Dari kutipan ini, tampak Alatas menggiring kita untuk sedikit mengesampingkan soal objektivitas atau keberjarakan peneliti dengan subjek yang dia teliti dalam pengertian konvensional. Alatas mengajak kita untuk masuk tidak saja ke ruang refleksi tentang identitas yang semakin kompleks, tapi juga ke dalam ketegangan personalitas dan sosialitas manusia yang mungkin dapat dikatakan merupakan salah satu diskursus filosofis tentang manusia yang lebih luas. Sosialitas dan personalitas tak harus dilihat dalam posisi yang bertentangan. Justru ketegangan di antara keduanya dapat menjadi nilai lebih, termasuk dalam konteks penelitian ilmiah.
Salah satu persoalan dalam penelitian ilmiah adalah soal objektivitas. Peneliti harus dapat mengambil jarak dengan objek material yang akan dia cermati. Bagaimana jika posisi peneliti adalah bagian dari objek yang akan dia teliti?
Masalah ini telah melahirkan perdebatan tentang posisi insider dan outsider dalam penelitian ilmiah dan telah menjadi tema diskusi penting yang terus berkembang. Dalam khazanah studi agama, saya pernah diperkenalkan dengan tulisan Kim Knott yang membahas masalah ini. Knott membuat pembedaan posisi insider dan outsider dalam empat kategori: complete observer (peneliti seutuhnya), observer as paticipant (peneliti sebagai partisipan), participant as observer (partisipan sebagai peneliti), dan complete participant (partisipan seutuhnya).
Belakangan, melalui buku Ismail Fajrie Alatas saya mendapatkan rujukan beberapa sarjana lain mengenai diskursus masalah ini. Alatas mengutip tiga sumber dalam diskusi masalah ini, yakni karya Lila Abu-Lughod (1988) berjudul “Fieldwork of a Dutiful Daughter” dalam buku Arab Women in the Field: Studying Your Own Society, Nathaniel Mackey (1992) berjudul “Other: From Noun to Verb”, Gayatri Spivak (1992) berjudul “Acting Bits/Identity Talk”, dan buku karya Trinh T Minh-Ha (1989) berjudul Woman, Native, Other: Writing Postcoloniality and Feminism.
Alatas mengutip tiga sumber itu dalam bukunya What is Religious Authority (2021) di akhir bab pertama saat menjelaskan problem metodologis terkait subjek yang dia tulis. Buku itu membahas tentang Habib Luthfi, sedangkan Alatas juga adalah seorang muslim Indonesia dari kalangan Ba Alawi—sama seperti Habib Luthfi. Lalu apa kata Alatas?
The extended time I have spent outside Indonesia since I was fourteen and the historical and anthropological training that I have received have created some measure of critical distance to the tradition and culture that I was born into.
Lamanya waktu yang saya habiskan di luar Indonesia sejak berusia 14 tahun serta pendidikan sejarah dan antropologi yang saya peroleh menciptakan jarak kritis dengan tradisi dan budaya tempat saya lahir.
Di sini Alatas menyampaikan tentang jarak kritis yang dapat dia ciptakan dengan objek yang dia teliti yang terbentuk oleh dua faktor: pendidikan sejarah dan antropologi yang dia peroleh, dan waktu yang dia habiskan di luar Indonesia mulai dia berusia 14 tahun.
Yang lebih menarik, di bagian akhir pendahuluan, Alatas menulis:
In my view, the best anthropological research is one that maintains, rather than ignores or suspends, the tension between estrangement and intimacy and uses it to sketch a simultaneously objectifiable and personal, but nevertheless incomplete, picture of human sociality that “arises from within human sociality.”
Bagi saya, penelitian antropologi yang paling baik adalah yang mempertahankan, dan bukannya mengabaikan atau mengesampingkan, ketegangan antara keterasingan dan kedekatan serta menggunakannya untuk membuat sketsa gambaran sosialitas manusia yang dapat diobjektivikasi sekaligus bersifat pribadi. Sketsa tersebut tentu tidak akan pernah lengkap karena ia “muncul dari dalam sosialitas manusia” itu sendiri.
Lalu bagaimana tentang jarak kritis yang terbentuk melalui proses pendidikan? Saya percaya bahwa proses pendidikan secara umum akan dapat membentuk sikap kritis untuk bersikap objektif atau memupuk kemampuan mengambil jarak dengan objek yang sedang diamati. Ini adalah kemampuan khas manusia. Tanpa pendidikan akademik pun, kemampuan mengambil jarak ini sudah dimiliki oleh manusia. Melalui proses pendidikan yang intensif, kemampuan ini akan semakin kuat.
Karena itu, ketika kemarin ada yang mempertanyakan kepada saya “…kamu mau meneliti pesantren atau kiai di Madura, kira-kira bagaimana kamu bisa mengambil jarak dan bersikap objektif? Jangan-jangan nanti penelitiannya hanya melegitimasi hal tertentu dari apa yang sudah mapan di pesantren di Madura selama ini…”, saya santai saja.
Saya pernah menulis tentang hal-hal yang saya merupakan bagian di dalamnya. Saya pernah menulis hal-hal yang memungkinkan saya mengalami bias personal dalam tulisan saya. Tapi nyatanya saya tidak selalu terjerembab ke dalam sikap buta dan bias sepenuhnya. Saya tetap bisa mengambil jarak—dengan batas-batas tertentu. Seperti tulisan saya tentang sastra pesantren, yang dibilang bias oleh Ariel Heryanto (2014: 72-73), tapi juga mendapatkan apresiasi oleh Ariel karena ada catatan kritis yang saya kemukakan di sana.
