Tampilkan postingan dengan label :: Published - National Magazine ::. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label :: Published - National Magazine ::. Tampilkan semua postingan

Selasa, 07 Juni 2016

Jihad dalam Berkeluarga


Belakangan ini, kasus kekerasan anak semakin marak terjadi. Semakin beratnya masalah kekerasan anak ini dapat dilihat dari fakta bahwa anak tidak lagi hanya menjadi korban kekerasan. Beberapa tahun terakhir, dalam kasus kekerasan, jumlah anak yang berstatus sebagai pelaku kekerasan cenderung naik. Pada Oktober 2014, Komnas Anak menyiarkan data bahwa anak yang menjadi pelaku kekerasan seksual pada tahun 2014 hingga bulan Oktober berjumlah 26%, sedang pada sepanjang 2013 jumlahnya 16% dari 3.339 kasus (Tempo, 22/10/2014).

Kasus kekerasan anak yang makin banyak terjadi ini salah satunya dapat dilihat sebagai kegagalan keluarga untuk memerankan diri sebagai tempat pewarisan nilai dalam sistem kehidupan bermasyarakat. Anak-anak menyerap nilai-nilai dan membentuk diri dari lingkungan sosial yang cenderung semakin keras dan menyimpang dari norma-norma sosial.

Bagaimana sebenarnya posisi lembaga keluarga atau pernikahan? Syekh Hujjatul Islam Imam Al-Ghazali dalam Ihya’ ‘Ulumiddin menjelaskan bahwa salah satu faidah pernikahan adalah sebagai sarana jihad-diri (mujâhadah al-nafs). Sebagaimana arti dasarnya, jihad bermakna “berjuang” atau “berusaha sungguh-sungguh” untuk tujuan mencapai kebaikan tertentu. Menurut al-Ghazali, pernikahan menjadi sarana jihad dalam kaitannya dengan tugas memberi pendidikan yang baik sesuai dengan tuntunan agama.

Beberapa tugas dan fungsi keluarga (pernikahan) yang oleh al-Ghazali diletakkan dalam kerangka jihad-diri terutama sangat terkait dengan fungsi pewarisan atau pelestarian nilai. Al-Ghazali menjelaskan bahwa jihad-diri ini meliputi tugas seperti membimbing anggota keluarga agar tetap berada di jalan agama, bersikap sabar dalam menghadapi perilaku anak yang tidak baik, memenuhi hak anggota keluarga, atau berupaya mencari nafkah (yang halal).

Dalam konteks situasi kehidupan yang semakin mendunia saat ini, fungsi sosialisasi dan pelestarian nilai dalam keluarga di antaranya berhadapan dengan tarikan berbagai unsur sosial yang semakin rumit dan memiliki kekuatan yang tidak dapat disepelekan. Arus informasi yang begitu cepat dan deras dengan mudah merasuk ke ruang-ruang pribadi anak dan anggota keluarga yang lain sehingga berpeluang menggiring pada perilaku menyimpang.

Selain itu, ada kecenderungan bahwa kehidupan saat ini tampak lebih mendorong anak atau siapa pun untuk lebih memberi perhatian pada upaya pencapaian hal-hal baru—produksi dan prestasi. Sedangkan pelestarian hal-hal berharga yang sudah dicapai dan dimiliki kadang cenderung diabaikan. Dengan kata lain, dalam cengkeraman nalar kapitalis yang kadang cukup samar, gerak dunia saat ini cenderung mengabaikan nilai konservasi.

Cara berpikir berdasarkan gaya hidup (kapitalis) masa kini inilah yang mungkin juga membuat fungsi pendidikan atau pelestarian nilai dalam keluarga terabaikan. Ritme kehidupan yang menjadi semakin cepat terkadang justru membuat orang lupa untuk merawat hal-hal yang berharga dalam keluarga, baik berupa nilai, maupun hal yang lainnya.

Dalam situasi seperti ini, maka sangatlah penting untuk membekali kalangan remaja dengan visi yang bersifat mendasar dalam berkeluarga—yang di antaranya adalah kerangka pandang jihad-diri dalam berkeluarga sebagaimana dijelaskan oleh al-Ghazali. Jangan sampai kaum remaja hanya terjebak dalam romantisme cinta yang dangkal dan semu dalam memandang laku berkeluarga sehingga peran strategis keluarga dalam sistem hidup bermasyarakat kurang terwujud dengan baik.

Pada titik ini, berbagai lembaga sosial yang ada diharapkan dapat berbagi dan mengambil peran untuk saling memperkuat penanaman visi berkeluarga yang bernilai strategis, kontekstual, dan visioner terutama bagi kalangan remaja. Melalui sekolah, perkumpulan informal, maupun dalam keluarga itu sendiri, atau juga lembaga sosial yang lain, kaum remaja hendaknya terus didorong untuk mempersiapkan diri agar kelak dapat mengambil peran yang baik sebagai pelestari nilai-nilai penting dalam masyarakat.

Kesiapan untuk menjadi orangtua dapat menyangkut hal yang bersifat abstrak seperti visi dan cara pandang tentang fungsi keluarga. Namun ia juga dapat berupa keterampilan praktis dalam menjalin komunikasi, membangun rasa saling percaya di antara anggota keluarga, memberi bimbingan, maupun memecahkan masalah.

Dengan memandang laku berkeluarga sebagai jihad, dengan sendirinya kita juga tengah mendorong visi sosial para remaja dalam berkeluarga. Yakni bahwa berkeluarga itu bukan semata perkara personal, tapi juga menyangkut kelestarian kehidupan dan peradaban masyarakat—di sinilah letak fungsi sosial keluarga terkait konservasi.

Ini sejalan dengan penjelasan Allah swt. dalam al-Qur’an surah al-Furqan [25] ayat 74 yang mengidealkan bahwa seorang “hamba Allah Yang Maha Pemurah” (‘ibâdurrahmân) adalah mereka yang peduli pada pendidikan anggota keluarga mereka sekaligus dapat mengantar anak-anak mereka sebagai teladan dan pemimpin umat.


Tulisan ini dimuat di Majalah Auleea edisi Juni 2016.


Read More..

Kamis, 10 Maret 2016

Membaca Ulang Hukuman Mati

Judul Buku: Menolak Hukuman Mati: Perspektif Intelektual Muda
Editor: Lucia Ratih Kusumadewi dan Gracia Asriningsih
Pengantar: Franz Magnis-Suseno
Penerbit: Kanisius, Yogyakarta
Cetakan: Pertama, Desember 2015
Tebal: 222 halaman
ISBN: 978-979-21-4462-8


Hukuman mati adalah hukuman yang kontroversial. Ini terlihat saat seorang narapidana diputuskan akan dihukum mati, masyarakat dari berbagai kalangan ramai berkomentar di media, mulai dari akademisi, ahli hukum, agamawan, pengamat politik, dan masyarakat biasa.

Buku ini menggugat keberadaan hukuman mati dalam sistem hukum di Indonesia. Buku yang ditulis oleh sebelas intelektual muda ini membedah hukuman mati dari perspektif filsafat, sosiologi, psikologi sosial, sejarah, politik, dan budaya. Pandangan umum yang diusung secara tegas oleh para penulis buku ini adalah bahwa sudah waktunya hukuman mati dihapuskan dari segenap sistem hukum kita.

Lucia Ratih Kusumadewi, salah satu penulis sekaligus editor buku ini, menunjukkan bahwa adanya hukuman mati merupakan potret masyarakat yang sakit jiwa. Dalam masyarakat yang sakit, bentuk-bentuk kekerasan termasuk hukuman mati tidak hanya dilegalkan tapi juga dinikmati oleh masyarakat.

Lucia menunjukkan contoh konkretnya saat ia menemukan sebuah foto bocah kecil yang beredar di internet kala kontroversi hukuman mati mencuat di awal tahun 2015. Dalam gambar tersebut, anak kecil itu menyampaikan pesan dalam poster kecil bertuliskan: “Tante Anggun.. Biarkan gembong narkoba MATI”. Lucia merasa miris bahwa anak kecil di negeri ini telah mulai terlibat dalam wacana sadisme.

Dengan meminjam teori tentang masyarakat yang sehat dari Sigmund Freud, Lucia mengusulkan pentingnya penguatan etika biofilia yang menjunjung tinggi nilai kehidupan dan berdasar pada humanisme normatif. Dalam kerangka etika biofilia, ada tiga kondisi sosial yang perlu didorong agar penolakan hukuman mati bisa mendapatkan jalan keluar yang tepat dan manusiawi, yakni penguatan rasa aman, penegakan keadilan, dan jaminan kebebasan sehingga masyarakat dapat berpartisipasi aktif dan bertanggung jawab.

Dari sudut pandang hukum dan politik, terungkap bahwa hukuman mati di Indonesia lebih banyak terkait dengan pertimbangan politik daripada pertimbangan hukum dan keadilan. Benny Hari Juliawan dalam buku ini menyebut hukuman mati sebagai pertunjukan kekuasaan negara. Dalam kilasan sejarah Indonesia, hukuman mati dalam berbagai periode menegaskan hal ini, seperti dalam kasus eksekusi mati Kartosoewirjo pada 1962, operasi penembakan misterius pada 1982-1985, dan sebagainya.

Dilihat dari perspektif grasi dan praktiknya di Indonesia, hukuman mati juga tampak sangat politis. Robertus Robet, pengajar di program sosiologi Universitas Negeri Jakarta, menganalisis penolakan grasi Presiden Joko Widodo dalam kasus hukuman mati terpidana narkoba tahun 2015 lalu. Menurutnya, keputusan presiden untuk menolak memberikan grasi lebih sebagai sarana yang mudah dan “murah” untuk mendapatkan simpati publik di tengah keterjepitannya akibat kisruh calon kapolri saat itu.

Salah satu argumen yang paling populer untuk mendukung hukuman mati adalah efek jera sehingga diharapkan kejahatan berat serupa tidak akan muncul di masa depan. Untuk mematahkan argumen ini, Poengky Indarti, salah satu penulis dalam buku ini yang juga direktur eksekutif Imparsial, memberikan analisisnya.

Di antara sanggahannya disebutkan bahwa berdasarkan statistik di beberapa negara nyatanya kasus kriminalitas justru ditemukan rendah jumlahnya di tempat yang tak menganut sistem hukuman mati. Selain itu, jika dianalisis karakter kejahatan yang diberi sanksi hukuman mati, ditemukan bahwa ia berada dalam jenis kejahatan yang tidak terpengaruh pada hukuman, yakni dalam kategori instrumental-acts yang bersifat high commitment.

Kontroversi hukuman mati di Indonesia tampaknya memang masih akan panjang ceritanya. Buku ini dapat ditempatkan sebagai upaya untuk membuka ruang diskusi yang lebih terbuka dan kritis atas masalah penting tersebut karena berdasarkan analisis beberapa penulis di buku ini terungkap bahwa hukuman mati selain banyak yang bersifat politis juga banyak melibatkan unsur emosi.

Selain itu, buku ini mengajak kita untuk melihat kasus kejahatan dalam kerangka yang lebih luas, seperti juga dalam kaitannya dengan isu kemiskinan, lemahnya penegakan hukum, dan kecenderungan aparat negara yang korup.


Tulisan ini dimuat di Majalah Gatra, 10-16 Maret 2016.

Read More..

Jumat, 23 Januari 2015

Fenomenologi Stigma Terorisme Islam

Judul buku: Apa Jadinya Dunia Tanpa Islam?: Sebuah Narasi Sejarah Alternatif
Penulis: Graham E. Fuller
Penerbit: Mizan, Bandung
Cetakan: Pertama, November 2014
Tebal: 406 halaman


Saat Islam kerap dihubung-hubungkan dengan kekerasan dan terorisme, adakah jalan lain untuk menyangkalnya selain dari paparan normatif pandangan dunia Islam yang inklusif dan praktik toleran dalam sejarah Islam?

Buku ini mencoba memberi ulasan alternatif yang cukup menyeluruh tentang posisi Islam dalam isu-isu kekerasan dan terorisme dengan meletakkannya dalam terang sejarah peradaban dunia. Penulisnya, Graham E. Fuller, yang pernah menjabat sebagai Wakil Ketua Dewan Intelijen Nasional di CIA, mencoba menawarkan eksperimen berpikir dengan skenario alternatif andai Islam tidak pernah ada.

Kesimpulan utamanya adalah bahwa faktor-faktor geopolitik yang lebih intens menjadi faktor pertentangan Barat dengan Timur yang sudah ada sebelum Islam. Dalam kerangka pertentangan yang terbentuk lebih awal dan lebih mendalam inilah, Islam dipergunakan sebagai bendera yang berperan sebagai pemersatu yang sangat efektif dalam tataran praktis.

