Tampilkan postingan dengan label Book Review: NU-Gus Dur. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Book Review: NU-Gus Dur. Tampilkan semua postingan

Minggu, 09 Desember 2018

Warisan Gus Dur untuk Resolusi Konflik


Judul buku: Gus Dur, Islam Nusantara, dan Kewarganegaraan Bineka: Penyelesaian Konflik Aceh dan Papua 1999-2001
Penulis: Ahmad Suaedy
Penerbit: Gramedia, Jakarta
Cetakan: Pertama, November 2018
Tebal: xxxiv + 488 halaman
ISBN: 978-602-06-1813-5

Diceritakan bahwa suatu hari Presiden Abdurrahman Wahid—yang akrab dipanggil Gus Dur—menerima laporan bahwa di Papua ada pengibaran bendera Bintang Kejora–bendera Organisasi Papua Merdeka (OPM). Kalangan tentara melihat ini sebagai bentuk ancaman separatisme. Setelah mengetahui bahwa ada juga bendera merah putih yang dikibarkan dengan posisi lebih tinggi, Gus Dur dengan santai menanggapi, “Anggap saja Bintang Kejora itu umbul-umbul.”

Jawaban ini bukan sekadar guyonan khas Gus Dur. Jawaban ini dapat menjadi pintu masuk untuk memahami strategi penyelesaian konflik ala Gus Dur khususnya dalam kasus Aceh dan Papua secara lebih menyeluruh, sebagaimana yang dipaparkan dengan baik oleh Ahmad Suaedy dalam buku ini.

Menurut Suaedy, Gus Dur mendobrak asumsi dan visi mendasar dalam penanganan konflik Aceh dan Papua yang sebelumnya hanya parsial, belum radikal, bahkan salah jalur. Untuk konflik Aceh, misalnya, Presiden Habibie memberi jalan keluar dengan diterbitkannya UU No. 44/1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh yang mengakomodasi penerapan syariah Islam di Aceh. Padahal, masalah pokok konflik Aceh adalah ketidakadilan ekonomi dan represi militer. Demikian pula, penanganan konflik di Papua pada masa pemerintahan Soeharto cenderung manipulatif, represif, dan melibatkan kekerasan oleh tentara.

Bagi Gus Dur, konflik Aceh dan Papua berakar pada visi kewarganegaraan yang keliru yang membuat kepedulian negara pada warganya cenderung formalistik belaka. Sentralisme Orde Baru ala Soeharto menempatkan protes rakyat sebagai ancaman. TNI masa itu mendefinisikan tantangan nasional di antaranya dalam wujud separatisme.

Gus Dur memperjuangkan visi kewarganegaraan bineka yang berusaha menempatkan seluruh unsur warga negara secara setara. Masyarakat Papua dan Aceh bukanlah musuh negara. Mereka juga warga negara yang setara, sama-sama memiliki aspirasi dan juga ingin mendapatkan perlakuan yang adil dari negara.

Kesetaraan ini diterjemahkan dengan memberikan pengakuan (recognition) terhadap eksistensi masyarakat Papua atau OPM dan Aceh atau GAM. Pengakuan ini kemudian diikuti dengan penghormatan (respect) yang berwujud kesediaan untuk memberikan kebebasan berekspresi, berkumpul, dan juga jaminan keamanan.

Tentu saja, langkah-langkah ini oleh Gus Dur dimulai dengan membangun hubungan saling percaya (trust) yang sebelumnya tidak ada antara pemerintah dan kelompok-kelompok di Aceh dan Papua. Kebijakan Gus Dur untuk mengizinkan pengibaran bendera Bintang Kejora di Papua dan Bulan Bintang di Aceh juga dalam kerangka tersebut. Gus Dur juga menunjuk Jacobus Perviddya Solossa, yang ikut menandatangani pernyataan tuntutan merdeka kepada Presiden Habibie, sebagai Gubernur Papua.

Langkah Gus Dur dalam usaha menyelesaikan konflik Aceh dan Papua secara damai berpuncak pada capaian tersusunnya RUU Otonomi Khusus untuk Aceh dan Papua yang mengakomodasi aspirasi politik, ekonomi, dan budaya masyarakat Aceh dan Papua. Proses pembahasan RUU ini di DPR mendapatkan pengawalan oleh gerakan masyarakat sipil sehingga meskipun Gus Dur dilengserkan semangat UU tersebut tidak berubah arah.

Buku yang semula merupakan disertasi penulisnya di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta ini adalah karya yang sangat berharga yang berusaha merekam warisan pemikiran dan aksi nyata Gus Dur dalam penyelesaian konflik Aceh dan Papua yang telah banyak memakan korban. Suaedy dalam buku ini juga menunjukkan bahwa pemikiran dan aksi Gus Dur dalam penyelesaian konflik Aceh dan Papua ini berlandaskan pada metodologi Islam post-tradisional yang merupakan khazanah Islam Nusantara. Gus Dur, menurut Suaedy, memilih jalan non-ideologis sebagai landasan penyelesaian konflik dengan memberi penekanan pada tujuan dan misi Islam untuk kesejahteraan masyarakat yang dalam terma Islam Nusantara populer dengan istilah rahmatan lil ‘alamien.

Kita tahu bahwa hingga kini penyelesaian konflik Aceh dan Papua masih belum benar-benar tuntas. Dengan demikian, buku ini mengingatkan bahwa perjuangan visi kewarganegaraan bineka yang menjadi semangat Gus Dur harus terus dikawal ketat, termasuk mengawal unsur keadilan kepada kelompok-kelompok yang (dulunya) terpinggirkan. Sebab, kata Gus Dur, perdamaian tanpa keadilan adalah ilusi.


Tulisan ini dimuat di Harian Jawa Pos, 9 Desember 2018.


Read More..

Jumat, 08 Januari 2016

Teladan Spiritual Gus Dur


Judul: Gus Dur: Mengarungi Jagat Spiritual Sang Guru Bangsa
Penulis: Dr. Abdul Wahid Hasan
Penerbit: IRCiSoD, Yogyakarta
Cetakan: Pertama, Agustus 2015
Tebal: 252 halaman
ISBN: 978-602-255-956-6


Gus Dur adalah sosok multidimensi. Dia seorang kiai, aktivis demokrasi, pemikir, juga budayawan. Namun demikian, menurut Greg Barton, Gus Dur hanya bisa dipahami jika kita mencermati keyakinan religius dan kehidupan batinnya.

Buku ini berusaha menggali sisi spiritualitas Gus Dur. Abdul Wahid Hasan, penulis buku ini, berusaha memotret akar terbentuknya spiritualitas Gus Dur, bentuk pendidikan spiritual yang diperjuangkan Gus Dur, serta strategi pendidikan spiritual yang dijalankan Gus Dur.

Abdul Wahid berasumsi bahwa seluruh visi, tindakan, dan gerakan yang dilakukan Gus Dur bertolak dari pemahaman keagamaan dan spiritualitasnya. Jika melihat biografi kehidupan Gus Dur, tampaklah bahwa benih spiritualitas yang tumbuh dan menjadi landasan orientasi visi hidupnya amatlah jelas. Dibesarkan di lingkungan keluarga berbasis pesantren, Gus Dur mendapatkan teladan pelayanan kepada umat dari lingkungan terdekatnya yang berangkat dari semangat penghayatan keagamaan.

Teladan yang inspirasinya pada tingkat dasar mengacu pada pribadi Muhammad Rasulullah ini melahirkan bentuk pemahaman spiritualitas dengan semangat dakwah transformatif. Prof. Abd. A’la dalam pengantar buku ini membandingkan dengan model spiritualitas yang dihayati oleh Rabiah al-Adawiyah meski berujung pada bentuk ekspresi yang berbeda (hlm. 13).

Menurut penelitian Abdul Wahid dalam karya yang semula merupakan disertasi di UIN Sunan Ampel Surabaya ini, terungkap bahwa sosok Gus Dur mempertunjukkan empat bentuk pendidikan spiritual, yakni spiritual humanis, spiritual inklusif-kosmopolit, spiritual dinamis-progresif, dan spiritual mistikal trans-eksistensial (hlm. 144).

Spiritualitas Gus Dur tiba pada pemahaman bahwa agama sejatinya hadir untuk misi kemanusiaan. Dalam pemahaman ini, pelayanan kepada sesama adalah hal yang sangat penting, termasuk pada kelompok marginal. Tidak heran jika Gus Dur sering hadir di pihak yang lemah, seperti saat membela Inul Daratista atau bahkan menemui Soeharto saat dalam posisi terpojok setelah lengser.

Lebih dari sekadar berorientasi kemanusiaan, spiritualitas Gus Dur menembus batas-batas agama sehingga juga bercorak inklusif-kosmopolit. Dalam pemahaman Gus Dur, Islam adalah agama universal sehingga kehadirannya melampaui batas-batas perbedaan manusia. Dengan cara ini, spiritualitas menjelma sebagai cahaya yang mengayomi dan anti-kekerasan.

Penghayatan personal yang bersifat mistik sebagai bentuk spiritualitas pada sosok Gus Dur juga mendorong sikap dinamis-progresif. Ada yang menyatakan bahwa keberanian dan kepercayaan diri Gus Dur saat mengambil tindakan yang terbilang kontroversial di antaranya terbangun atas pengalaman spiritual yang bersifat mistik setelah ia sering mendatangi makam para wali.

Dalam rentang perjalanan hidupnya, berbagai bentuk penghayatan pendidikan spiritual itu disampaikan Gus Dur dengan beberapa strategi. Menurut penelitian Abdul Wahid, ada tiga strategi yang digunakan Gus Dur, yakni strategi selebritasi, strategi kontroversi, dan strategi imitasi (hlm. 209).

