Tampilkan postingan dengan label Book Review: Philosophy. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Book Review: Philosophy. Tampilkan semua postingan

Jumat, 31 Januari 2025

Bersandar pada Refleksi Moral

Judul buku: Prinsip-Prinsip Etika: Landasan Teori untuk Memecahkan Kasus-Kasus Dilema Moral
Penulis: Haryatmoko
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Cetakan: Pertama, 2024
Tebal: xvi + 182

Dalam menghadapi arus kehidupan yang membuat orang terombang-ambing, pada akhirnya manusia membutuhkan pegangan untuk memandunya mengambil keputusan. Bagi sebagian besar kalangan, moralitas diyakini dapat berperan membantu memberikan panduan.

Moralitas itu sendiri dapat digali dari beragam sumber. Agama, misalnya, mengajarkan norma-norma moral. Namun berbagai sumber moral yang melahirkan norma-norma moral itu tidak serta merta bisa langsung dijadikan panduan praktis saat situasinya masuk pada hal yang bersifat dilematis. Dilema moral membutuhkan pendekatan yang berbeda yang tak cukup dari hal yang semata bersifat normatif.

Pada titik inilah dibutuhkan refleksi filosofis tentang moral yang dalam ranah filsafat akrab dikenal dengan istilah “etika”. Dalam pengertian ini, etika bersifat lebih terbuka dan reflektif, tak seperti moral yang cenderung normatif atau imperatif.

Buku ini membahas beberapa tema yang termasuk prinsip-prinsip etika. Dalam lima bab, Haryatmoko, penulis buku ini, menjelaskan aspek praktis dari beberapa teori etika untuk menjadi kerangka pandang dalam menjawab persoalan nyata sehari-hari. Dari sini, sudah jelas terlihat kelebihan buku ini: bahwa buku ini tidak ingin menjadi buku yang membahas filsafat moral (etika) pada tataran yang abstrak saja, tapi juga mengangkat masalah-masalah nyata, khususnya juga dalam konteks Indonesia.

Selain bab pertama yang memberi pengantar umum tentang apa itu etika dan ruang lingkup dasarnya, empat bab berikutnya dari buku ini membahas beberapa tema pokok etika, yakni perkembangan kesadaran moral menurut Lawrence Kohlberg, aliran deontologi Immanuel Kant, etika keutamaan Aristoteles dan MacIntyre, utilitarianisme Jeremy Bentham dan John Stuart Mill, etika proporsionalisme Richard MacCormick, etika altruis Emmanuel Levinas, dan etika komunikasi digital.

Saat menguraikan pemikiran Kohlberg yang sudah menjadi klasik, uraian dalam buku ini saya lihat mengungguli buku-buku lain dalam bahasa Indonesia yang membahas tema serupa. Buku-buku lainnya misalnya lebih banyak mencukupkan pada uraian pemikiran Kohlberg dengan beberapa kasus yang ditelitinya.

Buku Fahruddin Faiz yang berjudul Filsafat Moral (Mizan, 2024) misalnya secara cukup jernih menguraikan pemikiran Kohlberg tersebut dalam sekitar 30 halaman, seperti juga Haryatmoko menghabiskan jumlah halaman yang sama dalam memaparkan Kohlberg. Bedanya, Haryatmoko dalam buku ini memberi contoh yang cukup detail pada setiap tahapan dalam konteks kehidupan sehari-hari di Indonesia, termasuk juga bentuk-bentuk latihan untuk mencapai tahapan moral tertentu.

Buku Franz Magnis-Suseno berjudul 12 Tokoh Etika Abad ke-20 (Kanisius, 2000) juga menyediakan satu bab untuk menguraikan pemikiran Kohlberg tapi tidak melampaui keluasan uraian yang disajikan oleh Haryatmoko dalam buku ini.

Dengan demikian, aspek terapan dalam buku Haryatmoko ini menjadi sangat terlihat jelas, meski Haryatmoko sama sekali tidak menyinggung salah satu subdisiplin filsafat moral yang dalam lima puluh tahun terakhir ini juga berkembang pesat, yakni etika terapan (applied ethics). Pendekatan yang bersifat terapan dalam membahas tema-tema etika dalam buku ini juga terlihat pada uraian tentang utilitarianisme. Pada bagian ini, Haryatmoko mengangkat contoh dilema dan masalah moral dalam kasus konflik antara nelayan dan perusahaan minyak yang juga melibatkan otoritas pemerintah (hlm. 100-104). Pada contoh ini, Haryatmoko menguraikan cara utilitarianisme membuat perhitungan yang cenderung kuantitatif untuk sampai pada kesimpulan dan keputusan tindakan tertentu yang dianggap paling bermoral.

Selain tema-tema klasik dalam filsafat moral seperti pemikiran Kohlberg dan utilitarianisme tersebut, Haryatmoko juga membahas tema kekinian di bab terakhir, yakni tentang komunikasi digital. Aspek teoretis-konseptual pada bagian ini memang tidak sekental bagian-bagian sebelumnya. Namun tampak jelas bahwa Haryatmoko berusaha mengupas masalah-masalah moral dalam konteks dunia digital saat ini dengan cara yang cermat dan pendekatan yang cukup filosofis.

Sejak awal membaca buku ini, mulai dari bagian pengantar, ada kesan bahwa buku ini disusun sebagai bahan ajar untuk perkuliahan tertentu. Namun sayangnya, jika dibaca dengan lebih teliti, ada beberapa hal dalam buku ini yang sebenarnya masih bisa diperbaiki. Dalam kata pengantar, saya menemukan penulisan huruf kapital yang rasanya keliru, ketika kata “Penulis” di tengah kalimat beberapa kali diawali dengan huruf kapital. Salah ketik saya temukan di halaman 78, paragraf kedua. Sementara itu, gaya bertutur buku ini terkesan seperti gaya berbicara.

