Latar Belakang
Untuk meningkatkan mutu kehidupan masyarakat, layanan kesehatan dan layanan rumah sakit yang baik sangat mendesak. Faktanya, di beberapa daerah, layanan rumah sakit masih menghadapi banyak masalah untuk bisa disebut baik.
Di antara masalah yang mungkin tampak sederhana yang paling kelihatan dan mendesak untuk diperbaiki adalah masalah sistem antrean. Untuk mengetahui masalahnya secara lebih baik, saya beri Anda ilustrasi berbasis pengalaman, yakni pengalaman saya sendiri saat menjalani salah satu sesi rawat jalan di sebuah rumah sakit.
Data-data saya rujuk sebagian dari Google Maps. Menurut linimasa saya di Maps, saya berada di kompleks rumah sakit itu mulai pukul 08.04 WIB hingga 11.50 WIB. Ya, hampir empat jam.
Bagaimana urutan ceritanya? Setiba di sana, saya memarkir sepeda motor saya. Begitu tiba di parkiran, saya langsung tertekan menyaksikan tempat parkir yang sangat penuh. Tak seperti bulan-bulan sebelumnya. Saya sudah rutin kontrol kesehatan tiap bulan sejak Desember 2023—mungkin hanya melewatkan satu bulan karena situasi tertentu.
Kekhawatiran saya terbukti. Saat antre untuk check in di mesin pemindai sidik jari di pintu masuk, antrean sudah menggila. Satu mesin dengan satu petugas yang melayani dikerumuni pasien yang harus memindai sidik jarinya terlebih dahulu. Saya ingat bahwa rasanya ada tiga mesin pemindai di pintu rumah sakit ini. Apakah dua mesin lainnya sedang bermasalah atau bagaimana? Kalau dua mesin lainnya berfungsi, mengapa saya tidak melihat petugas yang mengarahkan untuk memindai di mesin yang lain? Atau bagaimana? Saya tidak berpikir terlalu panjang, langsung ikut antre di mesin yang ada di sisi kanan pintu masuk rumah sakit tersebut.
Antrean online yang saya lakukan di aplikasi Mobile JKN satu hari sebelumnya terasa seperti sia-sia. Ketertiban seperti apa yang bisa kita bayangkan dengan satu mesin pemindai dan satu petugas yang diserbu oleh puluhan pasien? Memang tak ada yang menyerobot. Tapi yang ada dalam pikiran saya berupa pertanyaan yang cukup mengganggu: bagaimana para pasien yang kondisinya cukup parah harus antre dalam kerumunan seperti itu.
Walhasil, menurut catatan saya, sekitar pukul 08.50 WIB saya selesai check in. Lebih dari 30 menit sejak saya menyerahkan kartu pengenal berupa kartu BPJS saya ke petugas di mesin pemindai itu. Selesai check in dengan sidik jari, saya check in di aplikasi Mobile JKN, lalu menuju poli tujuan. Di poli tujuan, saya menunggu antrean.
Sekarang, coba tebak pukul berapa saya dilayani di poli. Menurut catatan saya, saya keluar dari poli setelah mendapat layanan dari dokter pada sekitar pukul 10.40 WIB. Dokter memeriksa dan memberi layanan sekitar kurang dari lima menit. Sayangnya, saya tidak mencatat pukul berapa dokter tiba di poli.
Setelah selesai di poli, saya ke layanan farmasi. Tiba di sana sekitar pkl 10.43 WIB. Lebih dari satu jam saya menunggu hingga kemudian obat saya terima. Demikianlah, menurut catatan Maps, saya tercatat di rumah sakit itu hingga pukul 11.50 WIB.
Atas dasar pengalaman seperti itu, saya jadi terpikir alangkah bagusnya jika ada yang memikirkan solusi sistem antrean yang lebih baik, yang bisa mengurangi atau bahkan mungkin mengakhiri ujian kesabaran para pasien dan para pengantar yang mungkin sudah berlangsung sekian lama tersebut. Harus ada terobosan sistemik yang bisa ditawarkan kepada pengurus publik dan pengambil kebijakan.
Secara normatif, dalam wacana etika biomedis, posisi pasien mestinya harus dilihat dengan penuh kepekaan dan empati. Saya ingat pemaparan dosen saya dulu di Utrecht saat mendiskusikan empat prinsip etika biomedis menurut Beauchamp dan Childress, rujukan klasik yang menjadi dasar penalaran moral dalam layanan kesehatan. Dalam kasus ini, prinsip nonmaleficence (tidak merugikan) dan beneficence (kebaikan) relevan untuk didiskusikan.
Tujuan
Tujuan umum dari pembicaraan ini adalah untuk meningkatkan mutu kesehatan masyarakat. Adapun tujuan khususnya adalah untuk menciptakan sistem antrean yang lebih baik dan manusiawi bagi para pasien di rumah sakit.
Nama Program
Sayembara usulan sistem antrean pasien rawat jalan di rumah sakit.
Mekanisme
Jika Anda tertarik untuk terlibat dalam kegiatan ini, silakan menulis di kolom komentar berupa usulan sistem antrean pasien rawat jalan di rumah sakit. Usulan dimulai dengan gambaran dan analisis permasalahan yang diangkat dari data-data di lapangan. Setelah itu, pemaparan tawaran sistem antrean yang berbasis kondisi lapangan. Usulan sistem tentu saja dapat memanfaatkan berbagai potensi kekinian seperti sistem/aplikasi online yang sudah dimiliki oleh rumah sakit, dan sebagainya. Selain usulan sistem, akan lebih baik jika usulan diikuti dengan gambaran tentang tahap eksekusi untuk bergerak dari fase usulan, kebijakan, dan penerapan.
Penghargaan
Jika pada akhirnya tercipta sistem antrean pasien di rumah sakit yang efisien dan lebih baik yang kemudian diberlakukan dengan serius, dampaknya mungkin juga bisa berpengaruh tak hanya pada kesejahteraan pasien, tapi juga pada produktivitas warga yang waktunya terpangkas untuk hal lain yang lebih produktif.
Usulan yang baik dan dapat diterapkan pasti akan mendapatkan apresiasi dari semua pihak. Jika Anda berharap penghargaan dari saya, bolehlah nanti saya berikan voucher belanja di Buku Terpilih, agar Anda juga mendapatkan nutrisi bergizi yang mungkin dapat menjaga dan meningkatkan kesehatan mental dan pikiran Anda.
Penutup
Demikian pemaparan tentang sayembara usulan sistem antrean pasien rawat jalan di rumah sakit ini dibuat untuk tidak saja meningkatkatkan mutu kehidupan masyarakat melalui layanan kesehatan yang lebih baik, tapi juga untuk meningkatkan partisipasi publik agar terdorong untuk terlibat dalam ruang-ruang diskusi demi kepentingan bersama.
Tentu saja masalah kesehatan yang lain juga banyak yang masih bisa dibicarakan. Misalnya, bagaimana meningkatkan mutu kesehatan masyarakat dengan konsep kesehatan swadaya agar masalah kesehatan juga diantisipasi di sektor hulu.
Namun, tak apalah kita mulai dari hal yang cukup teknis ini. Mungkin bisa menjadi pemicu untuk perbincangan publik lainnya yang lebih produktif dan partisipatif.
Sabtu, 17 Mei 2025
Mengakhiri Ujian Kesabaran Para Pengantre di Sebuah Rumah Sakit Daerah: Sebuah Sayembara Terbuka
Label: Daily Life, Social-Politics
Kamis, 30 Januari 2025
Nasib Koran dan Nostalgia Lampu Merah Adisucipto
Kalau Anda berada di sekitar Indomaret Papringan, Yogyakarta, dekat kampus Akademi Komunitas Perkebunan Yogyakarta (dulu bernama Instiper), yang juga dekat dengan kampus UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, sekitar pukul 9 pagi, mungkin saja Anda akan melihat seorang perempuan paruh baya berjalan dari arah Jalan Laksda Adisucipto. Pakaiannya sederhana. Jalannya, maaf, pincang, dengan topi capil di kepalanya. Tubuhnya tidak terlalu tinggi.
Anda dapat memastikan bahwa perempuan itu adalah yang saya maksud bila ia membawa koran-koran sambil berjalan pelan ke arah Jalan Ori atau kadang terus lurus di Jalan Petung. Meski dalam sekitar setahun setengah ini saya jarang berpapasan dengannya, tapi seingat saya, dia selalu membawa (sisa-sisa) koran dalam perjalanannya ke arah Papringan.
Ya, dia adalah penjual koran di pertigaan Laksda Adisucipto dekat kampus UIN Yogyakarta. Saya masih mengenalinya, seperti sekitar lebih dari 20 tahun yang lalu saat saya sering melihatnya di lampu merah pagi-pagi. Dulu, dia berjualan koran bersama seorang perempuan yang lebih tua—mungkin ibunya. Seingat saya, dulu ada juga penjaja koran laki-laki di lampu merah itu.
Saya membayangkan, betapa setianya dia menjadi penjaja koran hingga lebih dari 20 tahun di situ. Dulu, saat masih menjadi mahasiswa jenjang sarjana dan masih aktif menulis di media massa, pagi-pagi saya dan juga beberapa rekan penulis dari kampus UIN Yogyakarta biasa mendatangi penjaja koran entah itu di lampu merah tersebut, atau di kios koran Batas Kota dekat Hotel Saphir, atau di kios dekat pertigaan Jalan Bimokurdo. Kami menumpang ngintip, mencari tahu, tulisan siapa yang dimuat di koran hari itu.
Itu sekitar akhir tahun 1999 hingga 2002, saat saya cukup aktif mengirimkan tulisan ke media massa. Dari UIN Yogyakarta, banyak sekali penulis-penulis yang aktif menulis di media massa. Rubrik yang paling banyak dituju adalah resensi buku. Selain bisa mendapatkan honor, tulisan resensi buku yang dimuat di media dapat diajukan ke penerbit untuk mendapatkan reward buku—bahkan juga reward lainnya.
Saat beberapa bulan yang lalu saya berpapasan dengan perempuan penjaja koran itu di perempatan Jalan Ori, saya membeli koran Kompas—meski saya sudah berlangganan epaper Kompas. Saya mencium baru kertasnya yang khas, dan saya kemudian terpikir tentang nasib koran di era digital.
Setidaknya dalam satu tahun terakhir, sejak awal 2024 hingga sekarang, saya nyaris tak pernah bertemu dengan Harian Kompas yang terbit lebih dari 16 halaman. Rubrik-rubriknya jadi minimalis. Tak ada lagi rubrik tinjauan buku di versi cetak. Bahkan, di versi online/digital pun, rubrik tinjauan buku jarang muncul.
Ya, nasib koran cetak sungguh telah banyak berubah. Tak seperti 20 tahun yang lalu. Saya ingat, di antara tahun 2000 hingga setidaknya 2002, Kompas sering terbit hingga 48 halaman, dengan alokasi rubrik yang beragam. Rubrik opini pun diberi ruang yang lebih banyak daripada biasanya yang hanya 2 halaman. Demikian pula rubrik tinjauan buku, yang untuk Kompas waktu itu berada dalam satu manajemen dengan rubrik opini. Ruang untuk resensi buku pun waktu itu tidak hanya muncul setiap hari ahad. Bahkan, dalam satu pekan, kadang sampai empat hari ada resensi buku yang dimuat di Kompas. Tentu saja ini juga menjadi berkah bagi penulis-penulis dari kalangan mahasiswa seperti saya waktu itu yang memang cukup mengandalkan pendapatan dari honor menulis untuk hidup di Yogyakarta.
Semakin susutnya halaman koran cetak, saya yakin itu juga menunjukkan banyak hal lainnya. Saya amati, iklan di koran Kompas pun juga semakin sedikit. Bahkan cukup sering saya lihat iklannya adalah iklan internal, iklan sendiri, entah dari Harian Kompas sendiri, atau Gerai Kompas (yang menjual produk buku, dan semacamnya), atau divisi Kompas yang menggelar kegiatan pelatihan dan semacamnya.
Saya pikir itu berarti geliat usaha media cetak semakin surut. Kita tahu, beberapa tahun terakhir telah banyak media massa yang undur diri dari versi cetak, dan hanya terbit dalam versi digital/website.