Metode eksperimen berpikir yang digunakan Fuller terilhami dari salah satu metode kerja intelijen. Caranya, kita membayangkan sebuah peristiwa penting di masa depan dengan skenario agak teperinci tentang jalan peristiwa tersebut. Tujuannya untuk melihat kemungkinan kecil yang sebelumnya tak terpikirkan yang ternyata dapat mendorong terjadinya hal yang sangat penting itu.

Secara metodologis, perspektif ini mirip pendekatan fenomenologis. Pembaca diajak meletakkan Islam sebagai sebuah agama dan ideologi ke dalam tanda kurung, lalu berbagai konflik besar dalam sejarah dunia dilihat secara lebih sederhana. Dalam bahasa Fuller, buku ini mengajak pembaca untuk men-de-Islami-kan persepsi tentang konflik-konflik tersebut dan melihatnya sebagai masalah sosial dan politik manusiawi yang bersifat universal. Dalam bahasa fenomenologi, mengembalikan peristiwa-peristiwa itu ke dunia pra-reflektif atau Lebenswelt (dunia keseharian) sebelum dikerangkakan dalam bingkai ideologi.

Dengan cara pandang seperti ini, Fuller menemukan bahwa Timur Tengah tanpa Islam tetap akan berpotensi mencurigai Barat. Kekuatan pengganti Islam dalam berhadapan dengan Barat adalah Kristen Ortodoks Timur, yang dalam pikiran Fuller akan mendominasi kawasan Mediterania dan Timur Tengah andai tak ada Islam. Sikap anti-Barat Gereja Ortodoks Timur dinarasikan panjang lebar oleh Fuller yang lalu tampak mirip sekali dengan sikap umat Islam terhadap Barat.

Di antara uraiannya, Fuller mengutip potongan pidato Paus Urbanus II pada 1095 yang menjadi titik mula Perang Salib. Fuller menggarisbawahi bahwa dalam pidatonya, Paus Urbanus II tidak spesifik menyebut musuh mereka itu kaum muslim. Musuh dan penindas kaum Kristen adalah agama apa pun di luar agama Kristen. Terbukti, dalam Perang Salib kaum Barat juga menunjukkan sikap agresif pada kaum Gereja Ortodoks Timur bahkan juga pada kaum Yahudi.

Kristen Barat yang menjadi musuh Islam dalam Perang Salib digambarkan secara kontras dengan kaum Kristen Timur yang telah lama hidup berdampingan secara damai dengan umat Islam, termasuk juga dengan Yahudi. Bahkan Fuller mencatat bahwa kaum Yahudi pernah berperang membantu umat Islam menghadapi serbuan Tentara Salib. Hal ini menegaskan bahwa agama bukanlah faktor terpenting.

Saat ini, konfrontasi Barat dan Timur terus berlangsung. Di antara wakil Timur adalah Rusia. Rusia, seperti negara-negara Eropa Timur yang kerap masih dianggap sebagai dunia yang berbeda dengan Eropa Barat, dipandang sebagai pewaris ortodoksi Timur.

Menurut Fuller, adopsi negara Rusia pasca-Soviet atas Gereja Ortodoks lebih terkait dengan problem identitas nasional, mirip dengan penggunaan Islam sebagai identitas pemersatu di Timur Tengah untuk menghadapi Barat. Karena itu, tak heran jika beberapa tahun yang lalu Parlemen Rusia mengesahkan undang-undang yang membatasi kebebasan dakwah asing yang ditujukan pada Kristen Barat, bukan Islam.

Upaya Fuller untuk memarkir sementara ideologi agama, dalam hal ini Islam, dalam memahami konflik dan terorisme dan melihatnya secara fenomenologis dapat dipandang sebagai upaya untuk melucuti stigma terorisme Islam. Stigma ini telah menyesatkan pandangan banyak pihak dan membuat solusi yang tepat dan manjur atas peristiwa dan potensi konflik dan terorisme tak kunjung ditemukan.

Di bagian akhir, Fuller mengajukan beberapa langkah praktis yang harus dilakukan Barat, khususnya Amerika, atas dasar perspektif yang dikembangkan dalam buku ini. Misalnya, campur tangan militer Amerika di Dunia Islam harus dihentikan. Bagi Fuller, 700 pangkalan militer Amerika di luar negeri sangatlah provokatif dan menyumbang bagi terciptanya konflik dan terorisme.

Buku karya Fuller yang kini menjadi guru besar sejarah di Simon Fraser University, Kanada, ini adalah sebuah langkah introspeksi Barat yang patut diapresiasi untuk membuka jalan bagi pandangan berimbang demi masa depan dunia yang damai.


Versi yang sedikit berbeda dengan tulisan ini dimuat di Majalah Gatra, 22-28 Januari 2015.


Read More..

Senin, 15 April 2002

Memahami Carok

Judul Buku : Carok: Konflik Kekerasan dan Harga Diri Orang Madura
Penulis : Dr. A. Latief Wiyata
Pengantar : Dr. Huub de Jonge
Penerbit : LKiS, Yogyakarta
Cetakan : Pertama, Maret 2002
Tebal : xxii + 278 halaman


Ada dua hal yang amat lekat menjadi stereotip orang Madura: NU dan carok. Kalau yang pertama menggambarkan orientasi keberagamaan orang Madura, maka yang kedua mengacu kepada karakter “keras” orang Madura. Ini sebenarnya cukup paradoksal, bagaimana bisa dalam sebuah masyarakat yang “religius” (islami) muncul suatu tradisi kekerasan yang tetap terawat melintasi berbagai periode zaman.

Buku yang semula adalah disertasi di jurusan Antropologi Budaya UGM ini berusaha mengungkap makna simbolis carok dalam konteks budaya Madura. Dr. A. Latief Wiyata, penulis buku kelahiran Sumenep Madura ini, berasumsi bahwa carok adalah suatu bentuk kekerasan yang memiliki latar dan pesan kultural yang maknanya dapat terungkap bila carok dilihat dari konteks lingkungan sosial-budaya masyarakat Madura.

Dengan meneliti enam kasus carok di Kabupaten Bangkalan, kabupaten paling barat wilayah Madura, sepanjang Agustus 1995 hingga Juni 1996, disimpulkan bahwa carok selalu berawal dari konflik yang melibatkan unsur pelecehan harga diri. Pelecehan harga diri semacam ini dalam kultur Madura berkait dengan konsep malo, yaitu ketika seseorang dianggap tidak diakui atau diingkari kapasitas dirinya sehingga dia merasa tada’ ajina (tidak ada harganya). Persoalan menjadi semakin rumit karena eskalasi perasaan malo akan meluas ke tingkat keluarga, atau bahkan komunitas masyarakat. Makanya, tidak aneh bila dalam beberapa kasus ditemukan bahwa sebelum terjadi carok, ada sidang keluarga yang mengatur skenario carok, mulai dari cara membunuh hingga persiapan pasca-carok.

Selain itu, secara sosial memang ada semacam pembenaran kultural terhadap carok. Ini juga masih terkait dengan konsep malo itu sendiri. Bila ada seseorang yang dilucuti harga dirinya, maka dia akan dianggap penakut bila tidak melakukan reaksi apa-apa. Ada suatu ungkapan Madura: tambana malo, mate (obatnya malu adalah mati).

Reaksi akan semakin kuat bila pelecehan harga diri itu berkait dengan kasus perselingkuhan. Data statistik antara tahun 1990-1994 di Kabupaten Bangkalan menunjukkan bahwa 60% peristiwa carok dilatarbelakangi oleh peristiwa gangguan terhadap istri. Hal ini juga berhubungan dengan sistem perkawinan di Madura yang menganut sistem matrilokal dan uxorilokal, sehingga seorang suami dituntut kompensasi berupa penjagaan terhadap istri secara maksimal.

Elemen kultural masyarakat Madura lainnya memang masih cukup memberi dukungan terhadap “budaya” carok. Tradisi Remo misalnya, yang menjadi semacam tempat arisan para jago untuk mengumpulkan uang tidak jarang dilangsungkan menjelang carok atau sesudahnya, untuk menggalang solidaritas di antara para jago. Status sebagai seorang jagoan di Madura ini juga kemudian menempatkan carok sebagai media mobilisasi status sosial. Seorang yang menjadi pemenang carok akan dianggap sebagai jagoan yang dapat memberikan kewibawaan dan mengantarkannya dalam status sosial yang lebih tinggi. Demikian pula, dalam lingkungan keluarga ada tradisi untuk terus merawat dendam carok, dengan menyimpan baju bekas atau senjata bersimbah darah yang digunakan ketika carok, atau dengan menguburkan mayat yang kalah di dekat rumah, tidak di pemakaman umum.

Yang menarik, carok sebagai sebuah peristiwa budaya ternyata juga telah menjelma menjadi komoditas ekonomi. Ketika si pemenang carok berusaha menghindari hukuman pengadilan yang berat, maka ia butuh calo untuk nabang, merekayasa proses peradilan dengan menyerahkan sejumlah uang kepada aparat agar hukuman menjadi ringan, atau bahkan mengganti terdakwa carok.

Keterlibatan unsur kekuasaan (negara) ini secara historis sebenarnya telah muncul sejak masa kolonial Belanda. Huub de Jonge dalam salah satu bukunya menulis bahwa carok muncul karena masyarakat Madura merasa tidak menemukan solusi atas konflik sosial yang dihadapinya, sehingga harus diselesaikan sendiri dengan cara kekerasan.

Karena itu, Latief di akhir buku ini mengajukan rekomendasi agar aparatur negara lebih tegas mengatur sumber-sumber konflik kekerasan dan memberikan perlindungan keamanan serta rasa keadilan yang cukup. Selain itu, perlu dipikirkan institusi sosial yang dapat menengahi konflik sehingga dapat mencegah carok. Peran figur ulama di sini menjadi penting untuk dipertimbangkan mengingat karakter religius masyarakat Madura.

Buku ini adalah studi etnografis pertama tentang carok atau kebudayaan Madura pada umumnya yang berdasar pada penelitian lapangan. Diharapkan, dari penelitian ini, stigma negatif dan sikap salah sangka terhadap orang Madura dapat diminimalisasi sehingga Indonesia masa depan yang damai dapat tercapai dalam suasana pluralitas budaya yang saling menghargai.


Tulisan ini adalah versi naskah awal yang kemudian dimuat di Majalah Gatra, 14 April 2002.


Read More..

Selasa, 27 November 2001

Adonan Identitas Di Antara Mi dan Jilbab


Judul Buku: Perempuan Postkolonial dan Identitas Komoditi Global
Penulis: Monika Eviandaru, dkk
Penerbit: Kanisius, Yogyakarta
Cetakan: Pertama, 2001
Tebal: 148 halaman