Pertama, Gus Dur tampil sebagai selebriti di media sehingga ia memiliki ruang leluasa untuk menyampaikan visi dan perjuangannya. Kedua, Gus Dur sering melemparkan pernyataan atau menampilkan sikap kontroversial. Menurut Wahid, langkah ini diambil untuk memberi terapi kejut sekaligus mendorong masyarakat untuk berefleksi secara lebih mendalam atas hal-hal yang sebelumnya dianggap rutin dan biasa.

Ketiga, Gus Dur tampil memberi contoh, aksi nyata, dan keteladanan atas penghayatan spiritual yang diyakininya. Ia memberi contoh kesederhanaan, ketulusan, dan sikap kemanusiaannya yang mendalam.

Menurut Abdul Wahid, teladan spiritual Gus Dur, yang oleh Majalah Time pernah disebut sebagai The Spiritual Leader, meneguhkan pesan penting bagi pengembangan pendidikan spiritual yang humanis. Wujudnya berupa pendidikan keagamaan yang terbuka, berbasis moral, berakar di masyarakat, dan menghargai kebijaksanaan lokal (hlm. 228).

Buku ini mengisi kelangkaan kajian atas sosok Gus Dur yang menempatkannya sebagai pribadi unik yang penuh dengan penghayatan spiritualitas. Secara khusus, kajian ini juga bisa memberikan pemahaman yang baik atas salah satu corak penghayatan spiritualitas yang bertumbuh dari kalangan berlatar pesantren. Dari sosok Gus Dur, terbukti bahwa kaum santri tidak bisa dibilang kolot dan jumud.

Pengaruh dan apresiasi terhadap Gus Dur yang sangat kuat di kalangan santri pada khususnya menunjukkan bahwa corak spiritualitas ala Gus Dur bukanlah pandangan pinggiran. Buku ini memberi gambaran yang lebih utuh tentang bagaimana spiritualitas Gus Dur ini dapat berkontribusi lebih nyata bagi bangsa ini.


Versi yang sedikit berbeda dengan tulisan ini dimuat di Koran Jakarta, 8 Januari 2016.


Read More..

Senin, 18 Oktober 2004

Sketsa Kaum Muda NU


Judul buku : NU Muda: Kaum Progresif dan Sekularisme Baru
Penulis : Laode Ida
Pengantar : Martin van Bruinessen
Penerbit : Erlangga, Jakarta
Cetakan : Pertama, 2004
Tebal : xviii + 248 halaman

Dalam beberapa tahun terakhir ini berkembang pemikiran yang menyatakan bahwa dikotomi modernis dan tradisionalis sudah tak lagi relevan digunakan dalam konteks komunitas Islam Indonesia, terutama bila dirujukkan pada dua organisasi besar kaum muslim, NU dan Muhammadiyah. NU, kaum sarungan yang selama ini dipandang mewakili kelompok tradisional, belakangan ternyata memperlihatkan suatu gerak metamorfosis yang tidak saja terjadi dalam level epistemologis, tapi juga dalam konteks orientasi. Mitos tradisional kalangan NU pelan-pelan terpatahkan oleh berbagai fenomena yang kian hari kian menarik itu.

Buku ini berusaha mencermati gugus-gugus komunitas yang oleh penulisnya, Laode Ida, disebut “Kelompok NU Progresif”, dalam menggalang perubahan di tubuh NU dan berbagai dinamika yang terjadi di dalamnya. Di bagian awal, Laode menggambarkan bagaimana sebenarnya dalam kultur NU perubahan itu cukup sulit dilakukan. Laode misalnya memaparkan tiga segi basis komunitas NU, yakni pesantren, yang pada tingkat tertentu cukup menjadi penghalang bagi terjadinya perubahan. Ketiga hal itu adalah otonomi kiai yang menjadi sumber legitimasi kaum pesantren dengan berbagai perangkat sosial yang semakin mendukung tingkat otoritasnya, stratifikasi dalam struktur kiai NU yang tidak hanya ditentukan posisi dan peran sosialnya di masyarakat tapi juga oleh faktor genealogis, dan ajaran-ajaran yang dikembangkan dan seringkali dipertahankan sebagai dogma. Selain itu, karena secara historis kemunculan NU sebagai sebuah organisasi cukup bercorak reaktif-defensif—lahir sebagai reaksi terhadap eksistensi kaum pembaharu yang mendirikan organisasi Muhammadiyah—maka secara teoritik ia menjadi kurang memungkinkan menerima agenda-agenda perubahan.

Namun demikian, dengan berbagai kondisi internal yang sedemikian rupa, ternyata anak-anak muda NU terbukti telah melakukan kiprah perubahan, baik ke arah internal maupun eksternal. Tentu saja ada sejumlah latar historis yang memungkinkan terjadinya perubahan tersebut. Dalam buku ini Laode mencatat ada empat hal yang menjadi konteks historis struktural bagi munculnya kelompok NU Progresif. Pertama, dinamika internal dan benturan tradisi yang muncul di tubuh NU sendiri, ketika di satu sisi muncul kelompok-kelompok NU yang memasuki wilayah gerakan yang sebelumnya belum pernah disentuh, yakni gerakan yang cenderung aktif dalam partisipasi sosial yang searah dengan proyek pembangunan Negara melalui lembaga-lembaga swadaya masyarakat, sementara di sisi yang lain muncul kritik terhadap realitas internal NU yang kurang responsif menyikapi kebutuhan dan tuntutan sosial yang saat itu terhitung baru. Kedua, tuntutan modernisasi untuk semakin memapankan pola manajerial intern NU sehingga berbagai sumber daya yang dimilikinya dapat berfungsi efektif dan maksimal.

Latar ketiga yang oleh Laode diuraikan dengan lebih panjang ketimbang latar historis lainnya adalah terjadinya kerisauan—terutama—kalangan muda NU terhadap perjalanan politik NU. Memang harus diakui bahwa kelompok mana pun mesti dan perlu bersentuhan dengan proses politik di level negara. Akan tetapi, secara intern, muncul kecenderungan bahwa keterlibatan NU dalam politik justru membuat program pengembangan masyarakat yang diembannya melalui pesantren menjadi stagnan. Sementara di satu sisi perhatian mereka pada dunia pesantren menjadi sangat terabaikan, di sisi yang lain sumber daya NU di dunia politik kadang mengalami kesulitan untuk memainkan perannya secara cantik, karena faktor pendidikan yang hanya terbatas di bidang keagamaan. Akibatnya, efektivitas keterlibatan NU di ranah politik menjadi dipertanyakan.

Belum lagi jika kalangan elit NU yang terjun di wilayah politik itu mengeksploitasi hak-hak politik warga NU, dengan terus memanfaatkan “kebodohan” massa NU yang masih terjebak dalam sistem budaya sosial patron-klien. Variabel kepentingan politis ini juga berlaku ketika pada titik tertentu tokoh-tokoh politik NU dimanfaatkan oleh Negara untuk menjadi semacam alat legitimasi bagi kebijakan-kebijakan Negara yang pada era Orde Baru sering bercorak represif dan bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi. Hal ini kemudian menjadikan independensi NU dari elemen-elemen kekuasaan (Negara) menjadi menghadapi tantangan besar.

Latar keempat yang menjadi titik tolak lahirnya kelompok NU Progresif adalah perkembangan gerakan HAM dan demokrasi di Indonesia. Merebaknya isu-isu HAM dan demokratisasi secara tak terelakkan juga diapresiasi oleh kelompok-kelompok muda NU. Untuk hal-hal tertentu sebenarnya isu HAM sudah merupakan bagian dari agenda-agenda kerakyatan NU, tapi dalam konteks atmosfer politik Orde Baru, persoalan ini menjadi semakin meluas ke level politik nasional.

Inilah yang oleh Laode kemudian dikatakan bahwa pola gerakan perubahan yang dilancarkan kaum NU progresif ini tidak saja bersifat sentripetal, yaitu dilakukan di basis komunitas NU itu sendiri dengan pelan-pelan masuk ke jajaran struktural NU, tapi juga bersifat sentrifugal, ketika kelompok NU progresif ini berupaya memengaruhi ke luar NU dengan pemikiran dan gerakan demokratisasi dan HAM melalui jaringan sosial yang dirajutnya. Kelompok inilah yang oleh Laode tipologinya disebut progresif-radikal dalam peta kelompok NU progresif. Laode mengidentifikasi bahwa kelompok ini diperankan oleh kelompok muda NU yang kritis terhadap kemapanan yang umumnya berbasis di perkotaan. Pemikiran dan kegiatan mereka dipandang radikal, bahkan kekiri-kirian. Gerakan mereka bisa berbentuk penyebaran pemikiran kritis maupun aliansi strategis lintas komunitas untuk mendorong perubahan yang lebih bersifat struktural dalam konteks sosial dan kenegaraan. Untuk kelompok ini Laode menyebut contoh kaum muda NU yang tergabung dalam Lembaga Kajian Islam dan Sosial (LKiS) Yogyakarta dan aktivis pergerakan yang tergabung di FORKOT dan FAMRED Jakarta.

Selain kelompok progresif-radikal ini, terdapat kelompok yang masuk dalam tipologi progresif-transformis, yaitu tokoh-tokoh muda NU yang secara intern mengupayakan penyadaran terhadap orang-orang NU sendiri dengan harapan mereka ini yang kelak akan dapat mengubah dirinya dan melakukan perubahan untuk lingkup komunitas yang lebih luas. Kelompok ini lebih banyak berkonsentrasi pada agenda-agenda internal NU dengan melakukan pembenahan pola manajerial dan pengembangan sumber daya manusia. Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (Lakpesdam) NU yang pertama kali didirikan di Jakarta pada 1983 dan kemudian diikuti di daerah-daerah menjadi salah satu pusat kelompok transformis ini dalam menggarap komunitas NU untuk bisa berkembang sesuai dengan tuntutan zaman.