Tentu saja, pendapatan penjaja koran di tengah susutnya media cetak juga terancam. Variasi media cetak turun drastis. Pembelinya juga sangat mungkin semakin berkurang—entah karena adanya alternatif versi digital, menurunnya minat membaca media cetak, berkurangnya mahasiswa yang dulu juga menjadi “pelanggan” meski tidak setiap hari, dan semacamnya.
Suatu hari, beberapa bulan yang lalu, saat kalender menunjukkan hari libur nasional, saya duduk-duduk di angkringan depan kos Astra Seroja di Papringan. Waktu itu sekitar pukul 9 pagi. Bersama saya, ada seorang bapak, pensiunan karyawan di Universitas Negeri Yogyakarta. Sekitar 10 menit berbincang, perempuan penjaja koran itu tampak muncul dari arah barat, di pintu masuk Jalan Ori I, berjalan ke arah timur, mendekat ke angkringan tempat saya nongkrong.
Saat mendekat, si bapak memanggil perempuan itu, menanyakan koran yang terbit di hari itu, dan membelinya. Si bapak tak menerima uang kembalian, malah memberinya bonus nasi bungkus angkringan dan dua tempe. Si perempuan tersenyum gembira.
Saya pikir, si bapak juga tahu, bahwa penjaja koran di era sekarang menghadapi tantangan hidup yang tidak mudah. Mungkin si perempuan penjaja koran itu tak punya pilihan pekerjaan lain selain menjual koran. Ya, dia tak punya banyak kebebasan. Dia menapaki jalan takdirnya—dengan kesunyiannya, dengan ketabahannya.
Label: Daily Life
Senin, 24 Juni 2024
Annuqayah dan Lingkungan Hidup, Tak Ada Habisnya
Saya menerima tautan akses disertasi Hasan Basri, alumnus Latee yang baru wisuda S-3 di Western Sydney University, bersamaan dengan “lap terakhir saya di Sirkuit Austin, Texas, Amerika”. Hehehe…bukan, saya ke Austin tahun 2017. Maksudnya, saat saya sedang menyelesaikan bagian akhir tugas makalah saya untuk dosen S-3 saya yang lulusan Amerika dan terkenal sangat disiplin, sehingga saat menggarap tugas tersebut saya membayangkan seperti sedang main balapan GP500 di komputer zaman dahulu kala di sirkuit tersebut.
Saya segera unduh berkas yang memuat 206 halaman tersebut, membaca sekilas, melihat daftar isi, melihat dan memeriksa bagian-bagian tertentu, dan juga mencari kata kunci tertentu. Kebetulan makalah yang saya tulis juga mengangkat tema serupa dengan disertasi Hasan Basri, yakni tentang Annuqayah dan lingkungan hidup. Saya jadi terpikir: tema pesantren secara umum, atau yang lebih spesifik, tema tentang Pesantren Annuqayah, atau tema yang lebih spesifik lagi, pesantren Annuqayah dan lingkungan hidup, masih sangat kaya untuk digali.
Saat menyelesaikan bagian akhir tugas makalah saya, yang harus berkejaran dengan batas akhir waktu penyetoran, saya merasakan bahwa ada beberapa tema yang lebih spesifik lagi yang bisa dibahas. Kalau secara umum, saya merasa aspek-aspek dan data-data yang sifatnya umum memang masih penting untuk terus didiskusikan, seperti latar dan kisah di balik layar yang lebih detail keterlibatan awal Annuqayah dengan isu-isu lingkungan hidup, data tentang proses awal berdirinya Biro Pengabdian Masyarakat Pondok Pesantren Annuqayah (BPM PPA), dan semacamnya. Saya bayangkan, seperti upaya rekonstruksi untuk memahami pikiran para kiai Annuqayah di era tersebut.
Rasanya, episode itu masih sangat mungkin untuk dibahas. Data-data yang ada rasanya belum sepenuhnya mengungkap pergulatan gagasan waktu itu. Saya kadang terpikir, apakah saya harus menghubungi agen dari Langley untuk membantu menggali data dan arsip-arsip penting untuk mengungkap bagian ini? Hehehehe…
Dari disertasi Hasan Basri, saya menemukan bagian yang menarik, yakni saat dia membahas tentang “green art”. Di bagian ini, Hasan Basri menetapkan green action Annuqayah masuk ke wilayah seni sejak 2015 (hlm. 94). Wah, ini bagian yang sangat mungkin untuk didalami, pikir saya. Dan kalau boleh menawar, bolehkah saya kalau mau memajukan sedikit tahun penetapannya itu? Memang, Pesantren Annuqayah juga dikenal sebagai salah satu tempat yang banyak melahirkan seniman-seniman dengan karya dan ekspresi yang menarik. Beberapa kiainya juga sangat dikenal sebagai seniman, bahkan pergaulannya sampai ke dunia internasional. Kiai Faizi dan almarhum Kiai Zamiel El-Muttaqien, adalah dua nama yang sangat menonjol di bidang ini.
Lain dari itu, saya tak ragu untuk menyebut Kiai Muhammad Affan sebagai pekerja seni yang punya peran penting setidaknya di wilayah Sumenep. Beberapa kiai yang lain saya tahu mempunyai sense kesenian dan pengalaman di bidang seni yang juga sangat kaya, sehingga saya yakin itu juga menjadi bagian dari mewarnai Annuqayah dan keterlibatannya dengan dunia seni. KH Muhammad Shalahuddin A Warits saya tahu juga sangat pantas untuk disebut seorang artist. Hanya beliau sering menyamar, seperti David Webb saat menggunakan identitas Gilberto De Piento waktu mau masuk ke Amerika.
Keempat nama kiai yang juga seniman di atas jelas punya kontribusi yang besar dalam perkembangan Annuqayah dan lingkungan hidup. Tak bisa diragukan lagi. Kalau mau ditambah, ada nama almarhum Kiai Homaidy.
Jadi, dengan banyaknya kiai Annuqayah yang akrab dengan seni dan beririsan dengan isu lingkungan hidup, saya yakin, tema ini masih sangat kaya untuk digali. Bahkan saya terpikir, mau diangkat jadi tema disertasi rasanya juga layak.
Saat saya mengerjakan tugas makalah saya, saya juga menemukan ada beberapa bagian yang rasanya belum diungkap cukup mendalam terkait Annuqayah dan lingkungan hidup ini. Paling tidak, ada beberapa data yang menurut saya cukup bernilai tapi rasanya masih cukup samar dan ketika saya mau melacak lebih jauh untuk bahan makalah saya, tiba-tiba bel berbunyi: time out, game over. Waktu saya habis. Makalah harus segera dikirim. M dan timnya tampaknya tak bakal bisa membantu saya jika saya tidak lulus gara-gara lambat menyetor tugas saya.
Keterangan: foto diambil dari dinding FB Hasan Basri yang diposkan tanggal 23 Juni 2024.
Label: Daily Life, Environmental Issues
Rabu, 31 Januari 2024
Mudah Pecah
Ia mudah pecah. Ia rentan. Ia seperti gelas yang jika dibawa dengan tangan harus dipegang dengan hati-hati agar tidak terjatuh. Saya sering melihat gambar gelas dengan ada kilatan kecil di salah satu sisinya, diletakkan sebagai simbol pada kemasan barang yang katanya mudah pecah.
Jangan dibanting. Demikian tertulis sebagai pengingat. Please handle with care. Tangani atau bawa dengan hati-hati. Namun sering juga terdengar orang-orang mengeluh, karena kurir ekspedisi kadang masih sembarangan menangani paket yang sudah ditempeli dengan stiker simbol gelas yang mudah pecah dan ada tulisan “FRAGILE” itu.
Namun saya tidak sedang berpikir tentang gelas yang mudah pecah atau barang pecah belah serupa. Saya berpikir tentang anak-anak, jiwa dan perasaan anak-anak, yang saya bayangkan mungkin juga “mudah pecah”, dan membutuhkan penanganan yang hati-hati, meski kita tidak menemukan stiker bergambar gelas pecah yang ditempelkan pada baju anak-anak kita.
Saya teringat Robert Frager yang dalam buku bagusnya berjudul Sufi Talks (terakhir versi terjemahan bahasa Indonesianya diterbitkan oleh Noura Books, dan sebelumnya diterbitkan oleh Penerbit Zaman) yang mengingatkan bahwa bayi manusia, atau anak-anak, membutuhkan perawatan lebih banyak dan lebih lama dibandingkan bayi spesies lainnya. Mereka lebih banyak membutuhkan aliran cinta—mungkin waktu yang juga lebih lama di masa atau periode kanak-kanaknya. Mereka mudah pecah.
Saya teringat novel-novel Torey Hayden, di antaranya berjudul Sheila, versi terjemahannya diterbitkan Penerbit Qanita, diterjemahkan oleh Rahmani Astuti, disunting oleh Rika Iffati Farihah yang pernah menjadi mitra kerja saya di Bentang Pustaka. Sheila bercerita tentang luka hati seorang gadis kecil yang dampaknya begitu membekas dalam kehidupannya. Sheila berkisah tentang gelas yang telah pecah dan tak ditangani dengan baik. Sheila bercerita tentang anak-anak yang tak mendapatkan aliran cinta sebagaimana layaknya ia membutuhkan pada masa-masa penting perkembangannya.
Saya teringat paket yang saya terima dalam keadaan “pecah” karena tak ditangani dengan baik oleh kurir ekspedisi, meski sudah ada stiker bergambar gelas di kemasannya.
Lalu saya juga teringat pada anak-anak saya yang kadang tidak saya tangani sebagaimana gelas yang mudah pecah itu. Tulisan ini adalah pengingat untuk saya—mungkin juga untuk Anda, para pembaca. Kata Frager, saat kita belajar mencintai, termasuk anak-anak itu, kita juga belajar mengatasi narsisisme kita—sesuatu yang belakangan begitu dirayakan melalui platform media sosial kita. Kita belajar mendahulukan kebutuhan orang lain. Masih kata Frager, ada orang yang harus menunggu jatuh cinta atau menjadi orangtua untuk menyadari dan belajar mendahulukan kepentingan orang lain. Kata Frager, mungkin anak-anak adalah terapi kejut versi Tuhan untuk mengobati egoisme kita.
Jadi, pegang mereka dengan hati-hati. Karena mereka itu mudah pecah. Dan mereka senantiasa menunggu kelembutan pegangan kita.
Label: Daily Life, Family Life
Selasa, 23 Januari 2024
Menulis Pendek, Menulis Panjang
Butuh tenaga ekstra untuk bisa menulis panjang dengan target menulis di kisaran 5000 kata. Tapi saya ingat, jarak 12 ribu kilometer tetap dimulai dari tapak satu dua langkah. Artinya, 5000 kata tetaplah dimulai dari dua tiga kalimat.
Saya tidak terbiasa menulis panjang seperti untuk artikel jurnal yang menuntut minimal 5000-an kata. Jadi ketika mulai kuliah S-3, saya sempat khawatir jika ada tugas makalah yang menuntut minimal panjang tulisan seperti itu. Namun ternyata alhamdulillah, untuk tugas-tugas makalah presentasi dengan minimal 4000 kata, saya bisa mengerjakannya dengan sistem kebut (sehari) semalam. Asal bahan sudah cukup jelas, sistematika disiapkan, proses penulisannya bisa pake sistem balapan.
Begitulah saya mengerjakan tugas makalah presentasi di semester ini. Terjepit di antara berbagai aktivitas, makalah diselesaikan dalam waktu sekitar sehari semalam. Hasilnya tak buruk-buruk amat. Saya berpikir, kok ternyata bisa saya menulis agak panjang? Ya itu tadi, karena tulisan panjang adalah tulisan pendek yang disatukan. Untungnya, saya sudah cukup terbiasa menulis—yang pendek-pendek itu, dahulu, terutama saat masih aktif menulis populer resensi buku di koran-koran dan juga aktif menulis untuk rindupulang.id, blog kesayangan yang beberapa tahun terakhir cukup terlantar.
Jadi mungkin benar apa yang sering saya katakan: menulis itu juga soal keterampilan, seperti memasak atau menyetir kendaraan. Iya terkait juga dengan jam terbang. Saya ingat saat saya pertama kali belajar memasak saat menempuh S-2. Mentor saya teman kelas dari Bangladesh—dan juga YouTube, yang kontennya belum seheboh sekarang. Saya ingat bagaimana kakunya saya memotong-motong bawang. Saya masih menyimpan videonya. Hehehe..
