Tampilkan postingan dengan label Book Review: Environmental Issues. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Book Review: Environmental Issues. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 18 Desember 2021

Tawaran Konkret Solusi Bencana Iklim

HOW TO AVOID A CLIMATE DISASTER
Solusi yang Kita Miliki dan Terobosan yang Kita Perlukan
Penulis: Bill Gates
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Cetakan: Pertama, Mei 2021
Tebal: 252 halaman
ISBN: 978-602-06-5284-9


Bencana iklim sudah di depan mata dan terjadi di mana-mana. Badai, kebakaran hutan, kenaikan permukaan laut, krisis pangan, dan juga pengungsi iklim, adalah sebagian contoh bencana iklim yang bisa saja semakin parah. Kenaikan suhu global setidaknya 1 derajat Celcius sejak era praindustri sudah memicu dampak yang cukup terasa. Perkiraan kenaikan suhu hingga setidaknya 1,5 derajat Celcius pada pertengahan abad ini menuntut langkah konkret bagi kita untuk mengantisipasi dampak yang lebih berat.

Bill Gates, pendiri Microsoft, melalui buku ini turut urun rembug untuk menyetop pemanasan global dan menangkal bencana iklim yang mungkin terjadi. Ide yang diusulkan adalah dengan menghentikan emisi gas rumah kaca yang dihasilkan dari aktivitas manusia. Bill Gates mengajak kita untuk bergerak menuju nol emisi.

Mengapa harus nol? Memang, Gates mengakui bahwa nol yang dimaksud adalah “dekat nol netto”, karena untuk nol emisi, kita semua harus benar-benar lepas dari bahan bakar fosil—sesuatu yang belum terbayang untuk saat ini atau dalam waktu dekat. Visi menuju nol harus ditanamkan dengan kuat karena kita berkejaran dengan waktu. Apalagi jejak karbon yang dihasilkan sekarang sekitar seperlimanya masih akan terjebak di atmosfer dalam 10 ribu tahun ke depan.

Gates menegaskan bahwa harus ada langkah untuk menuju nol emisi. Kita memiliki beberapa modal berharga: ambisi dan cita-cita, dan banyak orang muda dan pemimpin yang peduli pada isu lingkungan. Namun langkah konkret harus dirumuskan yang juga melibatkan terobosan-terobosan baru demi memperkuat daya untuk menangkal bencana iklim yang mungkin datang.

Dalam menyusun langkah konkret itu, Gates bekerja sebagai teknokrat sekaligus inovator. Gates menganalisis secara jernih dan runtut peta jalan menuju nol emisi. Dasarnya adalah data—data yang jelas dan relevan.

Di antara pokok gagasan Gates adalah bahwa kunci peta jalan menuju nol emisi ada pada energi atau listrik. Meski menurut data Breakthrough Energy listrik menyumbangkan 27 persen emisi gas rumah kaca dari total 51 miliar ton per tahun, namun aktivitas utama manusia lainnya, seperti pembuatan barang (yang menyumbangkan emisi 31 persen), juga tak lepas dari listrik.

Gates membahas panjang lebar kemungkinan pengembangan energi ramah lingkungan dan beberapa tantangan yang dihadapi. Termasuk di dalamnya kemungkinan pengembangan energi nuklir.

Salah satu tantangan pengembangan energi hijau adalah bahwa riset di bidang energi bersih saat ini masih sangat minim, baik yang dilakukan oleh negara maupun korporasi. Dari sudut bisnis, industri energi membutuhkan biaya modal yang besar sehingga perubahan atau transisi teknologinya tidak bisa cepat. Dari sudut politik, hukum dan kebijakan di bidang energi yang ada saat ini dibuat bukan untuk mengatasi masalah bencana iklim dalam konteks menyeluruh.

Beberapa sumber energi alternatif ramah lingkungan, seperti tenaga surya dan angin, menurut Gates, tidak memberi jaminan kepastian ketersediaan yang baik. Padahal, pasokan listrik, terutama dalam konteks bisnis, membutuhkan jaminan ketersediaan yang pasti. Tenaga surya dan angin juga bermasalah dengan soal teknologi penyimpanan (batere) dan juga distribusinya ke wilayah yang lebih luas.

Visi transisi energi menuju sumber yang ramah lingkungan menghadapi tantangan yang tidak ringan. Di antaranya terkait fakta bahwa saat ini sebagian penduduk dunia keluar dari jurang kemiskinan dengan ditopang oleh akses dan penggunaan energi fosil murah, seperti yang terjadi di Tiongkok. Tiongkok dan mungkin beberapa negara berkembang akan sulit untuk segera beralih ke sumber energi hijau dalam waktu dekat. Namun Gates menegaskan bahwa negara yang lebih awal membangun perusahaan dan industri nol karbon kemungkinan akan memimpin ekonomi dunia di masa mendatang.