Globalisasi ekonomi memang tidak semata-mata gejala sosial dan ekonomi. Berbagai produk globalisasi yang bersifat material maupun yang bersifat struktural telah memberikan sejumlah efek domino yang menyentuh berbagai sisi kehidupan umat manusia, baik pada level komunitas sosial maupun pada tingkat individu. Pola-pola relasi sosial antar-manusia dan atau dengan produk-produk iptek juga mengantarkan manusia (individu) pada suatu definisi baru tentang identitas mereka.
Salah satu perubahan penting yang mengiringi proses globalisasi adalah hadirnya media massa yang juga secara efektif menjadi media promosi. Kehadiran iklan telah mampu mengubah definisi “kebutuhan” dan lebih jauh lagi definisi “identitas”. Sesuatu produk dapat menjadi sebuah “kebutuhan” hanya karena gencarnya efek iklan, dan sebuah produk dapat mencitrakan “identitas” tertentu bagi pemakainya.
Buku bagus ini adalah sebuah penelitian tentang politik ekonomi dan kebudayaan mi instan serta jilbab di kalangan masyarakat Indonesia. Buku ini berusaha menjawab soal pengaruh dua produk komoditi pop itu terhadap pembentukan identitas dan pemaknaan masyarakat Indonesia terhadap situasi perubahan tersebut.
Kehadiran mi instan menjadi menarik ketika 67,5% dari 494 responden yang diambil di Bogor, Semarang, Solo, dan Yogyakarta, mengaku mempunyai persediaan beberapa bungkus mi instan di rumah mereka, dan 87% telah mengkonsumsi mi instan lebih dari 6 tahun. Indonesia sendiri saat ini adalah produsen mi instan kedua terbesar di dunia setelah Cina daratan, dan pada tahun 2000 jumlah mi instan (dari bahan gandum) yang terjual di Indonesia diperkirakan mencapai 8,6 miliar bungkus.
Sejarah memasyarakatnya mi instan yang notabene dibuat dari bahan dasar gandum ini adalah ketika di awal Orde Baru pemerintah mengalami kesulitan bahan pangan (beras) yang cukup berat, sehingga pemerintah memperkenalkan suatu produk pangan baru yang ketika itu menjadi “cita rasa dunia pertama” (Amerika).
Selanjutnya, pencitraan yang dilakukan secara massif melalui iklan—terutama di media televisi—telah betul-betul cukup efektif mensosialisasikan mi instan. Ada beragam cara iklan membujuk konsumen Indonesia untuk mengkonsumsi produknya, mulai dari pencitraan mi instan sebagai makanan keluarga, makanan yang “lintas batas kelas sosial” (kalangan ABG, kelas atas/eksekutif, atau kelas bawah), penggunaan simbol-simbol agama, hingga penggunaan lagu nasional yang dimodifikasi.
Sebagai sebuah corak makanan global, mi instan hadir dengan penuh dilekati gagasan-gagasan “modern”. Sisi praktis mi instan sehingga ia dapat dengan mudah disajikan oleh siapa saja—termasuk oleh laki-laki—seperti tidak mengharuskan perempuan menghabiskan waktunya untuk berada di dapur, sebagaimana selama ini dikonstruksikan.
Selain itu, muncul pula pergeseran persepsi tentang definisi “makan”, yang selama ini hampir selalu harus melibatkan unsur nasi. Nasi atau bukan nasi lalu tak lagi begitu penting, seperti bergizi atau tidak bergizi tak lagi begitu dipikirkan (24,9% responden mengakui bahwa kandungan gizi mi instan masih kurang, sehingga 49,5% masih perlu menambahkan telur/daging dalam penyajiannya). Kepentingan utama untuk mengkonsumsi makanan modern ini adalah sejauh praktis, efisien, dan kenyang. Ini adalah bagian dari strategi kerja normalisasi tubuh manusia, yakni ketika tubuh dilihat sebagai bagian dari sumber daya manusia yang harus disiplin dan produktif sesuai dengan kaidah-kaidah modernitas.
Sementara jilbab, dalam buku ini dilihat sebagai bagian dari produk komoditi pop. Bagian yang awalnya merupakan penelitian Karen E Washburn ini berusaha menelusuri cara profil (tiga) perempuan (Jawa) memaknai jilbab dalam kehidupannya. Jilbab pertama-tama memang merupakan suatu bentuk lambang identifikasi orang Islam, tapi dari penelitian ini terungkap beragam cara pemaknaan yang unik.
Ada yang memandang jilbab sebagai simbol tidak mempunyai arti dalam dan personal dalam dirinya, dan kadang malah membawa diskriminasi terhadap kaum perempuan. Ada yang sebaliknya, memandang jilbab sebagai tanda bahwa pemakainya adalah muslim yang baik serta dapat menjadi alat kontrol diri. Ada pula yang melihat jilbab (dan berikutnya cadar) sebagai suatu transformasi personal dan total.
Beragam pemaknaan, baik terhadap mi instan maupun jilbab, yang tampak dari penelitian ini menunjukkan bahwa para konsumen makanan dan pakaian itu telah mengalami, memahami, dan menilai komoditi modern tersebut sebagai bagian dari pengalaman otonomi (identitas) baru yang memberdayakan. Dari sinilah, diharapkan otonomi ini dapat menentukan cara mereka menentukan keputusan-keputusan penting di bidang ekonomi, sosial, politik, atau budaya.


Tulisan ini dimuat di Majalah Gamma, 31 Desember 2001.


Read More..

Rabu, 31 Oktober 2001

Perspektif Positif Menyikapi Fundamentalisme


Judul Buku: Berperang Demi Tuhan: Fundamentalisme dalam Islam, Kristen, dan Yahudi
Penulis: Karen Armstrong
Penerbit: Serambi Jakarta bersama Mizan Bandung
Cetakan: Pertama, Agustus 2001
Tebal: xx + 641 halaman

Fundamentalisme seringkali dihubungkan dengan sikap dan pandangan keras atau militan dalam sikap keberagamaan. Orang juga sering mengaitkannya dengan terorisme dan aksi kekerasan berupa bom bunuh diri seperti kejadian tragedi gedung WTC di New York, membunuh para dokter di klinik aborsi, menembaki jamaah yang sedang beribadah, dan sebagainya.
Citra negatif yang dilekatkan pada kaum fundamentalis ini tak jarang malah berakibat memperluas medan konflik. Kaum fundamentalis menjadi semakin merasa dendam. Ditambah lagi bila solidaritas masyarakat lain yang merasa seideologi tumbuh diikuti dengan penyikapan yang mirip dengan cara-cara kaum fundamentalis.
Fenomena keberagamaan semacam itu menggejala tidak hanya pada agama-agama besar seperti Yahudi, Kristen, atau Islam, tapi juga terjadi pada agama Hindu, Budha, atau bahkan Kong Hu Cu.
* * *
Buku ini mencoba memberikan perspektif baru yang cukup menarik terhadap gejala fundamentalisme. Penulisnya, Karen Armstrong, yang juga penulis buku bestseller A History of God (yang telah diterjemahkan ke Bahasa Indonesia dan diterbitkan oleh Penerbit Mizan dengan judul Sejarah Tuhan) mengajukan suatu cara pandang yang berbeda dengan ilmuwan Barat pada umumnya. Bila Bassam Tibi dalam The Challenge of Fundamentalism misalnya mencoba menyorot fenomena fundamentalisme ini dari perspektif politis, sehingga akhirnya juga memberi rekomendasi yang bersifat politis berupa penguatan demokrasi (sekuler) dan hak-hak asasi manusia, maka Armstrong dalam buku ini mendekati fenomena fundamentalisme dari perspektif sosiologis dan kultural-eksistensial.
Dengan mengambil fokus pada tiga agama besar, yakni Yahudi, Kristen, dan Islam, Armstrong melacak secara kronologis perkembangan fundamentalisme secara sosiologis. Kerangka yang digunakan lebih bersifat kultural-eksistensial. Artinya, fundamentalisme bagi Armstrong—terlepas dari aspek sosio-politis yang sering melekatinya—dipandang sebagai suatu eksprimen pemaknaan terhadap usaha untuk menjadi sosok yang religius ketika agama dihadapkan dalam sebuah masa transisi sosio-kultural berupa terjadinya gelombang modernisasi dan globalisasi.
Modernisme telah merombak tatanan sosial masyarakat sedemikian rupa yang bahkan menyelusup ke seluruh bidang kehidupan: ekonomi, atau sosial-politik-intelektual. Pola masyarakat yang berkembang bukan lagi masyarakat agrikultur, tetapi masyarakat industrial. Hal inilah yang menurut Armstrong dalam bidang keagamaan mendorong lahirnya berbagai ekspresi yang bersifat eksprimental sebagai bentuk budaya tanding bagi arus modernitas itu sendiri.
Secara historis hal ini sebenarnya pernah terjadi pada sekitar tahun 700-200 SM, ketika perkembangan teknologi agraria telah mendorong lahirnya kerajaan-kerajaan baru, muncul fenomena penolakan masyarakat terhadap corak teologi nenek moyang yang bersifat paganistik, beralih kepada pencarian zat agung yang bersifat tunggal, transenden, dan menjadi sumber kesakralan.
Dalam A History of God Armstrong juga menengarai bahwa pemikiran ateistik yang lahir di akhir abad ke-19 merupakan suatu reaksi terhadap ketidakcukupan konsep ketuhanan yang ada ketika itu dalam menghadapi tantangan perubahan sosial yang bersifat massif. Kelahiran fundamentalisme juga didorong oleh tuntutan pendefinisian ulang ajaran (spiritualitas) keagamaan ketika modernisasi—seperti pendapat Anthony Giddens—nyaris membunuh kultur-kultur lokal suatu masyarakat.
Uraian kronologis dalam buku ini dimulai dari tahun 1492, yang menurut Armstrong menjadi titik tolak lahirnya gejala fundamentalisme. Inilah periode yang selain dibarengi dengan lahirnya beberapa corak pemikiran filosofis yang amat berbeda dengan periode sebelumnya, juga diikuti oleh sebuah peristiwa penting yang memicu berkembangnya gejala fundamentalisme, yakni ketika Raja Ferdinand dan Ratu Isabella—dua penguasa Katolik yang pernikahannya pada waktu itu mampu menyatukan dua kerajaan Iberia kuno, Aragon dan Castile—berhasil menaklukkan negara-kota Granada.
Pendudukan ini mengakibatkan terusirnya penduduk muslim Spanyol kembali ke wilayah Timur Tengah, karena mereka diberi dua pilihan: pindah agama atau dideportasi. Demikian pula kaum Yahudi, sehingga tercatat ada sekitar 80.000 orang Yahudi yang menyeberang ke Portugal, dan 50.000 orang mengungsi ke kerajaan Utsmaniyah di Turki. Sementara itu, kaum Yahudi yang bertahan di Spanyol dan memeluk agama Kristen lambat-laun kembali ke kepercayaan semula, dan membentuk sebuah organisasi bawah tanah untuk mengajak para converso lainnya kembali ke agama asli mereka. Akan tetapi, Raja Ferdinand mencium aktivitas ini, sehingga ada 13.000 converso dibunuh oleh program Inkuisisi dalam dua belas tahun pertama program tersebut.
Memasuki abad ke-16 orang-orang Yahudi di Eropa sama sekali tidak menghirup udara bebas. Mereka tinggal dalam suatu komunitas tertutup bernama “ghetto”. Segregasi atau pemisahan ini pada akhirnya semakin meningkatkan prasangka anti-Semit, dan kaum Yahudi ini lalu memandang dunia non-Yahudi yang kejam itu dengan kepahitan dan mata penuh curiga.
Akumulasi pengalaman orang-orang Yahudi yang sedemikian pahit dan tragis inilah yang mengantarkan mereka pada suatu situasi disorientasi yang begitu dalam dan menjadikan mereka menjadi masyarakat terasing secara religius dan spiritual. Proses modernisasi yang dibawa Raja Ferdinand bagi mereka menunjukkan karakter agresif dari modernitas sehingga akhirnya mereka dituntut untuk mengembangkan suatu bentuk kepercayaan baru yang dapat membuat tradisi lama mereka tetap relevan dan berarti, di tengah-tengah situasi lingkungan yang berubah secara radikal.
Hal semacam ini pulalah yang dialami umat Islam ketika terusir dari Spanyol. Seperti diurai Armstrong di Bab 2, orang-orang Islam yang menjadi korban dari sebuah tatanan sosial baru ini lalu pindah membangun sebuah tatanan yang dalam bahasa Marshall G. S. Hodgson mengusung “semangat konservatif”. Semangat konservatif yang dibangun ini ditandai dengan diproklamasikannya pintu ijtihad yang telah tertutup, dan hanya mempersilahkan umat untuk taklid.
Konservatisme ini terus semakin menjadi-jadi ketika kawasan Timur Tengah mengalami periode imperalisme oleh bangsa Eropa pada akhir abad ke-18, sehingga memunculkan gerakan-gerakan bercorak fundamentalistik.
* * *
Cara pandang menarik yang dijadikan kerangka teoritik oleh Armstrong dalam buku ini semakin memperkokoh nilai penting buku ini dalam kondisi kekinian. Buku ini tidak saja memaparkan secara sosiologis perkembangan fundamentalisme dalam agama Yahudi, Kristen, dan Islam. Akan tetapi, perspektif Armstrong dalam menguraikan observasinya ini mengajak kita bersama untuk melihat fundamentalisme dari kacamata yang lebih bersifat positif.
Dari perspektif ini, fundamentalisme adalah sebuah kritik terhadap perkembangan modernitas yang nyaris bergerak tanpa kontrol. Modernisme yang sejak awal menjadikan manusia sebagai tolok ukur segalanya—yang secara epistemologis semula dimaksudkan untuk memperkokoh logos dan menggusur mitos dengan merayakan peran rasio—justru seringkali terjebak dalam kelemahan moral yang menganggap remeh martabat dan harga diri manusia. Acapkali ditemui sekelompok masyarakat yang dengan tega melakukan pembunuhan atas nama rasionalitas dan kemanusiaan. Ini terutama banyak dialami oleh kelompok masyarakat dunia ketiga yang terhegemoni oleh globalisasi hasil impor kelompok dunia pertama (negara-negara maju).
Buku ini menunjukkan bahwa citra negatif kaum fundamentalis bisa jadi memang merupakan suatu produk konstruksi struktural dunia modern yang hegemonik, invasif, agresif, dan destruktif. Karena itu, dengan mengangkat sisi lain fundamentalisme, buku ini kemudian memberikan suatu tawaran cara yang lebih arif dan bijak dalam menyikapi fenomena fundamentalisme. Agenda mendesak yang perlu dikedepankan adalah upaya mengatasi kekecewaan kelompok fundamentalis ini—yang sebenarnya juga dirasakan oleh kelompok lain—terhadap berbagai ekses modernisme yang tidak mengakomodasi kebutuhan spiritual manusia. Upaya-upaya untuk mencari titik kesepahaman menjadi amat penting untuk menciptakan tatanan dunia yang lebih baik dan penuh kedamaian.
Dan buku ini dari suatu perspektif sebenarnya adalah suatu pintu masuk menuju ruang dialog yang dimaksudkan tersebut. Ditulis oleh seorang yang dibesarkan dalam tradisi dan kebudayaan Barat modern, maka buku ini tidak lain adalah suatu kritik internal masyarakat Barat terhadap produk kebudayaannya sendiri terutama dalam mempersepsikan sesuatu yang dinilai negatif dan dimiliki kelompok masyarakat lain. Buku ini adalah semacam oksidentalisme, studi ke-Barat-an yang justru dilakukan oleh orang Barat sendiri—seperti yang juga pernah dilakukan Michel Foucault ketika mengkritisi sejarah pembentukan identitas masyarakat kelas menengah Eropa. Buku ini adalah cerminan suatu sikap terbuka dan rendah hati untuk kebersediaan memahami pilihan sikap dan tindakan orang lain, dan merupakan benih dialog antar-peradaban yang selayaknya diikuti dengan sejumlah langkah bijak lainnya.


