Tampilkan postingan dengan label Education. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Education. Tampilkan semua postingan

Selasa, 13 Mei 2025

Wolbachia dan Para Pencintanya

Achmad Gazali, Ph.D., sedang memaparkan riset-riset di bidang biologi di hadapan mahasiswa dan dosen Universitas Annuqayah pada 12 Mei 2025


Terkadang para ilmuwan yang bertemu dalam sebuah perjamuan intelektual diikat oleh sesuatu yang terkesan sepele. Tentu saja kesan sepele akan muncul bagi orang yang masih awam atau masih tidak tahu lebih dalam. Yang sering terjadi, hal yang remeh itu akan menjadi luar biasa setelah didalami dan hadir di meja kehormatan perjamuan para ilmuwan.

Itulah salah satu poin yang saya tangkap saat menyimak paparan seorang peneliti dari National Agriculture and Food Research Organization (NARO) Jepang, Achmad Gazali, Ph.D., kemarin. Gazali, yang juga menjadi Ketua Tanfidziyah Pengurus Cabang Istimewa (PCI) Nahdlatul Ulama Jepang, memaparkan riset-riset yang digelutinya di Jepang mulai menempuh jenjang doktoral di Gifu University hingga bekerja di NARO sebagai peneliti post-doctoral.

Di antara riset yang didalami Gazali di Jepang adalah tentang wolbachia. Wolbachia adalah salah satu genus bakteri yang hidup sebagai parasit pada hewan artropada. Wolbachia menjadi cukup terkenal setelah diteliti dan dicoba untuk pencegahan penyakit.

Di Indonesia, wolbachia pernah digunakan sebagai upaya pencegahan penyakit akibat serangan nyamuk demam berdarah. Caranya, telur nyamuk Aedes Aegypti yang sudah disusupi wolbachia disebar di habitat alaminya. Wolbachia yang sudah menyusup ke dalam nyamuk ini kemudian memanipulasi perkembangbiakan nyamuk tersebut dan menghambat replikasi berbagai patogen dalam nyamuk tersebut, termasuk virus dengue. Ini pertama kali dilakukan di Kota Yogyakarta mulai tahun 2016. Pada saat itu, kasus demam berdarah mencapai 1.700 kasus. Setelah uji coba pelepasan nyamuk wolbachia, pada tahun 2023 hanya ada 67 kasus demam berdarah.

Bertempat di Universitas Annuqayah, Guluk-Guluk, Sumenep, kemarin Gazali memaparkan beberapa risetnya baik yang berkaitan dengan wolbachia maupun lainnya. Sebagaimana dapat dibaca pada laman Google Scholar, di antara riset Gazali tentang wolbachia berjudul "Autophagic chemicals effect to Atg8 and rice stripe virus relative expressions, and Wolbachia relative density in Laodelphax striatellus (Hemiptera: Delphacidae)" yang dimuat di Turkish Journal of Zoology pada 2022.

Gazali bercerita bahwa wolbachia telah menarik minat para ilmuwan dunia sehingga sejak tahun 2000, setiap dua tahun diadakan acara Wolbachia Conference. Bulan April lalu, Wolbachia Conference diadakan di Okinawa, Jepang, selama satu minggu.

Saya membayangkan, pada konferensi tersebut para ilmuwan yang adalah para pencinta wolbachia berkumpul dan berbagi informasi mutakhir tentang makhluk kecil yang tak terlihat mata itu. Adanya kegiatan rutin dua tahunan untuk membahas bakteri tersebut menunjukkan minat yang besar dan kesadaran para ilmuwan tentang nilai pentingnya wolbachia baik bagi pengembangan ilmu maupun untuk hal-hal praktis demi kemaslahatan umum.

Adanya kegiatan rutin untuk membincang wolbachia ini juga menunjukkan pentingnya komunitas ilmuwan dalam pengembangan ilmu. Sebuah bidang ilmu menjadi berkembang di antaranya jika ditopang oleh komunitas ilmuwan yang solid dan konsisten mendalami bidang-bidang yang menjadi minat dan perhatian bersama. Infrastrukturnya dapat berupa jurnal ilmiah dan juga pertemuan ilmiah seperti konferensi yang benar-benar dikelola dengan baik dan serius.

Ilmuwan biologi misalnya ada yang meminat wolbachia. Mereka sepakat untuk membuat acara rutin obrolan ilmiah secara berkala. Tulisan ilmiah yang diangkat dari penelitian mereka juga dapat menemukan ruangnya baik itu di ajang konferensi maupun di jurnal ilmiah. Reputasi konferensi dan jurnal juga terbangun dengan konsistensi dan keseriusan para anggota komunitasnya.

Saya jadi terpikir: bagaimana dengan bidang yang lain, termasuk bidang-bidang yang masuk dalam rumpun ilmu humaniora, termasuk juga bidang studi keagamaan? Seberapa banyak tersedia pertemuan ilmiah dan jurnal-jurnal yang serius yang dapat mempertemukan minat dan perhatian para ilmuwan di bidang humaniora dan keagamaan tersebut? Sekadar mengangkat contoh dan refleksi: seberapa besar tema “pesantren” atau “Madura” mempunyai daya tarik minat studi bagi para ilmuan terkait sehingga secara kumulatif terlihat dalam ketersediaan forum dan infrastruktur ilmiah lainnya?

Saya teringat salah satu petikan dalam disertasi yang ditulis oleh Ahmad Zainul Hamdi (2015) di Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Ampel Surabaya yang berjudul “Pergeseran Islam Madura: Perjumpaan Islam Tradisional dan Islamisme di Bangkalan, Madura, Pasca-Reformasi”. Pada halaman pertama, Mas Inung, panggilan akrabnya, menulis bahwa “Islam Madura tampaknya bukan topik yang menarik bagi kalangan akademisi” (hlm. 1). Menurut Mas Inung, yang pernah menjadi Direktur Direktorat Pendidikan Tinggi Islam mulai Januari 2023 hingga Desember 2024, ada dua hal yang menyebabkan Madura tidak banyak mendapat perhatian. Pertama, karena Madura sering kali dianggap hanya sebagai pelengkap dari pembicaraan tentang Jawa. Kedua, karena terbatasnya sumber daya alam dan ketiadaan prospek ekonomi Pulau Madura (hlm. 3-4).

Dengan situasi tersebut, mungkin dapat dikatakan bahwa tema Madura dianggap tidak terlalu penting. Apakah tema Madura bisa disebut kalah dengan tema wolbachia? Hehehehe..

Demikian juga tema pesantren. Saya tidak tahu, forum ilmiah dan jurnal ilmiah yang mana yang secara konsisten dan cukup bereputasi diselenggarakan untuk membicarakan tema pesantren, sebuah lembaga keagamaan yang telah banyak berperan dalam kehidupan keagamaan di Indonesia.

Sebagai refleksi bersama, sebagai orang yang meminati dan berkhidmat pada ilmu dan pengetahuan, kita tidak cukup hanya bergerak sendiri-sendiri. Kita perlu membangun infrastruktur dan komunitas ilmiah pada bidang yang kita minati, agar bidang tersebut dapat berkembang dan memberi manfaat untuk umat.

Wallahu a'lam.


Read More..

Sabtu, 15 Februari 2025

Nyai Fairuzah Tsabit: Pengawal al-Qur’an dari Sabajarin

Nyai Fairuzah dalam kegiatan "Al-Qur'an Camp", September 2022


Menjelang subuh, kabar itu begitu mengejutkan saya. Nyai Fairuzah putri Kiai Tsabit Khazin meninggal dunia di RSUD dr Moh Anwar, Sumenep. Beliau dikabarkan dirawat di Klinik Pratama Annuqayah mulai hari Kamis pagi karena kadar HB turun. Lalu malam harinya, menjelang wafatnya Kiai Muqsith Idris, beliau dirujuk ke Sumenep.

Beliau adalah putri pertama Kiai Tsabit yang memang dikader untuk mendalami al-Qur’an. Kuliah di Jakarta jenjang sarjana dan magister di jurusan tafsir-hadits. Setelah kuliah dan kemudian berkeluarga, di Annuqayah beliau menjadi dosen tetap di jurusan tafsir di Universitas Annuqayah (sejak masih bernama Sekolah Tinggi Ilmu Keislaman Annuqayah atau STIKA) dan juga mengajar bidang al-Qur’an di Madrasah Tsanawiyah 3 Annuqayah dan SMA 3 Annuqayah. Beliau juga terlibat dalam kegiatan tahfiz di lingkungan Pondok Pesantren Annuqayah, juga kegiatan sima’an tahfiz di Kabupaten Sumenep.

Di SMA 3 Annuqayah, beliau merintis program tahfiz juz ‘amma sejak 2008, sebuah program yang hingga sekarang terus berkembang dalam berbagai kegiatan, yang kemudian juga dilaksanakan di MTs 3 Annuqayah. Apresiasi luar biasa atas inisiatif dan kepemimpinan Nyai Fairuzah dalam mengembangkan program al-Qur’an di Sabajarin. Sejak mulai diprogram di sekolah di Sabajarin, program ini menjadi bagian dari identitas lembaga pendidikan di Sabajarin pada khususnya.

Dengan semangat meneruskan identitas Annuqayah sebagai pesantren yang menaruh perhatian pada al-Qur’an, Nyai Fairuzah dengan penuh semangat mengawal program tahfiz dan al-Qur’an di Sabajarin pada khususnya. Untuk mendukung kegiatan tahfiz juz ‘amma tersebut, pada tahun 2014 dibentuk Komunitas Sima’an Juz ‘Amma yang melibatkan para alumni untuk merawat hafalan mereka. Pada tahun pelajaran 2014/2015, di SMA 3 Annuqayah juga diberikan pelajaran Tafsir Juz ‘Amma di kelas XI dan XII yang mempelajari tafsir juz ‘amma dari Tafsir Jalalayn.

Upaya untuk merawat semangat santri dalam menghafalkan juz ‘amma juga dilakukan oleh Nyai Fairuzah dengan merancang kegiatan yang diberi nama “Al-Qur’an Camp”. Ini dimulai tahun 2022. Jadi, secara cukup sistematis, beliau berpikir perlu ada kegiatan yang lebih terstruktur untuk tahfiz ini. Muncullah konsep kegiatan yang dimulai dari proses inisiasi untuk siswa baru, lalu evaluasi dan monitoring, kendali mutu, hingga ujian akhir dan "wisuda".

“Al-Qur’an Camp” ini dilaksanakan di awal tahun pelajaran untuk siswa kelas XII di SMA 3 Annuqayah untuk memastikan bahwa pada tahun terakhir mereka di sekolah mereka dapat menuntaskan target hafalan juz ‘amma. Ragam kegiatan dilaksanakan di situ, mulai dari yang sifatnya motivasi, refleksi, teknik menghafal yang lebih mudah, dan juga wawasan tafsir.

Setiap kali saya hadir dan berbicara di forum keguruan di Annuqayah khususnya di lingkungan Sabajarin, tak ragu saya memberi apresiasi dan pujian untuk Nyai Fairuzah atas konsistensinya dan semangatnya mengawal program-program al-Qur’an di Annuqayah. Saya sampaikan bahwa kerja-kerja beliau ini akan menjadi amal yang nilainya luar biasa. Saya menyampaikan ini dengan penuh emosi, membayangkan betapa amal saya jauh kalah mulia dari kerja-kerja beliau dalam menjadi “pengawal” al-Qur’an. Al-Qur’an, kalamullah yang juga adalah mukjizat Rasulullah saw, dan beliau menjadi “pengawal” yang berdiri di baris terdepan dengan penuh semangat untuk merawat kecintaan pada al-Qur’an.

Nyai Fairuzah, saya yakin keberkahan al-Qur’an akan mengantarkan Ajunan untuk mendapatkan syafa’at Rasulullah saw. dan bahagia selamanya di surga.


Sumber foto: Ditangkap dari video di kanal Annuqayah TV YouTube di sini.


Read More..

Selasa, 06 Februari 2024

Teks Babon, Buku Babon


Saat membaca buku terjemahan What is Religious Authority karya Ismail Fajrie Alatas yang baru diterbitkan Mizan/Bentang, terutama di bagian pengantar yang banyak mengeksplorasi aspek metodologi, saya jadi teringat tentang pentingnya bahan-bahan pokok dan mendasar dalam karya ilmiah. Saya teringat tentang pentingnya mahasiswa dan kalangan akademisi membaca teks-teks kunci dan mendasar pada tiap bidang atau rumpun keilmuan yang ditekuninya.

Saat Alatas menyebut Talal Asad, misalnya, saya jadi ingat teks yang dirujuk karya Asad yang telah menjadi klasik, yakni esai panjang “The Idea of an Anthropology of Islam” (1986). Di kalangan akademisi, khususnya yang menggeluti bidang antropologi, teks tersebut sangat penting karena memuat kritik atas pendekatan kajian Islam yang selama ini berkembang. Asad menawarkan gagasan yang jika dirumuskan secara sederhana menempatkan Islam sebagai tradisi diskursif (discursive tradition).