Demikian juga menulis. Mereka yang belum terbiasa menulis, mungkin akan terbata-bata memulai paragraf dan kalimat-kalimat pembuka. Satu paragraf selesai, kebingungan datang untuk melanjutkan paragraf berikutnya. Seperti mobil mogok yang kehabisan bahan bakar. Ya, begitulah, kadang penulis pemula tidak siap dengan bahan mentah, seperti saat saya memasak kare ayam di Utrecht dan lupa tidak membeli jahe untuk membuat masakan saya lebih enak.
Tapi soal keterampilan, sekali lagi, itu soal jam terbang. Saya ingat, dahulu saat masih duduk di bangku sekolah kelas menengah, saya juga rajin menulis catatan harian. Sayang sebagian tak terarsip. Yang tersisa ada catatan harian tahun 1996. Tapi ada juga arsip tulisan saya di era-era itu, termasuk ada juga yang menggambarkan proses kreatifnya, mulai dari mengumpulkan dan merangkum bahan dari berbagai sumber, hingga kemudian saya tuangkan dalam satu tulisan yang kalau saya bayangkan waktu itu hitungannya agak panjang.
Jadi kalau ada orang yang tiba-tiba dituntut untuk menulis panjang, tapi sebelumnya belum terbiasa bahkan untuk menulis yang pendek-pendek, saya bisa membayangkan betapa mumetnya dia itu. Makanya, daripada mumet, saran saya, cobalah untuk menulis yang pendek-pendek dulu, di kisaran 500 kata, itu sudah sangat bagus jika dilakukan secara rutin.
Saya ingat, pada awal 2013 saya pernah mendapat proyek penulisan 40 esai yang masing-masing panjangnya sekitar 400 hingga 500 kata. Saya lakukan tiap hari. Malam menyiapkan bahan, pagi setelah subuh saya tulis. Alhamdulillah berjalan lancar.
Setelah lama tidak aktif menulis, dan dalam beberapa bulan ini dipaksa membaca dan menulis karena saya sekolah lagi, saya bersyukur. Sepertinya rindupulang.id akan senang menyambut saya membuka akun blogger.com, dan memposkan tulisan-tulisan baru yang melulu tidak hanya tentang hal akademik, tapi tulisan-tulisan spontan yang saya tulis sekali duduk semacam ini.
Salam hangat.
Label: Daily Life, Literacy
Sabtu, 28 Juli 2018
Ternyata, Ada Pengurus Publik yang Tidak Melunasi Pajak Kendaraannya
Ternyata, sebagian pengurus publik tidak melunasi pajak kendaraannya. Kalau dalam Ilmu Logika, pernyataan ini termasuk proposisi partikular negatif. Kalau dalam kehidupan sehari-hari, pernyataan ini dapat termasuk kategori fakta. Saya tahu ini fakta dari sebuah tulisan yang saya baca pagi ini:
"Cerita buruk DPR sepertinya nggak ada matinye. Ada saja perilaku buruk anggota legislataif mulai dari hampir setiap waktu tertangkap Komisi Pemberantasan Korupsi karena korupsi sampai ditangkap polisi di jalan. Tidak ada habis-habisnya anggota DPR tertangkap karena korupsi. Cerita negatif kali ini anggota DPR tertangkap polisi lantaran ngemplang pajak kendaraan bermotor.
Tidak tanggung-tanggung, dia menunggak pajak selama dua tahun. Adalah anggota DPR dari Gerindra bernama Kardaya Warnika yang tertangkap basah ngemplang pajak. Anggota Komisi VII DPR itu terjaring razia karena tidak membayar pajak kendaraan bermotor. Dia ditangkap polisi di Jalan DI Panjaitan, Jakarta Timur."
Ini adalah kutipan tajuk rencana Koran Jakarta hari ini, 28 Juli 2018 yang kebetulan saya baca. Isinya tentang anggota DPR yang tertangkap polisi karena kendaraan bermotornya tidak dilunasi pajaknya.
Sebagai murid Kiai M Faizi dalam hal urusan pemeriksaan pajak kendaraan bermotor melalui pemeriksaan plat nomor di situs Dinas Pendapatan Daerah, saya sudah sangat sering mendapatkan kendaraan bermotor (sering kali mobil-mobil yang tergolong menengah ke atas) yang tidak dilunasi pajaknya. Bahkan beberapa di antaranya saya ketahui mobil tersebut milik pengurus publik atau juga tokoh masyarakat.
Ya, tentu cerita saya ini tentang mobil yang lalu-lalang di sekitar wilayah yang biasa saya lintasi: Pamekasan-Sumenep khususnya. Kendaraan-kendaraan itu kebanyakan masih bisa saya cek status pajaknya melalui laman Dinas Pendapatan Daerah Jawa Timur. Kadang saya juga memeriksa pajak kendaraan bermotor di luar wilayah Jawa Timur yang juga bisa dilakukan dengan mudah di internet.
Tak hanya saat berjumpa di jalanan, saat menghadiri acara-acara umum baik di lembaga publik maupun acara lainnya saya kadang memeriksa nomor kendaraan yang saya temui. Tak mesti karena ingin tahu kelunasan pajaknya, tapi kadang hanya untuk mengetahui besaran pajak yang dibayarkan oleh si pemilik.
Pernah saat bersepeda motor saya berada di belakang sebuah mobil mewah yang nilai pajaknya lebih dari untuk membayar Mio J keluaran tahun 2014 yang saya kendarai. Saya dan mobil itu sama-sama terjebak macet di Pasar Keppo, Galis, Pamekasan. Saya tergoda untuk memfoto dan kemudian memeriksa pajaknya karena saya sudah pernah bertemu dengan mobil ini sebelumnya di sebuah acara. Oh, ternyata pajaknya tidak dibayar! Pada nomor kendaraannya, tahun pembayaran pajaknya saat itu ditutupi dengan bendera merah putih (untung tak ditambah stiker: NKRI Harga Mati!).
Kadang kalau ada berita kecelakaan di situs internet saya iseng juga memeriksa pajak mobil yang kecelakaan tersebut. Pernah ada berita iring-iringan mobil pejabat yang tabrakan beruntun. Situs Kompas mencantumkan nomor kendaraannya. Saya cek: eeeee salah satunya ternyata tak membayar pajak.
Pernah juga Addarori Ibnu Wardi beberapa tahun lalu memposkan gambar aparat berseragam cokelat yang sedang parkir dengan sepeda motornya (kalau tidak salah saat mengantar jamaah umroh atau haji). Saya cek nomor kendaraannya: eeeee motornya ada yang masih menunggak pajak.
Saat saya mengetahui bahwa secara rutin Pemerintah Provinsi Jawa Timur kerap punya program pemutihan pajak kendaraan bermotor, saya jadi berpikir: mungkin saja orang-orang yang suka telat (atau tidak melunasi) pajak kendaraan bermotor itu tahu tentang hal ini sehingga mereka menunda pembayaran pajaknya (ada yang hingga beberapa tahun lho). Kan lumayan untuk dibuat biaya cetak banner atau modal usaha lainnya. Apalagi mobil yang tak dibayar pajaknya itu sekelas Innova atau bahkan Alphard.
Saat keterbukaan informasi publik seperti sekarang ini semakin lebar karena akses internet yang semakin mudah, masyarakat di antaranya dapat mengambil manfaat untuk juga ikut serta melakukan evaluasi atas program pemerintah dalam hal pajak kendaraan bermotor. Mungkin saja pemilik kendaraan bermotor yang saya jumpai yang belum bayar pajak itu lupa, seperti cerita anggota DPR dalam tajuk rencana Koran Jakarta di atas. Dengan begitu kita bisa mengingatkan. Lain lagi jika kita menduga kuat bahwa lupanya tersebut terjadi secara sistematis. Mungkin yang seperti ini perlu perlakuan berbeda.
Oiya, terakhir, kalau mau tahu lebih jauh tentang cara memeriksa pajak kendaraan bermotor atau hal lain tentang tertib lalu-lintas, silakan hubungi Kiai M Faizi.
Label: Daily Life, Social-Politics
Jumat, 12 Februari 2016
Berkomunikasi dengan Anonim
Pernahkah Anda berkomunikasi dengan seseorang yang tak Anda kenal? Di mana? Seberapa lama? Untuk urusan apa? Bagaimana rasanya?
Saat media komunikasi sekarang semakin beragam dan juga semakin mempermudah kita, beberapa orang kadang melupakan hal-hal yang sebenarnya cukup mendasar dalam berkomunikasi. Bagi saya, komunikasi secara sederhana adalah upaya untuk menjalin hubungan dengan orang lain baik—bisa untuk keperluan yang hanya singkat atau bahkan untuk urusan yang akan berlangsung dalam waktu yang lama. Sebagai sebuah upaya menjalin relasi, tentu saja ada dimensi etis di situ.
Karena itu, menurut saya, hal yang penting dilakukan dalam menjalin komunikasi agar tetap berada dalam kerang etis adalah memperkenalkan diri. Saat hendak berhubungan dengan orang lain, sewajarnya pertama kali kita saling memperkenalkan diri jika memang salah satu atau keduanya belum saling kenal.
Dalam bentuk komunikasi langsung, yakni yang berlangsung secara tatap muka, hal ini mungkin bukan lagi hal yang perlu diingatkan. Tapi seiring dengan semakin bermacamnya media komunikasi, saya sering mengalami berkomunikasi dengan anonim atau dengan entah siapa. Itu bisa terjadi dalam pesan pendek atau sms, panggilan telepon, email, atau di jejaring sosial di internet.
Komunikasi anonim ini terjadi misalnya saat tiba-tiba ada nomor telepon baru yang menelepon dan langsung saja bicara pada poin utamanya. Padahal, saya masih belum kenal orang ini sehingga kadang saya masih butuh waktu untuk berpikir tentang arah atau topik pembicaraan si penelepon dan kaitannya dengan saya.
Ada pula bentuk komunikasi anonim yang lain. Si penelepon atau orang yang sms kadang hanya menyebut kelompok tertentu sehingga identitas spesifik si penelepon menjadi tak begitu jelas. Misalnya: “Saya pengurus xxx, Pak,” katanya di seberang. Ya, saya tahu bahwa xxx itu lembaga atau organisasi yang memang saya kenal. Tapi komunikasi ‘kan pada dasarnya juga bersifat personal meskipun sedang mewakili lembaga atau organisasi.
Dalam jalur komunikasi yang berlangsung di internet, komunikasi anonim cenderung semakin sering saya jumpai. Di Facebook, akun-akun anonim dengan nama organisasi, lembaga, atau perkumpulan, sering saya jumpai. Hal yang membuat saya kesal adalah bila akun-akun semacam itu, termasuk akun email (organisasi/lembaga/perkumpulan), menghubungi saya dan di dalam pesan yang dikirim tak ada nama orang yang mengirim.
Sekali lagi, saya memang sudah tahu lembaga atau organisasi itu. Tapi ‘kan yang mengirim pasti orang, bukan lembaga atau organisasi. Mengapa tidak dicantumkan?
Saya pernah menegur sebuah email yang dikirim dari akun organisasi/perkumpulan yang di situ tak tercantum nama orang yang mengirimkannya. Saya merasa tak nyaman. Komunikasinya terasa tidak manusiawi. Saya seperti berkomunikasi dengan “makhluk halus”. Akhirnya saya menyampaikan unek-unek saya itu. Saya sampaikan bahwa sebaiknya si pengirim mencantumkan nama sehingga saya tahu saat itu sedang berbicara dengan siapa.
Kadang saya terpikir bahwa pengirim email dari akun lembaga atau organisasi atau perkumpulan yang tak mencantumkan nama orang pengirimnya terkesan enggan untuk bertanggung jawab. Bukankah tanggung jawab merupakan salah satu dimensi etis dalam berkomunikasi?
Namun kadang saya tidak berani berpikiran terlalu jauh seperti itu, yakni bahwa si pengirim itu orang yang tak mau bertanggung jawab. Saya berpikir mungkin ini terjadi semata lantaran kekhilafan atau ketidaktahuan saja. Mungkin si pengirim lupa. Atau ini sebentuk sikap awam saat seseorang menggunakan media komunikasi baru dan kesadarannya masih belum menjangkau hal teknis yang ternyata juga terkait dengan dimensi etis itu.