Tawaran konkret yang diajukan Gates terangkum dalam tiga unsur pokok: kebijakan, teknologi, dan pasar. Harus ada intervensi kebijakan dari pemerintah, seperti dukungan dalam anggaran riset energi, juga usaha memperluas pasokan inovasi teknologi, dan upaya agar inovasi tersebut dapat diserap oleh masyarakat dan dunia usaha secara luas.

Tiga tawaran ini menuntut keterlibatan banyak pihak dan juga banyak disiplin ilmu, baik sains dan teknologi bidang energi, politik, ekonomi, dan mungkin juga humaniora. Merajut kolaborasi dari banyak pihak dan lintas ilmu ini tentu juga menjadi tantangan tersendiri.

Untuk mendorong kerja sama ini, Gates mengemukakan bahwa tiap pihak mesti juga memandang dari sudut pandang kepentingan diri sendiri. Pandangan altruistik mungkin dianggap kurang cukup meyakinkan untuk mendorong kerja sama pada bidang yang cukup rumit ini.

Jika dicermati secara mendalam, tampak bahwa buku ini ditulis dengan perspektif pengusaha dan inovator teknologi. Kelebihannya, proposal solusi Gates penuh perhitungan detail dan menimbang faktor risiko dan sisi negatif. Namun, kekurangannya, Gates kurang memberi porsi pada dimensi politis tatanan energi yang ada saat ini, baik pada tingkat negara maupun dalam konteks global. Padahal, masalah konflik antara negara dan korporasi yang terkait dengan energi misalnya dapat juga menjadi penghambat signifikan dalam perumusan kebijakan energi bervisi hijau.

Buku ini dapat menjadi bahan berharga untuk mendorong pembicaraan yang lebih intens dan multi perspektif tentang upaya bersama mengantisipasi bencana iklim global. Setidaknya, semua pihak mau untuk menaruh perhatian dan mau membicarakannya bersama-sama. Tanpa upaya bersama, rasanya sulit untuk menghadapi tantangan perubahan iklim di masa depan.


Tulisan ini dimuat di Koran Sindo, 18 Desember 2021.

Read More..

Minggu, 06 November 2016

Beres-Beres Rumah dan Gaya Hidup Minimalis


Judul buku: The Life-Changing Magic of Tidying Up: Seni Beres-Beres dan Metode Merapikan ala Jepang
Penulis: Marie Kondo
Penerbit: Bentang Pustaka, Yogyakarta
Cetakan: Pertama, Agustus 2016
Tebal: xviii + 206 halaman
ISBN: 978-602-291-244-6


Tak jarang hal yang dipandang remeh, kecil, dan biasa jika ditekuni dapat melahirkan hal yang luar biasa. Marie Kondo membuktikan hal ini saat namanya masuk di antara 100 Most Influential People of 2015 versi majalah Time berkat ketekunannya mendalami seni beres-beres dan metode merapikan rumah.

Urusan beres-beres dan merapikan rumah selama ini dianggap hal sepele yang tak perlu dipelajari secara khusus. Kenyataannya, menurut Marie Kondo, para “veteran” di bidang mengurus rumah, yakni perempuan 50-an tahun yang rata-rata mengurus rumah sekitar 30-an tahun, kewalahan mengurus rumah karena pendekatan konvensional mereka yang keliru.

Buku ini dapat dilihat sebagai buku yang bersifat praktis, yakni panduan untuk merapikan rumah. Namun, ketekunan, kecermatan, dan kedalaman penelaahan penulisnya yang saat ini berusia sekitar 31 tahun pada bagian tertentu buku ini memperlihatkan sisi yang mendalam, kritis, dan radikal, sehingga mungkin berada pada level yang cukup “filosofis”.

Merapikan rumah, menurut Marie, harus dilakukan secara total dan tuntas dalam satu jangka waktu. Perubahan drastis dan total akan menjadi terapi kejut untuk membentuk pola pikir dan gaya hidup yang rapi. Karena itu, berbenah menuntut tekad dan kesungguhan. Secara praktis, Marie kemudian memberi panduan untuk beres-beres rumah secara tuntas.

Pertama, Marie menerangkan bahwa berbenah itu sebenarnya meliputi dua aktivitas: membuang barang (yang sebenarnya tidak diperlukan) dan menyimpan atau meletakkan barang di tempatnya. Dari pengalamannya sebagai konsultan berbenah, Marie menemukan bahwa kliennya rata-rata menyimpan banyak sekali barang yang sebenarnya sudah tidak digunakan. Seorang klien, misalnya, membuang barang-barangnya hingga 200 kantong sampah bervolume 45 liter.

