Satu hari mampir di Jogja sebelum melanjutkan perjalanan ke Jakarta, saya sempat nonton film King di Ambarukmo Plaza bersama Badrus. Saya menerima ajakan Badrus untuk nonton film ini lebih sebagai pengisi waktu, dan juga karena saya merasa sudah lama sekali tak menonton film di studio bioskop di Jogja—menurut catatan saya, terakhir nonton di bioskop Jogja September 1999. Tak ada ketertarikan khusus, karena informasi yang saya dapat tentang film itu hanya sekilas saja.
Ternyata film itu melebihi bayangan saya sebelumnya. Ini film istimewa yang penuh inspirasi, tak kalah dengan Laskar Pelangi (2008). Saya jadi teringat beberapa film yang kemudian saya sukai padahal sebelum menontonnya tak ada bayangan bahwa film itu akan luar biasa—seperti King ini.
Pada dasarnya, King adalah sketsa biografis pebulu tangkis Indonesia ternama, Liem Swie King, yang juga dijuluki King Smash. Hanya saja, biografi King tidak dituturkan dengan cara yang lurus-lurus saja dan konvensional. Kisah hidup dan perjuangan King untuk meraih kesuksesannya di bidang bulu tangkis disajikan dengan menggunakan sosok lain, yakni Guntur (diperankan oleh Rangga Aditya), anak desa yang menjadi tokoh utama film ini.
Hidup di sebuah desa terpencil, Guntur dibesarkan hanya berdua bersama ayahnya yang sangat mencintai bulu tangkis. Namun, ayahnya, yang diperankan dengan luar biasa oleh Mamiek Prakoso, bukannya pintar bermain bulu tangkis. Di kampungnya, dia hanya menjadi komentator di setiap pertandingan bulu tangkis, dan sehari-hari menjual bulu angsa untuk dijadikan shuttlecock.
Hidup berdua dengan obsesi yang tinggi dan kehidupan ekonomi yang pas-pasan, si ayah mendidik Guntur dengan cukup keras. Setiap gagal dalam pertandingan, Guntur mendapatkan hukuman disiplin dari ayahnya. Jadi, Mamiek yang lebih sering tampil sebagai komedian di televisi ini banyak menampilkan akting marah dan serius di hadapan anaknya—sehingga konon Mamiek butuh latihan khusus marah untuk perannya di film ini.
Guntur bukan tipe orang yang mudah menyerah. Dengan raket kayu yang kadang membuatnya tak percaya diri, dia terus berlatih keras dan berusaha untuk menjadi juara di kampungnya. Provokasi temannya, Raden (diperankan oleh Lucky Martin), yang mengatakan bahwa di dalam piala yang diperebutkan terdapat uang berlimpah, membuat Guntur semakin keras berlatih, berharap bahwa uang itu nantinya dapat dia belikan raket yang bagus.
Dengan penggambaran karakter dan alur yang sangat hidup, tak membosankan, penuh lika-liku, serta sarat dengan relasi dan drama kemanusiaan yang menyentuh, perjalanan Guntur meraih impiannya pun perlahan menunjukkan kemajuan yang berarti. Kerja keras dan dukungan orang-orang di sekitarnya sangatlah berarti. Namun demikian, ada saat-saat ketika Guntur tampak surut dan putus asa menghadapi hal-hal yang tampak mengecewakannya. Ada juga momen ketika dia merasa perlu menghargai hal-hal sederhana yang dimilikinya sehingga itu menginspirasi dan menyalakan kembali semangatnya.
Saya sungguh kagum dengan kerja tim kreatif film ini (di antara mereka ada nama Dirmawan Hatta, penulis skenario, kawan yang dulu pernah saya kenal di Komunitas B21 UGM). Seperti halnya Laskar Pelangi, film ini juga berhasil mengangkat satu sisi realitas kehidupan di tanah air di antara kesederhanaan dan segala keindahannya. Mengambil latar di desa, film ini menampilkan gambar-gambar yang menawan dari alam pedesaan yang masih perawan. Menurut berita, film ini mengambil lokasi syuting di Bondowoso—saya jadi ingin berkunjung ke teman-teman di Bondowoso.