Tulisan ini dimuat di Majalah Gamma, 31 Oktober 2001.

Read More..

Senin, 27 Agustus 2001

Ideologi di Balik Pembangunan

Judul Buku: Sesat Pikir Teori Pembangunan dan Globalisasi
Penulis: Dr. Mansour Fakih
Penerbit: Insist Press bekerjasama dengan Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Cetakan: Pertama, Juli 2001
Tebal: viii + 250 halaman


Persoalan pembangunan suatu masyarakat, terutama di negara-negara berkembang, hingga saat ini masih berada dalam suatu proses yang tak kunjung selesai dilalui. Khusus di Indonesia dan kawasan negara Asia Tenggara yang saat ini dilanda krisis ekonomi, sosial, politik, dan budaya, masalah pembangunan menjadi suatu problem penting. Krisis multidimensional yang secara tiba-tiba menyerbu sejak tahun 1997 membuktikan kegagalan paradigma pembangunan yang selama ini diterapkan.
Secara simplisistis orang-orang sering menghubungkan krisis yang melanda Indonesia ini dengan kegagalan pengelolaan pemerintahan, dengan diangkatnya istilah KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme) untuk menggambarkan pemerintah yang buruk. Buku ini berusaha mengungkapkan bahwa ada sesuatu yang lebih dari sekedar kebobrokan pemerintah yang dinilai totaliter dan tidak demokratis itu. Buku ini menyatakan bahwa jalan keluar bagi kemelut pembangunan yang berpihak bagi rakyat bawah tidak hanya dapat diselesaikan dengan pembentukan pemerintah yang bersih dan berwibawa. Perjalanan kelompok reformis yang telah mengawal proses reformasi selama sekitar 3 tahun ini telah cukup untuk membuktikan bahwa ada sesuatu yang bersifat lebih mendasar dalam soal penyelesaian masalah pembangunan.
Dengan sebuah uraian teoritik yang cukup meyakinkan, buku ini melakukan sebuah studi kritis terhadap teori-teori pembangunan dan globalisasi yang menjadi pembimbing arah pembangunan berbagai kalangan di Indonesia: pemerintah, LSM, aktivis sosial, dan sebagainya. Mansour Fakih, penulis buku ini yang telah cukup lama bergelut dalam kegiatan-kegiatan pemberdayaan masyarakat, sejak awal bagian buku ini mengingatkan bahwa ada suatu ideologi tersembunyi yang merasuk dalam teori-teori pembangunan dan globalisasi itu.
Dalam kerangka itulah buku ini melanjutkan uraian-uraian kritisnya. Pisau analisis yang digunakan Mansour dalam buku ini adalah konsep paradigma Thomas Kuhn, yakni bahwa ada suatu tempat berpijak yang mendasari segenap teori-teori itu yang pada tahap akhirnya mampu menentukan pandangan seseorang untuk menentukan sisi-sisi suatu program sosial. Dan patut diingat bahwa suatu paradigma tertentu yang digunakan di masyarakat tidak serta-merta berarti bahwa paradigma itu benar, tapi lebih disebabkan karena paradigma itu didukung oleh suatu kekuatan dan kekuasaan yang besar dan kuat.
Mansour melihat bahwa ternyata ada beberapa aktivis sosial yang tanpa disadari menggunakan dasar teoritik dan visi ideologis yang bertolak belakang dengan tujuan yang diinginkannya. Ini menunjukkan adanya suatu kelemahan teoritik dalam hal visi ideologis gerakan sosial yang sedang dikerjakannya.
Menurut Mansour, teori-teori pembangunan yang berkembang sebenarnya adalah kelanjutan dari proses kolonialisme yang terpental akibat gemuruh tuntutan berbagai pihak. Developmentalisme dilontarkan guna membendung arus sosialisme, sehingga sebenarnya ia tidak lain adalah kemasan baru kapitalisme.
Dalam praktiknya, pembangunan memang terlalu sering diartikan semata-mata sebagai pertumbuhan ekonomi, dan abai terhadap masalah keadilan, pemerataan, atau perlakuan manusiawi terhadap berbagai khazanah kebudayaan lokal. Segala sesuatu dilihat semata-mata dari perspektif material, termasuk pula manusia. Karena itu, tidak heran bila atas nama pembangunan penggusuran dilegalkan, atas nama stabilitas pembangunan darah rakyat dihalalkan, dan atas nama pembangunan rakyat dininabobokan dalam kabut kebodohan.
Sementara itu, yang namanya globalisasi, tidak lain adalah kelanjutan dari teori pembangunan yang mewarisi semangat hegemonik dan imperialis. Dalam teori globalisasi, tiap negara didorong untuk berintegrasi dalam sistem ekonomi dunia. Globalisasi, yang titik awalnya ditandai dengan perjanjian internasional di bidang perdagangan yang dikenal dengan GATT (General Agreement on Tariff and Trade), tidak lain adalah globalisasi kapitalisme yang menjadi perpanjangan tangan kelompok negara-negara maju, dengan antek-antek bernama IMF, WTO, atau World Bank. Dalam proses globalisasi itu sendiri sebenarnya terlihat dengan terang siapa yang diuntungkan dengan sistem tersebut: mereka adalah kelompok-kelompok perusahaan transnasional yang berasal dari negara-negara industri.
Melalui buku ini, Mansour Fakih cukup berhasil menelanjangi ideologi teori-teori pembangunan dan globalisasi, sehingga kita semua, terutama para aktivisi sosial, menjadi awas terhadap masalah ini. Hal ini penting artinya agar gerakan sosial yang sudah cukup banyak berakar dari bawah tidak sia-sia, hanya gara-gara tidak sadar dengan tirai ideologis yang menyelimutinya.

Tulisan ini dimuat di Majalah Forum Keadilan, 27 Agustus 2001.

Read More..

Selasa, 14 Agustus 2001

Pendidikan sebagai Jantung Transformasi

Judul Buku: Menjadi Guru Merdeka: Petikan Pengalaman
Penulis: Ira Shor dan Paulo Freire
Penerbit: LKiS, Yogyakarta
Cetakan: Pertama, Mei 2001
Tebal: xvi + 300 halaman


Wacana pendidikan selama ini dibiarkan terbengkalai ditindih isu-isu politik yang menebar di seantero atmosfer wacana aktual. Sebagian besar masyarakat termasuk kalangan intelektual dan akademisi bahkan menganggap pendidikan sebagai wilayah yang betul-betul terpisah dari domain politik. Akibat yang dirasakan saat ini cukup nyata: dunia pendidikan masih saja terpuruk dalam keterbelakangannya.

Dalam dialog Paulo Freire dan Ira Shor dalam buku ini dengan jelas ditegaskan bahwa pendidikan dan politik memiliki keterkaitan yang cukup erat. Sekolah sebagai titik tolak bidang formal pendidikan bukanlah wilayah netral yang steril dari nilai-nilai politis. Sekolah dibentuk oleh dialektika nilai dan bangunan sosial yang melingkupinya sehingga tak heran bahwa sekolah bisa menjadi salah satu tameng penopang suatu nilai tertentu—termasuk status quo.

Struktur kapitalis yang membayangi hampir seluruh belahan dunia saat ini misalnya menurut Freire telah cukup mampu merintangi kritisisme masyarakat terhadap lingkungan sosialnya melalui sekolah. Kurikulum yang seolah netral ditanamkan kuat-kuat untuk menjinakkan dan menyetop imajinasi tentang kemerdekaan. Untuk itu, di sekolah-sekolah pengetahuan diperlakukan sebagai seonggok mayat dingin, bukan sosok kehidupan yang bertaut erat dengan realitas. Ruang kelas hanya menjadi ajang untuk mengetahui (ilmu), bukan memproduksi, sehingga akhirnya ruang kelas hanya menjadi pasar jual-beli pengetahuan antara guru dan murid.

Freire yang juga dikenal sebagai tokoh pendidikan pembebasan dalam buku ini menegaskan bahwa pendidikan adalah sebuah tindakan politis. Pendidikan yang membebaskan berusaha memberikan suatu perspektif cerdas tentang sekolah, masyarakat, dan belajar, untuk sebuah transformasi masyarakat.

Usaha Freire untuk menjadikan pendidikan sebagai instrumen penting transformasi sosial ditempuh dalam berbagai cara. Salah satu hal yang mendasar adalah penegasan ulang keterkaitan pengetahuan dengan realitas sosial. Motivasi belajar misalnya menurut Freire semestinya dipahami sebagai hasil dialektika seorang siswa atau guru dengan tindakan dan keterlibatannya dalam proses-proses sosial, sehingga akhirnya betul-betul menyatu dengan proses belajar itu sendiri.

Realitas ketertindasan sosial-politik dan ekonomi misalnya telah menjadi motivasi penting dalam sosok dan semangat pemikiran Freire sendiri. Secara biografis terungkap bagaimana Freire bergulat dengan fenomena kemiskinan, kelaparan, atau teror dan intimidasi penguasa di negerinya.

Sikap kritis yang diimpikan Freire yang muncul dari ruang kelas ini tidak lain adalah ketercerahan untuk dapat mengkritisi sistem kapitalis yang telah membentuk dan mengepung sekolah. Karena itu, seorang guru yang memiliki impian pembebasan harus bisa mendorong siswa-siswanya melahirkan imajinasi kreatif berupa pemikiran-pemikiran alternatif guna mengantisipasi realitas sosial masa depan dan mendayagunakan semuanya untuk membangun masyarakat.

Karena situasi eksistensial siswa dan guru menjadi titik tolak yang tak bisa ditawar, maka dialog dan partisipasi menjadi kunci penting dalam sebuah proses pendidikan. Ini adalah sebuah usaha dekonstruktif untuk mendemistifikasi posisi guru yang selama ini dianggap “segalanya”. Dialog harus dapat memadamkan otoriterisme sistem sekolah, karena dalam dialog akan terbentuk suatu ketegangan permanen antara otoritas dan kemerdekaan yang membuka ruang bagi kreativitas berpikir guru dan siswa. Perbedaan-perbedaan pendapat dalam ruang kelas tidak diletakkan dalam kerangka antagonistik, tapi berada dalam bingkai partisipatoris.

Dengan itu semua diharapkan pendidikan betul-betul dapat berperan mendukung proses transformasi dengan menghasilkan siswa-siswa dan guru yang memiliki rasa kebersamaan, solidaritas, dan kepedulian serta tanggung jawab untuk meraih kehidupan yang lebih baik.

Buku yang berjudul asli A Pedagogy for Liberation: Dialogues on Transforming Education (1987) ini berusaha mengeksplorasi lebih jauh gagasan-gagasan pendidikan pembebasan Freire yang diformat dalam suatu dialog lepas antara Freire dan Ira Shor, seorang pemikir dan aktivis pendidikan pembebasan yang telah bereksprimen dengan gagasan Freire.