Selain kedua tipologi radikal dan transformis tersebut, terdapat juga tipologi progresif-moderat, yaitu mereka yang memiliki ide-ide perubahan tapi tidak memiliki basis ideologi yang jelas yang secara konsisten bisa diperjuangkan. Berbeda dengan kelompok transformis yang cenderung persuasif dan kelompok radikal yang acap kali cenderung frontal, kelompok moderat ini cukup kooperatif baik dengan kekuatan intern NU maupun dengan kekuatan di luar NU.

Ketiga tipologi ini pada dasarnya tidak bersifat kaku dan dapat dipisahkan secara tegas. Dalam interaksinya pun terjadi tumpang tindih, dan secara operasional ketiga tipologi ini dapat dilihat lebih sebagai sub komunitas NU yang berangkat dari titik ideologi liberalisme yang mengupayakan revitalisasi tradisi sekaligus penemuan kembali jati diri dan kepribadian NU.

Berbagai sub komunitas ini mulai muncul dan berkiprah sejak tahun 1970-an dan hingga kini terus semakin subur seiring dengan arus perubahan politik Indonesia. Di awal kemunculannya, kelompok NU progresif ini banyak mempersoalkan kiprah NU dalam politik. Bagi kelompok NU progresif ini, gerakan politik Islam formal yang didukung oleh sejumlah politisi NU mengandung bahaya yang sangat mendasar, yaitu ketergantungan kejayaan Islam yang sangat kuat pada situasi politik formal-struktural, dan dapat mencengkeramkan benih eksklusivisme di kalangan umat.

Dari sinilah kemudian terlihat bahwa salah satu arah perubahan yang diupayakan kelompok NU progresif ini adalah dari eksklusivisme ke inklusivisme. Mereka meneguhkan kembali nilai dan sikap tasamuh, menekankan bahwa Islam adalah rahmat bagi semesta, menghargai komunitas lain, dan mendudukkan persoalan-persoalan sosial dalam bingkai kemanusiaan. Ideologi negara, yaitu Pancasila, dipandang sebagai wadah yang cukup representatif untuk konteks pluralitas masyarakat Indonesia.

Dalam tataran internal, kelompok NU progresif ini juga mencoba membongkar kejumudan berpikir masyarakat NU untuk dicerahkan dan diberdayakan. Bentuk-bentuknya bisa berupa mendorong kemandirian berpolitik warga NU yang sebelumnya sering dikooptasi oleh politisi elit NU sendiri, atau menghidupkan pikiran-pikiran kritis dan tradisi dialog. Selain arah perubahan semacam ini, juga diupayakan langkah-langkah untuk memperkuat tradisi demokrasi dan pembebasan dalam tubuh NU, terutama saat berhadapan dengan elemen-elemen kekuasaan Negara.

Berbagai aksi kelompok muda NU ditanggapi secara beragam oleh masyarakat NU pada umumnya. Ada yang terpengaruh sekaligus memberikan dukungan, ada yang bercorak defensif dan mencap bahwa beberapa perubahan yang dilakukan sudah keluar dari jalur tradisi, dan ada yang bersikap netral dan cukup akomodatif terhadap dua corak respons tersebut.

Pada saat kebebasan politik dan euforia menjadi ciri utama Orde Reformasi, berbagai elemen dari kelompok NU progresif ini seperti menghadapi situasi yang kembali sulit dan membingungkan. Sementara di awal pergerakannya mereka begitu mencurigai politik formal struktural sebagai suatu ancaman bagi ruh demokrasi dan masyarakat sipil, Orde Reformasi menawarkan sebuah ruang politis yang cukup terbuka untuk melakukan aksi yang cukup berbeda dengan yang telah diambil sebelumnya, sehingga NU sendiri akhirnya memutuskan untuk membentuk partai, yakni Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Tak terelakkan, respons yang muncul pun dari kalangan muda ini cukup beragam, baik yang pada akhirnya turut bergabung di jalur politis, tetap mengambil jalur perjuangan seperti yang dipilih sebelumnya, atau melontarkan pikiran-pikiran kritis terhadap kalangan internal NU sendiri.

Buku ini memang tidak mengulas secara mendalam situasi dan perkembangan terkini yang dalam konteks politis dan dari sudut kepentingan NU saat ini memperlihatkan interaksi dan dinamika yang semakin menarik. Majunya Ketua PBNU, KH Hasyim Muzadi sebagai cawapres yang dipasangkan dengan Megawati, dukungan PKB pada pasangan Wiranto-Shalahuddin Wahid, dan, yang paling mutakhir, manuver sejumlah kaum muda NU dalam menyelenggarakan Musyawarah Besar Warga NU di Cirebon di bulan Oktober yang lalu, memperlihatkan bahwa tarik menarik antara elemen-elemen progresif yang bersikap kritis terhadap posisi politis NU terus terjadi—malah mungkin cenderung semakin menguat. Dalam konteks paradigmatis, ini membuat perdebatan menyangkut pemaknaan Khittah 1926 NU terus terbuka dan dilangsungkan.

Seperti yang ditulis dalam kerangka acuan yang dibuat dalam acara Mubes Warga NU di Cirebon tersebut, sejumlah kalangan muda NU tersebut memandang bahwa telah terjadi degradasi makna dan tujuan NU, ketika elit-elit NU menjadikan organisasi tersebut sebagai kendaraan politik berjangka pendek sehingga “memperlemah keberdayaan dirinya, yang kemudian berdampak pada memudarnya eksistensi keulamaan dan NU di tengah-tengah kehidupan sosial kemasyarakatan.”

Pemaknaan-pemaknaan yang berbeda dalam membaca sebuah pilihan langkah “politis” tertentu dan respons warga NU pada umumnya sepertinya akan terus menjadi faktor kunci dalam menentukan bagaimana arah perubahan yang akan terjadi dalam tubuh NU itu sendiri. Tentu saja faktor eksternal yang saat ini juga memperlihatkan arah perkembangan yang dinamis dan kadang mengejutkan akan juga menjadi faktor yang menentukan. Yang jelas, dinamika internal yang begitu kaya ini pada satu sisi sebenarnya dapat menjadi sebuah modal yang besar bagi langkah NU ke depan, asalkan semua warga NU dapat menyikapinya dengan arif dan terbuka.

Meski tidak secara spesifik membicarakan persoalan relasi NU dan dunia politik, buku yang semula merupakan disertasi di jurusan Sosiologi Universitas Indonesia ini memberikan data dan analisis yang cukup berharga bagi warga NU, terutama untuk menjadi bahan diskusi bagi perbincangan tentang bagaimana sebaiknya mendudukkan elemen sayap politik di tubuh NU itu sendiri dalam hubungannya dengan cita-cita dan tujuan NU itu sendiri. Memang, pemaparan dan pemetaan yang disajikan Laode Ida atas peta pergerakan kelompok NU progresif masih bersifat umum. Karena itu, dalam konteks otonomi daerah dan semakin dinamisnya kaum muda NU di daerah-daerah, cukup menarik kiranya jika selanjutnya dicermati bagaimana proses interaksi dan tarik-menarik itu terjadi di daerah.


Tulisan ini dimuat di Jurnal Tashwirul Afkar Edisi 17/2004.

Read More..

Minggu, 27 Oktober 2002

Kembalinya Seorang Penulis

Judul Buku: Kumpulan Kolom dan Artikel Selama Era Lengser
Penulis : Abdurrahman Wahid
Pengantar: A. Mustofa Bisri
Penerbit: LKiS, Yogyakarta
Cetakan: Pertama, September 2002
Tebal: xx + 240 halaman


Gus Dur adalah sosok multidimensional. Secara objektif ini dapat dilihat dari berbagai posisi “formal” yang pernah digelutinya, mulai dari komentator bola, juri Festival Film Indonesia, aktivis LSM, kolumnis, kiai, hingga Presiden RI. Tapi figur Gus Dur secara mendasar memiliki basis identifikasi sebagai seorang intelektual yang dibesarkan dalam tradisi keagamaan (Islam, khususnya pesantren) yang kental. Lebih dari itu, Gus Dur juga adalah seorang yang intens menuangkan gagasannya dalam tulisan. Esai-esai Gus Dur sudah banyak muncul sejak tahun 1970-an. Bahkan di era itu Gus Dur aktif menulis tulisan panjang di Jurnal Prisma, sebuah jurnal ilmu sosial terkemuka.

Tapi dalam era reformasi, sejak Gus Dur terserang stroke di awal 1998 hingga terus menduduki kursi kepresidenan pada Oktober 1999 sampai akhirnya dilengserkan pada bulan Juli 2001, tulisan-tulisan Gus Dur raib dari media. Buku ini menandai kembalinya seorang penulis bernama Abdurrahman Wahid yang lekat dengan sejumlah ciri pemikiran dan style tulisannya.

Meski buku ini adalah kumpulan kolom dan artikel, buku ini tetap menarik diapresiasi, lantaran memiliki satu sisi unik dan kontekstual. Sekitar separuh bagian dari buku ini adalah kolom-kolom yang berisi refleksi Gus Dur terhadap perjalanan sejarah kebangsaan Indonesia. Dengan racikan yang kurang lebih seirama dengan gaya Gus Dur yang kontroversial, Gus Dur mengangkat ke permukaan beberapa sisi sejarah Indonesia yang selama ini dibiarkan tanpa peluang untuk dikritisi. Bahkan, pada beberapa bagian Gus Dur mencoba memberikan pemikiran spekulatif perihal keterkaitan beberapa segi sejarah tersebut dengan perilaku sosial-politik bangsa Indonesia saat ini.