Selain itu, ada hal yang cukup substansial yang mengganggu saat saya membaca uraian tentang pemikiran Kohlberg. Meski Haryatmoko menunjukkan keberaniannya untuk mengangkat contoh yang mungkin cukup kontroversial, seperti LGBT (hlm. 38), namun saya cukup kecewa karena pada bagian ini dia tidak menyinggung kritik terhadap pemikiran Kohlberg yang juga sudah cukup terkenal, yakni yang dilontarkan oleh Carol Gilligan dalam buku In a Different Voice: Psychological Theory and Women’s Development (1982) yang versi bahasa Indonesianya diterjemahkan oleh A. Sonny Keraf (1997). Suara kritis dalam menilai teori Kohlberg tersebut menurut saya mestinya penting dijelaskan, agar pembaca bisa melihat lebih detail dinamika pemikiran diskursus etika secara lebih kaya.

Terlepas dari beberapa kekurangan di atas, buku yang ditulis oleh Romo Moko—panggilan akrab Haryatmoko—ini sangatlah berharga untuk memperluas diskursus moralitas dengan pendekatan filosofis tetapi bernuansa terapan dan praktis. Pendekatan yang cukup praktis ini membuat buku ini relatif lebih mudah diakses pembaca yang lebih luas, tak hanya peminat filsafat. Lebih jauh, harapannya nanti akan terbit buku-buku lain bertema filsafat moral yang bersifat populer dan praktis yang mungkin akan berguna untuk dijadikan sandaran menjalani kehidupan yang lebih baik.

Read More..

Rabu, 29 Januari 2025

Moralitas dan Strategi Berpikir Jernih

Judul buku: The Art of Clear Thinking: Siasat Menghadapi Sesat Pikir
Penulis: Patrick King
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Cetakan: Pertama, 2024
Tebal: vi + 156 halaman

Apakah berpikir masih menjadi isu yang penting di tengah makin berkembangnya berbagai bentuk perkakas kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) yang semakin mudah diakses belakangan ini? Apakah keterampilan berpikir masih perlu terus diupayakan dan dikembangkan serta perlu diperkuat dalam agenda kependidikan dan kebudayaan kita?

Jika berpikir dianggap penting, lalu pertanyaan berikutnya: berpikir yang bagaimana yang bernilai penting bagi kita khususnya di era AI saat ini? Patrick King, penulis buku The Art of Clear Thinking ini, mengemukakan bahwa ada banyak bentuk kegiatan berpikir. Ada berpikir cepat, berpikir reaksioner, berpikir sederhana, berpikir rumit, dan sebagainya. Apakah semuanya penting untuk mendapatkan perhatian?

Menurut King, di tengah banjir informasi yang kian tak terbendung, yang kita perlukan saat ini adalah berpikir jernih (clear thinking). Otak kita secara naluriah cenderung untuk berpikir cepat, mengabaikan akurasi yang sebenarnya bernilai lebih penting daripada kecepatan, sehingga akhirnya kita terjatuh pada sesat pikir. Berpikir jernih kurang lebih serupa dengan apa yang selama ini sering juga disebut dengan berpikir kritis (critical thinking). Dalam pengertian yang paling sederhana, berpikir jernih adalah berpikir untuk menemukan kebenaran objektif.

Dengan pengertian ini, berpikir jernih berarti upaya untuk keluar dari jebakan subjektivitas dan menempatkan bukti, fakta, data, dan argumen sebagai pedoman dalam mencapai kesimpulan. Dalam buku ini, King membahasakan subjektivitas dengan istilah “ego”, sebuah istilah yang juga sudah cukup populer.

Dalam empat bab, King memaparkan seni berpikir jernih dengan gaya bertutur yang lincah dan mudah dicerna. Pada bab pertama, King memulai dengan pentingnya kejujuran intelektual untuk meraih pikiran yang jernih. Untuk melawan godaan ego (subjektivitas), sangatlah penting untuk berkomitmen pada kejujuran. King menggambarkan ego sebagai wujud alamiah dari sistem pertahanan pada diri subjektif sehingga wajar bila ia sering tidak disadari. Cara berpikir ego-subjektif dapat berupa penyangkalan atau rasionalisasi (akal-akalan atau cari-cari alasan dan pembenaran).

Komitmen pada kejujuran diharapkan dapat merobohkan pertahanan ego-subjektif dalam berbagai bentuknya. Kejujuran intelektual, tulis King, adalah “komitmen untuk menemukan kebenaran, secara utuh, tanpa syarat, apa pun risikonya” (hlm. 13). Kejujuran intelektual menjaga proses berpikir dari bias, prasangka, dan juga emosi. King menguraikan bentuk-bentuk ketidakjujuran intelektual secara cukup teperinci agar komitmen pada kejujuran dapat menemukan jalan strateginya saat beraksi dalam kegiatan berpikir (hlm. 18-24). Misalnya, King menerangkan tiga penghalang umum untuk berpikir jujur, yakni kemalasan intelektual, ketidaktahuan yang disengaja, dan ketidakmampuan bersikap kritis dalam menghadapi otoritas kebenaran tertentu.

Pada bab yang kedua King berfokus pada bentuk-bentuk penghalang subjektif. Bab kedua diberi judul “(Jangan) Percayai Insting Anda”. Serupa dengan insting yang dibiarkan apa adanya serta tidak disikapi secara kritis, ada empat hal yang dapat meneguhkan subjektivitas kita dalam berpikir, yaitu perasaan, perspektif, persepsi, dan ingatan. Dalam proses berpikir, keempat hal ini menurut King haruslah ditempatkan secara proporsional.