Cara pandang ini menolak corak esensialisme yang memandang Islam dengan menghubungkannya pada esensi tertentu dan mencoba melihat dinamika pemaknaan Islam sebagai sebuah tradisi yang hidup, yang dinamis. Praktik tradisi umat Islam yang beragam pada waktu, tempat, dan komunitas yang berbeda menandakan perbedaan bernalar sesuai dengan kondisi sosio-historis masing-masing. Karena itu, menurut Asad, antropologi Islam berusaha untuk memahami kondisi sejarah yang memungkinkan terjadinya produksi dan upaya untuk mempertahankan tradisi diskursif tertentu, termasuk juga bagaimana proses transformasi terjadi beserta upaya yang dilakukan.

Memang Alatas tidak sepenuhnya sepakat dengan seluruh poin gagasan Asad sehingga Alatas juga menggunakan perspektif metodologi yang lain dalam karyanya itu. Namun fokus saya di sini bukan tentang penelitian Alatas secara khusus. Fokus saya adalah tentang pentingnya memperkenalkan teks-teks kunci kepada mahasiswa dan bagaimana kalangan akademisi membekali dirinya dengan teks-teks babon tersebut.

Saya menduga kritik terhadap kondisi dunia akademik kita yang tidak sehat belakangan ini, seperti lesunya diskusi akademik, maraknya plagiarisme, berkembangnya publikasi ilmiah yang bersifat instan, di antaranya juga terkait dengan lemahnya penguasaan para akademisi atas teks-teks kunci pada bidang yang digelutinya. Ia tidak kenal peta bacaan kunci tersebut, baik yang sifatnya klasik maupun yang mutakhir. Akibatnya, ia tidak bergerak di wilayah-wilayah yang sifatnya fondasional pada bidang keilmuannya dan seringnya hanya bergerak di wilayah pinggiran.

Saat dulu saya mengajar Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA 3 Annuqayah, saya juga memiliki pikiran serupa. Siswa-siswa mestinya diperkenalkan dengan teks-teks kunci bidang sastra Indonesia. Keprihatinan itu lalu memicu saya untuk menghimpun sejumlah cerpen-cerpen Indonesia yang saya anggap sebagai “cerpen sepanjang zaman”. Saya berdiskusi dengan banyak rekan, termasuk dengan AS Laksana, Kiai Faizi, almarhum M. Zamiel el-Muttaqien, Bernando J. Sujibto, dan yang lainnya, dan akhirnya sekolah “menerbitkan” kumpulan cerpen pilihan karya para sastrawan Indonesia dari setiap periode/generasi. Apa yang saya lakukan itu pernah ditulis dan diapresiasi oleh AS Laksana dalam satu esainya di Jawa Pos, 29 Desember 2013.

Kembali ke pokok pembicaraan, saat membaca karya Alatas yang sangat renyah dan mengilhamkan ini, saya bertemu dengan teks-teks kunci atau buku-buku babon lainnya yang sebagian masih banyak yang belum saya baca.

Keprihatinan atas kondisi dunia akademik yang lemah dalam penguasaan teks kunci itu mendorong saya untuk berpikir tentang pentingnya membuat antologi atau setidaknya daftar bacaan yang direkomendasikan pada bidang-bidang tertentu. Misalnya bidang filsafat moral, etika lingkungan, tasawuf, studi al-Qur’an, pendidikan Islam, dan seterusnya. Di kampus tempat saya mengajar, Institut Ilmu Keislaman Annuqayah, saya sering mendorong hal tersebut, sehingga prodi tempat saya mengajar saat ini sudah mulai membuat daftar tersebut dan mendorong mahasiswa dengan mewajibkan mereka membaca teks-teks tersebut setiap semester dengan target tertentu.

Lebih detail dari itu, saya teringat salah satu buku Franz Magnis-Suseno yang berjudul 13 Tokoh Etika. Buku yang terbit di Kanisius dan pertama terbit tahun 1997 itu (saya dulu meresensinya di Surabaya Post saat saya baru masuk kuliah di Filsafat UGM Yogyakarta) lalu disusul oleh buku lain yang diberi judul 13 Model Pendekatan Etika (Kanisius, 1998). Buku yang terakhir ini memuat kutipan teks-teks pokok dari ketiga belas filsuf yang dibahas Magnis-Suseno pada buku sebelumnya. Ada pengantar singkat yang diberikan oleh Magnis-Suseno sebelum kutipan teks kunci disajikan. Di bagian akhir, ada daftar pertanyaan yang dibuat untuk menguji pemahaman pembaca.

Buku semacam ini menurut saya sangat penting untuk membantu penguasaan mahasiswa dan akademisi atas konsep dan gagasan dasar pada setiap bidang ilmu sehingga penguasaan dan pengembangan diskursus keilmuan dapat lebih mudah dilakukan.

Sayangnya hal-hal semacam ini belum banyak dipikirkan dan dikerjakan. Kita belum punya infrastruktur belajar yang cukup dan diperlukan oleh mereka yang mau belajar, mendalami ilmu, dan mengembangkan ilmu. Tak heran bila perkembangan ilmu di lingkungan kita bergerak sangat lambat—untuk tidak mengatakan macet.


Read More..

Senin, 16 Juli 2018

Orientasi Kependidikan untuk Guru


Memasuki awal tahun pelajaran baru di sekolah, insan pendidikan di Indonesia banyak menyorot kegiatan orientasi untuk siswa baru yang saat ini diberi nama Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS). Masuknya unsur kekerasan yang ditengarai selalu muncul dalam kegiatan tersebut membuat pemerintah pada tahun 2016 mengeluarkan instruksi khusus untuk memformat ulang kegiatan rutin tahunan tersebut.

Selain kegiatan MPLS, sejak 2015 Menteri Pendidikan dan Kebudayaan memberi penekanan pada keterlibatan orangtua/wali untuk mendukung proses pendidikan di sekolah dengan mendorong mereka untuk mengantarkan anak-anak mereka pada hari pertama sekolah.

Di luar kedua hal tersebut, kita semua mengetahui bahwa kunci penting pendidikan di sekolah bagaimanapun terletak di tangan guru. Para guru itulah yang sehari-hari bersentuhan secara langsung dengan murid melalui pembelajaran di kelas, pergaulan di lingkungan sekolah, maupun dalam kegiatan ekstrakurikuler. Mengingat posisi penting guru tersebut, pertanyaan yang menarik diangkat di awal tahun pelajaran adalah tidakkah penting kiranya bagi sekolah untuk menyegarkan orientasi kependidikan para guru melalui kegiatan khusus di awal tahun pelajaran.

Dalam tugas dan pengabdian mereka sehari-hari, para guru telah berjibaku dengan dinamika yang sangat beragam di kelas dan di sekolah sesuai dengan latar tempat, lingkungan sosial-budaya, dan karakter murid yang ada. Di luar sekolah, para guru juga bersentuhan dengan arus pergaulan sosial yang terus mengalami perubahan cepat. Media sosial dan internet pada umumnya yang dapat dilihat sebagai sumber belajar dan tempat aneka “teladan” perilaku saat ini menjadi aktor penting yang tak bisa diremehkan pengaruhnya bagi dunia pendidikan.

Dengan situasi dan tantangan yang sedemikian rupa, penyegaran orientasi kependidikan untuk guru sebenarnya adalah hal yang sangat penting dilakukan secara lebih tertata oleh sekolah. Bagaimanapun, kegiatan rutin mengajar yang juga ditambah dengan tugas administratif cukup rawan menumpulkan kepekaan para guru untuk melihat tantangan kontekstual masa kini dalam kaitannya dengan nilai dasar tugas keguruan dalam praksis pendidikan dan pembelajaran di sekolah.

Jika ditilik secara mendalam, kata “orientasi” memiliki makna yang sangat mendasar dan penting. Dalam menjelaskan pengertian Etika atau Filsafat Moral, Franz Magnis-Suseno (1996: 13) memberikan gambaran makna “orientasi” dengan situasi yang dihadapi oleh seseorang yang sedang bepergian ke tempat yang asing untuk pertama kali. Bisa dibayangkan situasi kejiwaan orang tersebut: tiba sendiri di terminal tanpa tahu harus ikut angkutan yang mana untuk tiba ke tempat yang ditujunya. Sementara itu, calo-calo dan bahkan juga preman mengintai memanfaatkan kebingungan orang tersebut.

Gambaran ini memberikan pengertian makna orientasi yang sangat penting dan kontekstual. Melalui gambaran ini, kita dapat memahami bahwa orang yang kehilangan orientasi terancam tak akan mencapai apa yang menjadi tujuannya. Di samping itu, ada kemungkinan pihak ketiga yang mengambil keuntungan dari situasi orang yang kehilangan orientasi dan dapat memicu masalah dan kerugian.

Siswa baru di sekolah mengikuti kegiatan orientasi karena dianggap mereka akan memasuki jenjang pendidikan dan lingkungan belajar baru. Jika siswa perlu mendapatkan orientasi sebelum memulai belajar di sekolah maka orientasi untuk guru sebenarnya juga sangatlah penting. Bahkan, meskipun bukan pertama kali mengajar, orientasi untuk guru di awal tahun pelajaran tetaplah penting.

Awal tahun pelajaran adalah momentum yang tepat untuk menyegarkan kembali visi kependidikan para guru terutama terkait peran yang sedang dimainkan mereka dalam kehidupan sosial. Visi ini perlu terus disegarkan seiring dengan situasi zaman yang berubah.

Hal yang paling penting digarisbawahi pada orientasi visi keguruan terkait dengan peran dan tugas guru. Jika peran guru hanya dilihat dalam kerangka yang sempit, maka kerja kependidikan berada dalam asumsi yang bersifat pinggiran. Padahal, pendidikan merupakan kerja peradaban yang maknanya sangat mendalam. Para guru adalah agen penting dalam perubahan dan kemajuan masyarakat. Pendidikan bukan hanya mengantarkan individu pada mobilitas vertikal, tapi juga mengantar masyarakat menyongsong kebangkitan dan kemajuannya sebagai komunitas atau bangsa.

Sejarah kebangsaan Indonesia menunjukkan bahwa tokoh-tokoh penting pendiri bangsa pernah mengabdi di dunia pendidikan sebagai guru. Perjumpaan langsung para guru dengan para generasi penerus bangsa yang intens setiap hari dapat mengilhamkan dan memberikan dorongan yang kuat untuk mengerahkan segenap daya dan kemampuan dalam kerangka pengabdian pada masyarakat dan bangsa.

Guru yang memiliki kerangka pikir yang lebih luas akan dapat membawa masalah-masalah dan tantangan aktual kebangsaan ke ruang pembelajaran baik sebagai materi maupun sebagai jangkar orientasi pembelajaran. Masalah-masalah seperti ancaman narkoba, virus radikalisme dan terorisme, eksploitasi alam yang mengabaikan keadilan, dan sebagainya adalah sekian masalah dan tantangan kebangsaan yang perlu direspons oleh dunia pendidikan khususnya para guru.

Dengan bekal orientasi yang segar dan pembacaan aktual atas visi kependidikan yang dilakoninya, diharapkan para guru dapat memberikan sumbangan yang lebih besar bagi pembangunan kehidupan kebangsaan.


Tulisan ini adalah naskah awal artikel yang kemudian dimuat di Koran Jakarta, 16 Juli 2018.

Read More..

Sabtu, 04 November 2017

Ihwal Pembiayaan Pendidikan di Amerika

Ruangan untuk makan siang di St Alban's School

Saat terbang dari Jakarta ke Surabaya dalam rute perjalanan terakhir dari Amerika di awal Oktober lalu, di pesawat saya sempat membaca sebuah esai di Harian Kompas yang mengangkat profil tokoh yang berjuang di bidang pendidikan. Esai di halaman 16 itu secara singkat memaparkan sosok bernama Irma Suryani, seorang perempuan yang memperjuangkan akses pendidikan bagi anak-anak yang tidak mampu di Kalimantan Selatan.

Kisah singkat Irma Suryani bagi saya merupakan gambaran tentang satu sisi persoalan pendidikan di Indonesia. Isu keterbatasan dana dalam akses pendidikan yang bermutu masih menjadi masalah yang cukup mengemuka di negeri ini. Kewajiban pemerintah untuk memberikan pelayanan pendidikan dasar yang baik untuk semua warga masih belum sepenuhnya terpenuhi. Di sekolah-sekolah negeri, kita masih bisa menjumpai beban pembiayaan yang harus dibayar oleh orangtua murid.

Selama kunjungan tiga pekan di Amerika dalam rangka program International Visitor Leadership Program (IVLP) bertema Pendidikan Berbasis Agama, ada beberapa hal yang cukup menarik perhatian saya terkait pembiayaan pendidikan di Amerika. Dari berbagai diskusi bersama para ahli dan kunjungan ke sekolah negeri dan swasta, juga ke instansi terkait seperti Department of Education di Washington DC dan lembaga terkait lainnya, saya mencatat beberapa hal menarik.

Pertama, tentang pemenuhan kewajiban negara atau pemerintah. Di Amerika, sekitar 90 persen peserta didik hingga jenjang menengah atas mengikuti pendidikan yang diselenggarakan pemerintah. Di sekolah negeri, mereka mendapatkan layanan yang penuh sehingga bebas dari pembiayaan. Ada fasilitas bus jemput-antar—bus kuning yang sering kita jumpai di film-film Amerika. Kebutuhan buku juga dipenuhi.