Tapi komentar tentang atas sikap objektif itu tentu tak bisa saya lewatkan begitu saja. Komentar itu memancing pertanyaan lebih jauh: kalau Alatas mengemukakan dua unsur yang berperan untuk dapat menciptakan jarak kritis agar dapat bersikap objektif secara proporsional, lalu apa kira-kira faktor lain yang dapat berperan untuk menjaga jarak kritis tersebut?
Mari, bantu saya untuk menjawab pertanyaan ini lebih lanjut.
Keterangan: kutipan terjemahan dari buku Ismail Fajrie Alatas diambil dari terjemahan versi Penerbit Bentang/Mizan (2024).
Jumat, 01 Maret 2024
Objektivitas dan Jarak Kritis
Label: Diari BIB, Reflection
Minggu, 08 Mei 2016
Membagi Cinta
Seperti apa rasanya membagi cinta? Itu pertanyaan yang tiba-tiba muncul dalam pikiran saya saat anak kedua saya lahir Jum’at sore kemarin.
Saya tiba di rumah saat istri saya sudah selesai melahirkan dan makhluk mungil yang beratnya 3,5 kg itu sedang dimandikan oleh bidan desa di halaman rumah. Saat itu banyak orang di halaman rumah karena kebetulan ada acara rutin muslimatan sore itu. Di antara kerumunan orang, saya melihat anak pertama saya yang sedang digendong.
Dia terlihat seperti bangun tidur. Saya pikir dia mungkin juga agak bingung melihat keramaian orang dan makhluk kecil baru yang sedang menjadi pusat perhatian. Apakah wajahnya juga menyimpan semacam kekhawatiran?
Dalam usianya yang masuk di bulan keenam belas, dia memang belum bisa berkomunikasi dengan sempurna layaknya orang dewasa. Tapi saya berpikir bahwa cara dia memahami keadaan sudah cukup baik. Untuk hal-hal sederhana, dia sudah bisa mengerti, seperti jika saya meminta (dengan kata-kata) barang yang sedang dipegangnya atau ada di dekatnya.
Menyaksikan adanya tanda-tanda bahwa akan ada pusat baru di lingkungannya, saya pikir cukup wajar jika dia memperlihatkan wajah khawatir. Lalu saya berpikir: seperti itukah mungkin rasanya kekhawatiran yang timbul dalam hal keharusan berbagi cinta?
Hadirnya anak kedua ini di satu sisi bagi saya adalah semacam ujian: seberapa bisa saya mampu membagi cinta untuk kedua anak saya—juga untuk istri saya. Secara manusiawi, kita bisa memiliki kecenderungan untuk lebih condong pada sesuatu yang berstatus setara, seperti pada teman, murid, guru, anak, dan sebagainya. Terhadap anak, tentu kita harus bisa memperlakukan mereka secara adil. Jangan sampai yang satu merasa lebih diperhatikan dan yang lain merasa kurang.
Bagaimana saya bisa berlaku adil untuk kedua anak saya dalam mencurahkan perhatian dan cinta saya untuk mereka? Apa ukurannya bahwa saya sudah berlaku adil?
Bagi saya, pertanyaan ini bukan semata pertanyaan teoretis yang mungkin tidak cukup mudah dijawab. Ini juga persoalan praktis tentang bagaimana saya mengendalikan diri dari sikap berlebihan yang berada di luar batas kepantasan. Saya teringat peringatan Allah swt dalam surah al-Ma’idah [5] ayat kedelapan agar jangan sampai kebencian kita yang berlebihan pada suatu kelompok dapat menghilangkan sifat adil yang mestinya kita pegang. Al-Razi dalam tafsirnya menjelaskan bahwa terhadap orang kafir pun Allah menuntut sikap adil (mungkin bisa juga disebut sikap yang proporsional dan objektif). Apalagi pada sesama saudara (seiman).
2 x 24 jam telah berlalu. Dalam waktu yang singkat ini, saya menyaksikan bagaimana anak pertama saya melihat adik barunya. Saat baru lahir dan baru dimandikan, saya yang mengendong anak pertama saya berusaha untuk mengenalkannya dengan mendekatkannya dan mengarahkan tangan anak pertama saya agar menyentuh adik barunya. Tapi waktu itu anak pertama saya menolak—mungkin karena masih memandang adiknya sebagai makhluk baru yang asing.
Malam hari di hari kelahiran, anak pertama saya sudah mau menyentuh adiknya. Bahkan sudah belajar memberi ciuman ringan meski tetap berada dalam pantauan ketat saya. Namun sesekali saat istri saya menggendong bayi barunya atau saya yang menggendong, si anak pertama kadang berteriak seperti ingin mendapat perhatian juga.
Saya kemudian berpikir bahwa kehadiran anak kedua ini bukan hanya ujian buat saya, tapi juga buat kami sekeluarga, dalam hal membagi cinta dan perhatian. Dalam rentang waktu yang panjang, saya pikir saya juga perlu memberi ruang dan teladan bagi si anak pertama agar ia bisa belajar tentang bagaimana berbagi dan membagi cinta dan perhatian. Sebenarnya menurut saya kalimat ini salah, karena saya pikir saya juga bisa berstatus belajar pada anak saya atau istri saya dalam soal ini. Jadi yang tepat mungkin bentuk relasi “saling” atau mutualisme.
Saya berharap bahwa keberkahan untuk kami sekeluarga bisa datang melalui kehadiran anak kedua saya yang lahir dengan relatif mudah pada Jum’at sore kemarin ini. Keberkahan ini bukan hanya untuk hal-hal yang bersifat duniawi dan material, tapi juga untuk menjadi jalan bagi kedewasaan dan kematangan jiwa kami sekeluarga.
Semoga Allah memberkahi kami sekeluarga.
Label: Family Life, Reflection
Kamis, 19 November 2015
Pelajaran Bahasa
Bahasa apakah yang dapat menghubungkan seseorang dengan orang lain yang belum atau tidak bisa berbicara? Apakah memang mungkin ada komunikasi antara dua orang yang salah satunya belum atau tidak bisa berbicara?
