Judul buku: What is Religious Authority: Menyemai Sunnah, Merangkai Jamaah
Penulis: Ismail Fajrie Alatas
Penerbit: Bentang dan Mizan Wacana, Yogyakarta
Cetakan: Pertama, Januari 2024
Tebal: lxxvii + 338 halaman
Buku yang ditulis oleh Ismail Fajrie Alatas ini mengangkat tema otoritas keagamaan dengan tesis baru yang menarik. Bukannya menekankan otoritas keagamaan pada teks-teks keagamaan atau karisma sosok tertentu, buku ini menyatakan bahwa otoritas keagamaan merupakan hasil kerja artikulasi yang dilakukan secara berkelanjutan, yakni bagaimana seorang aktor menerjemahkan sunnah dan merangkai jamaah sehingga ia mendapatkan pengakuan dan kepatuhan tanpa paksaan.
Secara konseptual, buku ini menempatkan Islam sebagai tradisi diskursif sebagaimana digagas oleh Talal Asad yang tidak hanya mengaitkan Islam dengan kitab suci atau tradisi tekstual, tetapi juga terkait dengan bentuk praktik sosial yang berubah-ubah yang bergerak dengan mencari landasan pada masa lalu fondasional. Karena itu buku ini menolak gagasan Islam yang esensialistik yang bersifat akultural. Buku ini menempatkan Islam sebagai realitas sosiologis, sebagai “hasil dari suatu ikhtiar budi daya lahan sosial yang idealnya terus tumbuh dan berfungsi sebagai realisasi pranata norma-norma yang dahulu pernah ditegakkan oleh Nabi”.
Istilah kerja artikulasi (articulatory labor) menggambarkan kalibrasi aneka unsur pembentuk komunitas Islam yang bersifat konkret, relasional, dengan moda kerja beragam, yang pada satu titik dapat membentuk paradigma artikulasi tertentu. Berbeda dengan “karya/cipta” (work), kerja artikulasi merupakan reproduksi terus-menerus dan berulang yang memanfaatkan infrastruktur dan kerja politik tertentu.
Dengan kerangka konseptual seperti ini, buku ini mengkaji kerja artikulasi Habib Luthfi dalam membangun jamaahnya. Namun sebelum itu Alatas memberi gambaran latar kerja artikulasi Habib Luthfi yang terkait dengan bentuk dan perkembangan komunitas muslim di Nusantara.
Kerja artikulasi dapat berlangsung pada komunitas yang beraneka ragam, seperti tarekat, perdikan, keraton, atau wilayah suci yang di daerah Hadramaut disebut hautha. Alatas menyinggung Dipanagara yang merangkai komunitas dengan menerjemahkan masa lalu kenabian dengan melihat peran Nabi sebagai prototipe mistikus sejati. Namun Dipanagara memadukan kerja artikulasinya dengan cara pandang dunia ruh para leluhur Jawa sehingga melahirkan artikulasi sunnah yang khas.
Alatas membandingkannya dengan beberapa ulama Hadrami yang di antaranya mengembangkan komunitas berbasis teks seperti yang dilakukan ‘Abdallah bin ‘Alawi Al-Haddad (w. 1720) yang kemudian menjadi cukup paradigmatik di Nusantara. Kinerja Haddadiyah dilakukan dengan menerjemahkan Islam yang mudah diakses oleh orang kebanyakan dengan mengobjektifikasi ajaran Nabi dalam teks teologi, fikih, dan wirid yang mudah dipahami. Otoritasnya berkaitan dengan syaikh al-ta’lim (guru ajar) yang dianggap mampu untuk mengajarkan teks dan kurikulum standar.
Ada pula moda kerja artikulasi yang disebut “dinasti kewalian” (manshobah) yang berpusat pada masa lalu kewalian pendiri jamaah. Dinasti kewalian dipimpin oleh munshib turun-temurun yang otoritasnya berkaitan dengan ketersambungan hubungan darah (nasab). Di Indonesia, ada setidaknya 52 haul wali Hadrami yang rutin dilaksanakan sebagai bagian dari kerja artikulasi manshobah.
Habib Luthfi berada di antara moda-moda kerja artikulasi tersebut. Otoritas keagamaan Habib Luthfi tidak terbentuk terutama melalui jalur nasab, karena meski tersambung dengan Ba Alawi di Hadramaut, Habib Luthfi tidak berasal dari keluarga ulama atau wali. Otoritas Habib Luthfi dibangun dengan mobilitas atau rihlah mencari ilmu. Mobilitas yang membelok pada Habib Luthfi ditandai dengan jejak rihlah keilmuan dan spiritualnya yang beragam yang menyerap keanekaragaman sosial-budaya lokal di Nusantara, tak hanya pada jejaring Hadrami. Genealogi Habib Luthfi mula-mula tersambung dengan jaringan non-Ba Alawi melalui adopsi genealogis, ketika ia diangkat sebagai mursyid Naqsyabandi-Khalidi-Syadzili (NKS) oleh gurunya yang berdarah Jawa, Abdul Malik bin Muhammad Ilyas (w. 1980).
Keragaman dan lokalitas ini berpengaruh terhadap model sunnah yang dikembangkan oleh Habib Luthfi. Pemahaman dan kepekaan Habib Luthfi terhadap kultur yang beragam memperluas ruang gerak Habib Luthfi dengan komunitas dan jamaah yang lebih beraneka. Kita tahu, Habib Luthfi menguasai ragam bahasa kromo, juga bahasa Sunda, meski dalam bahasa Arab komunikatif cukup lemah.
Setelah tinggal di Pekalongan, kerja artikulasi Habib Luthfi berhadapan dengan komunitas jamaah yang lain yang berberbasis munshib atau lainnya. Misalnya dalam berinteraksi dengan jamaah Masjid Al-Raudhah yang berkomitmen secara kaku pada bahasa Arab dan ritual Ba Alawi. Ketegangan terjadi karena Kanzus Shalawat, pusat kegiatan jamaah Habib Luthfi, berdiri tidak jauh dari masjid yang diasuh oleh munshib ketiga Pekalongan, Habib Bagir.
Dengan gaya bertutur yang sangat nyaman dibaca, buku ini mendedahkan infrastruktur kerja artikulasi Habib Luthfi, seperti praktik shuhbah (penyertaan) atau pertemuan rutin bulanan dengan jamaah, penyusunan kitab wirid, relasi dengan aktor-aktor negara atau penguasa atau bahkan Keraton Yogyakarta, juga bagaimana Habib Luthfi membangun otoritas keagamaannya dengan berusaha merekonstruksi jejaring leluhurnya melalui pembangunan makam-makam wali yang diklaim memiliki hubungan nasab.
Nilai penting buku yang ditulis oleh associate professor di New York University ini terletak pada cara pandang baru yang ditawarkan untuk melihat dinamika otoritas keagamaan. Perspektif baru buku ini sangat berharga untuk dijadikan cara memotret keragaman komunitas-komunitas muslim di Nusantara pada khususnya yang memiliki keragaman moda artikulasi dalam mengembangkan dakwah dan komunitasnya masing-masing. Keragaman model penafsiran sunnah dan jamaah umat Islam di Nusantara bagaimanapun harus dilihat sebagai sebuah kekayaan budaya yang harus digali untuk dijadikan dasar dalam mengembangkan ragam dan model penghayatan keislaman yang lebih baik.
Saya yang dibesarkan dalam tradisi pesantren di Madura, misalnya, dapat merasakan betapa kerja-kerja artikulasi para kiai di pesantren sangatlah beragam dan menarik untuk didalami. Tawaran perspektif dan metodologis yang diajukan buku ini sangatlah berharga untuk dilewatkan begitu saja oleh para pengkaji Islam di Indonesia pada khususnya.
Tulisan ini dimuat di Harian Jawa Pos, 30 Maret 2024.
Sabtu, 30 Maret 2024
Kerja Artikulasi dan Otoritas Habib Luthfi
Minggu, 20 Juni 2021
Membangun Dunia dengan Asumsi Baik Sangka
Judul buku: Humankind: Sejarah Penuh Harapan
Penulis: Rutger Bregman
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Cetakan: Pertama, Februari 2021
Tebal: xxiv + 444 halaman
ISBN: 978-602-06-4919-1
Saat ini dunia dikelola di atas pandangan dasar yang suram. Dunia bisnis, pendidikan, juga negara, ditata dengan asumsi bahwa manusia itu bersifat dasar egois dan digerakkan oleh kepentingan pribadi.
Adam Smith, ahli ekonomi pencerahan, dalam karya klasiknya, The Wealth of Nations (1776), menjelaskan bahwa roda ekonomi berputar bukan karena dorongan kemanusiaan, tapi karena rasa cinta individu pada diri sendiri. Karena itu, egoisme jangan diredam.
Buku ini mengajukan argumen yang berbeda, yakni bahwa manusia itu pada dasarnya baik. Manusia itu memiliki naluri untuk bekerja sama, bukan bersaing. Manusia itu cenderung menaruh kepercayaan pada sesama, bukannya saling curiga.
Rutger Bregman, sejarawan muda dari Belanda yang menulis buku ini, menggambarkan betapa pandangan suram bahwa hakikat manusia itu bersifat durjana begitu dominan. Persepsi keliru ini utamanya terbentuk karena kita setiap hari mengonsumsi berita di berbagai media. Berita, menurut Bregman, cenderung mengangkat hal-hal yang negatif sehingga akhirnya membentuk persepsi bahwa manusia itu bersifat dasar buruk.
Bukan hanya berita, dari sisi ilmiah, banyak teori atau penemuan ilmiah yang menegaskan sisi muram manusia. Penelitian Philip Zimbardo pada 1971 menemukan bahwa manusia biasa berubah menjadi monster jika berada dalam situasi tertekan. Penelitian Milgram pada 1961 menunjukkan bahwa manusia patuh berbuat jahat saat berada dalam tekanan otoritas.
Untuk membongkar pandangan yang sudah mendarah daging ini, Bregman merangkum dan menelaah kembali beberapa penelitian mutakhir di bidang sejarah, humaniora, dan sains secara kritis. Pertama, Bregman membahas kemunculan homo Sapiens dan bagaimana ia bisa bertahan hingga kini.
Berdasar beberapa penelitian dari perspektif evolusioner, Bregman menyimpulkan bahwa manusia tidak dibentuk oleh gen egois seperti digagas Richard Dawkins. Jenis homo yang bertahan adalah yang ramah. Keramahan dan kerja sama melahirkan kecerdasan yang jauh lebih dahsyat ketimbang genius individual yang egois seperti Neanderthal.
Bregman membahas penyebab sifat baik manusia yang berubah menjadi jahat. Menurut Bregman, paling tidak ada dua pokok penyebab manusia menjadi jahat, yakni empati dan kekuasaan. Empat itu tak sepenuhnya baik. Empati bisa membutakan, membuat sifat baik manusia digusur oleh sifat buruk. Sebuah penelitian psikologis atas tentara Nazi mengungkapkan bahwa mereka bisa berperang dengan luar biasa bukan karena daya tarik ideologi Nazi, tapi karena persahabatan (Kameradschaft).
Sementara itu, kekuasaan cenderung membuat orang kehilangan sifat baik dan kebersahajaannya –sesuatu yang mungkin membuat dia terpilih sebagai pemimpin. Dari beberapa riset, Bregman menulis bahwa kekuasaan itu seperti obat bius yang mematikan kepekaan seseorang pada orang lain.
Bregman menjajaki kemungkinan membangun dunia dan lembaga-lembaga masyarakat dengan pandangan berbaik sangka. Prasangka baik atas sifat dasar manusia ini adalah sebuah harapan atau optimisme atas masa depan sejarah dunia.
Ada beberapa contoh konkret praktik lembaga yang menurut Bregman dikelola dengan asumsi sifat baik manusia. Di antaranya adalah pengelolaan dua penjara di Norwegia (Halden dan Bastøy) yang tak biasa karena dibangun dengan pendekatan yang lebih manusiawi –tak ada sel dan jeruji di sana.
Bregman menunjukkan bahwa dua penjara yang dibangun dengan asumsi bahwa manusia pada dasarnya baik itu justru lebih berhasil dan efektif dalam mengembalikan para narapidana pada kehidupan normal di masyarakat. Setelah dua tahun keluar dari Bastøy, misalnya, hanya 16 persen yang kembali dipenjara sesudah dua tahun –sedangkan di Amerika, angkanya mencapai 60 persen.
Gagasan reformasi yang diajukan Bregman diakuinya tidak mudah untuk diterima. Selalu ada alasan yang dikemukakan untuk berpegang bahwa manusia itu jahat. Selain itu, membela sifat baik manusia bisa menantang kekuasaan. Asumsi bahwa sifat manusia itu dasarnya adalah baik menuntut jenis kepemimpinan yang berbeda dengan yang lazim dipraktikkan saat ini.
Ide besar yang digagas buku ini menarik untuk dicermati lebih lanjut dan dikontekstualisasikan dengan situasi masyarakat kita. Reformasi kelembagaan di masyarakat kita sangat pantas untuk mempertimbangkan perspektif baru yang diajukan buku ini.