Yang menarik, kebijakan nasional terkait pengelolaan pendidikan yang dibuat oleh pemerintah federal Amerika lebih bersifat umum. Menurut Maureen F. Dowling, Ed.D., Direktur Kantor Pendidikan Swasta Departemen Pendidikan Pemerintah Amerika Serikat, Kementerian Pendidikan pemerintah federal Amerika memiliki empat wilayah kewenangan dan tugas pokok. Pertama, wewenang dalam hal distribusi dana, termasuk juga pengawasannya. Kedua, mengumpulkan data-data di bidang pendidikan yang dapat dijadikan dasar bagi perumusan kebijakan. Ketiga, menggarisbawahi isu-isu penting di bidang pendidikan untuk diprioritaskan dan ditekankan. Keempat, memastikan bahwa tidak ada diskriminasi dalam praktik dan layanan pendidikan.

Sementara itu, pemerintah negara bagian memiliki kewenangan yang cukup leluasa untuk mengarahkan kurikulum, misalnya. Itu pun dengan ruang yang cukup luwes sehingga kita dapat dengan mudah menemukan sekolah negeri yang mengakomodasi kebutuhan khas siswa-siswanya. Fordson High School di Detroit, Michigan, misalnya, mengakomodasi kebutuhan siswa-siswanya yang sekitar 95 persen keturunan Arab. Di sekolah ini, misalnya, diajarkan pelajaran Bahasa Arab sehingga tak heran guru-gurunya juga sedikit mengerti Bahasa Arab meski bukan keturunan Arab. Untuk momen-momen yang terkait dengan peribadatan umat Islam seperti bulan Ramadan atau perayaan Islam, Fordson dengan cukup luwes memberi keringanan untuk kegiatan olahraga di bulan Ramadan, waktu libur, dan semacamnya.

Jadi, poinnya, dari jumlah keikutsertaan masyarakat yang tinggi pada sekolah negeri di Amerika, kita mungkin dapat mengatakan bahwa pemerintah Amerika tampaknya memberikan layanan pendidikan dasar yang cukup baik sehingga dapat mengurangi beban masyarakat dalam pembiayaan pendidikan. Memang, biaya pendidikan selain di sekolah negeri di Amerika terbilang mahal.

St. Alban’s School di Washington DC, misalnya, yang secara kelembagaan merupakan anggota the Protestant Episcopal Cathedral Foundation, menetapkan beban biaya yang cukup mahal untuk ukuran kantong orang Indonesia secara umum. Sekolah yang mengelola pendidikan khusus untuk siswa tingkat 4-12 dan juga memiliki fasilitas asrama siswa ini kurang lebih memungut biaya pendidikan setidaknya sekitar 40 juta per bulan.

Namun, fasilitas dan layanan pendidikan di sekolah ini memang terbilang bagus. Saat kami berkunjung, kami melihat ruang-ruang kecil yang ternyata merupakan ruang kerja guru. Salah satu kelas yang kami amati memuat siswa sebanyak 8 orang. Saat ke bengkel seni, kami melihat 5 orang siswa sedang praktik didampingi seorang guru. Di ruangan teater, kami melihat satu orang siswa tengah berdiskusi dengan guru seni.

Sekolah swasta lainnya, seperti Al Fatih Academy, di Reston, Virginia, memungut biaya yang relatif lebih murah dibandingkan dengan biaya pendidikan di St. Alban’s School. Di Al Fatih Academy, misalnya, untuk tingkat 1-8 (masuk Senin sampai Jum’at, tiap hari Senin hingga Kamis masuk dari pukul 08.30 hingga pukul 15.30, dan untuk hari Jum’at masuk dari pukul 08.30 hingga pukul 13.30), biaya tahunannya per siswa 8.512 dolar Amerika (Rp 114.912.000,- jika menggunakan kurs satu dolar setara Rp 13.500,-). Untuk jenjang taman kanak-kanak (kindergarten), biaya tahunannya per siswa 9.924 dolar Amerika (Rp 133.974.000,- jika menggunakan kurs satu dolar setara Rp 13.500,-).

Secara statistik, sekolah swasta di Amerika yang dalam ukuran kantong rata-rata orang Indonesia mungkin cukup mahal itu memang hanya sekitar 10 persen. Tapi orangtua di Amerika punya alasan tersendiri untuk memilih menyekolahkan anak mereka di sekolah swasta meski biayanya mahal.

Namun demikian, meski mahal, orangtua yang menyekolahkan anaknya di sekolah swasta bisa mendapatkan bantuan keuangan dari lembaga swasta, bahkan juga dari pemerintah.

Di Al Fatih Academy, misalnya, orangtua siswa bisa mengajukan bantuan keuangan melalui prosedur yang informasinya bisa diperoleh di laman sekolah tersebut. Bantuan keuangan diberikan setelah melalui proses penilaian kelayakan terhadap keluarga yang mengajukan bantuan. Penilaian dilakukan oleh pihak ketiga, yakni oleh FACTS Management, sebuah perusahaan yang khusus membidangi bantuan di bidang pendidikan yang berkantor di Lincoln, Nebraska, dan telah menjalin kerja sama dengan lebih dari 13 ribu sekolah.

Faktor yang dipertimbangkan meliputi pemasukan dan aset keluarga, jumlah anggota keluarga, usia orangtua, jumlah anak dalam keluarga yang membutuhkan pembiayaan dalam pendidikan, kota atau negara bagian tempat tinggal keluarga, dan jumlah anggota keluarga yang bekerja.

Sumber dana bantuan diambil dari zakat yang diterima dan dikelola oleh Al Fatih Academy. Tentu saja pengelolaannya berdasarkan prinsip-prinsip pengelolaan zakat dalam Islam yang melibatkan para ahli hukum Islam.

Yang juga menarik, data-data terkait pengajuan bantuan keuangan ini dijaga kerahasiaannya. Siapa yang mengajukan dan seperti apa hasil penilaian dari FACTS Management hanya diketahui oleh bagian terkait di sekolah, dan dijamin kerahasiaannya.

Ada lagi hal menarik lainnya yang saya dapatkan tentang pembiayaan pendidikan di Amerika. Kita tahu, fasilitas dan layanan pendidikan di sekolah negeri diberikan oleh pemerintah dari sumber pajak warga. Nah, masyarakat yang memilih untuk menyekolahkan anaknya di sekolah swasta berarti tidak ikut menikmati pemanfaatan pajak yang dibayarkannya kepada pemerintah. Atas situasi ini, beberapa negara bagian membuat kebijakan khusus, yakni dengan memberikan voucher untuk membantu pembiayaan pendidikan di sekolah swasta khusus bagi orangtua yang menyekolahkan anaknya di sekolah swasta. Besar dana dalam voucher yang diberikan tidaklah sama, disesuaikan dengan pembayaran pajak yang dilakukan.

Sistem voucher untuk pendidikan ini cukup menjadi isu yang kontroversial, karena pada tingkat tertentu seperti turut mendelegitimasi mutu layanan pendidikan sekolah negeri. Namun, di sisi lain, voucher pendidikan ini dinilai positif karena dapat mengakomodasi pilihan orangtua tanpa mengesampingkan kewajiban negara untuk membantu dalam hal pembiayaan pendidikan warganya.

Kunjungan singkat yang saya ikuti selama mengikuti program IVLP di sepanjang bulan September 2017 lalu tentu tidak bisa memotret secara lengkap dinamika dunia pendidikan di Amerika. Salah satu hal yang masih belum tergambar, misalnya, adalah tentang kebijakan ekonomi liberal yang bisa diberi label kapitalistik dan imbasnya di dunia pendidikan. Saya belum bisa memberikan gambaran spesifik, misalnya, tentang bagaimana kepentingan industri di Amerika mempengaruhi dan mengarahkan kebijakan-kebijakan pendidikan, termasuk juga nuansa politisnya.

Yang dapat dikemukakan melalui tulisan singkat ini baru sebatas beberapa hal terkait pembiayaan pendidikan di Amerika yang dari situ menggambarkan upaya dan pelaksanaan kewajiban negara untuk memberikan layanan pendidikan, usaha-usaha masyarakat sipil untuk ikut menyelenggarakan pendidikan yang khas, dan juga siasat untuk mengatasi masalah pembiayaan yang dihadapi oleh sebagian masyarakat.

Meski demikian, dari beberapa informasi yang masih secuil ini, kita tentu dapat mengambil pelajaran khususnya untuk memperkuat masalah aspek pembiayaan dalam pendidikan untuk mencapai kualitas pendidikan yang baik.

Read More..

Jumat, 20 Oktober 2017

Buku dan Pendidikan di Amerika

Perpustakaan Fordson High School di Detroit, Michigan 

Saat mendapatkan penjelasan dari Kepala Sekolah Al Fatih Academy (AFA), Ms. Afeefa Syeed, bahwa sekolah yang dikelolanya tidak menggunakan buku paket dalam proses pembelajaran di kelas, saya cukup terkejut. Apa alasannya? Menurut Afeefa, buku pelajaran dapat berpotensi membatasi ruang lingkup pembelajaran. Pembelajaran bisa menjadi kaku dan hanya terfokus pada buku teks yang digunakan.

Di Al Fatih Academy—sekolah swasta yang mengelola pendidikan dari jenjang PAUD hingga SMP di Reston, Virginia—pembelajaran lebih ditekankan pada arahan kurikulum yang telah disusun dengan pendekatan terpadu, interdisipliner, dan terutama menggunakan metode inquiry. Dengan arahan tema dan pembahasan sesuai kurikulum sekolah dan juga nilai-nilai pokok yang ingin dikembangkan, siswa difasilitasi untuk belajar dengan bertanya dan berpikir tentang hal-hal yang ada di sekitar mereka.

Saya melihat dokumen kurikulum mereka. Pada tingkat Kindergarten, saya menemukan satu halaman tema pembelajaran tentang “My Five Senses”. Saya dapat melihat bagaimana subjek-subjek pelajaran—sains, ilmu sosial, bahasa, seni, matematika, dan keislaman—dapat terintegrasi dalam tema tersebut. Saya juga sempat melihat dokumen kurikulum untuk Islamic Studies dengan konsentrasi akidah di jenjang SD, dan memperhatikan bagaimana di tiap jenjang tingkat kerumitan materi disusun dengan baik.

Pembelajaran tanpa buku pelajaran ala Al Fatih Academy, yang saat ini siswanya semua berjumlah 292 anak itu, dalam pandangan saya haruslah mengandalkan guru yang mumpuni dalam mengelola kelas sesuai dengan arahan dan target kurikulum. Selain itu, saya melihat peran ketersediaan fasilitas buku di perpustakaan sangatlah penting juga diperhatikan.

Di Perpustakaan Al Fatih Academy, saya menemukan buku-buku menarik yang rasanya akan cukup sulit saya temukan dalam versi bahasa Indonesianya. Saya cukup terkagum-kagum saat menemukan buku versi anak-anak yang dipetik dan diolah dari karya besar Imam al-Ghazali. Beberapa buku yang terlihat seperti serial terbitan Fons Vitae tersebut dicetak dengan kemasan hardcover dan full colour.

Ada yang isinya lebih dominan gambar, yakni dalam bentuk cerita bergambar, yang kemudian di bagian belakang disajikan terjemahan bahasa Inggris yang dipetik dari salah satu bab Ihya’ Ulumiddin. Untuk yang ditujukan pada pembaca yang levelnya lebih tinggi, gambar tidak terlalu dominan, tapi tetap dengan tata letak dan perwajahan yang menarik.



Di Perpustakaan Al Fatih Academy yang dapat dibilang tidak terlalu besar, saya juga menemukan buku-buku cerita yang menarik, seperti fabel lingkungan yang cukup ternama yang dikemas dalam buku berjudul When the Animals Saved Earth, dan juga buku-buku anak lainnya.

Terprovokasi dengan buku-buku semacam ini yang kemudian juga saya temukan dalam kunjungan ke sekolah-sekolah lainnya di Amerika selama tiga pekan di bulan September lalu, saya mencoba membeli beberapa buku anak di toko daring Amazon. Setelah memilih dan membeli beberapa buku yang di antaranya memang merupakan buku yang saya temukan di beberapa perpustakaan sekolah di Amerika, di Amazon saya menemukan buku-buku anak dan remaja yang menarik lainnya yang memperlihatkan kekayaan dunia bacaan berbahasa Inggris.

Selain itu, saya juga menemukan dugaan kuat bahwa dalam proses penyediaan sumber bacaan untuk kalangan anak dan remaja tersebut, pihak-pihak yang sangat berkompeten ikut serta dengan baik. Dugaan ini saya simpulkan dari salah satu buku yang saya beli yang berjudul Painting Heaven: Polishing the Mirror of the Heart (Ghazali Children) terbitan Fons Vitae. Buku komik tipis yang diolah dari bagian kecil dalam bab ‘Ajâibul-Qalb dari kitab Ihya’ Ulumiddin ini melibatkan Profesor Coleman Barks yang terkenal dengan terjemahannya atas puisi-puisi Rumi. Barks, penyair dan profesor emiritus di University of Georgia, menyiapkan naskah untuk buku yang saya beli dengan harga 16,71 dolar Amerika ini (sebelum pajak). Sedangkan yang menggarap ilustrasinya adalah Demi Hunt yang memang telah terlibat dengan penerbitan ratusan buku anak dan mendapatkan berbagai penghargaan bergengsi.

