Sapiens: Sejarah Ringkas Umat Manusia dari Zaman Batu hingga Perkiraan Kepunahannya (Yuval Noah Harari, diterjemahkan oleh Yanto Musthofa, Penerbit Pustaka Alvabet, Jakarta, Juli 2017, 530 halaman, ISBN: 978-602-6577-17-7)
Sapiens: Riwayat Singkat Umat Manusia (Yuval Noah Harari, diterjemahkan oleh Damaring Tyas Wulandari Palar, Penerbit Kepustakaan Populer Gramedia), Jakarta, September 2017, viii + 525 halaman, ISBN: 978-602-424-416-3)
Kita hidup di zaman yang terus berlari. Orang-orang menjalani hidup dengan bergegas sehingga banyak yang tak sempat untuk menyediakan waktu sela dan berefleksi.
Buku yang ditulis oleh Yuval Noah Harari, profesor sejarah dari Hebrew University of Jerusalem, ini mendedahkan sejarah umat manusia (homo sapiens) sejak kemunculannya pada sekitar 200 ribu tahun yang lalu di Afrika Timur hingga kini. Meski cukup ringkas jika dilihat dari periode yang dipaparkan dan tebal buku yang disajikan, buku ini mampu mengantarkan pembacanya ke ruang jeda yang reflektif dan futuristik untuk melihat jejak panjang dari titik pijak yang tengah didiaminya saat ini. Kerangka reflektif yang tersirat secara cukup kuat merupakan salah satu keunggulan buku yang tersaji dengan gaya tutur yang lincah ini.
Kita tahu bahwa saat ini manusia telah menjadi penguasa bumi. Nasib bumi dan semua makhluk yang ada di dalamnya nyaris tergantung pada manusia. Padahal, pada 70 ribu tahun yang lalu manusia adalah binatang remeh yang tak punya kuasa apa-apa atas nasib bumi. Keberadaannya tidaklah signifikan—seperti ubur-ubur, simpanse, atau harimau.
Ini adalah pokok masalah yang dijawab buku ini di bagian awal. Dengan kilasan sejarah yang singkat dan padat, buku ini memulai dengan penjelasan tentang proses supremasi manusia atas makhluk lain di planet bumi. Harari menjelaskannya saat ia mulai menguraikan tiga periode revolusi penting dalam sejarah manusia, yaitu revolusi kognitif, revolusi pertanian, dan revolusi sains.
Revolusi kognitif adalah awal kebangkitan manusia menuju puncak kekuasaannya. Menurut Harari, revolusi kognitif ini terjadi pada sekitar 70 ribu tahun yang lalu saat manusia menemukan cara baru dalam berpikir dan berkomunikasi. Mulai saat itu, manusia mampu menggunakan bahasa sebagai sarana berbagi informasi tentang dunia.
Dengan keluwesannya, bahasa dengan fungsi baru itu mampu memerdekakan manusia dari kerangka makhluk biologis yang terbatas sehingga kemudian manusia mencatatkan dirinya sebagai makhluk yang menyejarah dan berbudaya. Revolusi kognitif mengunggulkan manusia menjadi binatang dengan kemampuan kerja sama secara fleksibel dalam level yang bersifat masif. Inilah kunci awal dominasi manusia di atas planet bumi.
Kerja sama dalam level masif ini dapat terjadi karena manusia mampu memunculkan dan hidup di dalam realitas yang dikhayalkan (entitas fiktif), tak hanya dalam dunia material yang berupa realitas objektif. Entitas fiktif ini—yang dapat berupa mitos, agama, negara, korporasi, konsep hak asasi manusia (HAM), dan lain-lain—terbukti mampu menyatukan manusia untuk bergerak dalam satu landasan cerita dan norma tertentu.
Penemuan pertanian sekitar 10 ribu tahun yang lalu tidak hanya mengubah pola hidup nomaden menjadi kehidupan menetap. Revolusi pertanian mendorong ledakan populasi. Tapi kemelimpahan hasil makanan dari pertanian bagi Harari adalah perangkap kemewahan yang pada gilirannya menuntut manusia untuk bekerja lebih keras.
Revolusi pertanian pelan-pelan mengantarkan manusia pada penyatuan yang kini membuat dunia menjadi desa global. Harari mencatat tiga hal yang mempersatukan manusia, yaitu uang, imperium, dan agama. Uang berhasil menjadi dasar bagi tatanan moneter dunia. Imperium menyatukan beragam kelompok masyarakat dalam satu entitas politik tertentu yang terus berkembang dinamis. Agama mempertemukan orang-orang yang melimpahkan otoritas absolut pada Tuhan dan wakil-wakilnya di bumi untuk menjamin stabilitas sosial dalam kehidupan bersama.
Namun revolusi pertanian tak ada apa-apanya dibandingkan dengan kedahsyatan dampak revolusi sains. Revolusi sains dimulai dengan “penemuan ketidaktahuan” sekitar 500 tahun yang lalu. Kesediaan untuk mengakui ketidaktahuan ini membuat sains modern menjadi lebih dinamis dan aktif untuk menjangkau hal-hal baru dibandingkan dengan tradisi pengetahuan sebelumnya. Dari rahim sains modern lalu lahirlah teknologi berbasis energi-energi baru.
Menurut Harari, revolusi sains yang sebenarnya baru terjadi saat sains beraliansi dengan agama dan atau ideologi, termasuk juga imperium atau otoritas politik. Dari sini muncullah imperialisme. Dari sini pula lahir kapitalisme yang mendorong berputar cepatnya roda-roda industri—juga konsumerisme.
Keberhasilan buku ini dalam mengurai titik-titik penting yang paling menentukan dalam perubahan sejarah kebudayaan manusia di antaranya tampak saat Harari menjelaskan titik mula dan dampak industrialisasi. Secara cerdik, Harari memberi gambaran pokok pergeseran dunia industri dengan mengangkat perubahan cara pandang manusia terhadap waktu. Harari menarasikan asal usul penggunaan jam sistem GMT (Greenwich Mean Time) secara global yang disusul dengan cara pemaknaan baru manusia pada waktu, adopsi cara pengaturan jam ala dunia industri oleh berbagai institusi seperti sekolah, dan juga dampak-dampak lanjutannya yang cukup revolusioner.
Berbagai hal yang lahir dari revolusi sains akhirnya mengantarkan banyak revolusi penting dalam kehidupan manusia sekarang. Saat ini, revolusi terjadi tidak dalam hitungan ribuan tahun. Berbagai penemuan baru dalam dua abad terakhir telah mengantarkan pada situasi-situasi tak terduga. Internet, misalnya, dengan aneka inovasinya, saat ini telah merasuk ke berbagai aspek kehidupan dengan berbagai dampaknya sehingga sekarang kita tak bisa membayangkan dunia tanpa internet.