Selain itu, film ini juga kaya dengan wawasan multikultural. Dengan memilih menuturkan biografi King melalui Guntur yang seorang Jawa, film ini seperti semacam silaturahim budaya antara etnis Tionghoa dengan elemen kultural lainnya di nusantara. Di film ini pula, ada sosok Batak yang lama tinggal di Jawa. Dan tentu penonton film ini juga tak akan melupakan si tukang pos berwajah Papua yang melafalkan bahasa Jawa. Sungguh, sekali lagi, Arie Sihasale, produser sekaligus sutradara film yang sebelumnya sukses dengan Denias (2006) ini, telah berhasil menampilkan wajah nusantara yang indah dan inspiratif.
Saat meninggalkan Jogja keesokan harinya, di antara perjalanan sambil menyaksikan indahnya alam dari atas kereta, alur dan momen-momen inspiratif dari film ini kadang hadir dengan sejumlah pikiran dan pertanyaan lanjutan. Ada banyak hal inspiratif milik kita di sekitar kita yang perlu terus dibagikan kepada sesama, agar kita dapat belajar menghargai dan mengambil pelajaran dari itu semua. Karena itu, seperti sering saya katakan ke beberapa teman, berbagi informasi, berbagi pengalaman, berbagi pengetahuan, dan berbagi inspirasi itu sejatinya juga bernilai ibadah.
Senin, 27 Juli 2009
King: Berbagi Semangat dan Inspirasi
Label: Movie
Rabu, 25 Februari 2009
Closer: Love and the Will to Power
Last Wednesday, I watched a movie from my own collections. The title is Closer. The movie, directed by Mike Nichols and released in 2004, starred by Julia Roberts, Jude Law, Natalie Portman, and Clive Owen. Actually, I bought this VCD last year, January 8, 2008 in Surabaya. But I had just watched it this week.
Closer is a romantic drama about four people trapped in a complicated love story. They are Larry (Clive Owen), Anna (Julia Roberts), Dan (Jude Law), and Alice (Natalie Portman). Plot of this movie is somewhat puzzling, moving quickly between the scenes. But, the bright dialogues and fascinating performances of the actors made me keep watching and follow the stream of this intriguing story.
This love story actually is also about the impact of chance meetings, instant attractions, and betrayals. In the beginning of this movie, two strangers, Dan and Alice, met in an accident, and I knew that the meeting wouldn’t stop right there. Then, Dan and Alice became a couple of lovers.
Another chance meeting was between Larry and Anna. Larry, a dermatologist, unexpectedly met Anna at London Aquarium after he had an appointment with his mysterious friend when he surfed at internet chat room—in fact, the mysterious friend of Larry was Dan, the friend of Anna. This meeting also had subsequent affair de coeur—they married.
A witty, dangerous, and complicated love story began when the two couples met together at Anna’s Photo Exhibition. Love affairs is about to be started, and the affairs devastated the romantic relationship between them. The meaning of love became problematic, not only a romantic. At this point, we can understand that love also has a strong connection with deception, egocentrism, betrayal, and revenge.
For me, this is the most interesting part of this movie. This point reminded me to Sartre and Nietzsche. I remembered my Course of Ethics last week when discussed about the Others. Sartre argued that relations between freedoms are inherently conflictual. The other is a threat. So, Sartre didn’t believe in love. In love, there is self-deception.
And Nietzsche spoke about the Will to Power. Interestingly, he emphasized that the Will to Power is not only about politics, knowledge, and relation with the others. The world is the Will to Power. Nietzsche brings the Will to Power to the ontological perspective.
This movie gave me a good example about the tension between love and the Will to Power. Of course I didn’t believe in Nietzsche and Sartre who tend to annihilate the possibility of sincerity between people. For me, this movie confirmed the ambiguity and strict negotiations in our relations with the others, and the pervasive power of our egocentrism.