Selain itu, saya juga ingat bahwa Ms. Afeefa Syeed, kepala sekolah Al Fatih Academy, juga tercatat sebagai konsultan untuk penerbit Simon & Schuster Children’s Book Division—penerbit yang di antaranya menerbitkan buku-buku karya William J. Bennett.

Nama William J. Bennett ini menjadi masuk dalam rekam ingatan saya lantaran dia menerbitkan sebuah buku yang cukup membuat saya penasaran karena saya temukan di hampir semua perpustakaan sekolah yang saya kunjungi di Amerika. Bukunya berjudul The Book of Virtues: A Treasury of Great Moral Stories. Setelah saya membaca sebagian isi buku ini di versi Kindle yang saya beli di Amazon, pertanyaan saya tentang pendidikan moral di Amerika sedikit terjawab.

Buku yang menghimpun cerita, puisi, dan esai-esai terpilih ini berusaha membantu menumbuhkan moral literacy (kesadaran moral atau melek moral) di kalangan anak-anak dan remaja. Caranya adalah dengan berbagi keutamaan (virtues) yang termuat dalam cerita, puisi, dan esai-esai tersebut, pada anak-anak, pelajar, orangtua, dan juga guru. Dalam pengantarnya, Bennett menjelaskan empat alasan penggunaan model pendidikan moral yang dikembangkan dalam buku ini.

Pertama, cerita-cerita yang terhimpun dalam buku ini dapat menjadi titik rujukan tentang praktik konkret berbagai keutamaan moral. Kedua, kisah-kisah dalam buku ini dapat menarik perhatian anak-anak. Ketiga, cerita-cerita dalam buku ini membantu anak-anak untuk menjangkarkan diri mereka dengan akar budaya, sejarah, dan tradisi mereka. Keempat, dengan mengajarkan kisah-kisah dalam buku ini berarti kita terlibat dengan usaha pembaruan dan pemaknaan kontekstual atas kisah-kisah tersebut.

Buku yang berfokus pada 10 sifat utama ini ternyata juga dibuat dalam versi yang lebih spesifik. Bennett juga menulis buku The Book of Virtues for Your People, The Children’s Book of Virtues, dan The Book of Virtues for Boys and Girls. Bennett juga menulis buku The Moral Compass: Stories for a Life’s Journey, The Children’s Book of Heroes, The Children’s Book of America, dan lain-lain.

Satu hal lain yang cukup menarik tentang buku dan pendidikan di Amerika saya temukan di University of Dallas di Texas. Saat kunjungan ke Departemen Pendidikan kampus tersebut, saya bersama teman-teman rombongan International Visitor Leadership Program (IVLP) berkesempatan mengikuti salah satu kelas perkuliahan di kampus berlatar Katolik tersebut. Nah, kebetulan kelas yang kami ikuti terkait dengan buku. Nama mata kuliahnya “Child and Young Adult Literature” yang diampu oleh Dr. Amie Sarker.



Pada saat kami mengikuti kelas tersebut, dosen sedang fokus pada pembahasan tentang bagaimana cara mempertimbangkan buku yang cocok untuk digunakan sebagai bahan pembelajaran di tingkat sekolah dasar dan yang lebih rendah. Selain pemaparan yang menarik, dosen juga membagikan beberapa tulisan pendukung yang di antaranya juga memuat data-data tentang buku anak menarik dari berbagai belahan dunia. Dia juga membawa contoh buku-buku dan mengajak mahasiswa untuk mendiskusikannya di kelas.

Sepulang dari kunjungan di kampus tersebut, saya mencoba menjelajah ke laman kampus University of Dallas, dan ternyata saya menemukan mata kuliah yang lain di Department of Education yang juga berkaitan dengan buku. Ada mata kuliah Writing Children’s Books, Reading in the Secondary Schools, Developmental Reading, Diagnostic and Corrective Reading, dan juga Storytelling.

Lebih jauh, di laman kampus University of Dallas, saya menemukan satu hal yang sangat menarik, yakni bahwa kampus ini menyelenggarakan kelas-kelas dengan jumlah mahasiswa sekitar 16 orang per kelas yang membahas teks-teks babon untuk beberapa disiplin, seperti filsafat, teologi, ekonomi, sejarah, dan lain-lain. Kelas semacam ini diharapkan dapat mengantarkan profesor dan mahasiswa yang ikut serta untuk terlibat dalam dialog mendalam dan bermakna yang dapat mengembangkan kemampuan berpikir kritis dan menginspirasi mereka untuk mencintai pengembaraan intelektual sehingga itu semua dapat bermanfaat untuk karier akademik dan kehidupan mereka secara umum kelak. Di laman kampus juga disebutkan buku-buku induk yang akan dibahas, seperti The Communist Manifesto karya Marx dan Engels, Crime and Punishment karya Fyodor Dostoevsky, The Question Concerning Technology karya Martin Heidegger, Genealogy of Morals karya Friedrich Nietzsche, dan sebagainya.

Pada titik ini, saya melihat kesadaran yang kuat akan pentingnya buku dalam proses pendidikan sehingga hal yang berkaitan dengan buku mendapatkan tempat yang istimewa dalam perkuliahan di bidang pendidikan atau kegiatan perkuliahan lain pada umumnya di University of Dallas.

Membandingkan antara keadaan dunia perbukuan dalam kaitannya dengan praktik dunia pendidikan di Amerika dan situasi di Indonesia, saya melihat jurang yang cukup lebar dalam berbagai aspeknya. Ketersediaan buku-buku bermutu yang sangat menunjang pada proses pendidikan, mungkin termasuk juga kemudahan aksesnya oleh masyarakat dan pelajar pada khususnya, keterlibatan dan dukungan kalangan ahli dan akademisi untuk menghasilkan produk buku yang bermutu, perhatian dunia pendidikan termasuk kampus untuk memanfaatkan buku-buku tersebut dalam proses pendidikan, semuanya tampak begitu padu sehingga dengan jelas memperlihatkan jurang yang cukup lebar tersebut.

Mengakui adanya jurang yang lebar dalam hal mutu dunia perbukuan dalam kaitannya dengan praktik pendidikan antara di Amerika dan di Indonesia mungkin akan terdengar sebagai hal yang menyedihkan. Namun begitu, kita tahu bahwa pengakuan dan kesadaran semacam ini dapat juga menjadi peluang dan tantangan: bahwa ada sesuatu, atau bahkan banyak hal, yang masih harus kita lakukan dengan penuh kerja keras untuk bersama-sama membangun dunia pendidikan yang lebih baik dan membangun peradaban yang lebih maju di masa depan.

Read More..

Kamis, 30 Juni 2016

Bila Profesor Turun Gunung


Ada yang menarik pada peringatan Dies Natalis ke-380 Utrecht University di Belanda akhir Maret lalu. Melalui halaman Facebooknya yang dikelola dengan baik, dikabarkan bahwa pada 30 Maret lalu, Utrecht University menyelenggarakan program yang diberi nama “Meet the Professor”.

Pada program ini, 140 profesor Utrecht University datang ke sekolah-sekolah dasar di wilayah Utrecht untuk menceritakan kehidupan akademis dan ranah penelitian yang mereka geluti. Dengan dilepas oleh rektor Utrecht University, Prof. Bert van der Zwaan, dari aula Academiegebouw yang terletak di area Dom Tower di pusat kota Utrecht, para profesor itu berangkat dengan menggunakan sepeda onthel dan mengenakan toga kebesaran mereka.

Sebagaimana dijelaskan di laman Utrecht University, program ini bertujuan untuk menularkan kesadaran akan pentingnya riset sejak dini kepada anak-anak. Utrecht University berpandangan bahwa sangatlah penting untuk menyiapkan generasi yang menghargai ilmu, penelitian, dan kerja-kerja akademis.

Lebih jauh, Utrecht University tidak hanya mengirim para profesor itu ke sekolah-sekolah dasar. Kampus akan terus menjalin hubungan kemitraan dengan sekolah dasar di Utrecht dalam kegiatan-kegiatan yang lebih terstruktur. Bentuknya berupa peningkatan kapasitas guru maupun juga pelibatan murid-murid sekolah dasar dalam kegiatan riset yang dilakukan para profesor itu.

Kegiatan yang diselenggarakan oleh kampus yang berdiri pada 26 Maret 1636 ini menarik kita cermati dalam konteks keindonesiaan. Pada hari Rabu, 6 April 2016 yang lalu, seminar nasional bertema “Rethinking Research: Policies and Practice” yang dilaksanakan di Auditorium LIPI Jakarta mengungkap bahwa hasil riset belum menjadi acuan pokok pemerintah dalam pengambilan kebijakannya. Alasannya, tradisi riset di kalangan akademisi Indonesia masih lemah. Bahkan, terungkap sebuah ironi bahwa 90 persen penelitian tentang Indonesia bukan dikerjakan oleh peneliti Indonesia (Kompas, 7 April 2016).



Kultur akademis dunia kampus di Indonesia memang masih berada dalam pertanyaan besar. Kesibukan yang bersifat administratif maupun rutin (yakni mengajar dan membimbing mahasiswa) menyita banyak waktu para akademisi sehingga ruang untuk pengembangan keilmuan melalui riset masih belum cukup kuat. Selain itu, kebijakan terkait riset di kampus dinilai masih belum cukup kondusif.

Kegiatan “Meet the Professor” di Utrecht University menunjukkan bahwa kehidupan akademis para profesor dan pengajar di sana memang menarik. Gairah intelektual atau semangat penggalian ilmu dan pencarian temuan baru (penelitian) mendapatkan tempat dan penghargaan yang baik dengan dukungan maksimal dari kampus pada khususnya.

Saat mengikuti pendidikan jenjang magister di Utrecht University pada 2009-2010, dukungan akademis terhadap mahasiswa telah terlihat sejak hari pertama saya mengikuti kegiatan kampus. Di hari pertama, mahasiswa diperkenalkan dengan fasilitas dan pemanfaatan sumber-sumber ilmiah di perpustakaan kampus. Suasana akademis yang memanjakan hasrat belajar ini tampak dalam kemudahan dan kenyamanan para civitas academica untuk memanfaatkan sumber belajar di perpustakaan.

Selain iklim akademis yang mendukung, kegiatan “Meet the Professor” menunjukkan visi yang tajam dunia kampus dalam memandang tantangan masa depan. Kampus memperkuat bidang penelitiannya dengan juga menyiarkan kegiatan riset dan akademiknya kepada masyarakat dengan harapan bahwa kelak akan lahir generasi peneliti yang dapat melanjutkan riset dan memberi perhatian ilmiah pada bidang-bidang yang kini tengah diteliti. Untuk visi yang jauh ke depan ini, kampus tak segan untuk menjalin kemitraan dengan (murid dan guru) sekolah dasar.

Pada satu sisi, pilihan untuk mengirim para profesor ke sekolah-sekolah dasar ini juga dapat dilihat sebagai sebuah tantangan. Bagaimanakah kiranya para profesor yang dalam alam pikirnya setiap hari terisi dengan istilah-istilah teknis akademis yang mungkin cukup rumit itu dapat menuturkan kisah bidang minat penelitiannya secara sederhana kepada murid-murid sekolah dasar? Tentu bukan sesuatu yang mudah.



Tantangan akademis semacam ini sebenarnya cukup bernilai substantif bagi dunia akademis, yakni terkait upaya untuk menyampaikan dan menghubungkan kerja-kerja akademis dengan tantangan kontekstual terkini dan masa depan.

Selain itu, dengan mengunjungi dan berbincang pada murid dan guru sekolah dasar, para profesor itu sedang membangun dan menguatkan jembatan peradaban antargenerasi.

Kita juga bisa menangkap kesederhanaan pada para profesor yang ikut dalam kegiatan yang berlangsung selama 4 jam ini. Mereka mengayuh sepeda onthel dari pusat kota ke sekolah-sekolah di penjuru Utrecht dengan harapan agar apa yang mereka kerjakan dapat berharga, bermanfaat, dan berkelanjutan. Tak ada gengsi meski mereka sudah mencapai gelar akademis tertinggi.

Program “Meet the Professor” ini sangatlah menginspirasi dan penting untuk direfleksikan oleh kita. Poin utamanya terkait dengan visi dunia akademis yang tajam dan antisipatif serta kontekstualisasi kehidupan kampus dengan tantangan masyarakat. Tentu saja ini hanya bisa dilakukan dalam satu lingkungan akademis yang baik—yakni lingkungan akademis yang menghargai ilmu, kerja keras, dan kerja sama, serta menyadari akan tantangan peradaban yang dihadapi masyarakat, bukan dalam lingkungan kampus yang kadang masih suka terjebak pada isu-isu yang bersifat dangkal.


Keterangan: foto-foto di atas diambil dari laman FB Utrecht University. Secara berurutan, tiga foto di atas adalah karya Lize Kraan, Steven Snoep, dan Jos Kuklewski.


