Tampilkan postingan dengan label Book Review: Economy. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Book Review: Economy. Tampilkan semua postingan

Selasa, 10 November 2015

Kompetisi Inovasi di Balik Revolusi Teknologi

Judul buku: Apple vs Google: Perseteruan Korporasi Besar yang Melahirkan Revolusi Teknologi Digital
Penulis: Fred Vogelstein
Penerbit: Bentang Pustaka, Yogyakarta
Cetakan : Pertama, Juni 2015
Tebal: viii + 372 halaman


Perseteruan dan persaingan merupakan hal yang menarik diikuti. Apalagi jika melibatkan subjek-subjek penting yang menjadi kunci perubahan masyarakat dan dunia.

Buku ini memaparkan persaingan keras dua perusahaan raksasa yang berperan penting dalam merevolusi kehidupan masyarakat saat ini: Apple dan Google. Disadari atau tidak, kedua perusahaan besar ini telah melahirkan sejumlah inovasi teknologi informasi yang membuat bentuk dan intensitas komunikasi dan pergaulan masyarakat mengalami perubahan yang luar biasa.

Fred Vogelstein, penulis buku ini, memulai kisah revolusioner oleh Apple dan Google dari latar dan detik-detik peluncuran iPhone oleh Apple pada tahun 2007. Setelah sukses dengan iPod, awal 2007 Steve Jobs mengumumkan bahwa Apple akan mencipta ulang telepon seluler bernama iPhone. Langkah Apple untuk masuk ke industri ponsel terbilang cukup berani. Kala itu, pembuat ponsel di Amerika sangat tergantung pada operator seluler karena ponsel dibundel dengan layanan seluler (hlm 32).

Namun, visi revolusioner iPhone menunjukkan hasil luar biasa. Dalam waktu 6 bulan pertama Apple sukses menjual 3,4 juta iPhone. Tahun berikutnya, Apple membangun toko aplikasi iTunes yang kemudian juga menjadi sumber pendapatannya.

Sementara itu, rencana Google untuk mengembangkan Android sebenarnya lebih dilatarbelakangi atas kekhawatiran Google atas seteru lamanya yakni Microsoft. Google khawatir Microsoft perlahan akan menyingkirkan mesin pencari Google dari ponsel berbasis Windows CE dan menggantikannya dengan mesin pencari produk Microsoft (hlm. 70).

Maka pada bulan Juli 2005, Google mengakuisisi Android dari Andry Rubin. Rencana besar Rubin saat itu, dengan digratiskan, Android sebagai sebuah sistem operasi (OS) akan menciptakan ekosistem perangkat lunak yang ujung-ujungnya dapat memberi keuntungan bagi Google (hlm. 74-75).

Saat itu Google sebenarnya tengah menjalin kerja sama dengan Apple untuk menyuplai iPhone dengan aplikasi andalan Google. Apple dan Google bersatu untuk melawan dominasi Microsoft. Namun, perkembangan di Android pada akhirnya membuat Apple dan Google saling berhadapan secara sengit.

Ketika ponsel Android pertama diluncurkan pada September 2008, Jobs marah. Meski tak ada kehebohan saat rilis Android, Jobs dapat melihat potensi kompetitif Android. Lebih dari itu, Apple merasa dikhianati karena Google masuk ke wilayah kerjanya. Kemarahan Jobs terbukti. Pada 2010, Android meledak. Pada akhir 2010, ada hampir dua ratus model ponsel Android di lima puluh negara (hlm. 189).

Apple menanggapi demam Android dengan iPad yang dijual pertama pada April 2010. Sekali lagi, Jobs berani mengambil risiko dengan iPad. Komputer tablet telah beberapa kali berusaha dibuat tapi selalu gagal. Namun iPad ternyata sungguh berbeda (hlm. 229).

Perseteruan Apple vs Google semakin memanas dengan pengajuan gugatan oleh Apple atas sejumlah perusahaan pembuat ponsel berbasis Android, seperti Samsung, HTC, dan Motorola. Yang paling heboh adalah kasus Apple vs Samsung pada 2012 yang dimenangi oleh Apple. Samsung diharuskan membayar ganti rugi $1 miliar meski tergugat masih mengajukan keberatan atas putusan ini.

Kisah perseteruan Apple vs Google dalam buku ini tersaji dengan data yang sangat lengkap yang di antaranya belum pernah disiarkan. Selain itu, gaya tutur Vogelstein sangat memikat. Pada banyak bagian, aspek dramatis persaingan Apple vs Google tersaji bak novel yang bisa membuat pembaca ikut tegang dan mungkin emosional.

Bagi mereka yang terjun di dunia kreatif, buku ini juga menggambarkan secara cukup detail proses kelahiran inovasi revolusioner dari rahim Apple dan Google. Lingkungan kerja yang tak biasa di Google, disiplin dan kerja keras yang luar biasa di Apple, keberanian menghadapi risiko dan pola pikir tak lazim, semuanya adalah beberapa kunci penting yang dapat tersimpul dari narasi di buku ini.