Jadi, pesan moral dari pengalaman saya ini ada dua. Pertama, jika mau berkomunikasi dengan orang yang sekiranya belum mengenal kita, awalilah dengan perkenalan singkat sebelum masuk ke pokok pembicaraan. Kedua, jika menggunakan akun lembaga atau organisasi atau perkumpulan dalam berkomunikasi, jangan lupa untuk mencantumkan nama Anda sebagai orang yang mengirimkan pesan dengan akun tersebut. Kedua hal ini penting untuk mengingatkan kita bahwa ada dimensi etis dalam komunikasi sehari-hari—meski itu sifatnya sederhana—yang semestinya senantiasa kita jaga.
Wallahu a’lam.
Label: Daily Life, Ethics
Kamis, 03 September 2015
Ihwal Pembangunan
Melalui proses yang mungkin jarang diperhatikan, sebuah kata terkadang menjadi mantra. Maknanya dipahami begitu saja sebagaimana biasa dan apa yang tersimpul di balik makna kata itu dalam kehidupan yang nyata dipandang benar dan wajar adanya.
Sesekali, mari kita cubit nalar kita sedikit agar ia tidak lelap di antara sihir kerutinan hidup yang terus menguasai kita.
Misalnya tentang kata “pembangunan.” Secara kebahasaan, kata “pembangunan” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti “proses, cara, perbuatan membangun.” Ia dipandang menggambarkan sesuatu yang baik—bahkan kadang harus dilakukan. Tapi apa jadinya jika kata “pembangunan” telah menjadi mantra?
Tadi siang, saat melintas di jalan menuju rumah saya di Desa Taro’an, Tlanakan, Pamekasan, saya melewati jalan yang sedang diperbaiki. Beberapa bulan lalu, jalan beraspal selepas kota Pamekasan menuju rumah saya ini penuh lubang. Persisnya, kerusakan parah ada di titik 3 kilometer menjelang rumah. Tapi sejak beberapa hari yang lalu jalan ini mulai diperbaiki. Ada beberapa kendaraan berat yang bekerja sepanjang hari. Truk-truk besar lalu-lalang mengangkut kerikil dan seperti pasir kasar yang digunakan untuk mempertinggi jalan.
Lebih dari itu, jalan yang sejak pertama kali saya lewati di akhir 2013 tak pernah diperbaiki itu tampaknya juga akan diperlebar, termasuk juga di sebelum jalan yang aspalnya rusak berat. Tanda-tanda pelebaran itu tampak dari pohon-pohon yang ditebang di kanan kiri jalan. Batang-batang pohon rebah di atas tanah.
Inilah poin yang ingin saya bicarakan. Pengaspalan jalan, termasuk pelebaran jalan, tentu saja adalah contoh dari apa yang disebut “pembangunan.” Orang-orang, termasuk saya tentunya, akan menikmati jalan yang nantinya akan nyaman dan lebar ini. Namun demikian, jika pembangunan harus meminta tumbal berupa ditebangnya pepohonan yang di antaranya sudah cukup rindang itu maka ini sudah dianggap biasa dan wajar.
Memang betul, segala sesuatu bisa memuat risiko. Ini adalah risiko pembangunan, tepatnya pelebaran jalan. Pohon-pohon yang tumbang itu, yang untuk bisa rimbun dan rindang tidak bisa disulap dalam waktu semalam, adalah harga yang harus dibayar untuk jalan yang nyaman dan lebar.
Namun jika “pembangunan” tidak kita inginkan sebagai serupa mantra, maka kita harus berpikir tentang risiko atau tumbal yang diakibatkannya. Artinya, pohon-pohon itu mestinya benar-benar kita pertimbangkan.
Sayang pepohonan itu tak bisa berbicara atau menggugat atas posisinya sebagai risiko pelebaran jalan. Jika pepohonan itu menjadi seperti Ent di trilogi The Lord of the Rings, mereka mungkin akan menunjukkan bahwa makna “pembangunan” bisa memberi sesuatu yang mungkin akan merugikan.
Label: Daily Life, Social-Politics
Senin, 19 Agustus 2013
Waktu Sela dan Kamera Seadanya
Sejak memiliki kamera saku pada pertengahan 2009 dan menyukai fotografi mulai sekitar akhir tahun 2009, saya kadang meluangkan waktu secara khusus untuk berburu gambar. Tujuannya adalah untuk belajar dan menajamkan naluri fotografi. Memang objek dan momentumnya sering kali biasa. Tapi saya percaya bahwa dengan sudut pandang yang tepat, setiap jepretan dapat memberi pelajaran yang baru buat saya.
Sejak memiliki kamera yang lebih baik, yakni kamera DSLR, hobi berburu gambar menjadi semakin menggoda. Sayangnya, bersamaan dengan itu, kesibukan saya di kegiatan kependidikan justru semakin padat sehingga saya agak kesulitan mengatur waktu untuk secara khusus berburu gambar. Apalagi, perangkat kamera DSLR dengan perangkat pendukung (lensa, filter, dan yang lain) cukup menyita ruang dan agak ribet untuk dibawa.
Pada akhir bulan November 2012 lalu, saya sempat kedatangan tamu fotografer terkemuka, Tedi K. Wardhana (instruktur Darwis Triadi School of Photograpy, Jakarta). Pada kesempatan itu, dia memberikan pelatihan singkat fotografi kepada murid dan guru di SMA 3 Annuqayah. Fokusnya pada fotografi dengan kamera telepon seluler (ponsel). Dari pemaparan Pak Tedi, saya tersadar bahwa belajar fotografi juga bisa dilakukan dengan perangkat mobil yang nyaris dimiliki semua orang: telepon seluler. Apalagi saat ini telepon seluler yang memiliki fasilitas kamera terbilang murah dan sudah dimiliki banyak orang.
Apa yang paling mungkin digali dan dipelajari dari kamera ponsel? Paling tidak ada dua hal: pembingkaian dan kepekaan pada cahaya. Pembingkaian adalah hal yang menurut saya sangat mendasar dalam fotografi, yakni bagaimana kita memasukkan objek tertentu dalam bingkai gambar yang sedang kita bidik. Setiap kali mengambil gambar dengan kamera, saya berusaha untuk membayangkan bahwa saya sedang mengambil secuil gambar dari realitas yang ada di hadapan saya dalam sebuah batas atau bingkai tertentu. Nah, untuk melatih hal ini, kamera ponsel tentu saja tidak punya hambatan.
Yang kedua adalah soal kepekaan pada cahaya. Kamera pada dasarnya bekerja melalui cahaya. Kamera merekam objek yang kita ambil dengan berdasarkan masukan cahaya yang ada di sekitar objek tersebut. Penyesuaian terhadap keberadaan cahaya dengan objek yang kita tuju sangatlah penting dalam fotografi. Arah cahaya datang dan posisi kita yang sedang mengambil gambar akan berpengaruh pada gambar yang akan dihasilkan. Dengan teknologi yang seadanya, kamera ponsel dapat menjadi media eksplorasi untuk dapat merekam objek secara lebih baik dengan menempatkan diri dan menyesuaikan dengan situasi cahaya yang ada.
Jika kebetulan ada waktu dan berada di hadapan objek dan situasi yang tepat, saya berusaha memanfaatkan kamera ponsel saya dengan niat belajar. Contohnya adalah sore tadi. Saat pulang dari menghadiri tasyakkuran pernikahan seorang rekan di Kecamatan Batang-Batang, sekitar 60 km dari rumah saya di Guluk-Guluk, pulangnya kami mampir shalat asar di Masjid Jamik Sumenep. Begitu turun dari kendaraan, naluri fotografi saya langsung bekerja saat melihat Masjid Jamik Sumenep di sore sekitar pukul 16.35 WIB itu.
Langit biru. Senja yang cerah. Awan putih terbentuk cukup rapi di balik pintu gerbang masjid yang dominan dengan warna putih dan kuning itu. Saya teringat pada keagungan masjid yang dibangun di masa pemerintahan Panembahan Somala (1762-1811) dengan arsitek Lauw Pia Ngo itu. Nilai multikultural gerbang masjid yang berarsitektur China itu bagi saya sungguh membanggakan untuk diceritakan.
Setelah menunaikan shalat asar, saya pun mulai mengambil gambar dengan fokus pada gerbang masjid yang dibangun selama enam tahun itu, yakni mulai 1781 hingga 1787. Dengan menggunakan kamera ponsel Samsung GT-P3100, ternyata gambar yang dihasilkan cukup memuaskan buat saya. Dan, yang terpenting, saya berkesempatan untuk menajamkan naluri fotografi saya.
Di jalan pulang setelah meninggalkan Masjid Jamik Sumenep, sambil melihat-lihat hasil jepretan saya, pikiran saya sempat tergoda untuk secara khusus mengeksplorasi Masjid Jamik Sumenep sebagai objek kamera dengan waktu yang lebih leluasa dan utuh. Sungguh rasanya akan menjadi pengalaman menarik. Tapi saya belum tahu kapan saya bisa melakukannya.
Di bawah ini adalah beberapa hasil jepretan saya sore tadi.
Read More..
Label: Daily Life, Photography
Rabu, 02 Maret 2011
Bahasa Tubuh
Sekitar akhir 2009 yang lalu, saat saya masih di Utrecht, saya ingat pernah membaca sebuah tulisan di blog teman saya tentang kiat mengikuti tes wawancara untuk beasiswa luar negeri. Dalam tulisannya itu, ia menjelaskan tentang pentingnya mengelola bahasa tubuh yang baik selama wawancara.
Saya teringat tulisan teman saya ini setelah saya selesai mengikuti wawancara di Jakarta untuk seleksi program pertukaran pemuda ke Australia dan kemudian tepat keesokan harinya saya punya urusan pribadi di sebuah kantor pemerintahan di kawasan Senayan. Saya teringat tulisan teman saya tersebut gara-gara memperhatikan bahasa tubuh pejabat yang berhadapan dengan saya di Senayan.
Selama beberapa menit—mungkin sampai belasan menit—si pejabat berhadapan dengan saya, saya tak ingat dia sempat menatap mata atau wajah saya—bahkan sepertinya juga orang sebelum saya. Dia berbicara sambil melihat atau membolak-balik berkas-berkas yang saya bawa, atau melihat ke arah layar komputer. Benar, bahkan saya sungguh tak ingat dia melirik ke saya atau antrean orang setelah saya.
Saya rasa saya tak perlu cerita detail tentang bagaimana bahasa tubuh si pejabat ini. Namun jika Anda kebetulan warga Sumenep, rasanya Anda tak akan cukup sulit untuk bisa punya pengalaman serupa dan menangkap poin cerita saya. Cukup datang ke kantor pemerintahan untuk sebuah urusan, maka peluang Anda untuk punya pengalaman seperti saya mungkin bisa di atas 50 persen.
Kembali ke tulisan teman saya itu, dia menulis bahwa soal attitude atau sopan santun dalam wawancara sebenarnya adalah sesuatu yang common sense, bisa ditangkap dengan pemahaman biasa. Pandangan mata, misalnya, bisa menunjukkan seberapa santun sikap seseorang terhadap lawan bicaranya. Jika dalam sebuah tes wawancara Anda berbicara tanpa pernah menatap mata lawan bicara Anda, tentu itu bukan sebuah sikap yang baik. Demikian pula, permainan air muka dan gerakan mata Anda ketika menyimak atau untuk menanggapi pembicaraan si pewawancara akan menunjukkan seberapa Anda memperhatikan dan berusaha masuk ke dalam tema perbincangan.
Sampai di sini saya pun juga teringat pada uraian Michel Foucault (1926-1984) tentang lahirnya pola relasi baru antara dokter dan pasien di Eropa di akhir abad ke-18, sebagaimana ia paparkan dalam The Birth of the Clinic. Akibat penemuan otopsi yang memungkinkan penyelidikan mendalam pada organ-organ interior tubuh manusia, lahirlah sistem katalogisasi ekspresi simptomik tubuh pasien di setiap rumah sakit. Sistem klasifikasi simptom ini menurut Foucault melahirkan cara pandang baru dunia medis untuk memahami pasien lebih sebagai fakta patologis (a pathological fact). Nah, di titik ini, Foucault lalu menggambarkan struktur persepsi dokter yang baru ini dalam istilah “gaze” (“regard”, dalam bahasa Prancis), yang berarti “sorot mata” atau “tatapan”. Istilah ini digunakan untuk menggambarkan munculnya cara pandang baru di luar kedudukan pasien sebagai subjek manusia yang harus disembuhkan, yakni dengan memberi porsi yang besar pada penyelidikan (“sorot mata klinis”) atas reaksi-reaksi patologis tubuh pasien.