Selain gagasan dasar yang ditawarkan, kelebihan buku ini terletak pada kekayaan data dan argumentasinya yang dibangun secara kritis di atas banyak penelitian ilmiah mutakhir. Ketajaman analisisnya berpadu dengan gaya bertutur yang renyah dan nyaman dicerna. Namun sayang, edisi terjemahan buku ini tidak dilengkapi dengan indeks yang dapat memudahkan pembaca untuk mencari subjek penting tertentu secara lebih cepat.
Tulisan ini dimuat di Harian Jawa Pos, 20 Juni 2021.
Selasa, 05 Mei 2020
Agama dan Urgensi Literasi Sains
Judul buku: Memahami Sains Modern: Bimbingan untuk Kaum Muda Muslim
Penulis: Nidhal Guessoum
Penerbit: Qaf, Jakarta
Cetakan: Pertama, Februari 2020
Tebal: 204 halaman
ISBN: 978-602-5547-68-3
Saat wabah corona merajalela ke seluruh pelosok dunia, sering kali kita berjumpa dengan mitos-mitos yang bertebaran di berbagai media. Contohnya, bahwa infeksi virus corona dapat disembuhkan dengan mengonsumsi bawang putih, atau bahwa jika kita bisa menahan napas selama 10 detik tanpa batuk maka berarti kita tidak terpapar virus tersebut.
Mitos-mitos tersebut menyebar terutama melalui media sosial sehingga ketika dicerna oleh orang awam, hasilnya bisa beraneka rupa: ketakutan yang berlebihan, gelisah, dan semacamnya. Mitos semacam ini relatif mudah menyebar karena terkait dengan rendahnya literasi sains masyarakat.
Literasi sains yang rendah, menurut penulis buku ini, Nidhal Guessoum, dapat mengganggu kebijakan publik yang terkait dengan masalah kesehatan, lingkungan hidup, pangan, energi, dan sebagainya. Pengendalian wabah corona saat ini misalnya tentu akan lebih mudah andaikan kita memiliki tingkat melek sains yang cukup baik. Faktanya, bahkan negara maju seperti Amerika Serikat menurut data penelitian tahun 2008 tingkat melek sains di kalangan orang dewasa hanya mencapai sekitar 28%.
Menurut Guessoum, tingkat literasi sains terkait dengan pelajaran sains di tingkat sekolah menengah atas dan pendidikan tinggi dan juga sumber informasi sains informal seperti di koran, buku populer, internet, atau museum. Bagaimana dengan faktor agama, seperti Islam?
Guessoum menjelaskan bahwa kaum muslim beranggapan Islam itu tidak punya masalah dengan sains. Namun faktanya dalam beberapa tahun terakhir perspektif antisains berbasis agama mulai muncul. Beberapa pemuka Islam menolak pengetahuan sains dengan dasar tafsir literal atas al-Qur’an. Mereka juga lalu menempatkan sains dalam skema konspiratif: bahwa sains digunakan Barat untuk menyuburkan pandangan dunia materialistis.
Buku ini disusun oleh Guessoum sebagai bimbingan untuk kaum muda muslim agar bisa memahami sains modern secara proporsional. Setelah menguraikan pentingnya literasi sains, Guessoum memberikan gambaran singkat sejarah sains mulai era kuno hingga modern. Secara khusus, Guessoum juga menjelaskan ciri sains modern yang berbasis pada observasi dan eksperimen, berbasis pada matematika, serta profesionalisasi dan institusionalisasi kegiatan sains.
Dalam menempatkan sains modern dan agama, Guessoum menegaskan bahwa segala sesuatu yang ditemukan dan dirumuskan oleh saintis yang kemudian disebut dengan fakta alam atau hukum sains itu hanyalah pendekatan bertahap dan progresif menuju hukum alam sejati (yakni hukum Tuhan). Dengan argumen ini, Guessoum menempatkan sains sebagai usaha objektif yang bersifat ilmiah yang pada dasarnya tidak bertentangan dengan agama—bahkan bisa mendukung.
Dalam kaitannya dengan Islam, Guessoum juga bersikap kritis terhadap berkembangnya literatur i’jaz ‘ilmi (mukjizat sains dalam al-Qur’an dan sunnah) belakangan ini dan juga konsep sains sakral yang digagas oleh Seyyed Hossein Nasr. Yang pertama menurut Guessoum muncul lebih karena kaum muslim kalah mental di bidang sains dan mencari kepercayaan dirinya pada kitab suci, dan yang kedua muncul karena Nasr memandang naturalisme metodologis dalam sains secara negatif. Memang betul bahwa sains modern perlu dikritik. Tapi usulan sains tradisional ala Nasr justru mengorbankan karakter objektif sains yang sudah mapan.
Guessoum mendukung sains modern yang berkembang berdamping bersama agama—demikian juga sebaliknya. Dari sains, kaum beragama bisa menemukan jalan lain mengenal Tuhan melalui ciptaan-Nya. Selain itu, sains dapat mengangkat martabat manusia melalui ilmu dan juga membantu kebutuhan hidup sehari-hari. Di sisi yang lain, agama dapat ikut meneguhkan kaidah-kaidah etis dalam praktik sains sehingga dapat membantu menekan ekses negatif sains modern dan mengarahkannya ke jalan yang lebih baik.
Buku yang ditulis oleh guru besar Fisika dan Astronomi ini sangat penting dan bisa mengilhamkan untuk masyarakat Indonesia. Kemampuan sains pelajar Indonesia berdasarkan laporan PISA 2018 menempatkan Indonesia di peringkat ke-70 dari 78 negara yang diteliti—persis di bawah Kazakhstan dan Azerbaijan. Buku ini bisa menginspirasi upaya peningkatan melek sains dan juga bisa menjadi titik tolak diskursus agama dan sains yang lebih kontekstual, agar sains maupun agama dapat lebih mudah berkontribusi dalam menghadapi masalah-masalah kemanusiaan seperti wabah corona saat ini.
Tulisan ini dimuat di Jawa Pos Minggu, 3 Mei 2020.
Minggu, 09 Desember 2018
Warisan Gus Dur untuk Resolusi Konflik
Judul buku: Gus Dur, Islam Nusantara, dan Kewarganegaraan Bineka: Penyelesaian Konflik Aceh dan Papua 1999-2001
Penulis: Ahmad Suaedy
Penerbit: Gramedia, Jakarta
Cetakan: Pertama, November 2018
Tebal: xxxiv + 488 halaman
ISBN: 978-602-06-1813-5
Diceritakan bahwa suatu hari Presiden Abdurrahman Wahid—yang akrab dipanggil Gus Dur—menerima laporan bahwa di Papua ada pengibaran bendera Bintang Kejora–bendera Organisasi Papua Merdeka (OPM). Kalangan tentara melihat ini sebagai bentuk ancaman separatisme. Setelah mengetahui bahwa ada juga bendera merah putih yang dikibarkan dengan posisi lebih tinggi, Gus Dur dengan santai menanggapi, “Anggap saja Bintang Kejora itu umbul-umbul.”
Jawaban ini bukan sekadar guyonan khas Gus Dur. Jawaban ini dapat menjadi pintu masuk untuk memahami strategi penyelesaian konflik ala Gus Dur khususnya dalam kasus Aceh dan Papua secara lebih menyeluruh, sebagaimana yang dipaparkan dengan baik oleh Ahmad Suaedy dalam buku ini.
Menurut Suaedy, Gus Dur mendobrak asumsi dan visi mendasar dalam penanganan konflik Aceh dan Papua yang sebelumnya hanya parsial, belum radikal, bahkan salah jalur. Untuk konflik Aceh, misalnya, Presiden Habibie memberi jalan keluar dengan diterbitkannya UU No. 44/1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh yang mengakomodasi penerapan syariah Islam di Aceh. Padahal, masalah pokok konflik Aceh adalah ketidakadilan ekonomi dan represi militer. Demikian pula, penanganan konflik di Papua pada masa pemerintahan Soeharto cenderung manipulatif, represif, dan melibatkan kekerasan oleh tentara.
Bagi Gus Dur, konflik Aceh dan Papua berakar pada visi kewarganegaraan yang keliru yang membuat kepedulian negara pada warganya cenderung formalistik belaka. Sentralisme Orde Baru ala Soeharto menempatkan protes rakyat sebagai ancaman. TNI masa itu mendefinisikan tantangan nasional di antaranya dalam wujud separatisme.
Gus Dur memperjuangkan visi kewarganegaraan bineka yang berusaha menempatkan seluruh unsur warga negara secara setara. Masyarakat Papua dan Aceh bukanlah musuh negara. Mereka juga warga negara yang setara, sama-sama memiliki aspirasi dan juga ingin mendapatkan perlakuan yang adil dari negara.
Kesetaraan ini diterjemahkan dengan memberikan pengakuan (recognition) terhadap eksistensi masyarakat Papua atau OPM dan Aceh atau GAM. Pengakuan ini kemudian diikuti dengan penghormatan (respect) yang berwujud kesediaan untuk memberikan kebebasan berekspresi, berkumpul, dan juga jaminan keamanan.
Tentu saja, langkah-langkah ini oleh Gus Dur dimulai dengan membangun hubungan saling percaya (trust) yang sebelumnya tidak ada antara pemerintah dan kelompok-kelompok di Aceh dan Papua. Kebijakan Gus Dur untuk mengizinkan pengibaran bendera Bintang Kejora di Papua dan Bulan Bintang di Aceh juga dalam kerangka tersebut. Gus Dur juga menunjuk Jacobus Perviddya Solossa, yang ikut menandatangani pernyataan tuntutan merdeka kepada Presiden Habibie, sebagai Gubernur Papua.
Langkah Gus Dur dalam usaha menyelesaikan konflik Aceh dan Papua secara damai berpuncak pada capaian tersusunnya RUU Otonomi Khusus untuk Aceh dan Papua yang mengakomodasi aspirasi politik, ekonomi, dan budaya masyarakat Aceh dan Papua. Proses pembahasan RUU ini di DPR mendapatkan pengawalan oleh gerakan masyarakat sipil sehingga meskipun Gus Dur dilengserkan semangat UU tersebut tidak berubah arah.
Buku yang semula merupakan disertasi penulisnya di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta ini adalah karya yang sangat berharga yang berusaha merekam warisan pemikiran dan aksi nyata Gus Dur dalam penyelesaian konflik Aceh dan Papua yang telah banyak memakan korban. Suaedy dalam buku ini juga menunjukkan bahwa pemikiran dan aksi Gus Dur dalam penyelesaian konflik Aceh dan Papua ini berlandaskan pada metodologi Islam post-tradisional yang merupakan khazanah Islam Nusantara. Gus Dur, menurut Suaedy, memilih jalan non-ideologis sebagai landasan penyelesaian konflik dengan memberi penekanan pada tujuan dan misi Islam untuk kesejahteraan masyarakat yang dalam terma Islam Nusantara populer dengan istilah rahmatan lil ‘alamien.
Kita tahu bahwa hingga kini penyelesaian konflik Aceh dan Papua masih belum benar-benar tuntas. Dengan demikian, buku ini mengingatkan bahwa perjuangan visi kewarganegaraan bineka yang menjadi semangat Gus Dur harus terus dikawal ketat, termasuk mengawal unsur keadilan kepada kelompok-kelompok yang (dulunya) terpinggirkan. Sebab, kata Gus Dur, perdamaian tanpa keadilan adalah ilusi.
Tulisan ini dimuat di Harian Jawa Pos, 9 Desember 2018.
Minggu, 15 Juli 2018
Seni Hidup Berorientasi “Menjadi”
Judul buku: The Art of Living: Hidup Antara Memiliki dan Menjadi
Judul asli: The Essential Fromm (editor: Rainer Funk)
Penulis: Erich Fromm
Penerjemah: FX Dono Sunardi
Penerbit: Baca, Tangerang Selatan
Cetakan: Pertama, Maret 2018
Tebal: xviii + 240 halaman
ISBN: 978-602-6486-14-1
Modernitas dengan semua perangkat pendukungnya cenderung mendorong manusia untuk hidup dengan menumpuk kepemilikan. Identitas dan kesadaran diri pun bahkan kemudian didefinisikan dalam kaitannya dengan sesuatu yang dimiliki.
Hidup dengan orientasi “memiliki” inilah yang oleh Erich Fromm disebut sebagai sumber masalah manusia modern. Keterasingan, keserakahan, dan krisis identitas adalah di antara dampak yang kemudian diderita oleh manusia modern.
Sumber menguatnya orientasi memiliki ini menurut Fromm adalah paradigma ekonomi pasar yang kapitalistik. Menurut paradigma ini, segala sesuatu dilihat sebagai komoditas. Sesuatu itu dipandang dari segi nilai tukar atau nilai jualnya, bukan lagi nilai guna. Yang memprihatinkan, karakter pemasaran ini tak hanya berlaku untuk benda-benda, tapi juga manusia.