Perasaan atau emosi bukanlah fakta. Realitas itu netral, tapi emosi akan “membuat Anda memandangnya dalam cara tertentu” (hlm. 41). Bila dikuasai emosi, itulah saat yang tepat untuk segera mengambil jarak dalam melihat kenyataan dan mencoba berpikir dengan jernih. Sedangkan persepsi sering menjebak kita pada bias tertentu, entah itu bias ketersediaan, bias rasionalisasi agar tidak merasa menyesal, dan sebagainya (hlm. 52-55).

King menawarkan beberapa strategi untuk menghindar dari bias-bias semacam ini, yakni strategi mencari penjelasan alternatif, mengubah pernyataan menjadi pertanyaan, dan menantang asumsi-asumsi yang tersembunyi. Secara umum, King menekankan bahwa tameng berpikir jernih agar tidak tercebur pada subjektivitas di antaranya adalah memahami hukum-hukum dasar logika. Sebagai sebuah ilmu yang membahas tentang cara kerja pikiran, logika diperlukan agar pikiran tidak terseret godaan subjektivitas. Dalam buku ini, King membahas beberapa hukum dasar logika sebagai contoh cara logika menghalangi kuasa subjektivitas (hlm. 65-72).

Pada bab ketiga, King membahas tentang pikiran terbuka. Untuk dapat berpikir dengan jernih, kita memerlukan pikiran yang terbuka. Berpikiran terbuka berarti kesediaan kita untuk mendengarkan bukti dan argumen dan tidak terburu-buru membuat penilaian instan. King juga mengingatkan bahwa pikiran kita kadang dipengaruhi oleh dimensi sosial atau hal-hal di sekitar kita. Pada bagian ini, King membahas bias konformitas yang merupakan temuan riset Solomon Asch dan psikologi kepatuhan dari Stanley Migram (hlm. 100-106). Dua teori ini kurang lebih menjelaskan bahwa kita terkadang tidak berpikir jernih karena ikut-ikutan, takut dipandang berbeda, dan lari dari tanggung jawab. Semua itu kemudian menyeret kita menjauh dari fakta dan kebenaran.

Di bab terakhir, King mengajak pembaca untuk belajar berpikir jernih dari para pemikir besar dalam sejarah. Pada bagian ini, King menghadirkan lima tokoh lintas-masa, yakni Elon Musk, Charles Darwin, Rene Descartes, Albert Einstein, dan Sokrates. Kelima tokoh ini mewakili keragaman kontribusi mereka dalam mengembangkan model berpikir yang selaras dengan cita-cita berpikir jernih.

Keterampilan berpikir jernih dibutuhkan oleh siapa saja. Profesi apapun, semua membutuhkan landasan pikiran yang jernih. Bahkan, menjalani keseharian pun membutuhkan pikiran jernih. Pikiran yang jernih dapat menuntun pada informasi yang benar dan keputusan tindakan yang tepat. Banjir informasi cenderung membawa sampah yang dapat ikut menggenangi pikiran. Itu harus disingkirkan—di antaranya dengan keterampilan berpikir jernih.

Dalam buku ini King tidak saja membagikan kiat-kiat atau strategi berpikir jernih. Teknik dan strategi dijelaskan dengan contoh-contoh yang membuatnya semakin terang. Lebih jauh, King juga memberi fondasi berpikir jernih pada aras moralitas. Moralitas di sini dalam arti sikap batin, yakni sikap batin yang dibutuhkan dalam mencari kebenaran. Secara eksplisit, King meletakkan moralitas berpikir yang paling mendasar pada bab pertama, yakni kejujuran intelektual. Pada bagian-bagian berikutnya, eksplisit dan juga implisit, King juga menekankan pentingnya sikap rendah hati dalam membaca pandangan orang lain.

King juga berbicara tentang risiko dari pencarian atas kebenaran, yang itu berarti bahwa pencarian kebenaran membutuhkan keberanian. Kita tahu, kebenaran kadang mengantarkan kita pada risiko yang pahit yang terkadang disangkal oleh orang-orang yang masih terkurung dalam subjektivitas egoistis

Buku ini tergolong bacaan populer dalam mempertajam keterampilan berpikir. Kalau Anda membaca buku-buku teks logika formal, Anda mungkin saja akan merasa bosan dan perlu mengerutkan dahi. Buku ini tersaji untuk pembaca umum, tidak saja untuk mahasiswa yang sedang mengambil mata kuliah “Logika Dasar”. Buku-buku populer tentang keterampilan berpikir seperti ini sangat penting dan berharga terutama untuk konteks sekarang, saat informasi semakin berlimpah dan kecenderungan manusia yang terobsesi pada kecepatan dan mengabaikan akurasi yang merupakan dasar bagi kebenaran.

Meski saat membaca buku ini saya tidak menggunakan “mode editor”, saya dapat simpulkan bahwa penyuntingan buku ini cukup bagus. Salah ketik hanya saya temukan di halaman 111 paragraf kedua, baris kedua. Sedangkan terkait soal substansi, saya agak terganggu pada bab keempat saat King memasukkan Elon Musk dalam daftar tokoh yang dianggap “pemikir terhebat dalam sejarah” dalam hal “metode berpikir” (hlm. 109).