Selain itu, buku ini secara tidak langsung juga memberikan gambaran tentang tantangan era informasi yang kian kompleks. Revolusi teknologi digital yang dihasilkan oleh inovasi Apple dan Google benar-benar telah mengubah banyak aspek penting dalam kehidupan saat ini, seperti dalam cara orang belajar dan mengakses informasi, cara berkomunikasi, dan menikmati hiburan. Terkait hal itu, buku ini secara tidak langsung juga bisa mengajak pembaca untuk menjadi pribadi dan konsumen yang kritis di antara berbagai produk teknologi dan perubahan yang mengikutinya.


Versi yang sedikit diperpendek dimuat di Koran Jakarta, 10 November 2015
.


Read More..

Senin, 17 November 2003

Mencari Semangat Baru Dunia Bisnis

Judul buku : Sang CEO Bernama Aristoteles:
Sukses Berbisnis dengan Kearifan Filosofis
Penulis : Tom Morris
Penerbit : Mizan, Bandung
Cetakan : Pertama, Juli 2003
Tebal : 362 halaman


Kelesuan aktivitas bisnis bisa saja terjadi tanpa adanya serangan krisis moneter dan ekonomi akibat efek global. Kelesuan bisnis mungkin saja terjadi lantaran redupnya semangat dan kepuasan hakiki para pelakunya, sehingga aktivitas bisnis hanya menjadi kegiatan untuk menumpuk keuntungan material. Kelesuan semacam ini bisa berakibat telak bagi pertumbuhan kehidupan seorang manusia atau bahkan peradaban dunia, karena tak dapat dipungkiri bahwa kegiatan bisnis pun berakar pada keinginan manusia untuk mengecap kebahagiaan hidup.

Buku ini berusaha mengajak para pelaku bisnis untuk kembali ke kedalaman lubuk potensi kemanusiaan dengan mempertanyakan kembali konsep-konsep bisnis yang bersifat mendasar, menyangkut tujuan aktivitas bisnis maupun cara-cara untuk melanggengkan keunggulan bisnis. Maksud dari penjelajahan ke dunia kearifan filosofis kuno ini adalah untuk memasok semangat baru dalam berbisnis sehingga bisnis menjadi aktivitas yang membahagiakan dan tidak hanya menyumbangkan ketertekanan.

Tom Morris, penulis buku ini, tidak sepakat dengan orang-orang yang mengatakan bahwa kelesuan atau masalah dalam dunia bisnis khususnya diakibatkan oleh dunia eksternal. Menurut Morris, faktor terpenting saat seseorang berhadapan dengan masalah adalah kemampuannya untuk melihat ke dalam diri dan meninjau landasan dalam diri mengenai praktik dan hubungan bisnis yang dijalankan. Ada empat dimensi landasan dan jalan kearifan yang tertanam dalam diri manusia yang bila digali, dipelajari, dan dipraktikkan, dapat memberikan semangat baru dalam kegiatan bisnis, terciptanya kepuasaan dalam bekerja, dan diraihnya keberhasilan yang berkelanjutan dan berjangka panjang.

Keempat dimensi itu mencakup dimensi intelektual, estetis, moral, dan spiritual, yang mewujud dalam nilai kebenaran, keindahan, kebaikan, dan keutuhan. Buku ini menjelajahi keempat nilai mendasar ini dengan harapan agar seluruh potensi dan keunggulan manusia itu dapat teraktualisasikan sehingga dapat memberi kekuatan yang tak terbatas dalam menjalankan aktivitas bisnis.

Nilai yang pertama adalah kebenaran. Dalam konteks bisnis, kita dituntut untuk memupuk suatu lingkungan yang di dalamnya orang-orang tidak takut untuk mengutarakan kebenaran. Kebenaran, kejujuran, keterusterangan, harus dihargai sedemikian rupa sehingga terjalin iklim yang sehat untuk terus mengembangkan potensi dan kemajuan perusahaan. Kebenaran yang terlanggar akibat kebohongan, sekecil apa pun itu, hanya akan menimbulkan ketidakpastian berantai dan di situ tinggal menunggu waktu bagi timbulnya masalah yang bisa jadi akan lebih akut.

Ketika aktivitas bisnis menghadapi suatu masalah, pada saat itu tuntutan tersingkapnya kebenaran menjadi keniscayaan, karena hanya dengan itulah masalah itu akan dapat teratasi secara baik. Memang kadang pengungkapan kebenaran bisa menjadi sesuatu yang rumit dan dilematis, apalagi dalam lingkungan bisnis dengan sistem hierarki dan struktur yang kaku. Untuk itulah, pengungkapan kebenaran ini juga harus dapat terjalin sedemikian rupa dengan ketiga nilai lainnya yaitu keindahan, kebaikan, dan keutuhan.

Nilai keindahan amat sangat terkait dengan nilai kebenaran, karena keduanya memang lebih sering tampil bersama-sama. Bila kebenaran absen, keindahan sangat sulit ditemukan. Nilai keindahan ini penting diakomodasi dalam aktivitas bisnis sehari-hari karena dimensi estetis ini adalah bagian integral dari sosok manusia. Lingkungan kerja yang nyaman dan indah dijamin akan memacu kreativitas, produktivitas, dan konsentrasi kerja.