I really enjoyed watching this movie. Clive Owen, Julia Roberts, Jude Law, and Natalie Portman presented quite good performance in their respective roles. Most importantly, this movie challenged me to think of deeply and gave me fresh perspective and reflection about our relations and about love.
Label: :: In English ::, Movie
Selasa, 18 November 2008
Nonton Laskar Pelangi
Sore itu, akhirnya saya berkesempatan untuk nonton film Laskar Pelangi. Seusai acara di Sampoerna Strategic Square, saya mengajak Daman untuk nonton di Plaza Semanggi. Ternyata tak hanya Daman, rombongan kami dari Annuqayah yang lain pun tertarik untuk menyaksikan film yang memecahkan rekor penonton itu.
Tidak seperti yang diperkirakan, tak ada antrean panjang di bioskop sore itu. Mungkin sore bukan jam tayang favorit, karena memang ternyata untuk jam tayang berikutnya, penonton sepertinya lebih berjubel mengantre di loket. Kami berenam langsung menikmati pemutaran film berdurasi 2 jam 5 menit itu.
Di antara teman-teman, hanya saya yang tuntas membaca novel itu. Kebanyakan di antara kami bahkan masih belum membacanya. Namun demikian, kami benar-benar dapat menikmati film karya Riri Riza dan Mira Lesmana itu. Saya, yang sudah berbekal berbagai komentar teman atau pakar yang dibaca di koran atas film ini, diam-diam juga berusaha memberikan penghakiman atas karya yang diangkat dari novel fenomenal karya Andrea Hirata tersebut. Tapi terus terang, saya berusaha keras untuk tidak apriori dan bersikap adil membaca film ini.
Karya audio-visual memang memiliki kelebihan dan kekurangan tersendiri. Saya sepakat dengan Slamet Rahardjo Djarot yang juga ambil peran di film itu dan berpendapat bahwa keindahan karya sastra paling banyak hanya dapat diserap 70% dalam karya audio-visual. Nuansa dan mukjizat kata-kata tak mampu ditangkap penuh oleh suara dan gambar. Tapi tentu saja, suara dan gambar punya bahasa tersendiri yang menjadi nilai lebih mereka.
Meski begitu, bukan berarti film Laskar Pelangi ini kemudian menjadi lebih buruk dari novelnya. Menurut saya, Riri Riza telah berhasil menyiasati karakter bahasa khas audio-visual untuk bisa menghasilkan karya yang tak kalah bagus. Yang paling terlihat adalah bagaimana Riri bisa meminimalisasi bagian-bagian hiperbolis dalam novel Laskar Pelangi itu. Riri berhasil lebih membumikan alur cerita.
Saat membaca versi novelnya, saya sulit sekali untuk menerima pemaparan tentang Mahar yang menyanyikan lagu Tennesse Waltz di depan kelas. Adik saya yang cukup lama malang melintang di dunia musik hingga ke wilayah-wilayah yang tak biasa, ketika itu saya tanya dan mengaku tak mengenal lagu itu. Jadi, bagi saya, lagu itu terlalu berat untuk seorang Mahar yang tinggal di pedalaman Belitung. Dan Riri, di film itu, kemudian mendamaikan keberatan saya itu dengan menggantikannya dengan lagu Seroja yang terdengar lebih familiar. Bagi saya ini tampak sebagai pilihan yang bijak.
Yang lainnya adalah kisah perdebatan di forum cerdas cermat antara Lintang dan tim juri. Lagi-lagi, Andrea buat saya berkisah dengan hiperbola. Gagasan tentang teori warna Descartes-Aristoteles-Newton dalam konteks perdebatan yang cenderung filosofis terasa terlampau berat untuk anak dan konteks cerita di sana. Dan Riri kemudian menggantikannya dengan hitung-hitungan yang relatif lebih sederhana. Masih dalam kasus cerdas cermat, Andrea mengisahkannya dengan kurang menegangkan, karena di versi novel dikisahkan bahwa Lintang memborong nyaris semua pertanyaan dengan jawaban yang benar. Tapi Riri membangun suasana yang menegangkan dalam lomba cerdas cermat itu—selain juga nuansa humor dan satir yang khas, seperti juga di bagian yang lain di film itu.
