebut, sedangkan dalam ayat ini tersisa tiga hal (langit, bumi, malam dan siang). Dalam pandangan al-Razi, tiga hal yang disebut dalam ayat ini berkaitan dengan fenomena langit/angkasa yang sifatnya lebih mengagumkan dibandingkan dengan fenomena alam yang disebut dalam surah al-Baqarah yang sifatnya fenomena daratan (al-ardliyyah). Hati manusia, menurut al-Razi, lebih mudah merasakan keagungan Allah melalui fenomena langit (Al-Razi, Vol. 9, 2004: 109-110).

Ayat ini dan rangkaian ayat berikutnya yang merupakan penutup surah Alu ‘Imran dan merupakan ayat yang diturunkan di Madinah memiliki nilai istimewa yang perlu dibahas lebih jauh di sini. Ayat tersebut diturunkan di malam hari dan menurut penuturan ‘Aisyah r.a. dalam sebuah hadis telah membuat Nabi menangis sepanjang malam. Akhirnya, saat subuh tiba, Bilal bertanya mengapa Nabi menangis sedang Allah telah mengampuni semua dosanya. Nabi menjawab: “Wahai Bilal, tidakkah aku ingin menjadi hamba yang bersyukur? Mengapa aku tidak menangis sedang malam ini Allah telah menurunkan ayat ini (surah Alu ‘Imran ayat 190-200). Sungguh celaka orang yang membaca ayat ini tapi tidak memikirkannya!” (al-Razi, Vol. 9, 2004: 109).

Memikirkan fenomena alam raya dipandang dapat mengantarkan pada tingkat keimanan (tawhid) yang mendalam. Al-Razi menjelaskan bahwa manusia tidak mungkin berpikir tentang Sang Maha Pencipta yakni Allah swt. Hal ini sudah ditegaskan dalam salah satu hadis Nabi yang berbunyi: “Berpikirlah tentang makhluk dan jangan kalian berpikir tentang Sang Pencipta.” Namun dengan sebuah ilustrasi yang sangat teperinci, al-Razi menunjukkan bahwa berpikir tentang ciptaan Allah akan dapat mengantarkan kita pada karakter sempurna dari Sang Pencipta. Tak harus dari hal yang besar, bahkan dengan memikirkan secara panjang dan mendalam selembar daun yang terdapat di sebuah pohon maka pada akhirnya orang yang berpikir itu akan menemukan keagungan Allah (al-Razi, Vol. 9, 2004: 111-112).

Keutamaan berpikir (tafakkur)—yang dalam ayat di atas disebut setelah kata kerja “berdzikir”—telah ditegaskan oleh banyak ulama. Dalam kitab tafsirnya, al-Qurthubi mengutip pendapat Ibn al-‘Arabi yang mengatakan bahwa bagi kaum sufi, kegiatan berpikir (tafakkur) ini lebih utama daripada berdzikir. Alasannya, berpikir dapat mengantarkan seseorang pada tingkat makrifat (al-Qurthubi, Vol. 2, 2007: 652).

Dalam memahami ayat di atas, para mufassir juga berusaha membandingkannya dengan ayat serupa di surah al-Baqarah [2] ayat 164. Dalam surah al-Baqarah, ayat-ayat kawniyyah disebutkan menjadi tanda bagi “qawm ya‘qilun”, sedang dalam surah Alu ‘Imran digunakan istilah “ulul albab”. M. Quraish Shihab menjelaskan bahwa ayat 190 surah Alu ‘Imran ini statusnya merupakan tingkat lanjut dibandingkan surah al-Baqarah [2] ayat 164. Selain dikuranginya penyebutan ayat-ayat kawniyyah, istilah “ulul albab” menurut Quraish Shihab berarti “orang-orang yang memiliki akal murni, yang tidak diselubungi oleh “kulit”, yakni kabut ide, yang dapat melahirkan kerancuan dalam berpikir”. “Ulul albab” adalah mereka yang telah mencapai kemurnian akal sehingga dengan merenungkan atau memikirkan fenomena alam raya maka ia akan dapat menemukan bukti yang sangat jelas tentang keesaan dan kekuasaan Allah swt (Shihab, Vol. 2, 2009: 370-371). Al-Razi menjelaskan perbedaan ‘aql dan lubb dalam menjelaskan ayat ini. Menurut al-Razi, ‘aql adalah bagian luar (zhahir) sehingga ‘aql merupakan tahapan awal sedangkan lubb adalah tingkatan ‘aql yang sudah sempurna (al-Razi, Vol. 9, 2004: 110).