Beberapa bulan ini, saat menemani anak saya bermain-main untuk waktu yang relatif lama, saya kadang berpikir tentang komunikasi yang tengah berlangsung di antara kami. Anak saya sekarang belum genap berumur 10 bulan. Kemampuan verbalnya belum seberapa. Dia belum bisa mengucapkan satu kata yang bermakna. Bisanya hanya mengoceh sesukanya.
Lalu saat saya bersamanya, menemaninya, sementara dia kadang sibuk sendiri dengan membongkar-bongkar barang yang sudah ditata di ruangan, apakah di antara kami sebenarnya ada jalinan komunikasi? Ada kalanya saya menggodanya dengan bermain semacam petak umpet. Atau saya memancing perhatiannya dengan barang yang bisa mengeluarkan bunyi tertentu. Bisa saja dia tersenyum memperlihatkan dua giginya yang tumbuh di bawah. Tapi kadang dia bergeming atau tetap dengan kesibukannya.
Saya tak bisa menjawab secara pasti bentuk komunikasi apa yang sebenarnya kami jalin. Kami kadang bersama untuk waktu yang cukup lama. Bisa 2 hingga 3 jam. Apa mungkin memang ada orang yang berada bersama di satu tempat tapi di antara mereka tidak terjalin komunikasi?
Di antara pertanyaan-pertanyaan yang datang dan tersimpan itu, saya lalu teringat salah satu bagian dalam buku Robert Frager, Obrolan Sufi. Frager menulis tentang pelayanan orangtua pada anaknya, bahwa itu adalah bagian dari pelajaran cinta, saat kita mulai belajar mengatasi narsisisme dan mengobati egoisme dan perhatian pada diri sendiri. Memiliki anak menurut Frager adalah terapi kejut versi Tuhan agar manusia belajar mencintai dengan tulus sehingga potensi jiwanya yang bersifat ilahi dapat tumbuh.
Jadi saya lalu berpikir bahwa ini adalah sebentuk komunikasi spiritual. Saya tidak tahu apakah ini bisa disebut dengan istilah komunikasi. Tapi mungkin bahwa dalam perjumpaan-tanpa-bahasa antara saya dan anak saya itu, saya sebenarnya sedang belajar bahasa cinta. Bukankah cinta adalah bahasa semesta?
Tadi pagi hingga siang, setelah sekitar empat hari tak berjumpa, saya kembali belajar bahasa itu. Saya menemaninya sambil saya menyalin beberapa berkas di komputer, juga sambil membuka-buka buku bacaan. Saya juga mendampinginya saat ia mulai menarik-narik jemuran kecil di serambi dalam rumah. Kadang ia berusaha berdiri di satu sisi dan melangkah ke samping sambil tangannya tetap meraih mencari pegangan. Bila saya menemaninya dengan tiduran, dia suka sekali menggunakan tubuh saya sebagai tempat latihannya berdiri.
Bahasanya kadang hanya dengan rengekan. Saya berusaha menerka. Kadang karena haus, kadang karena mengantuk. Saat saya menafsir, saat itu juga mungkin saya sedang berusaha perlahan belajar bahasa cinta.
Pertanyaan berikutnya, bagaimanakah pelajaran yang sedang saya ikuti ini nantinya akan berubah bentuk saat ia sudah bisa melafalkan kata-kata dan mengucapkan kalimat secara lengkap sesuai dengan kaidah bahasa? Di manakah pelajaran bahasa cinta itu akan termuat? Apakah bahasa semesta ini akan sirna perlahan dimakan rutinitas bahasa yang sudah sifatnya biasa?
Rasanya saya pantas khawatir bahwa pelajaran berharga ini bisa saja akan menghilang di kelas kehidupan saya. Lalu bagaimana saya dapat memastikan bahwa pelajaran ini dapat terus berlangsung dalam jalinan relasi antara saya dengan anak saya?
Label: Family Life, Reflection
Senin, 27 Juli 2015
Harga Gila
Dalam situasi apa Anda merasa tertipu saat berbelanja? Saya punya pengalaman buruk berbelanja yang baru terasa setelah saya tiba di rumah. Saat memeriksa struk belanja di rumah karena akan saya salin ke dalam catatan pengeluaran yang biasa saya tulis di komputer, saya tersadar bahwa ternyata harga yang saya bayarkan untuk barang tertentu ternyata sungguh gila!
Kok bisa ada harga gila? Harga gila yang saya maksud adalah harga yang tidak wajar, yakni jauh melebihi harga biasanya di tempat belanja yang berbeda. Kebetulan, barang yang saya beli tadi juga saya beli 10 hari sebelumnya di tempat yang berbeda. Saya sangat jengkel karena harganya jauh berbeda.
Bayangkan! Di toko tempat tadi pagi saya berbelanja, harga satuan barang A tercatat Rp 7.300,-. Padahal, di toko yang lain, 10 hari yang lalu saya membelinya dengan harga satuan Rp 5.000,-! Sementara itu, untuk barang B, tadi pagi saya membeli dengan harga satuan Rp 6.300,- sedangkan untuk barang yang sama 10 hari lalu saya membelinya dengan harga Rp 4.200,-!
Para pembaca yang budiman. Anda mungkin pernah mengalami hal serupa dan mungkin juga mengetahui bahwa ada toko tertentu yang memang menjual beberapa barang dengan harga yang lebih mahal. Tapi perbandingan beda harga yang saya temukan ini sungguh terlalu jauh: dua barang itu lebih mahal 46% dan 50%! Gambarannya, untuk barang B, di toko tempat tadi pagi saya berbelanja Anda akan mendapatkan 2 barang, sedangkan di tempat lain Anda bisa mendapatkan 3 barang!