Kemenangan Riri yang lain dalam karyanya itu tampak menguat di bagian akhir film, saat Riri menampilkan adegan perpisahan Lintang dengan teman-temannya. Semua penonton dibuat tersihir, tertegun, dan larut dalam suasana yang sungguh mengharukan itu. Teman di sebelah tampak tak kuasa menyembunyikan kesedihan dan keharuannya.
Begitulah. Di akhir pertunjukan, saya merasa cukup puas dengan film ini. Tentu ada kekurangan yang tak terhindarkan. Penonton film ini ada yang berharap tampilnya bagian-bagian menarik dari novel yang ternyata harus tersingkir—tentu karena harus berkompromi dengan keterbatasan durasi. Tapi, kalau mau jujur, novel pertama Andrea itu pun juga tak lepas dari kekurangan, seperti tiadanya plot (yang padu), ending yang kurang mengesankan, dan lain-lain.
Demikianlah. Gagasan dapat disampaikan melalui berbagai saluran. Dan, kedua karya ini, novel dan film Laskar Pelangi, paling tidak telah sama-sama cukup kuat untuk memberikan gambaran yang cerdas tentang tragedi dan ironi dunia pendidikan di negeri ini.
Baca juga:
>> Sebelum Riri Menghukumku
Label: Movie
Minggu, 19 Oktober 2008
Sebelum Riri Menghukumku
Empat hari ini aku berjuang keras mengantisipasi hukuman yang mungkin aku terima. Empat hari ini, di sela waktu berbagai macam tugas, di antara sengatan cuaca yang sungguh panas, aku berpacu menuntaskan novel best-seller Laskar Pelangi karya Andrea Hirata. Aku tak ingin Riri Riza mengirim imajinasiku ke penjara, membuatnya tak berdaya dan memborgolnya dengan karya yang ia susun selama setahun.
Alhamdulillah, akhirnya sore ini aku boleh merasa lega dan menang. Jika Selasa atau Rabu besok aku diberi kesempatan untuk menikmati karya Riri, maka mungkin justru akulah yang akan duduk di meja kehormatan untuk menghakimi karyamu, Riri—maafkan aku. Dan, imajinasiku tak bisa menjadi pesakitan yang harus tunduk pada perintahmu.
Aku memang terlambat membaca karya yang paling heboh dibicarakan orang-orang ini. Justru mungkin hanya karena aku tak mau dihukum oleh Riri, sehingga akhirnya aku merasa terdesak untuk segera menuntaskannya.
Dalam catatanku, buku ini sebenarnya sudah aku beli akhir tahun lalu. Waktu itu aku membeli tiga buku karya Andrea, dan langsung aku hibahkan ke perpus sekolah untuk dibaca anak-anak. Untukku sendiri, aku cuma membeli Laskar Pelangi. Itu pun langsung kupinjamkan ke anak-anak yang sudah tak sabar ingin membacanya. Karena kupikir mumpung anak-anak sedang semangat membaca, ya aku kasikan saja. Masing-masing anak kuberi waktu peminjaman 3 hari, karena antrean peminjam sudah menunggu tak sabar. Hingga begitu banyak kisah kagum anak-anak yang tuntas membaca novel ini disampaikan kepadaku, aku tak kunjung menemukan momen untuk mulai melahapnya.
Malah aku membaca buku yang lain. Terjemahan novel Khaled Hosseini yang terbaru, Ayat-Ayat Cinta yang juga telat kubaca dan terdorong untuk membacanya hanya karena tak ingin ketinggalan cerita di kelas, memoar Irshad Manji, novel klasik Belenggu karya Armijn Pane, cerpen-cerpen Linda Christanty, dan buku-buku atau majalah tentang isu lingkungan.