Untuk kesekian kalinya elit-elit (politik) Indonesia harus disadarkan dari kesibukannya berebut kursi kekuasaan, untuk lebih memikirkan bidang pendidikan yang untuk jangka panjang akan sangat berguna sekali mendorong dan mengawal proses transformasi dan demokratisasi masyarakat.


Tulisan ini dimuat di Majalah Forum Keadilan, 13 Agustus 2001.

Read More..

Rabu, 27 Juni 2001

Dari Pasar Bebas ke Etika

Judul Buku: Masih Adakah Harapan Bagi Kaum Miskin?
Penulis: Amartya Sen
Penerbit: Mizan, Bandung
Cetakan: Pertama, Maret 2001
Tebal: xxxii + 140 halaman


Ilmu ekonomi termasuk ilmu yang berusia cukup tua. Aristoteles, seorang filsuf Yunani Kuno, mendefinisikan ilmu ekonomi sebagai ilmu tentang pengaturan rumah tangga (oikonomia, dari oikos dan nomos). Akan tetapi sejarah perkembangan manusia hingga memasuki milenium ketiga ini masih banyak diselimuti oleh berbagai fakta kegagalan ilmu ekonomi terutama dalam mengatasi kemiskinan, kelaparan, ketertindasan, kesenjangan, dan sebagainya.
Melalui buku ini, Amartya Sen, peraih Nobel Ekonomi tahun 1998, melakukan kritik epistemologis terhadap ilmu ekonomi modern yang gagal menjawab tantangan kemanusiaan. Kritik dan gagasan utama Sen dalam buku ini tercermin dalam judul asli buku ini, yakni On Ethics and Economics. Dalam buku ini Sen mengatakan bahwa selama ini ilmu ekonomi cenderung lebih berorientasi pada perkembangan pasar dan bisnis tingkat dunia saja tanpa memperhatikan proses-proses pembangunan ekonomi yang menurut kenyataannya telah merampas hak-hak asasi manusia.
Untuk mengakhiri kebuntuan tersebut sudah semestinya ilmu ekonomi melakukan tegur sapa dan dialog dengan bidang ilmu lain yang cukup penting, yakni etika. Asumsi dasarnya amat sederhana: kegiatan ekonomi pada dasarnya adalah suatu kegiatan manusiawi biasa yang karena itu semestinya juga memperhatikan segi-segi etis. Dengan memberi perhatian yang lebih besar secara eksplisit terhadap pertimbangan-pertimbangan etis inilah ilmu ekonomi nantinya dapat lebih bersifat efektif mengatasi persoalan-persoalan ekonomi masyarakat yang sebenarnya.
Kritik epistemologis Sen dimulai dengan suatu penyadaran sejarah bahwa sejak semula sudah lama ditegaskan keterkaitan ilmu ekonomi dengan bidang ilmu lainnya, seperti etika dan ilmu politik. Aristoteles misalnya dalam buku Nicomachean Ethics mengaitkan subjek ilmu ekonomi dengan tujuan-tujuan manusia. Dengan demikian, telaah ekonomi seharusnya juga mengikutkan pembahasan mengenai berbagai penilaian dan peningkatan tujuan yang bersifat lebih mendasar itu, yang dapat ditemukan dalam bidang etika pada level individu dan politik pada level struktur sosial.
Sen juga mengkritik pandangan ilmu ekonomi modern yang mengatakan bahwa dalam perilaku ekonomi sepenuhnya bersifat rasional. Rasional di sini bisa berarti sebagai konsistensi internal terhadap pilihan, atau mengidentifikasikan rasionalitas dengan maksimalisasi kepentingan diri. Sen secara tegas menolak kedua anggapan ini terutama karena dengan adanya asumsi perilaku rasional dalam aktivitas ekonomi, maka pendekatan etis diam-diam hendak dibuang jauh-jauh. Lagipula, menurut Sen, yang disebut dengan konsistensi yang murni itu sebenarnya amat bergantung kepada serangkaian penafsiran (subjektif) terhadap beberapa pilihan, dan bahwa kepentingan diri itu tidak serta-merta dapat mengantarkan kepada efisiensi atau efektifitas ekonomis.
Dalam soal kepentingan diri ini pula Sen memberikan penafsiran terhadap pemikiran Adam Smith dalam buku The Wealth of Nation yang oleh beberapa kalangan dianggap sebagai penolakan Smith terhadap pendekatan etis dalam ilmu ekonomi. Menurut Sen, ketika Adam Smith menulis: “Kita mendapatkan manfaat, bukan karena rasa kemanusiaan mereka melainkan karena kecintaan mereka pada diri sendiri, dan jangan pernah berbicara dengan mereka tentang kebutuhan-kebutuhan kita sendiri melainkan keuntungan-keuntungan mereka”, dia sebenarnya sedang membahas tentang pola pembagian kerja ekonomi dan bagaimana transaksi-transaksi normal berlangsung di pasar sehingga dapat memberikan manfaat bagi semua pihak.
Lebih jauh lagi Sen memperjelas bahwa pertimbangan etika dalam ilmu ekonomi tidak hanya dapat memberikan maksimalisasi kesejahteraan pribadi saja, melainkan juga dapat mendorong timbulnya tanggapan-tanggapan yang membuat kesejahteraan pribadi mendapat landasan lebih luas daripada konsumsi sendiri. Namun perlu dicatat bahwa pendekatan etis juga memerlukan penilaian-penilaian yang bersifat konsekuensial terhadap aktivitas ekonomi, sehingga dapat menjangkau bidang kehidupan yang lebih luas.
Pemikiran-pemikiran Sen dalam buku ini menarik dikaji dan didiskusikan bersama ketika ilmu ekonomi kehilangan keberpihakannya terhadap nilai humanisme dan cenderung elitis karena berparadigma positivistik. Melalui pemikiran Sen ini, ilmu ekonomi diajak kembali kepada komitmen awalnya untuk menebar harapan bagi semua orang untuk dapat hidup lebih baik dan layak dan tidak terjebak pada ambisi dan kerakusan.

Tulisan ini dimuat di Majalah Gamma, 27 Juni 2001.

Read More..

Senin, 09 April 2001

Akomodasi, atau Hegemoni?

Judul Buku : Fiqh Madzhab Negara: Kritik Atas Politik Hukum Islam di Indonesia
Penulis : Marzuki Wahid dan Rumadi
Penerbit : LKiS, Yogyakarta
Cetakan : Pertama, Februari 2001
Tebal : xx + 232 halaman



Negara Orde Baru adalah—meminjam istilah Nietzsche—monster berdarah dingin yang memiliki jemari kekuasaan di seluruh medan kehidupan masyarakat: sosial-politik, budaya, ekonomi, keluarga, bahkan juga agama. Dengan ditopang oleh —dalam istilah Foucault—formasi-formasi diskursif dan non-diskursif, Negara Orde Baru menyelusup dan mengukuhkan eksistensinya dalam nalar dan kehidupan masyarakat sehari-hari.
Buku ini adalah telaah kritis terhadap kebijakan politik Negara Orde Baru terhadap hukum Islam. Buku ini mencoba membuktikan betapa selama Orde Baru agama yang dalam hal ini berwujud hukum Islam tunduk bersimpuh di hadapan kekuasaan negara tanpa memiliki posisi tawar yang cukup kuat.
Marzuki Wahid dan Rumadi—penulis buku ini—jelas-jelas menolak anggapan yang mengatakan bahwa sejak dekade akhir 1980-an Orde Baru mulai mengakomodasi kepentingan-kepentingan umat Islam, misalnya dengan pembentukan ICMI, diberlakukannya UU No. 7/1989 tentang Peradilan Agama, diubahnya kebijakan tentang Jilbab tahun 1991, dikeluarkannya Inpres No. 1/1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI), digunakannya simbol-simbol agama dalam acara resmi negara, dan sebagainya.
Menurut penulis buku ini gejala-gejala tersebut tidak bisa dengan mudah dilihat sebagai bentuk akomodasi Negara Orde Baru terhadap umat Islam. Pembacaan kritis terhadap hal tersebut di atas seharusnya sanggup mendedahkan pertanyaan: siapa yang paling diuntungkan dengan kebijakan-kebijakan tersebut? Konstruksi sosial-politik semacam apa yang melatari lahirnya kebijakan tersebut?
Buku ini mengambil sampel terbitnya Inpres No. 1/1991 tentang Kompilasi Hukum Islam untuk mengamati secara lebih jauh politik hukum Islam Orde Baru.
Asumsi yang melandasi buku ini adalah bahwa setiap produk hukum pada dasarnya adalah produk politik atau diberlakukan atas legitimasi politik, sehingga karakter hukum yang lahir tersebut sangat bergantung pada konfigurasi politik yang melatarinya.
Negara Orde Baru dengan watak hegemonik yang luar biasa besar sejak awal telah mendeklarasikan dirinya sebagai Orde Pembangunan. Pembangunan di sini lebih dimaknai sebagai pembangunan ekonomi dengan meminjam model theory of stage-nya W.W. Rostow. Dalam iklim developmentalisme yang sedemikian kuat itu, maka hukum menjadi subordinat terhadap pembangunan ekonomi, sehingga akibatnya hukum bukan lagi menjadi alat perubahaan sosial, alat pembebasan, atau sarana pencapaian keadilan sosial, tetapi menjadi penunjang dan pelengkap pembangunan.
Dengan demikian hukum dalam wacana politik Orde Baru lebih terkonsentrasi pada fungsi-fungsinya sebagai alat pembangunan, bukan pada fungsi sosial-kemanusiaan.
Adapun Hukum Islam pada dasarnya merupakan hukum yang betul-betul hidup (living law) dalam masyarakat. Hukum Islam memiliki dimensi amaliah (praktis) yang amat besar, bahkan dalam beberapa kasus telah menyatu dalam adat-istiadat suatu masyarakat. Salah satu ciri penting Hukum Islam adalah sifatnya yang fleksibel sehingga banyak melahirkan aliran-aliran pemikiran.
Kasus terbitnya kebijakan Inpres No. 1/1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI) dapat dilihat dari beberapa segi. Dari segi pembentukannya KHI lahir secara semi-responsif. Maksudnya peranan pemerintah (eksekutif) dan yudikatif amat besar, sementara ulama/cendekiawan berada dalam posisi periferal.
Dari segi materi hukum, kelahiran KHI ditandai dengan sifatnya yang reduksionistik. Bila Inpres No. 1/1991 tersebut dibaca secara kritis, terungkap bahwa menurut Inpres tersebut, landasan atau dasar serta rujukan KHI adalah Pancasila, UUD 1945, UU No. 14/1970, UU. No. 14/1985, UU No. 1/1974, dan PP No. 28/1977. Al-Qur’an sebagai sumber hukum Islam yang sudah disepakati sama sekali tidak disebut-sebut sebagai bahan rujukan. Selain itu, secara material KHI hanya meliputi wilayah hukum perdata menyangkut hukum-hukum keluarga, padahal hukum Islam memiliki bidang garapan yang jauh lebih luas.
Akhirnya, penulis buku ini menyimpulkan bahwa KHI patut disebut sebagai “fiqh Islam berwawasan Pancasila”. Ini berarti bahwa secara substansial KHI memang cukup membawa sebagian semangat hukum Islam, tetapi pembahasan, struktur, logika, dan kehendak sosial yang diembannya berada di bawah otoritas negara (Orde Baru).
Di bagian akhir buku ini penulis mengajak pembaca untuk merenungkan kembali independensi agama beserta seluruh elemen-elemenya yang bersifat sosial di hadapan negara. Hal ini penting terutama dalam rangka mengelak cengkeraman hegemonik negara yang bisa mengebiri semangat pembebasan agama berupa politisasi agama demi kepentingan kekuasaan.


Tulisan ini dimuat di Majalah Forum Keadilan, 9 April 2001.


Read More..

Rabu, 04 April 2001

Hidup Merdeka Bersama Agama

Judul Buku: Teologi Pembebasan Asia
Penulis: Michael Amaladoss
Penerjemah: A. Widyamartaya dan Cindelaras
Penerbit: Pustaka Pelajar bekerjasama dengan Insist Press & Cindelaras, Yogyakarta
Cetakan: Pertama, Januari 2001
Tebal: xvi + 333 halaman


Teologi Pembebasan selalu identik dengan teologi di wilayah Amerika Latin yang memiliki orientasi pemikiran agama Kristen. Buku karya Michael Amaladoss ini berusaha menunjukkan bahwa dalam perkembangannya semangat Teologi Pembebasan Kristiani itu juga sudah menyebar dalam tradisi teologi agama lain, sesuai dengan fakta pluralitas masyarakat.