Memangnya di mana tadi pagi saya berbelanja, dan di mana tempat belanja saya 10 hari sebelumnya? Tadi pagi saya berbelanja di toko ritel swalayan modern (waralaba nasional) dan 10 hari lalu saya berbelanja di toko swalayan lokal. Keduanya sama-sama berada di kota Pamekasan.
Saat tadi pagi masih gemas dengan fakta yang saya temukan, saya jadi teringat beberapa bulan lalu saat secara tak sengaja melihat label harga sebuah makanan ringan di ritel swalayan modern serupa yang harganya juga sungguh gila. Saya lihat harga satuannya Rp 2.400,- padahal di swalayan lainnya saya tahu bahwa harganya Rp 1.500,-! Lebih mahal 60%!
Saya pikir pembaca yang budiman juga punya pengalaman yang sama atau mirip di toko eceran yang saya maksud, yakni bahwa ada beberapa barang yang harganya sungguh gila!
Memang, yang namanya swalayan mengasumsikan bahwa pembeli sudah sadar dengan harga barang yang akan dia beli. Tapi, saat sedang terburu, pembeli mungkin tidak sempat memperhatikan label harga yang tercantum.
Secara pribadi, sebenarnya saya memang berusaha agar sebisa mungkin tidak berbelanja di toko eceran seperti tempat tadi pagi itu. Alasan utamanya mungkin bisa dibilang cukup ideologis: masuknya toko eceran swalayan modern ke pelosok beberapa tahun terakhir ini dinilai oleh banyak pihak sebagai serangan bagi pengusaha kecil di tingkat lokal. Ritel-ritel itu pelan-pelan dapat membunuh pengusaha lokal dan pasar tradisional. Padahal, pasar tradisional merupakan ruang publik yang bernilai penting secara sosial dan budaya—selain ekonomi.
Beberapa pihak memprotes kebijakan pemerintah lokal yang terkesan cukup longgar dalam memberi izin. Namun, bukankah keputusan berbelanja di mana dan apa itu pada akhirnya berada pada tingkat individu?
Demikianlah, pembaca yang budiman. Pengalaman tadi pagi tampaknya harus menjadi pengingat yang tegas buat saya atas niatan saya untuk sedapat mungkin tidak berbelanja di ritel modern (waralaba nasional) itu.
Itu yang sifatnya personal. Lalu bagaimana melihat pengalaman tadi dari sudut pandang sosial? Ada beberapa pertanyaan yang kemudian muncul. Misalnya, apakah tidak ada regulasi yang mengatur harga jual barang jika ternyata harga jualnya sungguh tidak wajar? Atau, jika mau mengeluh, kepada siapa masyarakat menyampaikannya?
Sekali lagi, pengalaman berbelanja tadi pagi ini mengajak saya untuk kembali merenung dan mengingat bahwa ada banyak aspek terkait dengan kegiatan konsumsi kita sehari-hari. Itu bisa sesuatu yang terkait dengan problem etis (seperti terkait isu keadilan lingkungan) atau bahkan mungkin juga ideologis dan politis. Pada akhirnya, pada tingkat individu, ini menegaskan pentingnya menjadi konsumen yang kritis dan bertanggung jawab.
Label: Ethics, Public Service, Reflection, Social-Politics
Sabtu, 05 Juli 2014
Merawat Silsilah Keimanan
Saat beberapa pekan lalu berada di tengah puluhan bahkan mungkin ratusan peziarah di makam Maulana Malik Ibrahim di kota Gresik, saya bertanya-tanya: apa yang membuat orang-orang ini beramai-ramai datang ke tempat ini? Apa sebenarnya yang menjadi penarik atau magnet di tempat ini sebagaimana di makam-makam Wali Songo lainnya?
Meski dibesarkan di lingkungan pesantren, saya baru tersadar bahwa ternyata lingkungan terkecil saya, yakni keluarga dan perkampungan Pesantren Annuqayah di Guluk-Guluk, Sumenep, rasanya tidak memiliki tradisi ziarah yang sangat kuat. Tak ada rombongan ziarah yang sifatnya rutin dan diikuti oleh jumlah yang besar ke makam Wali Songo setiap tahunnya.
Saya mendengar kisah orang-orang yang berziarah ke makam Wali Songo atau makam para wali dan ulama lainnya dengan latar nazar tertentu. (Dalam tradisi Islam, nazar berarti janji untuk berbuat sesuatu (dalam hal ini: berziarah) saat maksud seseorang terkabul.) Ada pula orang yang berziarah lantaran sedang menghadapi satu masalah berat yang ingin diselesaikan atau memiliki hajat tertentu yang ingin diwujudkan.
Tentu saja saya tak bisa menebak isi kepala orang-orang yang saya lihat saat itu. Para peziarah itu, yang di antaranya saya lihat mengenakan pakaian seragam, masing-masing menyimpan maksud kedatangannya ke tempat itu dalam dirinya masing-masing. Saya sendiri saat itu sebenarnya berada di tempat itu selama beberapa waktu secara kebetulan.
Namun, saat saya sadar bahwa saya ada di makam Maulana Malik Ibrahim, saya jadi terpikir sesuatu. Saya teringat buku-buku sejarah Wali Songo dan buku sejarah masuknya Islam di Indonesia, seperti yang ditulis Agus Sunyoto dan Azyumardi Azra. Ingatan saya menyebutkan bahwa Maulana Malik Ibrahim yang inskripsi makamnya bertuliskan angka tahun 882 H/1419 M dianggap sebagai penyebar Islam tertua di tanah Jawa. Dalam buku Atlas Wali Songo (2012), Agus Sunyoto mengutip pendapat beberapa sejarawan yang menegaskan hal ini.