Kala manusia dipandang sebagai komoditas, maka muncullah “pasar kepribadian”. Orang-orang, bahkan kemudian juga pranata sosial, berpikir dengan mengarahkan jalan hidupnya pada pembentukan kepribadian yang dibutuhkan pasar. Seorang wiraniaga, guru atau dosen, sekretaris, manajer hotel, dan juga profesi-profesi lainnya, atas dasar kriteria yang dibuat pasar kemudian kebanyakan secara tak sadar mengalami dirinya sebagai komoditas. “Orang tidak lagi menaruh perhatian pada hidup dan kebahagiaannya, tetapi pada bagaimana dia bisa laku dijual,” tulis Fromm.
Orang berburu kesuksesan dengan menyesuaikan diri menurut ukuran pasar. Orang-orang mencari nilai dalam konteks keterjualannya dan berdasarkan pengakuan orang lain (pasar). Inilah sumber penderitaan manusia modern.
Dalam paradigma modus eksistensi memiliki yang ditopang oleh kapitalisme, manusia modern banyak menempuh jalan sesat di berbagai aspek kehidupannya. Manusia modern, misalnya, digiring untuk berpikir bahwa dengan menumpuk barang dia akan dapat meraih kepuasan dan kebahagiaan. Namun konsumerisme yang kompulsif ini hanya menempatkannya dalam lingkaran setan yang tak berkesudahan.
Produksi dibuat bukan lagi untuk konsumsi yang sehat. Karena itu pula, eksploitasi yang sering mengabaikan nilai kemanusiaan dianggap tidak masalah, bahkan didukung oleh perangkat-perangkat sosial.
Demikian pula, dalam memenuhi kebutuhan spiritualnya, manusia di era industrialisme modern terjebak pada berhala-berhala baru. Religiositas yang humanistik yang bertolak dari kebutuhan eksistensial pada kerangka orientasi dan objek devosi sulit sekali mendapat tempat dalam sistem ekonomi pasar. Muncul paganisme baru berupa pemberhalaan manusia. Manusia merasa mahatahu, dan kemudian mengendalikan dan mengeksploitasi alam untuk menegaskan bahwa dirinya mahakuasa dan demi melayani kebutuhan sistem ekonomi pasar.
Saat ini modus eksistensi memiliki telah mewujud sebagai sikap dominan masyarakat dan bahkan telah menjadi karakter sosial. Dorongan untuk bersikap serakah, misalnya, diam-diam terbentuk secara sosial. Sebagai karakter sosial, manusia digerakkan untuk berpikir, bertindak, mengembangkan ambisi, meraih prestasi, merepresi perasaan, dan juga merespons dengan cara tertentu sesuai dengan tuntutan ekonomi pasar.
Dalam situasi ini, untuk meraih modus eksistensi “menjadi”, menurut Fromm dibutuhkan kehendak yang kuat, keberanian, dan juga nalar kritis untuk keluar dari cengkeraman karakter dominan tersebut.
Karakter eksistensi menjadi memberi tempat pada penghayatan makna bahwa hidup adalah sebuah proses dan menekankan pada upaya untuk selalu terhubung dengan dimensi batin manusia. Dengan cara ini, manusia didorong untuk tidak membangun pola relasi menguasai dan mengeksploitasi, tapi relasi yang didasarkan cinta.
Buku ini merupakan kliping pokok-pokok pikiran Fromm yang langsung dipetik dari karya-karyanya dan sumber-sumber lain yang di antaranya belum pernah diterbitkan. Kerja editor buku ini, Rainer Funk, sungguh luar biasa dalam memilah, mensistematisasi, dan menyajikan ide-ide jernih dan kritis Fromm secara runtut dan bernas dengan merujuk pada tulisan-tulisannya.
Buku ini menegaskan bahwa menjalani hidup itu harus dengan bekal sikap kritis. Buku ini memberikan pelajaran secara cukup terfokus tentang model bersikap kritis menjalani hidup di tengah berbagai problem hidup manusia modern yang salah orientasi.
Versi yang sedikit berbeda dari tulisan ini dimuat di Harian Jawa Pos, 15 Juli 2018.
Minggu, 21 Januari 2018
Tantangan Menjadi Manusia Autentik
Judul buku: Solitude: In Pursuit of a Singular Life in a Crowded World
Penulis: Michael Harris
Penerbit: Thomas Dunne Books, New York
Cetakan: Pertama, 2017
Tebal: 256 halaman
ISBN: 978-1-250-08860-4
Manusia masa kini menjalani kehidupan sehari-hari dengan dikepung oleh berbagai perangkat teknologi. Obsesi untuk terus terhubung dengan orang lain melalui berbagai media sosial di gawai yang kita jinjing ternyata berpotensi menghilangkan salah satu sisi penting dalam kehidupan kita, yakni momen kesendirian, yang nilainya tak bisa diremehkan.
Itulah gagasan pokok yang dituturkan Michael Harris, penulis asal Kanada, dalam buku ini. Manusia di era digital kini tampaknya memiliki ketakutan berlebih untuk terputus dari jejaring maya yang dirajut oleh perangkat teknologi dengan berbagai fasilitas pendukungnya. Harris memberi ilustrasi yang cukup mengena. Cobalah mengetik “fear of being without” di mesin pencari Google, maka fitur auto-complete di baris pertama akan menampilkan “fear of being without your phone”.
Harris juga mengutip sebuah penelitian tahun 2013 yang melibatkan 7.500 pengguna telepon seluler di Amerika. Salah satu hasil penelitian tersebut mengungkapkan bahwa 80 persen di antara mereka segera mengambil telepon seluler 15 menit setelah bangun tidur.
Semakin tergerusnya momen kesendirian menurut Harris dapat menggerogoti hal-hal yang cukup bernilai. Kesendirian bagi Harris menjadi tempat yang baik untuk lahirnya kreativitas, inovasi, dan pemikiran yang segar. Tengoklah para penemu seperti Einstein atau Newton. Momen kesendirian juga dapat menjadi pengantar bagi lahirnya pencerahan. Buddha, Yesus, juga Nabi Muhammad, tulis Harris, tiba pada titik transformatif kesadaran dan awal kepemimpinan sosialnya yang revolusioner setelah menjalani momen kesendirian.
Kesendirian dapat memperdalam pemahaman seseorang akan aspek interior dirinya. Tapi di sisi yang lain ia juga dapat memperkuat ikatan seseorang dengan orang lain. Kesendirian juga dapat membebaskan seseorang dari tekanan konformitas. Selain itu, kesendirian menyediakan ruang yang dibutuhkan seseorang untuk menemukan sumber terdalam gairah, kegembiraan, dan kepenuhan makna hidupnya.
Kehidupan zaman modern di era teknologi memang rawan menimbulkan depresi dan alienasi. Namun menurut Harris banyak orang salah paham. Mereka berpikir bahwa keterasingan harus diobati dengan berbaur seluas-luasnya—termasuk di media sosial. Bagi Harris, memaknai dan menggeluti kesendirian hingga mendalam justru menawarkan solusi bagi problem alienasi, yakni dengan cara mengajak individu untuk menemukan dan memperjuangkan sisi kehidupannya yang unik—itulah hidup yang autentik.
Harris juga mencontohkan salah satu momen kesendirian yang cukup klasik, yakni membaca. Mengutip Keith Oatley, profesor psikologi kognitif di University of Toronto, Harris menyatakan bahwa membaca dapat membantu seseorang untuk meningkatkan kemampuan berempati—kemampuan untuk menyingkirkan ego dan terlibat dengan posisi orang lain. Namun demikian, kepungan perangkat teknologi yang hiper-sosial membentuk budaya membaca yang baru.
Di era digital ini, pengalaman membaca akan sulit mendapatkan kepenuhan fungsinya, yakni untuk membaca mendalam dengan manfaat seperti yang dikemukakan Oatley. Mengutip Maryanne Wolf, neurosaintis dari Tufts University, Harris menulis bahwa membaca dengan gawai—bahkan meski kita mematikan fungsi notifikasi—adalah antitesis dari membaca secara mendalam.
Secara umum, buku ini menggambarkan tantangan manusia zaman now untuk menjadi manusia autentik. Penetrasi perangkat teknologi dalam kehidupan sehari-hari yang semakin menghilangkan momen kesendirian cenderung menyulitkan seseorang untuk keluar dari arus kerumunan karena semakin tumpulnya kemampuan reflektif yang dimilikinya. Lebih jauh, tanpa disadari ritme kehidupan individu perlahan semakin dikendalikan oleh aktor-aktor di balik layar berbagai perangkat teknologi itu yang pusatnya terutama adalah kepentingan pasar.
Buku ini bermakna penting sebagai pengingat bahwa momen kesendirian itu bukan hanya menyia-nyiakan waktu. Ia memuat nilai yang sangat kontekstual dengan tantangan zaman sekarang ketika era teknologi diam-diam dapat merenggut kebebasan dan mengantarkan manusia pada perbudakan akali terselubung.
Tulisan ini adalah naskah awal yang kemudian dimuat di Harian Jawa Pos, 21 Januari 2018.
Minggu, 17 Desember 2017
Menata Migas Menuju Kedaulatan Energi
Judul buku: Tata Kelola Migas Merah Putih
Penulis: M. Kholid Syeirazi
Pengantar: Andang Bachtiar
Penerbit: LP3ES, Jakarta
Cetakan: Pertama, Oktober 2017
Tebal: xvii + 288 halaman
ISBN: 978-602-7984-31-8
Indonesia adalah negara yang memiliki potensi sumber daya energi yang melimpah, baik berupa energi yang dapat diperbarui maupun yang tak terbarui. Meski demikian, kondisi keenergian nasional beberapa tahun terakhir memperlihatkan sejumlah masalah krusial yang menunjukkan ketimpangan antara potensi dan fakta yang ada.
Sejak 2003, konsumsi BBM di Indonesia telah melampaui produksi. Tahun berikutnya, Indonesia resmi menjadi nett oil importer. Cadangan dan produksi migas yang menurun juga disertai dengan rendahnya partisipasi perusahaan minyak nasional dan tidak berkembangnya infrastruktur energi. Pertamina hanya menguasai 10% dari total cadangan migas nasional. Sementara itu, upaya pemerintah untuk mengarusutamakan gas terkendala infrastruktur yang terbatas sehingga salah satu dampaknya harga gas menjadi mahal.
Rapuhnya ketahanan dan kedaulatan energi di Indonesia menurut penulis buku ini, M. Kholid Syeirazi, sebagian besar akibat kebijakan tata kelola migas yang buruk. Kholid melihat bahwa UU Migas No 22 Tahun 2001 memuat banyak masalah mendasar dalam hal tata kelola migas sehingga wajar bila undang-undang tersebut sejak 2004 sebagian normanya telah dilucuti oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
Buku ini merupakan telaah atas kebijakan tata kelola migas di Indonesia yang berusaha menegaskan dan meletakkan kembali masalah migas dalam kerangka filosofi kolektivisme di tengah arus liberalisme. Kritik kebijakan yang dikemukakan Kholid dalam buku ini dibuat dengan berlandaskan pada tafsir pasal 33 UUD 1945 ayat (2) yang berbunyi: “Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.”
Kholid mengutip dan menganalisis uraian Mohammad Hatta, arsitek dan perumus pasal 33 UUD 1945, dan juga poin-poin yang menjadi pertimbangan dalam keputusan Mahkamah Konstitusi untuk judicial review beberapa pasal UU Migas. Di antara poin kesimpulannya ditegaskan bahwa dengan landasan semangat kolektivisme, monopoli negara untuk sektor strategis diperbolehkan. Penguasaan negara ini—yang meliputi aspek kebijakan, pengurusan, pengaturan, pengelolaan, dan pengawasan—berangkat dari konsepsi kedaulatan rakyat Indonesia atas segala sumber kekayaan.
Dengan menelaah tiga keputusan MK untuk uji materi UU Migas dan juga model tata kelola migas di beberapa negara di dunia, Kholid kemudian mengelaborasi beberapa aspek mendasar terkait kebijakan tata kelola migas. Kholid juga memaparkan dan menganalisis data-data aktual keenergian dan perminyakan nasional, juga konstelasi global. Ujungnya, buku ini kemudian mengajukan beberapa rekomendasi agar Indonesia menuju pada kedaulatan energi.
Rekomendasi pertama, Kholid mengusulkan bahwa pengaturan migas harus bersifat khusus karena merupakan bidang usaha strategis dan menguasai hajat hidup orang banyak. Dengan sifat khusus ini, sektor migas tidak bisa diperlakukan seperti industri umum lainnya yang terikat dengan banyak peraturan teknis. Usulan ini merupakan kritik atas beberapa poin dalam UU Migas yang membuat investasi di sektor migas menjadi terhambat akibat birokrasi yang rumit.