Empat tokoh lainnya tak ada masalah. Sokrates jelas dalam sejarah filsafat Barat diakui sebagai filsuf yang memelopori metode berfilsafat. Descartes dipandang sebagai pelopor filsafat modern yang kontribusinya tak diragukan dan jelas jejak pemikiran dan gagasannya. Einstein dan Darwin juga mempunyai jejak rekam gagasan yang jelas dan pengaruh yang signifikan khususnya dalam bidang sains. Tapi Musk? Metode berpikir? Rasanya lebih ke hal teknis-strategis dalam hal inovasi dan pengembangan bisnisnya. Sesuatu yang relatif cukup sempit. Dan lagi, kejelasan, kedalaman, dan pengaruh strateginya belum cukup teruji. Belum lagi jika Musk dilihat dari sisi kontroversialnya dalam konteks politik di Amerika saat ini untuk mencermati seberapa jernih dia berpikir untuk masalah-masalah yang diamati, dikomentari, dan disikapinya.

Selain itu, hal yang juga cukup mengganggu saya adalah saat King membahas tentang penyimpulan langsung dengan cara konversi (hlm. 69-70). Dalam disiplin logika, konversi adalah menarik kesimpulan dengan membalikkan atau menukar term subjek dan predikat. Namun, dalam logika, prosesnya tidak berhenti di situ. Ada norma bahwa jika proposisi universal afirmatif dikonversi, maka kesimpulannya harus berbentuk partikular afirmatif. King mengabaikan hal itu, dan menyatakan bahwa penyimpulan konversi ini membuahkan argumen yang cacat.

Namun demikian, saya percaya bahwa pembaca yang sejak awal berusaha membaca buku ini dengan jernih tak akan dengan mudah menerima poin-poin gagasan dalam buku ini begitu saja. Pembaca yang menerapkan mode membaca dengan seni berpikir jernih mungkin akan cukup mampu untuk menyaring serpihan-serpihan gagasan dalam buku ini yang bisa saja sebenarnya masih perlu dibersihkan dari bentuk-bentuk bias atau bahkan mungkin sesat pikir.

Wallahu a’lam.


Read More..

Minggu, 15 Juli 2018

Seni Hidup Berorientasi “Menjadi”


Judul buku: The Art of Living: Hidup Antara Memiliki dan Menjadi
Judul asli: The Essential Fromm (editor: Rainer Funk)
Penulis: Erich Fromm
Penerjemah: FX Dono Sunardi
Penerbit: Baca, Tangerang Selatan
Cetakan: Pertama, Maret 2018
Tebal: xviii + 240 halaman
ISBN: 978-602-6486-14-1


Modernitas dengan semua perangkat pendukungnya cenderung mendorong manusia untuk hidup dengan menumpuk kepemilikan. Identitas dan kesadaran diri pun bahkan kemudian didefinisikan dalam kaitannya dengan sesuatu yang dimiliki.

Hidup dengan orientasi “memiliki” inilah yang oleh Erich Fromm disebut sebagai sumber masalah manusia modern. Keterasingan, keserakahan, dan krisis identitas adalah di antara dampak yang kemudian diderita oleh manusia modern.

Sumber menguatnya orientasi memiliki ini menurut Fromm adalah paradigma ekonomi pasar yang kapitalistik. Menurut paradigma ini, segala sesuatu dilihat sebagai komoditas. Sesuatu itu dipandang dari segi nilai tukar atau nilai jualnya, bukan lagi nilai guna. Yang memprihatinkan, karakter pemasaran ini tak hanya berlaku untuk benda-benda, tapi juga manusia.

Kala manusia dipandang sebagai komoditas, maka muncullah “pasar kepribadian”. Orang-orang, bahkan kemudian juga pranata sosial, berpikir dengan mengarahkan jalan hidupnya pada pembentukan kepribadian yang dibutuhkan pasar. Seorang wiraniaga, guru atau dosen, sekretaris, manajer hotel, dan juga profesi-profesi lainnya, atas dasar kriteria yang dibuat pasar kemudian kebanyakan secara tak sadar mengalami dirinya sebagai komoditas. “Orang tidak lagi menaruh perhatian pada hidup dan kebahagiaannya, tetapi pada bagaimana dia bisa laku dijual,” tulis Fromm.

Orang berburu kesuksesan dengan menyesuaikan diri menurut ukuran pasar. Orang-orang mencari nilai dalam konteks keterjualannya dan berdasarkan pengakuan orang lain (pasar). Inilah sumber penderitaan manusia modern.

Dalam paradigma modus eksistensi memiliki yang ditopang oleh kapitalisme, manusia modern banyak menempuh jalan sesat di berbagai aspek kehidupannya. Manusia modern, misalnya, digiring untuk berpikir bahwa dengan menumpuk barang dia akan dapat meraih kepuasan dan kebahagiaan. Namun konsumerisme yang kompulsif ini hanya menempatkannya dalam lingkaran setan yang tak berkesudahan.

Produksi dibuat bukan lagi untuk konsumsi yang sehat. Karena itu pula, eksploitasi yang sering mengabaikan nilai kemanusiaan dianggap tidak masalah, bahkan didukung oleh perangkat-perangkat sosial.

Demikian pula, dalam memenuhi kebutuhan spiritualnya, manusia di era industrialisme modern terjebak pada berhala-berhala baru. Religiositas yang humanistik yang bertolak dari kebutuhan eksistensial pada kerangka orientasi dan objek devosi sulit sekali mendapat tempat dalam sistem ekonomi pasar. Muncul paganisme baru berupa pemberhalaan manusia. Manusia merasa mahatahu, dan kemudian mengendalikan dan mengeksploitasi alam untuk menegaskan bahwa dirinya mahakuasa dan demi melayani kebutuhan sistem ekonomi pasar.

Saat ini modus eksistensi memiliki telah mewujud sebagai sikap dominan masyarakat dan bahkan telah menjadi karakter sosial. Dorongan untuk bersikap serakah, misalnya, diam-diam terbentuk secara sosial. Sebagai karakter sosial, manusia digerakkan untuk berpikir, bertindak, mengembangkan ambisi, meraih prestasi, merepresi perasaan, dan juga merespons dengan cara tertentu sesuai dengan tuntutan ekonomi pasar.