Tepat dalam statusnya sebagai penyebar Islam tertua di tanah Jawa itulah pikiran saya mengatakan bahwa nilai penting ziarah ke makam Maulana Malik Ibrahim ini mungkin adalah untuk merawat dan menyegarkan jalinan silsilah keimanan saya. Jika Maulana Malik Ibrahim adalah penyebar Islam tertua di tanah Jawa maka tentu saja keyakinan keagamaan yang saya miliki dan ajaran keagamaan yang saya anut saat ini bersumber dari peranannya itu. Keimanan saya pastilah tersambung dengan kepercayaan yang serupa dengan Maulana Malik Ibrahim itu.
Saya jadi terpikir bahwa di setiap tempat, dengan skala yang sempit hingga luas, pastilah ada tokoh kunci yang menjadi pelopor dakwah Islam sehingga ajaran agama Islam menjadi hidup dan berkembang di sana. Dan dalam hal ini, Maulana Malik Ibrahim berada dalam konteks tempat dengan skala yang luas.
Menurut saya, sangat pantas kiranya kita memberi penghormatan dan berupaya merawat silsilah keimanan kita dengan cara yang secara subjektif cocok untuk diri kita masing-masing. Bagi saya, berziarah ke Maulana Malik Ibrahim dan atau para pelopor dakwah Islam lainnya, seperti untuk wilayah Madura kita mengenal Kiai Kholil Bangkalan, dapat menjadi upaya reflektif dan spiritual untuk merawat dan menyegarkan bangunan keimanan diri saya.
Yang pertama mungkin semacam rasa syukur dan penghormatan, karena mereka, para ulama dan pendakwah itu, telah menjadi perantara bagi sampainya keimanan dan ajaran Islam pada diri saya. Selain itu, kadar ketokohan, spiritualitas, serta kecintaan dan kedekatan mereka dengan Allah swt pada tingkat tertentu nilainya sangatlah istimewa, sehingga menjadi faktor penting yang membuat umat Islam tertentu seperti saya yang dibesarkan dalam tradisi pesantren bertawasul (tawassul) melalui para wali tersebut.
Kerangka seperti ini tampaknya penting untuk digarisbawahi untuk memberi nilai lebih pada kegiatan ziarah yang selama ini sering dilakukan oleh umat Islam Indonesia pada khususnya. Ziarah ke para wali atau ulama jika bisa jangan hanya dilakukan lantaran adanya keperluan yang sifatnya “pragmatis” saja, tapi juga diletakkan sebagai upaya untuk menelusuri jalinan keimanan kita dan merefleksikannya secara subjektif dalam diri kita masing-masing. Dengan demikian kita berharap agar bangunan keimanan kita dapat terus terawat dan dapat tersambung ke sumber pokok keimanan kita, yakni Allah swt.
Hanya Allah-lah yang dapat memberi pertolongan untuk kita. Wallahu a‘lam.
Label: Journey, Reflection, Religious Issues, Spirituality
Senin, 26 Mei 2014
Saat Kacamata Pengetahuan Mengubah Dunia
Pernahkah Anda merasakan situasi saat pengetahuan atau informasi tertentu menempatkan Anda di posisi yang berbeda di dunia? Bagaimana sebenarnya pengetahuan atau informasi mengubah cara pandang Anda dalam melihat dunia?
Bayangkanlah tiga sosok manusia yang tengah mengunjungi sebuah kebun binatang atau, sebagai contoh agar lebih jelas, Taman Safari Prigen, Pasuruan. Tiga sosok itu adalah anak kecil, seorang dewasa biasa, dan satu lagi seorang dewasa yang pernah berkenalan dengan ide tentang animal welfare (kesejahteraan binatang).
Seorang anak kecil yang baru pertama kali melihat aneka binatang liar di Taman Safari tentu saja akan merasa sangat heran dan mungkin juga merasa riang. Dari dalam kendaraan, ia dapat menyaksikan binatang-binatang yang sebelumnya mungkin hanya ia kenal melalui gambar atau cerita gurunya. Binatang-binatang itu tak pernah ia jumpai di lingkungan tinggalnya sehingga pertama-tama ia mungkin akan merasa takjub. Mungkin ada banyak pertanyaan yang ia lontarkan, mulai dari nama, habitat, makanan, atau hal teperinci lainnya, yang bisa membuat orang dewasa yang menemaninya merasa terganggu dan mungkin sedikit kesal.
Seorang anak kecil mungkin akan menilai aneka satwa itu sebagai sesuatu yang eksotis: istimewa dan aneh. Saat ia berkesempatan melihat hewan-hewan itu secara lebih dekat, bisa jadi rasa takjub dan riangnya semakin bertambah. Sebagian rasa penasarannya mungkin terjawab. Namun keheranannya bisa bertambah saat ia menyaksikan beberapa hewan menampilkan pertunjukan sirkus di hadapan para pengunjung.
Ia menyaksikan beberapa ekor gajah menampilkan sepenggal kisah mereka di hutan, dikejar pemburu liar, menyelamatkan dan membela diri, terluka, ditolong polisi hutan, dan seterusnya. Gajah-gajah itu tampak begitu pintar dan terlatih, bisa memahami pikiran dan ucapan manusia, mampu mengikuti alur cerita sedemikian rupa, dan secara sangat baik memperagakan beberapa atraksi dengan amat mahir. Di akhir bagian, gajah-gajah itu dengan tenang melayani para penonton yang hendak foto bersama.
Di lain tempat, beberapa ekor lumba-lumba ia lihat berdansa penuh gaya, mengejar bola yang dilempar si pelatih ke udara, atau melompati lingkaran yang digantung di ketinggian. Mereka tampak begitu pintar. Mereka tampak begitu riang saat mendapatkan tepuk riuh para penonton.