Pertengahan Mei lalu aku nyaris menemukan momentum untuk membaca novel itu. Saat berkunjung ke Jogja atas undangan Penerbit Gramedia, aku sempat mampir berkunjung ke kantor Bentang, dengan niat untuk sekadar kangen-kangenan dengan orang-orang dan suasana kantor. Tiba di sana, aku disuguhi kisah-kisah sukses novel Laskar Pelangi, dan tentang bagaimana novel ini kemudian berhasil mengantarkan Bentang menjadi unit usaha Mizan yang paling banyak meraup untung.
Sepulang dari Bentang, memang sempat terpikir untuk segera membaca novel ini. Ketika itu Pak Kris, pimpinan Bentang, bilang, sekitar Oktober nanti filmnya akan dirilis. Informasi ini ternyata tak cukup mampu memancing seleraku untuk segera membacanya. Novel Laskar Pelangi masih keluyuran kupinjamkan ke orang-orang.
Hari demi hari berlalu. Puasa Ramadan tiba. Di penghujung Ramadan itulah, Riri Riza muncul dengan karya terbarunya: film Laskar Pelangi. Setelah tenggelam sebentar oleh suasana lebaran, orang-orang kembali ramai membicarakannya. Ulasan di koran bermunculan. Komentar dari beberapa rekan kuterima, setelah mereka menonton film berdurasi 2 jam 5 menit itu. Di antaranya, ada yang menulis pesan pendek demikian: “Memang sudah memindahkan bahasa tulisan ke bahasa visual. Menurut saya, Laskar Pelangi mengalami kegagalan yang sama dengan Da Vinci Code. Terasa hambar, miskin suspense..”. Temanku yang lain, yang kebetulan juga terlibat dalam penerbitan novel Laskar Pelangi, juga menyuarakan nada serupa kecewa. Tapi ada juga beberapa teman yang merasa puas dengan karya Riri Riza itu.
Aku tak bisa memberi respons panjang atas komentar teman-teman ini, karena aku malah belum baca novelnya dan juga belum lihat filmnya. Karena sepertinya aku akan punya kesempatan untuk menonton film ini dalam beberapa hari ke depan, maka hari Kamis yang lalu aku bertekad untuk segera membacanya.
Empat hari ini aku kemudian membaca Laskar Pelangi. Empat hari ini aku kemudian menjadi sutradara, sekaligus aktor, aktris, penata musik, penata busana, dan yang lainnya, untuk film berjudul Laskar Pelangi. Durasinya kemudian sekitar 85 jam! Dalam filmku, Andrea Hirata hanyalah produser. Tak ada ongkos 8 miliar. Tak ada casting yang melelahkan. Tak perlu mencari ide di bawah filicium. Cukup beberapa cangkir kopi, ditambah dua bungkus biskuit Roma Malkist. Dan, filmku ini eksklusif. Hanya aku yang menonton dan menikmatinya.
Riri Riza. Sore tadi aku mengumumkan kemenanganku. Bersiaplah menunggu penghakiman dariku. Tapi tenang, aku tak akan memberimu keputusan yang sewenang-wenang.
Rabu, 22 Februari 2006
Pembalasan Si Pengantin
Ternyata, jalan pulang untuk bertobat tak cukup mudah ditempuh. Iblis telah tersebar ke sekian banyak tempat. Ia menarik, menggiring, menguntit, dan mengepung, agar kita tetap merasa hangat dalam pelukannya. Iblis tahu betul setiap kali ada anak buahnya yang mencoba berusaha mengambil jalan lain atau kabur dari kelompoknya.
Demikianlah. Si Pengantin telah menetapkan keputusannya: menjadi istri yang baik, menjaga toko kasetnya, menemani hari-hari suaminya, melepas masa lalunya yang kelabu. Si pengantin ingin memulai sesuatu yang baru, catatan baru yang indah dalam episode hidupnya. Entah berapa lama ia harus berpikir keras untuk membuat keputusan itu. Entah seteguh apa hati dan tekadnya sehingga ia cukup berani untuk kabur dari lingkaran gelap yang telah ia hidupi sekian lama.