Kawasan Asia misalnya adalah wilayah yang memiliki akar keragaman tradisi religius yang cukup kuat. Asia adalah tanah kelahiran agama-agama besar di dunia—Yahudi, Islam, Kristen—dan sejumlah agama lain seperti Hindu, Budha, dan Konghucu. Karena itu, Teologi Pembebasan dalam pemikiran Amaladoss seolah diproklamasikan sebagai teologi orang-orang beriman yang ingin lepas dari ketertindasan struktural yang dialami masyarakat. Memang, setiap agama menurut Amaladoss memiliki segi-segi yang membebaskan dan nabi-nabi yang berusaha menyoroti unsur-unsur pembebasan dalam menafsirkan tradisi agama secara kreatif dan relevan.

Latar belakang Teologi Pembebasan Asia tidak jauh berbeda dengan teologi pembebasan di wilayah lain (Amerika Latin atau Afrika). Meski Asia adalah tempat lahirnya agama-agama, akan tetapi yang tampak adalah bahwa agama di Asia tidak bisa berbuat banyak untuk membebaskan masyarakat dari fenomena ketertindasan, kemelaratan, kemiskinan, dan pertikaian antar-kelompok yang tiada henti.

Malah agama ditunggangi oleh kelompok elit masyarakat tertentu untuk dijadikan basis legitimasi demi kemakmuran mereka sendiri.

Keprihatinan seperti itulah yang melahirkan gerakan-gerakan pembebasan berbasis agama di beberapa kawasan Asia, seperti teologi Minjung di Korea, teologi Perjuangan di Filipina, dan teologi Dalit di India. Demikian juga ketika kelompok-kelompok agama Konghucu di Cina, Hindu di India, Budha di Sri Langka, serta Islam di Pakistan, Iran, atau Indonesia, mencoba berjuang menuntaskan problem-problem ketertindasan itu.

Teologi Minjung di Korea lahir dalam tekanan diktator Park Chong-hee pada awal 1970-an yang menyebabkan masyarakat hidup dalam teror dan kemiskinan. Sementara Teologi Perjuangan di Filipina muncul dalam suasana ketertindasan ekonomi-politik yang dihasilkan dari rezim Ferdinand Marcos.

Refleksi teologis yang dilakukan para teolog di kawasan Asia pada gilirannya mendorong mereka untuk berusaha keras bekerja sama melawan ketidakadilan ekonomi dan politik itu. Kerja sama, dialog, dan kesepakatan yang diambil oleh kaum agamawan ini tidak dihasilkan dari perbincangan teoritik yang abstrak, tapi berasal dari keterlibatan sosial mereka yang konkret untuk membela nilai-nilai agama yang mereka yakini.

Pengalaman hidup masyarakat yang menjadi titik tolak refleksi teologis ini pada akhirnya mengharuskan para teolog pembebasan ini untuk menyelesaikan semua sisi kehidupan masyarakat yang sudah akut itu: ekonomi-politik, pribadi-masyarakat, dan kebudayaan-agama. Bila tidak, usaha pembebasan yang dilakukan hanya mencapai hasil yang setengah-setengah.

Dengan mempertimbangkan keenam matra sosial yang perlu dibenahi itu, Amaladoss dalam buku ini merekomendasikan agar setiap program aksi pembebasan tidak cukup hanya diilhami dan dimotivasi oleh spirit agama, melainkan juga butuh bantuan dari ilmu-ilmu sosial yang dapat memberikan kerangka strategi dan opsi-opsi konkret dalam gerakan pembebasan.

Dengan demikian, tampak bahwa keterbukaan yang dibutuhkan oleh gerakan teologi pembebasan tidak saja keterbukaan terhadap tradisi agama lain, tetapi juga keterbukaan terhadap khazanah intelektual yang dihasilkan dari proses dialektika sejarah.

Dan, pembebasan yang dicita-citakan tentu saja tidak hanya pembebasan dari kekuatan-kekuatan penindas yang membelenggu kebebasan masyarakat, melainkan juga pembebasan dari keterbatasan akibat egoisme dan hasrat keinginan, baik individu maupun kolektif.

Kelebihan buku ini dari buku-buku bertema teologi pembebasan adalah bahwa karena buku ini berusaha menampilkan semangat teologi pembebasan yang dimiliki beragam agama di kawasan Asia. Teologi Pembebasan yang semula lahir dari tradisi kristiani melebar dan membentuk kesadaran teologi pembebasan yang berdasarkan atas fakta kemajemukan masyarakat. Ini berarti teologi pembebasan sudah menjadi semacam teologi universal. Buku ini mengajak kita semua untuk memikirkan kembali semangat persaudaraan kosmis yang dibawa agama-agama untuk ditiupkan dalam kehidupan konkret, merubah masyarakat dalam hidup yang lebih baik, hidup yang merdeka.

Tulisan ini dimuat di Majalah Gamma, 4 April 2001.

Read More..

Kamis, 29 Maret 2001

Menyoal Cita Keadilan Negara

Judul Buku: Negara, Pasar, dan Keadilan Sosial
Penulis : Dr. Heru Nugroho
Penerbit: Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Cetakan: Pertama, Januari 2001
Tebal: 254 halaman


Posisi negara dalam era reformasi menjadi sebuah wacana yang tak habis diperbincangkan. Sentralisme kekuasaan negara sepanjang 32 tahun rezim Orde Baru tak jarang menjadikan negara terpojok dalam posisi yang (di)salah(kan). Tuntutan masyarakat saat ini jelas: corak represif negara harus berubah dengan memberi ruang bebas bagi partisipasi masyarakat luas.
Buku ini berusaha menelaah secara lebih jauh tentang bagaimana sebenarnya negara dan masyarakat menempatkan dan menfungsingkan dirinya demi terciptanya keadilan sosial. Konteks reformasi sosial-politik dan konteks globalisasi ekonomi yang begitu kuat melahirkan tantangan berat sedemikian rupa yang menjadi beban negara dan masyarakat sekaligus. Dibutuhkan suatu strategi cantik untuk mengantisipasi cengkeraman globalisasi ekonomi yang menjunjung semangat persamaan tanpa harus terseret dalam jurang kesenjangan yang dapat menghancurkan ikatan-ikatan sosial masyarakat.
Selama ini ada pandangan yang mengatakan bahwa globalisasi ekonomi yang mewujud dalam kebijakan ekonomi pasar bebas akan menciptakan kondisi yang demokratis sehingga mampu melahirkan kemakmuran sosial. Seperti lantang disuarakan oleh kaum Neo-Liberalis, pasar bebas memiliki mekanisme internal untuk mendemokratiskan suatu bangsa, karena dalam pasar bebas prinsip persamaan dijunjung tinggi.
Heru Nugroho dalam buku ini jelas menampik hal tersebut. Dalam buku ini Heru menunjukkan bahwa logika yang digunakan untuk memahami hal ini mestinya dibalik: pasar bebas hanya akan efektif dalam suatu masyarakat yang liberal, transparan, dan demokratis. Sistem politik otoriter semacam Orde Baru misalnya telah dapat menunjukkan bahwa semangat ekonomi pasar bebas akhirnya direnggut oleh konspirasi borjuis yang berbau kolutif-nepotis, sehingga pasar bebas yang sesungguhnya tidak terjadi.
Bila demikian, sirnalah sudah cita-cita keadilan sosial yang merata bagi masyarakat, karena dengan suburnya praktik koncoisme dalam aktivitas ekonomi maka yang terjadi selanjutnya malah adalah monopoli, oligopoli, dan konglomerasi yang kesemuanya dikemas rapi sehingga tidak beraroma busuk.
Karena itu, tuntutan bagi terwujudnya sistem demokrasi merupakan suatu keniscayaan yang tak tertolak. Pasar bebas sudah di depan mata, sehingga upaya-upaya ke arah demokratisasi harus segera dilaksanakan.
Momen reformasi saat ini sebenarnya adalah saat yang tepat untuk secara serius menggarap usaha-usaha demokratisasi. Heru dalam buku ini sepertinya tidak terlalu tertarik dengan usaha demokratisasi di tingkat elit politik (high politics), dengan lebih memilih jalur bawah (grass root). Hal ini karena proses reformasi yang sedang berlangsung saat ini memungkinkan rakyat bawah ikut berkiprah langsung dalam proses-proses sosial-politik.
Untuk itulah, bila rakyat bawah tidak memiliki cukup pengetahuan tentang pendidikan politik kewargaan, maka dikhawatirkan rakyat bawah yang awam itu akan mudah digerakkan untuk kepentingan-kepentingan kelompok politik tertentu, sehingga hal itu hanya akan bersifat kontra-produktif bagi proses demokratisasi.
Heru mengingatkan bahwa pemberdayaan masyarakat lapisan bawah tidak dilakukan dengan jalan revolusioner, akan tetapi lebih dengan cara mengoptimalkan fungsi dari institusi-institusi mediasi di masyarakat yang sebetulnya secara sehari-hari telah dimanfaatkan masyarakat. Struktur mediasi yang dimaksudkan di sini adalah lembaga-lembaga yang mempunyai posisi di antara wilayah kehidupan pribadi dengan lembaga-lembaga birokrasi negara yang bersifat publik.
Contoh dari struktur mediasi di sini meliputi keluarga, ketetanggaan, komunitas agama, dan kelompok swadaya masyarakat. Lembaga-lembaga ini biasanya memiliki akar sosiologis yang cukup kuat sehingga individu dapat merasa at home di dalam struktur mediasi tersebut. Dengan memanfaatkan struktur-struktur mediasi ini, sebenarnya juga berarti usaha mendayagunakan kekuatan lokal, baik institusi maupun sumber daya alam, untuk kesejahteraan masyarakat.
Yang menarik adalah bahwa pemberdayaan masyarakat melalui struktur-struktur mediasi ini pada sisi yang lain juga peduli dengan fakta pluralitas masyarakat karena interaksi melalui struktur-struktur mediasi tersebut menuntut masing-masing pihak untuk saling-menghormati yang lain.
Paling akhir, pemberdayaan masyarakat lapis bawah yang diusulkan Heru dalam konteks reformasi ini dapat juga dilihat sebagai usaha mengimbangi tata politik yang timpang akibat terlalu menguatnya negara selama Orde Baru.

Tulisan ini dimuat di Majalah Panji Masyarakat, 28 Maret 2001.

Read More..

Kamis, 08 Maret 2001

Mantra Mistis Politik Orde Baru

Judul Buku: Mistisisme Jawa : Ideologi di Indonesia
Penulis : Niels Mulder
Penerbit: LKiS, Yogyakarta
Cetakan: Pertama, Januari 2001
Tebal: xvi + 184 halaman