Read More..

Selasa, 28 Juni 2016

Kekerasan, Pendidikan Anak, dan Tanggung Jawab Keluarga


Baru-baru ini, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan menyinggung fakta tindak kekerasan yang masih banyak terjadi di sekolah. Dalam kurun waktu 2010-2015, kasus kekerasan di sekolah belum ada penurunan signifikan (JPPN, 14/6/2016).

Tahun lalu, LSM Plan International dan International Center for Research on Women (ICRW) merilis data yang menyebutkan bahwa 84 persen anak di Indonesia mengalami kekerasan di sekolah. Angka ini lebih tinggi dari pada rata-rata kasus kekerasan anak di Asia, yakni 70 persen.

Kekerasan yang marak terjadi di sekolah ini tidak bisa dilepaskan dari perubahan sosial yang terjadi di masyarakat. Pada tingkat yang mendasar, tindak kekerasan terjadi karena kecenderungan semakin pudarnya pendekatan cinta baik dalam lingkungan sekolah maupun dalam lingkungan keluarga dan masyarakat.

Di sekolah, tindak pengajaran dan pendidikan yang sarat dengan penghayatan cinta mulai tergerus oleh dominasi pendekatan administratif dan formal dalam pendidikan yang hadir beriringan dengan iklim komersialisasi pendidikan. Sementara itu, pada tingkat kehidupan masyarakat, nilai-nilai keluarga yang penuh dengan unsur spiritual dan nilai moral mulai digerogoti oleh kehidupan modern yang cenderung individualistis.

Dengan asumsi bahwa sekolah merupakan perpanjangan dari pendidikan keluarga, kita dapat berkesimpulan bahwa krisis pendekatan cinta sangat mungkin sebenarnya terjadi di tingkat keluarga.

Gambaran teperinci tentang tindakan kekerasan di sekolah dan keluarga tak lain merupakan bukti nyata dari krisis dan senjakala cinta. Laporan Unicef tahun lalu menyebutkan bahwa 50% anak melaporkan mengalami perundungan di sekolah. Sementara itu, laporan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pada 2014 menyebutkan bahwa ada 921 laporan kekerasan dalam bidang keluarga dan pengasuhan alternatif.

Di tingkat lokal, yakni di Kabupaten Sumenep, dilaporkan bahwa angka perceraian pada 2012-2013 cenderung meningkat. Pada 2012, kasus perceraian di Pengadilan Agama Sumenep mencapai 1.381, sedang tahun berikutnya hingga Januari 2014 berjumlah 1.559 kasus (Koran Madura, 28/2/2014).

Meningkatnya angka perceraian ini cukup mengkhawatirkan karena sering kali yang menjadi dampak dari kasus perceraian adalah keterlantaran anak. Masalahnya bukan hanya soal proses pendidikan anak yang terancam tersendat, tapi juga bahkan dapat menyangkut ancaman keterperosokan anak pada lingkungan dan pergaulan yang tak bermoral dan penuh kekerasan, seperti narkoba, trafficking, dan sebagainya.

Pentingnya nilai cinta dalam keluarga ini dapat dilihat dalam konteks pendidikan spiritual dan pembentukan karakter. Menurut Robert Frager (2013: 56-58), keluarga adalah model universal untuk pendidikan spiritual. Frager menjelaskan bahwa di awal pertumbuhan kehidupannya, manusia membutuhkan perawatan dan perhatian yang lebih banyak dan lebih lama dibandingkan dengan makhluk lainnya. Dengan cara ini, manusia pada tahap awal kehidupannya secara alamiah lebih banyak mendapatkan curahan cinta.

Secara spiritual, menurut Frager, keluarga adalah tempat manusia belajar mencintai demi merawat kelangsungan kehidupan yang pada titik tertinggi bakal tersambung dengan Tuhan, Sang Mahacinta. Curahan cinta di antara sesama anggota keluarga ini pada gilirannya juga mengantisipasi menebalnya sikap narsis dan egois yang berpotensi berkembang dalam diri manusia dan dapat mengancam harmoni kehidupan masyarakat.

Penjelasan Frager ini kiranya sudah cukup untuk menjelaskan peran strategis keluarga dalam konteks kehidupan bermasyarakat. Namun demikian, jika nyatanya keluarga dan juga sekolah faktanya saat ini menjadi tempat yang rawan dengan tindak kekerasan, apa yang harus dilakukan?

Memang benar bahwa upaya untuk memulihkan pendidikan anak harus dilakukan bersama-sama, baik keluarga maupun sekolah. Namun demikian, harus disadari bahwa kewajiban pertama pendidikan anak ada di tangan keluarga.

Menguatnya sistem persekolahan (pendidikan formal) dalam sistem kehidupan bermasyarakat saat ini pada satu sisi cenderung dapat mengikis kesadaran orangtua (keluarga) akan tanggung jawabnya untuk memberikan pendidikan terbaik dan mencurahkan cinta yang penuh pada anak-anaknya. Apalagi ritme kehidupan saat ini semakin cepat dan rumit sehingga orangtua sering disibukkan dengan urusan di luar keluarga. Sementara itu, orangtua merasa bahwa urusan pendidikan anak-anaknya sudah cukup ditangani oleh guru di sekolah.

Asumsi semacam inilah yang membuat pendidikan anak saat ini menjadi rapuh yang di antaranya ditandai dengan pertambahan kasus kekerasan anak. Sudah saatnya orangtua kembali memperkuat komitmennya untuk memenuhi tanggung jawab dasarnya sebagai pendidik bagi anak-anaknya.

Dalam konteks ini, sekolah juga dapat mengambil posisi yang tepat. Sekolah harus sadar akan posisi sekundernya dalam pendidikan anak. Dengan kesadaran ini, sekolah juga harus mendorong keterlibatan aktif para orangtua untuk memberikan pendidikan dan bimbingan pada anak-anak mereka. Program pendidikan yang disusun sekolah harus selalu mempertimbangkan dan mendorong keterlibatan aktif para orangtua. Komunikasi antara guru dan sekolah dengan orangtua dikembangkan dalam kerangka kesadaran untuk memperkuat peran dasar para orangtua dan keluarga.

Menghadapi tantangan zaman yang semakin keras, upaya untuk menyiapkan generasi bangsa yang tangguh tak dapat disepelekan. Penguatan pendidikan anak melalui keluarga harus mendapatkan perhatian semua pihak, mulai dari lembaga pendidikan, tokoh masyarakat, pengurus publik, dan yang lainnya. Keluarga harus didorong untuk menjadi tempat yang teduh bagi anak sehingga proses pewarisan nilai dan proses pendidikan dapat berlangsung dengan baik.


Tulisan ini dimuat di Koran Madura, 28 Juni 2016.



Read More..

Senin, 20 Juni 2016

Tulisan Saya Dijiplak Lagi



Menayangkan dan mengarsipkan tulisan di blog pribadi memang ada keuntungan dan kerugiannya. Dengan diarsip di blog pribadi, kita akan cukup mudah untuk mengakses tulisan kita di mana saja asalkan kita mendapatkan akses internet yang baik.

Namun, kerugian mengarsipkan tulisan di dunia maya dalam media blog juga ada. Satu kerugian yang saya rasakan dan alami adalah tulisan saya dengan cukup mudah dijiplak. Tinggal salin-tempel, beres.

Tahun 2014 lalu, saya menemukan sebuah tulisan saya yang dimuat di Koran Tempo edisi 4 Januari 2004 disalin-tempel—dengan perubahan minor—dalam buku berjudul Psikologi Tasawuf karangan Drs. Tamami HAG. M.Ag. terbitan Pustaka Setia, Bandung (2011) tanpa menyebutkan nama saya.

Nah, pagi ini, saya kembali menemukan tulisan saya di blog disalin-tempel dan disiarkan di sebuah media lokal bernama Musibanyuasin Post edisi 4 Juli 2014. Tulisan saya itu ditulis pada bulan September 2007 dan saya poskan di blog pribadi saya.

Bagaimana ceritanya kisah penemuan kasus plagiasi ini? Begini. Tadi pagi saya ingin memposkan tautan salah satu tulisan di blog saya di akun Facebook saya. Saya mencari tulisan-tulisan yang kiranya cocok. Saya mencari tulisan saya yang bertema puasa atau bulan Ramadan.

Ketemulah saya dengan artikel yang ditulis pada bulan September 2007 itu yang berjudul “Televisi dan Refleksi Religiusitas Puasa”. Sebelum saya memposkan tautan itu di akun Facebook, saya terlebih dulu membaca tulisan saya itu untuk membuat kutipan singkat bagian pokok atau membuat rangkumannya. Saat membaca, saya kok berpikir bahwa tulisan lama saya ini ternyata saya pikir masih cukup aktual dan relevan untuk konteks sekarang.

Karena tulisan ini belum pernah dimuat di media massa, kok saya terpikir untuk mencoba googling, mungkin ada laman di internet yang mengutip tulisan saya ini. saya mencoba mengutip beberapa kalimat yang khas dan spesifik dalam tulisan saya untuk dimasukkan ke mesin Google. Saat Google menampilkan hasil pencarian, saat itulah saya kemudian menemukan bahwa ternyata tulisan saya itu dijiplak.

Saya diantarkan ke arsip digital media Musibanyuasin Post edisi 4 Juli 2014 yang diarsipkan di issuu.com itu (bisa dilihat di sini). Di rubrik Opini (halaman 2), ada tulisan berjudul “Religiusitas Puasa VS Ideologi Televisi” karangan Darmadi. Dalam tulisan itu tercantum bahwa identitas penulis adalah pegawai fungsional Kantor Kementerian Agama Kabupaten Lampung Tengah, dosen STKIP Kumala Lampung, dan kandidat doktor Ilmu Manajemen.

Judulnya memang tidak persis dengan tulisan saya, tapi coba baca isinya.Ternyata dari awal hingga akhir isinya ya hasil salin-tempel dari tulisan saya—bukan hasil berpikir dan mengolah gagasan sendiri. Cukup mainkan tetikus (mouse), tekan Control-C, lalu Control-V. Beres!

Saya jadi teringat frasa “vampir kebudayaan” yang diperkenalkan oleh Afrizal Malna untuk melihat potensi buruk teknologi dalam kreativitas kebudayaan. Teknologi komputer dan internet bisa menjadi vampir kebudayaan di tangan orang yang malas berpikir dan tak menghargai kerja keras.

Sampai di sini saya merasa sedih sekali. Dunia keilmuan dan dunia akademik kita ternyata memang masih belepotan. Mental masyarakat kita yang katanya termasuk golongan terdidik ternyata masih memprihatinkan. Apa yang bisa kita lakukan untuk mencari jalan keluar atas masalah seperti ini? Demikian juga, apa yang sudah kita lakukan untuk mencari jalan keluar atas masalah seperti ini sesuai dengan posisi kita masing-masing?


Read More..

Rabu, 30 Desember 2015

Urgensi Visi Perlindungan Anak di Kalangan Pendidik

Upaya Peningkatan Peran Sekolah dalam Mengatasi Problem Kekerasan Anak di Era Globalisasi


Pengantar

Jika kita mengamati pemberitaan di media massa, baik media nasional atau daerah, hampir setiap hari kita menemukan berita tentang kasus kekerasan anak di sekolah. Detail kasusnya sangat beragam, mulai dari bentuknya, pelakunya, latarnya, dan sebagainya.

Menurut laporan Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas Anak), pada tahun 2013 ada 3.023 pengaduan kasus kekerasan anak. Jumlah ini meningkat 60 persen dibandingkan tahun sebelumnya yang berjumlah 1.383 kasus (Tempo, 20 Desember 2013).

Data yang lebih komprehensif dapat ditemukan pada laporan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) di akhir tahun 2014 yang merekam kasus kekerasan anak di berbagai bidang untuk periode tahun 2011-2014 sebagaimana dalam tabel berikut ini:



Masalah kekerasan anak ini menjadi semakin problematis bila kita mengamati pelaku kekerasan tersebut. Pada bulan Oktober 2014 lalu, Komnas Anak merilis data bahwa anak-anak yang menjadi pelaku kekerasan seksual anak jumlahnya meningkat pada tahun 2014. Jika tahun 2013 anak-anak sebagai pelaku kekerasan seksual berjumlah 16 persen dari 3.339 kasus, di tahun 2014 hingga bulan Oktober 2014 jumlahnya meningkat menjadi 26 persen (Tempo, 22 Oktober 2014).

Jika dipikirkan secara mendalam, data-data tersebut sebenarnya merupakan peringatan keras bagi kita, terutama bagi para orangtua dan kalangan pendidik. Anak-anak kita sejauh ini telah banyak dibesarkan dalam lingkungan yang penuh dengan kekerasan. Mereka sendiri terlibat secara langsung dalam berbagai bentuk kekerasan tersebut—bahkan juga sebagai pelaku. Apa yang bisa kita bayangkan kelak dengan generasi yang sehari-hari dilingkupi dengan berbagai bentuk kekerasan?