Poin rekomendasi penting yang diajukan Kholid dalam buku ini adalah perombakan paradigma pengelolaan migas dari revenue-oriented kepada growth-oriented. Migas tidak boleh diletakkan sebagai komoditi ekspor penghasil devisa. Kholid mengusulkan agar sektor migas dijadikan sebagai modal pembangunan sehingga dalam jangka panjang sektor ini harus dikeluarkan seluruhnya dari keranjang penerimaan APBN.
Dalam kerangka jangka panjang, penerimaan migas dikelola oleh badan khusus sebagai petroleum fund untuk menopang program intensifikasi, diversifikasi, dan konservasi energi. Di sektor hulu, petroleum fund ini digunakan untuk menunjang eksplorasi dan litbang, sedang di hilir untuk membangun infrastruktur energi dan stabilisasi harga. Selain itu, Kholid mengusulkan agar ambang batas wajib pasok dalam negeri diperbesar menjadi 50%.
Selain aspek praktis rekomendasi yang diajukan dalam konteks politik kebijakan, kelebihan buku ini terletak pada ketajaman analisis penulisnya dalam mengurai masalah tata kelola migas. Filosofi mendasar dari konstitusi dibaca secara lebih kritis, aktual, dan padu dengan berbagai keputusan hukum lain yang relevan. Data mutakhir baik tentang kondisi energi dalam negeri maupun tata politik ekonomi migas international juga sangatlah kaya tersaji dalam buku ini.
Buku ini sangatlah bernilai untuk diskursus publik menuju cita-cita negara yang berdaulat. Bagaimanapun, kedaulatan nasional di antaranya mensyaratkan kemandirian dan kedaulatan di bidang energi.
Tulisan ini dimuat di Harian Jawa Pos, 17 Desember 2017
Tulisan terkait:
>> Jerat Liberalisasi dan Kedaulatan Energi
Minggu, 06 November 2016
Beres-Beres Rumah dan Gaya Hidup Minimalis
Judul buku: The Life-Changing Magic of Tidying Up: Seni Beres-Beres dan Metode Merapikan ala Jepang
Penulis: Marie Kondo
Penerbit: Bentang Pustaka, Yogyakarta
Cetakan: Pertama, Agustus 2016
Tebal: xviii + 206 halaman
ISBN: 978-602-291-244-6
Tak jarang hal yang dipandang remeh, kecil, dan biasa jika ditekuni dapat melahirkan hal yang luar biasa. Marie Kondo membuktikan hal ini saat namanya masuk di antara 100 Most Influential People of 2015 versi majalah Time berkat ketekunannya mendalami seni beres-beres dan metode merapikan rumah.
Urusan beres-beres dan merapikan rumah selama ini dianggap hal sepele yang tak perlu dipelajari secara khusus. Kenyataannya, menurut Marie Kondo, para “veteran” di bidang mengurus rumah, yakni perempuan 50-an tahun yang rata-rata mengurus rumah sekitar 30-an tahun, kewalahan mengurus rumah karena pendekatan konvensional mereka yang keliru.
Buku ini dapat dilihat sebagai buku yang bersifat praktis, yakni panduan untuk merapikan rumah. Namun, ketekunan, kecermatan, dan kedalaman penelaahan penulisnya yang saat ini berusia sekitar 31 tahun pada bagian tertentu buku ini memperlihatkan sisi yang mendalam, kritis, dan radikal, sehingga mungkin berada pada level yang cukup “filosofis”.
Merapikan rumah, menurut Marie, harus dilakukan secara total dan tuntas dalam satu jangka waktu. Perubahan drastis dan total akan menjadi terapi kejut untuk membentuk pola pikir dan gaya hidup yang rapi. Karena itu, berbenah menuntut tekad dan kesungguhan. Secara praktis, Marie kemudian memberi panduan untuk beres-beres rumah secara tuntas.
Pertama, Marie menerangkan bahwa berbenah itu sebenarnya meliputi dua aktivitas: membuang barang (yang sebenarnya tidak diperlukan) dan menyimpan atau meletakkan barang di tempatnya. Dari pengalamannya sebagai konsultan berbenah, Marie menemukan bahwa kliennya rata-rata menyimpan banyak sekali barang yang sebenarnya sudah tidak digunakan. Seorang klien, misalnya, membuang barang-barangnya hingga 200 kantong sampah bervolume 45 liter.
Ada juga klien yang menumpuk persediaan barang terlalu banyak di rumahnya: tisu toilet hingga 80 gulung, 60 sikat gigi, atau 100 kotak korek kuping yang masing-masing berisi 200 korek kuping.
Klien Marie yang mengoleksi buku banyak yang tak pernah menyentuh dan membaca beberapa bukunya. Saat diminta untuk memilah untuk menentukan buku yang akan dibuang, klien biasanya menjawab: “Siapa tahu saya ingin membacanya kapan-kapan.” Marie menimpali bahwa menurut pengalamannya, yang namanya “kapan-kapan” itu tak akan pernah datang.
Pada tahap membuang ini, terungkap bahwa ternyata orang-orang banyak yang takut akan menghadapi kesulitan hidup gara-gara kekurangan barang. Akhirnya mereka menimbun. Tapi pada giliran berikutnya ternyata timbunan barang itu membuat rumah mereka tidak rapi dan membuat mereka tidak bahagia. Menurut Marie, kita mestinya hanya menyimpan barang-barang yang dapat memberikan kebahagiaan dan membangkitkan kegembiraan.
Menurut Marie, dengan tuntas membuang barang yang sebenarnya tidak diperlukan hingga benar-benar pas sesuai kebutuhan, kita sebenarnya sedang merevitalisasi hubungan kita dengan benda-benda milik kita. Barang-barang yang diabaikan di rumah kita, bagi Marie, adalah barang-barang yang “terpenjara”. Mereka sebenarnya ingin pergi. Dengan membuangnya atau memberikannya pada orang lain, barang-barang itu menghirup udara kebebasan.
Setelah tuntas membuang barang-barang yang tak dibutuhkan, langkah berikutnya adalah disiplin meletakkan barang pada tempatnya. Marie menyarankan agar semua barang di rumah kita harus memiliki tempat yang jelas, tidak tersebar-sebar. Sering kali kita memiliki barang yang tak jelas tempat penyimpanannya sehingga bisa menjadi pangkal kesemrawutan di rumah. Selain kejelasan tempat, disiplin mengembalikan juga penting. Itulah pentingnya “alamat” yang jelas dari barang-barang kita di rumah.
Keajaiban berbenah adalah level kedua yang dipaparkan buku ini. Jika level pertama bersifat praktis, level kedua ini cukup bersifat filosofis. Pada level ini, pertama, kita diajak untuk “memanusiakan” barang-barang kita. Saat melipat baju, kata Marie, kita tidak saja sedang berusaha menghemat tempat penyimpanan pakaian. Ketika melipat baju, kita menyalurkan energi pada pakaian kita, kita juga berdialog, dan berterima kasih atas jasa pakaian kita yang telah menyokong kehidupan kita. Dengan memanusiakan barang-barang itu, kita belajar untuk mengapresiasi dan mensyukuri takdir barang-barang yang telah menjadi bagian dari hidup kita.
Selain itu, berbenah dapat mengantarkan pada pembentukan keterampilan membuat keputusan. Dalam berbenah, kita dilatih untuk membuat keputusan tentang barang yang benar-benar dibutuhkan. Pada saat yang sama, kita dilatih untuk mengikhlaskan barang yang sejatinya kita telantarkan.
Meski bertolak dari hal yang bersifat praktis dan secara eksplisit tak menyebut unsur ideologis yang menjadi landasannya, Marie Kondo dalam buku ini terlihat sedang mempromosikan gaya hidup minimalis atas dasar kesadaran kepedulian akan kelestarian alam. Kehidupan modern yang konsumtif membuat nafsu manusia untuk menumpuk barang kian tak terkendali sehingga kesadaran akan asal-muasal dan nasib barang kita menjadi terabaikan dan terlupakan.
Gaya hidup konsumtif ini tidak saja merusak kelestarian alam. Ia juga merusak kondisi psikologis manusia. Nafsu menumpuk barang nyatanya hanya membuat kita tidak tenang. Menurut beberapa ahli, hidup efisien, yakni hidup secukupnya, juga memberi manfaat psikologis—bukan hanya keuangan.
Lebih dari itu, gaya hidup minimalis yang diusung Marie Kondo dalam buku ini tampak memiliki muatan spiritual yang cukup kental. Jika dirumuskan dalam bahasa agama, mereka yang tak berhasil berbenah bisa saja termasuk orang yang “kufur nikmat”. Selain itu, penimbun barang dapat pula termasuk pada kelompok pemuja barang yang takut kehilangan dan begitu tergantung pada benda-benda duniawi.
Tulisan ini adalah naskah awal tulisan yang dimuat di Harian Jawa Pos, 6 November 2016.
Minggu, 19 Juni 2016
Masnawi, Biblioterapi, dan Kekuatan Cerita
Judul buku: Terapi Masnawi
Penulis: Prof. Dr. Nevzat Tarhan
Penerjemah: Ridho Assidicky, Ummahati Solichin, Bernando J Sujibto
Penerbit: Qaf Publishing, Jakarta
Cetakan: Pertama, 2016
Tebal: 316 halaman
ISBN: 978-602-73761-4-4
Pemikiran tasawuf Jalaluddin Rumi (1207-1274) telah dikenal luas tidak hanya di kalangan umat Islam. Salah satu mahakaryanya, yakni Masnawi, telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa dunia dan dikaji oleh banyak kalangan, termasuk nonmuslim.
Buku ini mencoba mengangkat Masnawi dalam konteks yang bersifat praktis, yakni terapi. Nevzat Tarhan, penulisnya, adalah seorang profesor di bidang psikiatri dan neuropsikologi dari Turki. Dalam buku ini, Nevzat memilih kisah-kisah dalam Masnawi untuk dijadikan bahan utama dari apa yang kemudian disebutnya biblioterapi.
Dalam bidang psikoterapi, biblioterapi terbilang masih relatif baru. Biblioterapi adalah penggunaan teks-teks khusus untuk mengatasi penyakit dan gangguan jiwa dengan pendampingan khusus dari seorang spesialis. Menurut Nevzat, melalui kisah dan syair-syair dalam karyanya ini, Rumi memberikan pelajaran penting tentang bagaimana mengendalikan energi liar dalam diri kita.
Bagaimana sebuah kisah terpilih dapat menjadi terapi? Bagaimana biblioterapi bekerja? Menurut Nevzat, dengan memperdengarkan cerita yang pas, pendengar diharapkan dapat merasakan dan mengalami proses transformasi mental dalam dirinya. Pada tahap pertama, cerita pilihan itu berfungsi sebagai cermin. Artinya si pendengar menemukan keadaan mental dirinya melalui kisah yang dituturkan.
Selanjutnya, kisah-kisah itu memantik titik-titik refleksi si pendengar. Nevzat menjelaskan bahwa ada kekuatan simbol dan metafor dalam kisah-kisah Masnawi sehingga pendengar yang menyimak kisah yang tepat akan didorong untuk menemukan sudut pandang yang baru terkait dengan kondisi psikologis yang dihadapinya.
Selain itu, dalam biblioterapi, masalah berusaha dipecahkan dengan cara membicarakannya melalui titik tolak kisah tertentu yang dirasa pas. Perspektif baru dan inspirasi dari kisah tersebut diharapkan dapat melemahkan penyakit mental yang dimiliki seseorang yang sedang menjalani proses terapi.
Bagian utama buku ini memuat 32 pola pikir keliru yang dikategorikan sebagai penyakit mental yang biasa dihadapi manusia. Untuk kepentingan terapi, Nevzat memulai dengan mengangkat satu judul tentang pola pikir tertentu yang keliru. Setelah itu dia mengutip satu kisah dari Masnawi dan kemudian memberikan uraian dalam kerangka terapi atas sikap mental yang keliru tersebut. Setiap judul kemudian ditutup dengan kutipan syair dari Masnawi yang tampaknya dimaksudkan sebagai penguat sekaligus merangkum proses terapi.
Di antara contoh pola pikir yang keliru ada yang berupa pikiran untuk memandang diri sendiri sebagai sosok yang istimewa. Nevzat mengutip kisah seekor lalat yang berlagak seolah dirinya itu burung Phoenix. Saat terhanyut di tumpukan sampah yang digenangi kencing keledai, si lalat malah merasa seperti seorang kapten yang tengah menakhodai kapal istimewa.
Bagi Nevzat, kisah ini merefleksikan sikap arogan yang dapat menjerumuskan jiwa. Menganggap diri sebagai sosok istimewa dan penting adalah sebentuk sikap sombong. Menurut Nevzat, orang sombong sebenarnya memiliki penyakit mental berupa sikap tak percaya diri. Dia meninggikan dirinya sendiri untuk mengatasi ketakpercayaan dirinya itu. Sama halnya dengan orang yang bersiul saat melintasi kuburan demi menghilangkan rasa takutnya.
Melalui kisah Rumi, Nevzat menyingkapkan bahwa orang sombong adalah orang yang tertipu. Sombong membutakan diri sehingga seseorang justru semakin terperosok pada sifat-sifat yang buruk dan menggerogoti dirinya.