Di mata seorang dewasa pada umumnya, Taman Safari dan berbagai pertunjukan satwa itu nilainya mungkin tidak seheboh tanggapan anak kecil yang pikirannya masih sederhana. Mungkin orang-orang dewasa itu akan membawa pengetahuan umum mereka saat mereka berjumpa dengan berbagai satwa itu. Mereka yang memiliki pengetahuan cukup baik di bidang biologi mungkin akan berusaha mencocokkan pengetahuan yang ia punya dengan apa yang ia saksikan. Mereka yang hanya punya pengetahuan umum mungkin hanya akan berpikir tentang tempat asal satwa-satwa itu dan bagaimana mereka bisa bertahan hidup di habitat baru mereka ini. Mereka mungkin membayangkan betapa sibuknya pengurus Taman Safari ini memberi makan satwa-satwa itu setiap hari. Apalagi satwa-satwa itu berjenis karnivora. Bagaimana pula cara para penjaga merawat kesehatan mereka?
Namun mungkin dunia akan tampak berbeda saat pengetahuan memberi kita kacamata yang akan memberi warna baru pada apa yang ada di hadapan kita.
Mungkin memang benar. Pada pandangan pertama, kita semua mungkin akan merasa takjub dengan pemandangan aneka satwa itu. Namun, berikutnya, pengetahuan kita tentang dunia satwa akan menjadi kacamata yang akan memberi warna tertentu dalam melihat lebih jauh satwa-satwa itu.
Mereka yang sudah pernah bertemu dengan gagasan tentang animal welfare (kesejahteraan binatang) mungkin akan melihat satwa-satwa itu dari sudut pandang yang berbeda. Secara sederhana, animal welfare adalah keadaan satwa yang sehat, nyaman, aman, dan sejahtera. Tiga tahun lalu, saya pernah mengikuti pemaparan Drh. Wita Wahyu, salah seorang anggota dewan penasihat ProFauna, tentang animal welfare ini. Menurut Drh. Wita, setidaknya ada lima hal yang harus diperhatikan untuk menjamin terpenuhinya animal welfare ini, yaitu bahwa satwa itu bebas dari rasa lapar dan haus, bebas dari rasa tidak nyaman, bebas dari rasa sakit, bebas mengekspresikan perilaku normal, dan bebas dari rasa tertekan.
Satwa liar dipandang punya hak untuk mendapatkan animal welfare. Manusia akan dianggap bersalah jika mengabaikan hak satwa liar ini.
Untuk contoh yang lebih konkret, kita bisa mengambil dari film The Cove. Film dokumenter tahun 2009 ini menuturkan perjalanan Rick O’Barry, seorang aktivis pembebas lumba-lumba, bersama rekan-rekannya dalam merekam penangkapan dan pembantaian lumba-lumba yang rutin dilakukan di sebuah teluk kecil di Taiji, Jepang. O’Barry, yang merupakan mantan pelatih lumba-lumba di serial televisi pertama yang menampilkan lumba-lumba, melalui film dokumenter yang mendapatkan penghargaan Academy Award 2010 sebagai film dokumenter terbaik ini membuka mata kita betapa lumba-lumba sirkus seperti di Taman Safari atau di tempat lainnya tak mendapatkan kenyamanan atau bisa kita sebut tersiksa.
Dalam The Cove, digambarkan bahwa di alam liar lumba-lumba bisa menempuh jarak sekitar 40 mil dalam sehari. Ia makhluk yang suka berkelana di tengah luas samudera. Bayangkanlah bagaimana rasanya saat ia dikurung dalam kolam yang luasnya tak seberapa.
Ric O’Barry juga menuturkan bahwa lumba-lumba itu makhluk akustik yang sangat peka dengan suara. Telinga adalah indra penting mereka. Di awal-awal industri hiburan lumba-lumba, kata O’Barry, banyak lumba-lumba yang tidak bisa bertahan lama di kolam karena sistem penyaringan suara yang buruk dan membuat lumba-lumba itu tertekan (stres) dan mati.
Bagaimana teknologi kolam lumba-lumba saat ini khususnya terkait dengan pengelolaan suara? Saya tidak tahu pasti. Yang jelas bisa kita lihat, seperti di Taman Safari, adalah soal ukuran kolam yang terbatas. Selain itu, saya juga teringat pemaparan O’Barry yang menjelaskan bahwa dalam industri hiburan lumba-lumba, digunakan obat-obatan tertentu untuk mengurangi tingkat stres lumba-lumba saat tampil menghibur.
Dalam The Cove digambarkan bahwa Taiji adalah penyedia terbesar lumba-lumba yang disalurkan ke tempat-tempat hiburan di dunia. Seekor lumba-lumba untuk sirkus bisa dihargai hingga 150.000 dolar Amerika. Di Taiji, lumba-lumba yang tidak cocok untuk sirkus diambil dagingnya. Diperkirakan, sekitar 23 ribu lumba-lumba ditangkap di Jepang setiap tahun.
![]() |
Poster film The Cove dan foto Rick O'Barry. Sumber gambar: Wikipedia |
Jadi, penampilan lumba-lumba sirkus yang kelihatan riang gembira itu tampaknya sungguh menipu. Apalagi para penonton yang hanya bisa melihat dari sisi luaran dan tidak mendapatkan informasi tentang lumba-lumba sirkus sebagaimana dalam film The Cove tersebut. Karena itu, di mata seorang dewasa yang sudah pernah menonton film The Cove, penampilan lumba-lumba di Taman Safari mungkin akan membuat ia sedih. Ia dapat memperkirakan penderitaan lumba-lumba yang tengah dipaksa menghibur ratusan penonton itu.
Apakah hewan-hewan sirkus semuanya menghadapi penderitaan seperti lumba-lumba itu? Saya tidak tahu pasti. Tapi konon hewan-hewan sirkus itu pada umumnya mula-mula dilatih dengan memadukan siksaan dan sistem reward and punishment. Ia dibuat paham dengan perintah tertentu yang dalam proses latihannya ia bisa disiksa bila tidak mengikuti perintah yang diinginkan dan akan diberi upah (dalam bentuk makanan) jika mau tunduk pada perintah.