Perenungan yang mendalam atas berbagai fenomena alam raya dilakukan dengan kegiatan berpikir (tafakkur). Menurut al-Ghazali, kegiatan berpikir merupakan titik mula kebajikan. Berpikir dapat menghasilkan pengetahuan baru—sesuatu yang tidak diperoleh dengan berdzikir—yang dari pengetahuan baru itu hati seseorang dapat berubah sehingga pada gilirannya kemudian mendorong pada perubahan perilaku. Berikut ini kutipan lengkap pandangan al-Ghazali (Vol. 4, t.t.: 413) tersebut:

وأما ثمرة الفكر فهى العلوم والأحوال والأعمال ولكن ثمرته الخاصة العلم لا غير نعم إذا حصل العلم في القلب تغير حال القلب وإذا تغير حال القلب تغيرت أعمال الجوارح فالعمل تابع الحال والحال تابع العلم والعلم تابع الفكر فالفكر إذن هو المبدأ والمفتاح للخيرات كلها

Buah dari kegiatan berpikir adalah ilmu, keadaan, dan amal. Akan tetapi, buah yang khas adalah berupa ilmu, tidak lainnya. Ya, benar, jika ilmu telah diperoleh dalam hati seseorang, maka keadaan hati akan berubah. Jika keadaan hati telah berubah, maka perbuatan anggota badan akan berubah juga. Karena itu, amal mengikuti keadaan, dan keadaan mengikuti ilmu, dan ilmu mengikuti pikiran. Jika begitu, maka berpikir adalah permulaan dan kunci semua kebaikan.

Keterbukaan alam semesta untuk menjadi landasan keimanan yang kuat bagi seorang muslim yang berpikir (bertafakkur) juga tidak lepas dengan petunjuk-petunjuk tekstual lain yang disampaikan melalui kitab suci al-Qur’an. Dalam surah al-Fatihah, Allah menyebut diri-Nya dengan istilah “rabb al-‘alamin” yang biasa diterjemahkan “Tuhan semesta alam”. M. Quraish Shihab menerjemahkan dengan “Tuhan Pemelihara seluruh alam.” Secara kebahasaan, “rabb” bermakna pemilik atau tuan. Selain itu, “rabb” juga berarti memelihara, mendidik, mengasuh. Al-Qurthubi mengatakan bahwa dalam artian yang pertama maka kata ini merupakan sifat dari dzat (shifat dzat) Allah swt. Sedangkan dalam arti yang kedua, kata ini merupakan sifat perbuatan (shifat fi‘l) Allah (al-Qurthubi, Vol. 1, 2007: 138-139).

Dengan kerangka makna menurut pengertian yang kedua, maka Allah swt. memelihara alam semesta ini dengan segala kemahabesaran dan kemahasucian-Nya. Dalam konteks ini, maka status manusia sebagai khalifah (wakil, duta) Allah di bumi menjadi relevan dalam kaitannya dengan nilai-nilai yang mendukung pelestarian lingkungan sebagaimana disebut oleh Ibrahim Abdul-Matin di atas. Tugas dan tanggung jawab pengasuhan dan pelestarian alam raya juga diserahkan Allah kepada manusia.

Dari uraian singkat ini, tampaklah bahwa pengalaman hidup Nabi di masa kanak-kanak di padang pasir pedalaman Arabia bersama suku pengembara Bani Sa‘d telah berhasil membentuk dasar-dasar kepekaan Nabi dalam membaca ayat-ayat kawniyyah Allah swt. Kepekaan yang dimiliki Nabi dalam menerima pesan alam juga diperoleh atas anugerah Allah berupa kelapangan pintu pemahaman dan anugerah ketenangan. M. Quraish Shihab menafsirkan kata “syaraha” dalam surah al-Syarh [94] dalam pengertian nonmaterial seperti ini (bukan dalam pengertian material, yakni “membelah dada”, sebagaimana lazim dijelaskan dalam penggalan sejarah kehidupan Nabi saat diasuh Halimah), serupa dengan doa yang dipanjatkan Nabi Musa as dalam surah Thaha [20] ayat 25-27 yang di antaranya memohon kelapangan dada setelah memohon tambahan ilmu dan pemahaman (Shihab, 2011: 236-237).