Perihal berdirinya Kerajaan Majapahit, misalnya, Gus Dur mengemukakan bahwa penuturan sejarah selama ini tidak memberi penjelasaan mengapa Raden Wijaya, pendiri kerajaan besar di nusantara ini, membelot dari mertuanya, Kertanegara, raja Singosari. Gus Dur menduga kuat bahwa bisa jadi ada motif agama yang mendasari pertentangan ini, karena Raden Wijaya dalam merintis Majapahit dibantu oleh Angkatan Laut Cina yang nota bene beragama Islam. Pertanyaan besarnya adalah mengapa faktor agama selama ini diabaikan dalam setiap penjelasan sejarah berdirinya kerajaan-kerajaan di nusantara. Apakah demi merawat mitos persatuan dan kesatuan bangsa ini justru berpaling dari realitas kesejarahan yang dimilikinya?

Faktor agama ini juga berhasil diendus Gus Dur dalam peristiwa Perang Bubad, yang melibatkan Kerajaan Sunda dan Majapahit. Pecahnya pertempuran tersebut menurut Gus Dur bukanlah kehendak Hayam Wuruk, penguasa Majapahit, tapi lebih karena rekayasa sayap kaum muslim di Majapahit yang tidak menghendaki menyatunya dua kerajaan tersebut. Sebagaimana dimafhumi, rencananya rombongan Kerajaan Sunda itu mau menyerahkan puteri Sunda untuk dikawinkan dengan Hayam Wuruk. Kelompok muslim di Majapahit tidak menghendaki hal itu, karena dapat berdampak tersumbatnya saluran islamisasi, dan menguatnya ajaran-ajaran Bhirawa (campuran agama Budha dan Hindu).

Ada juga uraian tentang bagaimana Sultan Hadiwijaya (Jaka Tingkir) yang mengurungkan niatnya untuk membalas dendam terhadap menantunya, Sutawidjaya, yang lalu lebih memilih membangun masyarakat secara kultural di daerah Lamongan. Gus Dur mengapresiasi hal ini dengan cara menggambarkan pola hubungan periferal-pusat yang tidak simetris untuk pengembangan Islam tanpa merugikan agama Hindu dan Budha yang sedang berkuasa. Semacam perjuangan kultural.

Refleksi Gus Dur tentang beberapa segi sejarah bangsa ini menuntut kita bersama untuk lebih arif memosisikan keragaman warisan kultural kita secara lebih jujur dan kritis. Variabel pluralisme sosial yang memengaruhi jalannya sejarah perkembangan kehidupan masyarakat nusantara mesti diapresiasi secara terbuka, bukan dengan malah menutup-nutupinya atas dalih jargon kosong persatuan dan kesatuan. Ini penting demi mengharapkan munculnya kejernihan analisis sejarah yang mampu mengakomodasi fakta objektif masyarakat nusantara yang betul-betul kaya budaya. Di sisi lain, Gus Dur seperti memprovokasi para sejarawan untuk membaca ulang sejarah dalam bingkai ketulusan yang objektif dan kritis.

Dalam separuh bagian lainnya dari buku ini, Gus Dur memberi pengamatan terhadap sejumlah peristiwa sosial-politik aktual. Perihal kasus WTC 11 September misalnya, secara kritis Gus Dur mengingatkan betapa kadang kita bersikap hipokrit: mengutuk terorisme macam itu, tapi membiarkan terorisme dalam bentuk lain bergentayangan di hadapan kita, seperti pengabaian terhadap berbagai konflik etnis, atau berbagai kejahatan kemanusiaan yang lain.

Tema lain yang diulas Gus Dur dalam buku ini adalah tentang ekonomi kerakyatan, dinamika NU, juga soal-soal keislaman. Perspektif kritis, mendalam, dan khas (kultural) keindonesiaan tampak begitu kental dalam ulasan-ulasannya. Tentang relasi NU dan Muhammadiyah, misalnya, Gus Dur mengemukakan bahwa pada dasarnya yang terpenting adalah bagaimana mengapresiasi perkembangan kedua organisasi umat Islam terbesar di Indonesia itu dengan memerhatikan laju pencapaian budaya yang berhasil ditanamkan kepada warganya, bukan melulu melalui capaian formal kelembagaan.

Yang sedikit mengganggu dari buku ini adalah kesalahan ketik yang masih berserakan di sana-sini. Juga ada beberapa pengulangan pembahasan serta sistematika jalinan tulisan (kolom) yang kurang runtut sehingga kurang mengenakkan pembaca.

Terlepas dari hal tersebut, kehadiran kembali Gus Dur dalam kancah kepenulisan di Indonesia ini di sisi lain juga menggelitik beberapa politisi atau intelektual, yang selama ini membiarkan refleksinya mengapung dalam genangan pemikiran yang beku, tanpa mau berbagi dengan publik dalam suatu ruang dialog yang kritis.

Read More..

Sabtu, 22 Juni 2002

Metamorfosis Kaum Sarungan

Judul Buku : NU “Liberal”: Dari Tradisionalisme Ahlussunnah ke Universalisme Islam
Penulis : Mujamil Qomar
Pengantar: Azyumardi Azra
Penerbit: Mizan, Bandung
Cetakan: Pertama, April 2002
Tebal: 367 halaman


Stigma bahwa kalangan NU adalah masyarakat yang kolot, berpikiran tertutup dan jumud, saat ini sudah menjadi suatu hal yang patut dipertanyakan. Buku yang semula disertasi di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini memberikan kesaksian secara lebih rinci tentang bagaimana perubahan itu terjadi, terutama pada ranah epistemologis. Buku ini menelaah dinamika pemikiran Islam di bidang sosial keagamaan pada sembilan tokoh NU. Kesembilan tokoh itu dipilih berdasarkan kecenderungan karya pemikirannya yang dianggap melampaui label tradisional yang biasa dilekatkan kepada orang NU. Kesembilan tokoh itu adalah Achmad Siddiq, Abdurrahman Wahid, Ali Yafie, Said Agiel Siradj, Masdar Farid Mas'udi, Sjechul Hadi Permono, Muhammad Tholchah Hasan, Abdul Muchith Muzadi, dan Muhammad Ahmad Sahal Mahfudh.

Dalam studinya ini, Mujamil Qomar menunjukkan bahwa terjadinya arus perubahan itu dipicu oleh beberapa aspek. Antara lain adalah pilihan NU untuk kembali ke Khittah 1926 semakin mempertegas identitas dan aras perjuangan kultural NU, sehingga mampu menghidupkan kembali kantong-kantong intelektual yang sebelumnya terabaikan akibat terlalu berkonsentrasi pada isu sosial-politik. Ini terjadi secara meluas, tidak hanya di kota-kota besar saja.

Situasi yang demikian kemudian membuka kesempatan bagi bertemunya dasar-dasar pemikiran tradisional yang mereka kuasai secara baik dengan berbagai pemikiran yang bersifat metodologis dan berbau modern. Perjumpaan inilah yang pada titik tertentu melahirkan gagasan-gagasan yang nyaris berbeda dengan tradisi pemikiran NU sebelumnya.

Berdasarkan uraiannya, kesembilan intelektual NU tersebut oleh Mujamil Qomar dipetakan dalam lima tipe pemikiran, yakni antisipatif (Muhammad Tholchah Hasan), eklektik (Masdar Farid Mas'udi dan Muhammad Ahmad Sahal Mahfudh), divergen (Abdurrahman Wahid, Said Agiel Siradj, dan Sjechul Hadi Permono), integralistik (Ali Yafie), dan responsif (Achmad Siddiq dan Abdul Muchit Muzadi).

Liberalisme pemikiran kesembilan tokoh ini memang telah merambah berbagai medan pemikiran, mulai dari soal membangun teologi inklusif-pluralis, fikih yang berkeindonesiaan, kesetaraan gender, perluasan pengertian ahlussunnah, dan sebagainya. Bahkan, ada yang sampai menyentuh pada beberapa konsep kunci di level metodologis. Masdar F. Mas'udi misalnya, yang memberikan pemaknaan baru terhadap konsep zakat, mendasarkan uraiannya pada dekonstruksi konsep qath`iy dan zhanniy. Menurut Direktur P3M (Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat) ini, yang qath’iy (bersifat pasti, tidak berubah) itu adalah nilai kemaslahatan dan keadilan yang merupakan jiwa hukum itu sendiri, sedang yang zhanniy (tidak pasti dan bisa berubah) adalah seluruh ketentuan normatif yang pada dasarnya adalah upaya penerjemahan yang qath’iy tersebut. Konsep ini juga digunakan Masdar untuk menafsir ulang beberapa segi dari fikih perempuan dalam kerangka kesetaraan dan keadilan.

Pemikiran yang bersifat terbuka juga tampak dari pemaknaan ulang Said Agiel Siradj terhadap konsep ahlussunnah wal jamaah (aswaja). Menurut Said Agiel aswaja adalah suatu bentuk metode berpikir, dan bukan merujuk pada mazhab tertentu, sehingga konsep tersebut memecah dikotomi-bipolar antara Sunni-Syi`ah atau Sunni-Mu`tazilah. Sementara para pemikir lainnya yang menggagas corak teologi inklusif tidak saja hanya berhenti pada level wacana, tapi juga konsisten dengan aksi-aksi nyata di lapangan. Dalam konteks ini, Gus Dur menjadi lokomotif yang mengomandani berbagai pemikiran dan aksi inklusif-pluralis tersebut.

Efek menggeloranya pemikiran liberal di kalangan NU ini hingga sekarang telah meninggalkan pengaruh yang cukup luas. Metamorfosis yang cukup signifikan ini pada satu sisi memang menjanjikan arah perubahan yang masih belum tertebak. Tapi yang pasti, kecenderungan lahirnya pemikiran-pemikiran yang melintas-batas dan kritis ini patut disambut dengan baik, dengan harapan akan dapat memberi warna yang lebih beragam terhadap dinamika pemikiran Islam di Indonesia.

Read More..