Tulisan ini hendak melihat secara lebih dekat bagaimana lembaga pendidikan formal, yakni sekolah, dapat mengambil peran untuk mengatasi problem kekerasan anak yang semakin hari semakin pelik. Secara lebih khusus, tulisan ini akan menguraikan dari sisi apa saja peran itu bisa dimainkan oleh sekolah, termasuk juga oleh lembaga yang menyiapkan tenaga-tenaga profesional di bidang pendidikan, yakni perguruan tinggi yang mengelola jurusan keguruan dan pendidikan.

Sekolah dan Kasus Kekerasan Anak

Peran sekolah untuk bisa ikut memecahkan masalah kekerasan anak ini sangatlah strategis. Lingkungan sekolah menjadi salah satu tempat penting dalam alam pergaulan dan perkembangan kepribadian anak. Untuk era sekarang ini, hampir semua anak bersentuhan secara langsung dengan dunia pendidikan formal atau sekolah. Selain itu, secara struktural, lembaga sekolah memiliki struktur yang luas dari daerah hingga tingkat nasional dan pada tingkat tertentu ada peluang intervensi yang cukup kuat dari pusat struktur untuk memasukkan hal tertentu di sekolah-sekolah tersebut.

Di lingkungan sekolah anak tidak saja belajar dan mendapatkan ilmu dan pengajaran. Di sekolah, anak juga menjalin hubungan sosial di antara sesama peserta didik atau anak yang lain. Di lingkungan perkotaan, kala kesibukan sehari-hari menyita banyak waktu para orangtua, anak memulai jalinan hubungan sosialnya yang lebih erat dari sekolah. Terkadang, mereka menemukan teman sebaya mereka sebagai ruang berbagi yang nyaman dan efektif. Dalam posisi yang demikian, teman sebaya atau lingkungan pada umumnya dapat berperan sebagai saluran sosialisasi dan pembentukan nilai/karakter tertentu.

Secara teoretis, dalam buku Democracy and Education (1964: 20), John Dewey memaparkan bahwa sekolah di antaranya berfungsi sebagai lingkungan buatan untuk memperkenalkan dunia pada anak dan untuk menyiapkan mereka sebelum terjun ke dunia yang sebenarnya. Selain itu, menurut Dewey, sekolah berfungsi untuk memurnikan berbagai kecenderungan yang buruk dan merusak di masyarakat.

Fungsi yang pertama membuat sekolah senantiasa dituntut untuk mengevaluasi dan memutakhirkan kurikulum dan pembelajaran yang ada agar lingkungan buatan yang dirancang dapat benar-benar sesuai dengan kondisi serta tantangan zaman. Sedangkan fungsi yang kedua merupakan sisi “defensif” sekolah, yakni untuk menjaga dan mempertahankan nilai-nilai positif yang dianut sebuah kelompok atau masyarakat. Untuk fungsi yang kedua ini, sekolah berusaha semaksimal mungkin agar hal-hal yang bertentangan dengan nilai-nilai yang dianut tidak turut tertanam pada diri anak didik.

Kedua fungsi ini tentu saja menuntut kerja kontekstualisasi bagi para pengelola sekolah. Artinya, kedua fungsi sekolah ini harus didudukkan pada situasi konkret tertentu yang tentu saja terus berubah.

Namun demikian, dalam kaitannya dengan masalah kekerasan anak, kedua fungsi tersebut memiliki problem tersendiri. Problem itu muncul jika kita melihat fakta dan data bahwa ternyata sekolah justru juga menjadi tempat bersemainya kekerasan terhadap anak. Pada titik ini, kita akan tiba pada pertanyaan: bagaimana kita bisa berharap agar fungsi sekolah tersebut dapat berjalan dengan baik jika nyatanya saat ini sekolah menjadi salah satu tempat yang penuh dengan praktik kekerasan dalam berbagai bentuknya?

Fakta tentang kekerasan terhadap anak yang terjadi sekolah dapat dijumpai di media massa. Tahun lalu, media marak memberitakan kasus sodomi di sebuah sekolah internasional di Jakarta yang ternyata melibatkan pihak sekolah. Kasus serupa yang melibatkan pelajar atau anak-anak bahkan juga sudah terjadi di daerah pedesaan. Selain itu, di bulan Oktober 2014 lalu, dunia pendidikan sempat geger akibat berita kekerasan seksual yang pelaku dan korbannya masih duduk di bangku kelas 4 SD di Medan. Di Tasikmalaya, terungkap seorang guru agama mensodomi 25 pelajar. Di Lumajang, 7 siswa SD dicubit oleh 92 siswa lainnya atas perintah seorang guru gara-gara tidak mengerjakan pekerjaan rumah (PR).

Dalam bentuk yang tidak sangat vulgar dan relatif tersembunyi, kekerasan di sekolah berwujud praktik bullying dan bisa juga berupa penelantaran hak dan kebutuhan dasar anak. Bullying bisa berupa praktik perploncoan atau ancaman (intimidasi) berulang dan masif yang mengakibatkan tekanan psikis. Kultur di sekolah tertentu yang membuat siswa senior memiliki posisi yang superior pada siswa junior sering menjadi sumber penyebab kasus bullying. Menurut sebuah penelitian, secara internasional kasus bullying di sekolah berjumlah 23% di SMP dan 10% di SMA (Gultom, 2007).

Contoh bullying di sekolah diungkapkan oleh mantan kepala SMAN 3 Jakarta, Retno Listyarti, yang juga menjadi sekjen Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI). Berdasarkan informasi yang dihimpun, Retno mencontohkan pemerasan yang sering terjadi bentuknya berupa pemerasan siswa senior pada junior saat di koperasi sekolah. Siswa junior diminta membayar makanan yang dibeli siswa senior. Bahkan pernah Retno menemukan siswa kelas XII meminta membelikan lipstik seharga Rp 400 ribu kepada adik kelasnya (CNN Indonesia, 25 Mei 2015).

Penelantaran adalah bentuk kekerasan yang relatif sulit diidentifikasi. Bahkan, pihak-pihak yang terkait atau bahkan korban bisa saja tak merasakan bahwa apa yang dihadapinya itu termasuk penelantaran yang merupakan salah satu bentuk kekerasan. Bentuk konkretnya berupa pembiaran hal-hal yang terkait dengan hak dan kebutuhan dasar anak untuk mendapatkan layanan yang baik. Misalnya, penyediaan toilet yang sesuai dengan kebutuhan anak, baik laki-laki, perempuan, maupun yang berkebutuhan khusus.

Berikut data teperinci kasus kekerasan anak di bidang pendidikan selama tahun 2011-2014 menurut catatan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI):



Cita ideal fungsi sekolah dan fakta kekerasan anak di lapangan ini setidaknya memunculkan dua pertanyaan mendasar yang perlu diperhatikan. Pertama, sejauh mana sebenarnya kekuatan sekolah untuk menanamkan visi perlindungan anak atau nilai-nilai ramah anak atau sikap anti-kekerasan terhadap anak di lingkungan sekolah bila disandingkan dengan unsur lainnya yang juga berperan sebagai sumber (sosialisasi) nilai dalam kehidupan sehari-hari? Kedua, faktor apakah yang paling penting mendapatkan perhatian dengan mempertimbangkan unsur internal sekolah untuk menciptakan sekolah yang ramah anak berdasarkan visi perlindungan anak?

Pertanyaan pertama berada pada ranah sosial-politik-kebudayaan dan terkait dengan kedua fungsi sekolah sebagaimana digambarkan oleh Dewey di atas. Artinya, ini terkait dengan daya dan posisi sekolah di antara berbagai lembaga sosialisasi yang lain yang saling menarik dan memengaruhi anak. Pada titik inilah sangat relevan untuk melihat formasi sosial saat ini yang sering digambarkan dengan istilah “globalisasi”.

Istilah globalisasi memiliki dimensi yang sangat luas, meliputi aspek sosial, politik, kebudayaan, ekonomi, dan juga agama. Dalam konteks sosial-budaya, istilah ini menggambarkan proses yang terjadi di berbagai sektor yang menjadikan kehidupan di berbagai belahan wilayah negara menjadi semakin “mendunia” dan saling terkait. Menurut Anthony Giddens (1999), globalisasi bukan semata fenomena ekonomi, tetapi juga transformasi ruang dan waktu. Intensifikasi hubungan tingkat dunia akibat revolusi teknologi informasi melahirkan pola relasi baru dalam bidang ekonomi, sosial, politik, komunikasi, perilaku sehari-hari, dan relasi antar-individu.

Dalam kaitannya dengan kedua fungsi sekolah di atas, globalisasi memungkinkan terjadinya interaksi yang semakin luas dan mendalam dalam ruang-ruang kehidupan yang dilalui anak. Anak akan lebih mudah berjumpa dengan individu, kelompok, informasi, pandangan, ideologi, nilai, dan sebagainya, yang berbeda yang berasal dari belahan dunia yang lain.

Situasi yang demikian membuat posisi sekolah menjadi cukup problematis dari segi fungsinya. Sekolah tersaingi oleh berbagai lembaga sosial yang lain dalam memengaruhi penanaman nilai pada diri anak. Hadirnya lembaga-lembaga baru dengan pola-pola pergerakan yang mengiringinya, seperti intensifikasi dan diversifikasi media-media baru dalam kehidupan sosial-budaya masyarakat, termasuk dunia anak, jelaslah memberi pengaruh yang kuat dan semakin nyata. Kondisi psikologis anak yang cenderung mudah meniru pada apa yang tertangkap dari panca indera menjadikan anak di era globalisasi berada dalam posisi yang cukup rentan. Melalui media-media baru, seperti televisi dan internet, anak dengan mudah dapat menerima informasi, data, dan contoh dari sumber-sumber yang dekat yang pada giliran berikutnya dapat memengaruhi sikap dan cara berpikirnya.

Kehadiran media-media baru yang mudah diakses anak itu yang juga berperan sebagai pembentuk sikap dan nilai bagaimanapun akan berpengaruh pada posisi dan fungsi sekolah. Singkatnya, dalam situasi demikian, fungsi sekolah sebagaimana dituturkan Dewey di atas bisa saja dirongrong, dimentahkan, atau bahkan diambil alih oleh media-media baru ini.

Darmaningtyas (2011: 196-200) membahas fenomena globalisasi ini dengan kecenderungan lahirnya “generasi mall/handphone” di kalangan pelajar yang pada gilirannya menantang fungsi atau peran konvensional guru dan sekolah baik sebagai sumber ilmu maupun sumber panutan moral. Masalah ini menjadi semakin mengkhawatirkan karena faktanya penetrasi globalisasi dengan berbagai perangkatnya sudah semakin jauh ke pelosok, tidak hanya terbatas di wilayah urban saja.

Persoalan yang kedua terkait kondisi internal di sekolah. Sejauh ini, konsep sekolah ramah anak atau sekolah yang menerapkan prinsip perlindungan dan kesejahteraan anak masih belum tersosialisasikan secara cukup baik di kalangan pendidik (sekolah). Karena itu, secara umum masalah utama kekerasan di sekolah di antaranya dipandang berakar dari kurangnya kepedulian dan pengetahuan para pendidik dan pengelola sekolah tentang kekerasan dan dampaknya terhadap anak didik. Oleh sejumlah kalangan, tindakan yang tergolong kekerasan fisik atau psikis bahkan terkadang dianggap sebagai bagian dari upaya pendidikan.

Belum satunya visi dan pemahaman para pendidik di sekolah dapat terlihat dalam berbagai kasus kekerasan yang terjadi di lingkungan sekolah yang di antaranya melibatkan pihak guru atau pihak sekolah. Batas-batas di antara tindakan mendidik dan memberi hukuman yang dapat dianggap sebagai tindakan kekerasan tampaknya masih menjadi hal yang diperdebatkan, paling tidak di kalangan guru—juga di kalangan masyarakat. Lebih dari itu, persoalan pun cenderung kurang intensif dibicarakan di sekolah sehingga sulit terbentuk visi dan pemahaman yang sama di antara sesama guru dan pengelola sekolah.

Pandangan yang berbeda terkait batas tindakan mendidik dan tindakan yang dapat dianggap sebagai bentuk kekerasan ini kadang juga berkait dengan unsur pemahaman budaya atau bahkan juga agama. Faktor inilah yang di antaranya membuat persoalan ini menjadi semakin problematis. Ada yang menilai bahwa dalil budaya atau agama kadang menjadi alat legitimasi praktik kekerasan terhadap anak.

Amanat Undang-Undang

Sebelum melihat secara lebih jauh persoalan perlindungan anak di lingkungan sekolah pada khususnya, penting kiranya mencermati secara sekilas peraturan perundangan yang terkait dengan hal tersebut. Regulasi atau basis legal ini penting dikemukakan karena dari situ pula dapat ditemukan semangat yang hendak dituju dari upaya perlindungan anak ini.

Kesadaran akan pentingnya jaminan perlindungan anak dari tindak kekerasan sebenarnya telah tertuang dalam undang-undang, yakni UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (yang kemudian disempurnakan dalam UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak) dan UU Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak. Kedua undang-undang tersebut pada dasarnya menegaskan bahwa anak juga memiliki harkat dan martabat kemanusiaan sehingga anak juga punya hak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal. Selain itu, anak harus dijamin mendapatkan perlindungan dan bebas dari diskriminasi.