Dalam situasi ini, untuk meraih modus eksistensi “menjadi”, menurut Fromm dibutuhkan kehendak yang kuat, keberanian, dan juga nalar kritis untuk keluar dari cengkeraman karakter dominan tersebut.

Karakter eksistensi menjadi memberi tempat pada penghayatan makna bahwa hidup adalah sebuah proses dan menekankan pada upaya untuk selalu terhubung dengan dimensi batin manusia. Dengan cara ini, manusia didorong untuk tidak membangun pola relasi menguasai dan mengeksploitasi, tapi relasi yang didasarkan cinta.

Buku ini merupakan kliping pokok-pokok pikiran Fromm yang langsung dipetik dari karya-karyanya dan sumber-sumber lain yang di antaranya belum pernah diterbitkan. Kerja editor buku ini, Rainer Funk, sungguh luar biasa dalam memilah, mensistematisasi, dan menyajikan ide-ide jernih dan kritis Fromm secara runtut dan bernas dengan merujuk pada tulisan-tulisannya.

Buku ini menegaskan bahwa menjalani hidup itu harus dengan bekal sikap kritis. Buku ini memberikan pelajaran secara cukup terfokus tentang model bersikap kritis menjalani hidup di tengah berbagai problem hidup manusia modern yang salah orientasi.

Versi yang sedikit berbeda dari tulisan ini dimuat di Harian Jawa Pos, 15 Juli 2018.

Read More..

Selasa, 25 Juli 2017

Biografi Pemikiran Para Penggugat Kemapanan


Judul buku: Membongkar Rezim Kepastian: Pemikiran Kritis Post-Strukturalis
Penulis: Haryatmoko
Penerbit: Kanisius, Yogyakarta
Cetakan: Pertama, 2016
Tebal: 160 halaman
ISBN: 978-979-21-4561-8


Buku yang ditulis oleh Haryatmoko ini menghimpun pemikiran singkat enam filsuf Prancis dari kelompok post-strukturalis. Mereka adalah para filsuf penggugat kemapanan, yakni Michel Foucault, Pierre Bourdieu, Jean Baudrillard, Paul Ricoeur, Gilles Deleuze, dan Jacques Derrida. Pemikiran mereka merayakan salah satu sisi corak berpikir kefilsafatan, yakni aspek dekonstruktif, yang bekerja dengan mempertanyakan pandangan tertentu yang sifatnya sudah cukup mapan untuk dikritik, digugat, dan dibongkar. Bagi mereka, kemapanan dan kepastian dapat menggiring pada kemandekan dan menghalangi perkembangan.

Michel Foucault dikenal sebagai filsuf yang mengemukakan gagasan tentang relasi kuasa dan pengetahuan. Selama ini, kekuasaan biasanya diidentikkan dengan negara sehingga kekuasaan bersifat terpusat. Menurut Foucault, kekuasaan bersifat menyebar dan produktif. Karena bersifat menyebar, mereka yang terlibat tidaklah sedikit. Hasilnya pun tidak selalu terangkum dalam hal-hal yang bersifat negatif.

Dahulu, kekuasaan sering dikaitkan dengan perang atau aturan dalam bentuk perintah dan larangan. Namun, bagi Foucault, kekuasaan dapat berwujud dalam relasi antara pasien dan klien, tes wawancara di sebuah perusahaan, atau jajak pendapat. Dari relasi-relasi semacam itu, kekuasaan yang beroperasi menghasilkan pengetahuan. Pengetahuan inilah yang kemudian dikembangkan yang pada gilirannya turut berperan dalam pembentukan individu modern. Dari situ, didefinisikanlah hal yang normal dan hal yang tidak normal (hlm. 14-17).

Jika Bourdieu mengungkap sisi narsistik setiap orang demi memperoleh pengakuan sosial, Baudrillard meletakkan fenomena konsumsi manusia modern dalam kerangka “manipulasi tanda”. Manusia modern terjebak dalam rimba tanda yang merupakan reduksi dari realitas. Cara mereka membuat keputusan konsumsi dipandu oleh aturan tanda, baik demi mendukung posisi kelasnya maupun untuk mengafirmasi hidup dan identitas mereka.

Pada titik ini, konsumsi mendorong orang untuk menjadi individualistis. Pemenuhan hasrat pada barang atau jasa konsumsi tertentu lebih ditentukan oleh dorongan pribadi sehingga lambat laun solidaritas kian luntur (hlm. 71).

Sementara itu, Paul Ricoeur membangun konsep hermeneutika yang mulai masuk ke ranah ontologis dengan mencangkokkan hermeneutika pada fenomenologi. Ricoeur menawarkan cara baca baru atas teks yang di antara kategori hermeneutikanya mendorong pembaca untuk melakukan pengambilan jarak terhadap diri sendiri dalam proses pemahaman diri (apropriasi).

Secara lebih khusus Ricoeur menawarkan pengambilan jarak dalam bentuk analogi permainan. Bagi Ricoeur, dalam kaitannya dengan hubungan antaragama, pengambilan jarak melalui permainan membuka peluang bagi perjumpaan informal yang dapat melepaskan dari keseriusan hidup dan ketakutan atas sanksi sosial. Dari situ, diharapkan ada pemahaman baru yang lebih segar dengan terbukanya kemungkinan penafsiran yang bersifat kreatif (hlm. 97-102).

Filsuf “pemberontak” lainnya adalah Jacques Derrida yang dikenal dengan metode “dekonstruksi”. Filsuf yang menjadi salah satu ikon penting pemikir post-strukturalis ini mengembangkan metode dekonstruksi untuk membongkar rezim kepastian. Dekonstruksi mencoba menawarkan cara untuk mengungkap kontradiksi dalam politik teks sehingga diperoleh pemahaman atau kesadaran yang lebih tinggi.