Keputusannya yang bulat itu lalu akan berlanjut di sebuah kapel kecil di perbatasan negeri. Tempatnya cukup terpencil, tandus, jauh dari ingar bingar dan pusat kota. Bangunannya sederhana, dari papan kayu yang disusun rapi dan kokoh. Tempat itu seperti menyimpan keheningan dan kekhidmatan. Cocok untuk sebuah langkah awal suatu pertobatan.
Dia belum betul-betul masuk ke pintu pertobatannya, ketika dalam sesi gladi yang dilakukan sehari sebelum resepsinya, iblis-iblis itu datang seketika, dengan rentetan salak senapan yang tak terkira. Para iblis itu tak membutuhkan waktu yang lama untuk mengantarkan mereka yang hadir di kapel itu ke alam baka. Si Pengantin pun terbujur telentang di lantai. Perutnya yang membuncit semakin jelas terlihat di antara gaun pengantin putih yang ia kenakan, yang telah bersimbah darah.
Tapi mungkin memang benar, Tuhan Maha Pengampun. Tuhan telah mencatat niat pertobatan Si Pengantin. Dengan cara yang tak terjelaskan nalar, Tuhan telah mengirim malaikat untuk menyelamatkan Si Pengantin. Tuhan menahan roh kehidupan Si Pengantin untuk lepas meninggalkan raganya. Memang tak cepat. Dua tahun. Saat kemudian Si Pengantin menemukan dirinya terbujur kaku di atas ranjang rumah sakit, dengan infus dan peralatan medis. Dengan perut yang tak lagi buncit. Dengan janin yang telah raib.
Si Pengantin masih ingat segalanya. Jalan pertobatan yang hendak ditempuhnya telah diputus. Para iblis itu telah mengacaukan niat sucinya. Para iblis yang adalah teman-teman dari balik halaman masa lalunya. Para iblis yang diam-diam menghidupkan kembali sosok-iblis-dalam-dirinya. Para Iblis yang telah mengundang kembali Si Ular Hitam Dari Afrika, Black Mamba, untuk keluar dari sarang lamanya yang pengap.
Si Pengantin menemukan kuldesak, jalan buntu yang berujung di titik dendam, yang menagih untuk segera dilunasi. Si Pengantin memang tak hendak menagih dendam dengan impas. Dia hanya ingin riwayat para iblis keparat itu tamat. Dia hanya ingin mereka tahu bahwa ia tulus dengan pertobatannya, dan bahwa Tuhan telah merestuinya, sehingga Tuhan sendiri turun tangan untuk menyelamatkannya dan memberi jalan untuk balas dendamnya. Karena itu, ia sangat sadar bahwa perjalanannya menuntaskan dendam adalah juga perjalanan spiritual, yang mungkin tak jauh berbeda nilainya dengan pertobatan.
Tentu ia tak dapat menghindar dari pembantaian. Karena melawan para iblis, tak boleh ada ragu untuk mengayun samurai, memotong leher dan lengan, mencongkel mata, atau menusuk jantung. Satu persatu, Si Pengantin membuat perhitungan, mengantar mereka semua ke ranjang peristirahatan mereka yang terakhir. Satu persatu, Si Pengantin mengakhiri riwayat mereka dalam kematian yang indah.
Si Pengantin melukis hamparan salju putih dengan darah, di antara butir-butir salju yang berderai dihembus angin, dengan latar Fuji yang indah, di halaman belakang Pondok Daun Biru. Ada iringan musik yang berkisah tentang bunga yang bermekaran di antara ladang pembantaian, yang dinyanyikan dengan penuh penghayatan, sehingga melantunkan aura spiritual yang mendalam. Aura spiritual yang juga dapat ditemukan dalam lukisan seorang gembala yang sedang sendiri, merenungi jalan hidup penuh misteri yang digariskan untuknya.
Si Pengantin menghamburkan sereal di dapur yang dicat warna-warni. Sereal itu tak ia hamburkan sendiri. Ia hanya melesakkan pisau ke jantung seorang iblis-curang yang menembaknya seketika, saat ia pura-pura membuatkan sereal untuk anaknya. Padahal ia tak ingin menghabisi iblis-curang itu di depan anaknya. Ia tak ingin anak itu mendendam, dan kemudian juga menjadi iblis seperti ibunya.