Secara sepintas, dunia mistik memang sama sekali tidak berhubungan dengan dunia politik. Akan tetapi, Niels Mulder dalam buku ini membuktikan betapa alam pemikiran mistisisme Jawa telah sekian lama bercokol dalam nalar politik masyarakat Indonesia. Niels Mulder menengarai adanya kesejajaran pola pemikiran mistis Jawa dengan pola rekayasa kultural nation building di Indonesia.
Ini terjadi sepanjang pemerintahan Orde Baru di bawah Presiden Soeharto. Ideologi Pancasila tidak hanya dijadikan sebagai pusat wacana politik dan ideologi Indonesia, akan tetapi juga diberi label ruh kebudayaan sebagai alat legitimasi. Untuk itulah, rezim Orde Baru memproyeksikan dirinya sebagai sebuah Orde Kultural yang mengusung semangat orisinilitas kultural Bangsa Indonesia.
Problem yang dipersoalkan di sini bukan sekedar soal legitimasi kultural yang digunakan. Lebih jauh lagi, bagaimana pola kesejajaran itu memberikan implikasi bagi atmosfer politik Indonesia selama Orde Baru—bahkan mungkin juga hingga saat ini.
Alam pikiran mistis bagi masyarakat Indonesia bukan sesuatu yang asing. Warisan praktik dan pemikiran Hinduisme dan Budhisme menjadi lahan subur bagi praktik mistisisme. Bahkan kehadiran Islam pun tidak bisa melepaskan dirinya dari berbagai praktik mistis, sehingga dalam perkembangannya muncul istilah Islam-Kejawen.
Tradisi mistisisme Jawa ini juga disokong oleh berbagai sumber literatur lokal yang bersifat sinambung berupa naskah-naskah kuno seperti Negarakertagama, Serat Centini, atau Wedhatama, yang dilanjutkan oleh teks-teks abad XX karya Ki Hadjar Dewantara atau Ki Ageng Soejomentaram. Dalam bidang kebudayaan hal ini juga diperkuat dengan penafsiran wayang yang bersifat populer dengan menjawakan mitologi Mahabharata atau Ramayana.
Menguatnya nalar politik mistis dalam ranah politik nasional Indonesia menurut Mulder dimulai sejak naiknya mayoritas pimpinan Angkatan Darat dan petinggi pemerintahan yang memiliki akar kuat tradisi kejawen di awal Orde Baru. Ditambah lagi ada rasa ketidakpuasan masyarakat yang tak terbendung terhadap agama-agama formal yang sudah mapan, sehingga mereka melirik dunia mistis. Terjadilah proses revitalisasi kejawen yang berjalan melalui jalur atas dan jalur bawah sekaligus.
Kebangkitan kejawen dalam dua jalur ini mempermudah terjadinya proses jawanisasi dalam dunia politik. Menurut Mulder, sebenarnya proses ini sudah dimulai sejak sebelum Orde Baru, ketika idiom-idiom politik diadopsi dari khazanah mistis Jawa. Slogan-slogan Soekarno misalnya menurut Mulder seringkali menimbulkan kesan bahwa ada usaha menguasai dunia politik dengan menggunakan mantra-mantra sakti.
Orde Baru mengawali pemerintahannya dengan suatu legitimasi yang bersifat mistis: Supersemar. Kata yang cukup bertuah ini berasal dari kata Super yang menunjuk kepada manifestasi ketuhanan yang sempurna, yakni Ismaya, kakak Dewa Shiwa, dan Semar yang merupakan tokoh utama dalam dunia pewayangan yang selalu mendukung kebenaran—kalau bukan kebenaran itu sendiri.
Orde Baru memperteguh dirinya dengan menjadikan Pancasila sebagai ideologi negara diikuti dengan penafsiran resmi terhadap kelima sila Pancasila. Penafsiran terhadap Pancasila bila diamati menurut Mulder amat sejajar dengan pola-pola pemikiran mistis Jawa, sehingga misalnya banyak ditemukan kata-kata Jawa yang digunakan. Seperti istilah ing ngarso sung tulodo, ing madya mangun karsa, atau tut wuri handayani (yang kemudian menjadi slogan Departemen Pendidikan Nasional).
Proses ini dilanjutkan dengan indoktrinasi habis-habisan melalui jalur pendidikan formal. Peserta didik dari kelas dasar hingga perguruan tinggi tanpa sadar dijejali dengan nalar mistis Jawa yang menurut Mulder ditafsirkan untuk mengebiri kritisme masyarakat. Karena itu, nalar mistis yang dikembangkan dalam menafsirkan Pancasila adalah nalar yang mengedepankan harmoni, kolektivisme, ketaatan pada ‘guru’, kemanunggalan rakyat-negara, dan sebagainya.
Kajian dalam buku ini menarik terutama untuk memahami proses pembentukan budaya dan nalar politik masyarakat Indonesia saat ini yang sedang berusaha mereformasi dan menyingkirkan berbagai hambatan proses demokratisasi. Buku ini nampaknya membisikkan kita semua untuk memberikan pemaknaan baru terhadap ideologi negara, bukan memuatinya dengan nalar mistis yang menumpulkan sikap kritis, rasional, dan menjunjung otonomi individu.

Tulisan ini dimuat di Majalah Gamma, 7 Maret 2001.

Read More..

Kamis, 22 Februari 2001

Mengembalikan Watak Tekstual Al-Qur’an

Judul Buku : Tekstualitas Al-Qur’an: Kritik terhadap Ulumul Qur’an
Penulis : Nasr Hamid Abu Zaid
Penerjemah : Khoiron Nahdliyyin
Penerbit : LKiS, Yogyakarta
Cetakan : Pertama, Januari 2001
Tebal : xvi + 430 halaman


Bagi umat Islam, Al-Qur’an merupakan rujukan paling penting yang menjadi acuan dalam menentukan sikap-sikap keagamaan. Sedemikian penting posisi Al-Qur’an bagi umat Islam sehingga studi tentang tafsir Al-Qur’an menempati posisi yang juga penting, sehingga melahirkan berbagai pecahan bidang studi yang beragam.
Buku ini merupakan studi kritis terhadap studi ilmu-ilmu Al-Qur’an (Ulumul Qur’an) dengan dua maksud utama. Pertama, mengembalikan kaitan antara kajian-kajian Al-Qur’an dengan kajian-kajian kritik sastra. Kedua, sebagai upaya untuk membatasi konsep Islam dalam kategori ilmiah-objektif dengan mengatasi tesis-tesis ideologis yang selama ini berkembang.
Dua tujuan tersebut di atas awalnya merupakan hasil dari refleksi sekaligus keprihatinan terhadap studi ilmu-ilmu Al-Qur’an yang selama ini berkembang, yang menurut Nasr Hamid Abu Zaid, penulis buku ini, memperlakukan teks secara terlalu istimewa (mensakralkan teks secara berlebihan), sehingga menjauhkan karakter tekstual wahyu (Al-Qur’an) yang nyata-nyata dimilikinya.
Watak tekstual Al-Qur’an yang selama ini terpendam melahirkan beberapa ekses negatif yang memprihatinkan. Wahyu Tuhan yang awalnya ditujukan kepada manusia sebagai anggota masyarakat dengan tujuan untuk merekonstruksi realitas demi kebaikan dan kesejahteraan manusia, lambat-laun beralih fungsi lebih dalam wilayah ilustratif-ikonik, yakni dalam kerangka gerak menaik manusia menuju Tuhan. Pandangan Hujjatul Islam Al-Ghazali dalam hal ini dapat dikutip yang menegaskan bahwa tujuan dari pembacaan terhadap kalam Ilahi adalah mengenal Allah, mengungkapkan esensi Yang Mutlak dan sifat-sifat-Nya. Teks kemudian tidak dikaitkan dengan maksud dan tujuan pewahyuan, tetapi dikaitkan dengan Pengirim Wahyu.
Selanjutnya, Al-Ghazali yang nota bene banyak dipengaruhi oleh pandangan-pandangan teologi Asy`ariah mengatakan bahwa kalam Ilahi adalah bagian dari sifat Tuhan dan bukan bagian dari perbuatan Tuhan—seperti diyakini oleh golongan Mu`tazilah. Akibatnya, wahyu terlepas dari realitas sosiologis manusia, dan lebih jauh lagi, menyeret teks dalam suatu wilayah misterius yang berada jauh di luar horizon pengetahuan manusia.
Konsekuensi terjauh dari semua ini adalah semakin tumpulnya peran transformatif-revolusioner Al-Qur’an dengan mengalihkan fungsinya pada batas-batas kesalehan individual semata.
Untuk itulah, rekonstruksi terhadap ilmu-ilmu Al-Qur’an harus segera dilakukan guna mengembalikan kembali watak tekstual Al-Qur’an, sehingga sebagai wahyu Al-Qur’an dapat menegaskan kembali peran konkretnya dalam masyarakat.
Abu Zaid mengawali uraiannya dengan penjelasan metodologis yang mendasari buku ini, yaitu asumsi karakter tekstual wahyu yang berkaitan dengan hubungan teks dengan realitas dan kebudayaan. Hakikat Al-Qur’an bagi Abu Zaid adalah wataknya sebagai teks yang (di)lahir(kan) dengan kesadaran penuh akan kaitannya dengan realitas kultural. Kebenaran suatu teks akan diuji menurut ketepatannya dan kesesuaiannya dengan atmosfer kultural, bahwa ia tidak bertentangan dengan wawasan kebudayaan masyarakat setempat.
Hal ini dapat dibuktikan dengan menelusuri pengertian konsep wahyu dalam masyarakat Arab-Jahiliah. Wahyu dalam pengertian kebudayaan masyarakat ketika itu adalah semacam komunikasi "rahasia" antara manusia dengan jin yang biasanya dikaitkan dengan fenomena puisi dan perdukunan. Karena itu, kedatangan Al-Qur’an sesuai dengan rasionalitas masyarakat Arab, sehingga tidak ditemukan adanya pengingkaran terhadap fenomena wahyu (Al-Qur’an). Penolakan yang muncul lebih berkaitan dengan muatan ajaran wahyu atau pribadi penerima wahyu (Nabi Muhammad).
Aspek lain yang menampakkan wujud keterkaitan antara wahyu dan realitas kultural adalah diturunkannya Al-Qur’an secara berangsur-angsur. Hal ini terjadi karena kebudayaan Arab saat itu adalah budaya lisan yang mengandalkan hafalan.
Uraian-uraian dalam buku utuh ini dapat dikatakan cukup menyeluruh karena menyinggung semua segi dari ilmu-ilmu Al-Qur’an, mulai dari uraian tentang konsep wahyu, penerima wahyu, asbabun nuzul, persoalan makki dan madani, nasikh dan mansukh, kemukjizatan Al-Qur’an, dan yang lainnya.
Buku ini patut diapresiasi bersama terutama karena berada dalam kerangka penolakan terhadap cara pemahaman dogmatis-ideologis terhadap wahyu, dengan mengajukan cara baca yang baru dan menarik terhadap wahyu, sehingga melahirkan pemahaman segar yang mencerahkan dan membebaskan.


Tulisan ini dimuat di Majalah Panji Masyarakat, 21 Februari 2001.


Read More..

Kamis, 25 Januari 2001

Langkah Mundur Sebuah Revolusi

Judul Buku: Devolusi Negara Islam
Penulis: Asghar Ali Engineer
Penerbit: Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Cetakan: Pertama, Desember 2000
Tebal: 346 halaman


Hingga saat ini, masih ada beberapa kalangan masyarakat yang memiliki keinginan untuk menerapkan syariat Islam di Indonesia. Bahkan mungkin, ada juga beberapa pihak yang menginginkan didirikannya Negara Islam.. Menurut mereka, dengan pemberlakuan syariat Islam atau dengan didirikannya Negara Islam, peluang terwujudnya masyarakat yang lebih baik akan semakin terbuka.
Benarkah anggapan-anggapan tersebut di atas? Apakah Islam memang harus ditubuhkan bersama institusi penerapan syariah atau Negara Islam untuk mencapai tujuan pendiriannya?
W.C. Smith pernah mengatakan bahwa sebenarnya kelahiran Islam di tanah Arab merupakan suatu upaya revolusioner yang paling serius untuk membentuk masyarakat yang berkeadilan sosial, bahkan melebihi usaha revolusi kaum Marxis.
Akan tetapi, menurut Asghar Ali Engineer, penulis buku ini, gerak revolusi Islam yang dibawa Muhammad ternyata mengalami proses pemerosotan beberapa dekade setelah kewafatannya. Ekspansi wilayah Islam melalui penaklukan beberapa negara memperumit struktur pengawasan dan pengendalian pemerintahan sehingga membuat mereka abai dengan cita keadilan sosial Islam.
Pada waktu kelahiran Islam, sama sekali tidak dikenal konsep Negara Islam. Dalam al-Qur’an pun tidak ada konsep baku yang bersifat ilahiah tentang Negara Islam. Al-Qur’an hanya menjelaskan kosep tentang masyarakat, bukan tentang negara. Muhammad mengambil keputusan yang berkaitan dengan ranah sosial-politik secara pragmatis tidak melulu berdasarkan wahyu.
Misalnya ketika Muhammad hijrah ke Madinah, Muhammad segera menyusun suatu rumusan perjanjian yang dikenal dengan Konstitusi Madinah. Kehadiran Muhammad di Madinah ternyata cukup mampu menjadi penengah sekaligus peredam konflik antara suku-suku dan kaum Yahudi di sana. Konstitusi ini merupakan suatu revolusi besar-besaran bagi masyarakat Madinah, karena konstitusi ini berusaha mengalihkan kekuasaan dari tangan suku-suku kepada tangan masyarakat luas. Perjanjian ini dinilai sebagai dokumen yang mendasari terbentuknya sebuah negara yang memperhitungkan perimbangan kekuatan masyarakat menuju semangat persamaan dan keadilan.
Feodalisme Islam mulai nampak ketika ekspansi wilayah pada masa Khalifah Umar menghasilkan harta rampasan perang yang membuat elit politik Islam—yang nota bene adalah para Sahabat Nabi—terlena untuk menimbun harta. Kesenjangan ekonomi akibat penumpukan kekayaan ini secara sosiologis juga berdampak bagi solidaritas dan semangat persaudaraan Islam, sehingga muncul ketegangan-ketegangan antar-kelompok. Kondisi ini diperparah dengan watak nepotis pemerintahan Khalifah Usman yang semakin memperteguh munculnya kelompok borjuis (tuan tanah).
Citra feodal menjadi amat jelas pada masa Dinasti Umayyah dan Abbasiyah, karena yang berlaku adalah sistem kerajaan. Distribusi ekonomi tidak berjalan seimbang sehingga penumpukan harta secara besar-besaran terjadi di kalangan penguasa. Eksploitasi negara-negara Islam abad pertengahan terhadap rakyatnya ini mendapat dukungan kuat melalui legitimasi religius atau dalil agama, dengan melarang pemberontakan terhadap penguasa yang masih melakukan shalat.
Negara-negara Islam di abad ini ternyata juga masih tidak bisa lepas dari aroma feodal ala abad pertengahan. Artikulasi kepentingan ekonomi-politik penguasa lebih kental ketimbang pertimbangan persaudaraan sesama muslim. Sementara, pemberlakuan hukum pidana Islam menjadi dalih untuk mengatakan bahwa mereka menjunjung tinggi semangat agama.
Padahal, menurut Maulana Azad dari India keadilan sosial, persamaan derajat, dan persaudaraan merupakan esensi agama (Din) yang berbeda dengan syariah (hukum pidana Islam) yang bersifat partikular. Ayat-ayat al-Qur’an periode awal (ayat Makkiyah) amat kental dengan kecaman terhadap ketidakadilan dan perlakuan diskriminatif. Ketentuan-ketentuan syariah Islam baru muncul pada ayat-ayat Madaniyah.
Buku ini mengajak para pembacanya untuk merenungkan kembali karakter ‘Negara Islam’ pada awal kelahirannya untuk dapat menangkap ruh suci yang dibawanya. Sejarah perkembangan (Negara) Islam menurut Asghar saat ini mengalami devolusi dari cita-cita revolusioner yang semula diembannya. Asghar menekankan peran penting para ulama atau cendekiawan untuk tampil sebagai pelopor perubahan guna mengingatkan kembali cita-cita revolusioner Islam dan keberpihakannya terhadap rakyat jelata.

