Judul buku: Orang-Orang Bloomington
Penulis: Budi Darma
Penerbit: Noura Books, Jakarta
Cetakan: Pertama, Mei 2016
Tebal: xiv + 298 halaman
ISBN: 978-602-385-021-1
Dalam sejarah perkembangan peradaban manusia, kota mula-mula merupakan pusat pergerakan kemajuan peradaban manusia. Sejak mengakhiri periode hidup nomaden dan mulai bertani pada sekitar 20.000 tahun yang lalu, manusia membangun kota dan unit-unit peradaban pendukung lainnya. Namun demikian, sebagai fenomena modern, kota ternyata juga menghadirkan potret kehidupan masyarakat yang mengandung kontradiksi.
Ajip Rosidi menggambarkan kontradiksi kota dalam salah satu puisinya yang berjudul “Djembatan Dukuh” (1956). Ajip Rosidi menulis: “...karena antara kita dan kota yang kita tinggali; karena antara rumah dan kita sendiri; tiada lagi hubungan.”
Orhan Pamuk, dalam karya memoarnya yang berjudul Istanbul (2003) menggambarkan kota Istanbul yang mengalami peralihan dari fase Dinasti Utsmani ke era Turki Modern. Pamuk mencatat bahwa dalam proses transisi tersebut ada kemurungan (huzun) yang hadir dalam kehidupan kota masyarakat Istanbul.
Jika Pamuk melihat Istanbul sebagai sebuah fenomena kemasyarakatan dalam konteks sosial, politik, dan kebudayaan yang cukup luas, kumpulan cerpen karya Budi Darma yang berjudul Orang-Orang Bloomington ini merekam fenomena kota modern dari sudut pandang pergulatan individu yang hidup di dalamnya. Pergulatan yang lebih bersifat individual ini pada satu sisi mencoba memperlihatkan cara kota menghadirkan masalah bagi manusia dalam menjalin hubungan dengan sesama.
Tujuh cerpen dalam buku ini mengangkat tujuh potret kehidupan warga kota Bloomington, Indiana, Amerika Serikat, dalam latar paruh kedua tahun 1970-an. Kota Bloomington, tempat Budi Darma menempuh pendidikan jenjang magister dan doktor pada dekade 1970-an, menurut Budi Darma dalam kata pengantar yang termuat dalam versi cetakan Penerbit Sinar Harapan tahun 1980—yang sayangnya tak dapat dibaca pada versi penerbitan ulang ini—“hanya bertindak sebagai sebuah kebetulan.” Bloomington bisa saja digantikan dengan kota lainnya. Dengan demikian, Budi Darma tampaknya memang ingin memperlihatkan fenomena kota dan pergulatan kejiwaan manusia yang bersifat universal.
Bloomington pada akhir dekade 1970-an sebenarnya bukan terbilang kota besar di Amerika Serikat. Penduduknya hanya sekitar 50 ribu jiwa. Namun, cerpen-cerpen dalam antologi ini membuat pembaca bisa merasakan kota Bloomington sebagai fenomena kehidupan modern. Semua cerpen secara khusus menggambarkan kehidupan para tokohnya di apartemen atau tempat kos dengan ciri kehidupan yang individualistis dengan berpijak pada konsep privasi yang cukup ketat. Nomor telepon bukan sesuatu yang biasa diobral kepada orang lain. Hubungan dengan orang lain tidaklah guyub, cukup kaku dan hanya seperlunya.
Lihatlah misalnya cerpen pertama yang berjudul “Laki-Laki Tua Tanpa Nama”. Dalam cerpen ini, tokoh “saya” menjadi lensa untuk memotret kehidupan tetangga kosnya yang misterius: seorang tua yang tak diketahui namanya dan suka membidik-bidikkan pistol ke tanah dari kamarnya di loteng. Cerpen ini menuturkan kisah tokoh saya yang berusaha mengenal lebih dekat sosok misterius ini. Meski oleh induk semangnya sudah diperingatkan untuk tidak ikut campur dengan urusan orang lain, tokoh saya tetap saja berusaha mengejar lelaki tua yang kabarnya veteran Perang Dunia Kedua itu.
Cerita berakhir dengan cukup tragis: si lelaki tua dalam sebuah drama yang singkat ditembak oleh Ny. Nolan, salah satu tetangga yang juga suka berperilaku aneh, yang ternyata menyimpan prasangka buruk pada lelaki tua itu berdasarkan pembicaraan dengan tokoh saya (hlm. 28-32).
Cerpen-cerpen dalam antologi ini mengungkap jalan pikiran tokoh utamanya yang di antaranya banyak suka ikut campur urusan orang, suka usil, merasa kesepian, dan juga dengki dan diliputi prasangka. Cerpen berjudul “Keluarga M” menceritakan kehidupan apartemen dengan tokoh saya yang dirundung kesepian. Di tengah kesepiannya itu, ia tampak begitu iri dengan kehidupan “keluarga M”, suami-istri dengan dua anak yang semua namanya berawalan huruf M. Gara-gara dua anak keluarga M itu membuat beret cat mobilnya, tokoh saya kemudian dikisahkan berusaha untuk mengganggu keluarga M, mulai dari usulan memasang mesin penjual Coca Cola dengan maksud agar dua anak itu suatu saat terkena pecahan botol, hingga pikiran-pikiran jahat bercampur doa agar keluarga M celaka (hlm. 77-83).
Saat keluarga M mengalami kecelakaan dan tokoh saya ingin membantu, keluarga M justru menolak. Sikap tokoh saya yang sering tampak dengki tapi kadang juga iba melihat keluarga M memperlihatkan konflik kejiwaan manusia yang pelik. Sayangnya, dalam cerpen ini, tokoh saya tak berhasil mengatasi kesepiannya dan juga upayanya untuk menjalin hubungan yang baik dengan orang lain.
Tema serupa juga menjadi pokok pikiran cerpen yang lain, yakni cerpen berjudul “Charles Lebourne” yang menceritakan seorang anak yang secara tak sengaja menemukan ayah yang telah meninggalkan ibunya dan memperlakukan ibunya secara aniaya. Pertemuan tak sengaja di lingkungan apartemen ini mengarah pada pergolakan batin tokoh saya yang ingin membalaskan derita ibunya tapi kadang juga muncul rasa iba melihat penderitaan ayahnya yang sakit-sakitan (hlm. 270-296).
Tujuh cerpen yang masing-masing sedikitnya terdiri dari sekitar 5 ribu kata ini—yang bisa dibilang relatif cukup panjang—ditulis dengan teknik yang baik oleh Budi Darma. Setiap cerpen memperlihatkan keutuhan cerita yang padu. Tak heran jika Budi Darma dianggap sebagai pengarang yang memberi warna baru dalam penulisan prosa di Indonesia.
Ketujuh cerpen dalam buku ini merupakan refleksi atas kondisi kejiwaan manusia modern yang hidup di lingkungan perkotaan. Dalam lingkungan yang cenderung individualistis, beberapa sifat dasar manusia yang luhur seperti belas kasih, rasa empati dan rasa peduli, tertantang oleh arus kehidupan yang juga berpotensi menyuburkan sikap batin negatif. Tak dapat dinafikan bahwa kala karakter negatif itu tumbuh, pada saat yang sama manusia juga bisa merasakan keterasingan, batin yang kosong, dan hidup yang hambar.