Demikianlah. Pengetahuan tertentu kadang dapat memberi kita kacamata baru sehingga dunia akan tampak begitu berbeda dari biasanya. Memang kadang kacamatanya justru membuat kita gelisah, seperti dalam kasus lumba-lumba di atas. Kita tidak jadi terhibur menyaksikan lumba-lumba di Taman Safari, tapi mungkin jadi berpikir lebih jauh dan mungkin juga berempati. Ini mungkin termasuk jenis pengetahuan yang menggelisahkan—the awful truth, dalam istilah Michael Moore.
Jika dunia sudah tampak berbeda bagi seseorang yang punya pengetahuan, lalu bagaimana cerita selanjutnya? Apakah pengetahuan yang telah memberi kacamata berbeda itu dapat memberikan perubahan yang lebih nyata? Jika yang diharapkan adalah perubahan yang lebih nyata, dari manakah ia mestinya bermula? Bagaimana caranya? Hal apakah yang paling penting untuk mewujudkan dan memulai perubahan yang nyata ini?
Sampai di sini, alhamdulillah, saya diingatkan kembali dengan pertanyaan-pertanyaan mendasar yang menalikan pengetahuan dengan dunia dan perubahan nyata.
Wallahualam.
Baca juga:
>> Ironi Pengetahuan
Label: Environmental Issues, Ethics, Reflection
Sabtu, 16 Maret 2013
Air Hujan Mencari Jalan Pulang
![]() |
Air menggenang di tepi jalan masuk ke kompleks PP Annuqayah setelah hujan lebat mengguyur. Foto diambil pada 21 November 2008, dengan kamera Nokia E50. |
Di musim hujan, tak ada orang mengeluh soal kekurangan air. Namanya saja musim hujan. Air tumpah nyaris tiap hari dari langit. Tanah lebih sering basah. Tak ada debu beterbangan. Pohon-pohon segar menghijau dan bermekaran.
Namun coba ingat musim kemarau. Tanah kerontang. Debu akan sangat cepat menebal di bangku dan meja yang sehari dua hari tak dibersihkan. Pohon-pohon gersang. Orang akan enggan menanam pohon di musim kemarau, kecuali ia bersiap untuk secara rutin memberinya jatah air setiap satu atau dua hari.
Ke manakah perginya air hujan yang turun selama beberapa bulan di musim penghujan? Di manakah ia berada saat musim kemarau tiba?
Air hujan yang turun ke bumi itu selalu merindukan pulang. Tapi hamparan bumi telah memberinya nasib yang berbeda-beda.
Bersyukurlah kau, wahai air hujan, jika di saat musim hujan kau menemukan jalan yang lapang untuk masuk ke kedalaman tanah. Kau akan mengikuti akar-akar tanaman yang menghunjam ke perut bumi. Atau bisa saja kau akan menyusuri terowongan-terowongan mini yang dibor oleh si lemah cacing yang tak berkaki. Atau mungkin kau menemukan orang yang berbaik hati yang memberimu celah lebar, sumur resapan, sehingga kau lebih mudah diantar ke kedalaman.
Tapi jika tanah telah ditutupi aspal atau dilapisi semen, kau akan berjalan ke sana kemari, wahai air hujan. Catatan nasib dan perjalananmu akan lebih panjang. Kau harus berkelana lebih lama untuk menemukan jalan menuju pulang. Kau harus bergentayangan. Kau harus bekerja keras mencari sisa-sisa celah di antara sampah-sampah plastik yang menghadang jalanmu. Aspal, semen, dan plastik, terlalu keras untuk kau tembus. Dan perjalananmu mungkin harus lebih banyak di permukaan.
Jika kau harus bergentayangan dan bersusah payah mencari jalan pulang, mungkin akhirnya kau akan kesal. Lalu pikiranmu digelayuti hasrat untuk membalas dendam. Kau lalu berhimpun dan bergandeng tangan menyatukan kekuatan. Dan pesta pembalasan pun kau rayakan. Itulah yang mungkin secara langsung kau lakukan di musim hujan.
Sedang bila tiba musim kemarau, kau telah berada di sana di kejauhan, di sungai yang mengering dan lautan yang mulai kotor dengan sampah plastik. Kau tak menemukan tempat yang leluasa untuk berdiam di daratan, di kedalaman.
Jadi jangan heran, wahai manusia, bila saat kemarau air begitu jauh di sana, entah di mana. Karena tanah tak memberinya pintu untuk sekadar bertamu. Dan pohon-pohon pun mengerang kepanasan diterpa terik setiap siang. Dan tanah tak bisa lagi merasakan sejuknya pelukanmu, wahai air hujan.
Namun begitu, wahai manusia, jangan hanya bisa mengutuk pada nasib. Berbuatlah sesuatu. Mumpung masih musim hujan, mari bantu air menemukan jalan pulang.
Baca juga:
>> Diguyur Hujan
Read More..
Label: Environmental Issues, Reflection
Rabu, 21 Maret 2012
Lapis-Lapis Diri
Dalam kehidupan sehari-hari, saat menjalin hubungan dengan orang lain, seseorang akan hadir seumpama lapisan-lapisan yang membentuk struktur tanah. Ketika sedang berurusan dengan si A, saya hadir sebagai seorang guru Bahasa dan Sastra Indonesia. Bila berbincang dengan si B, saya tampil sebagai seorang mitra belajar dalam hal kepenulisan. Manakala berbicara dengan si C, saya hadir sebagai semacam catatan harian yang siap mendengar dan merekam lika-liku kehidupannya. Bersama si D, saya adalah gumpal kegalauan dari berbagai persoalan kemasyarakatan dan tantangan masa depan. Saat ada bersama si E, saya seperti petugas perpustakaan dunia yang sedang mencari koleksi-koleksi buku langka dan berharga. Berjumpa dengan si F, saya adalah peminat filsafat yang ingin menyelam ke dasar lautan dan mencari makna di tengah ketakmasukakalan dunia.