Saya tidak tahu apa jika Foucault hidup di zaman sekarang dia akan menyelidiki pola relasi antara pejabat publik di birokrasi dan masyarakat seperti dalam pengalaman saya di atas. Tapi saya merasa bahwa penelitian Foucault atas buku-buku kedokteran klinis yang ditulis antara tahun 1790 hingga 1820 (yang kemudian melahirkan buku The Birth of the Clinic) dan termasuk juga penelitiannya tentang penjara dan semacamnya cukup sejalan dengan konteks yang sedang saya ceritakan di sini. Semuanya berada dalam kerangka disiplin, yang oleh Seno Joko Suyono (2002) dipandang sebagai kata kunci Foucault dalam menjelaskan pembentukan diri-eksternal kelas menengah Eropa.
Jika sorot mata baru dalam dunia medis di Eropa dinilai begitu penting oleh Foucault dalam membentuk tatanan masyarakat baru di Eropa, saya tidak tahu seberapa penting dan mendalam makna bahasa tubuh atau sorot mata pejabat publik seperti dalam kisah saya ini. Lebih jauh, apakah cara perlakuan seperti ini memang terjadi secara luas ataukah hanya di wilayah atau situasi tertentu? Juga, sejak kapan?
Catatan ini sendiri sebenarnya lahir setelah ada cerita senada yang saya dengar dari seorang teman beberapa hari yang lalu saat ia punya urusan di sebuah kantor pemerintahan di Sumenep. Teman saya itu bercerita tentang ucapan-ucapan dan bahasa tubuh seorang pejabat yang sama sekali tak simpatik. Saya sama sekali tak heran mendengar cerita teman saya itu, karena sesungguhnya saya sendiri pernah mengalaminya saat mengurus prasyarat keberangkatan saya ke Eropa pertengahan 2009 lalu.
Atas semua kisah semacam ini, saya kadang berpikir: jika masyarakat senantiasa atau sering sekali punya pengalaman buruk dalam berhubungan dengan pejabat publik, apakah itu tidak berarti bahwa negara diam-diam sedang berusaha tampil sebagai sosok yang menakutkan bagi para warganya? Tidakkah pengalaman semacam ini akan membentuk persepsi publik untuk melihat negara bukan sebagai bagian dari dirinya, bahkan sebagai sosok “penjajah” atau sosok yang korup, sehingga negara kemudian semata menjadi semacam formalitas yang hanya dibutuhkan untuk mengisi formulir data pribadi?
Label: Daily Life, Social-Politics
Rabu, 17 November 2010
Ironi Pengetahuan
Bila orang pada umumnya menyatakan bahwa pengetahuan itu memberi terang, saya kini punya pikiran lain. Ada kalanya pengetahuan tertentu justru menggelisahkan. Setidaknya, itulah yang saya alami pagi tadi.
Bersilaturahmi di hari lebaran, di rumah seorang famili, tadi pagi saya disuguhi air minum dalam kemasan. Merknya Aqua. Saya tak punya masalah kesehatan dengan air minum dalam kemasan. Namun saya bermasalah dengan merk Aqua—gara-gara pengetahuan saya. Apalagi, air minum yang isi bersihnya 240 ml itu tepat dikeluarkan dari pabrik Aqua kedua di Pandaan yang telah beroperasi sejak 1984. Saat saya melirik ke labelnya, tampak jelas tertulis: “Mata Air Pandaan, Gunung Arjuno”.
Kegelisahan saya itu terjadi karena pengetahuan saya. Saat di Trondheim, Norwegia, bulan April lalu, saya sempat membaca sebuah berita di laman Media Indonesia Online (yang sekarang sudah tak bisa diakses, tapi masih terdokumentasi di laman Walhi) tentang aktivitas perusahaan Aqua yang mengancam debit air tanah di Gunung Arjuno. Dilaporkan bahwa PT Tirta Investama (Danone Aqua) setiap hari mengeksploitasi 1,5 juta liter air tanah di lereng Gunung Arjuno. Akibatnya, warga Pasuruan banyak yang mengeluh karena sumber mata air mereka banyak yang mati.
Saya mencoba membayangkan angka 1,5 juta liter itu, dan saya lalu teringat pada air botol Aqua kemasan 1,5 liter. Jika air yang dieksploitasi setiap hari itu dikemas dengan botol ukuran 1,5 liter, maka itu akan sama dengan sejuta botol kemasan 1,5 liter! Imajinasi visual tentang sejuta botol yang berderet tiap hari, siap diangkut, didistribusikan, dan dijual itu, terasa mengganggu pikiran saya. Ke manakah mereka itu semua akan berakhir?
Satu setengah juta liter! Jika setiap orang rata-rata memakai air bersih sebanyak 150 liter per hari, maka air yang dieksploitasi Aqua setiap hari di Pasuruan itu cukup untuk jatah sepuluh ribu orang yang tinggal di Pasuruan!
Ini adalah sejenis pengetahuan yang menggelisahkan. Atau, dalam istilah Michael Moore, the awful truth. Dan pengetahuan ini kemudian menemukan momentumnya untuk menggelisahkan saya tadi pagi.
Sebenarnya, masalah terbesar yang saya hadapi dalam kasus ini bukan terletak pada aspek teoretis atau konseptual. Masalahnya ada pada tindakan, yakni bagaimana saya menyikapi dan merespons pengetahuan saya itu. Pengetahuan itu telah merepotkan saya, memaksa saya untuk berpikir kembali untuk menjulurkan tangan saya meraih satu-satunya pilihan air minum yang tersedia di tempat itu pagi tadi.
Saya lalu teringat pembahasan Franz Magnis-Suseno tentang kebebasan, yang kemudian menyadarkan saya bahwa pada saat semacam tadi pagi itulah saya sebenarnya dapat menegaskan bahwa saya memiliki kebebasan. Saya punya kebebasan karena saya memiliki pilihan—dengan berbagai konsekuensinya.
Dan saya pun tahu, pilihan apa yang sebaiknya saya ambil pagi tadi. Ya, setidaknya pagi tadi—entah lain kali.
Label: Daily Life, Environmental Issues
Senin, 21 Desember 2009
Bertemu Sinterklaas
Memasuki bulan November yang lalu, teman-teman di kelas mulai berbicara tentang Sinterklaas. Saya, yang cukup awam dalam soal ini, mencoba bertanya kepada salah satu teman kelas. Dia menjelaskan secara cukup baik tentang perayaan Sinterklaas di Belanda.
Sinterklaas merujuk pada seorang uskup dari Myra, Turki, yang baik hati, suka menolong orang miskin dan juga dikenal sebagai pelindung anak-anak. Di Belanda, perayaan Sinterklaas dilaksanakan setiap tanggal 5 Desember. Di hari itu, Sinterklaas bersama Piet Hitam (Zwarte Piet) yang menemaninya membagikan hadiah untuk anak-anak. Sedangkan anak yang nakal akan dibawa pergi ke Spanyol.
Tentu saja, pikir saya, di mata anak-anak bayangan tentang hadiah sangatlah menyenangkan, dan hukuman dibawa ke Spanyol akan cukup menakutkan.
Teman saya itu kemudian menuturkan bahwa Sinterklaas bersama rombongannya akan hadir secara bergiliran di kota-kota besar di Belanda setiap akhir pekan. Sayangnya, saat rombongan Sinterklaas berkunjung ke Utrecht pada 14 November yang lalu, saya sedang bepergian ke Amsterdam untuk suatu keperluan, sehingga tak bisa melihat langsung rombongan Sinterklaas yang katanya tiba melewati kanal Utrecht.
Penasaran dengan Sinterklaas, menjelang 5 Desember saya mencoba keliling bersepeda di sekitar Zeist. Akhirnya, pada hari Jum’at sore, 4 Desember, saya berhasil melihat Sinterklaas bersama beberapa Piet Hitam yang sedang dikerumuni anak-anak di sebuah pusat perbelanjaan. Saat itu, saya menyaksikan beberapa anak yang sepertinya tampak sangat senang bermain di sekitar Sinterklaas yang membagikan hadiah-hadiah berupa makanan ringan. Ibu mereka, yang sebagian tampak mengawasi dari kejauhan, kadang terlihat geleng-geleng kepala menyaksikan tingkah anak-anak mereka.Saya mencoba membaca pikiran anak-anak yang tampak girang dan tertawa-tawa riang itu. Saya membayangkan, mereka sedang mendapatkan suatu pelajaran moral untuk berbuat baik pada sesama. Beberapa waktu yang lalu, saat berkumpul dengan komunitas masyarakat Indonesia di sebuah acara informal, salah seorang di antara mereka yang sudah tinggal di sini (Utrecht) menyatakan bahwa pelajaran moral Sinterklaas tidaklah terlalu berhubungan dengan agama—ya, saya cukup bisa memakluminya; bukankah Belanda memang negara yang tergolong sekuler?
Dengan memandang perayaan Sinterklaas yang tak lagi terlalu mengacu pada aspek religius, saya jadi maklum saat menyaksikan seorang anak dari seorang ibu yang kelihatannya muslim bermain dengan Sinterklaas di supermarket di Jum’at sore itu. Sepertinya Sinterklaas di sini telah menjadi semacam simbol moral universal tentang dorongan untuk berbuat baik.
Saya menjadi semakin yakin akan hal ini saat mencoba mencari informasi lebih jauh di internet, dan menyadari kenyataan bahwa Sinterklaas sendiri pada dasarnya adalah seorang Katolik—meskipun ia oleh Vatikan dicoret dari daftar orang-orang suci. Bagaimana bisa orang terhormat dari Katolik dirayakan di sebuah negara yang mayoritas Protestan seperti Belanda? Jawabannya jelas: Sinterklaas telah melampaui sekat formalitas (sekte) agama, dan mungkin sudah cukup menyatu dengan gerak hidup kebudayaan masyarakatnya yang memiliki bermacam keyakinan. Memang, dari situasi semacam ini, simbol agama menjadi tak terlalu kelihatan.
Saat 5 Desember berkeliling di sekitar Zeist, saya kembali berjumpa dengan Sinterklaas di pusat kota. Piet Hitam berkeliaran di sepanjang jalan di situ. Dari kejauhan, tampak di antara mereka sedang memberi bungkusan hadiah untuk seorang anak yang sedang berjalan dengan digandeng oleh ibunya.
Dalam hati saya bertanya: mengapa mereka tak memberi hadiah untuk saya? Hmmm.... mungkin karena saya bukan anak-anak lagi—semoga bukan karena saya termasuk “anak nakal”.
Label: Daily Life, European Adventures
Senin, 23 November 2009
Orang Miskin Dilarang Sakit
Minggu, 15 November. Sore itu saya mendapat kabar duka dari Madura. Widadah (sehari-hari dipanggil Wiwid), yang pernah menjadi murid terbaik saya di SMA 3 Annuqayah Guluk-Guluk Sumenep, dikabarkan meninggal dunia oleh sepupu saya. (Allahummaghfir laha warham-ha waj‘al jannata ma'wa-ha). Dia meninggal di ICU RSUD Sumenep, setelah sehari sebelumnya melahirkan dua anak pertamanya (kembar). Saat menerima kabar itu, saya tak terlalu banyak bertanya tentang kronologi dan sebab-musababnya. Saya hanya tertegun. Lama. Sungguh, saya terkejut sekali mendengar berita duka ini. Saya membayangkan dua putra kembarnya, keluarganya.
Sepertinya baru kemarin, saat saya memberikan buku Muhammad karya Martin Lings untuknya, setelah dia dinobatkan sebagai siswa teladan di pertengahan 2008 lalu di sekolah. Saya mencoba mengingat-ingat, kapan terakhir kali saya berjumpa dengan dia. Sayangnya, ingatan saya tak cukup kuat. Setelah lulus dari SMA 3 Annuqayah, dia menikah, dan sependek ingatan saya, saya tak pernah bertemu dengannya lagi.