Ada juga pola pikir yang menganggap semua orang yang mengkritik kita hanya semata bermaksud merendahkan kita. Nevzat mengangkat kisah 4 orang yang tengah shalat namun akhirnya semuanya batal karena saling menanggapi dan mengkritik rekannya yang batal lantaran berbicara.
Di sini Nevzat mengingatkan kecenderungan dasar manusia yang bersifat reaktif saat menerima kritik. Sebaliknya, manusia juga cenderung keburu mengomentari orang lain saat menemukan kesalahan dan lupa akan kesalahan serupa yang dimilikinya.
Menerima kritik harus dengan jernih sehingga kita bisa membedakan antara kritik yang dibuat secara tulus dan kritik yang justru memang berangkat dari niat buruk. Selain itu, menyampaikan kritik jangan sampai terjebak pada sikap menggeneralisasi. Kritik idealnya harus bisa diterima seseorang layaknya sebagai hadiah yang indah.
Selain unsur terapi, pada bagian terakhir buku ini Nevzat menguraikan 10 langkah untuk mengembangkan kecerdasan emosi. Metodenya juga sama, yakni memanfaatkan kisah-kisah terpilih dari Masnawi. Sepuluh langkah itu dimulai dari mengenali diri sendiri, berempati dan memahami orang lain, menjalin komunikasi dengan baik, dan seterusnya hingga langkah kesepuluh yakni menjadi penengah.
Dalam konteks yang lebih luas, hal paling menarik dari upaya Nevzat untuk memperkenalkan biblioterapi adalah potensi besar dari kisah-kisah tertentu untuk memberi efek perubahan mental pada diri seseorang. Mendidik, membentuk karakter, atau mengobati penyakit mental akan cukup ampuh jika dilakukan dengan pendekatan cerita. Kisah yang disampaikan dalam rangka pendidikan atau terapi tidak terkesan menggurui sehingga lebih mudah diserap.
Tentu saja kita menyadari bahwa Masnawi adalah teks yang istimewa. Menurut Seyed G. Safavi, seorang pengkaji Rumi, teks pramodern seperti Masnawi ditulis dengan sebuah upaya besar dan serius. Ia bukan sekadar buku seperti di era industri modern saat ini yang isinya bisa mudah kedaluwarsa. Bahkan pengkaji Rumi yang lain, Richter, menunjukkan bahwa cara Masnawi disusun mengikuti paradigma al-Qur’an dalam menggabungkan kisah, perumpamaan, pesan etik dan filsafat didaktik.
Meski metodologi pemilihan kisah-kisah Masnawi dan penyusunan aspek terapinya tidak dijelaskan dengan cukup teperinci, kajian Nevzat dalam buku ini mendorong kita untuk melihat lebih jauh potensi kisah-kisah terpilih untuk dimanfaatkan secara lebih luas dalam kehidupan sehari-hari. Ada banyak potensi kisah, cerita, dan semacamnya baik yang ditulis oleh sastrawan, tokoh agama, atau khazanah lokal, yang mungkin bisa juga ditempatkan dalam kerangka pendidikan karakter dan terapi.
Buku yang diterjemahkan dari bahasa Turki ini juga dapat dilihat sebagai pengembangan dari bentuk pengobatan ala sufi yang bertolak dari teks—sebuah kajian yang masih cukup jarang dalam kajian tasawuf di Indonesia.
Tulisan ini dimuat di Harian Jawa Pos, 19 Juni 2016.
Senin, 25 April 2016
Bumi dan Beban Konsumsi
Tujuh miliar manusia saat ini semakin hari semakin terasa membebani bumi. Masalahnya, beban itu bukan semata terkait jumlah penduduk bumi yang terus bertambah. Beban yang mendera sehingga wajah bumi kini menjadi kusut terkait dengan hal yang lain, yakni gaya hidup konsumtif.
Perubahan drastis wajah bumi dicatat oleh Paul Crutzen, seorang ahli kimia dari Belanda, dengan istilah Era Manusia (Antroposen). Istilah ini dibuat untuk menggambarkan zaman ketika dampak kehadiran manusia benar-benar terasa (membebani) bagi bumi. Crutzen mengusulkan bahwa Era Manusia dimulai pada akhir abad ke-18. Ukurannya, sejak saat itu kadar CO2 di bumi meningkat secara teratur (Kolbert, 2011).
Para ilmuwan lainnya mengukur dampak kehadiran manusia dengan rumus IPAT. Dampak kehadiran manusia (Impact) ditentukan oleh jumlah penduduk (Population), tingkat kemakmuran (Affluence), dan perkembangan teknologi (Technology).
Jika dibaca secara cermat, rumus IPAT ini masih memperlihatkan hasrat para ilmuwan untuk menampilkan ilmu sebagai perkakas objektif. Akibatnya, mereka mengabaikan unsur subjektif manusia yang justru berperan besar dalam mengukur dampak kehadiran manusia. Unsur subjektif itu terkait dengan hasrat konsumsi.
Filsuf kontemporer seperti Jean Baudrillard menyatakan bahwa dalam kegiatan konsumsi saat ini ada logika sosial dan logika hasrat. Kegiatan konsumsi tidak hanya urusan pemenuhan kebutuhan belaka. Ia bisa terkait dengan identitas, status, atau pengakuan sosial. Demikian pula, bisa saja hasrat konsumsi ditumbuhkan dari meniru hasrat orang lain (Haryatmoko, 2016: 63-85).
Iklan mendorong kegiatan konsumsi berlebih sehingga salah satu nafsu purba manusia, yakni keserakahan, mendapatkan ruang aktualnya. Kita ingat Mahatma Gandhi pernah menyatakan bahwa ketamakan manusialah yang membuat bumi ini tak cukup untuk memuaskan segelintir manusia.
Namun, mesin hasrat yang menggelora pada diri manusia saat ini tidak datang begitu saja. Dari Herbert Marcuse, penulis buku One-Dimensional Man (1964), kita mengetahui bahwa mekanisme ekonomi kapitalis telah memanipulasi pengertian tentang kebutuhan sehingga manusia dijebak dengan kebutuhan palsu. Dalam masyarakat kapitalis, kata Marcuse, semua segi kehidupan—pendidikan, sosial, kebudayaan, politik, juga agama—diarahkan untuk tujuan keberlangsungan budaya kapitalis yang konsumeristis. Masyarakat dipaksa untuk menyesuaikan diri dengan alur yang dirancang oleh sistem kapitalis ini.
Sistem kapitalis terus berusaha mendongkrak produktivitas barang yang kemudian dibarengi dengan upaya untuk mendorong konsumsi habis-habisan. Senjata utamanya adalah iklan. Iklan mendorong perilaku konsumsi dengan mengubah definisi sederhana tentang kebutuhan. Iklan diam-diam juga memperkenalkan konsep baru tentang barang yang usang dan ketinggalan (mode) zaman.
Annie Leonard, kritikus fenomena konsumerisme dari Amerika yang membuat video animasi The Story of Stuff (2007), mengutip sebuah data yang menyebutkan bahwa warga Amerika Serikat setiap hari diserbu oleh tiga ribu iklan—Anda berapa? Iklan-iklan inilah yang membuat kehidupan mereka tidak tenang. Mereka didikte untuk terus berbelanja dan mengikuti ritme produksi barang-barang baru yang terus dikampanyekan tiada henti.
Serbuan iklan inilah di antaranya yang membuat nafsu konsumtif kita hampir tak terbendung. Setidaknya ada dua hal yang kemudian hilang dari kesadaran kita dalam aktivitas konsumsi dan menyampah yang dilakukan setiap hari. Pertama, kesadaran bahwa sumber daya alam yang ada di bumi ini bersifat terbatas. Kedua, kesadaran bahwa barang yang kita konsumsi semuanya berasal dari alam dan akan berakhir menjadi sampah.
Kegiatan konsumsi telah benar-benar mengubah wajah bumi. Seorang biolog kelautan, Rachel Carson, pada 1962 menulis buku fenomenal berjudul Silent Spring. Buku itu mencatat kepekaan Carson dalam membaca alam saat musim semi terasa menjadi sepi. Serangga-serangga dan kehidupan liar lainnya terganggu akibat penggunaan pestisida DDT.
Penggunaan pupuk dan bahan-bahan kimia lainnya dalam dunia pertanian saat ini sudah disadari dapat berdampak buruk pada alam. Namun umat manusia saat ini sangatlah sulit untuk menghentikan laju beban berat yang mereka berikan pada alam akibat aktivitas bercocok tanam itu. Apa sebabnya? Di era konsumsi saat ini, pertanian tak hanya dilakukan untuk memberi makan umat manusia, tapi juga untuk peternakan besar-besaran demi menghasilkan daging dan juga untuk bahan bio-solar (BBM).
Menghadapi dorongan hasrat konsumsi yang terus menggempur tiap saat, umat manusia harus terus dibangunkan kesadarannya akan makna kehadirannya yang singkat dan tanggung jawabnya bagi kelestarian alam. Hasrat konsumtif manusia menguat di antaranya karena dia lupa akan kefanaan hidup dan dampak perilakunya bagi alam dan generasi mendatang.
Manusia terus berlari mengejar mimpi kemajuan dan produktivitas melalui proses produksi dan konsumsi yang tiada henti. Pada saat yang sama, manusia lupa bahwa jejak-jejaknya di jalan konsumtif itu sudah terlalu jauh hingga benar-benar membebani bumi.
Butuh revolusi kesadaran yang sifatnya radikal untuk menghentikan jalan kehancuran bumi melalui konsumsi berlebih ini. Ini adalah sebentuk jihad diri, karena lawan sebenarnya yang dihadapi manusia dalam hal ini adalah dirinya sendiri yang berbentuk keserakahan yang tak mengenal batas.
Tulisan ini dimuat di Harian Jawa Pos, 24 April 2016.
Minggu, 07 Februari 2016
Upaya Mengatasi Literalisme
Judul buku: Seni Memahami: Hermeneutik dari Schleiermacher Sampai Derrida
Penulis: F. Budi Hardiman
Penerbit: Kanisius, Yogyakarta
Cetakan: Pertama, 2015
Tebal: 344 halaman
ISBN: 978-979-21-4345-4
Dalam salah satu bukunya, Jalaluddin Rakhmat pernah mengungkapkan sebuah penelitian yang menyatakan bahwa 70 persen waktu bangun kita digunakan untuk berkomunikasi. Lalu apa jadinya jika komunikasi yang berlangsung antarmanusia itu justru gagal?
Kegagalan dalam berkomunikasi pada dasarnya merupakan kegagalan untuk memahami. Jika kegagalan itu terjadi pada tingkat perseorangan atau dalam hal-hal biasa mungkin dampaknya tidak akan terlalu terasa. Namun apa jadinya jika kegagalan memahami itu terkait dengan hal-hal penting seperti yang tertuang dalam teks-teks otoritatif, yakni teks yang memiliki kewenangan luas, seperti teks terkait otoritas agama atau otoritas politik?
Buku karya F. Budi Hardiman ini menyajikan pemikiran yang bersifat metodologis tentang seni memahami yang dikemukakan oleh para filsuf hermeneutik modern. Ada delapan filsuf yang disajikan di sini, yakni Schleiermacher, Dilthey, Heidegger, Bultmann, Gadamer, Habermas, Ricoeur, dan Derrida. Kedelapan filsuf ini menyajikan gagasannya tentang apa itu memahami, bagaimana langkah-langkahnya, dan apa saja titik masalah pentingnya.
Istilah “seni” dalam judul buku ini merujuk pada Schleiermacher (w. 1834) yang memaksudkan “seni” di sini sebagai “kepiawaian”. Menurut Schleiermacher, upaya memahami itu ada yang sifatnya spontan dan ada pula yang memerlukan upaya tertentu. Upaya di sini dibutuhkan karena sering kali kita menghadapi situasi yang memuat kesalahpahaman.a
Apalagi dalam konteks kehidupan masyarakat modern yang ditandai dengan kemajemukan. Kesalahpahaman itu menurut Schleiermacher disebabkan oleh prasangka (Vorurteil) saat orang hanya mau menggunakan sudut pandangnya sendiri di hadapan orang lain. Pada titik ini, hermeneutik juga berarti seni mendengarkan, yakni upaya untuk menangkap perspektif orang lain.
Schleiermacher dianggap sebagai pelopor hermeneutik modern karena ia berhasil melepaskan hermeneutik dari disiplin spesifik, seperti teologi, hukum, dan filologi. Sebelumnya, hermeneutik berkembang sebagai bidang khusus.
Hermeneutik Schleiermacher bersifat psikologis karena tujuan utamanya adalah untuk mengungkap dan menghadirkan kembali secara utuh maksud si penulis. Dalam pengertian ini, memahami adalah juga berempati. Namun begitu, Schleiermacher juga menekankan pentingnya interpretasi gramatis dalam proses memahami yang harus dilakukan serentak dengan interpretasi psikologis.