Momentum penerbitan kembali cerpen-cerpen Budi Darma, profesor emiritus di Universitas Negeri Surabaya, ini sangatlah tepat. Masyarakat Indonesia saat ini secara perlahan tengah mengalami proses peralihan ke pola kehidupan modern yang cenderung individualistis. Ini terjadi tak hanya di kota. Akibat revolusi teknologi informasi, jiwa kehidupan modern merambah ke mana-mana hingga ke desa.
Penerbitan ulang karya sastra Indonesia bermutu seperti buku ini sangat bernilai bagi pembaca sastra remaja dan belia yang kesulitan untuk mendapatkan buku-buku sastra Indonesia karya penulis terkemuka yang sudah tidak diterbitkan dan sulit didapat.
Kiranya, cerpen-cerpen Budi Darma yang secara berani menelanjangi pikiran-pikiran terdalam manusia-manusia Bloomington sebagai cerminan diri manusia modern ini dapat menjadi pendamping refleksi dalam membaca perubahan zaman dan pergulatan manusia yang hidup di dalamnya. Bisa jadi, di antara tokoh-tokoh yang diangkat dalam kumpulan cerpen ini ada “saya” yang tersembunyi yang diam-diam dengan keakutan masalah kehidupan modern saat ini.
Tulisan ini dimuat di Basabasi.co pada 29 Oktober 2016.
Minggu, 30 Oktober 2016
Kota dan Potret Keterasingan Manusia
Senin, 30 Juli 2007
Saksi Mata: Melawan Pembungkaman
Judul buku: Saksi Mata (Edisi Kedua)
Penulis: Seno Gumira Ajidarma
Penerbit: Yayasan Bentang Budaya, Yogyakarta
Cetakan: Keempat, 2002
Tebal: 166 halaman
Karya sastra oleh kebanyakan orang dipandang sebagai karya fiksi belaka; ia dianggap sebagai semata rekaan yang tak terlalu berkaitan dengan kehidupan nyata. Karya sastra dipandang seolah terlepas dari akar realitas kehidupan sehari-hari, dan memiliki dunia sendiri yang otonom.
Persepsi semacam ini jelas keliru. Karya sastra, seperti produk kebudayaan lainnya, tidaklah hadir dalam ruang kosong. Ia berdialog dan merefleksikan berbagai aspek faktual yang ada di masyarakat dan lingkungan sekitarnya. Menurut Pierre Bourdieu, sebuah karya sastra, atau kesenian pada umumnya, selalu melewati suatu ruang dalam hubungannya dengan ruang-ruang yang lain. Bourdieu mencatat setidaknya ada tiga ruang yang menjadi variabel penting dalam sebuah produk kesusastraan (dan kesenian). Pertama, medan kekuasaan (the field of power), yaitu perangkat kekuasaan ekonomi-politik yang merupakan cerminan hasil pertarungan kekuasaan di antara sejumlah elite; kedua, medan literer (literary field), yaitu universum literer yang bersifat otonom yang mengikat seorang pengarang dalam bekerja dan berkarya terkait dengan nilai-nilai estetis; ketiga, the genesis of the producers’ habitus, yakni disposisi yang dimiliki setiap penulis yang menentukan wataknya dan selanjutnya menentukan genre kesusastraan yang diambilnya dalam berkompetisi di dalam medan sastra (Dhakidae, 1995: 77).
Pergulatan karya sastra dengan kekuasaan telah melahirkan dinamika yang cukup kaya. Dinamika dan pertemuan karya sastra dan kekuasaan itu cukup menarik untuk dicermati terutama jika ia lahir dalam sebuah lingkungan sosial-politik yang represif, di tengah kekuasaan negara yang begitu menggurita dan sangat berhasrat untuk mengendalikan seluruh arus informasi yang beredar di masyarakat. Dalam situasi semacam ini, pers dan media massa pada umumnya diawasi dengan ekstra ketat agar segala produk dan informasi yang disebarkannya sesuai dengan selera penguasa.
Lingkungan sosial-politik semacam ini di satu sisi telah banyak menghasilkan berbagai bentuk perlawanan beberapa kelompok masyarakat untuk melakukan perlawanan terhadap penguasa (negara). Ada yang menggunakan media bawah tanah untuk menularkan gagasan-gagasan perlawanan yang didistribusikan secara sembunyi-sembunyi. Ada yang mencetak selebaran gelap. Ada pula yang memanfaatkan teknologi internet.
Di sisi yang lain, karya sastra kadang juga menjadi media alternatif untuk menyiarkan gagasan-gagasan bernuansa perlawanan. Dalam ruang yang lebih spesifik, karya sastra kadang juga dapat menjadi media untuk menuturkan kembali berbagai peristiwa aktual yang dalam media-media publik yang bersifat resmi jarang atau sulit diturunkan. Jurnalisme kadang menghadapi tantangan yang cukup rumit untuk dapat bersuara secara terbuka, terutama tema yang terbilang sensitif. Tantangan itu tidak saja berhubungan dengan kepentingan untuk menjaga stabilitas politik (kekuasaan) kelompok penguasa (negara), tetapi juga dapat berupa kepentingan untuk menjaga stabilitas bisnis penguasa modal.
Pada titik semacam ini, yakni ketika jurnalisme menjadi ompong, atau bahkan dibungkam, sastra harus bicara. Seno Gumira Ajidarma menegaskan ini secara eksplisit dalam salah satu esainya. Dalam esainya yang lain, yang kemudian terkumpul dalam satu buku kumpulan esai, Seno menegaskan bahwa jurnalisme harus sadar dengan keterbatasannya. Keterbatasan ini dapat disebut sebagai sebuah ruang kosong yang dalam pengertian tertentu menyiratkan belum terpenuhinya idealisme jurnalisme yang sebenarnya, yakni mengungkapkan fakta kemanusiaan yang bernilai penting secara jujur.
Jurnalisme, dengan demikian, harus kritis terhadap keterbatasannya, dan itu berarti rumus-rumus lama junalisme harus dibongkar dan diperiksa kembali. Memang ada “rubrik-rubrik kasihan” di mana laporan kehidupan para pengungsi atau orang-orang menderita dituliskan, Tetapi masalahnya bukan di situ: para korban masih hanya dianggap sebagai pelengkap penderita—sesuatu yang sudah sewajarnya ada. Menurut saya pandangan semacam ini harus diubah. Para korban harus menjadi prioritas utama, karena tanpa berpihak kepada mereka yang tertindas dan menderita, Jurnalisme akan kehilangan makna sebagai media dalam arti yang sesungguhnya: mengusahakan segalanya demi harkat manusia. Itulah yang saya maksudkan sebagai ruang kosong dalam jurnalisme Indonesia (Ajidarma, 2005: 221-222).
Dalam ungkapan yang lain, kutipan ini menyiratkan bahwa Seno sedang mengkritik dan melawan historisisme, yakni sejarah yang hanya dicipta bagi pembenaran kekuasaan. Sering dikatakan bahwa sejarah adalah milik para pemenang, bukan milik para pecundang. Sejarah berada dalam genggaman tangan penguasa. Kaum pinggiran, para kere, para korban, dan mereka yang ditindas dan dikalahkan, tak mendapatkan tempat dalam sejarah. Tak ada ruang yang disisakan untuk mengangkat kisah-kisah mereka ke permukaan.