Moralitas yang tercermin dalam nilai kebaikan sering kali kurang dihargai dalam aktivitas bisnis. Moralitas sering digambarkan sebagai pembatasan dan pemaksaan. Morris menunjukkan bahwa moralitas diperlukan terutama dalam kerangka kesinambungan jangka panjang aktivitas bisnis, karena dengan mengindahkan moralitas sama halnya dengan berusaha menciptakan hubungan sosial yang harmonis di antara para pelaku bisnis. Prinsip dasar moralitas, terutama dalam berbisnis, adalah bahwa kita tidak boleh semata-mata mengedepankan kepentingan diri sendiri atau kelompok. Dengan memperluas cakrawala berpikir dalam konteks keuntungan yang lebih luas, jalinan bisnis akan dipoles cantik menjadi aktivitas yang mulia dan bermartabat.

Spiritualitas dalam berbisnis adalah penyelaman terdalam hakikat hidup yang berlandaskan pada nilai keutuhan. Upaya untuk menghidupkan spiritualitas dalam lingkungan usaha ditampakkan dalam perilaku yang manusiawi dengan kedalaman penghayatan makna yang menempatkan para pelaku bisnis dalam cermin kemanusiaan.

Semangat baru dunia bisnis yang hendak dibangun oleh Morris melalui buku ini tidak hanya akan menguntungkan bagi masa depan perusahaan semata. Tak dapat disangkal bahwa keempat dimensi nilai yang disosialisasikan dalam buku ini juga amat dibutuhkan dan sungguh bernilai bagi masa depan kehidupan dan peradaban manusia itu sendiri. Penggalian keempat nilai tersebut pada dasarnya adalah penggalian dan pengembaraan kedalaman diri manusia yang memiliki keunggulan dan potensi mulia. Apabila keempat dimensi nilai itu dipupuk dan dihujamkan dalam aktivitas bisnis, dan juga dalam kegiatan lainnya, maka tidak hanya kesuksesan material yang akan diraih para pelakunya. Kebahagiaan, kepuasaan, serta aktualisasi diri akan ditemukan, sehingga orang-orang bergerak ke arah yang lebih baik.

Buku berjudul asli If Aristotle Ran General Motors: The New Soul Business (1997) ini menunjukkan bahwa pengenalan diri amatlah dibutuhkan untuk dijadikan landasan kegiatan kita sehari-hari. Dengan mengenali diri secara baik dan tepat, langkah-langkah kita dapat terpandu menurut kebutuhan dimensi-dimensi diri (manusia) yang begitu kaya itu. Menghidupkan urgensi pengenalan diri seakan kembali kepada ungkapan terkenal filsuf Yunani Kuno, Sokrates: kenalilah dirimu sendiri (Gnothi se auton). Dengan kedalaman perspektif yang menggambarkan kearifan dan komitmen kemanusiaan dalam prinsip-prinsip yang disajikan dalam buku ini, tidak salah bila dikatakan bahwa jika Aristoteles memimpin General Motors, ia akan menerapkan cara pendekatan seperti yang diuraikan buku ini.


Tulisan ini dimuat di Koran Tempo, 16 November 2003.


Read More..

Kamis, 27 Februari 2003

Spiritualitas Para Pebisnis

Judul buku : The Corporate Mystic: Sukses Berbisnis dengan Hati
Penulis : Gay Hendricks dan Kate Ludeman
Pengantar : Haidar Bagir
Penerbit : Kaifa, Bandung
Cetakan : Pertama, Desember 2002
Tebal : xxxii + 248 halaman



Peraih Nobel Ekonomi 1998, Amartya Sen, menyatakan bahwa aktivitas ekonomi pada dasarnya adalah suatu kegiatan manusiawi biasa yang karena itu semestinya juga memperhatikan segi-segi etis. Bila dalam buku On Ethics and Economics Sen telah melakukan suatu eksplorasi yang lebih bersifat teoritik-konseptual dan lebih berkaitan dengan aspek makro ekonomi, maka buku ini mencoba menelaah pengalaman konkret para pebisnis sukses di Amerika dalam memberikan sentuhan etis dan spiritual dalam aktivitas bisnis mereka itu.

Buku ini didasarkan atas sejumlah wawancara panjang tak kurang dari seribu jam dengan ratusan pengusaha dan eksekutif perusahaan sukses di Amerika. Dari situ terungkap bahwa ternyata para pengusaha sukses itu amat layak disebut mistikus korporat (The Corporate Mystic), karena di perusahaan mereka mampu menampilkan sejumlah nilai dan karakteristik yang amat berkait dengan dasar-dasar spiritualitas universal dan perenial. Di antaranya adalah nilai kejujuran, visi ke depan dan fokus yang cermat, disiplin yang kuat, dan integritas.