Dari sudut pandang yang lain maka ini bisa berarti bahwa diperlukan adanya kesiapan mental yang baik untuk dapat menerima pesan alam yang bersifat spiritual sebagaimana yang diperoleh Nabi Muhammad saw. Ini bisa meliputi sikap terbuka dalam menerima berbagai kemungkinan pesan yang disampaikan alam dan sikap rendah hati disertai keyakinan bahwa alam semesta juga memiliki status yang sama dengan manusia, yakni sama-sama makhluk Allah, sebagaimana difirmankan Allah dalam surah al-An‘am [6] ayat 38. Menurut M. Quraish Shihab, ayat ini menyatakan keserupaan binatang dan burung dengan manusia dalam hal tuntutan perlakuan yang sama dan wajar (Shihab, Vol. 3, 2009: 413).

Dengan landasan yang demikian, maka tidak sulit bagi kita untuk memahami dan menemukan pandangan dan sikap Nabi yang ramah lingkungan baik yang bersifat langsung maupun tidak langsung. Misalnya, sikap Nabi yang peduli terhadap kesejahteraan binatang (animal welfare). Nabi pernah menegaskan tentang pahala bagi orang yang memberi minum untuk hewan yang sedang kehausan. Nabi juga memberi tuntunan agar dalam menyembelih hewan harus dengan proses yang tidak menyakiti. Demikian pula, Nabi mengajarkan agar kaum muslim mau berbagi air dan tidak berlebihan dalam menggunakan air, bahkan saat berwudu.

Ada pula sikap ramah lingkungan Nabi yang merupakan tafsiran dan kontekstualisasi dari pemikir masa kini. Ibrahim Abdul-Matin (2010: xxii) misalnya menafsir hadis yang menyatakan bahwa Nabi menyarankan kita untuk mengambil hidangan yang terdekat saat makan dalam pengertian bahwa Nabi mendorong kita untuk mengutamakan makanan dari sumber-sumber lokal.


Nilai-Nilai Kenabian dan Pendidikan Lingkungan

Sampai di sini dapat disimpulkan bahwa kepedulian Nabi pada pelestarian alam dan lingkungan berada dalam kerangka spiritual (keimanan). Prinsip-prinsip dasarnya kurang lebih sama dengan yang disampaikan Ibrahim Abdul-Matin tentang agama hijau di atas. Kerangka spiritual tersebut di antaranya terbentuk melalui pengalaman langsung Nabi terutama pada masa kanak-kanak saat tinggal bersama suku pengembara di padang pasir. Pengalaman langsung tersebut diolah dengan anugerah kemampuan tafakkur yang berlandaskan pada keterbukaan dan kebersihan akal dan hati Nabi sehingga dari situlah kerangka spiritual tersebut terbentuk.

Dalam konteks upaya menjawab persoalan krisis lingkungan saat ini, kerangka spiritual dan nilai-nilai kenabian di atas penting untuk dicoba disinergikan dengan pendekatan salah satu bidang pembahasan khusus ilmu lingkungan, yakni pendidikan lingkungan. Menurut Nordström, ada tiga tujuan utama pendidikan lingkungan. Pertama, membentuk dan membangkitkan akhlak lingkungan yang bersifat perseorangan. Kedua, mengembangkan pemahaman dan keterampilan untuk menangani isu lingkungan. Ketiga, memfasilitasi pemberdayaan dan kewargaan yang aktif. Di balik ketiga tujuan ini, terkandung sejumlah nilai yang diperjuangkan, seperti keanekaragaman, keadilan, dan rasa hormat pada alam dan makluk hidup (Nordström, 2008: 133-137).