Jika Schleiermacher berhasil membangun dasar bagi hermeneutik universal, Dilthey (w. 1911) meletakkan hermeneutik sebagai salah satu metode ilmiah, khususnya bagi ilmu sosial-kemanusiaan. Dilthey menerobos dominasi positivisme dengan menyatakan bahwa ilmu sosial-kemanusiaan memerlukan metode yang berbeda dengan ilmu-ilmu alam, yakni hermeneutik. Menurut Dilthey, dalam ilmu sosial-kemanusiaan, kita mendekati objek dengan melibatkan diri untuk memahami makna, bukan dengan cara berjarak sebagaimana dalam menghadapi objek ilmu-ilmu alam.
Jika dalam pemikiran Schleiermacher dan Dilthey memahami berada di ranah kognitif, Heidegger (w. 1976) membawa hermeneutik ke wilayah ontologi. Menurutnya, memahami adalah cara Dasein (manusia) bereksistensi. Ia terkait dengan “kemampuan seseorang dalam menangkap kemungkinan-kemungkinannya sendiri untuk berada”. Sebelum masuk dalam wilayah kognitif, ada pra-struktur memahami yang akan mengarahkan proses memahami seseorang.
Sementara itu, Habermas (l. 1929) memberi misi emansipatoris dalam tindakan memahami. Habermas memfokuskan pembahasannya pada teks abnormal, yakni jenis teks yang sebenarnya bahkan tidak bisa dipahami oleh si pembuat teks. Teks abnormal ditemukan dalam kasus psikopatologis dan perilaku kolektif hasil indoktrinasi. Kedua kasus ini merupakan hasil dari bentuk “komunikasi yang terdistorsi secara sistematis”. Karena itu, hermeneutik kritis berupaya untuk membebaskan subjek agar ia dapat meraih otonominya.
Derrida (w. 2004) membawa tindakan pemahaman dalam situasi radikal. Dengan metode dekonstruksi, Derrida menghidupkan perspektif yang berubah-ubah sehingga makna suatu teks tak pernah dapat distabilkan dan diguncang dari dalam.
Sisi menarik gagasan yang diuraikan dengan sangat bernas di buku ini terletak pada kerangka yang dibuat oleh penulisnya yang merupakan dosen di STF Driyarkara, Jakarta. Menurut Budi Hardiman, berbagai pemikiran hermeneutik dari para filsuf ini adalah sebuah upaya untuk mengatasi literalisme. Pemaknaan literal atas teks-teks otoritatif dapat mendorong lahirnya praktik radikalisme dan ekstremisme agama maupun juga sikap antidemokratis dalam politik.
Budi Hardiman mengutip Karen Armstrong yang memberi contoh penafsiran literal kaum Yahudi. Orang Yahudi berpendapat bahwa Allah telah menjanjikan Kanaan (Israel modern) untuk mereka sehingga kebijakan opresif atas orang Palestina memperoleh pembenaran.
Problem penafsiran literal dalam agama juga dijumpai dalam Kristen dan Islam. Kaum literalis berpegang pada asumsi bahwa teks suci membawa kebenaran yang sifatnya siap pakai dan tak perlu dipahami dengan cara lain yang mungkin rumit. Literalisme percaya bahwa makna harfiah sifatnya final, sedangkan hermeneutik berupaya untuk melihat teks dalam model intertekstual dan mempertimbangkan berbagai faktor lain dalam teks dan di luar teks secara lebih luas.
Pemikiran hermeneutik yang disajikan buku ini menarik dan bermakna penting karena pada tingkat mendasar tindakan memahami adalah upaya untuk menjangkau orang lain dan merawat hubungan antarmanusia yang lebih bermartabat dan lebih baik. Dengan demikian, buku ini adalah tentang kehendak untuk menjalin hubungan etis dengan orang lain.
Memang, posisi metodologis hermeneutik dalam kajian agama masih diperdebatkan karena ia dianggap bersumber dari perspektif sekuler. Namun demikian, dalam kaitannya dengan teks keagamaan, pemikiran hermeneutik yang tersaji di buku ini bagaimanapun dapat membantu memperkaya dan mempertajam misi profetis agama sekaligus menjaganya dari penyimpangan akibat godaan kekuasaan dan bentuk penyelewengan lainnya.
Versi yang sedikit berbeda dimuat di Harian Jawa Pos, 7 Februari 2016, dengan judul "Sebuah Seni Mendengarkan Orang Lain."
Minggu, 19 Juli 2015
Meneropong Realitas yang Timpang
Judul buku: Gelandangan di Kampung Sendiri: Pengaduan Orang-Orang Pinggiran
Penulis: Emha Ainun Nadjib
Penerbit: Bentang Pustaka, Yogyakarta
Cetakan: Pertama, Maret 2015
Tebal: viii + 288 halaman
ISBN: 978-602-291-078-7
Kenyataan hidup sehari-hari sering tampil sebagai sesuatu yang biasa. Akibatnya, sering kali kepekaan kita tumpul dan tak bisa menangkap pesan hidup di balik sebuah peristiwa. Akhirnya hidup ini menjadi jalinan arus yang hambar sehingga dalam bahasa Sokrates menjadi hidup yang tak layak dijalani karena tanpa refleksi.
Esai-esai budayawan kondang Emha Ainun Nadjib yang terkumpul dalam buku ini mengajak pembaca untuk merefleksikan kenyataan hidup sehari-hari. Yang menarik, refleksi Emha terfokus pada kisah-kisah hidup orang-orang pinggiran. Di halaman persembahan buku ini, secara eksplisit Emha menyebut “orang-orang yang dianiaya,” “orang-orang yang ditindas,” “orang-orang yang dirampas kemerdekaannya,” dan “orang-orang yang dimiskinkan”.
Penyebutan Emha ini jelas merupakan sebentuk keberpihakan yang sifatnya cukup ideologis. Artinya, dalam meneropong kenyataan hidup yang timpang, Emha berada di pihak mereka yang terpinggirkan itu. Pihak yang terpinggirkan kerap tak memiliki saluran untuk menyatakan diri di ruang publik sehingga Emha kemudian seperti menjadi juru bicara untuk mereka.
Contohnya seperti kisah para pedagang di pasar yang diancam secara samar oleh seorang pejabat lantaran proses pembongkaran dan renovasi pasar. Emha menampilkan dialog orang-orang kecil yang resah dan merasa tak dihargai itu. Di sebuah bagian, Emha menulis bahwa mereka bukannya tidak setuju, tapi hanya ingin diajak berunding, diakui dan dihargai bahwa mereka juga adalah subjek utama pembangunan.
Esai-esai dalam buku ini memang ditulis pada paruh pertama dekade 1990-an, saat pemerintah Orde Baru nyaris sepenuhnya tak memberi ruang kritis dan ruang partisipasi masyarakat dalam proses politik dan pembangunan. Kisah pedagang pasar di atas cukup sering terjadi tapi tak ada media yang siap mengangkat isu ini secara terang-terangan.
Lebih dari sekadar menyajikan ironi pembangunan, Emha memberikan refleksi sederhana yang cukup tajam dan mendasar. Misalnya terkait kasus pembangunan Kedung Ombo, Jawa Tengah, yang mendapat penolakan dari warga namun akhirnya diresmikan pada tahun 1991. Seperti pedagang pasar, warga sebenarnya bukan hendak membangkang dan melawan program pembangunan yang dicanangkan pemerintah. Mereka hanya menuntut keadilan. Tapi, tulis Emha, apakah untuk menuntut keadilan warga akhirnya harus mendapat cap sebagai “melawan konstitusi”?
Perlawanan memang identik dengan orang-orang pinggiran, termasuk di antaranya kaum buruh. Masalahnya, pemerintah Orde Baru ketika itu kemudian terbiasa memberi stigma negatif kepada para buruh yang sering memprotes ketidakadilan yang dialaminya dengan menyebut mereka sebagai “komunis”. Padahal, tulis Emha, tak harus menjadi komunis untuk memprotes ketidakadilan.
Namun Emha tak hanya berhenti di sini. Emha mengajak pembaca untuk menelaah lebih mendalam. Jika isu buruh dalam konteks internasional memang cukup identik dengan komunis, Emha mengusik kita untuk melihat kenyatan kaum buruh di negara-negara komunis yang ketika itu justru ditindas penguasa. Malah kaum buruh di negara kapitalis cenderung berjaya.
Selain berangkat dari hasil pengamatan, Emha juga menulis esai-esainya berdasarkan pengaduan baik secara langsung maupun melalui surat. Pada tahun 1992 Emha misalnya pernah menerima surat dari seorang pendeta di Nusa Tenggara Timur yang menyampaikan keresahannya akibat proyek hutan tanaman industri yang menggusur hutan adat dan padang ternak warga dan jemaatnya. Mereka sudah mengadu kepada aparat, tapi hasilnya nihil dan tak memuaskan.
Emha juga menulis beberapa esai tentang kasus mutilasi di Probolinggo tahun 1992 yang membuat geger. Mbah Jiwo, seorang nenek, memutilasi cucunya sendiri. Badan cucunya itu diiris-iris menjadi 79 bagian. Sebagian kabarnya dijadikan bahan membuat rawon. Orang-orang terkejut, juga mengecam. Atas peristiwa ini, Emha mengemukakan refleksi menarik. Kalau orang-orang terkejut dengan sadisme Mbah Jiwo dan menganggap Mbah Jiwo sebagai orang yang tak normal, mengapa banyak masyarakat memandang biasa realitas yang sebenarnya juga tak biasa dan bahkan mungkin juga termasuk sadis?
Emha menyebut seorang ibu di pasar yang bekerja mulai tengah malam hingga esok sorenya hanya untuk seribu-dua ribu rupiah, sementara di sebuah kantor ada orang yang hanya duduk-duduk digaji ratusan juta rupiah. Apakah ini bukan sadisme dalam mekanisme perekonomian kita?
Di tengah berbagai fenomena ketimpangan sosial dan ketidakadilan itu, memang ada para pemuda yang tampak peduli misalnya dengan menggelar demonstrasi. Namun, atas fenomena seperti ini, Emha memberi catatan kritis. Emha khawatir mereka yang “hobi” demonstrasi itu “lebih berorientasi kepada keasyikan memprotes daripada pencarian jalan keluar”.
Meskipun esai-esai dalam buku ini ditulis lebih 20 tahun lalu tapi kekuatan refleksi dan relevansinya tetap cukup kuat. Esai-esai dalam buku ini tidak saja menghadirkan suara orang yang terpinggirkan, tapi juga memuat refleksi kritis terkait isu pembangunan dan kehidupan sosial pada umumnya.
Bukankah ketimpangan sosial yang menuntut perhatian pemerintah dan semua unsur masyarakat hingga ini masih menjadi masalah serius bagi bangsa ini? Bukankah masih banyak masyarakat kita yang menjadi gelandangan di kampung sendiri? Demikian juga masalah pembangunan kadang juga masih berbenturan dengan aspirasi masyarakat, seperti dalam kasus pembangunan semen di Rembang, Jawa Tengah.
Kekuatan esai-esai Emha ada pada sudut pandangnya yang kritis, reflektif, dan tak biasa sehingga dapat menghadirkan kenyataan hidup yang timpang dengan lebih menggugah. Perspektif Emha dalam esai-esainya menghidupkan kepekaan kemanusiaan kita yang mendasar sehingga juga menggiring kita untuk berbuat sesuatu demi mengatasi berbagai realitas timpang itu meski dengan cara yang sederhana.
Tulisan ini dimuat di Harian Jawa Pos, 19 Juli 2015.
Minggu, 24 Mei 2015
Kuburan Peradaban di Balik Ijazah Palsu
Sekitar 10 tahun silam, kasus ijazah palsu terungkap di media. Institut Manajemen Global Indonesia (IMGI) yang memiliki 53 cabang di seluruh Indonesia dilaporkan telah mencetak sekitar sembilan ribu lulusan dengan berbagai gelar, mulai dari PhD, MBA, MSc, bahkan profesor, yang ternyata palsu.
Beberapa hari ini, kasus serupa kembali terungkap. Menristek Dikti, Muhammad Nasir, mendatangi dua kampus di Bekasi dan Jakarta yang diduga kuat menjual ijazah. Di sebuah kampus di Bekasi, dari jumlah lulusan yang mencapai tiga ribu orang, pihak kampus tidak bisa memberikan data identitas para alumninya. Sedang di sebuah kampus di Jakarta yang disidak, ditemukan ijazah yang mencatut nama seorang pejabat di Ditjen Dikti. Sampai kapan kasus ini akan terus muncul di kehidupan kita?
Ada beberapa hal mendasar yang sangat meresahkan dari kasus ijazah palsu ini. Selain memperlihatkan wajah masyarakat kita yang sakit karena gila gelar dan gila hormat, kasus ijazah palsu ini merupakan ancaman serius bagi masa depan peradaban bangsa.