Pasal 54 UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menyatakan “anak di dalam dan di lingkungan sekolah wajib dilindungi dari tindakan kekerasan yang dilakukan oleh guru, pengelola sekolah atau teman-temannya di dalam sekolah yang bersangkutan, atau lembaga pendidikan lainnya.”

Landasan yang lebih mendasar dapat ditemukan pada Pasal 28 B butir 2 Undang-Undang Dasar 1945 dan amandemennya yang berbunyi: “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.”

Dalam kaitannya dengan norma yang bersifat internasional, pada tanggal 25 Agustus 1990 Indonesia telah meratifikasi Konvensi Hak-Hak Anak yang disetujui Majelis Umum PBB pada tahun 1989 yang memuat semangat dasar perlindungan anak dan amanat pemenuhan hak-hak anak. Hak-hak anak menurut Konvensi Hak-Hak Anak dikelompokkan dalam empat kategori, yaitu :
1. Hak kelangsungan hidup: hak untuk melestarikan dan mempertahankan hidup dan hak memperoleh standar kesehatan tertinggi dan perawatan yang sebaik-baiknya.
2. Hak perlindungan: perlindungan dari diskriminasi, eksploitasi, kekerasan dan keterlantaran.
3. Hak tumbuh kembang: hak memperoleh pendidikan dan hak mencapai standar hidup yang layak bagi perkembangan fisik, mental, spiritual, moral dan sosial.
4. Hak berpartisipasi: hak untuk menyatakan pendapat dalam segala hal yang memengaruhi anak.

Sementara itu, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 40 menyebutkan bahwa “pendidik dan tenaga kependidikan berkewajiban menciptakan suasana pendidikan yang bermakna, menyenangkan, kreatif, dinamis, dan dialogis.” Tentu saja lingkungan sekolah yang penuh dengan praktik kekerasan tidak sesuai dengan amanat undang-undang ini. Bahkan, jika dicermati lebih dalam, pasal ini tidak saja terkait dengan perlindungan anak di sekolah, tapi juga menyentuh aspek kesejahteraan anak di sekolah.

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dalam rumusannya tentang “sekolah ramah anak” menyimpulkan prinsip-prinsip yang harus diperhatikan dalam pelaksanaan konsep tersebut, yakni prinsip tanpa kekerasan, prinsip tanpa diskriminasi, prinsip kepentingan yang terbaik bagi anak dan hak untuk tumbuh dan berkembang, serta prinsip menghargai pendapat anak.

Dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia, ada cukup banyak perangkat normatif (regulasi) lainnya yang menjadi dasar bagi penguatan prinsip perlindungan anak selain yang sudah disebutkan di atas, yakni:
1. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
2. Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Nomor 05 Tahun 2011 tentang Kebijakan Pemenuhan Hak Pendidikan Anak
3. Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Nomor 06 tahun 2011 tentang Panduan Pencegahan Kekerasan terhadap Anak di Lingkungan Keluarga, Masyarakat, dan Lembaga Pendidikan
4. Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 1988 tentang Usaha Kesejahteraan Anak bagi Anak yang Mempunyai Masalah
5. Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Nomor 02 Tahun 2011 tentang Pedoman Penanganan Anak Korban Kekerasan
6. Instruksi Presiden RI Nomor 5 Tahun 2014 tentang Gerakan Nasional Anti Kejahatan Seksual terhadap Anak

Meski amanat undang-undang telah sangat jelas dalam menuntut pemenuhan anak dan perlindungan anak dari kekerasan dan diskriminasi, kita melihat bahwa masalah ini masih belum menjadi isu penting yang mengemuka di sekolah. Indikatornya terlihat dari masih banyaknya kasus kekerasan terjadi di lingkungan sekolah dan belum adanya perhatian serius dari pihak sekolah atau pengurus publik di bidang pendidikan. Dalam situasi yang seperti ini, siapa yang kira-kira dapat memainkan peran penting untuk mengangkat dan menangani isu ini secara lebih luas?

Dengan mempertimbangkan dan melihat sistem internal di sekolah dan cara penyiapan tenaga pendidik profesional dilakukan melalui sistem pendidikan tinggi, dapat disimpulkan bahwa unsur kepemimpinan di sekolah dan para calon insan pendidik memegang peran yang strategis untuk berperan dalam penanggulangan masalah kekerasan anak. Namun demikian, di balik kedua aktor tersebut, tentu saja hal yang lebih mendasar adalah visi perlindungan anak yang tertanam dalam pikiran dan orientasi pengelola sekolah dan para calon guru.

Peran Kepala Sekolah

Untuk menciptakan lingkungan sekolah yang peka terhadap hak anak dan dapat menjamin perlindungan dan kesejahteraan anak di sekolah, peran kepala sekolah sangatlah strategis. Kepala sekolah adalah sosok yang menentukan arah kebijakan strategis sekolah yang tecermin dari program-program kerja yang dilaksanakan. Dari sosok kepala sekolah jugalah perubahan penting di sekolah baik menyangkut sistem maupun out-put siswa bisa diharapkan (Kartono, 2011: 76-79). Belum cukupnya perhatian kalangan pendidik terhadap persoalan kekerasan terhadap anak bisa jadi merupakan bentuk cerminan dari belum tersentuhnya kesadaran kepala sekolah akan pentingnya masalah ini.

Karena itulah, pada tataran yang mendasar, visi kepala sekolah, kepekaan dan kepeduliannya pada isu perlindungan dan kesejahteraan anak di sekolah akan sangat menentukan arah program sekolah yang mendukung bagi diterapkannya prinsip-prinsip perlindungan dan kesejahteraan anak sehingga sekolah dapat terbebas dari tindakan kekerasan. Visi yang dimiliki kepala sekolah inilah yang pada giliran berikutnya diharapkan dapat ditularkan pada para pemangku kepentingan lainnya di sekolah, baik itu guru, wali murid, dan sebagainya.

Secara normatif, seorang kepala sekolah menurut Permendiknas Nomor 13 Tahun 2007 tentang Standar Kepala Sekolah/Madrasah harus memiliki 33 kecakapan yang meliputi lima dimensi, yakni kompetensi kepribadian, kompetensi manajerial, kompetensi kewirausahaan, kompetensi supervisi, dan kompetensi sosial. Dalam posisi sebagai manajer, kepala sekolah menurut ketentuan dalam peraturan tersebut dituntut harus memiliki kompetensi untuk “menciptakan budaya dan iklim sekolah/madrasah yang kondusif dan inovatif bagi pembelajaran peserta didik.”

Dari ketentuan ini, kita dapat menghubungkan antara kondisi yang kondusif dan inovatif bagi pembelajaran peserta didik di sekolah dengan penerapan prinsip perlindungan dan kesejahteraan anak. Dengan kata lain, penerapan prinsip perlindungan dan kesejahteraan anak di sekolah pada gilirannya akan mendukung bagi terciptanya iklim sekolah yang kondusif.

Sekolah yang menerapkan prinsip perlindungan dan kesejahteraan anak pasti akan sangat mendukung bagi berkembangnya potensi diri anak. Anak akan merasa nyaman di lingkungan belajarnya sehingga dapat mengembangkan potensinya tanpa harus terintangi oleh hambatan kejiwaan atau tekanan psikis dalam berbagai bentuk. Lingkungan sekolah yang ramah anak akan memberi ruang yang lebih besar bagi terwujudnya fungsi dasar sekolah sebagaimana digambarkan Dewey di atas.

Namun demikian, melihat masih maraknya kasus kekerasan di sekolah yang bahkan jumlahnya kian meningkat, sementara kita bisa simpulkan bahwa upaya sekolah yang dipimpin oleh kepala sekolah untuk menciptakan sekolah ramah anak tampaknya masih harus melalui jalan yang panjang. Mungkin saja kepala sekolah yang memiliki kepekaan dan visi perlindungan dan kesejahteraan anak masih tidak mudah kita dapatkan. Atau bisa saja sudah ada kepala sekolah yang punya kepedulian dan visi perlindungan anak tapi masih kesulitan menerjemahkannya secara nyata dalam program sekolah.

Penelitian yang dilakukan Raihani tentang kepemimpinan kepala sekolah di tiga sekolah di Yogyakarta (2011) memperlihatkan bahwa isu kekerasan anak tampak masih belum menjadi isu yang mengemuka. Visi tentang perlindungan anak di lingkungan sekolah belum mendapat perhatian serius dari pimpinan sekolah dan warga sekolah yang lain. Menurut penelitian tersebut, persepsi kesuksesan sekolah masih banyak terfokus pada soal akademik dan non-akademik yang kurang secara langsung menyebut isu perlindungan anak sebagai salah satu indikatornya.

Terkait dengan persoalan ini, hegemoni media dalam mencitrakan ukuran kesuksesan sekolah mungkin cukup berperan besar sehingga isu perlindungan anak kurang mengemuka. Dalam penelitian Raihani, out-put siswa yang berprestasi disebut sebagai salah satu indikator keberhasilan kepemimpinan di sekolah. Beberapa tahun terakhir kita memang cukup sering menyaksikan berita tentang prestasi siswa di ajang kompetisi sains di tingkat internasional yang ternyata cukup menarik perhatian masyarakat sehingga berkembang pandangan bahwa kesuksesan kepemimpinan di sekolah di antaranya ditandai dengan prestasi siswa di bidang lomba bertaraf internasional. Padahal, ukuran kesuksesan yang demikian ini masih bersifat cukup dangkal dan bisa jadi cukup berjarak dengan substansi nilai pendidikan (Mushthafa, 2013: 29-34).

Belum kuatnya visi perlindungan anak di sekolah membuat praktik kekerasan cenderung dianggap biasa di sekolah, seperti dalam bentuk hukuman fisik dan kekerasan verbal atau psikis. Kepala sekolah perlu memiliki strategi yang jitu untuk bisa mengubah situasi ini ke arah yang ideal. Butuh perubahan paradigma yang mungkin bersifat cukup revolusioner agar berbagai pihak di sekolah—pimpinan, guru, karyawan, komite sekolah, murid, orangtua, dan masyarakat lingkungan sekolah—bisa memiliki kepedulian dan visi yang sama untuk membumikan prinsip perlindungan dan kesejahteraan anak di sekolah. Tantangannya juga menjadi lebih rumit jika kita melihat kesibukan sekolah dan para guru saat ini yang sarat dengan beban administrasi pembelajaran.

Jalan panjang penguatan visi perlindungan anak di sekolah melalui kepemimpinan kepala sekolah ini akan semakin terasa ketika kita melihat fakta di lapangan tentang masih belum terlembagakannya penguatan profesi kepala sekolah terkait dengan kompetensi dasar sebagaimana disebutkan dalam Permendiknas Nomor 13 Tahun 2007. Pembibitan calon kepala sekolah dan peningkatan kompetensi mereka melalui program pelatihan yang terstruktur, menyeluruh, dan berkelanjutan masih menjadi pekerjaan rumah instansi pendidikan di Indonesia. Desain peningkatan kompetensi kepala sekolah saat ini masih berada pada tahapan uji coba (tahap awal). Menurut penelitian Jalal dan Supriadi, kebanyakan kepala sekolah di Indonesia tidak memperoleh pendidikan yang cukup terkait peran mereka sebagai kepala sekolah (Raihani, 2011: 4).

Pengalaman penulis terlibat dalam penyiapan bahan pembelajaran untuk peningkatan kompetensi berkelanjutan kepala sekolah pada bidang-bidang spesifik sesuai dengan Permendiknas Nomor 13 Tahun 2007 (Maret 2013-November 2014) yang diselenggarakan oleh Pusat Pengembangan Tenaga Kependidikan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI bekerja sama dengan Australia’s Education Partnership with Indonesia menunjukkan bahwa kompetensi kepala sekolah di Indonesia masih jauh dari harapan atau standar yang ada.

Syawal Gultom, Ketua Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pendidikan dan Penjaminan Mutu Pendidikan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, mengakui rendahnya kompetensi dan kinerja kepala sekolah di semua jenjang. Menurutnya, faktor campur tangan politik lokal dalam pengangkatan kepala sekolah menjadi faktor penyebabnya. Secara lebih teperinci, berdasarkan pemetaan kompetensi kepala sekolah yang dilaksanakan di 31 provinsi, ternyata kompetensi sosial dan supervisi kepala sekolah umumnya rendah. Dari batas minimal nilai kelulusan yang ditetapkan, yakni 76, hanya nilai kompetensi kepribadian saja yang lulus, yakni rata-rata 85. Sedangkan kompetensi manajerial dan wirausaha rata-rata 74, supervisi 72, dan sosial 63 (Kompas, 24 Juli 2012).

Selain itu, disparitas mutu pendidikan di berbagai wilayah di Indonesia menjadi faktor kunci yang membuat jurang perbedaan kompetensi kepala sekolah di antara berbagai daerah tersebut cukup lebar (Darmaningtyas, 2011: 165-169). Untuk kompetensi mendasar yang secara eksplisit disebutkan dalam Permendiknas Nomor 13 Tahun 2007 saja ternyata masih banyak kepala sekolah yang perlu diberi pelatihan. Sedangkan visi perlindungan anak terkait dengan wawasan dan kemampuan yang sifatnya pengembangan atau tingkat lanjut yang bersifat kontekstual.