Dari sudut pandang ini, tampaklah bahwa kerangka spiritual yang disimpulkan dari uraian di bagian sebelumnya berada dalam konteks tujuan pendidikan lingkungan yang pertama, yakni membentuk dan membangkitkan akhlak lingkungan yang bersifat perseorangan. Jika kita melihat upaya-upaya di lapangan, yakni di Indonesia, untuk menuju pada tujuan ini maka kita akan menemukan banyak contoh yang bisa dikemukakan. Namun demikian, yang berbeda dari nilai kenabian yang dibahas sebelumnya adalah bangunan yang bersifat spiritual dan radikal dalam menempatkan alam raya dan makhluk hidup.

Pendekatan spiritual yang dikemukakan di sini menjadi penting karena ia menyentuh aspek terdalam pada diri manusia, yakni hati dan kerangka berpikir, yang pada gilirannya akan menjadi dasar bagi setiap pengambilan keputusan dan cara bersikap. Nilai-nilai kenabian tersebut di atas berusaha kembali pada akar krisis lingkungan, yakni krisis spiritual yang dialami oleh individu (yang membentuk masyarakat) manusia modern.

Dilihat dari proses penanaman nilai pada diri Nabi sebagaimana diulas singkat di atas, tampaknya proses tersebut kurang lebih serupa dengan apa yang disebut oleh Vaquette saat membahas tentang ekopedagogi sebagai “pendidikan penginderaan”. Menurut Vaquette, manusia modern mengalami kegagalan untuk berkomunikasi dengan alam karena indera mereka telah menyusut dan tumpul. Akibatnya, jarak manusia modern dengan alam pelan-pelan semakin jauh. Keduanya tidak lagi merasa sebagai satu kesatuan semesta. Untuk itu, menurut Vaquette, pendidikan alam dan lingkungan dilakukan dengan cara merangsang dan mengaktifkan indera. Dalam pendidikan penginderaan, diasumsikan dua arah komunikasi antara manusia dan alam. Pertama-tama, manusia dilatih untuk dapat menerima secara aktif berbagai informasi dan sapaan alam. Dengan dasar penangkapan dan penerimaan aktif itulah, maka manusia akan dapat mengekspresikan sikap yang ramah terhadap alam (Vaquette, 2001: 11-14).

Dengan menghidupkan kepekaan komunikasi dengan alam yang dibalut dalam kerangka keimanan, diharapkan kebajikan-kebajikan moral yang dapat menjadi dasar bagi cara pandang dan sikap ramah lingkungan pelan-pelan terbentuk sebagaimana yang kita temukan dalam pribadi Nabi Muhammad saw.

Namun demikian, pada tahap yang lebih lanjut, pembentukan moral yang sifatnya perseorangan ini tentu saja mesti dipikirkan bagaimana agar dapat terorganisasi dalam sebuah upaya yang menyeluruh dan sistematis, karena tantangan yang dihadapi saat ini sudah jauh berbeda daripada abad-abad sebelumnya. Percepatan arus informasi dan komunikasi bagaimanapun pada satu sisi juga telah mempercepat berbagai proses perubahan sosial, termasuk juga pengrusakan lingkungan yang dilakukan oleh manusia.


Penutup

Sejarah kehidupan Nabi Muhammad saw. merupakan sumber inspirasi yang penting untuk terus digali. Sebagai rujukan moral, sosok Nabi menjadi teladan bagi seorang muslim untuk semua aspek kehidupannya. Berbagai tantangan baru yang dihadapi umat manusia saat ini sangat mungkin untuk didiskusikan dalam kerangka nilai-nilai kenabian sebagaimana dicoba dalam tulisan ini.

Nilai-nilai kenabian yang berusaha dibahas dan diintegrasikan dengan pendekatan disiplin pendidikan lingkungan pada uraian di atas masih berada dalam kerangka perseorangan meski juga bisa diperluas dalam wilayah sosial. Mengikuti uraian Speth (2008: 62), pertumbuhan yang tidak lestari yang merupakan ungkapan lain bagi krisis lingkungan di antaranya memang melibatkan manusia atau masyarakat yang mengusung kerangka moral destruktif, seperti konsumerisme. Meski begitu, ulasan di atas masih belum memasukkan dua unsur penting lainnya yang disebut Speth, yakni perusahaan modern dan pemerintah. Ke depan, penelitian ke arah tersebut menjadi tantangan tersendiri, termasuk juga untuk mendialogkannya dengan sirah Nabi Muhammad.