Di bagian akhir, Harari menggambarkan kehidupan manusia yang semakin maju saat manusia mulai menembus batas-batas biologisnya dan menerobos hukum seleksi alam. Yang menarik, dengan nada retoris Harari menyampaikan betapa berbahayanya kemampuan hebat hewan yang kini “nyaris menjadi Tuhan” ini jika ia senantiasa “tidak puas, tidak bertanggung jawab, dan tidak mengetahui apa yang diinginkan”. Pada bagian ini, Harari tampak menunjukkan kepeduliannya pada dimensi etis sains dan teknologi dan kebutuhan akan nilai-nilai tertentu sebagai landasan orientasi masa depan.
Edisi terjemahan bahasa Indonesia dari buku yang telah diterjemahkan ke dalam 30 bahasa ini terbit dalam dua versi. Versi pertama diterbitkan oleh Pustaka Alvabet pada bulan Juli 2017 dengan penerjemah Yanto Musthofa dan editor Nunung Wiyati. Sedangkan versi kedua diterbitkan oleh Kepustakaan Populer Gramedia (KPG) pada bulan September 2017 dengan penerjemah Damaring Tyas Wulandari Palar dan penyunting Andya Primanda.
Secara umum, dua versi terjemahan ini bisa dibilang sama bagusnya. Saya sendiri membaca utuh versi terjemahan yang terbit lebih awal. Namun, saat versi kedua terbit, saya juga membeli dan membaca secara acak pada bagian-bagian yang sebelumnya sudah saya tandai sebagai bagian yang penting atau menarik.
Pembacaan ini kemudian memberikan sedikit perbandingan bagi saya terkait aspek penerjemahannya. Sekilas, saya merasa bahwa terjemahan Yanto Musthofa yang diterbitkan Alvabet terasa lebih nyaman dan lebih lincah gaya tuturnya. Misalnya petikan terjemahan dari bagian buku yang menggambarkan cara pandang paradigma modern terhadap pengaturan waktu:
Permulaan yang sederhana ini melahirkan jaringan global jadwal, yang diselaraskan sampai ke bagian terkecil, detik. Ketika media siaran—pertama radio, kemudian televisi—mulai bercokol, mereka memasuki sebuah dunia jadwal dan menjadi pendorong utama dan juru dakwahnya (hlm. 421).
Versi terjemahan Damaring Tyas Wulandari Palar seperti berikut:
Awal yang sederhana itu melahirkan jejaring jadwal global, yang disinkronisasi sampai sepersekian detik. Ketika media siaran—pertama-tama radio, lantas televisi—muncul untuk pertama kali, mereka memasuki dunia jadwal dan menjadi penegak dan penyebar utamanya (hlm. 423).
Pilihan terjemahan versi Alvabet untuk menggunakan frasa “mulai bercokol” dan “juru dakwah”, bukannya “muncul untuk pertama kali” dan “penyebar utama” sebagaimana di versi KPG, terasa lebih nyaman dan lebih berisi muatan maknanya untuk sampai ke ruang pemahaman saya. Versi lengkap bahasa Inggrisnya—saya membaca versi terbitan Vintage—adalah sebagai berikut:
This modest beginning spawned a global network of timetables, synchronised down to the tiniest fractions of a second. When the broadcast media—first radio, then television—made their debut, they entered a worl of timetables and became its main enforcers and evangelists (hlm. 396).
Namun demikian, saya menemukan penerjemahan bagian tertentu di versi Alvabet yang terasa kurang pas. Pengalaman saya sebagai editor buku karya terjemahan dulu di Penerbit Serambi dan di Penerbit Bentang Pustaka menunjukkan bahwa jika terdapat kalimat atau frasa yang kurang berhasil dipahami sepenuhnya maka biasanya penerjemah atau editor akan memilih untuk menerjemahkannya secara literal. Ini yang saya temukan di versi terjemahan Alvabet.
Di halaman 6 misalnya di versi terjemahan Alvabet ada subjudul “Tulang Belulang dalam Kloset”. Dalam pemahaman saya, frasa ini tertangkap agak membingungkan dan kurang jelas maknanya. Ternyata, di versi bahasa Inggrisnya tertulis “Skeletons in the Closet” (hlm. 5), yang jika dicari di kamus bahasa Inggris akan ditemukan bahwa pengertian frasa tersebut adalah “rahasia yang tersimpan yang jika terbongkar akan mempermalukan pihak tertentu”. Di versi terjemahan KPG, teks tersebut diterjemahkan “Rahasia yang Tersimpan Rapat”.
Di bagian lain, kasus serupa saya temukan. Ini kutipan dari versi terjemahan Alvabet:
Jutaan tahun evolusi telah mendesain kita untuk hidup dan berpikir sebagai anggota-anggota komunitas. Hanya dalam waktu dua abad kita sudah menjadi individu-individu teralienasi. Tak ada yang memberi kesaksian lebih baik tentang hebatnya kekuatan kultur (hlm. 428).
Teks berbahasa Inggris untuk terjemahan tersebut adalah sebagai berikut:
Millions of years of evolution have designed us to live and think as community members. Within a mere two centuries we have become alienated individuals. Nothing testifies better to the awesome power of culture (hlm. 403-404).
Kalimat terakhir pada versi terjemahan Alvabet tampak kurang jelas gagasan pokok yang akan disampaikan. Penerjemahannya cenderung literal. Saat membaca versi terjemahan KPG, gagasan pokok kalimat tersebut jadi lebih mudah tertangkap.
Jutaan tahun evolusi telah membentuk kita untuk hidup dan berpikir sebagai anggota masyarakat. Dalam dua abad saja kita telah menjadi individu-individu teralienasi. Itulah bukti terbaik mengenai dahsyatnya kekuatan budaya (hlm. 431).
Buku yang edisi pertamanya terbit di Israel pada 2011 dengan judul Kitzur Toldot Ha’enoshut ini sangat penting dibaca untuk merefleksikan noktah kecil kehidupan kita dalam bentang sejarah semesta yang lebih luas.
Uraiannya yang kaya data, tajam, dan mengalir dalam alur dan cara tutur yang hidup mampu memberi pemaparan sederhana yang cukup jelas tentang bagian-bagian atau unsur-unsur paling menentukan hingga membentuk titik-titik perubahan penting dalam rentang sejarah manusia. Cara pembahasannya yang utuh meski singkat memberi pembaca perspektif yang baru, lebih padu, dan mencerahkan untuk memahami tantangan masa depan umat manusia.
Yang paling mendasar, pesan penting yang hendak disuarakan buku ini juga adalah perihal tantangan etis manusia dengan segala pencapaiannya saat ini yang bisa dibilang cukup luar biasa. Tantangan yang menunggu jawaban mendesak inilah yang menjadi salah satu kesimpulan reflektif pemaparan Harari dalam buku ini.