Ancaman serius di balik kasus ijazah palsu ini akan menjadi jelas jika kita menyadari bahwa para pemegang ijazah palsu itu bisa saja kemudian menempati posisi strategis dalam tatanan masyarakat kita: entah menjadi pengurus publik (pejabat), pengajar atau pendidik, atau pelaku bisnis. Bila nyatanya bukti kompetensi mereka yang direpresentasikan dengan ijazah ternyata palsu maka jelaslah dampak turunannya.
Pengurus publik menjalankan tugas pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan bidangnya. Selain visi, kepekaan, dan komitmen, kompetensi yang juga bersifat teknis-operasional juga dibutuhkan dalam menerjemahkan visi dan menjalankan program kerja. Itulah yang di antaranya dibuktikan dengan ijazah.
Ditemukannya kasus ijazah palsu ini menjadi mengkhawatirkan: jangan-jangan beberapa pengurus publik yang menempati posisi strategis juga termasuk konsumen ijazah palsu ini. Sebagai ukuran kompetensi, ijazah palsu bisa juga berarti kompetensi palsu. Pertanyaannya, apa yang bisa diharapkan dari pengurus publik yang ternyata kompetensinya palsu?
Yang juga sangat mengkhawatirkan adalah jika konsumen ijazah palsu ini kemudian berperan sebagai pengajar atau pendidik di sekolah atau perguruan tinggi. Saat kesejahteraan profesi di dunia pendidikan berkat kebijakan sertifikasi guru menjadi semakin baik, banyak orang tertarik untuk terjun di bidang ini. Kasus ijazah palsu ini seharusnya membuat kita jadi benar-benar khawatir: jangan-jangan pengajar atau pendidik di lingkungan kita juga terkait dengan ijazah palsu ini.
Layanan publik dan dunia pendidikan merupakan salah satu ukuran mendasar dalam menakar mutu kehidupan suatu masyarakat dan bangsa. Layanan publik yang tak bermutu akan membuat mutu peradaban masyarakat mandek. Perubahan peradaban ke arah yang lebih baik akan berjalan timpang.
Demikian juga, dunia pendidikan sebagai medan penyiapan generasi masa depan bangsa akan sangat memprihatinkan manakala para pendidiknya ternyata berbekal ijazah palsu. Generasi seperti apa yang akan dihasilkan dari sistem pendidikan yang para pengelola, pengajar dan pendidiknya berijazah palsu?
Coba perhatikan bagaimana negara yang memiliki tingkat pendidikan terbaik di dunia, yakni Finlandia, mengelola pendidikan tinggi di bidang kependidikan. Kunci keberhasilan pendidikan di Finlandia di antaranya terletak pada tingginya persaingan para calon pendidik yang akan masuk di pendidikan tinggi yang menjadi salah satu indikasi keseriusan mereka dalam mengelola program studi keguruan. Leena Krokfoss, Wakil Dekan Fakultas Keguruan University of Helsinki dalam film dokumenter The Finland Phenomenon (2011) menyebutkan bahwa dari 1600 pendaftar di jurusan keguruan, hanya 10% yang diambil.
Penggunaan ijazah palsu dalam kaitannya dengan pengurus publik, tenaga pendidik, dan sebagainya memang masih berupa dugaan dan belum ada data teperinci. Namun, melihat jumlah yang ditemukan Menristek Dikti saat sidak beberapa hari lalu dan data-data serupa dalam 10 tahun terakhir, kita patut khawatir bahwa dugaan tersebut memang nyata.
Saat persaingan dunia global semakin nyata, tak ada toleransi untuk kasus ijazah palsu. Membiarkan kasus ijazah palsu ini tak tertangani secara tegas dan menyeluruh sama halnya dengan menyiapkan kuburan peradaban bangsa.
Pengurus publik dan masyarakat harus kompak untuk mengakhiri tragedi ini. Mentalitas pragmatis yang di antaranya berada di balik fenomena ini harus diputus dengan kebijakan tegas dan pengawasan yang ketat. Langkah mendasar yang menjadi tugas bersama adalah mengingatkan seluruh elemen bangsa ini bahwa ijazah palsu adalah benih awal hancurnya peradaban.
Konsumen potensial harus terus diingatkan ihwal kepalsuan nilai ijazah palsu dan kontribusi mereka pada penghancuran masa depan bangsa. Selain itu, harus ada langkah-langkah objektif di tingkat kebijakan untuk memastikan bahwa ijazah palsu tidak akan lolos bila digunakan untuk posisi-posisi yang terkait dengan hajat hidup orang banyak.
Tulisan ini dimuat di Harian Jawa Pos, 24 Mei 2015.
Minggu, 26 April 2015
Chomsky Menelanjangi Amerika
Judul buku: How the World Works
Penulis: Noam Chomsky
Penerbit: Bentang Pustaka, Yogyakarta
Cetakan: Pertama, Februari 2015
Tebal: xii + 444 halaman
Kalau ditanya tentang siapa sekarang penguasa dunia, orang akan mudah menjawab: Amerika. Supremasi Amerika atas negara-negara lain begitu mudah dibaca. Negara yang penduduknya hanya 5% dari total populasi dunia itu mengonsumsi 40% sumber daya bumi. Selain itu, saat ini Amerika punya 700 pangkalan militer di luar negeri.
Meski buku buah gagasan Noam Chomsky ini dari segi judulnya tampak bermaksud untuk membahas tatanan-kerja dunia saat ini, sesuatu yang mungkin terkesan bersifat umum, tak pelak Chomsky nyatanya sedang fokus menelanjangi Amerika. Profesor linguistik dari Massachusetts Institute of Technology (MIT) ini menyatakan bahwa Amerika “muncul dari Perang Dunia II sebagai kekuasaan global pertama dalam sejarah.” Sejak itulah, Amerika merancang sejumlah kebijakan politik luar negeri pada khususnya yang dimaksudkan untuk mempertahankan supremasinya itu.
Chomsky mengungkap dokumen racikan George Kennan, kepala staf perencanaan Departemen Luar Negeri Amerika yang memegang kendali hingga tahun 1950. Di situ disebutkan dengan jelas bahwa Amerika menaruh perhatian yang besar untuk mempertahankan pola hubungan yang menguntungkan mereka, yakni disparitas yang membuat mereka menguasai sekitar separoh kekayaan dunia. Untuk tujuan itu, Amerika tak segan menyebut ide-ide tentang demokrasi dan hak asasi manusia sebagai penghambat.
Strategi dan contoh diungkap Chomsky dalam buku ini dengan terang benderang. Amerika, jelas Chomsky, telah menyiapkan desain setelah Perang Dunia II yang memetakan negara-negara di seluruh dunia untuk mendukung supremasinya. Jerman dan Jepang, misalnya, yang telah berperan penting dalam Perang Dunia II, akan bekerja di bawah pengawasan Amerika. Sementara itu, negara dunia ketiga akan menjadi sumber utama bahan mentah dan sekaligus pasar.
Ancaman utama tatanan dunia baru di bawah pimpinan Amerika adalah nasionalisme. Pemerintahan nasional bekerja untuk memenuhi dan meningkatkan mutu kehidupan warganya sehingga dapat bertentangan dengan kepentingan investasi Amerika. Di antara strategi dasar Amerika untuk mengatasi hal ini adalah aliansi dengan militer dalam negeri. Atau juga dengan jaringan mafia. Jika tidak berhasil, kekuatan militer Amerika tak segan untuk langsung masuk ke dalam.
Ini dapat kita saksikan pada kasus intervensi Amerika dalam Perang Vietnam. Dari kasus ini pula, kita bisa melihat bahwa dalam kerangka pandang Amerika, tak ada wilayah yang dapat disepelekan. Poin utamanya bukan seberapa besar kekuatan perlawanan itu, tapi jangan sampai penolakan terhadap fungsi penyuplai dan fungsi pasar ala Amerika dapat menginspirasi bangsa-bangsa lain untuk melakukan gerakan perlawanan serupa.
Salah satu perhatian utama Chomsky, yang juga menulis karya berjudul Manufacturing Consent (1988), atas tatanan dunia baru Amerika ini berkaitan dengan masalah propaganda. Istilah ini menggambarkan bagaimana kesadaran masyarakat dirancang, diarahkan, dan dikendalikan sedemikian rupa sehingga dapat tunduk dan takluk menurut kehendak si perancang.
Untuk kepentingan propaganda ini, dibuatlah pemaknaan-pemaknaan baru atas konsep-konsep kunci yang penting, seperti istilah globalisasi ekonomi, demokrasi, komunisme, terorisme, proses perdamaian, dan sebagainya. Globalisasi ekonomi misalnya adalah penghalusan istilah untuk menggambarkan ekspor pekerjaan ke wilayah-wilayah dengan tingkat penindasan tinggi dan sistem pengupahan yang rendah.
Istilah komunisme dan terorisme dirancang dan dilekatkan pada kelompok-kelompok yang mengganggu misi kapitalisme Amerika dan perusahaan-perusahaan transnasional. Gerakan berbasis rakyat akan digiring ke dalam stigma negatif komunisme. Lalu, ketika komunisme Soviet mulai melemah, istilah terorisme internasional mulai diperkenalkan. Melalui propaganda, istilah “terorisme” dirancang untuk merujuk pada aksi politik kaum oposisi/marginal di luar mainstream politik dunia yang menentang kebijakan dan kepentingan politik Amerika bersama korporasi yang berada di belakangnya.
Gagasan-gagasan Chomsky dalam buku ini yang sebagian besar tersaji dalam bentuk wawancara memang kebanyakan berasal dari dekade 1990-an. Namun, jika pembaca mencermati gagasan dan contoh yang dipaparkan dengan baik, kita akan menemukan bahwa analisis Chomsky masih sangat aktual. Analisisnya bahkan mungkin jauh lebih mendalam daripada ulasan pengamat politik saat ini.
Walhasil, uraian bernas Chomsky dalam buku ini membawa kabar buruk bagi kita bahwa tatanan dunia saat ini tidaklah setara dan jauh dari prinsip keadilan. Demokrasi dan nilai kemanusiaan lebih sering tampil sebagai retorika.
Tapi Chomsky tak berhenti di situ. Ia juga mengulas bagaimana perubahan dimungkinkan. Dalam hal ini, Chomsky mengritik kaum elite yang cenderung suka mencari jawaban ajaib atas krisis demokrasi yang dihadapi. Bagi Chomsky, tak ada jawaban ajaib yang bersifat instan. Jawabannya harus diperoleh secara spesifik di lapangan dengan landasan dedikasi yang penuh oleh mereka yang mau terlibat. Kecenderungan terkini, orang-orang dijauhkan dari keinginan untuk terlibat pada proses-proses perubahan yang memang menuntut militansi tinggi. Tambahan lagi, orang-orang dilupakan untuk merevitalisasi sumber daya kultural yang dimiliki.
Selain itu, Chomsky juga mengritik gerakan-gerakan perubahan yang sifatnya sporadis dan tak memiliki agenda jangka panjang yang jelas setelah reformasi terjadi. Bagian ini tampak sangat relevan dengan kondisi kekinian Indonesia. Tujuh belas tahun reformasi, masyarakat Indonesia tampak masih terombang-ambing dan tak menemukan arah.
Dalam arus perubahan politik di Indonesia yang kian intensif, buku ini penting dibaca karena sekaligus memberi kerangka pandang situasi global secara tajam (yakni supremasi Amerika dan hegemoni korporasi) dan juga dapat memberi inspirasi untuk hal-hal yang lebih spesifik dalam proses perubahan Indonesia menuju ke tatanan yang lebih baik.
Tulisan ini dimuat di Harian Jawa Pos, 26 April 2015.
Minggu, 16 November 2014
Menjawab Ironi Era Manusia
Penulis: Jostein Gaarder
Penerbit: Mizan, Bandung
Cetakan: Pertama, Oktober 2014
Tebal: 246 halaman
Paul Crutzen, seorang ahli kimia dari Belanda, menyebut zaman kita saat ini sebagai Era Manusia atau Antroposen. Istilah ini merujuk pada besarnya dampak kehadiran manusia pada bumi. Dampak tersebut terangkum dalam frasa yang cukup populer beberapa dekade terakhir ini: perubahan iklim.
Menurut Crutzen, Era Manusia dimulai sejak akhir abad ke-18. Sejak itu, kadar CO2 di atmosfer meningkat secara teratur. Akibatnya, terjadi banyak penurunan mutu lingkungan, seperti pencemaran yang semakin akut, keanekaragaman hayati yang terus tergerus, cuaca ekstrem yang semakin tak menentu, yang semuanya diikuti dengan sejumlah kejadian buruk bagi manusia dan makhluk hidup lainnya.
Isu lingkungan dan perubahan iklim ini rupanya juga menarik minat Jostein Gaarder, penulis asal Norwegia yang sebelumnya dikenal dengan novel filsafat berjudul Dunia Sophie. Selain Dunia Sophie, Gaarder juga menulis novel-novel yang bernuansa filsafat, seperti Misteri Soliter dan Gadis Jeruk.