Si Pengantin sungguh disayang Tuhan. Ia tak perlu membunuh salah satu iblis itu dengan tangannya sendiri. Dua iblis saling berbunuhan, karena sifat tamak yang tak sanggup mereka pendam. Dan Tuhan betul-betul menyayangi orang-orang yang bertobat. Kuburan yang dibuat untuknya dia tinggalkan sepi tanpa penghuni. Mungkin dahulu Tuhanlah yang menuntunnya untuk belajar pada Sang Suhu, tentang bagaimana mengoyak papan dengan kepalan tangan.
Si Pengantin berduel dalam karavan sempit yang penuh dengan barang-barang yang berantakan. Si Pengantin membuktikan ketangguhannya bermain samurai yang dia dapat dari seorang Empu. Setelah cukup tegang berjibaku, Si Pengantin membalaskan dendam Sang Suhu dengan sisa satu kelopak mata iblis yang ia injak tanpa ampun.
Perburuan iblis terus berlanjut. Daftar iblis bersisa satu nama. Si Pengantin tahu, iblis yang satu ini adalah Raja Iblis. Dan untuk melawan dan menaklukkan Raja Iblis, yang dibutuhkan tak hanya nyali dan ketangkasan olah tubuh. Karena berburu Raja Iblis sangat mungkin akan mengantarkannya ke salah satu bilik dirinya sendiri. Karena pertempuran paling hebat memang adalah pertempuran menghadapi diri sendiri dan menundukkan hawa nafsu. Karena Raja Iblis diam-diam adalah sosok yang dicinta, sehingga ia juga menitipkan anak-anaknya untuk dibesarkan, dirawat, dan dijaga. Di titik ini, Si Pengantin harus bersitegang dengan dilema.
Sebenarnya, Si Pengantin telah menjawab dilema terbesar dalam dirinya dengan jalan pertobatan yang telah dipilihnya itu. Si Pengantin tak ingin anaknya tumbuh dewasa dengan mengetahui yang sebenarnya, bahwa bapaknya adalah seorang Raja Iblis. Si Pengantin tak ingin anaknya menjadi penerus Raja Iblis. Tapi untuk memilih jalan itu, Si Pengantin memang harus menghimpun segenap kekuatan hatinya untuk dapat memutuskan untuk meninggalkan lelaki yang diam-diam dicintainya itu.
Berdiri di hadapan Raja Iblis di sebuah medan duel memaksanya untuk kembali ke halaman depan gerbang pertobatannya, beberapa tahun sebelumnya. Di situ, Si Pengantin merasa berada di sepotong senja penuh bimbang, saat dia harus memutuskan ke manakah dia akan pulang. Konon, di senja hari, setan-setan memang tengah berpesta, berkeliaran mencari-cari mangsa. Si Pengantin buru-buru membuat rumah darurat di senja itu, demi menyelamatkan calon anaknya yang akan segera menyaksikan dunia.
Bayangan senja itulah yang lebih dulu menyerangnya, bersama dengan pertanyaan-pertanyaan Raja Iblis yang membangkitkan semua kenangannya tentang dilema di senja penuh bimbang yang mencekam itu.
Balas dendam memang bisa seperti belantara, yang dapat membawanya ke arah yang tak pernah diduga. Dan akhirnya, Si Pengantin memang harus kembali memutuskan. Membuat jawaban di antara dua pilihan yang sebenarnya tak jauh berbeda. Si Pengantin harus bersikap dingin, tegar, dan kuat, untuk menetapkan pilihan. Dengan kepedihan yang menyayat, ia pun mengakhirinya dengan jurus Tapak Lima Langkah Mematikan.
Si Pengantin pun pulang di pagi yang cerah, ke rumah barunya. Si Pengantin pun menapaki jalan takdirnya yang baru.
* Mengenang insomnia, awal Maret 2005--ditemani gerimis.
Label: Movie