Tulisan ini dimuat di Karepe Dotkom, 17 Juli 2018.
Jumat, 27 Juli 2018
Refleksi Futuristik atas Sejarah Manusia
Minggu, 18 Februari 2018
Sumbangan Islam untuk Peradaban Dunia
Judul buku: The Genius of Islam: Penemuan-Penemuan Hebat Umat Islam yang Mengubah Dunia
Penulis: Bryn Barnard
Penerbit: Noura Books, Jakarta
Cetakan: Pertama, 2017
Tebal: 84 halaman
ISBN: 978-602-385-262-8
Ketika umat Islam saat ini tak berada di baris terdepan dalam kancah peradaban dunia, ada orang yang tidak tahu bahwa peradaban Islam telah ikut memberikan sumbangan besar bagi peradaban dunia. Catatan sumbangan peradaban Islam telah tercatat dalam buku-buku sejarah. Tapi kadang akses yang terbatas membuat hal ini kurang tersebar, bahkan di kalangan umat Islam sendiri.
Buku ini menyajikan beberapa sumbangan penting peradaban Islam dalam kemasan yang dirancang untuk anak-anak dan remaja. Ada 12 tema atau fokus khusus yang dipilih di antara berbagai sumbangan peradaban Islam yang tersaji dalam buku ini.
Pada bagian pertama, penulis buku sekaligus ilustrator yang memang fokus pada penerbitan buku anak-anak ini memberikan pemaparan singkat tentang peradaban Islam. Selain uraian kronologi singkat tentang peradaban Islam, Barnard juga memberikan penjelasan tentang dorongan Islam untuk mencari pengetahuan sehingga umat Islam sejak awal sejarahnya telah mulai menyelami khazanah ilmu yang berasal dari peradaban lain.
Untuk menjelaskan jejak peradaban muslim pada dunia saat ini, Barnard menuturkan bahwa buku yang kita baca, musik yang kita mainkan, kata-kata yang kita ucapkan, angka-angka yang kita hitung, makanan yang kita santap, dan sains yang menjadi landasan kehidupan kita memiliki unsur yang dipengaruhi oleh Islam.
Jejak peradaban Islam di antaranya terlihat pada penggunaan kertas. Saat ini, manusia menggunakan sekitar 300 juta ton kertas setiap tahunnya. Jejak penggunaan kertas secara massal ditemukan sejak era masyarakat Islam. Memang, penemu kertas adalah bangsa China pada sekitar sebelum abad ke-2 SM. Akan tetapi, Islam merupakan masyarakat pertama yang menghasilkan kertas secara massal. Di antara tandanya, pada pertengahan abad ke-9, Baghdad memiliki lebih dari seratus toko yang menjual kertas dan buku.
Peradaban kertas mendorong peradaban buku yang luar biasa sehingga bangsa muslim menjadi masyarakat pencinta buku. Salah seorang khalifah Abbasiyah, al-Mansur, mendirikan perpustakaan dan pusat penerjemahan yang luar biasa di Baghdad. Karena sudah berhasil membentuk peradaban kertas, pembudayaan buku memiliki sisi berbeda dengan Perpustakaan Alexandria yang legendaris di Mesir. Saat perpustakaan Alexandria dihancurkan pada 391, sebagian besar pengetahuan yang tersimpan di sana hilang. Sementara itu, saat bangsa Mongol menyerang Baghdad pada 1238, peradaban Islam sudah berhasil menyimpan dan menggandakan buku-buku di sana di kota-kota muslim lainnya seperti di Kairo, Damaskus, dan juga Kordoba.
Namun peradaban Islam tidak hanya berkutat dalam dunia keilmuan yang sifatnya teoretis. Peradaban Islam juga tercatat sebagai perintis sistem pelayanan kesehatan yang digunakan saat ini. Pelayanan kesehatan dalam bentuk rumah sakit dikembangkan oleh peradaban muslim setelah mereka menemukan model perawatan kesehatan di Persia. Sistem yang lebih rumit dalam pelayanan kesehatan, termasuk apotek dan sistem hierarki dan spesialisasi dalam tata kerja rumah sakit, lahir dari dunia muslim.
Dunia arsitektur juga tak lepas dari jejak peradaban muslim. Bahkan di dunia Eropa, jejak ini dapat kita temukan dengan mudah. Secara umum, bangsa muslim menggabungkan unsur-unsur arsitektur dari Mesopotamia dan Romawi kuno, yang kemudian ditiru oleh bangsa Eropa dan disebarkan seiring dengan kolonialisme ke berbagai penjuru dunia.
Bentuk konkret arsitektur yang dikembangkan masyarakat muslim adalah pelengkung runcing yang dibuat untuk mengurangi tekanan tembok sehingga memungkinkan mereka untuk membangun gedung yang lebih tinggi dengan lebih banyak ruang terbuka di dalam.
Hal lain yang disampaikan buku ini terkait dengan sumbangan peradaban Islam di bidang astronomi, pertanian, optik, mesin dengan mekanisme engkol dan tuas, dan juga musik.
Setiap pokok bahasan dalam buku ini disajikan dengan ilustrasi yang menarik. Selain itu, teks ide-ide pokok dicetak dengan warna yang berbeda sehingga memudahkan pembaca untuk memberi perhatian lebih pada bagian tersebut. Pemaparan juga melibatkan fakta-fakta kunci yang mendukung atas narasi yang disusun.
Meski ditujukan untuk anak-anak, buku ini memuat informasi yang sangat penting untuk diketahui pula oleh kalangan dewasa. Ada beberapa fakta unik yang relatif sulit untuk ditemukan di sumber yang lain yang tersaji dalam buku ini.
Buku ini membangun kesadaran kita semua bahwa peradaban dunia bagaimanapun dibentuk melalui proses bersama di antara berbagai unsur kebudayaan. Sumbangan peradaban muslim yang disampaikan dalam buku ini pun tentu saja tidak bisa dipandang sebagai sesuatu yang berangkat dari ruang kosong. Ia juga adalah lanjutan yang berkesinambungan dengan capaian peradaban masyarakat lain di era yang berbeda.
Buku ini adalah upaya untuk menanamkan wawasan dunia dan peradaban yang terbuka untuk anak-anak dan remaja sejak dini untuk membekali mereka kesadaran akan peradaban masa kini tempat mereka hidup.
Tulisan ini dimuat di Harian Radar Madura, 18 Februari 2018.
Selasa, 25 Oktober 2016
Percik Kecil Sejarah dan Ikatan Tali Kebangsaan
Judul buku: Indonesia Poenja Tjerita: Yang Unik dan Tak Terungkap dari Sejarah Indonesia
Penulis: @SejarahRI
Penerbit: Bentang Pustaka, Yogyakarta
Cetakan: Pertama, Juli 2016
Tebal: xviii + 226 halaman
ISBN: 978-602-291-238-5
Menyajikan peristiwa sejarah dalam penuturan yang menarik memang menjadi tantangan tersendiri. Sejarah yang identik dengan nama tokoh-tokoh atau tanggal-tanggal terkait peristiwa penting dalam perjalanan bangsa atau masyarakat kerap tersaji secara kering dan datar. Akibatnya, membaca buku sejarah kurang diminati.