Selasa, 17 Oktober 2000

Usaha “Mati-Matian” Memahami Gus Dur


Judul Buku: Beyond the Symbols: Jejak Antropologis Pemikiran & Gerakan Gus Dur
Penulis : Tim INCReS
Penerbit: PT Remaja Rosdakarya kerjasama dengan INCReS, Bandung
Cetakan: Pertama, Agustus 2000
Tebal: xxviii + 315 halaman

Judul Buku: Gila Gus Dur: Wacana Pembaca Abdurrahman Wahid
Penulis : Ahmad Syafi`i Ma`arif, Franz Magnis-Suseno, Andree Feillard, dkk.
Editor: Ahmad Suaedy dan Ulil Abshar-Abdalla
Penerbit: LKiS, Yogyakarta
Cetakan: Pertama, Juni 2000
Tebal: xviii + 212 halaman


Sisi kontroversial Gus Dur telah banyak mengundang ketertarikan berbagai pihak untuk mengkajinya. Dua buku ini adalah ‘buah’ yang tumbuh dari rasa ketertarikan, kekaguman, dan mungkin juga kejengkelan terhadap sosok kontroversial Gus Dur itu. Buku pertama dihimpun secara khusus oleh Tim INCReS (Institute of Culture and Religion Studies)—sebuah komunitas kaum muda NU di Bandung—melalui wawancara dengan sejumlah tokoh untuk membedah sosok Gus Dur dari berbagai sisi: agama, politik, kebudayaan, ekonomi, gender, dan tasawuf. Buku kedua dihimpun dan diterbitkan oleh LKiS (Lembaga Kajian islam dan Sosial)—sebuah komunitas anak muda NU di Yogyakarta—dengan meminta tulisan secara khusus kepada orang-orang yang telah ditentukan oleh redaksi LKiS.

Upaya untuk membedah sosok Gus Dur dalam buku yang pertama disajikan secara cukup utuh. Dengan pengantar prawacana oleh K.H. A. Mustofa Bisri dan pascawacana oleh Sinta Nuriyah Rahman (istri Gus Dur), buku ini seperti hendak mengungkapkan sisi-sisi pribadional kehidupan Gus Dur, yang dalam bahasa Tim INCReS disebut jejak-jejak antropologis Gus Dur. Melalui wawancara dengan beberapa tokoh yang berkompeten dalam bidangnya masing-masing, sosok Gus Dur ditampilkan dan dibedah secara mendalam—ditambah lagi dengan pengantar tentang riwayat pribadi Gus Dur plus pemetaan pemikiran Gus Dur secara ringkas. Bagi kebanyakan penulis yang memiliki kedekatan pribadi secara khusus dengan Gus Dur, pembaca akan menemukan pengalaman-pengalaman pribadi narasumber dengan Gus Dur yang mengagumkan serta cukup mampu memberikan latar dan landasan antropologis bagi sikap dan laku kontroversial Gus Dur.

Di antara narasumber yang diwawancarai yang kebanyakan hasilnya disajikan dalam bentuk esai ini adalah: Djohan Effendi, Franz Magnis-Suseno, Th. Sumartana, MA. Sahal Mahfudz, Muhammad AS Hikam, J. Kristiadi, Fachry Ali, Sarwono Kusumaatmadja, Bondan Gunawan, Simuh, dan Said Aqiel Siradj.

Dalam pengantarnya, K.H. A. Mustofa Bisri mengatakan bahwa kehadiran Gus Dur yang kontroversial, apalagi setelah ia naik sebagai Presiden RI, merupakan ‘pelajaran’ atau ‘pengajaran’ paling keras dari Allah kepada bangsa Indonesia yang tak kunjung bisa berbeda pendapat dan bersikap adil. Dalam perspektif Gus Mus, sisi kontroversial Gus Dur menyatakan bahwa bagi Gus Dur perbedaan pendapat adalah sesuatu yang alamiah. Dobrakan pemikiran Gus Dur yang nyeleneh tiada lain adalah untuk mendidik masyarakat bersikap demokratis (hlm. v-ix).

Keberanian Gus Dur untuk berbeda itu menurut Sarwono Kusumaatmadja didasarkan atas sikap percaya diri yang amat besar yang dimilikinya (hlm. 185), sehingga tidak aneh bila Gus Dur dapat melampaui simbol-simbol agama (Islam) guna meneguhkan visi humanis yang dimilikinya (hlm. 87, 56). Dengan semua itu, Gus Dur dianggap sebagai seorang pembaru di bidang agama (hlm. 96). Meski demikian, Gus Dur tetap berada dalam kerangka fiqh, karena yang dilakukan Gus Dur terutama adalah pembaruan metodologi dalam memahami agama (hlm. 123).

Dalam buku yang kedua, sosok kontroversial Gus Dur dibaca terutama dalam konteks politik dengan berbagai paradigma ilmiah. Greg Barton misalnya pertama-tama melakukan pemetaan terhadap pemikiran Gus Dur, kemudian melakukan penafsiran terhadap tindakan kontroversial Gus Dur, seperti komentar Gus Dur terhadap kasus Aceh, Timor Timur, kerusuhan di Kalbar, kasus Israel, dan sebagainya (hlm. 84-120).

Dalam membaca teks-teks Gus Dur—dalam pengertian fenomena Gus Dur secara umum—para penulis di buku kedua ini—juga pada buku pertama—percaya penuh bahwa pada aras komitmen terhadap nilai sebenarnya tidak ada masalah pada sosok Gus Dur. Dengan asumsi demikian, penulis-penulis di buku ini rata-rata tinggal mencari penjelasan yang dapat memuaskan mereka untuk keluar dari sisi kontroversial sosok Gus Dur.

Franz Magnis-Suseno misalnya mengatakan bahwa 'apapun yang dilakukan Gus Dur, saya mempercayai komitmen utamanya kepada kemajemukan, persatuan, keadilan, dan demokrasi' (hlm 28). Shalahuddin Wahid, saudara kandung Gus Dur, juga mengatakan bahwa 'segala catatan yang serba kontroversial tentang Gus Dur dan sikap inkonsistensinya, seperti diuraikan di atas, tetap tidak mengurangi self image atau jati dirinya sebagai salah satu tokoh yang memperjuangkan terwujudnya demokrasi di Indonesia' (hlm. 61).

Karena itu, pembaca yang mengharapkan suara kritis terhadap sosok kontroversial Gus Dur dari kedua buku ini mungkin akan kecewa—meski tentu tidak semuanya demikian. Secara umum kedua buku ini hanya menghimpun upaya para pakar dan sahabat Gus Dur untuk keluar dari ketidakmengertian mereka terhadap Gus Dur dengan tetap berpegang pada prinsip berbaik sangka.

Akan tetapi, tidak berarti kedua buku ini tidak layak diapresiasi. Dari buku kedua, redaksi LKiS menawarkan dua kemungkinan yang bisa dikombinasikan dalam membaca teks-teks pembaca Gus Dur. Pertama, dengan mendeteksi pandangan dunia (ideologi) para pembaca teks Gus Dur, dan kedua, dengan mencari "suara-suara yang terpendam"—menurut istilah Roland Barthes—yang terlupakan dalam proses pembacaan itu (hlm. ix). Selain itu, kedua buku ini tentu juga cukup mampu menyajikan kisah-kisah pribadi Gus Dur secara lebih terbuka kepada publik, sehingga dapat dijadikan pelajaran berharga bagi seluruh komponen bangsa ini.

Tulisan ini dimuat di www.detik.com 16 Oktober 2000.

Read More..

Senin, 03 April 2000

Liberalisme Pemikiran Seorang “Wali”

Judul Buku: Prisma Pemikiran Gus Dur
Penulis: K.H. Abdurrahman Wahid
Pengantar: Greg Barton dan Hairus Salim HS
Penerbit: LKiS, Yogyakarta
Cetakan: Pertama, November 1999
Tebal: xlviii + 238 halaman