Sepertinya, ruang kosong semacam inilah yang oleh Seno kemudian berusaha dimasuki dan dijelajahi lebih mendalam serta lebih subtil, sehingga dari tangannya lahirlah banyak cerita pendek bertema sosial-politik yang berupaya mengolah fakta yang kurang tersentuh dalam dunia jurnalisme secara penuh. Buku kumpulan cerita pendek berjudul Saksi Mata ini adalah salah satunya.
* * *
Saksi Mata edisi kedua memuat enam belas cerita pendek yang sebelumnya dimuat di berbagai media massa, meliputi Harian Kompas (8 cerpen), Suara Pembaruan (2 cerpen), Republika (2 cerpen), Majalah Matra, Horison, Basis, dan Hidup (masing-masing 1 cerpen). Keenam belas cerpen ini ditulis dalam masa pemerintahan rezim Orde Baru, yakni dari Maret 1992 hingga Agustus 1997.
Tidak seperti pada edisi pertamanya yang terbit pada tahun 1994, dalam Saksi Mata edisi kedua ini Seno memberikan pernyataan agak eksplisit melalui catatan pengantarnya bahwa cerpen-cerpen dalam buku ini berkaitan dengan Insiden Dili 12 November 1991 (Ajidarma, 2002: vii). Memang, secara lebih lugas dan komprehensif Seno telah menulis sebuah pemaparan yang utuh tentang konteks proses kreatif cerpen-cerpen dalam Saksi Mata. Ceritanya bermulai dari ketika Seno sebagai pemimpin redaksi Majalah Jakarta Jakarta menurunkan laporan tentang peristiwa yang dalam pemberitaan luar negeri kemudian disebut The Dili Massacre itu, dan kemudian mendapat teguran keras dari pihak militer, hingga akhirnya oleh manajemen perusahaan dicopot dari Jakarta Jakarta selama hampir dua tahun. Selanjutnya, secara lebih eksplisit Seno menulis:
…akhirnya saya sendiri menuliskan kembali Insiden Dili, dalam berbagai bentuk cerita pendek. Tentu saja tentang cerita pendek itu sendiri tidak penting, karena tujuan saya menuliskannya kembali bukan untuk mengejar kualitas sastra, melainkan mengungkap kembali peristiwa itu, sebagai suatu perlawanan.
...Pilihan perlawanan saya jatuh pada hal-hal yang sensitif, karena saya pikir hanya dengan cara itu saya bisa menunjukkan betapa Insiden Dili bukan hanya tidak bisa dilupakan—seperti berita sepenting apa pun yang akan kita lupakan ketika mendapat berita penting yang lain, dari hari ke hari—tapi bahkan saya abadikan. Karena memang di sanalah hakikat perbedaan jurnalistik dan sastra. Saya dengan sadar ingin membuat pembungkaman itu tidak berhasil. Saya melawan (Ajidarma, 2005: 97-98).
Meskipun Seno menyatakan bahwa dalam menulis cerpen-cerpen dalam Saksi Mata ini ia tak bermaksud untuk mengejar kualitas sastra, kita tetap dapat merasakan bahwa kualitas kesusastraan Seno tetap terjaga. Seno tidak terjebak pada teknik-teknik klise atau bersikap menunggangi plot dengan sedemikian rupa untuk memenuhi tujuan seperti yang dipancangkannya di titik mula.
Dalam cerpen berjudul “Saksi Mata” yang menjadi pembuka sekaligus dipilih menjadi judul sampul kumpulan cerpen ini, Seno mengolah unsur surealisme dengan sarkasme. Cerpen ini menceritakan seorang saksi mata di pengadilan yang datang tanpa mata. Di beberapa bagian cerpen ini, Seno memberikan gambaran yang cukup detail tentang bagaimana mata orang itu berlubang dan mengucurkan darah ke sekujur tubuhnya hingga ke lantai ruang pengadilan. Untuk memperkuat deskripsi ini, Seno menyajikan petikan dialog antara Saksi Mata dan Hakim tentang bagaimana Saksi Mata itu kehilangan matanya.
“Saudara Saksi Mata.”
“Saya Pak.”
“Di mana mata Saudara?”
“Diambil orang Pak.”
“Diambil?”
“Saya Pak.”
“Maksudnya dioperasi?”
“Bukan Pak, diambil pakai sendok.”
“Haa? Pakai sendok? Kenapa?”
“Saya tidak tahu kenapa Pak, tapi katanya mau dibikin tengkleng.”
“Dibikin tengkleng? Terlalu! Siapa yang bilang.”
“Yang mengambil mata saya Pak.”
(Ajidarma, 2002: 3-4)
Dalam petikan ini, Seno menambahkan efek sarkastis penggambaran lubang mata si Saksi Mata itu dengan penjelasan bahwa katanya mata itu diambil untuk dibuat tengkleng. Tengkleng adalah masalah khas Surakarta, semacam sop tulang-belulang kambing dengan tempelan daging di sana-sini. Dalam cerpen berjudul “Manuel”, Seno juga membuat gaya penuturan serupa, ketika menggambarkan seorang nenek yang kulit pipinya diiris dan disuruh ditelannya sendiri mentah-mentah saat diinterogasi (Ajidarma, 2002: 28).
Selain surealisme dan sarkasme yang dibangun dalam “Saksi Mata”, Seno juga berhasil memasukkan unsur kritik cerdas yang cukup halus tapi menohok untuk menunjuk kepada pelaku yang mencederai Saksi Mata itu. Saat ditanya oleh Hakim tentang siapa yang mengambil matanya, Saksi Mata itu menjelaskan:
"Itu lho Pak, yang hitam-hitam seperti di film.”
“Mukanya ditutupi?”
“Iya Pak, cuma kelihatan matanya.”
“Aaah, saya tahu! Ninja2 ‘kan?”
“Nah, itu Pak, ninja! Mereka itulah yang mengambil mata saya dengan sendok!”
(Ajidarma, 2002: 5)
Untuk menegaskan bahwa pelaku yang mencederai Saksi Mata itu adalah pihak militer, Seno melakukan dengan teknik yang cukup canggih. Dalam kutipan di atas, pembaca mendapatkan penjelasan bahwa pelakunya adalah orang berpakaian hitam-hitam ala ninja. Bagi masyarakat awam, ninja tak memiliki konotasi makna apa-apa. Kata “ninja” bagi pembaca umum lebih “netral”, merujuk pada jago silat yang pakaiannya menutupi sekujur tubuhnya dan hanya menyisakan matanya saja untuk melihat. Paling jauh, ninja, seperti sering ditampilkan dalam film-film laga produk Amerika, adalah sekelompok penjahat atau pembunuh bayaran. Pada bagian ini, Seno memberi tanda rujukan pada catatan kaki yang pada akhirnya dapat mengantarkan pembaca untuk merasakan nuansa makna konotatif “ninja” yang sebenarnya dimaksudkan dalam kutipan tersebut. Dalam rujukan catatan kaki pada kata “ninja” di cerpen tersebut, Seno menjelaskan bahwa ninja—yang berasal dari kata ninjutsu—merupakan istilah bagi seni spionase dalam tradisi Jepang. Secara detail, Seno memaparkan bagaimana tradisi ninja ini berkembang di Jepang (Ajidarma, 2002: 11-12). Dengan cukup meyakinkan, secara tidak langsung pembaca digugah bahwa kata “ninja” menurut pemahaman konvensional secara denotatif tidaklah cukup untuk memahami konteks cerita ini. Kata “ninja” ternyata memiliki makna konotatif yang terlalu sulit untuk dipisahkan dengan kelompok intelijen (militer) negara.