Saya memang tak berusaha mencari informasi lebih jauh tentang meninggalnya Wiwid. Akan tetapi, secara kebetulan, saya menemukan berita tentang itu. Seorang teman di Facebook yang juga seorang anggota DPRD Sumenep menuliskan dua posting di dindingnya yang berkaitan dengan hal itu. Saya kutip lengkap dan persis sebagaimana berikut:
sekali lg pelayanan RSUD Smnp m'dapat sorotan negatif dari masyarakat, pelayanan t'hadap pasien ASKESKIN krg m'dapatkan pelayanan standart minimal, t'buti pasien operasi melahirkan "Widadah" asal desa Poreh Kec. Lenteng Smp saat ini sedang tergolek kritis di ruang ICU krn t'indikasi adanya infeksi pasca operasi yg diakibatkan telatnya penangan dari petugas di sana. (15 November 2009, 9.43 WIB)
sampai info ini ditulis blm ada 1 dokterpun yg menangani pasien tsb, walau sy telah telpon lgsg k Kep. RSUD "dr. Kifli Mahmud" (15 November 2009, 9.44 WIB)
Membaca dua posting itu dua hari yang lalu, saya agak terkejut, bercampur sedih, dan juga jengkel. Pikiran saya jadi ke mana-mana. Sempat terlintas di benak saya: seharusnya ada sesuatu yang bisa dilakukan oleh pihak rumah sakit untuk menyelamatkan Wiwid. Tapi, hal yang terjadi tidaklah menurut aturan yang semestinya.
Jika benar dugaan dalam posting teman saya itu, bahwa infeksi pasca operasi itu diakibatkan telatnya penanganan petugas rumah sakit, sungguh, ini adalah kali kesekian saya mendapat kabar tentang masyarakat kecil di Sumenep yang kurang mendapatkan perhatian dalam hal pelayanan kesehatan. Memang, kerap saya dengar bahwa pasien dengan Asuransi Kesehatan Masyarakat Miskin (Askeskin) mendapat perlakuan berbeda di rumah sakit.
Mestinya para petugas kesehatan itu mengerti bahwa kesehatan bukanlah hal yang sepele. Ia bisa berkaitan langsung dengan hak hidup seseorang. Hak untuk mendapat akses kesehatan yang baik adalah hak setiap warga negara. Dan negara berkewajiban untuk memenuhinya.
Hanya karena seseorang menggunakan Askeskin, yang itu berarti dia tidak mampu membayar dengan penuh dan dibantu oleh negara, para petugas malah menganaktirikannya. Sungguh logika dan juga kepekaan mereka telah tumpul. Mestinya, orang yang tak mampu itu mendapat perhatian lebih, bukannya diabaikan.
Jika benar bahwa penyebab meninggalnya Wiwid adalah karena telatnya penanganan petugas (dan ini tentu saja masih harus diverifikasi secara jujur dan objektif—sebentar, apakah dalam hal ini saya bersikap cukup wajar dan masuk akal untuk mengharapkan objektivitas?), maka jelas para petugas yang mestinya bertanggung jawab telah melakukan hal yang salah—paling tidak secara moral. Mereka telah lalai dalam tanggung jawabnya. Membiarkan orang meninggal karena layanan kesehatan yang tidak maksimal adalah sesuatu yang tidak baik atau salah secara moral. Jika seseorang mampu mencegah terjadinya hal yang buruk secara kesehatan tanpa harus mengorbankan hal penting pada dirinya (apalagi itu adalah kewajibannya), maka jika orang itu tak melakukannya, berarti ia telah melakukan suatu kesalahan.
Saya tidak mendapat sumber informasi yang lain mengenai hal ini. Meski begitu, saya cukup mudah untuk meyakini bahwa pelayanan rumah sakit di negeri kita memang masih sungguh jauh dari standar. Saya banyak mendengar cerita-cerita semacam ini dari beberapa kawan. Di koran dan media massa lainnya, kita juga sering mendapat informasi serupa, tentang buruknya layanan kesehatan, dan, lebih jauh lagi, tentang kecenderungan memperlakukan orang sakit sebagai barang dagangan—bukan manusia.
Saat rehat di kelas kuliah saya yang sedang berdiskusi soal etika biomedis (layanan kesehatan) beberapa pekan yang lalu, saya bilang kepada teman kelas saya yang seorang dokter dari Slovenia bahwa buat saya diskusi semacam ini saat ini masih terasa cukup mewah. Standar pelayanan kesehatan di negeri saya masih jauh dari memadai. Sementara itu, di belahan dunia yang lain, orang sudah lama berbicara dan mempraktikkan kewajiban untuk tidak menularkan penyakit kepada orang lain (obligatory precautions), informed consent, dan semacamnya.
Saya juga jadi teringat Michel Foucault (1926-1984), filsuf Prancis yang menulis buku The Birth of the Clinic (1963), yang bertutur tentang relasi kuasa yang bekerja di rumah sakit melalui tatapan medis (medical gaze, regard) para dokter yang bekerja dengan paradigma kontrol dalam kerangka panopticon.Saya juga jadi teringat judul sebuah buku yang cukup menarik: Orang Miskin Dilarang Sakit. Ya, orang miskin jangan sampai sakit, karena mereka tak akan mendapatkan pelayanan yang baik di negeri ini. Buku ini tidak saja menunjukkan banyak hal tentang carut-marut wajah layanan kesehatan di negeri kita. Lebih dari itu, cobalah Anda ketikkan judul buku ini di mesin pencari Google, dan Anda akan mendapatkan tulisan-tulisan dan laporan faktual bernada serupa dari berbagai sumber.
Mengingat itu semua, saya benar-benar takut untuk sakit. Sungguh. Bukan apa-apa. Karena saya memang termasuk orang miskin.
Label: Daily Life, Madura, Public Service, Social-Politics
Sabtu, 24 Oktober 2009
Bersepeda di Belanda
Sungguh saya merasa sangat beruntung berkesempatan untuk bersepeda di negeri Kincir Angin ini. Tak seperti saat di Jogja, saya dan para pengguna sepeda yang lain di sini mendapatkan banyak keistimewaan dan kenyamanan dalam mengayuh kereta angin dan menyusuri berbagai sudut negeri Belanda. Ada jalur khusus sepeda lengkap dengan rambu-rambunya. Tempat parkir sepeda dapat ditemukan dengan mudah di mana-mana. Beberapa peta yang saya dapatkan, dari kampus dan dari pengelola apartemen, juga mencantumkan jalur khusus sepeda dengan tanda tertentu. Lebih dari itu, di jalanan, sepeda dianakemaskan oleh aturan lalu-lintas: di banyak tempat dengan tanda khusus, kendaraan bermotor wajib mendahulukan atau memberi kesempatan bagi pengguna sepeda untuk melintas.
Karena itulah, tak heran jika 85 persen orang Belanda memiliki paling tidak satu sepeda. Tiap tahun, 1,3 juta sepeda baru terjual di negeri yang juga terkenal dengan bunga tulip dan berpenduduk sekitar 16 juta orang ini. Setiap berangkat ke kampus di pagi hari dengan bersepeda, sepanjang jalan saya akan mengayuh bersama para pengguna sepeda yang lain. Ada yang sudah berusia cukup lanjut, dan bahkan ada juga yang tampak berusia masih setingkat anak Sekolah Dasar. Mereka mengayuh sepeda dengan cepat dan tangkas.
Kekaguman saya semakin bertambah saat menyadari bahwa ternyata sepeda di sini sangat fungsional. Sejauh saya berkeliling di sekitar kawasan kota Utrecht dan Zeist dalam hampir dua bulan ini, saya menemukan berbagai desain sepeda sesuai dengan fungsi dan kebutuhan masing-masing. Tak hanya keranjang belanja di depan kemudi sepeda atau tempat duduk balita yang sempat saya lihat, ada juga semacam kereta kecil yang kadang disambungkan di bagian belakang sepeda, atau bahkan di depan. Kereta kecil di belakang sepeda kadang untuk bayi, lengkap dengan penutup di bagian atasnya, sehingga si bayi dapat dengan aman dan nyaman berbaring di sana. Saya juga pernah menjumpai kereta yang isinya seekor anjing duduk manis di dalamnya. Bisa Anda bayangkan?Tak jarang, mereka yang hendak bepergian ke luar kota juga membawa sepeda lipat mereka. Jika tak punya sepeda lipat dan hanya punya sepeda biasa, sepeda diparkir di stasiun. Karena itu, di stasiun Utrecht, misalnya, saya melihat banyak sekali sepeda yang diparkir—pasti ribuan, atau mungkin puluhan ribu. Teman apartemen saya yang asli orang Belanda mengatakan bahwa dia cukup sering kesulitan menemukan tempat parkir untuk sepedanya di stasiun Utrecht.
Minat orang Belanda untuk bersepeda juga tergambar dari sebuah website bernama “Cycling in the Netherlands” yang dikelola oleh dua orang Belanda bernama Anja de Graaf dan Paul van Roekel yang mengaku sudah lebih 30 tahun bersepeda keliling Belanda dan dunia. Laman ini menyediakan banyak informasi penting seputar bersepeda. Saya senang dengan kenyataan bahwa ada orang yang mau berbagi informasi seperti ini, untuk hal yang, mungkin bagi beberapa orang, tampak sepele—padahal bisa memberi banyak manfaat dan bisa jadi inspiratif.
Meski begitu, satu hal yang cukup menjadi hambatan dalam bersepeda bagi saya yang berasal dari negeri tropis adalah soal cuaca. Di hari kedua saya di Belanda, saya diajak rekan saya yang baik, Mas Waldi, bersepeda dari apartemen saya di Warande, Zeist, ke kampus Uithof Utrecht University. Dengan menggunakan sepeda pinjaman, saya bersepeda bersama Mas Waldi. Saat itu menjelang pukul 10 pagi. Dengan mengenakan kaos, kemeja, dan switer, sepanjang perjalanan yang beberapa di antaranya melintasi kawasan sepi yang penuh dengan pepohonan besar, saya merasakan angin yang menerpa tubuh saya menelusup di antara 3 rangkap pakaian saya itu. Sungguh, angin dingin itu terasa menusuk. Walhasil, saya sering tercecer beberapa meter di belakang Mas Waldi.
Gara-gara cuaca, kecepatan rata-rata bersepeda saya yang saya ukur selama lebih 5 tahun bersepeda di Jogja, yakni sekitar 20km/jam, menjadi sedikit menurun. Karena itu, setelah saya punya sepeda sendiri, yang, sekali lagi, saya dapatkan atas kebaikan dan pertolongan Mas Waldi, saya pun membeli perangkat-perangkat penangkal dingin: sarung tangan, topi dan jaket penahan dingin yang berbahan parasut seperti jas hujan. Sekarang, setiap kali bersepeda, hampir dipastikan saya mengenakan semua senjata penahan dingin itu.
Saat ini, setelah ketakjuban saya dengan fakta-fakta mendasar tentang sepeda di Belanda terasa mulai berkurang, mungkin karena sudah agak terbiasa, tiba-tiba terbersit satu pertanyaan lain di benak saya. Jika kenyamanan bersepeda di sini dapat dirasakan oleh semua pengguna sepeda, termasuk saya yang nota bene seorang pendatang, pertanyaannya: bagaimana kenyamanan ini pada mulanya dibentuk? Apakah ini hasil dari suatu kebijakan yang tertata tentang sistem transportasi publik, atau semata tumbuh dari bawah, dari hobi orang-orang Belanda dalam bersepeda? Apakah ini juga didorong oleh semacam nilai kepedulian atau ramah lingkungan?
Pertanyaan saya ini muncul atas dasar sebuah kecemburuan, mungkin juga mimpi, bagaimana agar ada satu kota atau satu daerah saja di Indonesia yang orang-orangnya populer menggunakan sepeda. Dengan kata lain, ramah lingkungan. Saya jadi teringat sebuah artikel di National Geographic yang menyebutkan sekilas tentang sebuah kota di Jerman, Freiburg, yang sepertiga penduduknya menggunakan mode transportasi ramah lingkungan, tanpa bahan bakar minyak. Saya jadi teringat komunitas Bike-to-Work di Indonesia. Saya jadi teringat sepeda saya di rumah—siapa yang kini menggunakannya?