Ada juga klien yang menumpuk persediaan barang terlalu banyak di rumahnya: tisu toilet hingga 80 gulung, 60 sikat gigi, atau 100 kotak korek kuping yang masing-masing berisi 200 korek kuping.

Klien Marie yang mengoleksi buku banyak yang tak pernah menyentuh dan membaca beberapa bukunya. Saat diminta untuk memilah untuk menentukan buku yang akan dibuang, klien biasanya menjawab: “Siapa tahu saya ingin membacanya kapan-kapan.” Marie menimpali bahwa menurut pengalamannya, yang namanya “kapan-kapan” itu tak akan pernah datang.

Pada tahap membuang ini, terungkap bahwa ternyata orang-orang banyak yang takut akan menghadapi kesulitan hidup gara-gara kekurangan barang. Akhirnya mereka menimbun. Tapi pada giliran berikutnya ternyata timbunan barang itu membuat rumah mereka tidak rapi dan membuat mereka tidak bahagia. Menurut Marie, kita mestinya hanya menyimpan barang-barang yang dapat memberikan kebahagiaan dan membangkitkan kegembiraan.

Menurut Marie, dengan tuntas membuang barang yang sebenarnya tidak diperlukan hingga benar-benar pas sesuai kebutuhan, kita sebenarnya sedang merevitalisasi hubungan kita dengan benda-benda milik kita. Barang-barang yang diabaikan di rumah kita, bagi Marie, adalah barang-barang yang “terpenjara”. Mereka sebenarnya ingin pergi. Dengan membuangnya atau memberikannya pada orang lain, barang-barang itu menghirup udara kebebasan.

Setelah tuntas membuang barang-barang yang tak dibutuhkan, langkah berikutnya adalah disiplin meletakkan barang pada tempatnya. Marie menyarankan agar semua barang di rumah kita harus memiliki tempat yang jelas, tidak tersebar-sebar. Sering kali kita memiliki barang yang tak jelas tempat penyimpanannya sehingga bisa menjadi pangkal kesemrawutan di rumah. Selain kejelasan tempat, disiplin mengembalikan juga penting. Itulah pentingnya “alamat” yang jelas dari barang-barang kita di rumah.

Keajaiban berbenah adalah level kedua yang dipaparkan buku ini. Jika level pertama bersifat praktis, level kedua ini cukup bersifat filosofis. Pada level ini, pertama, kita diajak untuk “memanusiakan” barang-barang kita. Saat melipat baju, kata Marie, kita tidak saja sedang berusaha menghemat tempat penyimpanan pakaian. Ketika melipat baju, kita menyalurkan energi pada pakaian kita, kita juga berdialog, dan berterima kasih atas jasa pakaian kita yang telah menyokong kehidupan kita. Dengan memanusiakan barang-barang itu, kita belajar untuk mengapresiasi dan mensyukuri takdir barang-barang yang telah menjadi bagian dari hidup kita.

Selain itu, berbenah dapat mengantarkan pada pembentukan keterampilan membuat keputusan. Dalam berbenah, kita dilatih untuk membuat keputusan tentang barang yang benar-benar dibutuhkan. Pada saat yang sama, kita dilatih untuk mengikhlaskan barang yang sejatinya kita telantarkan.

Meski bertolak dari hal yang bersifat praktis dan secara eksplisit tak menyebut unsur ideologis yang menjadi landasannya, Marie Kondo dalam buku ini terlihat sedang mempromosikan gaya hidup minimalis atas dasar kesadaran kepedulian akan kelestarian alam. Kehidupan modern yang konsumtif membuat nafsu manusia untuk menumpuk barang kian tak terkendali sehingga kesadaran akan asal-muasal dan nasib barang kita menjadi terabaikan dan terlupakan.

Gaya hidup konsumtif ini tidak saja merusak kelestarian alam. Ia juga merusak kondisi psikologis manusia. Nafsu menumpuk barang nyatanya hanya membuat kita tidak tenang. Menurut beberapa ahli, hidup efisien, yakni hidup secukupnya, juga memberi manfaat psikologis—bukan hanya keuangan.

Lebih dari itu, gaya hidup minimalis yang diusung Marie Kondo dalam buku ini tampak memiliki muatan spiritual yang cukup kental. Jika dirumuskan dalam bahasa agama, mereka yang tak berhasil berbenah bisa saja termasuk orang yang “kufur nikmat”. Selain itu, penimbun barang dapat pula termasuk pada kelompok pemuja barang yang takut kehilangan dan begitu tergantung pada benda-benda duniawi.


Tulisan ini adalah naskah awal tulisan yang dimuat di Harian Jawa Pos, 6 November 2016.


Read More..