Gaya surealis cukup banyak mewarnai cerpen-cerpen dalam buku ini. Cerpen berjudul “Misteri Kota Ningi (atawa The Invisible Christmas)” bertutur melalui tokoh aku, seorang petugas sensus, tentang kejanggalan yang terjadi di kota Ningi, bahwa ternyata dari tahun ke tahun penduduk kota itu semakin berkurang. Seno menggunakan kata “Ningi” untuk merujuk pada kota Dili, ibukota Timor Timur. Mayoritas penduduk Indonesia saat itu mungkin tak bisa langsung mengerti bahwa yang Seno maksud dengan kata “Ningi” adalah kota Dili. Dalam hal ini, Seno menggunakan “bahasa gali” di Yogyakarta, yang rumusnya berdasarkan pada 20 bunyi dalam huruf Jawa hanacaraka, dengan menukar baris pertama berpadanan dengan baris ketiga, dan baris kedua dengan baris keempat (Ajidarma, 2005: 107). Teknik semacam ini cukup menarik, karena berhasil memanfaatkan khazanah kebudayaan lokal untuk menjadi media penyiaran informasi yang terbilang sensitif kepada publik yang lebih luas.
Dalam cerpen ini, Seno mengolah data statistik dari tulisan George Junus Aditjondro tentang populasi Timor Timur untuk ditampilkan kembali sebagai bahan objektif. Melalui tokoh aku, Seno menyajikan angka-angka statistik yang berkecenderungan kian menyusut. Selanjutnya, tokoh aku menggambarkan kejadian-kejadian aneh di kota Ningi berkaitan dengan angka statistik tersebut. Kejadian dimaksud berupa sendok-garpu yang bergerak sendiri, gelas yang tertuang ke mulut yang tak kelihatan, suara orang mandi jebar-jebur namun tak kelihatan orangnya, lalu lintas para makhluk tanpa bentuk yang terus berjalan, dan semacamnya. Di bagian akhir cerita, yang menggambarkan suasana peringatan natal, tokoh aku tinggal sendiri saja. Ia merayakan natal bersama orang-orang yang tak kelihatan.
Kemampuan Seno dalam mengolah data faktual untuk digabungkan secara hidup dalam sebuah karya fiksi memang cukup menarik dan terhitung berhasil. Dari kebanyakan cerpen yang ditulisnya yang memang bercorak demikian—bahkan setelah era reformasi memberikan kebebasan berekspresi yang relatif cukup luas bagi para seniman—para pembaca memang tidak hanya memperoleh suatu cara pandang lain terhadap suatu kejadian faktual, akan tetapi juga mendapatkan suatu impresi mendalam yang dikelola dalam suatu kecanggihan cara bertutur dan berekspresi melalui bahasa yang mampu bermain dengan lincah. Dengan segala keterbatasan sebuah genre cerpen, Seno cukup mampu menampilkan sisi-sisi estetis dalam bercerita dan tidak hanya menunggangi bahasa sehingga menjadi sangat mekanis. Pada sisi lain, keasyikan pembaca mengikuti alur dan permainan bahasa Seno di akhir cerita kerap kali tiba-tiba dikejutkan oleh suatu momen atau kejadian yang mampu menjungkirkan dugaan-dugaan pembaca tentang akhir cerita dan—meminjam ungkapan Hasif Amini (1999: 51)—“menjotos kebiasaan maupun kejemuan kita secara telak, secara jitu”. Dengan gaya ini, ketajaman cerpen-cerpen Seno menjadi semakin tampak.
Teknik memasukkan data faktual ke dalam cerpen memang sudah cukup lihai digunakan Seno. Dalam cerpen berjudul “Darah itu Merah, Jenderal”, yang bercerita tentang seorang Jenderal yang sedang bersantai di kolam renang di rumahnya sambil mengenang masa lalunya yang penuh darah, Seno berhasil memasukkan sebuah kutipan menarik yang diambilnya dari sebuah wawancara faktual. Dalam cerpen ini, kutipan berikut merupakan jawaban si Jenderal atas pertanyaan wartawan tentang kekayaan pejabat militer. Sementara itu, di akhir sebuah petikan jawaban si Jenderal, Seno merujukkannya pada catatan kaki yang menjelaskan bahwa petikan ini dikutip dari wawancara yang dimuat di Jakarta Jakarta rubrik Sebagian Kehidupan.
“Lho, jujur saja, memang begitu. Sekarang saya punya rumah, punya mobil itu semua dikasih. Saya tidak malu. Ada orang datang sambil bilang, ‘Pak ini mobil, terima kasih saya dikasih proyek.’ Saya terima saja, tidak malu.”
(Ajidarma, 2002: 104)
Dalam cerpen tersebut, Seno memberikan penjelasan tentang sumber kutipan yang merujuk pada majalah Jakarta Jakarta tersebut, dengan kalimat penjelas yang mengikutinya, berbunyi: “Namun cerpen ini, tentu saja, tetap sebuah cerpen.” Kalimat ini seperti ingin mementahkan kesan bahwa hal yang tergambar dalam kutipan tersebut memang merupakan fakta yang biasa terjadi dalam dunia militer Indonesia. Akan tetapi, dari plot yang disusun, pembaca seperti akan mengalami kesulitan untuk menganggap hal semacam itu hanya fiktif belaka. Di sini, Seno memanfaatkan data faktual untuk bermain-main dan akhirnya mampu melahirkan ironi dan satir yang cukup tajam.
Selain bercorak surealis, ada pula cerpen realis dalam buku ini yang tak kalah menarik. Cerpen berjudul “Kepala di Pagar Da Silva” berkisah tentang kepala yang tertancap di pagar Da Silva, yang tak lain adalah kepala Rosalina, anak perempuan Da Silva satu-satunya. Sebagian besar cerita berpusat pada dua orang di rumah sebelah Da Silva yang menyaksikan kepala bersimbah darah itu di malam hari, saat jam malam. Dari balik pintu, dua orang itu, yang salah satunya ternyata adalah kekasih Rosalina, saling berbisik, gemas, marah, dan merasa kasihan pada Da Silva jika ia mengetahuinya. Alur cerita kemudian bergerak pada kedatangan Da Silva yang lalu masuk ke rumahnya sendiri. Pembaca tentu menunggu-nunggu momen saat Da Silva menemukan kepala anaknya itu. Tapi Seno masih mempermainkan imajinasi pembaca dengan kelebat pikiran Da Silva tentang istri dan tiga anak laki-lakinya yang sudah terbunuh di medan perang, serta percakapan dua orang tetangganya itu. Cerita ditutup dengan mengambang, ketika setelah hujan reda Da Silva membuka pintu rumahnya, untuk kemudian melangkah keluar. Pembaca dibiarkan melanjutkan sendiri kisah tragis Da Silva yang diteror dengan kepala anak perempuannya itu.
* * *
Insiden Dili 12 November 1991 adalah peristiwa kelam dalam sejarah politik Indonesia. Meskipun pemerintah mengakui hal itu sebagai insiden, yang berarti suatu kejadian yang tak disengaja, dan bahwa kemudian pejabat militer dari wilayah yang bersangkutan ternyata diganti, namun peristiwa tersebut—setidaknya oleh rezim Orde Baru—masih dipandang sebagai tabu karena melukai wajah Indonesia di mata masyarakat internasional. Kita akan kesulitan menemukan pemaparan yang cukup detail tentang peristiwa tersebut dalam catatan-catatan sejarah. Setelah Reformasi, kita menemukan beberapa buku yang menuturkan hal tersebut, meski sekilas, seperti yang dilakukan Anders Uhlin (1998: 223-226) yang mengulas kasus Timor Timur tersebut dalam konteks transnasional politik Indonesia, atau dalam buku M.C. Ricklefs (2005: 590-592, 636-637).