Tentu saja, sebagaimana setiap peradaban memiliki sisi kelamnya masing-masing, saya juga menemukan sisi gelap “peradaban sepeda” di sini, yakni: maling sepeda. Saya mendengar cerita tentang sepeda yang hilang. Saya juga diperingatkan untuk benar-benar menjaga sepeda saya, paling tidak dengan menguncinya dan mencari tempat yang terasa aman untuk diparkir. Beberapa kali saya mendapati sepeda yang “dimutilasi”: ban depan dan atau ban belakangnya hilang dicolong orang—pemandangan serupa saya temukan di kota Paris, tepatnya di dekat Louvre. Saya juga pernah mendengar langsung umpatan seorang gadis tetangga apartemen di pagi buta saat ia tak menemukan sepedanya di tempat parkir di halaman—mestinya dia menyimpan sepedanya di gudang.Begitulah sekilas cerita sepeda di negeri Belanda. Terlepas dari sisi gelapnya ini, pengalaman bersepeda di Belanda buat saya telah cukup menghadirkan satu wujud lain dari pencapaian peradaban yang terasa menarik dan patut untuk digali, diamati, dan mungkin juga dijadikan teladan.
Mau menikmati video yang saya rekam sambil bersepeda di pinggiran Zeist, Belanda? Klik di sini. Atau di sini. Beri rating untuk tulisan ini di Blog Radio Nederland Wereldomroep.
Label: Daily Life, European Adventures
Rabu, 26 Agustus 2009
Di Jalanan Kota Jakarta
Ahad pagi (23/8) kemarin, saya kembali tiba di Jakarta setelah hampir di sepanjang Juli lalu saya tinggal dan keliling Jakarta untuk persiapan studi ke Eropa. Dan kini saya kembali untuk persiapan terakhir sebelum saya berangkat meninggalkan Indonesia.
Saat bus yang saya tumpangi dari Madura mulai memasuki tol Cikampek, aroma Jakarta sudah mulai tercium. Akan tetapi, jalanan tampak tak sepadat biasanya—sangat tidak menggambarkan citra Jakarta. Sopir bus yang saya tumpangi juga agak heran dengan jalanan yang cukup lengang. Si kondektur mencoba menjawab, bahwa selain karena hari Ahad, mungkin juga karena awal puasa, sehingga orang-orang agak malas keluar rumah. Walhasil, bus bergerak dengan cukup cepat dan tiba lebih awal di pool Lebak Bulus. Begitu juga saat saya naik angkutan kota ke tempat sepupu saya di Pisangan, Ciputat, kendaraan melaju tanpa hambatan yang berarti.
Sebagai sebuah kota metropolitan, Jakarta menghadapi masalah transportasi yang tidak mudah. Konon, jumlah rasio daya tampung jalan dan jumlah kendaraan yang lalu-lalang di Jakarta tidak seimbang, sehingga terciptalah kemacetan. Bagi mereka yang sudah lama tinggal di Jakarta, mereka akan betul-betul mengerti hal ini dengan baik. Lebih dari itu, mereka pun akan terbiasa. Lain halnya dengan mereka yang ke Jakarta hanya sewaktu-waktu, untuk kepentingan jangka pendek tertentu. Setiap kali ke Jakarta, jalanan bagi mereka mungkin akan menjelma serupa tempat hukuman yang cukup mengesalkan.
Apakah situasi yang demikian akan berpengaruh pada pola relasi manusia yang sehari-hari tinggal dan berkembang biak di sana? Saya jadi teringat celetukan teman saya saat dia mengemudikan mobilnya di jalanan Jakarta di ujung senja saat menuju rumah tinggalnya di selatan Jakarta sebulan yang lalu. “Jakarta sudah tak layak ditinggali,” katanya dengan nada kesal. Sampai sebegitukah jalanan, sehingga ia bisa menjadikan sebuah kota tak cukup manusiawi untuk dihuni?
Sempat terpikir, orang-orang Jakarta mungkin telah dirampok usia hidupnya oleh jalanan—sama juga dengan kenyataan bahwa gemerlap lampu Jakarta telah mengusir bintang-bintang. Orang-orang yang sehari-hari memiliki aktivitas rutin di Jakarta, katakanlah, orang kantoran, pasti akan secara rutin pula berhadapan dengan kemacetan di jalanan Jakarta. Mereka mungkin saja mencoba bersiasat dengan mengatur jam berangkat dan jam pulang, mencoba rute jalan tikus yang kadang penuh polisi tidur, atau mengganti mode transportasi. Akan tetapi, jalanan tetap sulit memberi kenyamanan. Seperti tak ada pilihan.
Di tengah tuntutan hidup yang terus seperti tak masuk akal, jalanan Jakarta menambah beban tekanan bagi orang-orang yang mencoba setia (atau mungkin terpaksa) menyusurinya. Namun begitu, kesetiaan mereka kadang justru dibalas dengan kutukan. Kutukan yang memaksa mereka untuk mengubah cara pandang mereka terhadap orang lain.
Cobalah satu dua kali Anda mencoba naik Kopaja. Perhatikan cara sopir membawa kendaraan yang menjadi jaminan bagi keberlangsungan asap dapur dan kehidupan keluarganya. Beberapa kali saya mendengar langsung teriakan keras sopir Kopaja atau angkot lainnya ke kendaraan yang disalipnya dengan semena-mena di tengah kemacetan dan bunyi klakson yang terdengar frustrasi: “Setoran Bang!” Kata-kata ini terdengar seperti permohonan—atau mungkin juga ratapan. Tapi seperti juga ada nuansa kekerasan jalanan yang tersimpan diam-diam di balik ungkapan dan tekanan yang terus membayanginya.
Kota, dengan jalanan yang mengantar para penduduknya beraktivitas dan mencari nafkah, saat ini terus tertantang untuk merawat wajah keberadabannya. Hampir separuh penduduk dunia sekarang tinggal di perkotaan, dan di beberapa negara, kota benar-benar memiliki daya magnet yang menyedot para penduduk di pedesaan dan segenap warisan kebudayaan mereka untuk dilumat di kehidupan kota.
Saya jadi teringat bahwa bahasa Arab untuk kata “kota” (hadlar, madinah) memiliki kedekatan atau bahkan masih satu rumpun dengan ungkapan yang menggambarkan “peradaban”. Mungkin dalam bentangan sejarah panjang kehidupan manusia kota memang telah menjadi penggerak kebudayaan dan pendorong terbentuknya keberadaban. Akan tetapi, jika jalanan kini telah cenderung mengkhianati persaudaraan dan makna keterhubungan akar kebahasaan itu, maka tentunya, sekali lagi, ini akan menjadi satu tantangan bagi umat manusia yang patut direnungkan bersama.
Pikiran-pikiran saya ini, yang mulai berletupan di akhir Juli lalu, seperti kemudian dirangkum oleh sebuah stiker yang terpampang di sebuah bus kota jurusan Ciputat-Gajah Mada yang saya tumpangi di hari Rabu, 29 Juli 2009, saat saya akan menghadiri Predeparture Briefing Erasmus Mundus Scholarship Programme Uni Eropa di Le Meridien. Di pagi yang masih menyisakan dingin itu, saya berdiri berdesakan di dekat pintu belakang bus. Di tengah perjalanan, tanpa sengaja pandangan saya tertuju pada sebuah stiker yang pinggirannya sudah robek tapi menuliskan kalimat yang sangat reflektif dan menggugah.
Label: Daily Life, Diary, Journey
Senin, 10 Agustus 2009
The Spirit of Ting Ting Jahe
For a long time, I didn’t eat this candy: Ting Ting Jahe. Actually, about a year ago, I eat this candy when I acrossed Madura strait by ferry. But the candy was not the original Ting Ting Jahe—it was not my childhood candy. I saved the piece of paper wrapping around the candy.
I never had a dream to meet and eat this memorable candy again that morning. It was in Malang, in an environmental education workshop held by British Council, when Ibu Stien Matakupan brought this candy and offered me. Along with Pak Suryo Wardhoyo, I enjoyed eating this candy that morning. What a nice surprise!
Enjoying that candy, I had a little discussion with Ibu Stien and Pak Suryo about this candy. I showed them the wrapping of another Ting Ting Jahe saved on my wallet, and I tried to compare it with the “original” one.
The original Ting Ting Jahe has a register at the National Agency of Drug and Food Control Republic of Indonesia. In the package, it is written: “FOR INDONESIAN MARKET ONLY”. From this text, I believe that this candy is an export commodity. I had found the real answer when I browsed internet yesterday, and I found this candy sold in Amazon.com. Yes, it is this Ting Ting Jahe, produced by PT Sindu Amritha Pasuruan.
From another source, I got one more important information about this candy. According to John Joseph Stockdale, an English traveler, on his book, Island of Java, it is mentioned that on 1778 the Dutchman sent this candy to Europe—about five thousand kilogram! European people like this candy so much.
Most important thing of this candy is about four different languages written on its package: Indonesian, Arabic, Javanese, and Dutch. For me, this mean that this candy is a kind of symbol of a peaceful multicultural heritage of our long-historical interaction between various ethnic groups in Nusantara. It seems to be a product of our local wisdom.
I am so impressed with the fact that this herbal candy could survive until now. I hope our people could give good appreciation for this bonbon—and maybe the spirit of its history and survival.
Label: :: In English ::, Daily Life, Diary
Selasa, 04 Agustus 2009
Keliling Dunia (di) Jakarta (3-Habis)
Pekan terakhir di Jakarta, saya menyelesaikan urusan legalisasi akta kelahiran untuk Belanda. Di hari Senin (27/7), saya mengambil terjemahan kutipan akta kelahiran saya di Manggarai. Senin itu saya berangkat dari Ciputat, karena saya bermalam di kontrakan sepupu saya, Ubaidillah. Dari Manggarai, saya kembali ke Kuningan, ke Kedutaan Belanda, untuk melegalisasi terjemahan kutipan akta kelahiran. Prosesnya cukup lancar. Setelah itu, saya kemudian melanjutkan ke Gambir, untuk memesan tiket kereta ke Jogja.
Alhamdulillah semua berjalan lancar. Dari Gambir, saya mampir INFID sebentar di Mampang, untuk kemudian terus pulang ke Parung. Saya tiba di Parung lebih awal dari biasanya. Jika tak salah, saya tiba sekitar pukul empat sore.
Saat sedang mengaji seusai salat Maghrib, saya mendapat kabar dari rumah bahwa embah putri saya meninggal dunia. Memang, saat di jalan menuju Parung, saya mendapat kabar dari adik saya di rumah bahwa embah putri sedang kritis di ICU RSUD Sumenep. Begitu mendapat kabar itu, saya pun segera mengatur ulang jadwal saya untuk bisa lebih cepat pulang. Keputusannya: saya akan meninggalkan Jakarta 3 hari lebih awal dari jadwal semula, yakni langsung setelah acara Pre-Departure Briefing Uni Eropa hari Rabu 29 Juli.
Maka, pada keesokan harinya, setelah mengambil dokumen yang dilegalisasi di Kedutaan Belanda, saya langsung kembali ke Gambir untuk mengubah jadwal kereta saya ke Jogja. Alhamdulillah saya tidak mendapat masalah.
Dari Gambir, saya langsung menuju Ciputat, ke Ubaidillah. Sekitar jelang Asar, saya mengunjungi seorang rekan ayah saya di komplek Taman Kedaung Ciputat. Saya pun bermalam di sana. Sebelum malam tiba, saya mengambil barang-barang saya di Parung, sambil berpamitan.
Malam harinya, saya diajak oleh H Husein, teman ayah saya itu, ke pertemuan alumni Jerman. Sebenarnya saya sudah agak kecapekan. Tapi saya berpikir ini acara menarik. Kami tiba di tempat acara yang dilangsungkan di Pertamina Learning Center sekitar pukul tujuh petang. Beberapa orang sudah tampak datang lebih awal. Pertemuan tampak sangat akrab. Saya bisa maklum, karena forum semacam ini juga sama dengan forum kangen-kangenan (nostalgia).
Acara malam itu ternyata semacam rapat evaluasi pengurus Perhimpunan Alumni Jerman (PAJ). Saya menikmati betul perbincangan dan diskusi yang kritis dan hangat di malam itu. Saya juga bisa merasakan jejak-jejak Jerman dalam lalu-lintas pikiran dan diskusi di malam itu.