Novel yang dalam terjemahan bahasa Indonesia berjudul Dunia Anna ini adalah karya terbaru Gaarder, yakni diterbitkan pada tahun 2013. Sebagaimana karya-karyanya yang lain, dalam novel ini Gaarder menggunakan tokoh utama perempuan berusia remaja—yang dalam novel ini bernama Anna—untuk menyampaikan gagasan-gagasan utamanya kepada pembaca.
Berlatar tahun 2012 di Norwegia, Anna yang berusia 16 tahun bersama kekasihnya yang bernama Jonas merasa gelisah dengan dampak perubahan iklim yang dia saksikan di Norwegia. Salju yang biasanya tebal di sekitar pergantian tahun tidak seperti tahun-tahun sebelumnya. Pada saat yang sama, orang-orang memperbincangkan beberapa ekor rusa kutub yang berkeliaran di perkebunan—sesuatu yang tak biasa.
Dengan beberapa tanda tersebut, Anna dan Jonas menunjukkan kepeduliannya pada masalah perubahan iklim. Namun, sesuai dengan karakter Gaarder, kepedulian mereka tidak difokuskan pada bentuk gerakan nyata di lapangan. Keduanya tidak bergerak pada level aksi advokasi. Gaarder lebih banyak menyajikan renungan mendalam yang tampil dalam dialog kedua remaja tersebut. Namun begitu, dialog keduanya tidak melulu berkutat dalam hal yang bersifat filosofis. Keduanya juga menggali strategi nyata apa yang bisa dilakukan untuk menanggulangi krisis lingkungan yang dihadapi umat manusia.
Yang menarik, Gaarder telah memiliki strategi yang tepat untuk memperkuat gagasannya tentang perubahan iklim. Novel yang diterjemahkan dari bahasa Norwegia ini menggunakan latar dua lapis. Selain dunia Anna dan Jonas yang berlatar tahun 2012, ada juga tokoh Nova yang hidup pada tahun 2082. Anna tidak lain adalah nenek buyut Nova, yang dalam novel ini juga merupakan gadis remaja.
Kisah berlapis yang memang menjadi ciri khas Gaarder dalam karya-karyanya yang lain tampak sangat cocok untuk memperkuat problem perubahan iklim. Bagaimanapun, isu perubahan iklim menjadi semakin penting jika dipikirkan dalam kerangka lintas-generasi. Kepedulian terhadap lingkungan tidak lain adalah kepedulian atas umat manusia generasi mendatang. Dalam bahasa Gaarder, isu krisis iklim bukanlah konflik antar bangsa. “Yang saling berhadapan dalam konflik ini ialah generasi-generasi,” tulis Gaarder.
Pada tahun 2082, Nova digambarkan mewarisi sebuah dunia yang sekarat. Banyak sekali jenis flora dan fauna yang sudah musnah dari bumi. Yang ada hanya rekaman gambar atau video aneka makhluk yang tersimpan dalam sekumpulan arsip digital. Ada juga kebun binatang internasional versi “virtual” di Den Haag yang binatang-binatangnya tidak terdiri dari darah dan daging tapi tercipta dari sinar laser. Kebun binatang ini dibuat sebagai pengingat bagi umat manusia tentang pemusnahan besar-besaran akibat ulah mereka.
Dunia Anna dan dunia Nova disajikan saling bergantian dalam novel ini. Kedua dunia yang berlatar tahun berbeda dan berjarak 70 tahun ini silih berganti saling memperkuat ironi Era Manusia: bahwa kehadiran manusia memang benar-benar berdampak luar biasa pada bumi dan makhluk hidup yang ada di dalamnya.
Pesan yang mengemuka dengan sangat kuat dalam novel ini adalah soal tanggung jawab manusia untuk bersikap bijak dalam menggunakan sumber daya bumi. Gaarder tampak ingin memberi peringatan tentang ironi Era Manusia. Manusia yang sering disebut sebagai makhluk cerdas atau bijak (homo sapiens) nyatanya terbukti berbuat yang sesuka hati pada alam dan lingkungan sehingga memberi dampak buruk. Jika demikian, di manakah wawasan etis yang dimiliki manusia?
Dengan kerangka imajiner-futuristik yang dibangun dalam alur cerita novel ini, Gaarder menunjukkan bahwa apa yang kita lakukan saat ini, dalam bentuk sesederhana dan sekecil apa pun, dapat membentuk wajah bumi di masa depan yang bisa saja di luar bayangan kita. Melalui imajinasi Anna, Gaarder membuat pengakuan bahwa kita adalah generasi yang egois dan brutal yang semena-mena mengeksploitasi alam dan mengabaikan nasib generasi mendatang.
Pesan Gaarder ini tak disampaikan hanya melalui renungan para tokoh utamanya yang bercorak filosofis atau reflektif. Melalui Anna dan Nova, Gaarder juga mengungkap data-data faktual yang dapat menggugah kepedulian kita atas isu-isu lingkungan. Misalnya, tentang jumlah CO2 yang telah dilepaskan manusia di atmosfer selama sepuluh tahun terakhir, atau juga perbandingan dampak lingkungan dari sebuah perjalanan udara dari Oslo ke New York pulang-pergi.
Melalui novel ini, Gaarder mengajak umat manusia untuk berani “menjadi lebih besar daripada diri sendiri”. Secara sederhana, ajakan Gaarder ini berarti seruan untuk melepas egoisme yang sempit. Gaarder, yang pada tahun 1997 bersama istrinya menginisiasi penghargaan internasional bernama Sophie Prize bagi mereka yang peduli lingkungan, menegaskan bahwa “aku adalah bagian dari—aku juga mengambil bagian dalam—sesuatu yang lebih besar dan lebih berkuasa ketimbang diriku.”
Dengan cara ini, sekali lagi Gaarder menekankan pentingnya kepedulian dan tanggung jawab sesama manusia terutama dalam kerangka lintas-generasi. Yang penting digarisbawahi, Gaarder tampaknya juga berharap adanya kerja sama yang kuat antarbangsa di dunia untuk mengatasi krisis iklim. Dalam novel ini, digambarkan bahwa Nova menjalin hubungan dengan seorang pemuda Arab yang menjadi pengungsi iklim di Norwegia. Demikian pula, dalam salah satu dialog Anna dengan psikiaternya, tersirat ajakan untuk tidak berprasangka buruk pada orang-orang Arab.
Untuk poin yang terakhir ini, Gaarder cukup mewakili pandangan terbuka masyarakat Norwegia yang menjadi kebijakan politik pemerintah saat ini untuk menerima kaum imigran dari berbagai wilayah, termasuk imigran muslim dari Asia dan Afrika. Sikap Gaarder ini bukan tanpa alasan. Pandangan terbuka semacam ini penting dikembangkan karena bagaimanapun problem krisis iklim bukanlah masalah yang dihadapi kelompok masyarakat tertentu, tapi merupakan masalah umat manusia secara keseluruhan.
Penggunaan tokoh remaja dalam novel ini menjadi sangat kuat relevansinya karena kaum muda dapat memainkan peran yang sangat penting untuk mengubah wajah dunia menjadi lebih hijau dan lestari.
Tulisan ini dimuat di Harian Jawa Pos, 16 November 2014.
Minggu, 09 Mei 2010
Plagiarisme dan Komunitas Akademik yang Sekarat
Saat berdiskusi tentang penulisan tesis di program saya dengan pembimbing dan teman sekelas, ada satu gagasan yang menarik buat saya dan mengingatkan saya pada kasus plagiarisme di Indonesia. Dijelaskan bahwa salah satu tujuan penting menulis tesis atau karya akademik lain adalah mematangkan diri dan berproses menyatu dalam komunitas akademik.
Saya berpikir bahwa bisa jadi fenomena plagiarisme dan hal serupa (ijazah atau sertifikat palsu dan semacamnya) terjadi karena sebenarnya komunitas akademik di negeri kita sedang sekarat.
Komunitas akademik pada dasarnya merupakan tempat untuk berbagi pengetahuan ilmiah. Perkembangan ilmu itu sendiri terjadi dalam serangkaian proses dialogis dari berbagai ruang dan waktu yang berbeda dan terutama berlangsung melalui media tulisan. Tulisan yang bisa disebut karya ilmiah itu muncul beriringan, saling dukung, saling kritik, menggali, menguatkan, mempertanyakan, menyempurnakan, menindaklanjuti, dan seterusnya sehingga membentuk suatu akumulasi capaian pengetahuan dan ilmu tertentu.
Seseorang yang sedang menulis karya ilmiah sebenarnya sedang berusaha berkomunikasi dengan komunitas ilmiah lebih luas. Dengan media tulisan dan dukungan teknologi yang semakin canggih, proses diskursif itu berlangsung secara cukup kaya dan intens, melintasi berbagai tempat dan disiplin ilmu.
Akan tetapi, jika yang terjadi adalah plagiarisme, tentu saja proses komunikasi itu menjadi bermasalah. Salah satu masalah mendasar yang selama ini sudah cukup banyak disorot adalah problem etis. Kejujuran, tanggung jawab, penghormatan kepada orang lain jelas-jelas ternoda dalam kasus plagiarisme.
Lebih dari sekadar problem etis, plagiarisme di negeri kita, bagi saya, terutama juga merupakan pertanda bahwa komunitas akademik kita sebenarnya tengah sekarat. Sebagian komunikasi ilmiah yang terjadi di antara orang-orang yang berada di titik-titik komunitas ilmiah itu mungkin bersifat semu. Disebut semu karena aktivitas utama komunitas akademik, yakni pemelajaran, sulit ditemukan di situ. Yang ada mungkin hanyalah semacam formalitas yang kering, dangkal, dan bersifat instrumental.
Dalam komunitas akademik yang sekarat, sebagian orang berkarya cenderung tidak didorong semangat belajar, hasrat untuk menggali, dan maksud untuk berbagi. Mereka relatif hanya digerakkan dorongan periferal, seperti untuk kenaikan pangkat dan jabatan, prestise, materi, dan semacamnya.
Beberapa karya (kebanyakan?) dalam jurnal-jurnal ilmiah di tanah air mungkin tak jauh dari motif semacam itu. Mereka tak mencerminkan dialog dan interaksi akademik yang hidup, tapi berada dalam konteks ''dalam rangka'' yang tak substantif.
Sekaratnya semangat komunitas akademik tersebut bisa dikembalikan pada problem moral sebagaimana orang membaca kasus plagiarisme. Meski demikian, problem moral itu mungkin juga berakar pada kondisi objektif yang terbentuk sedemikian rupa dalam sebuah proses historis yang bisa jadi relatif panjang.
Jika kita berasumsi bahwa komunitas akademik ini mulai tumbuh, terutama melalui institusi perguruan tinggi (kampus) dan atau lembaga serupa, dapat dikatakan bahwa Orde Baru menjadi titik awal yang cukup penting dicermati. Penelitian Daniel Dhakidae (2003) menunjukkan bahwa pada masa Orde Baru sulit sekali ditemukan kelompok ''cendekiawan bebas'' karena mereka berhadapan dengan aparat ideologis dan represif negara yang kuat dan totaliter. Organisasi profesional kaum cendekiawan kehilangan otonominya dan hanya menjadi alat legitimasi kekuasaan negara.
Situasi semacam itulah yang terjadi dalam kurun waktu cukup panjang dan melalui proses rekayasa sosial-politik-kebudayaan canggih, yang pada gilirannya menyuburkan mental instrumental pada insan-insan komunitas ilmiah atau cendekiawan itu.
Saat ini Orde Reformasi relatif menyediakan ruang yang lebih bebas bagi kaum cendekiawan untuk menghidupkan kembali kredo akademiknya, termasuk dukungan objektif berupa kebijakan pemerintah dalam mengalokasikan anggaran pendidikan dan penelitian. Meski demikian, godaan kekuasaan dan pragmatisme (mentalitas menerabas, dalam istilah Koentjaraningrat) masih terus membayang dan hadir dalam beragam rupa.
Demikianlah, plagiarisme sebenarnya tak hanya memberi kita pekerjaan rumah yang sederhana. Tidak sekadar menghentikan praktik yang tak menghormati karya dan kreativitas orang lain. Lebih dari itu, plagiarisme mendorong kita untuk segera membenahi komunitas akademik kita yang sekarat.
Dalam dinamika komunitas akademik, kredo dalam berkreasi harus terus diteguhkan. Saat ini, sepertinya tak mudah menjadi sosok ilmuwan atau akademisi ideal di tengah iklim yang tak sehat, kecuali mereka tergerak oleh panggilan visi pribadi yang kuat dan bermental tangguh.
Di titik itulah tugas kita bersama untuk menyediakan ruang yang lebih baik bagi perbaikan lingkungan ilmiah (akademik) menjadi semakin mengemuka. Tujuan akhirnya, kaum cendekiawan dan para ilmuwan itu bisa terpanggil untuk konsisten melakukan berbagai hal demi perbaikan peradaban dan masyarakat.
Tulisan ini dimuat di Harian Jawa Pos, 9 Mei 2010. Bisa juga dibaca di Blog Kompasiana.