Dekonstruksi menyuburkan cara pandang kritis dengan mengungkap selubung ideologis yang hadir secara samar dalam politik bahasa. Penggambaran identitas terkait istilah pribumi dan pendatang serta konstruksi istilah minoritas dan mayoritas, misalnya, secara diam-diam sejak awal sudah bercorak ideologis dan jika digali lebih mendalam menyimpan kontradiksi internal yang cukup kompleks (hlm. 134-135).

Cara berpikir kritis yang coba ditumbuhkan oleh para filsuf yang dihadirkan dalam buku ini sangat penting untuk dipelajari di tengah situasi kehidupan yang diam-diam kadang menghadirkan penindasan terselubung yang bertolak dari cara berpikir yang dogmatis dan kaku.


Versi pendek tulisan ini dimuat di Koran Jakarta, 24 Juli 2017.


Read More..

Minggu, 07 Februari 2016

Upaya Mengatasi Literalisme


Judul buku: Seni Memahami: Hermeneutik dari Schleiermacher Sampai Derrida
Penulis: F. Budi Hardiman
Penerbit: Kanisius, Yogyakarta
Cetakan: Pertama, 2015
Tebal: 344 halaman
ISBN: 978-979-21-4345-4


Dalam salah satu bukunya, Jalaluddin Rakhmat pernah mengungkapkan sebuah penelitian yang menyatakan bahwa 70 persen waktu bangun kita digunakan untuk berkomunikasi. Lalu apa jadinya jika komunikasi yang berlangsung antarmanusia itu justru gagal?

Kegagalan dalam berkomunikasi pada dasarnya merupakan kegagalan untuk memahami. Jika kegagalan itu terjadi pada tingkat perseorangan atau dalam hal-hal biasa mungkin dampaknya tidak akan terlalu terasa. Namun apa jadinya jika kegagalan memahami itu terkait dengan hal-hal penting seperti yang tertuang dalam teks-teks otoritatif, yakni teks yang memiliki kewenangan luas, seperti teks terkait otoritas agama atau otoritas politik?

Buku karya F. Budi Hardiman ini menyajikan pemikiran yang bersifat metodologis tentang seni memahami yang dikemukakan oleh para filsuf hermeneutik modern. Ada delapan filsuf yang disajikan di sini, yakni Schleiermacher, Dilthey, Heidegger, Bultmann, Gadamer, Habermas, Ricoeur, dan Derrida. Kedelapan filsuf ini menyajikan gagasannya tentang apa itu memahami, bagaimana langkah-langkahnya, dan apa saja titik masalah pentingnya.

Istilah “seni” dalam judul buku ini merujuk pada Schleiermacher (w. 1834) yang memaksudkan “seni” di sini sebagai “kepiawaian”. Menurut Schleiermacher, upaya memahami itu ada yang sifatnya spontan dan ada pula yang memerlukan upaya tertentu. Upaya di sini dibutuhkan karena sering kali kita menghadapi situasi yang memuat kesalahpahaman.a

Apalagi dalam konteks kehidupan masyarakat modern yang ditandai dengan kemajemukan. Kesalahpahaman itu menurut Schleiermacher disebabkan oleh prasangka (Vorurteil) saat orang hanya mau menggunakan sudut pandangnya sendiri di hadapan orang lain. Pada titik ini, hermeneutik juga berarti seni mendengarkan, yakni upaya untuk menangkap perspektif orang lain.

Schleiermacher dianggap sebagai pelopor hermeneutik modern karena ia berhasil melepaskan hermeneutik dari disiplin spesifik, seperti teologi, hukum, dan filologi. Sebelumnya, hermeneutik berkembang sebagai bidang khusus.

Hermeneutik Schleiermacher bersifat psikologis karena tujuan utamanya adalah untuk mengungkap dan menghadirkan kembali secara utuh maksud si penulis. Dalam pengertian ini, memahami adalah juga berempati. Namun begitu, Schleiermacher juga menekankan pentingnya interpretasi gramatis dalam proses memahami yang harus dilakukan serentak dengan interpretasi psikologis.

Jika Schleiermacher berhasil membangun dasar bagi hermeneutik universal, Dilthey (w. 1911) meletakkan hermeneutik sebagai salah satu metode ilmiah, khususnya bagi ilmu sosial-kemanusiaan. Dilthey menerobos dominasi positivisme dengan menyatakan bahwa ilmu sosial-kemanusiaan memerlukan metode yang berbeda dengan ilmu-ilmu alam, yakni hermeneutik. Menurut Dilthey, dalam ilmu sosial-kemanusiaan, kita mendekati objek dengan melibatkan diri untuk memahami makna, bukan dengan cara berjarak sebagaimana dalam menghadapi objek ilmu-ilmu alam.

Jika dalam pemikiran Schleiermacher dan Dilthey memahami berada di ranah kognitif, Heidegger (w. 1976) membawa hermeneutik ke wilayah ontologi. Menurutnya, memahami adalah cara Dasein (manusia) bereksistensi. Ia terkait dengan “kemampuan seseorang dalam menangkap kemungkinan-kemungkinannya sendiri untuk berada”. Sebelum masuk dalam wilayah kognitif, ada pra-struktur memahami yang akan mengarahkan proses memahami seseorang.

Sementara itu, Habermas (l. 1929) memberi misi emansipatoris dalam tindakan memahami. Habermas memfokuskan pembahasannya pada teks abnormal, yakni jenis teks yang sebenarnya bahkan tidak bisa dipahami oleh si pembuat teks. Teks abnormal ditemukan dalam kasus psikopatologis dan perilaku kolektif hasil indoktrinasi. Kedua kasus ini merupakan hasil dari bentuk “komunikasi yang terdistorsi secara sistematis”. Karena itu, hermeneutik kritis berupaya untuk membebaskan subjek agar ia dapat meraih otonominya.