Acara paling akhir saya di Jakarta adalah menghadiri Pre-Departure Briefing Erasmus Mundus Scholarship Programme di Hotel Le Meridien pada hari Rabu 29 Juli. Saya berangkat pukul 07.30 WIB. Sempat sedikit cemas karena agak lama menunggu bus dari Ciputat, akhirnya saya tiba di tempat acara pukul 08.50 WIB. Masuk ke tempat acara, saya sempat agak gugup sebentar karena ternyata semua rekan penerima beasiswa Erasmus Mundus yang datang di acara ini tertib mengikuti pesan yang ditulis di undangan: berpakaian batik. Kebetulan kemeja batik saya dan beberapa pakaian yang lain dan beberapa buku ditinggal di Parung untuk dibawa bibi saya ke Madura (karena tas saya kelebihan muatan).
Meski salah kostum, saya akhirnya bisa santai-santai saja mengikuti acara menarik ini. Alhamdulillah, begitu masuk ke ruangan, saya langsung menemukan rekan ngobrol yang asyik. Namanya Diding Sakri. Kebetulan sekali, saya sudah pernah mendengar nama ini, diperkenalkan oleh seorang mantan teman kos saya saat di Jogja dulu yang kebetulan punya kegiatan bersama Mas Diding ini. Diding Sakri akan belajar tentang local development di Italia dan Jerman.
Saya berusaha mencari seorang kenalan yang lain, yang kebetulan satu fakultas dengan saya di Utrecht. Sayangnya, Agnes Theodora Gurning, teman yang ternyata banyak kenal dengan beberapa kawan aktivis di Filsafat UGM, belum tiba di tempat dan masih terjebak macet.
Pukul sembilan lewat beberapa menit, acara pembukaan dimulai. Pada acara pembukaan ini, ada satu mata acara yang cukup mengganggu saya, yakni saat sambutan dari perwakilan dari Dirjen Dikti Departemen Pendidikan Nasional RI. Pejabat yang mestinya menyampaikan sambutan tidak datang. Yang cukup mengganggu saya adalah: sudah sambutannya dibacakan dan berbahasa Indonesia, si pejabat langsung keluar dari tempat acara langsung setelah membacakan sambutannya yang tak berkelas itu. Saya hanya bisa geleng-geleng kepala. Kata Mas Diding, ini tipikal pejabat Indonesia.
Sepanjang acara di hari itu, nuansa Eropa sudah cukup terasa. Di acara pembukaan dan sesi pertama, pejabat Uni Eropa dan beberapa dari bagian pendidikan negara-negara Eropa (Prancis, Inggris, Belanda, Jerman) hadir dan memberikan presentasi tentang belajar dan tinggal di Eropa.Selepas makan siang, giliran beberapa alumni penerima beasiswa Erasmus Mundus yang berbagi cerita dan pengalaman mereka. Pada saat sesi-sesi ini berlangsung, saya sedikit agak membandingkan dengan pertemuan alumni Jerman. Di pertemuan alumni Jerman, nuansa Jerman sangat kental—bahkan terkesan mereka begitu mengagumi hal-hal yang berbau Jerman. Di forum Uni Eropa, tak tampak hal semacam ini. Maklum, karena dalam program Erasmus Mundus Scholarship ini, semua belajar dan tinggal di paling sedikit dua negara Eropa.
Pengalaman yang dibagikan jelas sangat membantu saya untuk dapat mempersiapkan segala sesuatunya sebelum tinggal dan belajar di Eropa nanti. Satu sesi khusus membicarakan tentang kejutan budaya (cultural shock) dan berbagai tip praktis lainnya.
Di akhir acara, ada sesi khusus untuk mereka yang pertama kali terbang ke luar negeri. Saya berusaha menyimak dengan seksama. Dan kesan yang saya tangkap, penerbangan internasional rasanya cukup ribet karena mensyaratkan beberapa hal khusus.
Acara di hari itu akhirnya ditutup menjelang pukul lima sore. Saya pun langsung melanjutkan perjalanan ke Stasiun Gambir bersama keriuhan orang-orang yang bergegas kembali ke tempat tinggal mereka setelah seharian bekerja.
Rabu malam itu, saya pun meninggalkan Jakarta, setelah hampir tiga pekan keliling ke sana kemari untuk urusan persiapan studi saya. Tepat pukul 20.45 WIB, kereta ke Jogja bergerak perlahan meninggalkan jejak suara di kegelapan Jakarta.
Label: Daily Life, European Adventures
Minggu, 26 Juli 2009
Keliling Dunia (di) Jakarta (2)
Pekan ini saya kembali melanjutkan berbagai persiapan teknis keberangkatan saya. Setelah libur panjang tiga hari yang saya isi dengan kunjungan ke beberapa rekan dan saudara di sekitar Sawangan dan Ciputat, hari Selasa (21/7) saya ke Departemen Luar Negeri untuk mengambil kutipan akta kelahiran yang dilegalisasi. Saya berharap setelah dari Deplu saya bisa langsung memproses aplikasi visa/residence permit saya di Kedutaan Norwegia—syukur-syukur juga ke Kedutaan Belanda.
Berharap demikian, saya berangkat dari Parung lebih awal dan alhamdulillah saya tiba di Deplu sebelum jam sepuluh. Namun sial nasib saya di hari itu. Ternyata dokumen saya belum selesai ditandatangani oleh pejabat berwenang. Beberapa orang yang juga dijanjikan selesai di hari itu juga tampak kecewa karena belum selesai. Oleh petugas, saya dan beberapa orang lainnya diminta untuk menunggu di situ.
Saat menunggu di Deplu, saya tidak bisa berkonsentrasi untuk membaca-baca buku yang saya bawa. Siang itu suasana di ruang tunggu Deplu cukup ramai, tidak seperti di hari Kamis, saat saya memasukkan dokumen. Saya menunggu lebih dari satu jam. Di saat menunggu itulah, saya kembali bertemu dengan P dan beberapa orang rekannya yang sepertinya sedang membantu melegalisasi dokumen. Di antara orang yang kemudian berbincang dengan P, ada seorang berwajah Arab, berkacamata, dan memiliki jambang yang cukup lebat, yang tampak juga sedang membantu proses legalisasi. Ini saya ketahui ketika dia menerima telepon, dan saya kemudian mendengarkan pembicaraan tentang angka-angka biaya yang sudah dikeluarkan oleh si penerima telepon itu. Saat hendak meninggalkan Deplu, saya sempat berpapasan dengan P, dan dia menyapa sekilas sambil tampak terburu-buru bergegas di hadapan saya menuju pintu keluar.
Ketidaklancaran di Deplu membuat proses selanjutnya tertunda. Dari kawasan Gambir, saya langsung menuju kawasan Mega Kuningan, tepatnya Menara Rajawali, tempat kantor Kedutaan Norwegia. Sayangnya, saat saya sampai di situ jam menunjukkan pukul dua belas kurang beberapa menit, sehingga saya tak dilayani oleh petugas bagian visa. Untuk diketahui, di Kedutaan Norwegia dan Belanda (mungkin juga yang lain), urusan konsuler hanya buka hingga pukul dua belas siang.
Selasa siang itu, saya pun keluar dari Menara Rajawali dengan agak kecewa. Karena sudah tak ada agenda penting lain yang bisa saya kerjakan, saya mencoba melihat-lihat lokasi teror bom di sebelah Menara Rajawali, yakni JW Marriott dan Ritz Carlton.Tampak banyak petugas keamanan berjaga di sana. Garis polisi juga menghalangi akses jalan, sehingga jalur di lingkar Mega Kuningan dialihkan. Dari Menara Rajawali, saya pun harus berjalan memutar ke arah luar Mega Kuningan untuk tiba di depan Ritz Carlton. Tiba di sana, saya melihat lapangan yang telah dijadikan tempat parkir banyak kendaraan yang saya duga milik para pemburu berita dan petugas keamanan. Ada tenda polisi di salah satu sudut lapangan. Di sekitar lokasi peledakan, tampak beberapa wartawan lalu lalang. Di antaranya tampak wartawan televisi sedang melaporkan langsung dari lapangan. Tampak pula beberapa wartawan asing dengan kamera yang cukup besar.
Dengan bermodal kamera HP yang sudah mulai memburuk hasilnya, saya pun mencoba mengambil gambar di sekitar tempat itu dari beberapa sudut.
Saya kembali lagi ke kawasan Kuningan pada hari Rabu (22/7), keesokan harinya. Yang dituju pertama adalah Kedutaan Belanda. Akan tetapi, ternyata pelayanan konsuler di hari Rabu tutup—saya kurang cermat membaca informasi di website Kedutaan Belanda. Saya pun melanjutkan ke Menara Rajawali, Kedutaan Norwegia. Seperti hari sebelumnya, pengamanan di Menara Rajawali yang juga menjadi kantor beberapa kedutaan itu tampak lebih ketat dibandingkan dengan kunjungan saya sebelumnya sebelum terjadi bom di hari Jum'at. Setiap pengunjung masih diperiksa petugas, termasuk warga negara asing.Alhamdulillah, urusan aplikasi visa/residence permit di Kedutaan Norwegia berlangsung lancar. Saya juga tak perlu mengeluarkan biaya (hampir dua juta rupiah) untuk itu, karena saya membawa surat pengantar (rekomendasi) dari Uni Eropa. Setelah dokumen-dokumen diperiksa dan dinyatakan tak ada masalah, saya tinggal menunggu informasi selanjutnya dari Kedutaan. Sekitar pukul sebelas siang, saya meninggalkan Menara Rajawali.
Hari Kamis saya kembali ke Kedutaan Belanda untuk memproses legalisasi akta kelahiran yang sudah diproses di Dephukham dan Deplu. Ini dia yang membedakan dengan Norwegia. Untuk proses di Kedutaan Norwegia, setelah dilegalisasi di dua Departemen itu, dokumen bisa langsung digunakan untuk proses izin tinggal di Norwegia. Sedang untuk Belanda, prosesnya masih bertambah lagi. Setelah dilegalisasi di dua Departemen, kutipan akta kelahiran saya masih harus dilegalisasi di Kedutaan Belanda. Jadi, hari Kamis (23/7) saya memasukkan akta kelahiran saya. Biaya legalisasi di Kedutaan Belanda Rp. 367.000,- per dokumen.Dokumen yang dilegalisasi itu saya ambil hari Jum'at (24/7) keesokan harinya. Namun, sebelum ke Kedutaan Belanda, saya mampir dulu ke Bank BCA Mampang untuk mentransfer biaya MVV visa Belanda. Meski saya sudah menanyakan informasi dan memastikan segala sesuatunya ke pihak BCA sehari sebelumnya, ternyata proses transfer masih agak ribet dan cukup memakan waktu. Baru setelah itu saya meluncur ke Kuningan untuk mengambil akta kelahiran yang sudah dilegalisasi.
Setelah akta kelahiran saya dapatkan, dari Kedutaan Belanda saya langsung melanjutkan proses berikutnya: menerjemahkan akta kelahiran saya di penerjemah tersumpah (sworn translator)—Kedutaan Norwegia tak mensyaratkan proses penerjemahan ini karena kutipan akta kelahiran saya yang baru sudah bilingual. Dari milis, saya mendapatkan informasi jasa penerjemah yang biasa digunakan oleh para calon mahasiswa yang akan studi di Belanda. Penerjemah ini bernama Ediati Kamil yang beralamat di Jalan Saharjo 39 di kawasan Manggarai.
Alhamdulillah prosesnya berjalan cukup lancar. Saya tidak terlalu kesulitan untuk menemukan rumah si penerjemah ini, meski harus berjalan kaki beberapa ratus meter. Sebelum Jum'atan, saya sudah di bus kota menuju Mampang untuk mampir di INFID (shalat Jum'at).
Pekan kedua di Jakarta ini tampak lebih padat daripada pekan sebelumnya. Di sela berbagai persiapan itu, saya bersyukur bisa sekalian juga beraktivitas yang lain, seperti berkunjung ke teman dan saudara di sekitar Jakarta.
Jika semua berjalan lancar, pekan depan adalah pekan terakhir saya di Jakarta. Selain sedikit urusan di Kedutaan Belanda (melanjutkan proses legalisasi akta kelahiran), pekan depan akan ada dua pertemuan pre-departure, yakni yang diselenggarakan oleh Uni Eropa dan Kedutaan Belanda. Di dua acara itu, saya akan berjumpa dengan rekan-rekan yang lain, baik sesama penerima Erasmus Mundus Scholarship 2009 maupun para calon mahasiswa yang akan studi di Belanda.
Tulisan terkait:
>> Keliling Dunia (di) Jakarta (1)
>> Keliling Dunia (di) Jakarta (3-Habis)
Label: Daily Life, European Adventures