Mereka menjalani hidup dengan asas-asas spiritualisme yang betul-betul hidup, nyata, dan empiris—tidak melulu konseptual apalagi dogmatik. Mereka berbisnis tidak hanya dengan mengerahkan kemampuan otak rasional, tapi juga dengan mengedepankan hati dan intuisi. Para pengusaha yang diteliti pada umumnya adalah sosok pemimpin yang mampu menerjemahkan spiritualitas menjadi kekuatan visioner yang mampu menggerakkan perusahaan menuju kesuksesan.

Pengamatan Hendricks dan Ludeman, penulis buku ini, menunjukkan bahwa sebagai pemimpin, mistikus korporat ini memiliki tiga modal utama: integritas yang mampu menonjolkan kejujuran sejati, visi yang mampu menegaskan niat, dan intuisi yang mampu menggenapi potensi kemanusiaan. Integritas di sini adalah suatu landasan kokoh bagi kesadaran akan dua kutub keberadaan kita: bahwa di satu sisi seseorang harus menjadi diri sendiri seutuhnya, dengan menampilkan kejujuran dan autentisitas kepribadian; sementara di sisi lain seseorang juga harus menyatakan rasa kebersamaan kemanusiaan dengan memandang perusahaan dari sudut semesta.

Sementara itu, visi dalam kepemimpinan adalah suluh kesadaran yang dapat menuntun pergerakan semua elemen perusahaan menghadapi tantangan masa depan. Yang menarik, mistikus korporat tidak hanya membiarkan visinya mendekam dalam pikirannya sendiri, tapi juga dialirkan pada anggota keluarga perusahaannya. Sedangkan naluri memberi ruang bagi kreativitas dalam memutuskan suatu persoalan yang menentukan, serta membantu arah perjuangan visi yang sudah jelas itu.

Ketiga karakter ini setelah diolah dan disinergikan mampu menghidupkan ruh perusahaan, sehingga perusahaan menjadi semacam media aktualisasi bersama. Ini berarti bahwa adonan integritas, visi, dan naluri pada gilirannya menghasilkan tanggung jawab, komitmen, dan kebersamaan. Komunikasi yang cair menjadi kata kunci lainnya yang memampukan semua elemen perusahaan menjadi bisa saling berempati dan mengolah gagasan-gagasan dengan terbuka untuk perubahan yang lebih baik.

Kualitas-kualitas moral yang ditemukan Hendricks dan Ludeman di kalangan pengusaha itu sebenarnya memang akan menegaskan hal yang sudah cukup lama disuarakan: bahwa ada dimensi etis dalam berbisnis yang perlu diperhatikan, karena itu juga adalah suatu faktor penting yang dapat mengantarkan kepada keberhasilan perusahaan itu. Kolapsnya perekonomian bisa bermula dari tercederanya moralitas dalam dunia bisnis. Contoh yang bisa dikemukakan di sini adalah kasus resesi ekonomi AS pada awal 1990-an yang terjadi akibat skandal perusahaan-perusahaan Saving and Loans yang menjajakan junk-bonds. Krisis ekonomi dan moneter yang terjadi di beberapa kawasan Asia Tenggara sejak 1998 pun ada yang melihatnya dari sisi ini.

Buku ini semakin menegaskan makna penting moralitas dalam kehidupan bisnis. Moralitas, atau lebih spesifik lagi: spiritualitas, akan memompakan kekuatan yang tak terkira untuk merawat daya hidup perusahaan. Maka tak aneh bila Hendricks dan Ludeman dalam buku ini meramalkan bahwa pengusaha yang sukses pada abad ke-21 akan menjadi para pemimpin spiritual. Mereka mungkin saja akan menyisihkan para spiritualis yang lain yang dibesarkan di masjid, gereja, kuil, atau wihara.

Ada dua catatan menarik yang dapat dikemukakan berdasarkan uraian-uraian dalam buku ini. Pertama, dengan menawarkan bentuk spiritualitas yang terlepas dari agama-agama formal, buku ini dari sisi lain adalah sebentuk tantangan terhadap agama-agama formal untuk dapat mampu mengembangkan tipe spiritualitas yang bersifat produktif, dapat membimbing manusia dalam kebersamaan dan kesuksesan. Kedua, karena buku ini amat menekankan bentuk spiritualitas dan dimensi etis dalam bisnis yang lebih erat dengan aspek kepemimpinan perusahaan, maka buku ini mengabaikan aspek eksternal dari kehidupan bisnis: negara. Persoalannya, mampukah sebuah pemimpin perusahaan yang spiritualis menggerakkan perusahaannya untuk hidup dengan nilai yang diyakininya itu bila ternyata ia berada dalam suatu sistem sosial-politik yang korup?

Lepas dari dua hal tersebut buku ini tentu amat layak diapresiasi. Tidak berlebihan untuk mengatakan bahwa keterpurukan ekonomi yang mendera bangsa kita juga disebabkan oleh terabaikannya dimensi etis ini. Dari buku ini kita dapat menggali bersama pengalaman pengusaha Amerika meraih sukses dan menangkap benang merah yang dapat diikatkan ke dalam kehidupan konkret kita sehari-hari.