Tentu saja, dibandingkan dengan dua buku ini, Saksi Mata mencatat beberapa kelebihan yang unik dan hanya dimiliki genre cerpen (sastra). Cerpen-cerpen dalam Saksi Mata ini datang dengan mengincar sisi batin pembaca, emosi pembaca, untuk disentuh, digugah, dan dibawa ke suasana tragedi kemanusiaan yang terjadi di Timor Timur. Yang cerdas dan khas, tanpa harus mendapatkan penjelasan tersendiri tentang konteks faktual proses kreatif cerpen-cerpen ini, pembaca dapat menangkap kecerdikan Seno untuk melibatkan data faktual yang relevan dalam karya-karyanya. Memang, cerpen-cerpen dalam Saksi Mata dapat dikatakan sebagai eksprimentasi pertama Seno dalam mengolah data faktual semacam itu. Dalam beberapa karya berikutnya, Seno melakukan hal yang sama untuk beberapa kasus serupa, seperti dalam Jazz, Parfum, dan Insiden (Bentang Budaya, 1996) yang juga berkisah tentang Insiden Dili dengan gaya yang lebih vulgar tetapi diselingi dengan esai tentang jazz dan fiksi tentang perempuan dan parfum, komik yang ditulis bersama Zacky berjudul Jakarta 2039 (Galang Press, 2001) yang merefleksikan perkosaan massal Mei 1998, dan naskah drama Mengapa Kau Culik Anak Kami? (Galang Press, 2001) tentang penculikan para aktivis.
Saksi Mata adalah sebuah dokumentasi penting yang berusaha menghadirkan sebuah realitas kemanusiaan dengan melawan ketakutan dan pembungkaman. Bagi Seno, cerpen menjadi media alternatif untuk tetap konsisten menyuarakan kebebasan dan kejujurannya yang tak tertolak dalam jurnalisme yang ompong atau jurnalisme yang tak bisa penuh menghadirkan kembali kenyataan dalam beragam nuansa maknanya yang kaya. Seno menegaskan hal ini dapat pasase berikut:
Fakta apa pun, fiksi manapun, hanyalah bagian dari mata rantai komunikasi itu. Menjadi jelas di sini, bahwa apa pun yang diandaikan sebagai kenyataan memang terletak di dalam kurung—dalam arti menjadi sangat relatif. Dengan begitu, jika konstruksi kenyataan hanyalah boleh dipercayai sebagai salah satu simbol dalam hiruk pikuk proses penanggapan dan penafsiran, apakah yang masih bisa dipegang dalam sebuah teks? Tepatnya, apakah moralitas dari pembuatan suatu teks? Jawabannya ternyata masih klise: kebebasan dan kejujuran. Apakah saya bebas, barangkali masih bisa dilacak. Apakah saya jujur, hanya saya sendiri yang tahu—namun saya telah mencoba mengaku (Ajidarma, 2005: 156).
Kredo kepenulisan semacam inilah yang perlu terus dirawat dan ditanamkan dalam kesadaran para pengarang, baik itu fiksi maupun nonfiksi. Jika tidak, kerja kepenulisan kemudian hanya akan berwujud aktivitas pragmatis yang miskin nilai.
Wallahualam.
Bahan Bacaan
Ajidarma, Seno Gumira, 2002, Saksi Mata (Edisi Kedua), Cetakan Keempat, Yayasan Bentang Budaya, Yogyakarta.
____________, 2005, Ketika Jurnalisme Dibungkam Sastra Harus Bicara, Edisi Kedua, Bentang Pustaka, Yogyakarta.
Amini, Hasif, 1999, ”Cerita Pendek, Sadar Diri, Main-Main, Diam,” dalam Ahmad Sahal, dkk (ed.), Bertandang dalam Proses: Karya Pilihan Komunitas Utan Kayu, Yayasan Kalam, Jakarta.
Dhakidae, Daniel, 1995, “Kesusastraan, Kekuasaan, dan Kebudayaan suatu Bangsa,” Jurnal Kalam, edisi 6/1995, Yayasan Kalam, Jakarta, hlm. 74-102.
Ricklefs, M.C., 2005, Sejarah Indonesia Modern 1200-2004, penerjemah: Satrio Wahono, dkk., Serambi, Jakarta.
Uhlin, Anders, 1998, Oposisi Berserak: Arus Deras Demokratisasi Gelombang Ketiga di Indonesia, penerjemah: Rofik Suhud, Mizan, Bandung.
* Tulisan ini memenangkan Peringkat Pertama Lomba Mengulas Karya Sastra (LMKS) Reguler 2007 Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Departemen Pendidikan Nasional RI.
Selasa, 10 Juli 2001
Pertemuan Fiksi dan Fakta
Judul: Dunia Sukab: Sejumlah Cerita
Penulis: Seno Gumira Ajidarma
Penerbit: Kompas, Jakarta
Cetakan : Pertama, Juni 2001
Tebal: x + 160 halaman
Di saat sensor negara terhadap segenap informasi di masyarakat begitu kuat, seperti pada masa Orde Baru, jalur alternatif manakah yang bisa digunakan untuk mendapatkan atau menyebarkan jenis informasi yang tidak menguntungkan “negara”? Banyak orang yang menggunakan “media-media bawah tanah” atau internet untuk mensiasati barikade negara.
Akan tetapi, lain halnya dengan Seno Gumira Ajidarma yang dulu pernah menjadi wartawan. Seno mengambil jalur alternatif lain: dunia sastra. Pilihan Seno ini dapat dilihat secara lebih jelas dari salah satu esainya yang berjudul Ketika Jurnalisme Dibungkam, Sastra Harus Bicara. Dalam esai ini Seno menegaskan bahwa sastra berbicara dengan kebenaran yang bersumber dari komitmen penulisnya. Fakta jurnalisme memang bisa ditutupi—dan ini merupakan tindakan politik—tapi menutupi kebenaran adalah tindakan paling bodoh.
Yang menarik, ketika sensor negara sudah lumer di bawah kuasa semangat reformasi, beberapa cerpen Seno masih menunjukkan corak yang kurang lebih mirip dengan karya-karya sebelumnya, yakni adanya pertemuan antara fiksi dan fakta.
* * *
Beberapa cerpen yang terkumpul dalam antologi ini tampak masih lekat membawa semangat itu. Misalnya cerpen yang berjudul Manusia Api. Cerpen ini bertutur tentang kejadian pasca kerusuhan Mei 1998 di Jakarta, di mana di sebuah tempat bekas bangunan yang terbakar muncul sosok Manusia Api yang merintih dan mengerang tiada henti seperti minta pertolongan. Dukun didatangkan, dan kemenyan dibakar. Tapi sosok Manusia Api tak mau enyah. Lalu, ada sebuah potongan dialog yang menarik dan penuh dengan kritik tajam: “Kayaknya sih kemenyan saja kagak cukup Dil.” Yang lain menyahut: “Apa dong yang cukup Bang?”. Lalu dijawab singkat: “Keadilan” (hal. 66).