Belum tertatanya pengembangan profesionalitas kepala sekolah tampak saat uji kompetensi kepala sekolah dilaksanakan tahun lalu di Bandung. Ada 180 Kepala SD yang mempermasalahkan hasil uji kompetensi kepala sekolah karena kriteria kelulusannya dianggap tidak jelas. Apalagi ada informasi yang beredar bahwa kepala sekolah yang tidak lulus uji kompetensi akan kembali menjadi guru biasa (Pikiran Rakyat, 10 Februari 2014).

Dalam konteks yang lebih luas, kepala sekolah sebenarnya juga memiliki ruang bersama di tingkat lokal berupa organisasi atau perkumpulan kepala sekolah di tingkat kabupaten yang bernama Musyawarah Kerja Kepala Sekolah (MKKS). Namun demikian, menurut Darmaningtyas (2011: 122-124), perhimpunan ini cenderung menjadi alat politik birokrasi untuk memantau dan mengendalikan sekolah-sekolah yang ada sesuai dengan kehendak pemangku kebijakan setempat. Inilah yang oleh Mochtar Buchori (2002: 63) dikatakan bahwa para guru, dan termasuk juga pengelola sekolah, tidak memiliki otonomi atau kebebasan pedagogis. Mereka hanya menjadi instrumen birokrasi yang tugasnya sebatas menjalankan instruksi atasannya saja.

Untuk itu, pada poin yang kedua dari uraian dalam tulisan ini, penguatan visi perlindungan anak di sekolah perlu juga memperhatikan aspek yang bersifat antisipatif. Untuk mengarah ke sana, maka penanaman visi perlindungan anak di sekolah sejak dini harus diberikan kepada para calon pendidik, yakni para mahasiswa yang menempuh studi di jurusan keguruan/pendidik profesional.

Visi Perlindungan Anak bagi Mahasiswa Keguruan

Untuk menanamkan visi perlindungan anak di kalangan pendidik, langkah penting yang juga perlu dicermati adalah dengan memasukkan gagasan tentang perlindungan anak ini kepada kalangan mahasiswa di Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK). Asumsinya, mahasiswa di LPTK inilah yang nanti akan terjun di dunia pendidikan (sekolah) sebagai guru dan mungkin juga kepala sekolah.

Namun demikian, Mochtar Buchori dalam penelitiannya tentang perkembangan pendidikan guru di Indonesia melontarkan kritik yang penting untuk diperhatikan. Menurutnya, LPTK atau jurusan keguruan/pendidik profesional di perguruan tinggi secara umum berkualitas rendah sehingga hanya menghadirkan guru mediocre. Selain itu, kebanyakan mahasiswa yang masuk LPTK sebenarnya tidak bercita-cita untuk menjadi guru, tapi hanya untuk mendapatkan pekerjaan (Buchori, 2007: 157-160).

Mantan rektor Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, Paul Suparno (2005: 20-22) juga punya pendapat yang sama. Mantan rektor kampus yang semula bernama IKIP Sanata Dharma tersebut berpendapat bahwa kualitas intelektual mahasiswa di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) ada di tingkat kedua atau ketiga. Paul Suparno memberi ilustrasi bahwa banyak guru baru lulusan FKIP tidak menguasai bahan yang diajarkan. Bahkan beberapa tampak masih grogi saat di depan kelas. Ini, menurutnya, menunjukkan bahwa kematangan profesional mereka yang mestinya meliputi tiga bidang, yakni bidang keahlian atau keilmuan, bidang pembelajaran, dan bidang kepribadian, masih bermasalah.

Pada bidang yang ketiga, yakni bidang kepribadian, terkait erat visi perlindungan anak ini. Aspek kepribadian ini erat kaitannya dengan pemahaman atas nilai-nilai kemanusiaan, termasuk di dalamnya yang terkait dengan hak anak.

LPTK atau perguruan tinggi yang membuka jurusan keguruan belakangan juga semakin banyak dibuka di daerah. Minat masyarakat memang tampak cenderung semakin tinggi untuk masuk ke LPTK seiring dengan kebijakan tunjangan sertifikasi guru. Sedangkan sistem seleksi masuk ke LPTK tersebut masih cukup longgar dan tidak ketat sehingga input mahasiswanya bukanlah yang terbaik di antara calon mahasiswa yang ada.

Ini jauh berbeda dengan sistem seleksi yang terjadi di Finlandia, negara yang dipandang memiliki sistem pendidikan terbaik di dunia. Leena Krokfoss, Wakil Dekan Fakultas Keguruan University of Helsinki dalam film dokumenter The Finland Phenomenon (2011) memberi gambaran tentang ketatnya persaingan calon mahasiswa untuk masuk di LPTK di Finlandia. Menurut Krokfoss, pada tahun 2011, dari 1600 pendaftar di jurusan keguruan yang ada, hanya 10% yang diambil.

Selain sistem seleksi atau tes masuk, Paul Suparno (2005: 21) juga menyoroti sistem pendidikan di FKIP yang masih kurang berbasis praktik. Dalam The Finland Phenomenon, disebutkan bahwa sistem pendidikan calon guru di Finlandia berbasis riset dan praktik. Mahasiswa memiliki ruang yang cukup luas untuk mengamati proses pembelajaran di kelas dan berdiskusi dengan guru di sekolah tentang praktik pembelajaran yang efektif. Hal seperti ini yang masih belum cukup lazim dalam sistem pendidikan di LPTK di Indonesia.

Dalam kaitannya dengan visi perlindungan anak, kiranya perlu juga mahasiswa-mahasiswa LPTK diajak berdiskusi secara mendalam atas fenomena kekerasan anak. Bahkan, jika memungkinkan, mereka diberi pengalaman langsung mengamati dari dekat kasus-kasus spesifik di tingkat lokal. Lebih jauh lagi, mungkin juga perlu dijajaki kemungkinan praktik pendampingan oleh mahasiswa atas kasus kekerasan anak.

Kondisi umum yang cukup memprihatinkan pada LPTK yang ada itu menjadi pekerjaan rumah tersendiri untuk kita bisa mengharapkan bahwa dari lembaga tinggi tersebut akan lahir tenaga-tenaga pendidik yang memiliki visi perlindungan anak yang kuat. Menurut Mochtar Buchori, lemahnya visi pengabdian di kalangan mahasiswa LPTK ini memberi jalan bahwa sekolah sebagai lembaga pendidikan kehilangan fungsi sosialnya yang bersifat strategis yakni sebagai lembaga yang memiliki kekuatan kultural (cultural force) untuk perubahan (Buchori, 2002: 61).

Melihat situasi LPTK secara internal serta isu perlindungan anak itu sendiri, maka sebenarnya ada dua hal yang harus dilakukan. Pertama, secara umum, penguatan LPTK mau tidak mau harus dilakukan untuk membuat lulusan-lulusannya dapat mengambil peran yang visioner di dunia pendidikan. Kedua, isu perlindungan anak harus secara terencana ditanamkan dalam perkuliahan di LPTK. Upaya membangun pemahaman dan kepekaan atas kebutuhan anak dan masalah-masalah yang berkaitan dengan penyediaan lingkungan belajar yang kondusif untuk anak harus terus diperkuat.

Secara ringkas, dua hal ini bisa juga digambarkan menurut pemaparan Mochtar Buchori (2002: 68) saat berbicara tentang reformasi pendidikan di Indonesia: bahwa sekolah harus mengubah orientasinya dengan menekankan pada unsur intelektualitas dan aspek kepekaan normatif sekaligus. Aspek yang kedua inilah yang akan memberi makna lebih mendalam pada proses pendidikan. Dari sana pulalah, nilai-nilai kemanusiaan dapat terus dijaga dalam proses pendidikan termasuk nilai dan penghargaan atas hak anak.

Penutup: Perlindungan Anak dan Pendidikan Kontekstual

Dua titik fokus yang berusaha diangkat dalam tulisan ini terkait upaya peningkatan peran sekolah dalam mengatasi problem kekerasan anak bisa dibilang baru bersifat mikro. Pada tataran yang lebih luas, isu kekerasan anak akan juga terkait dengan kebijakan pendidikan yang lebih bersifat makro.

Ini bisa terlihat jelas jika kita menyimak pendapat Darmaningtyas (2011: 341-346) yang menyatakan bahwa kekerasan di sekolah, seperti tawuran, juga sangat terkait dengan masalah kebijakan yang bersifat makro yakni akses anak miskin dan bodoh yang sulit untuk masuk ke sekolah bermutu. Kekerasan berupa tawuran antarpelajar menurut pengamatan Darmaningtyas salah satunya lahir akibat kekecewaan anak miskin dan bodoh atas ketidakadilan sistem pendidikan yang ada yang menutup akses mereka untuk mendapatkan pendidikan yang bermutu. Tertutupnya akses ke sekolah bermutu ini membuat kemungkinan mobilitas vertikal mereka jadi sulit terbuka.

Sampai di titik ini terlihat betapa tantangan untuk menanamkan visi perlindungan anak di sekolah bukan pekerjaan yang mudah. Namun demikian, di balik berbagai tantangan tersebut, satu hal yang penting digarisbawahi adalah bahwa menekuni masalah perlindungan dan kesejahteraan anak bagi sekolah dan kalangan pendidik sebenarnya merupakan peluang yang besar untuk membawa praktik pendidikan di sekolah ke wilayah yang bersifat kontekstual. Jika proses pembelajaran dan pendidikan di sekolah sejauh ini sering disorot cenderung berorientasi-buku-teks (text book oriented), maka upaya untuk menerapkan prinsip perlindungan dan kesejahteraan anak di sekolah merupakan bentuk pendidikan yang nyata dan kontekstual. Warga sekolah bersama-sama diajak untuk ikut memecahkan masalah penting di masyarakat, yakni kekerasan anak, dan menjawabnya dengan langkah bersama dari semua pihak yang berkepentingan.

Wallahu a‘lam.


Bahan Rujukan

Buchori, Mochtar, 2002, Pendidikan Antisipatoris, Cetakan Kedua, Yogyakarta: Kanisius.

______________, 2007, Evolusi Pendidikan di Indonesia: Dari Kweekschool sampai ke IKIP (1852-1998), Yogyakarta: Insist Press.

Darmaningtyas, 2011, Pendidikan Rusak-Rusakan, Cetakan Kelima, Yogyakarta: LKiS.

Dewey, John, 1964, Democracy and Education, Cetakan Ketiga, New York: The Macmillan Company.

Giddens, Anthony, 1999, Runaway World: How Globalisation is Reshaping Our Lives, London: Profile Books.

Gultom, Junifrius, 2007, “Kekerasan di Sekolah, Wajarkah?,” Harian Kompas, 17 November 2007.

Kartono, ST., 2011, Menjadi Guru untuk Muridku, Yogyakarta: Kanisius.

Mushthafa, M., 2013, Sekolah di Antara Himpitan Google dan Bimbel, Yogyakarta: LKiS.

Raihani, 2011, Kepemimpinan Sekolah Transformatif, Yogyakarta: LKiS.

Suparno, Paul, 2005, “Calon Guru di FKIP: Mutu Intelektualnya Kelas Kedua atau Ketiga,” Majalah Basis, No. 07-08, Tahun ke-54, Juli-Agustus 2005.

“180 Kepala Sekolah Dasar Berencana Gugat Hasil Uji Kompetensi ke PTUN,” Pikiran Rakyat, 10 Februari 2014, diakses di http://pikiran-rakyat.com/pendidikan/2014/02/10/269488/180-kepala-sekolah-dasar-berencana-gugat-hasil-uji-kompetensi-ke-ptun pada 24 Mei 2015.

“2014, Kekerasan pada Anak Diprediksi Meningkat,” Tempo, 20 Desember 2013, diakses di http://metro.tempo.co/read/news/2013/12/20/064538984/2014-kekerasan-pada-anak-diprediksi-meningkat pada 24 November 2014.

“Cerita Retno soal Tradisi Bullying Finansial di SMAN 3,” CNN Indonesia, 25 Mei 2015, diakses di http://www.cnnindonesia.com/nasional/20150525060521-20-55383/cerita-retno-soal-tradisi-bullying-finansial-di-sman-3/ pada 25 Mei 2015.

“Komnas: DKI Tertinggi Angka Kekerasan Seksual Anak,” Tempo, 22 Oktober 2014, diakses di http://nasional.tempo.co/read/news/2014/10/22/063616237/Komnas-DKI-Tertinggi-Angka-Kekerasan-Seksual-Anak pada 24 November 2014.

“Kompetensi Kepala Sekolah Masih Rendah,” Kompas, 24 Juli 2012, diakses di http://edukasi.kompas.com/read/2012/07/24/05154075/Kompetensi.Kepala.Sekolah.Masih.Rendah pada 24 November 2014.


Tulisan ini adalah makalah yang disampaikan dalam International Conference on Helping Profession on Child Abuse and Protection pada tanggal 3 Desember 2015 yang diadakan oleh Asosiasi Dosen Indonesia (ADI) bertempat di Auditorium Dinas Pelayanan Pajak DKI Jakarta. Tulisan ini diterbitkan dalam prosiding acara tersebut.


Read More..