Tulisan ini dimuat di Koran Tempo, 24 Februari 2003.


Read More..

Minggu, 19 Mei 2002

Sisi Lain Liberalisme Ekonomi Indonesia

Judul Buku : Mendobrak Sentralisme Ekonomi: Indonesia 1986-1992
Penulis : Rizal Mallarangeng
Pengantar : Dr Muhammad Chatib Basri
Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia (KPG), Jakarta bekerjasama dengan Yayasan Adikarya IKAPI dan The Ford Foundation
Cetakan : Pertama, Maret 2002
Tebal : xxx + 269 halaman


Rezim Orde Baru memang adalah sebuah pemerintahan sentralistik, totaliter, dan nyaris merengkuh setiap segi kehidupan masyarakat. Tetapi, yang menarik, pada pertengahan dekade 1980-an, terjadi pendobrakan terhadap model sentralistik dalam bidang perekonomian. Semenjak itu, secara diam-diam, praktik-praktik ekonomi Indonesia bercorak liberalistik.

Buku ini adalah studi serius terhadap liberalisasi ekonomi di Indonesia pada periode 1986-1992. Yang membedakan studi ini dengan kajian-kajian yang lain terletak pada dimensi yang dibidik. Studi ini berusaha mengeksplorasi peran gagasan dalam rentang historisitas proses liberalisasi ekonomi di Indonesia. Rizal Mallarangeng, penulisnya, memperkenalkan istilah “komunitas epistemis liberal”, yakni institusi yang menjadi semacam infrastruktur gagasan, variabel perantara yang memainkan peran penting dalam mengejawantahkan gagasan menjadi kebijakan.

Perspektif ini dipergunakan Mallarangeng dalam seluruh uraiannya, termasuk ketika di awal bagian memotret kebijakan ekonomi pada awal Orde Baru. Kelahiran Orde Baru dibarengi dengan semangat untuk membuka diri ke luar, mendorong langkah-langkah liberalisasi, menyehatkan mekanisme pasar, dan membuka pintu bagi perdagangan dunia. Adalah sekelompok intelektual yang kemudian dikenal dengan Mafia Berkeley, di antaranya Widjojo Nitisastro, Ali Wardhana, Emil Salim, yang menjadi pemasok dan pendorong gagasan mengenai hal ini, setelah sebelumnya melakukan kritik habis-habisan terhadap kebijakan ekonomi Soekarno yang terlalu mendasarkan diri pada pertimbangan politik, bukan rasionalitas ekonomi. Dan jelas, Soeharto bersama rezim Orde Baru mengakomodasi pemikiran-pemikiran kelompok ini.

Tetapi, Peristiwa Malari 1974 yang menelan banyak korban telah mengubah arah kebijakan Indonesia kembali dalam bentuknya yang sentralistik. Ini juga tidak lepas dari kritik para penentang kelompok Widjojo, seperti Muhammad Hatta, Soedjatmoko, atau Mochtar Lubis. Pasca-Malari, sentralisme ekonomi bertahan didukung oleh meningkatnya penerimaan negara dari sektor migas.

Ketergantungan terhadap sektor migas ini akhirnya justru menggoyahkan gagasan sentralisme ekonomi, ketika sejak 1981 harga minyak dunia anjlok. Ditambah lagi utang negara yang semakin membengkak. Pada saat itulah, kelompok Widjojo kembali menabur gagasan liberalisasi ekonomi. Yang menarik, tidak hanya kelompok lama (Widjojo dkk) yang mendukung gagasan ini yang notabene pernah atau sedang berada dalam lingkaran kekuasaan, tapi juga “orang luar” yang terdiri dari para ekonom, intelektual, peneliti, penulis, dan wartawan, sehingga lebih leluasa memasarkan gagasan-gagasan mereka. Merekalah kelompok komunitas epistemis liberal, yang di antaranya adalah Anwar Nasution, Kwik Kian Gie, Pande Raja Silalahi, Jakob Oetama, dan Nono Anwar Makarim.

Terhitung sejak tahun 1985, muncul beberapa kebijakan yang mengarah kepada semangat liberalisasi ekonomi. Seperti penghapusan dinas bea-cukai, pemangkasan sistem perizinan, reformasi sektor perbankan, atau kebijakan-kebijakan investasi yang memberi angin segar kepada investor asing. Beberapa tahun kemudian, terasa beberapa dampak liberalisasi, seperti menurunnya peran regulasi negara dan diambil alih oleh pasar, serta pertumbuhan pesat ekspor non-migas yang semakin meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi. Beberapa kenyataan tersebut pada sisi lain ternyata semakin memperlebar konstituen pendukung kebijakan ekonomi liberal.

Namun memasuki dekade 1990-an, ekonomi liberal Indonesia mengalami kelelahan deregulasi. Kritik bertubi terhadap liberalisasi kembali muncul. Ini dibarengi dengan tuduhan lahirnya monster baru yakni para konglomerat yang sebagian besar adalah keturunan Tionghoa yang justru semakin memperlebar kesenjangan sosial. Demikian pula mulai merebaknya gejala kroniisme. Dalam situasi demikian, Soeharto yang kekuasaannya sudah cukup mapan mengambil langkah-langkah individual melangkahi para pembantu ekonominya, yang semua itu dilakukan demi melanggengkan kursi kekuasaannya.