Sosok K.H. Abdurrahman Wahid—yang akrab dipanggil Gus Dur—semakin bertambah populer dan kontroversial saja ketika ia terpilih sebagai Presiden RI dalam SU MPR bulan Oktober lalu. Tidak hanya itu. Langkah-langkah politiknya sebagai presiden dalam minggu-minggu terakhir ini juga cukup membingungkan orang. Figur kontroversial Gus Dur yang unik dan menarik ini ternyata direspons secara cukup baik oleh dunia perbukuan. Bagaikan jamur di musim hujan, buku-buku tentang Gus Dur muncul di mana-mana, dari penerbit sejenis Kompas atau LKiS, sampai ke penerbit-penerbit baru.
Buku ini berisi kumpulan tulisan Gus Dur yang berasal dari Jurnal Prisma, sebagian besar antara akhir 1970-an hingga awal 1980-an. Dibandingkan dengan dua buku kumpulan karya Gus Dur sebelumnya, yakni Kiai Nyentrik Membela Pemerintah (LKiS, 1998) dan Tuhan Tidak Perlu Dibela (LKiS, Oktober 1999), buku ini memiliki kelebihannya tersendiri. Karena berbentuk artikel yang relatif panjang dan berasal dari Jurnal Prisma—sebuah jurnal pemikiran sosial terkemuka di Indonesia—maka tentu tulisan-tulisan Gus Dur dalam buku ini memiliki bobot yang dapat disejajarkan dengan karya sosiolog-sosiolog terkemuka di Indonesia. Meski secara akademis Gus Dur tidak pernah belajar ilmu-ilmu sosial, tetapi pemikirannya yang tertuang dalam tulisan ini menunjukkan kedalaman serta kelihaian Gus Dur dalam menganalisis problem-problem sosial yang berkembang ketika itu.
Pemikiran Gus Dur dalam buku ini berkaitan dengan soal hubungan agama dan ideologi, negara dan gerakan keagamaan, hak asasi manusia, kebudayaan, pesantren, dan sebagainya. Dalam soal agama dan ideologi Gus Dur mengaitkan keduanya dengan persoalan pembangunan. Menurut Gus Dur, pertentangan paradigma berpikir antara kelompok agama dan ideologi negara kerap kali harus mengorbankan terabaikannya pelaksanaan pembangunan. Gerakan keagamaan hendak mengemukakan pikiran-pikiran alternatif yang bersumber dari keyakinan ajaran keagamaannya. Perenialitas doktrin keagamaan merupakan motivasi utama gerakan ini, sehingga soliditas gerakannya patut dikagumi meski harus berhadapan dengan represi dan penindasan yang berat.
Bagi kelompok gerakan keagamaan ini, paradigma yang mereka bawa dan yang diterapkan oleh pemerintah dilihat secara kontradiktif-oposisional. Pemerintahan sekuler dianggap terlalu mengabaikan religiusitas-transendental ajaran agama, dan mereka hendak memperjuangkan hal itu. Sayangnya, menurut Gus Dur, gerakan-gerakan keagamaan seperti itu—yang juga dapat ditemukan dalam sejarah politik (Islam) di Indonesia—tidak pernah mau mencoba secara serius untuk mencoba melacak sejauh mana sebenarnya kelompok gerakan keagamaan di Indonesia secara historis terlibat aktif dalam penyusunan ideologi negara (Pancasila). Padahal, Pancasila sebagai sebuah ideologi negara tentu tidak lahir dari satu kelompok saja. Secara obyektif, ketika itu mesti ada semacam bargaining-position antara berbagai elemen bangsa—termasuk kelompok keagamaan—dalam proses perumusan ideologi negara tersebut. Hal ini perlu disadari untuk mengurangi kadar konfrontatif di antara gerakan keagamaan tersebut dengan ideologi negara. Lebih jauh lagi, hal ini dimaksudkan demi menghindari upaya-upaya yang tidak produktif dengan mengabaikan kerja-kerja konkret pembangunan masyarakat.
Menurut Gus Dur, ketegangan hubungan antara kelompok agama versus ideologi negara ini merupakan fenomena lumrah di negara berkembang. Melalui perbandingan dengan beberapa kasus di Iran, Pakistan, Mesir, Turki, Korea Selatan, atau Nigeria, Gus Dur menyimpulkan bahwa gerakan keagamaan yang bersitegang tersebut berakhir dalam tiga bentuk: dicap sebagai gerakan separatis yang terus ditekan dan akhirnya gagal, kemenangan gerakan separatis itu sendiri, dan koalisi kelompok separatis dengan kelompok politik tertentu. Yang jelas, bagi Gus Dur, ketegangan yang rata-rata menimpa dunia ketiga menunjukkan pada lemahnya posisi ideologi negara berhadapan dengan keyakinan keagamaan. Terdapat suatu jurang kesenjangan yang cukup lebar antara ideologi negara dengan spirit agama sebagai sebuah komponen penting suatu bangsa. Ketika hal ini terjadi, maka sebenarnya rakyat dan pemerintah belum memiliki suatu kematangan yang cukup dewasa baik dalam hidup bernegara maupun beragama.
Dalam konteks hubungan agama dan ideologi negara ini sosok pemikiran Gus Dur memang memiliki keunikannya tersendiri. Dengan mengandalkan pada pemahaman keagamaan yang kuat dan berakar serta kelihaiannya dalam penguasaan ilmu-ilmu sosial Gus Dur mencoba memberikan alternatif terhadap dinamika kehidupan agama dan fenomena modernisasi. Kepada kalangan teknokrat-birokrat yang minim pengetahuan agamanya Gus Dur selalu memberikan perspektif yang liberal dan progresif dari kehidupan agama, sementara kepada kalangan agama sendiri Gus Dur memberikan perspektif religius dari cita kehidupan sekuler. Tindakan seperti ini dilakukan untuk memperoleh suatu keadaan pemahaman yang seimbang antara negara dan agama. Benang merah yang dapat diambil dari model Gus Dur ini adalah bahwa bagi Gus Dur agama (Islam) adalah suatu bagian dari peradaban dunia yang memiliki keyakinan egaliter, yang secara fundamental menolak perlakukan diskriminatif dengan alasan kelas sosial, ras, suku, gender, dan keyakinan agama, karena dalam pandangan Tuhan semua manusia adalah setara.
Dengan landasan pemikiran tersebut, Gus Dur secara aktif gencar mengampanyekan model-model pemikiran keberagamaan yang biasa disebut transformatif, toleran, dan inklusif. Model yang demikian oleh Greg Barton disebut dengan pemikiran Islam Liberal. Ciri pokok pemikiran liberal ini, seperti ditulis dalam disertasinya, adalah adanya “suatu komitmen terhadap ide-ide rasionalitas dan pembaruan; suatu keyakinan akan pentingnya suatu kontekstualisasi ijtihad; suatu penerimaan terhadap pluralisme sosial dan pluralisme agama; serta pemisahan agama dari partai politik dan posisi non-sektarian negara.”
Yang menarik dari hal ini adalah kenyataan bahwa bagi sebagian orang liberalisme pemikiran Gus Dur ini cukup mengherankan dan sulit dipahami. Bagaimana bisa seorang yang dididik dalam lingkungan keagamaan yang kuat, apalagi pesantren, yang bahkan oleh sebagian kalangan disebut “wali”, dapat menerima pandangan-pandangan sekuler dari Barat, hingga dalam kasus terakhir berniat hendak membuka hubungan dagang dengan Israel?
Sosok Gus Dur memang merupakan sosok multidimensional. Lacakan historis akan menunjukkan betapa dulunya Gus Dur sudah merambah ke berbagai dunia aktivitas yang beragam. Sosok Gus Dur adalah seorang agamawan, seorang aktivis sosial (LSM), politikus, sekaligus juga cendekiawan. Tetapi, penting dicatat bahwa akar historis Gus Dur yang paling kuat menancap dalam dirinya adalah bahwa dia sosok agamawan yang taat. Kalau demikian, tentu bisa dikatakan bahwa sebenarnya segenap perilaku dan juga pemikiran Gus Dur tentunya diderivasikan dari keyakinan agamanya itu. Sehingga, sejauh mana ia memandang agama di antara variabel-varibel sosial lainnya, maka sejauh itu pulalah tafsir lanjutannya akan terealisasikan dalam laku keseharian dan pemikirannya. Pandangan semacam ini memang masih bersifat spekulatif, artinya, masih membutuhkan suatu pembuktian dengan tingkat evidensi yang cukup tinggi, terutama pada tataran epistemologis.
Dari perspektif tersebut, buku ini merupakan bagian dari upaya Gus Dur untuk menggambarkan keyakinan agamanya itu, untuk ditafsirkan dalam konteks sosial yang lebih konkret. Lalu, kalau hipotesis ini diterima, patut pula dilihat melalui pikiran-pikiran Gus Dur dalam buku ini, sejauh mana keyakinan agama yang dimiliki Gus Dur mewarnai bidang pemikirannya yang lain. Artinya, tafsir sosial Gus Dur terhadap realitas sebenarnya menunjuk pada pola keberagamaan yang dianutnya. Wallahu a`lam.

Tulisan ini dimuat di Harian Kompas, 2 April 2000.

Read More..

Senin, 15 November 1999

Gus Dur Tidak Perlu Dibela

Judul Buku: Gus Dur, Siapa sih Sampeyan? Tafsir Teoritik atas Tindakan & Pernyataan Gus Dur
Penulis: Al-Zastrouw Ng
Penerbit: Erlangga, Jakarta
Cetakan: Kedua, Oktober 1999
Tebal: 290 + xii halaman


Mungkin hanyalah Gus Dur satu-satunya tokoh paling kontroversial dalam sejarah politik Indonesia. Tokoh yang kini “menguasai” Istana Negara ini memang terlalu sulit dipahami orang-orang, bahkan oleh pakar politik sekalipun. Pada suatu saat mungkin Gus Dur dipuji karena kecerdasan atau keberanian move politiknya, tetapi bisa juga Gus Dur dihujat habis-habisan karena statemen atau langkah politik tertentu. Begitulah, orang sesekali menyebut Gus Dur sebagai reformer—jauh sebelum gerakan tuntutan reformasi meluas secara massif—, dan sesekali pula orang ada yang menyebutnya sebagai destroyer.


Buku yang laku keras di pasaran ini ditulis oleh salah seorang mantan asisten pribadi Gus Dur: Al-Zastrouw Ng. Buku ini merupakan bagian dari upaya klarifikasi atas beberapa laku politik Gus Dur, terutama pada bulan-bulan terakhir menjelang terpilihnya Gus Dur sebagai Presiden RI. Secara spesifik, ada lima pokok soal yang dibahas secara panjang lebar, yakni kehadiran Gus Dur di Istana Negara dua hari menjelang lengsernya Soeharto, pembantaian di Banyuwangi, Deklarasi Ciganjur, rangkaian silaturrahim ke tokoh-tokoh Orde Baru, dan Open House di kediaman Gus Dur.

Kalau mau dicermati secara kritis, di sisi inilah sebenarnya kelemahan buku ini. Sidang pembaca tentu akan banyak berharap bahwa buku ini akan banyak bercerita tentang sosok pribadi Gus Dur, presiden baru Bangsa Indonesia di Era Reformasi. Provokasi judul yang dipilih setidaknya mengarah pada bayangan yang demikian. Nyatanya, buku ini lebih banyak bercerita konteks peristiwa kelima hal tersebut di atas secara lebih luas, sehingga sosok pemikiran Gus Dur secara lebih spesifik dan mendalam terasa terabaikan. Dalam uraian tentang kasus Banyuwangi yang ditulis hampir 50 halaman misalnya, Al-Zastrouw, penulis buku ini, lebih banyak mendeskripsikan data lapangan kasus Banyuwangi itu. Sementara, untuk memahami inti pemikiran Gus Dur dalam kasus ini pembaca sebenarnya hanya cukup mencermati alinea terakhir di ujung bab saja.