Padahal, dalam kerangka kemasyarakatan dan kebangsaan sejarah sangatlah penting sebagai kekuatan kultural untuk memaknai kekinian dan tantangan masa depan.
Buku ini dihimpun dari tulisan-tulisan di media online “Sejarah RI” yang berfokus pada edukasi sejarah Indonesia. Melalui laman SejarahRI.com dan akun twitter @SejarahRI dan juga akun Facebook, Sejarah RI berupaya menyajikan percik sejarah-sejarah kecil atau alternatif atau yang di luar arus utama demi mendapatkan gambar utuh sejarah Indonesia dalam upaya membangun paradigma keindonesiaan (hlm. 221-222).
Membaca buku ini, tampaklah bahwa percik-percik sejarah di luar arus utama memang juga memiliki potensi yang kuat untuk menjadi tiang penyokong persatuan bangsa. Misalnya, di satu bagian, buku ini bercerita tentang perancang lambang Garuda Pancasila, yaitu Syarif Abdul Hamid Alkadrie atau Sultan Hamid II, putra sulung Sultan Pontianak. Sultan Hamid II ini berdarah Indonesia-Arab.
Pembuatan lambang negara ini mulanya disayembarakan, dan yang masuk “final” adalah karya Sultan Hamid II dan M. Yamin. Namun karya M. Yamin ditolak karena pada gambar yang dia buat ada unsur sinar matahari yang dianggap menunjukkan pengaruh Jepang. Setelah melewati beberapa proses, lambang rancangan Sultan Hamid II diperkenalkan oleh Presiden Soekarno kepada khalayak pada tanggal 15 Februari 1950 di Hotel Des Indes, Jakarta (hlm. 144-149).
Terkait dunia penerbitan, orang-orang Tionghoa peranakan sejak abad ke-19 telah menerbitkan surat kabar, majalah, dan buku sastra. Mereka menerbitkan karya dalam bahasa Melayu dengan berbagai variasinya. Kemudian pemerintah Hindia Belanda pada 14 September 1908 membentuk Commissie voor de Inlandsche School en Volkslectuur (Komisi Bacaan Rakyat) yang nyatanya berperan sangat penting dalam merangsang minat baca masyarakat. Yang diterbitkan komisi ini bukan hanya karya lokal, tapi juga ada terjemahan novel berbahasa Belanda, Inggris, Prancis, Jerman, dan juga Arab. Komisi ini pada gilirannya berkembang hingga menjadi lembagai yang dikenal dengan nama Balai Pustaka (hlm. 178-180).
Sebuah tulisan dalam buku ini juga mempersaksikan peran masyarakat luar Jawa, yakni bahwa surat kabar bumiputra yang pertama terbit adalah Warta Berita. Tulisan ini mematahkan pandangan umum yang mengatakan bahwa surat kabar bumiputra pertama adalah Medan Prijaji yang terbit di Bandung pada tahun 1907. Warta Berita ini terbit di Padang pertama kali pada tahun 1901, dengan pemimpin redaksi Datuk Sunan Marajo (hlm. 18-21).
Beberapa tulisan lain mengangkat tema kecil tapi menarik, seperti serba-serbi peristiwa yang menyertai Proklamasi Kemerdekaan RI 17 Agustus 1945, asal-usul lomba panjat pinang, sejarah tahu Sumedang, sejarah rokok kuno di Indonesia, dan lainnya.
Ada juga yang mengangkat keteladanan para pemimpin bangsa, seperti kisah Sultan Hamengkubuwono IX yang memberi tumpangan kepada seorang ibu pedagang beras di Yogyakarta (hlm. 114-115).
Selain gaya bertutur yang renyah, buku ini menarik dan sangat penting untuk dibaca dalam kerangka kehidupan kebangsaan Indonesia. Di tengah berbagai persoalan bangsa dan tantangan zaman yang kian berat, buku ini kiranya mampu untuk menjadi tali pengikat semangat persatuan bangsa.
Tulisan ini adalah naskah awal dari tulisan yang dimuat di Koran Jakarta, 25 Oktober 2016.
Minggu, 19 Februari 2012
Sejarah Dunia Perspektif Islam: Problem Identitas dan Dialog Peradaban
Penulis: Tamim Ansary
Penerjemah: Yuliani Liputo
Penerbit: Zaman, Jakarta
Cetakan: Pertama, 2010
Tebal: 590 halaman
History is not knowledge of external facts or events; it is a form of self-knowledge.
—Ernest Cassirer
Dalam buku berjudul An Essay on Man yang mengulas tentang manusia dan kebudayaan, Ernst Cassirer (1847-1945) menempatkan sejarah dalam satu konteks yang menarik. Menurut Cassirer, sejarah bukanlah pengetahuan yang memuat fakta dan kejadian eksternal. Sejarah adalah bentuk pengenalan-diri, atau upaya manusia untuk “terus-menerus kembali kepada dirinya sendiri” (constantly returns to himself). Cassirer menjelaskan bahwa sejarah berbeda dengan proses yang terdapat dalam ilmu alam yang oleh Max Planck dilukiskan sebagai upaya untuk menghilangkan unsur-unsur antropologis, mengubur manusia dan menyingkap hukum-hukum alam yang sebelumnya tersembunyi. Sementara itu, apa yang dikejar oleh sejarah dinyatakan Cassirer dalam formula yang cukup paradoks, yakni “antropomorfisme objektif” (Cassirer, 1944: 241-242).
Pernyataan Cassirer ini tentu saja tak dimaksudkan untuk menutup karakter objektif dalam catatan sejarah. Poin penting yang hendak disampaikan Cassirer dalam butir pemikiran ini adalah terkait dengan makna sejarah dalam arus kehidupan dan peradaban manusia. Sejarah sangat terkait erat dengan identitas manusia, baik sebagai individu maupun sebagai kelompok masyarakat. Individu maupun kelompok masyarakat merumuskan identitas mereka dengan mencari rujukan sejarah dalam berbagai bentuknya. Ada sekelompok masyarakat yang mungkin merumuskan identitas mereka dengan rujukan historis yang bersifat mitis. Ada pula yang mencari acuan pada jalinan peristiwa yang dirumuskan secara ilmiah (objektif). Namun terkadang rujukan mitis dan ilmiah itu dapat bersanding.