Lain lagi dengan cerpen berjudul Carmina Burana yang berkisah tentang gegap gempitanya masyarakat menghadapi sebuah pemilihan (Pemilihan Umum[?]). Cerpen yang ditulis pada tahun 1987 ini jelas menunjukkan kepiawaian Seno menelusup di antara sensor negara waktu itu terhadap suara-suara kritis dengan menggunakan media cerita. Pemilihan (Umum) yang penuh dengan omong kosong dan tidak adanya perbedaan visi antara kontestan yang berpartisipasi menjadi sorotan tajam dari dialog-dialog yang dibangun. Ini tampak dalam sebuah petikan: “Habis semuanya sama. Tidak bisa dibedakan. Semuanya pakai kacamata hitam. Semuanya pakai ikat kepala. Semuanya mengibarkan bendera…” (hal. 29). Atau kutipan seperti ini: “Aku capek mendengar orang berteriak-teriak. Aku capek melihat gambar besar yang itu-itu juga. Aku capek melihat banyak tenaga dibuang percuma. Terlalu banyak kata-kata besar. Terlalu banyak janji yang paling setia” (hal. 31).
Ada juga cerita yang bercorak futuristik berjudul Jakarta, 14 Februari 2039 yang juga bertolak dari setting kerusuhan Mei 1998. Alkisah di sebuah sudut kota Jakarta pada tanggal 14 Februari 2039 tiga sosok manusia di tempat yang berbeda sedang mengalami kegalauan dan kegelisahan atas tragedi hidup yang dialaminya. Masing-masing mereka adalah anak hasil pemerkosaan, si ibu korban perkosaan, dan bapak (si pemerkosa). Ketiganya ditampilkan secara bergantian dengan pola bertutur orang pertama yang dibingkai dengan gaya reflektif. Alur cerita juga diselingi dengan sebuah aksi pengejaran seorang penjahat yang ternyata adalah seorang pemerkosa oleh polisi dengan menggunakan helikopter. Yang menarik, di akhir cerita terungkap bahwa kedua polisi dalam heli itu kemudian melepas si pemerkosa, karena kedua polisi itu juga adalah anak yang lahir akibat perkosaan!
Selain corak cerpen yang sedemikian itu, dalam antologi ini pembaca dapat menemukan cerpen-cerpen Seno dengan tema yang berbeda: cerita tentang hidup sehari-hari, terutama potret kehidupan perkotaan yang penuh dengan kekerasan. Cerpen berjudul Perempuan Preman misalnya, berkisah tentang kehidupan seorang perempuan yang memilih jalan hidupnya sebagai preman. Dalam cerpen ini digambarkan si Perempuan Preman sebagai sosok misterius yang ditakuti preman lain yang rata-rata pria. Tak jarang dia menolong gadis-gadis bar yang diperas pria-pria preman. Ada sebuah kritik pedas yang terselip dalam cerita ini, ketika terungkap motif si perempuan menjadi preman: “Bagaimana kita membangun masa depan jika perempuan tidak pernah bisa melawan? Bagiku tidak ada jalan lain selain jalan kekerasan. Aku seorang perempuan, dan aku sudah lama mati jika tidak menjadi kuat di jalan kekerasan..” (hal. 152).
* * *
Kemampuan Seno dalam menggabungkan yang fiktif dan yang faktual ini memang cukup menarik dan terhitung berhasil. Dari beberapa cerpennya yang bercorak demikian, para pembaca memang tidak hanya memperoleh suatu cara pandang lain terhadap suatu kejadian faktual, akan tetapi juga mendapatkan suatu impresi mendalam yang dikelola dalam suatu kecanggihan cara bertutur dan berekspresi melalui bahasa yang mampu bermain lincah. Dengan segala keterbatasan sebuah genre cerpen, Seno cukup mampu menampilkan sisi-sisi estetis dalam bercerita dan tidak hanya menunggangi bahasa sehingga menjadi sangat mekanis. Pada sisi lain, keasyikan pembaca mengikuti alur dan permainan bahasa Seno di akhir cerita kerap kali tiba-tiba dikejutkan oleh suatu momen atau kejadian yang mampu menjungkirkan dugaan-dugaan pembaca tentang akhir cerita dan—meminjam ungkapan Hasif Amini—‘menjotos kebiasaan maupun kejemuan kita secara telak, secara jitu’. Dengan gaya ini, ketajaman cerpen-cerpen Seno menjadi semakin nampak.
Dari pertemuan medan fakta dan fiksi ini menjadi teranglah komitmen (kalau boleh disebut demikian) keberanian dan kejujuran Seno. Dalam karya-karya Seno, nilai kebenaran dalam kejujuran disatukan bersama kesusastraan sehingga semakin memperkokoh makna dan nilai karya-karyanya itu. Pada titik ini pulalah nilai karya-karya Seno menampakkan kelebihannya.
Tujuh belas cerpen dalam antologi ini semakin mempertegas kepiawaian Seno dalam bercerita dan juga kepintarannya mengikat dan mengincar perasaan pembacanya untuk ikut sepenuhnya dalam suasana cerita yang dibangun. Selain itu, dalam antologi ini ada pengantar singkat dari Seno yang bercerita sekedarnya tentang tokoh Sukab yang sering digunakan Seno dalam cerpen-cerpennya.
Selasa, 03 Juli 2001
Potret Kekerasan di Mata Para Sastrawan
Judul: Mata yang Indah: Cerpen Pilihan Kompas 2001
Penyunting: Kenedi Nurhan
Penerbit: Kompas, Jakarta
Cetakan : Pertama, Juni 2001
Tebal: xlvi + 222 halaman
Kumpulan Cerpen Terbaik Kompas 2001 ini adalah antologi yang kesembilan yang telah diterbitkan Harian Kompas sejak tahun 1992. Seperti pada tahun-tahun sebelumnya, antologi yang berisi 16 cerpen pilihan dewan juri ini—yang sebelumnya dimuat di Kompas dalam rentang tahun 2000—diberi judul sesuai dengan cerpen terbaik yang diseleksi secara ketat. Cerpen terbaik dalam antologi ini berjudul Mata yang Indah karya Budi Darma, seorang sastrawan terkemuka yang sebelumnya juga pernah mendapat anugerah cerpen terbaik Kompas pada tahun 1999 dengan cerpennya yang berjudul Derabat.
Cerpen Mata yang Indah karya Budi Darma ini berkisah tentang seorang pengembara bermata indah yang pulang dari kelananya hanya untuk bertemu dengan ibunya yang sedang menanti ajal. Dalam pengembaraannya dia nyaris diperkosa seorang perempuan yang mengira sebagai suaminya. Menjelang ajal, si ibu menuturkan bahwa ia pernah memperkosa seorang lelaki bermata indah. Dengan alur yang bercorak simbolis dan surealistik cerpen ini kemudian nampak melebur dan mengaburkan sosok pengembara itu dengan ayahnya, si ibu dengan “perempuan pemerkosa” itu.
Kecuali cerpen terbaik karya Budi Darma ini, cerpen-cerpen lain dalam antologi ini kebanyakan bersifat realistik: semacam potret atau kesaksian lain atas kenyataan-kenyataan sosial di masyarakat dengan sudut pandang tokoh tertentu yang terlibat dalam realitas tersebut. Tak jarang beberapa cerpen mengacu kepada fakta historis tertentu, seperti cerpen Sori Siregar berjudul Krueng Semantoh. Cerpen ini bertutur tentang pertemuan sahabat lama, Sahat dan Parlagutan. Dalam pertemuan itu, Sahat yang berprofesi sebagai guru terkejut dengan penuturan Parlagutan yang cukup misterius, bahwa ia sudah “capai melakukan kekerasan dan kekejaman”, untuk kemudian lebih memilih bekerja sebagai kepala keamanan di sebuah perkebunan kelapa sawit. Di akhir cerita terungkap bahwa Parlagutan ternyata pernah menjalani pengalaman buruk ketika korps(militer)nya bertugas di Krueng Semantoh yang kemudian mengubah jalan hidupnya.