Terlepas dari kenyataan tersebut, bahwa fenomena buku ini cukup mampu menyedot animo pasar adalah sesuatu yang menarik. Ada semacam dugaan kuat yang mengatakan bahwa bangsa Indonesia—atau setidak-tidaknya para pendukung Gus Dur—saat ini amat merindukan informasi-informasi menarik tentang Gus Dur dari orang-orang terdekatnya—demikian juga tentang tokoh-tokoh yang lain. Semacam catatan biografis. Kerinduan semacam ini bertolak dari suatu fakta lapangan yang menunjukkan bahwa betapa selama ini citra seorang tokoh, apalagi yang bermain di bidang politik, amat ditentukan oleh suatu konstruksi media massa. Tentang siapa Gus Dur, Amien Rais, Megawati, dan yang lainnya, orang-orang hanya dapat mereka-reka dalam pikiran mereka melalui informasi-informasi yang disusun sedemikian rupa oleh para juru disket. Hal ini sebenarnya tidaklah berarti kurang baik. Namun, orang-orang tentu akan sepakat bahwa media massa di era sibernetik ini bekerja dengan alas kepentingan-kepentingan tertentu. Bahkan, sebagian mungkin akan setuju bila dikatakan bahwa beberapa media bekerja di bawah kontrol kepentingan gurita kapitalisme-global atau kelompok kepentingan tertentu. Pun, keterbukaan pers yang seiring dengan tuntutan reformasi memang cukup berdampak positif, meski hal ini kadang menghadirkan euforia yang berlebihan dan tak jarang menyesatkan.

Dalam konteks yang demikian, buku ini sebenarnya merupakan sebuah awal yang cukup baik untuk lebih mengayakan wacana figur aktor politik di Indonesia. Semacam upaya transparansi kehidupan tokoh pada publik, sehingga publik memiliki referensi yang kaya untuk menilai. Dilihat dari segi isi, buku ini cukup bisa dikatakan suatu pembelaan atas kelima laku politik Gus Dur menjelang Pemilu ’99 tersebut. Atau, lebih tepatnya, suatu klarifikasi publik dan upaya membentuk komunikasi secara lebih cair. Pembelaan memang tidak terlalu perlu dilakukan. Gus Dur sendiri mungkin tidak suka hal itu. Bahkan, “...Tuhan pun tidak perlu dibela,” tulis Gus Dur pada pertengahan 1982 di Majalah Tempo. Apa yang dilakukan Al-Zastrouw melalui buku ini adalah semacam —dalam bahasa Gus Dur—“informasi dan ekspresi diri yang ‘positif-konstruktif’, dengan mendudukkan persoalan secara dewasa dan sewajarnya”.

Beberapa kalangan mungkin akan khawatir bahwa buku ini hanya akan menumpulkan kritisisme masyarakat terhadap Gus Dur, karena klarifikasi yang dilakukan memang cukup potensial untuk ditafsirkan sebagai suatu pembelaan. Tetapi, sosok Gus Dur sendiri sebenarnya memang problematik, bila dihadapkan dengan soal kritik atau oposisi. Persoalannya, Gus Dur sejak dulu sudah dikenal sebagai seorang oposan dan konsisten dengan perjuangan menegakkan hak-hak minoritas yang tertindas. Lagipula, Gus Dur juga seorang pemimpin umat (Islam-NU), sehingga cukup memiliki legitimasi yang kuat. Lalu, dari mana oposisi bisa diharapkan? Apakah kehadiran buku ini hanya akan lebih menumpulkan kritisisme yang amat perlu ditumbuhkan itu?

Mungkin, perlu ada buku-buku lain yang menulis tentang pemikiran Gus Dur secara lebih mendalam, terutama dari perspektif teoritis yang lebih canggih, lebih dari sekedar buku ini atau buku Hartono Ahmad Jaiz berjudul Bahaya Pemikiran Gus Dur (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1999) yang lebih terkesan provokatif-doktriner itu. Perlu ada semacam wacana tandingan terhadap wacana-wacana yang telah disebarkan ini, tentu—dalam perspektif Foucault—dengan konsekuensi hantu-kuasa yang ikut mendekam di dalamnya. Kita tunggu saja, dan tidak perlu takut dengan bahaya hantu-kuasa itu. Sebab seperti kata Foucault, “Bila segala sesuatu ternyata berbahaya, setidaknya ada yang bisa kita lakukan.”

Tulisan ini dimuat di Majalah Balairung Edisi Khusus/TH. XV/1999.

Read More..

Senin, 08 November 1999

Lalu, Untuk Siapakah Agama itu?

Judul Buku : Tuhan Tidak Perlu Dibela (Kumpulan Kolom)
Penulis : Abdurrahman Wahid
Pengantar : Bisri Effendy
Penerbit : LKiS, Yogyakarta
Cetakan : Pertama, Oktober 1999
Tebal : 270 + xlii halaman


Pertanyaan yang selalu saja muncul dalam sejarah perjalanan agama-agama adalah untuk siapakah sebenarnya agama itu “dibuat”? Apakah Tuhan adalah ibarat seorang raja, yang memiliki “kerajaan agama” sehingga perlu dibela dari berbagai rongrongan terhadap kekuasaan Sang Tuhan itu? Kalau memang demikian, mengapa Tuhan yang Mahasegalanya itu masih perlu dibela?

Dalam kenyataan sejarah, agama sama sekali memang tidak dapat steril dari berbagai hasrat dan kepentingan manusiawi, sehingga dalam titik-titik tertentu agama kerap kali ditunggangi, demi interest dari kelompok tertentu. Konteks yang sedemikian lalu menyeret agama ke suatu wilayah yang cukup politis: ia menjadi semacam legitimasi sikap politis dari kepentingan suatu kelompok. Nama Tuhan, yakni “Sang Penguasa Agama”, dibawa-bawa ke sana kemari, mirip sebuah barang dagangan. Kalau sudah demikian kejadiannya, apakah yang terjadi sebenarnya bukan merupakan reduksi terhadap nilai luhur dari misi agama itu sendiri?

Kolom-kolom “klasik” Gus Dur--panggilan akrab Abdurrahman Wahid--yang terkumpul dalam buku ini kurang lebih berusaha menyoroti peranan agama dalam masyarakat yang sedang mengalami berbagai proses perubahan--politik, sosial, ekonomi, dan kebudayaan--, seperti juga sekarang ini. Dalam tulisan-tulisan yang awalnya dimuat di Majalah Tempo ini, tercium kesan yang cukup kuat akan suatu kekhawatiran terjadinya perselingkuhan agama dengan sebuah kepentingan politik kelompok tertentu--yakni dengan mengatasnamakan agama, atau bahkan Tuhan--sehingga akhirnya melahirkan suasana politik kekerasan atau kekerasan politik dengan dalih agama.

Ajakan Gus Dur untuk tidak usah membela Tuhan yang diserukan pada pertengahan 1982 ini kurang lebih didorong semangat untuk menyadarkan kembali akan hakikat keberagamaan manusia. Agama pada awal kelahirannya selalu merupakan koreksi atas kecelakaan sejarah yang menindas manusia sekaligus martabat kemanusiaannya. Tetapi, perkembangan sejarah justru cenderung mengebiri watak profetis dari agama itu sendiri, sehingga lahirlah praktik-praktik kekerasan dengan suatu pengawalan dari patron (kekuasaan) politis. Menurut Gus Dur, hal ini terjadi karena akibat dari perilaku kaum fundamentalis agama yang berakar pada fanatisme yang sempit. Pada orang-orang semacam ini, kesadaran pluralisme sama sekali diabaikan. Sebagai suatu instrumen dalam formasi non-diskursif--dalam istilah Michel Foucault--agama lalu melakukan represi terhadap berbagai nalar yang liar dengan ditopang oleh suatu tafsir tunggal terhadap formasi diskursif dari agama itu sendiri, yakni teks suci. Hal inilah yang kemudian melahirkan suatu pemandangan paradoks dalam sejarah agama-agama: agama yang mula-mula hendak menghidupkan martabat kemanusiaan justru menjadi pisau pembunuh kemanusiaan itu sendiri.

Gus Dur sangat tidak sepakat dengan politik pengatasnamaan Tuhan dalam laku politik umat Islam yang telah seringkali terjadi dalam sejarah politik Islam Indonesia. Alasannya sederhana saja: sebab Tuhan yang dibawa di situ adalah Tuhan-yang-berada-dalam-wacana, bukan Tuhan-yang-berada-di-luar-sana. Because the Truth is out there. Kebenaran yang menjadi legitimasi dalam kasus ini sudah masuk dalam wilayah kepentingan kelompok, bukan suatu Kebenaran-Transendental.