Sampai di sini, ada satu sudut pandang menarik untuk melihat pembedaan kategori rujukan sejarah yang bersifat mitis dan ilmiah ini. Sejak pemikiran yang berlabel postmodernis menjadi salah satu gairah intelektual di berbagai penjuru dunia, muncul pandangan yang kritis dalam melihat pembedaan antara kategori mitos dan logos (yang mitis dan yang ilmiah). Logos, yang dalam bahasa Yunani bisa berarti ilmu dan dipahami sebagai ilmu dalam kategori ilmiah-objektif, tanpa disadari terkadang sesungguhnya berpindah menempati kategori mitos. Kedokteran modern, misalnya, sebagai contoh yang mewakili logos, pada kasus tertentu kadang didudukkan sebagai mitos oleh orang atau masyarakat tertentu.
Dalam kerangka kritik semacam ini, Tamim Ansary dalam buku ini berusaha untuk menguliti sejarah dunia arus utama dengan menghadirkan sejarah dunia dengan sudut pandang yang “tak cukup biasa”, yakni sudut pandang Islam. Dalam istilah yang agak ekstrem, langkah ini mungkin bisa disebut sebagai “demitologisasi” (sejarah). Sebagai seorang muslim yang menggeluti disiplin sejarah begitu lama sejak dibesarkan di Afghanistan, melalui buku ini Ansary menyampaikan kritik atas Erosentrisme sejarah dunia. Erosentrisme ini mewujud dalam bentuk penyingkiran peran Islam sebagai sebuah kelompok masyarakat dan peradaban dalam titik-titik penting arus perjalanan peradaban manusia.
Di bagian kata pengantar, Ansary bercerita tentang keterlibatannya dalam sebuah proyek penyusunan buku teks sejarah dunia untuk sekolah di Amerika pada tahun 2000. Saat menyusun sistematika buku bersama tim editor yang lain, Ansary merasakan bagaimana unsur-unsur sejarah dan peran masyarakat Islam dipandang sebagai sesuatu yang tak begitu penting sehingga cenderung untuk dikeluarkan, dikecilkan, atau dipinggirkan. Memang tak ada klaim langsung bahwa Islam itu lebih buruk daripada Barat, atau semacam itu. Akan tetapi, Ansary merasakan begitu kuat asumsi yang tampaknya sudah menjadi kesepakatan para editor lainnya bahwa “Islam adalah fenomena relatif kecil yang dampaknya sudah berakhir jauh sebelum Renaisans” (hlm. 16).
Ansary begitu heran mengapa orang-orang Barat ini dapat mengabaikan Islam begitu saja. Padahal, cukup hanya dengan memberikan gambaran berupa fakta geografis “dunia Islam” saat ini, kita akan menyadari betapa Islam masih menjadi sebuah kelompok masyarakat yang besar dari masa ke masa sejak era kelahirannya.
Erosentrisme yang dirasakan Ansary ini kemudian disadarinya memang telah merasuk begitu dalam, mungkin tanpa sadar, pada bidang sejarah. Ansary mengingat salah satu buku favoritnya di masa kecil karya V.V. Hillyer berjudul Child’s History of the World yang ternyata sangat Erosentris. Demikian pula, buku Perspectives on the Past, buku teks sejarah dunia edisi 1997, berbicara tentang Islam hanya dalam satu bab dari 37 bab yang ada.
Bagaimana Erosentrisme ini terjadi? Mari kita sedikit simak teori analisis wacana kritis (critical discourse analysis) yang berada dalam wilayah kajian konsumsi produk media. Pendekatan analisis wacana memahami media sebagai sebuah alat dominasi, yang dalam bahasa Louis Althusser berperan sebagai ideological state aparatus. Dominasi dan hegemoni media dalam kerangka kepentingan kelompok tertentu berlangsung dengan beberapa cara, seperti pemilihan fakta yang diangkat sebagai berita, pemilihan nara sumber, pemilihan sudut pandang pemberitaan, pilihan kata atau istilah kunci, dan termasuk juga terkait beberapa aspek teknis tata bahasa (Eriyanto, 2001).
Erosentrisme dalam buku sejarah kurang lebih bisa ditemukan dengan cara seperti demikian ini. Selain dalam soal pemilihan fakta, misalnya, dalam wujud yang lebih umum dan sederhana Erosentrisme ini tampak juga dalam penggunaan istilah-istilah dan pemilihan sudut pandang penceritaan. Istilah “Timur Tengah”, misalnya, jelas menunjukkan sudut pandang Eropa. Demikian pula istilah “Zaman Kegelapan” (dark ages) yang merujuk pada era kegelapan masyarakat Barat yang kala itu dikuasai dogma agama.
Saya lalu teringat salah satu bagian dalam novel N. Marewo, Lambo, yang menceritakan seorang siswa yang menggugat guru sejarahnya di kelas saat dikatakan bahwa Columbus adalah orang yang pertama kali menemukan benua Amerika. Kata “menemukan” di sini jelas cerminan sudut pandang orang Eropa. Padahal, kata tersebut akan menjadi sulit dicerna akal sehat jika dipahami dari sudut pandang penduduk asli Amerika (Marewo, 1995: 8-9).
Masih terkait Columbus dan penjelajahan orang-orang Eropa, saya sering teringat betapa buku pelajaran di sekolah tak memberi tempat pada kisah hebat pelayaran Laksamana Cheng Ho dari Dinasti Ming di Cina. Padahal, sebagaimana dibahas oleh Frank Viviano, armada Cheng Ho jauh lebih besar dari ekspedisi kaum Eropa. Viviano menggambarkan, bila seluruh armada kapal Columbus dan Vasco da Gama digabungkan, maka cukup ditempatkan di satu geladak kapal dalam armada Cheng Ho (Viviano, 2005: 28-51). Tapi mengapa buku pelajaran sejarah di sekolah tak memberi ruang untuk ekspedisi laksamana muslim berdarah Asia Tengah yang berlayar menjelajah dunia hampir satu abad lebih awal daripada Columbus itu?
Menghadapi pendekatan sejarah yang seperti ini, lalu apa sebenarnya yang tengah dilakukan Ansary melalui buku ini? Dalam pengantarnya, Ansary menegaskan bahwa ia ingin bercerita tentang sejarah dunia dari kacamata seorang muslim. Disebut bercerita karena Ansary terutama bertujuan “untuk menyampaikan apa yang sebenarnya terjadi menurut pikiran kaum muslim” (hlm. 25). Ansary mengibaratkan penuturannya ini lebih seperti perbincangan di kedai kopi daripada sebagai buku teks ilmiah.