Atau juga cerpen Martin Aleida yang berjudul Elegi untuk Anwar Saedy, yang berkisah tentang tokoh Anwar Saedy yang berhadapan dengan kontras dunia subjektif yang dialaminya dulu dan dunia faktual saat ini yang amat mengecewakan. Anwar Saedy adalah sosok lelaki Aceh yang pernah memimpin pemogokan buruh di New York menjelang akhir masa kolonialisme Belanda di Indonesia. Ternyata, kekecewaan yang amat sangat dialami Anwar Saedy di masa tuanya, ketika ia sama sekali tidak dihargai sebagai pahlawan, bahkan menjadi korban kekerasan rezim di Jakarta ketika mencoba mengadu nasib sebagai pedagang kaki lima.
Potret kekerasan sosial memang seperti menjadi ruh dari cerpen-cerpen dalam antologi ini. Selain dua cerpen di atas, cerpen Gus tf Sakai berjudul Upit mempersaksikan kekerasan terhadap perempuan bernama Upit yang hidup dalam cengkeraman hidup keluarganya yang penuh keterpaksaan. Upit dipaksa kawin oleh ayahnya dengan majikannya yang belakangan diketahui homoseks. Upit tak kuasa keluar dari kubangan penderitaannya. Bahkan ketika seorang tetangganya yang bernama Haris berusaha menolongnya, ia malah dituduh mengganggu istri orang.
Cerpen Jujur Prananto berjudul Jakarta Sunyi Sekali di Malam Hari adalah sebuah kesaksian atas kerasnya kehidupan kota Jakarta yang menimpa seorang bapak bernama Mudakir yang hendak mengunjungi anaknya yang telah lama tidak pulang kampung atau memberi kabar. Malangnya, si bapak malah tersesat setelah uangnya habis ditipu seorang perempuan hingga akhirnya menggelandang bertahun-tahun dan hidup tak menentu dan terpisah dari keluarga.
* * *
Fenomena kekerasan memang masih menjadi realitas sosial yang tiada henti dipertontonkan di republik ini. Setting Indonesia saat ini yang sedang mengalami masa transisi dan ditandai dengan suasana yang penuh dengan ketidakpastian semakin mendukung kecenderungan hidup yang penuh dengan kekerasan itu.
Cerpen-cerpen yang terkumpul dalam antologi ini tidak lain adalah cara pandang para sastrawan melihat fakta kekerasan itu. Dalam hal ini karya sastra memang kurang lebih memiliki kelebihan dibandingkan dengan media lainnya, seperti berita atau laporan jurnalistik. Bila berita atau laporan jurnalistik memaparkan fakta-fakta empiris secara kaku menurut kaidah berbahasa “yang baik dan benar”, maka karya sastra berusaha menembus itu semua dengan melakukan sebuah eksplorasi bahasa yang mendalam dan sedemikian rupa, sehingga mampu memunculkan sisi kemanusiaan yang intens dan mendalam dari gejala kekerasan itu.
Aspek inilah sebenarnya yang cukup mampu mengangkat nilai relevansi buku ini dalam konteks kekinian. Ketika segala kehidupan di negeri ini berjalan tanpa adanya sikap santun dan manusiawi, maka cerpen-cerpen dalam antologi ini berusaha mengangkat sisi lain yang selama ini terlupakan: nilai-nilai khas yang bersifat manusiawi. Cerpen-cerpen dalam antologi ini menggedor mata hati para pembacanya untuk keluar dari kesumat dan cara pandang emosional, untuk kembali kepada kearifan memaknai geliat perubahan zaman.
Melalui penuturan para cerpenis dalam antologi ini, kita semua diajak untuk tidak begitu saja menyerah menghadapi getir dan kerasnya kehidupan untuk terus menghimpun energi kreatif memaknai setiap potensi yang tersisa.
* * *
Antologi cerpen pilihan Kompas tahun 2001 ini berisi 16 cerpen pilihan yang ditulis oleh cerpenis-cerpenis terkemuka, yakni Budi Darma, Jujur Prananto, Yanusa Nugroho, Martin Aleida, Ratna Indraswari Ibrahim, Sori Siregar, K. Usman, Veven Sp Wardhana, Gus tf Sakai, Cok Sawitri, A.A., Navis, Indra Tranggono, Herlino Soleman, Wilson Nadeak, Harris Effendi Thahar, dan Umar Kayam.
Buku ini juga dilengkapi dengan dua buah tulisan pendamping berupa komentar dan ulasan yang ditulis oleh Hasif Amini (redaktur Jurnal Kalam) dan Alois A. Nugroho (dosen Unika Atma Jaya Jakarta).
Antologi ini adalah bukti dari masih kuatnya sastra koran di negeri ini. Dengan segala kelebihan dan kekurangannya, tentu buku ini layak dibaca untuk mendapatkan cara baca dari sisi lain fenomena sosial yang makin tak menentu di negeri ini.
Senin, 30 Oktober 2000
Kesaksian atas Carut-Marut Kehidupan
Judul buku: Dua Tengkorak Kepala: Cerpen Pilihan Kompas 2000
Penyunting: Kenedi Nurhan
Penerbit: Harian Kompas, Jakarta
Cetakan: Pertama, Juni 2000
Tebal: xxxiv + 156 halaman
Tradisi mengantologikan sejumlah karya sastra ternyata masih marak dilakukan oleh banyak kalangan, termasuk Harian Kompas—koran nasional dengan jumlah pembaca terbesar di Indonesia. Harian Kompas sendiri belakangan memang berusaha mengintensifkan divisi penerbitannya, yakni untuk menerbitkan buku-buku yang bersumber dari Harian Kompas sendiri. Tradisi mengantologikan cerpen adalah tradisi penerbitan yang “paling tua” di Harian Kompas. Sejak 1992 Kompas tiap tahun (kecuali tahun 1998) menerbitkan kumpulan cerpen terbaik.
Cerpen pilihan Kompas tahun 2000 ini diantologikan dengan judul Dua Tengkorak Kepala, yaitu mengambil dari judul cerpen pilihan terbaik dalam antologi ini, yakni karya Motinggo Busye. Cerpen ini menampilkan potret tragedi kehidupan masyarakat Aceh selama dijadikan Daerah Operasi Militer (DOM). Cerpen yang merupakan cerpen terakhir karya Motinggo Busye ini—sebelum ia meninggal dunia—mengisahkan tokoh bernama Ali yang tewas dalam pembantaian militer dan dikubur secara massal di Desa Dayah Baureuh.
Kisah tragis Ali dalam cerpen ini mampu dikelola secara baik oleh Motinggo Busye sehingga cukup memperkental makna dan pesan yang hendak disampaikan. Lihatlah misalnya di bagian akhir cerita, ketika Motinggo Busye berusaha memperhadapkan tragedi pembantaian terhadap kakek si “aku” yang merupakan korban pembantaian fasisme Jepang dengan pembantaian terhadap Ali, seperti tergambar dalam kalimat: “Lalu teman saya Ali, bagaimana? Dia malah bukan korban kekejaman tentara penjajah, melainkan korban kekejaman tentara bangsa sendiri?”. Ada nada sinis yang terasa getir dalam kalimat itu yang semakin mempertebal kesan pembaca.