Tulisan ini dimuat di Majalah Panji Masyarakat, 24 Januari 2001.

Read More..

Kamis, 14 Desember 2000

Metamorfosis Sang Penyelamat

Judul Buku: Wajah Baru Etika dan Agama
Penulis: I. Bambang Sugiharto dan Agus Rachmat W.
Penerbit: Kanisius, Yogyakarta
Cetakan: Pertama, 2000
Tebal: 279 halaman


Carut-marut kehidupan sosial di berbagai pelosok negeri ini seringkali diidentifikasi sebagai akibat kelumpuhan etika dan agama untuk ikut menuntaskan problem-problem sosial. Karena itu, menghadapi krisis multidimensi yang dihadapi bangsa ini, diam-diam ada beberapa kelompok yang menaruh harapan kepada etika dan agama untuk mempertegas perannya dalam membangun kehidupan sosial yang beradab.
Akan tetapi, secara internal keduanya ternyata mengidap beberapa keakutan paradigmatis untuk menjalankan fungsinya secara optimal. Dengan kenyataan ini, maka hal yang harus segera dilakukan adalah pembenahan internal menyangkut paradigma dan cara aplikasi etika dan agama dalam kehidupan masyarakat global saat ini.
Akar penyebab keakutan paradigmatis yang dialami etika dan agama itu ternyata terdapat dalam pola pikir warisan modernitas. Kebenaran universal yang dicita-citakan modernisme serta upaya untuk menciptakan pribadi-pribadi yang otonom malah melahirkan gejala yang bertentangan. Universalitas kebenaran moral justru cenderung mendikte apa yang sesungguhnya dinilai “baik” dan “bermoral”, birokrasi modern menenggelamkan individu dalam privatisme-impersonal yang mengabaikan tanggung jawab serta ikatan emosional kehidupan bermasyarakat.
Sementara itu, agama yang idealnya menjadi rujukan sistem nilai untuk menciptakan kedamaian justru menjadi pemicu konflik sosial berkepanjangan. Akhirnya, kekerasan sosial disakralkan oleh legitimasi religius sehingga yang terjadi sebenarnya adalah demoralisasi agama. Agama kemudian menjadi simbol infantilisme, seperti telah lama diperingatkan oleh Sigmund Freud.
Kehadiran gerakan (dan aliran pemikiran) Postmodernisme dalam pengertian tertentu sebenarnya merupakan kritik pedas terhadap paradoks modernitas yang telah melenceng dari cita-cita pencerahan. Keyakinan akan universalitas kebenaran ternyata menjadi legitimasi untuk melakukan imperialisme nilai kepada masyarakat lain.
Untuk itu, Jurgen Habermas misalnya berusaha mengembalikan modernisme ke dalam cita idealnya semula. Sebagai penerus Mazhab Frankfurt, ia kemudian mengajukan pemaknaan baru terhadap rasionalitas, yakni sebagai suatu ‘adaptasi terus-menerus bahasa terhadap pemahaman yang berkembang makin luas berkat dialog’. Dialog di sini berarti kesediaan untuk saling mengoreksi dan memperluas worldview masing-masing kelompok. Bentuk aplikasi paling nyata dari pemaknaan Habermas terhadap rasionalitas-komunikatif ini dapat ditemukan dalam usaha-usaha untuk melakukan dialog antar-agama yang belakangan cukup ramai dibicarakan.
Menghadapi berbagai paradoks modernitas, maka agama menurut penulis buku ini seharusnya memerlukan suatu lingkaran hermeneutik kritis, yakni suatu penafsiran timbal-balik antara paradigma agama dan modernitas: paradigma modern dikritik oleh agama, dan agama juga perlu dikritik oleh paradigma modern.
Paradigma modern yang cenderung membuat manusia mengelak dari tanggung jawab moral serta kecenderungan materialisme sehingga menghilangkan komitmen terhadap nilai dan mengakibatkan kekosongan batin patut dikritik oleh agama dengan mengajukan alternatif pemecahan untuk memberi makna eksistensial yang lebih dalam bagi kehidupan manusia.
Demikian pula paradigma modern mesti diberi kesempatan untuk memberi kritik kepada agama. Formalisme-dogmatis dalam memaknai wahyu yang mengabaikan makna historisitas dan kebebasan manusia serta simbolisme elemen-elemen keagamaan untuk kepentingan tertentu akan dapat terungkap melalui dialog agama dengan ilmu-ilmu sosial produk modernisme.
Buku ini mengingatkan bahwa etika dan agama adalah sandaran perkembangan peradaban manusia. Karena itu, keduanya harus terus diupayakan untuk dapat menunjukkan perannya secara baik dalam kehidupan, terutama dengan mengembalikan keduanya kepada ‘situasi primordial’ yang mengutamakan kerendahhatian, tanggung jawab, pengorbanan diri, dan kepekaan manusiawi.

Tulisan ini dimuat di Majalah Gamma, 13 Desember 2000.

Read More..

Selasa, 05 Desember 2000

Anatomi Massa Partai Terlarang

Judul Buku: Badai Revolusi: Sketsa Kekuatan Politik PKI di Jawa Tengah dan Jawa Timur
Penulis: Arbi Sanit
Penerbit: Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Cetakan: Pertama, November 2000
Tebal: xiv + 252 halaman


Meski memiliki catatan kelam berkenaan dengan pembantaian massal di pertengahan dekade 1960-an, Partai Komunis Indonesia (PKI) banyak meninggalkan sesuatu yang menarik untuk dikaji. Dari catatan sejarah terungkap bahwa partai yang menurut Tap MPRS No XXV/MPRS/1966 ini resmi dilarang keberadaannya di Indonesia merupakan partai yang cukup akrab dengan kalangan masyarakat desa. Kemampuannya membujuk dan mengorganisasi massa merupakan suatu kelebihan yang diakui banyak pihak, sehingga pada Pemilu 1955 PKI masuk dalam empat partai besar selain PNI, NU, dan Masyumi.

Buku yang semula merupakan skripsi karya Arbi Sanit ini mencoba menelusuri kondisi sosiologis yang berlangsung di kawasan Jawa Tengah dan Jawa Timur yang memungkinkan PKI mampu bekerjasama dengan baik dengan kelompok petani dan kaum abangan. Kedua kelompok ini, petani dan abangan, adalah simpatisan utama yang memberikan suaranya untuk PKI pada Pemilu 1955. Dalam studi yang lebih merupakan studi literatur ini Arbi Sanit mencoba menjawab pertanyaan: mengapa petani dan abangan mendukung PKI? Bagaimana hubungan dan kerjasama antara kedua elemen sosial ini berlangsung?

Menurut Arbi Sanit, pilihan kelompok petani dan abangan untuk mendukung PKI muncul karena konstuksi obyektif yang menjadi background sosio-kultural masyarakat Jawa Tengah dan Jawa Timur. Kesadaran kelas (sosial) sebagaimana diteorikan Karl Marx yang mestinya menjadi acuan teoritik PKI sama sekali belum terbentuk. Bagi petani, PKI lebih nampak memberi harapan yang besar bagi usaha perbaikan hidup mereka yang tertekan.

Watak PKI yang radikal dan revolusioner menambah ketertarikan para petani. Di dalam struktur masyarakat pedesaan yang cenderung ketat dan tertutup hal ini berarti memberi peluang besar bagi mereka untuk melangsungkan mobilitas sosial. Sejak awal abad ke-19 orientasi nilai masyarakat pedesaan telah banyak dipengaruhi oleh keterlibatan mereka dalam perusahaan dan pabrik milik pemerintah kolonial Belanda. Orientasi kuat terhadap kekayaan materi menjadi perangsang yang besar bagi ketertarikan masyarakat pedesaan terhadap PKI. PKI mengkampanyekan diri sebagai partai yang peduli dengan nasib petani, terutama menyangkut masalah pertanahan dan upah buruh serta upaya memerangi kelompok borjuis di pedesaan.

Kelompok borjuis pedesaan oleh PKI diasosiasikan kepada kelompok santri yang memang banyak menguasai tanah dan bidang perdagangan. Kelompok santri yang secara ideologis cenderung memihak kepada partai-partai Islam (Masyumi, NU, PSII, dan Perti) diperhadapkan dengan kelompok petani yang masih belum memiliki basis ideologis. Kehadiran PKI bagi masyarakat pedesaan seakan-akan datang untuk menjadi media penegasan identitas mereka di hadapan kelompok santri. Apalagi masyarakat pedesaan memang cukup lemah dalam berorganisasi, sehingga mereka butuh pihak ketiga untuk membantu mereka.

Konflik ideologis masyarakat pedesaan antara kaum santri dan abangan ini semakin menguat menjelang Pemilu 1955. Iklim kebebasan berorganisasi dimanfaatkan oleh partai-partai untuk memperkuat basis politik di pedesaan yang secara obyektif memiliki jumlah pemilih yang besar. Walhasil, penegasan identitas kelompok semakin mengental. Masing-masing kelompok semakin terikat secara ideologis kepada kelompoknya.

Sebenarnya PKI memanfaatkan petani hanya lebih dalam rangka menjadikannya sebagai medan penggalangan dan pengawetan massa. Masalah para petani dan masyarakat pedesaan yang sebenarnya tidak dicarikan penyelesaian yang baik dan tepat. Daya kritis masyarakat pedesaan yang rendah dimanfaatkan PKI untuk “mengelabuhi” mereka dengan simbol-simbol tertentu. Pembagian tanah melalui land reform yang diperjuangkan PKI misalnya sebenarnya bukan jalan pemecahan terbaik bagi petani. Kondisi petani yang belum mampu mengelola tanah yang lebih luas dari satu hektar sama sekali diabaikan—bahkan oleh petani sendiri.

Buku ini menarik dan penting untuk dikaji karena tema yang diangkat terkait dengan bagian sejarah gelap bangsa Indonesia. Diskusi tentang PKI selama Orde Baru diharamkan, sehingga yang berkembang hanyalah penilaian-penilaian sepihak terhadap PKI. Melalui buku ini, Arbi Sanit cukup berhasil memetakan anatomi kekuatan massa PKI secara proporsional dengan menggunakan pendekatan sosiologis yang kental. Juga tentang bagaimana keduanya melakukan interaksi sehingga melahirkan kondisi sosial-politik tertentu pada kehidupan bangsa ini.


Tulisan ini dimuat di Majalah Forum Keadilan, 4 Desember 2000.



Read More..