Nah, sampai di sini, saya ingin kembali ke awal, saat saya mengutip Cassirer yang menghubungkan sejarah dengan pencarian identitas. Pilihan Ansary untuk menyajikan sejarah dunia dari sudut pandang Islam dengan gaya bercerita, yakni sejarah dunia menurut pikiran kaum muslim, menurut saya kurang lebih dapat menjadi penjelasan atas istilah “antropomorfisme objektif” yang disebut Cassirer di atas. Istilah antropomorfisme di sini dapat merujuk pada bagaimana kita memahami semangat hidup yang memotivasi umat Islam berabad-abad, yakni kerangka makna yang dibangun umat Islam. Istilah ini juga memiliki keterkaitan dengan soal identitas, terutama dalam pengertian kolektif. Sedangkan istilah objektif menyiratkan bahwa penuturan Ansary ini tak bisa dipandang sebagai semacam alegori belaka. Narasi sejarah dunia bersudut pandang Islam ini juga memiliki semangat yang sama sebagai catatan sejarah, sebagaimana halnya kaum muslim sejak awal telah mengembangkan satu model metode kritik sejarah yang canggih dalam disiplin ilmu ‘ulûmul hadîts (Shihab, 2011: 11).
Dengan latar dan cara pandang seperti ini, Ansary kemudian menyusun kerangka besar sejarah dunia versi Islam dalam beberapa tahapan, dimulai dari era Mesopotamia dan Persia, lalu masuk ke zaman Islam hingga terus ke zaman terkini dengan garis utama pengalaman umat Islam sebagai suatu kelompok masyarakat.
Di bagian paling awal, sebelum bercerita tentang peradaban awal di Mesopotamia, Ansary sedikit menuturkan cikal-bakal dua peradaban dunia saat ini: Barat dan Islam. Menurut Ansary, peradaban Barat lahir dari perkembangan lebih lanjut dari dunia Mediterania yang terpusat dan terhubung melalui rute laut. Sementara itu, peradaban Islam berkembang dari jalinan Dunia Tengah (yang dalam perspektif Barat disebut Timur Tengah) yang terhubung melalui rute darat.
Peradaban awal manusia di kawasan Dunia Tengah diceritakan dengan cukup singkat oleh Ansary, tepatnya hanya 22 halaman, sebelum kemudian langsung masuk pada kisah penting tentang kelahiran dan awal pertumbuhan Islam. Untuk bagian ini, Ansary memberikan pemaparan yang cukup detail, karena ini adalah masa-masa ditegakkannya dasar-dasar narasi Islam. Dalam menguraikan masa awal pertumbuhan Islam, Ansary menekankan bahwa Islam adalah sebuah proyek sosial, yakni sebuah ikhtiar untuk membangun masyarakat yang adil dan setara secara sosial. Ini adalah visi mendasar yang tampak jelas pada awal pertumbuhan Islam, termasuk juga selama periode empat khalifah: Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali.
Perjalanan Islam sebagai sebuah agama dengan visi yang sedemikian ini mengalami dinamika dalam bentangan sejarah. Terlepas dari beberapa kekurangan yang bersifat manusiawi, Ansary menegaskan bahwa keempat khalifah yang populer dengan gelar Khulafâ’ al-Rasyidûn tersebut dapat dipandang sebagai penjaga visi komunitarian Nabi Muhammad saw. yang bergulat untuk menerapkan wahyu dengan tulus. Setelah kematian Ali, tulis Ansary, “kekhalifahan hanyalah sebuah kekaisaran” (hlm. 126).
Penilaian Ansary atas perjalanan Islam setelah periode ini memang tak secara eksplisit diurai panjang lebar dari sudut pandang politik kekuasaan saja. Memang ada pernyataan tentang pemerintahan Umayyah yang gagal dalam mewujudkan visi persaudaraan egaliter sebagaimana yang dijanjikan Islam akibat dominannya bayang-bayang politik kesukuan di saat kekuasaan Islam semakin meluas (hlm. 148). Namun Ansary menyatakan hal ini untuk menjelaskan cikal-bakal kemunculan Dinasti Abbasiyah. Ini tak seperti ulasan Asghar Ali Engineer, misalnya, yang menggunakan data dan analisis panjang lebar dan kemudian menyimpulkan hal yang kurang lebih senada dengan Ansary. Engineer menulis masalah ini dalam bukunya yang berjudul Islamic State, yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Devolusi Negara Islam (2000).
Uraian Ansary untuk menjelaskan pernyataan bahwa kekhalifahan Islam (setelah empat khalifah pertama) kemudian menjadi “hanyalah sebuah kekaisaran” lebih berupa pemaparan tentang jatuh-bangunnya kekuasaan politik berbagai kelompok dalam Islam atau muncul dan berkembangnya sekte-sekte politik dalam Islam, termasuk juga lahirnya kantong-kantong kekuasaan muslim baru di beberapa wilayah seperti Dinasti Fathimiyah di Mesir, peran unik keluarga Buwaihi keturunan Persia dalam kekuasaan Abbasiyah, dan Dinasti Seljuk yang menandai masuknya orang-orang Turki dalam sejarah Islam.
Dalam menjelaskan dinamika politik kekuasaan ini, Ansary juga tetap mengacu dan menghubungkan dengan cita-cita atau visi mendasar Islam tersebut di atas. Demikian juga ketika Ansary menjelaskan kelahiran disiplin keilmuan utama dalam Islam yang melahirkan komunitas intelektual tertentu, yakni ulama (fiqih dan teologi), filsuf (filsafat dan sains), dan kaum sufi (tasawuf). Artinya, kemunculan tiga gugus komunitas utama dalam Islam ini oleh Ansary diletakkan dalam kerangka Islam sebagai sebuah proyek peradaban.
Anak judul buku ini, “Sejarah Dunia Versi Islam”, juga bermakna bahwa pengalaman umat Islam dalam kisah sejarah dunia dijadikan sebagai sudut pandang utama. Karena itu, banyak hal menarik yang diungkapkan Ansary dalam buku ini dengan sudut pandang yang dipilihnya itu. Misalnya menyangkut masuknya orang-orang Eropa secara masif dalam sejarah Islam yang dimulai dari peristiwa Perang Salib. Di akhir bagian penuturannya tentang Perang Salib, Ansary mengemukakan sebuah gagasan yang cukup menarik. Ansary tidak sepakat dengan beberapa kalangan yang menggambarkan Perang Salib sebagai benturan peradaban antara Islam dan Barat. Menurut Ansary, laporan-laporan pihak Arab tak menunjukkan bahwa kaum muslim berpikiran demikian (bandingkan, buku karya Carole Hillenbrand, The Crusade: Islamic Perspectives yang sudah diterbitkan dalam bahasa Indonesia oleh Penerbit Serambi). Gagasan tentang benturan peradaban dapat mungkin jika dilihat dari sudut pandang Tentara Salib. Bagi kaum muslim, mereka tak melihat bukti adanya peradaban dari Tentara Salib, karena memang Eropa ketika itu baru hendak beranjak dari masa yang mereka sebut Zaman Kegelapan. Tambahan lagi, kehadiran Tentara Salib juga tak cukup menantang secara intelektual terhadap ide-ide dan keyakinan kaum muslim. Bahkan, Tentara Salib tidak pernah menembus jauh ke dalam dunia muslim, seperti kawasan Mekah dan Madinah, Bagdad, dan juga Persia. Demikian pula, peristiwa Perang Salib tak merangsang keingintahuan tertentu di dunia muslim tentang Eropa (hlm. 248-249).