Cerita tentang Aceh juga ditulis oleh Seno Gumira Ajidarma dalam cerpennya berjudul Telepon dari Aceh. Cerpen ini berkisah tentang sekeluarga pejabat Orde Baru yang korup yang sedang makan-makan bersama di sebuah restoran, hingga kemudian menerima interlokal dari Aceh. Interlokal itu mengabarkan tentang kematian saudara bungsu istri pejabat itu. Setibanya di rumah, di luar kemudian terjadi hujan darah—darah korban kekerasan militer yang dikirim dari Aceh.
Selain tentang tragedi Aceh, profil kehidupan mahasiswa yang lekat dengan simbol reformasi di Indonesia juga tak lepas dari pengamatan cerpenis Kompas. Cerpen Harris Effendi Thahar misalnya, berjudul Darmon, berkisah tentang profil seorang aktivis pergerakan mahasiswa bernama Darmon. Dalam cerita ini digambarkan sosok Darmon yang secara fisik sama sekali tidak necis, bahkan kelihatan tidak intelek, ternyata memiliki kadar pengetahuan dan kepedulian sosial yang cukup tinggi. Seorang pegawai yang kebetulan bertemu dengan Darmon, lantaran Darmon mengantarkan anaknya, terkejut dan kagum dengan kenyataan itu, Diam-diam si pegawai mengidealkan sosok Darmon yang aktivis itu.
Kisah tentang mahasiswa yang tergolong aktivis reformasi ternyata tidak melulu mengantarkan kepada pujian dan perasaan kagum semata. Jujur Prananto melalui cerpennya yang berjudul Seusai Revolusi tampaknya berusaha menampilkan tipe aktivis mahasiswa yang lain dengan apa yang diceritakan Harris Effendi Thahar. Jujur menyajikan paradoks sosok aktivis mahasiswa yang hanya menjadikan isu reformasi sebagai komoditas politik belaka—tidak didasarkan atas kepekaan dan tanggung jawab sosial sebagai mahasiswa. Tokoh bernama Hendaru dalam cerpen ini digambarkan kebingungan ketika mengetahui dana organisasinya—yakni organisasi yang menjadi wadah para aktivis mahasiswa—mulai menipis dan mulai kekurangan untuk kegiatan sehari-hari. Apa yang dilakukan Hendaru di akhir cerpen ini adalah sebuah tindakan yang terkesan paradoks: “menjual” proposal kepada sebuah yayasan internasional untuk sebuah isu buruh yang sebenarnya tidak proporsional. Sebuah sindiran yang sepertinya memang patut direnungkan!
Cerpen-cerpen dalam antologi ini pada umumnya memang banyak memberikan kesaksian atas carut-marut kehidupan Indonesia saat ini yang sedang tertimpa krisis multi-dimensional. Fenomena realitas sosial yang begitu beragam dan bersifat tragis dikemukakan dengan sarana cerpen.
Persoalannya adalah, apakah cerpen cukup mampu memberikan alternatif bagi pembaca untuk menemukan “sesuatu yang lain” yang tidak didapatkan dalam berita di koran atau majalah. Goenawan Mohamad dalam pengantar buku ini mengutip Walter Benjamin yang mengatakan: “setiap pagi membawa kita berita dari seantero bumi, tapi toh kita hampir tak punya cerita-cerita yang layak dicatat.” Apa yang hendak dikemukakan Goenawan dengan kutipan tersebut adalah bahwa sebenarnya cerpen berhadapan dengan realitas sosial memiliki ruang yang cukup lebar untuk menempatkan dirinya, yakni untuk mengendapkan makna berbagai peristiwa dalam suatu formulasi kisah yang menawan. Seorang penyair, dengan demikian, bergelut dengan berbagai peristiwa faktual untuk kemudian mengantarkan pembaca kepada suatu penghayatan atas fakta melalui makna peristiwa yang bersifat dalam.
Peran bahasa yang menjadi elemen penting dalam bercerita tentu saja sangat penting. Karena itu, menurut Goenawan, penjelajahan terhadap potensi-potensi bahasa seharusnya dijadikan prioritas utama dalam penulisan cerpen. Kritik Goenawan terhadap cerpen-cerpen yang termuat dalam antologi ini adalah keterikatannya terhadap realitas faktual yang terlalu besar sehingga memiskinkan kreativitas penulisnya untuk bermain-main dengan dunia bahasa secara lebih maksimal.
Beberapa cerpen dalam antologi ini yang mengambil latar kehidupan sosial-politik di Indonesia memang mengalami dilema tersebut di atas. Ketika cerpen ditulis, dan ada tuntutan agar cerpen itu memberikan pesan tertentu kepada pembaca, maka ketika itu cerpen menjadi “kuda tungganggan” gagasan atau pesan yang henak disampaikan itu. Karena itu, tak heran bila dalam pengamatan Goenawan beberapa cerpenis Kompas dalam antologi ini terjebak dalam persoalan ini. Terlepas dari hal itu, pembaca tentu dapat memberikan penilaian tersendiri terhadap kualitas cerpen-cerpen dalam antologi ini.
Kumpulan cerpen Kompas tahun 2000 ini berisi 16 cerpen pilihan yang ditulis oleh cerpenis-cerpenis terkemuka: Motinggo Busye, Herlino Soleman, Hamsad Rangkuti, Umar Kayam, Prasetyohadi, Harris Effendi Thahar, Ratna Indraswari Ibrahim, Yanusa Nugroho, Abel Tasman, Jujur Prananto, Seno Gumira Ajidarma, Arie MP Tamba, Bre Redana, Nenden Lilis A, A.A., Navis, dan Gus tf Sakai.
Pada umumnya, cerpen-cerpen dalam antologi ini memang seperti memberi kesaksian atas dinamika kehidupan Indonesia saat ini. Selain potret kehidupan demokrasi yang kental dengan suasana politis, seperti dalam cerpen Dua Tengkorak Kepala, Telepon dari Aceh, Darmon, atau Seusai Revolusi, cerpen berjudul Usaha Beras Jrangking karya Prasetyohadi, Bulan Angka 11 karya Arie MP Tamba, atau Metropolitan Sakai karya Abel Tasman berusaha menampilkan berbagai gejolak perubahan sosial yang terjadi di tanah air.
Cerpen-cerpen dalam antologi ini memang layak diapresiasi bersama. Setidaknya, ada tiga alasan yang dapat dikemukakan. Pertama, antologi ini dapat dijadikan sebagai tolok ukur perkembangan “sastra koran” yang marak dalam kehidupan kesusastraan di tanah air. Kedua, cerpen-cerpen dalam antologi ini dapat dilihat sebagai sebuah cara pandang para sastrawan Indonesia berhadapan dengan realitas sosial-politik di negerinya. Ketiga, secara umum dapat dikatakan bahwa cerpen berusaha mengail gagasan dan pesan dari realitas sosial melalui realitas tekstual yang ia bangun. Pada gilirannya, kepada pembaca, cerpen akhirnya menyajikan semacam pengalaman tekstual yang bersifat alternatif berhadapan dengan realitas faktual di masyarakat.
Tulisan ini dimuat di Harian Kompas, 29 Oktober 2000.