Buku yang diangkat dari disertasi Mallarangeng di The Ohio State University ini menunjukkan betapa segugus gagasan dapat mengubah jalan suatu peradaban. Dalam konteks Indonesia, kajian ini telah membuka dan memperkaya perspektif baru tentang ekonomi politik liberalisasi, yang pada gilirannya dapat diharapkan menjadi dasar-dasar pertimbangan pemikiran untuk memulihkan kembali ekonomi Indonesia yang saat ini lantak berantakan.


Tulisan ini dimuat di Harian Media Indonesia, 19 Mei 2002.


Read More..

Rabu, 27 Juni 2001

Dari Pasar Bebas ke Etika

Judul Buku: Masih Adakah Harapan Bagi Kaum Miskin?
Penulis: Amartya Sen
Penerbit: Mizan, Bandung
Cetakan: Pertama, Maret 2001
Tebal: xxxii + 140 halaman


Ilmu ekonomi termasuk ilmu yang berusia cukup tua. Aristoteles, seorang filsuf Yunani Kuno, mendefinisikan ilmu ekonomi sebagai ilmu tentang pengaturan rumah tangga (oikonomia, dari oikos dan nomos). Akan tetapi sejarah perkembangan manusia hingga memasuki milenium ketiga ini masih banyak diselimuti oleh berbagai fakta kegagalan ilmu ekonomi terutama dalam mengatasi kemiskinan, kelaparan, ketertindasan, kesenjangan, dan sebagainya.
Melalui buku ini, Amartya Sen, peraih Nobel Ekonomi tahun 1998, melakukan kritik epistemologis terhadap ilmu ekonomi modern yang gagal menjawab tantangan kemanusiaan. Kritik dan gagasan utama Sen dalam buku ini tercermin dalam judul asli buku ini, yakni On Ethics and Economics. Dalam buku ini Sen mengatakan bahwa selama ini ilmu ekonomi cenderung lebih berorientasi pada perkembangan pasar dan bisnis tingkat dunia saja tanpa memperhatikan proses-proses pembangunan ekonomi yang menurut kenyataannya telah merampas hak-hak asasi manusia.
Untuk mengakhiri kebuntuan tersebut sudah semestinya ilmu ekonomi melakukan tegur sapa dan dialog dengan bidang ilmu lain yang cukup penting, yakni etika. Asumsi dasarnya amat sederhana: kegiatan ekonomi pada dasarnya adalah suatu kegiatan manusiawi biasa yang karena itu semestinya juga memperhatikan segi-segi etis. Dengan memberi perhatian yang lebih besar secara eksplisit terhadap pertimbangan-pertimbangan etis inilah ilmu ekonomi nantinya dapat lebih bersifat efektif mengatasi persoalan-persoalan ekonomi masyarakat yang sebenarnya.
Kritik epistemologis Sen dimulai dengan suatu penyadaran sejarah bahwa sejak semula sudah lama ditegaskan keterkaitan ilmu ekonomi dengan bidang ilmu lainnya, seperti etika dan ilmu politik. Aristoteles misalnya dalam buku Nicomachean Ethics mengaitkan subjek ilmu ekonomi dengan tujuan-tujuan manusia. Dengan demikian, telaah ekonomi seharusnya juga mengikutkan pembahasan mengenai berbagai penilaian dan peningkatan tujuan yang bersifat lebih mendasar itu, yang dapat ditemukan dalam bidang etika pada level individu dan politik pada level struktur sosial.
Sen juga mengkritik pandangan ilmu ekonomi modern yang mengatakan bahwa dalam perilaku ekonomi sepenuhnya bersifat rasional. Rasional di sini bisa berarti sebagai konsistensi internal terhadap pilihan, atau mengidentifikasikan rasionalitas dengan maksimalisasi kepentingan diri. Sen secara tegas menolak kedua anggapan ini terutama karena dengan adanya asumsi perilaku rasional dalam aktivitas ekonomi, maka pendekatan etis diam-diam hendak dibuang jauh-jauh. Lagipula, menurut Sen, yang disebut dengan konsistensi yang murni itu sebenarnya amat bergantung kepada serangkaian penafsiran (subjektif) terhadap beberapa pilihan, dan bahwa kepentingan diri itu tidak serta-merta dapat mengantarkan kepada efisiensi atau efektifitas ekonomis.
Dalam soal kepentingan diri ini pula Sen memberikan penafsiran terhadap pemikiran Adam Smith dalam buku The Wealth of Nation yang oleh beberapa kalangan dianggap sebagai penolakan Smith terhadap pendekatan etis dalam ilmu ekonomi. Menurut Sen, ketika Adam Smith menulis: “Kita mendapatkan manfaat, bukan karena rasa kemanusiaan mereka melainkan karena kecintaan mereka pada diri sendiri, dan jangan pernah berbicara dengan mereka tentang kebutuhan-kebutuhan kita sendiri melainkan keuntungan-keuntungan mereka”, dia sebenarnya sedang membahas tentang pola pembagian kerja ekonomi dan bagaimana transaksi-transaksi normal berlangsung di pasar sehingga dapat memberikan manfaat bagi semua pihak.
Lebih jauh lagi Sen memperjelas bahwa pertimbangan etika dalam ilmu ekonomi tidak hanya dapat memberikan maksimalisasi kesejahteraan pribadi saja, melainkan juga dapat mendorong timbulnya tanggapan-tanggapan yang membuat kesejahteraan pribadi mendapat landasan lebih luas daripada konsumsi sendiri. Namun perlu dicatat bahwa pendekatan etis juga memerlukan penilaian-penilaian yang bersifat konsekuensial terhadap aktivitas ekonomi, sehingga dapat menjangkau bidang kehidupan yang lebih luas.
Pemikiran-pemikiran Sen dalam buku ini menarik dikaji dan didiskusikan bersama ketika ilmu ekonomi kehilangan keberpihakannya terhadap nilai humanisme dan cenderung elitis karena berparadigma positivistik. Melalui pemikiran Sen ini, ilmu ekonomi diajak kembali kepada komitmen awalnya untuk menebar harapan bagi semua orang untuk dapat hidup lebih baik dan layak dan tidak terjebak pada ambisi dan kerakusan.