Sejauh terkait dengan Perang Salib, Ansary menjelaskan dengan baik bagaimana peristiwa ini justru mendorong warga Eropa untuk menjelajah ke timur. Selama periode Perang Salib, masyarakat Eropa dapat mencium adanya peradaban yang canggih di timur. Namun sayang, mereka tak bisa menembus wilayah Dunia Tengah sampai akhirnya mereka memiliki kemampuan mengarungi laut yang bagus sehingga dapat mencapai wilayah timur melalui jalur laut.
Salah satu kelebihan yang cukup menonjol dari pemaparan Ansary dalam buku ini adalah kemampuannya untuk dapat merangkai berbagai peristiwa penting dalam sejarah dunia dalam suatu jalinan kisah yang padu. Misalnya saat menjelaskan kemunduran umat Islam setelah Perang Salib dan awal kebangkitan Barat (Eropa). Memang para ilmuwan muslim sudah banyak mengukir prestasi terutama selama masa Dinasti Abbasiyah. Akan tetapi, tatanan sosial kaum muslim saat itu mulai runtuh akibat serangan dari Eropa, dan juga dari timur yakni kaum Mongol. Yang paling utama, kemunduran umat Islam disebabkan karena perpecahan politik internal di antara berbagai pusat kekuasaan. Akibatnya, perkembangan keilmuan dan peradaban kaum muslim menjadi macet.
Ini berbeda dengan Barat yang meraih penemuan-penemuan ilmiah yang besar saat tatanan sosial mereka mulai bangkit, termasuk reformasi keagamaan yang melahirkan kaum Protestan dan selanjutnya memapankan proses pembentukan konsep negara-bangsa (hlm. 344-345). Selanjutnya, dominasi Barat atas wilayah dunia lainnya bergerak melalui penjelajahannya yang berwatak imperialis.
Namun Ansary menggarisbawahi bahwa saat Barat mendatangi timur melalui imperialisme, Barat tak bisa berperang secara langsung ketika berhadapan dengan masyarakat-mayoritas-muslim yang relatif masih kuat dan punya basis peradaban yang cukup baik. Termasuk juga dengan Cina yang masyarakatnya sudah terorganisasi dengan baik, kaya, dan berteknologi maju. Karena itu, atas wilayah-wilayah semacam ini, Barat hadir sebagai pedagang. Ini jelas berbeda dengan kehadiran Barat di kawasan Amerika Utara dan Amerika Selatan, Australia, dan Afrika.
Sementara Eropa mengalami kemajuan pesat dengan berbagai revolusi di berbagai sisi peradabannya, tatanan masyarakat Islam di ketiga dinastinya (Utsmani di kawasan utama atau Arab, Safawi di Persia, dan Moghul di India) mulai abad ke-17 secara lambat laun melemah. Salah satu gambaran menarik yang dipaparkan Ansary di antaranya terkait keruntuhan Kekaisaran Utsmani yang disebabkan oleh hancurnya tatanan ekonomi mereka akibat strategi para pedagang Eropa. Masuknya orang Eropa dalam sistem ekonomi Kekaisaran Utsmani ditandai dengan pembelian yang mereka lakukan atas bahan baku produksi secara masif sehingga menganjlokkan produksi dalam negeri. Dampak berikutnya, praktik penyelundupan dan mental korup tumbuh subur dan pelan-pelan menggerogoti Kekaisaran Utsmani (hlm. 361-366).
Saat membaca uraian tentang bagaimana kaum imperialis Eropa masuk ke komunitas muslim melalui jalur perdagangan dan pelan-pelan memberi pengaruh yang signifikan, saya teringat paparan Zamakhsyari Dhofier dalam bukunya yang sudah menjadi klasik, Tradisi Pesantren. Di bagian awal buku itu, Dhofier menyinggung tentang penghancuran kehidupan komunitas-komunitas perdagangan di nusantara oleh kaum penjajah Belanda yang pada gilirannya memberi pengaruh secara mendalam dengan mengubah struktur dasar organisasi kemasyarakatan orang Jawa (Dhofier, 1994: 9, 132).
Kemunduran peradaban komunitas muslim di berbagai titik pentingnya pada periode ini memunculkan kejutan-kejutan internal. Bagi beberapa pihak, ini serupa tamparan keras yang menohok pada titik keimanan mereka. Krisis dan kemunduran Islam memicu krisis teologi Islam: jika wahyu Islam memang benar, mengapa kemudian komunitas muslim mundur atau bahkan terkalahkan? Apa artinya? Di manakah letak kesalahannya?
Sebenarnya, krisis semacam ini sudah terjadi sebelumnya. Bisa dikatakan bahwa krisis serupa terjadi setelah Islam diserang oleh Tentara Salib dari Barat dan juga tentara Mongol. Ini juga yang terjadi saat ini, ketika gelombang modernitas dengan berbagai kompleksitas persoalannya dan kedahsyatan gempurannya juga dapat memojokkan komunitas muslim di berbagai penjuru dunia.
Terkait krisis setelah serbuan Tentara Salib dan Tentara Mongol, misalnya, Tamim Ansary mencatat dua model respons yang dilakukan umat Islam, yakni salafisme ala Ibn Taimiyyah dan gerakan tasawuf (hlm. 266-278). Salafisme Ibn Taimiyyah sangat erat dengan pemikiran puritan, karena dia memandang kemunduran Islam terjadi karena umat Islam berhenti mengamalkan Islam yang “benar”. Ia bersikeras untuk membersihkan Islam dari ide-ide baru, interpretasi, dan inovasi. Dari sini, dalam pembicaraan tentang jihad, Ibn Taimiyyah di antaranya kemudian juga memperluas daftar orang-orang yang dapat dilawan dengan jihad hingga termasuk juga para pembid’ah atau mereka yang dianggap menyempal.
Gerakan tasawuf atau sufisme berkembang di kalangan mereka yang ingin mencapai persatuan mistik dengan Allah. Gerakan ini pada titik tertentu membentuk komunitas-komunitas sufi yang bermula dan berpusat di sekitar individu sufi terkemuka.
Serbuan modernitas bagi Ansary lebih kompleks. Pada paruh kedua abad kesembilan belas, orang Eropa telah memegang kendali semua penjuru dunia Islam, dan dominasi ini dicapai tanpa perang atau penyerbuan berskala besar. Namun demikian, penetrasi orang Eropa ini bukan terutama dengan membawa keimanan Kristen mereka. Modernitas yang disebarkan oleh cengkeraman orang Eropa ini membawa pandangan dunia sekuler humanistik. Inilah yang dihadapi umat Islam saat ini.