Derrida (w. 2004) membawa tindakan pemahaman dalam situasi radikal. Dengan metode dekonstruksi, Derrida menghidupkan perspektif yang berubah-ubah sehingga makna suatu teks tak pernah dapat distabilkan dan diguncang dari dalam.

Sisi menarik gagasan yang diuraikan dengan sangat bernas di buku ini terletak pada kerangka yang dibuat oleh penulisnya yang merupakan dosen di STF Driyarkara, Jakarta. Menurut Budi Hardiman, berbagai pemikiran hermeneutik dari para filsuf ini adalah sebuah upaya untuk mengatasi literalisme. Pemaknaan literal atas teks-teks otoritatif dapat mendorong lahirnya praktik radikalisme dan ekstremisme agama maupun juga sikap antidemokratis dalam politik.

Budi Hardiman mengutip Karen Armstrong yang memberi contoh penafsiran literal kaum Yahudi. Orang Yahudi berpendapat bahwa Allah telah menjanjikan Kanaan (Israel modern) untuk mereka sehingga kebijakan opresif atas orang Palestina memperoleh pembenaran.

Problem penafsiran literal dalam agama juga dijumpai dalam Kristen dan Islam. Kaum literalis berpegang pada asumsi bahwa teks suci membawa kebenaran yang sifatnya siap pakai dan tak perlu dipahami dengan cara lain yang mungkin rumit. Literalisme percaya bahwa makna harfiah sifatnya final, sedangkan hermeneutik berupaya untuk melihat teks dalam model intertekstual dan mempertimbangkan berbagai faktor lain dalam teks dan di luar teks secara lebih luas.

Pemikiran hermeneutik yang disajikan buku ini menarik dan bermakna penting karena pada tingkat mendasar tindakan memahami adalah upaya untuk menjangkau orang lain dan merawat hubungan antarmanusia yang lebih bermartabat dan lebih baik. Dengan demikian, buku ini adalah tentang kehendak untuk menjalin hubungan etis dengan orang lain.

Memang, posisi metodologis hermeneutik dalam kajian agama masih diperdebatkan karena ia dianggap bersumber dari perspektif sekuler. Namun demikian, dalam kaitannya dengan teks keagamaan, pemikiran hermeneutik yang tersaji di buku ini bagaimanapun dapat membantu memperkaya dan mempertajam misi profetis agama sekaligus menjaganya dari penyimpangan akibat godaan kekuasaan dan bentuk penyelewengan lainnya.


Versi yang sedikit berbeda dimuat di Harian Jawa Pos, 7 Februari 2016, dengan judul "Sebuah Seni Mendengarkan Orang Lain."


Read More..

Minggu, 27 Desember 2015

Jurus Ampuh Menyingkir dari Sesat Pikir


Judul buku: Kitab Anti Bodoh: Terampil Berpikir Benar Terhindar dari Cacat Logika dan Sesat Pikir
Penulis: Bo Bennett, Ph.D.
Penerbit: Serambi, Jakarta
Cetakan: Pertama, September 2015
Tebal: 380 halaman


Kemampuan untuk berpikir benar bukanlah pembawaan yang senantiasa dimiliki setiap manusia. Menarik kesimpulan dan berpikir dengan benar adalah keterampilan yang harus dipelajari. Itulah yang dipelajari dalam ilmu logika yang dirintis oleh Aristoteles.

Buku ini adalah buku populer di bidang logika. Bo Bennett, Ph.D., penulisnya, tidak memaparkan istilah-istilah teknis dan cara bernalar menurut ilmu logika. Sebaliknya, Bennett mengambil jalan yang berbeda: ia menunjukkan secara jelas dan menarik berbagai jenis sesat pikir yang biasa dijumpai dalam kehidupan sehari-hari.

Dalam ilmu logika, sesat pikir biasanya dikategorikan dalam tiga kelompok yaitu sesat pikir karena bahasa, sesat pikir formal, dan sesat pikir material. Namun, karena ditujukan untuk pembaca umum, Bennett dalam buku ini langsung saja memaparkan lebih dari 300 bentuk cacat logika atau sesat pikir yang telah dihimpunnya selama bertahun-tahun (hlm. 23). Di setiap uraian bentuk cacat logika atau sesat pikir, Bennett memberinya nama, memberi gambaran singkat, rumus atau bentuknya, contoh, penjelasan, pengecualian, dan juga kiat untuk terhindar dari sesat pikir tersebut.

Sistematika uraian yang seperti ini memang cukup memudahkan pembaca untuk memahami tiap model yang diterangkan. Bahkan bisa terasa mengasyikkan karena contoh yang diangkat cukup sering kita temukan dalam kehidupan sehari-hari.

Cacat logika yang paling populer, termasuk dalam ilmu logika, diistilahkan argumentum ad hominem. Sesat pikir model ini terjadi saat orang tidak menyerang substansi argumen yang dikemukakan, tapi justru menyorot pada orang yang melontarkan argumen.

Untuk model ini, Bennett menjelaskannya dalam tiga bentuk. Ada yang dengan cara menistakan pelontar argumen, mengacu pada konflik kepentingan, dan mengaitkan tanpa dasar. Misalnya, ada orang menyebut Pol Pot, pemberontak komunis Kamboja, yang sangat kejam dan menentang agama. Lalu ada yang menghubungkan seseorang, sebutlah ia Dadang, yang juga menentang agama dengan melabelinya sebagai orang yang juga sangat kejam (hlm. 35-40).