Sosok A, B, C, D, E, F, dan seterusnya, hingga tak berhingga, tampaknya dapat disebut sebagai para peubah yang membentuk lapis-lapis diri pada diri saya. Mereka berkenalan, hadir, dan hidup bersama saya, dengan kadar dan geloranya masing-masing, sambil mengembangbiakkan wajah-wajah saya yang beraneka rupa. Masing-masing tampak seperti memberi kartu pengenal yang berbeda-beda untuk saya, lalu kadang dipampangkannya di halaman atau di simpang jalan—atau sekadar mereka simpan.
Lapis-lapis diri ini juga tampak ibarat lorong yang menghubungkan saya dengan orang lain. Semakin dekat hubungan saya dengan seseorang, semakin banyak lorong yang menghubungkan saya dengan dirinya. Dalam sebuah jalinan profesional, misalnya, lazimnya seseorang hanya akan berhubungan dengan saya di satu lapis-diri saja. Kecil sekali kemungkinannya bagi dia untuk memasuki saya lewat lorong yang lainnya. Hanya di satu lorong itulah dia mendekati dan memahami saya.
Sebenarnya, pola jalinan-satu-lorong ini merupakan sesuatu yang wajar dalam kehidupan sehari-hari, karena saya memang tak akan mungkin selalu menjangkau orang lain dari lorong yang banyak. Urusan kehidupan terlalu banyak cabangnya sehingga saya pikir akan mubazir juga bila saya harus berbagi semuanya pada sebanyak-banyak orang.
Hanya saja, sulit dibantah bahwa pola jalinan-satu-lorong ini tampak semakin mengemuka di zaman ini, saat kehidupan semakin tersekat ke dalam lorong-lorong khusus dan lapis-lapis diri semakin terkotak dalam definisi yang sempit dan khusus, seperti apa yang kemudian disebut dengan profesi. Akibatnya, cara orang berhubungan dengan orang lain semakin terbatas ke dalam pola jalinan-satu-lorong ini.
Dalam kewajaran pola jalinan-satu-lorong ini, atau dengan lorong yang relatif tidak banyak, di antara lapis-lapis diri yang mendefinisikan seseorang, saya lalu berpikir tentang bagaimana masing-masing lapis diri itu menjadi landasan untuk menilai pribadi seseorang. Dalam pergaulan sehari-hari, orang lain memberi penilaian pada saya mungkin hanya di satu lapis diri saya saja. Atau mungkin dua. Yakni di lorong tempat dia lalu-lalang menjumpai saya. Atau dari pintu masuk yang baru saja dia lintasi. Karena itu, sangat mungkin saya akan dinilai dengan mutu pribadi yang sangat berbeda oleh dua orang yang bertamu pada saya melalui dua lorong, pintu, atau lorong-lorong yang berbeda.
Apakah ini semacam subjektivisme atau relativisme dalam memberikan penilaian? Saya kurang tertarik untuk melihat soal ini dari sudut pandang yang cenderung mengarah pada pengelompokan teoretis semacam ini. Pada soal ini, saya tampaknya lebih tertarik untuk melihatnya dalam kerangka yang lebih praktis dan mungkin sederhana. Saya ingin menempatkannya sebagai bagian dari keterbatasan saya untuk bisa memberi penilaian yang utuh pada orang lain, sehingga tampaknya sulit bagi saya untuk mencerna lapis-lapis diri orang lain sebanyak mungkin.
Saya bukanlah Raqib dan ‘Atid yang bekerja sepanjang waktu mencatat rekam jejak semua perbuatan seseorang. Saya hanyalah seorang guru yang bersama si A tiga atau empat jam pelajaran setiap pekan selama satu, dua, atau tiga tahun pelajaran. Saya hanyalah seorang murid yang mencerna dan menimba ilmu dari si B selama enam tahun, bersama-sama di kelas, dan di luar itu si B nyaris saya jumpai sama seperti orang kebanyakan.
Lalu dengan alasan macam apa jika saya kemudian kadang tergoda untuk seolah-olah menjadi seperti Sang Majikan Raqib dan ‘Atid?
Lapis-lapis diri saya, seperti juga orang lain, pun tidak senantiasa diam. Ia bergeliat, dengan perlahan, kadang tanpa terasa, kadang juga tak demikian. Suatu saat, mungkin saja salah satu lapisan itu akan bergerak dan mencipta semacam gempa mini dalam diri saya. Jika struktur lapisan diri kita tertata sedemikian rupa, bisa jadi gempa mini itu tak memakan korban. Tapi bisa juga gempa mini itu akan merombak struktur lapisan diri kita yang lain.
Saya berpikir tentang lapis-lapis diri ini terutama untuk saya sendiri. Maksudnya, saya sebenarnya sedang mencoba memahami diri saya sendiri, lapis-lapis yang menyusun dan membentuk diri saya di hadapan yang lain: keluarga, rekan, masyarakat. Di sela-sela pikiran saya ini, sekilas sempat terbersit pertanyaan, selain Tuhan apa mungkin akan ada orang yang nantinya akan mendekati saya dari lorong yang nyaris penuh dan utuh?
Sekali lagi, tulisan ini pada dasarnya dibuat agar saya sadar diri untuk melihat ke dalam diri saya. Tulisan ini bukan untuk menjadi lampu sorot untuk orang lain. Mungkin juga bisa dikatakan bahwa tulisan ini semacam jalan pulang ke ruang kecil dalam diri saya agar saya tak tersesat terlalu jauh dalam hiruk-pikuk kehidupan saat ini.
Label: Reflection