Tulisan ini dimuat di Majalah Gamma, 27 Juni 2001.

Read More..

Rabu, 25 Oktober 2000

Anatomi Budaya Bisnis Cina

Judul Buku : Menembus Pasar Cina
Penulis : Yuan Wang, Rob Goodfellow, Xin Sheng Zhang
Penerjemah : J. Soetikno Pr.
Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta
Cetakan : Pertama, Agustus 2000
Tebal : xviii + 236 halaman (termasuk indeks)



Krisis moneter dan keuangan yang melanda kawasan Asia pada tahun 1997-1998 telah mengobrak-abrik perekonomian beberapa negara, termasuk Indonesia. Akan tetapi, nasib Cina (RRC) ternyata begitu baik. Pengaruh krisis moneter dan keuangan tersebut tidak terlalu terasa di sana. Hal ini terjadi, menurut laporan Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional (IMF), karena fundamental ekonomi di Cina sudah cukup kokoh dan kebijakan program reformasi Cina sudah berada pada jalur yang benar.

Terhitung sejak tahun 1978, pertumbuhan ekonomi di Cina memang begitu pesat, sehingga cadangan devisa negara Cina pada tahun 1997 mencapai 140 milyar dolar AS, nomor dua terbesar sesudah Jepang. Kebijakan reformasi yang dilakukan oleh mendiang Deng Xiao Ping telah mampu mendobrak kebekuan pasar di Cina. Selain mencapai pertumbuhan ekonomi yang terus stabil, arus investasi dari luar juga begitu besar. Bahkan, menurut laporan PBB, arus investasi asing di Cina menempati urutan terbesar kedua sesudah Amerika Serikat.

Situasi ekonomi yang menggairahkan dan stabil serta penduduk yang cukup besar, yakni 1,2 milyar, membuat Cina menyediakan peluang bisnis yang begitu menggiurkan. Karena itu, tak berlebihan bila Menteri Senior Singapura, Lee Kuan Yew, memperkirakan perekonomian Cina akan lebih besar dibanding Jepang dalam 50 tahun mendatang.

Akan tetapi kondisi sosial-budaya yang khas yang terdapat di Cina ternyata tidak semata-mata menjadi peluang bisnis yang begitu saja memudahkan arus investasi, melainkan juga menuntut suatu pengetahuan yang cukup tentang anatomi budaya bisnis di Cina. Risiko dan tantangan berbisnis di Cina juga cukup besar. Karena itulah, wawasan tentang karakteristik kehidupan bisnis di Cina sangat dibutuhkan.

Buku bagus ini menyediakan ulasan praktis, ringkas, dan jelas tentang struktur sosial-budaya kehidupan bisnis di Cina. Kompleksitas sosio-kultural yang berada di balik aktivitas bisnis diungkapkan secara cukup baik. Buku ini tidak semata-mata terjebak dengan gegabah dalam menjelaskan budaya bisnis Cina yang kompleks hanya dengan memberi penjelasan berdasarkan tradisi (Cina). Buku ini memandang bisnis sebagai ekspresi kehidupan yang dinamis, mengikuti arus dinamika budaya di sana.

Sebelum tahun 1978, aktivitas bisnis bagi masyarakat Cina tidak terlalu dihargai. Pedagang dianggap manusia hina yang licik dan culas serta hanya mengenal keuntungan. Lebih dari itu, pedagang juga dianggap orang yang mudah merongrong stabilitas sosial. Pandangan tertutup semacam ini tumbuh subur karena sejak tahun 1840 Cina menerapkan politik isolasi dalam bidang perdagangan dan budaya.