Tamim Ansary mencatat tiga jenis tanggapan umum sebagai bentuk reformasi yang diambil oleh umat Islam. Tanggapan pertama mengatakan bahwa yang perlu diubah bukan Islam, tapi umat Islam. Tanggapan kedua mengritik pandangan agama yang ketinggalan zaman dan memandang bahwa Barat itu benar. Karena itu, yang perlu dilakukan adalah memodernisasi iman dengan membersihkan takhayul dan memikirkan Islam sebagai sistem yang cocok dengan ilmu. Tanggapan ketiga mirip dengan tanggapan kedua. Bedanya, mereka menekankan pencarian makna iman, sejarah, dan tradisi dari dalam Islam sendiri, sambil menyerap beberapa hal dari Barat. Ketiga respons ini menurut Ansary terwakili oleh sosok Abdul Wahhab dari semenanjung Arab, Sayyid Ahmad dari Aligarh, India, dan Sayyid Jamaluddin-i-Afghan (hlm. 403-404).
Banyak hal menarik yang bisa didapatkan dari buku yang dalam versi bahasa Inggris berjudul Destiny Disrupted: A History of the World through Islamic Eyes dan semula terbit pada tahun 2009 ini. Yang pertama dan utama, buku ini memberi sudut pandang alternatif (Islam) atas sejarah dunia yang selama ini cenderung Erosentris. Kedua, meski terbilang singkat dan tidak sangat detail, uraian dalam buku ini mampu menghubungkan titik-titik penting dalam sejarah dari sisi dialektisnya dengan sangat baik. Ketiga, cara bertutur buku ini sangat nyaman dan tak membosankan sehingga mudah untuk dicerna.
Kaum muslim yang membaca buku ini paling tidak dapat memaknainya sebagai pencarian akar identitas dirinya serta upaya untuk lebih memahami peristiwa-peristiwa penting di dunia saat ini yang melibatkan unsur Islam. Sebagai pencarian identitas, kaum muslim secara lebih mendalam sebenarnya sedang mencoba menjawab pertanyaan: apa makna menjadi seorang muslim di abad ini? Melalui buku ini, Tamim Ansary memberikan kilasan sejarah yang sangat penting untuk menjadi modal menjawab pertanyaan reflektif tersebut.
Karen Armstrong dalam bukunya, Holy War (2001), menghubungkan peristiwa Perang Salib dengan identitas kaum Eropa. Armstrong tak hanya mengaitkan Perang Salib dengan proses pembentukan identitas orang-orang Barat saat ini, tetapi juga menjelaskan bahwa Perang Salib juga terjadi di antaranya lantaran krisis identitas yang dialami orang-orang Eropa setelah keruntuhan Kekaisaran Romawi. Menjelang Perang Salib, orang-orang Eropa berusaha mencari jiwa-kristen baru untuk mendefinisikan ulang jati diri dan identitas mereka.
Namun pencarian identitas yang menjadi kerangka tutur buku yang diterjemahkan dengan sangat baik oleh Yuliani Liputo, seorang penerjemah senior, ini sama sekali tak menggiring pada arah yang cenderung agresif atau negatif, seperti yang diuraikan Armstrong dalam kasus Perang Salib dan orang-orang Eropa. Bahkan, Ansary sesungguhnya mendorong upaya untuk saling memahami kerangka pikir yang melandasi nalar sejarah Barat dan Islam (hlm. 561).
Dalam konteks inilah, bila dicermati dengan lebih mendalam, menempatkan sejarah dunia dari sudut pandang Islam sebagai sebuah upaya untuk mencari makna menjadi seorang muslim mau tidak mau akan mengantarkan kita pada sebuah ruang dialog, yakni dialog peradaban antara Islam dan Barat. Secara tidak langsung, Ansary dalam buku ini berusaha merajut sebuah ruang dialog yang lebih setara antara Barat yang saat ini dominan dan Islam yang cenderung dipinggirkan. Sebagai sebuah ruang dialog, buku ini amatlah menarik karena dapat menggambarkan perjumpaan kedua gugus peradaban tersebut secara proporsional. Dengan demikian, buku ini sekaligus sangat baik dibaca oleh kaum muslim sendiri maupun orang Barat yang selama ini cenderung merasa sendirian, apalagi setelah kehancuran Uni Soviet dan Fukuyama mencatatnya sebagai Akhir Sejarah.
Di halaman-halaman terakhir, Ansary menegaskan perihal ruang dialog ini, juga secara tidak langsung. Paling akhir, ia mengilustrasikan sejarah dunia dengan meminjam analogi seorang filsuf Jerman, Leibniz, yang menyatakan bahwa alam semesta ini terdiri dari “monad-monad”; setiap monad menyusun keseluruhan semesta; setiap monad dipahami dari sudut pandang tertentu; dan setiap monad memuat semua yang lain. Dari ilustrasi ini, Ansary menegaskan tugas bersama untuk menyusun sebuah sejarah-bersama yang tiada lain dilakukan dengan menyusun langkah-langkah kecil bersama menghadirkan sudut pandang tertentu atas sejarah. Jika dipikirkan secara mendalam, terutama mempertimbangkan keberagaman latar dan peradaban manusia saat ini, menyusun sejarah-bersama akan menjadi tugas yang sangat besar. Namun itu semua akan cair dan menjadi ringan jika ruang dialog seperti yang berusaha dibangun Ansary melalui buku ini terus dirawat, diperluas, dan dikembangkan—tentu saja dengan landasan ketulusan.
Wallahualam.
Bacaan Pendukung
Armstrong, Karen. 2001. Holy War: The Crusades and their Impact on Today’s World. Edisi Kedua. New York: Achor Books.
Cassirer, Ernst. 1944. An Essay on Man: An Introduction to a Philosophy of Human Culture. New York: Doubleday.
Dhofier, Zamakhsyari. 1994. Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kyai. Cetakan Keenam. Jakarta: LP3ES.
Engineer, Asghar Ali. 2000. Devolusi Negara Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Eriyanto. 2001. Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta: LKiS.
Hillenbrand, Carole. 1999. The Crusade: Islamic Perspectives. Edinburgh: Edinburgh University Press.
Marewo, N. 1995. Lambo. Yogyakarta: Bentang Budaya.
Shihab, M. Quraish. 2011. Membaca Sirah Nabi Muhammad saw. dalam Sorotan al-Qur’an dan Hadits-Hadits Shahih. Jakarta: Lentera Hati.
Viviano, Frank. 2005. “Armada Raksasa dari Timur”. National Geographic Indonesia, Juli 2005.
Tulisan ini dimuat di Jurnal 'Anil Islam, Volume 4, Nomor 2, Desember 2011, terbitan Institut Ilmu Keislaman Annuqayah, Guluk-Guluk, Sumenep. Read More..