Wallahu a‘lam.



Daftar Pustaka

Abdul-Matin, Ibrahim. 2010. Green Deen: What Islam Teaches about Protecting the Planet. San Francisco: Berrett-Koehler Publisher Inc.

al-Ghazali, Abu Hamid Muhammad bin Muhammad. t.t.. Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn. Beirut: Dar al-Fikr.

Ibn Hajar al-‘Asqalânî, Ahmad ibn ‘Alî. 2004. Fath al-Bârî Syarh Shahîh al-Bukhârî. Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah.

Izutsu, Toshihiko. 1993. Konsep-Konsep Etika Religius dalam Qur’an. Yogyakarta: Tiara Wacana.

Muhammad, Chalid. 2008. “Ecological Disasters and Indonesia's Future Threats”, The Jakarta Post (Daily Newspaper), 22 December 2008. Diakses dari http://www.thejakartapost.com/news/2008/12/22/ecological-disasters-and-indonesia039s-future-threats.html pada 5 Maret 2010.

Leonard, Annie. 2008. “Story of Stuff: Referenced and Annotated Script”. Diakses dari http://www.storyofstuff.com pada 18 Januari 2010.

Lings, Martin. 2009. Muhammad: Kisah Hidup Nabi Berdasarkan Sumber Klasik. Jakarta: Serambi.

Madjid, Nurcholish. 1992. Islam Doktrin dan Peradaban. Jakarta: Paramadina.

Nasr, Seyyed Hossein. 1988. Man and Nature: The Spiritual Crisis in Modern Man. London: Unwin Paperback.

Nordström, Hanna Kaisa. 2008. “Environmental Education and Multicultural Education – Tool Close to Be Separate?”. International Research in Geographical and Environmental Education 17: 2, hlm. 131-145.

al-Qurthubi, Abu Abdullah Muhammad bin Ahmad al-Anshari. 2007. al-Jâmi‘ li-Ahkâmil Qur’ân. Kairo: Dârul Hadits.

Ramadan, Tariq. 2007. The Meaning of the Life of Muhammad. London: Allen Lane (Penguin Books).

al-Razi, Fakhruddin Muhammad bin ‘Umar bin al-Husayn. 2004. al-Tafsîr al-Kabîr (Mafâtîhul Ghayb). Beirut: Dârul Kutub al-‘Ilmiyyah.

Shihab, M. Quraish. 2009. Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an. Jakarta: Lentera Hati.

Shihab, M. Quraish. 2011. Membaca Sirah Nabi Muhammad saw dalam Sorotan al-Qur’an dan Hadits-Hadits Shahih. Jakarta: Lentera Hati.

Singer, Peter. 2004. One World: The Ethics of Globalization. New Haven & London: Yale University Press.

Shiva, Vandana. 1989. Staying Alive: Women, Ecology and Development. London: Zed Books.

Speth, James Gustave. 2008. The Bridge at the Edge of the World: Capitalism, the Environment, and Crossing from Crisis to Sustainability. New Haven & London: Yale University Press.

UNDP. 2007. “The Other Half of Climate Change: Why Indonesia Must Adapt to Protect its Poorest People”. Jakarta: UNDP Indonesia. Diakses dari http://www.undp.or.id/pubs/ pada 14 Mei 2010.

Vaquette, Philippe. 2001. Belajar Mencintai Alam: 43 Permainan yang Menggugah Penginderaan pada Alam untuk Anak-Anak Usia 5 sampai 12 Tahun. Penyadur: D.M. Wirawati Suharno. Jakarta: Penerbit Djambatan.


Tulisan ini merupakan makalah yang disampaikan dalam International Conference on Islamic Civilization dengan tema "Reinventing Prophetic Ways of Life for Human Advancement" pada tanggal 29-30 Agustus 2014 yang diadakan oleh Fakultas Humaniora UIN Maulana Malik Ibrahim Malang. Juga diterbitkan dalam prosiding acara tersebut. Foto di atas adalah dokumentasi panitia dengan sedikit penyuntingan. Berkas dari buku prosiding dapat dilihat di sini.

Read More..