Baru setelah Deng Xiao Ping menerapkan kebijakan “Liberalisasi Pemikiran” dan Politik Pintu Terbuka sebagai respon terhadap arus globalisasi pada tahun 1978, demam bisnis menjadi kecenderungan yang sangat umum. Bisnis yang menguntungkan dilihat sebagai sarana untuk menjamin penggunaan kekayaan alam dan manusia secara efisien, sementara bisnis yang tidak produktif dianggap sebagai suatu pemborosan.

Kemajuan laju ekonomi Cina didukung oleh semangat kolektif masyarakat yang berwujud kebanggaan nasional dan didasarkan atas kesadaran sejarah bangsa Cina. Spirit kolektivisme ini terus berlanjut dalam setiap aktivitas bisnis di Cina, sehingga hubungan antar-pribadi dalam kegiatan bisnis begitu diperhatikan.

Selain nilai kolektivisme, nilai-nilai lain yang terdapat dalam budaya bisnis Cina adalah pentingnya menjaga kehormatan, adanya hierarki, hormat kepada tradisi, dan prinsip egalitarianisme. Bisnis di Cina amat menekankan kesetiaan, rasa hormat, kepatuhan, dan kepercayaan. Pembentukan jaringan bisnis diciptakan dengan membangun jaringan pertemanan seluas mungkin. Jamuan makan dan pemberian hadiah yang menjadi simbol persahabatan seringkali dilakukan dalam aktivitas berbisnis. Perundingan bisnis atau negosiasi yang kadang dilakukan dalam acara jamuan makan juga digunakan sebagai sarana penjajakan untuk memantapkan kecocokan dan rasa saling percaya.

Karena menekankan kepada hubungan yang bersifat pribadional, maka dalam perundingan dibutuhkan kesabaran yang cukup bila mitra bisnis masih berbicara tentang suatu persoalan secara bertele-tele. Hal semacam ini dilakukan untuk menghimpun informasi sebanyak mungkin tentang sosok kepribadian klien bisnisnya. Selain itu, harus juga diperhatikan agar kedua belah pihak menyisakan ruang untuk kompromi atau konsesi, karena proses tawar-menawar adalah sesuatu yang mesti dilakukan oleh orang-orang Cina. Klien bisnis yang tidak mau melakukan bargaining hanya akan memberi kesan tidak serius dengan negosiasi yang sedang dilangsungkan. Juga, sikap pamer diri menjadi sesuatu yang tabu dalam kegiatan bisnis.

Konsumen bisnis di Cina masih terpengaruh dengan boom demam bisnis yang berlangsung sejak tahun 1978. Secara psikologis, perilaku konsumsi orang Cina kebanyakan dipengaruhi oleh sejumlah kelompok rujukan. Popularitas sebuah produk sering terbentuk karena kuatnya hubungan antar-pribadi yang menggunakan produk itu. Kegiatan yang bersifat “pamer” juga sering dilakukan. Meski begitu, rata-rata mereka masih berpikir seribu kali bila harus berhutang dalam berbelanja. Mereka lebih memilih menabung terlebih dahulu untuk memenuhi keinginan mereka.

Begitulah gambaran ringkas anatomi budaya bisnis di Cina. Untuk berjaga-jaga, ada enam jurus yang patut diperhatikan agar dapat sukses berbisnis di Cina, yaitu patience (kesabaran), power (kekuasaan), predisposition (predisposisi), personnel (personalia), protection (proteksi), dan perspective (perspektif). Kesabaran dibutuhkan karena berbisnis di Cina memerlukan landasan usaha yang kuat. Kekuasaan berkaitan dengan kemampuan penguasaha menyediakan modal yang kuat, termasuk untuk mengembangkan jaringan pertemanan dalam berbisnis. Predisposisi adalah kemampuan untuk membina hubungan personal yang baik dengan mitra bisnis. Personalia berkaitan dengan strategi pemilihan orang yang tepat dalam menjalankan bisnis. Proteksi penting untuk melindungi kegiatan bisnis dari kecenderungan melintasi batas-batas hukum legal yang berlaku. Dan, terakhir, perspektif, berguna untuk mempertinggi kepekaan pelaku bisnis terhadap realitas kultural masyarakat Cina.

Buku ini tidak berbicara terlalu muluk-muluk. Secara umum, usahanya untuk membedah anatomi budaya bisnis masyarakat Cina cukup baik, karena menyentuh berbagai aspek: sejarah, landasan nilai, gaya berunding, manajemen, peran pemerintah, psikologi konsumen, serta strategi promosi dan distribusi. Ketiga penulis buku ini memang sudah dikenal luas sebagai pakar bisnis yang mengetahui latar kebudayaan masyarakat Cina secara mendalam.

Bagi orang-orang yang tertarik untuk menembus pasar Cina yang begitu menggiurkan, atau yang berhubungan dengan komunitas Cina, buku ini tentu akan memberikan sesuatu yang cukup berharga, setidaknya bila mereka memang ingin mencapai kemajuan yang lebih baik dalam berbisnis.

Read More..