Dalam suasana yang sedemikian rumit ini, Gus Dur lalu menjunjung tinggi semangat penggalian otentisitas peran agama dalam masyarakat melalui sebuah kreativitas berpikir. Kalau ada kelompok tertentu yang menganggapnya sebagai tindakan liar--atau bahkan murtad--bagi Gus Dur lebih baik diserahkan kepada gerak sejarah. Klaim pembenaran terhadap diri sendiri mesti dihindari. Cukup diimbangi saja dengan informasi dan ekspresi diri yang “positif konstruktif”, dengan mendudukkan persoalan secara dewasa dan sewajarnya. Dalam kasus pemikiran “dekonstruksionis” Ahmad Wahib atau gagasan sekularisasi Nurcholish Madjid di tahun 1970-an, misalnya, Gus Dur betul-betul menghargai hal itu sebagai sebuah kreativitas manusia menghadapi tantangan zamannya. Seperti yang dilakukan Khalifah Utsman bin Affan ketika menggagas untuk mengumpulkan teks al-Qur’an yang semula berserakan; atau Imam Syafi`ie, ketika menyusun kembali metode pengambilan hukum agama dari al-Qur’an dan Hadits dengan membatalkan sejumlah metode lain yang mendahuluinya. Pun, seperti pernah dialami al-Ghazali sebelum dan sesudah menjadi sufi; al-Ghazali sebenarnya berubah dalam visi, tetapi tetap dalam keagungan ilmu karena mempertahankan hak untuk memeriksa segala teks agama melalui kemerdekaan berpikir, melalui sebuah kreativitas nalar. Di sinilah, penghargaan terhadap nilai kreativitas sebagai bentuk perjuangan (“jihad intelektual”) untuk lebih memanusiakan manusia betul-betul dijunjung tinggi.

Sebagai sebuah bagian dari “misteri Tuhan” yang cukup sulit diungkap, pikiran-pikiran kontroversial Gus Dur memang cukup menarik diikuti. Setidaknya, begitulah pengakuan Lance Castle--seorang pengamat asal Australia. Dan kalau kita ingin ikut memecahkan puzzle bernama Gus Dur, terutama dalam konteks reformasi politik saat ini, sebenarnya bisa dimulai dengan mencermati gagasan-gagasan klasik Gus Dur yang termuat dalam buku ini--yang kebanyakan ditulis pada tahun 1970-an hingga 1980-an. Buku yang diantarkan secara cukup panjang, kritis, dan cerdas oleh Bisri Effendy ini sekiranya dapat pula ikut meramaikan wacana politik Islam di Indonesia, terutama dalam konteks yang begitu luas antara bingkai keagamaan, kebangsaan, serta kebudayaan.

Tulisan ini dimuat di Harian Kompas, 7 November 1999.

Read More..

Selasa, 30 Mei 1995

Khittah 1926 dan Civil Society


Judul : Gus Dur, NU dan Masyarakat Sipil
Editor : Ellyasa KH. Dharwis
Para Penulis : Andree Feillard, Douglas E. Ramage, Daniel Dhakidae, dkk
Penerbit : LKiS, Yogyakarta
Cetakan : Pertama, November 1994
Tebal : xiii + 194 halaman


Sang ibu sudah hamil sejak tahun 1959. Duapuluh tahun kemudian baru hamil tua. Lima tahun setelah itu lahirlah: kembali ke Khittah 1926. (AULA, Nomor 9 Tahun XII, Maret 1990).

Semenjak NU menerjunkan dirinya dalam kancah politik orde lama, NU sepertinya lupa akan tujuan sosialnya yang semula dicetuskan. NU, dengan statusnya sebagai sebuah partai politik, berusaha keras untuk mencapai cita-cita perjuangannya. Tapi akibat lemahnya strategi politik yang mantap dan memadai, maka dalam tubuh NU itu sendiri tercipta benturan-benturan pandangan mengenai keterlibatannya dalam politik. Ini berpuncak pada meluaskan keinginan kelompok yang kritis terhadap kelompok politisi untuk melakukan peninjauan kembali atas keterlibatan NU dalam politik. Terbukti, Kiai Achyat dari Mojokerto pada Muktamar XXII di Jakarta mengusulkan supaya NU kembali ke Khittah 1926. Namun rupanya ide Kiai Achyat tersebut masih belum mendapat dukungan dari tokoh-tokoh NU yang lain, hingga akhirnya ide beliau itu harus menunggu sampai dua puluh lima tahun kemudian, tepatnya pada Muktamar XXVII di Situbondo.

Keputusan NU untuk kembali ke Khittah 1926 ini, dibuat setelah melewati suatu proses yang panjang, baik melalui perdebatan-perdebatan internal yang intens, ataupun melalui mass media dan forum-forum diskusi. 25 tahun adalah waktu yang cukup panjang untuk memutuskan suatu keputusan penting yang akan menentukan gerak langkah NU selanjutnya di masa-masa mendatang. Hal ini menunjukkan betapa NU memiliki sebuah potensi besar untuk dapat bersikap mandiri dan bermanuver pada saat di mana kondisi politik saat itu diwarnai dengan banyaknya keterlibatan negara pada organisasi-organisasi massa.

Kembali ke Khittah 1926 merupakan suatu langkah strategis untuk menuju terciptanya civil society, yang merupakan prasyarat bagi terwujudnya demokrasi. Walaupun banyak penafsiran tentang komitmen NU ini, tapi yang terpenting dan perlu dicatat ialah bahwa dengan kembalinya NU ke Khittah 1926, berarti NU telah memulai suatu lembar baru untuk menuju dunia pergumulan politik yang berskala mondial, yang tidak tersekat oleh bingkai-bingkai primordialisme dan sektarianisme. Sehingga secara implisit NU tidak akan hanya memikirkan kepentingan satu kelompok saja, melainkan kepentingan seluruh bangsa.

Perubahan besar-besaran terjadi dalam tubuh NU. NU yang selama ini berwajah politik, berubah seratus delapan puluh derajat. Setelah kembali ke Khittah, NU kemudian lebih menekankan program-programnya dalam bidang kegiatan pengembangan masyarakat (community development) melalui pesantren sebagai basis utamanya, dan pengembangan ekonomi masyarakat. Di antara salah satu programnya yang cukup populer misalnya, didirikannya Bank Perkreditan Rakyat (BPR) NU, yang menyediakan kredit bagi wiraswastawan kecil dan petani NU.

Semua perubahan besar di tubuh NU itu sendiri tentunya tidak dapat dipisahkan dengan figur Abdurrahman Wahid—yang akrab dipanggil Gus Dur—, yang memang merupakan salah seorang promotor ide kembali ke Khittah 1926, dan dengan posisinya sebagai Ketua Tanfidziyah PBNU sejak Muktamar XXVII yang bertepatan dengan kembalinya NU ke Khittah 1926. Di bawah kepemimpinan cucu pendiri NU ini, kebijaksanaan-kebijaksanaan NU dalam bidang sosial politik dinilai cukup moderat dibandingkan dengan kepemimpinan KH. Idham Khalid sebelumnya. Hal ini cukup berdampak luas bagi para warga NU, dalam segala aspek sosial.

Sikap radikalisme NU pada masa kepemimpinan KH. Idham Khalid telah berakibat banyak terhadap kalangan Nahdliyyin. Tender-tender pembangunan bagi orang-orang NU dikurangi, dan yang cukup merugikan kalangan NU adalah dikuranginya jatah orang-orang NU dalam kepengurusan PPP serta eliminasi para politisi vokal NU dari daftar pemilu 1982.

Maka, setelah Gus Dur menggantikan kepemimpinan KH. Idham Khalid NU cukup mendapat tempat di mata pemerintah. Apalagi setelah NU menerima dengan tegas ide asas tunggal dari pemerintah dan setelah NU menyatakan bahwa negara Indonesia adalah “upaya final” memperjuangkan bangsa khususnya kaum muslimin.

Tapi ini tidaklah berlangsung lama, karena sesudah muktamar XXVIII di Krapyak—yang berhasil memilih kembali Gus Dur sebagai Ketua Tanfidziyah—hubungan Gus Dur dengan pemerintah mulai renggang. Diawali dengan tidak setujunya Gus Dur terhadap berdirinya ICMI, yang berlanjut dengan berdirinya Forum Demokrasi (Fordem) yang kemudian diketuai oleh Gus Dur, sikap Gus Dur terhadap kasus monitor, serta keakrabannya dengan Benny Moerdani yang semakin kritis terhadap Soeharto.

Tidak lama kemudian, upaya de-NU-nisasi dilancarkan. NU dipojokkan dan dikucilkan. Upaya-upaya itu misalnya nampak ketika pemerintah berusaha menghalang-halangi kehadiran warga Nahdliyyin untuk hadir pada Rapat Akbar 1 Maret 1992—yang diselenggarakan untuk merayakan ulang tahun NU ke-66. Rapat Akbar yang sedianya akan dihadiri oleh dua juta hadirin itu ternyata hanya dihadiri oleh kira-kira seratus lima puluh sampai dua ratus ribu orang saja.

Dari itu semua, dapat kita tarik suatu kesimpulan bahwa betapapun NU memiliki potensi yang besar dalam memobilisasi massa dan untuk mewujudkan suatu tatanan masyarakat sipil, NU masih akan dihadapkan pada kendala struktural di mana posisinya yang cenderung mudah untuk berseberangan dengan kepentingan negara.

Secara garis besar, buku ini menyajikan gambaran, pandangan serta pendapat tujuh pengamat masalah NU tentang potensi dan prospek NU dalam konteks menciptakan masyarakat sipil, yang dikupas dengan masing-masing gayanya yang khas. Ketujuh pengamat itu adalah Andree Feillard, Douglas E. Ramage, Daniel Dhakidae, Einar M. Sitompul, Martin van Bruinessen, Muhammad A.S. Hikam dan M. Fajrul Falakh.

Yang menarik dari ketujuh artikel dalam buku ini, adalah artikel Douglas E. Ramage yang menyajikan pikiran dan pandangan Gus Dur tentang kehidupan sosial politik di Indonesia. Tulisan ini dibuat setelah penulisnya mengadakan wawancara langsung dengan Gus Dur pada tahun 1992-1993.

Buku ini mungkin bisa dikatakan sebagai potret dinamika politik NU, baik pra atau pasca Khittah. Tentunya buku terbitan LKiS ini cukup penting untuk disimak dan dikaji, agar kita dapat memahami lebih jauh tentang eksistensi NU dalam percaturan politik di Indonesia.

Selamat menyimak!!

Tulisan ini dimuat di Majalah AULA edisi Mei 1995.

Read More..