Dengan latar pengalaman dan kesarjanaan di bidang pemasaran dan psikologi sosial, Bennett juga menemukan argumen yang cacat di dunia bisnis. Di bidang bisnis, proposisi atau pernyataan banyak dipergunakan untuk membujuk. Misalnya sesat pikir yang disebutnya “mengacu kepada rayuan gombal.” Sering ditemukan dalam iklan kalimat yang menyatakan: “Anda harus membeli mobil ini karena Anda akan terlihat sangat keren dengan mobil ini. Bahkan Anda akan terlihat lebih muda di balik kemudi mobil ini” (hlm. 81).

Tak ada argumen dalam kalimat ini. Si penjual sama sekali tak mengemukakan argumen. Yang ada hanya pendasaran palsu berupa rayuan gombal.

Sesat pikir kadang juga dibangun melalui sikap subjektif berupa keberpihakan yang bersifat apriori. Saat ada sejumlah data yang dapat berstatus sebagai argumen, seseorang kadang menyeleksi bagian tertentu yang sesuai dengan kecenderungan subjektifnya. Ini yang oleh Bennett disebut “perhatian yang pilih-pilih.” Contohnya, saat ada informasi bahwa Indeks Harga Saham Gabungan menguat 200 poin dan rupiah menguat atas dolar Amerika, tetapi harga cabai rawit melambung, seseorang kadang kemudian mengatakan bahwa kondisi ekonomi sedang payah hanya dengan mendasarkan pada harga cabai rawit dan mengabaikan fakta lainnya (hlm. 320).

Ada juga pengelabuan dengan cara menonjolkan prestasi seseorang. Pelontar argumen menyebutkan beberapa keberhasilan yang dicapai seseorang, lalu menggunakannya untuk membenarkan salah satu pendapatnya (hlm. 52).

Memang benar bahwa tidak semua tindakan yang diambil seseorang selalu berdasarkan pada pertimbangan rasional yang ketat. Namun, membiarkan pandangan, keyakinan, tindakan, atau sikap kita berdasar pada argumen sesat pikir bukanlah sesuatu yang lucu.

Buku ini menuntun kita untuk menunjukkan berbagai bentuk sesat pikir di sekitar kita. Dengan mengenali berbagai bentuk sesat pikir dan menyingkirkannya, kita mengembalikan kehormatan diri kita sebagai makhluk otonom yang mampu bernalar.

Di tengah berbagai bentuk perbudakan akali dan bujuk rayu terselubung yang menipu, baik dalam kehidupan sosial, ekonomi, dan juga politik, buku ini adalah bagian dari upaya mendidik masyarakat agar cerdas dan kritis dalam mengambil sikap.


Tulisan ini dimuat di Harian Radar Madura, 27 Desember 2015.

Read More..

Senin, 19 Desember 2005

Simone de Beauvoir dan Etika Pembebasan Perempuan

Judul Buku : Pembebasan Tubuh Perempuan:
Gugatan Etis Simone de Beauvoir terhadap Budaya Patriarkat
Penulis : Shirley Lie
Pengantar : Karlina Supelli
Penerbit : Grasindo, Jakarta
Cetakan : Pertama, 2005
Tebal : xx + 102 halaman



Di kalangan para aktivis gender, Simone de Beauvoir merupakan salah satu tokoh kunci yang pemikirannya tak bisa dilewatkan untuk ditelaah. Magnum opusnya, Le Deuxième Sexe (1949), dicatat sebagai karya klasik yang memberikan uraian cukup komprehensif tentang kondisi (ketertindasan) perempuan dan telah memberikan pengaruh yang cukup signifikan dalam menginspirasi dan memotivasi gerakan-gerakan pembebasan perempuan. Karya klasiknya itu, yang dalam bahasa Inggris berjudul The Second Sex, telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, diterbitkan oleh Pustaka Promethea Yogyakarta (2003).

Buku yang semula adalah tesis di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta ini adalah salah satu dari sedikit karya dalam bahasa Indonesia yang mencoba mensistematisasi dan mengkontekstualkan pemikiran-pemikiran Beauvoir. Gagasan-gagasan Beauvoir yang dapat dikatakan bersifat filosofis dan merupakan kritik pedas terhadap budaya patriarkat yang menindas dalam buku ini diletakkan dalam kerangka praksis-etis pembebasan kaum perempuan. Untuk itu, penulis buku ini, selain mengolah dari The Second Sex, juga banyak mengolah pemikiran filosofis Beauvoir yang tertuang dalam The Ethics of Ambiguity.

Budaya patriarkat memulai riwayat penindasannya terhadap perempuan dengan stigmatisasi negatif terhadap kebertubuhan perempuan. Unsur-unsur biologis pada tubuh perempuan dilekati dengan atribut-atribut patriarkat dengan cara menegaskan bahwa tubuh perempuan adalah hambatan untuk melakukan aktualisasi diri. Perempuan diciutkan semata dalam fungsi biologisnya saja. Dengan cara demikian, tubuh bagi kaum perempuan tak lagi dapat menjadi instrumen untuk melakukan transendensi sehingga perempuan tak dapat memperluas dimensi subjektivitasnya kepada dunia dan lingkungan di sekitarnya. Tubuh yang sudah dilekati nilai-nilai patriarkat ini kemudian dikukuhkan dalam proses sosialisasi serta diinternalisasikan melalui mitos-mitos yang ditebar ke berbagai pranata sosial: keluarga, sekolah, masyarakat, bahkan mungkin juga negara.

Dalam kerangka penjelasan seperti inilah maka perempuan kemudian diposisikan sebagai jenis kelamin kedua (the second sex) dalam struktur masyarakat. Akibatnya, perempuan tak dapat mengolah kebebasan dan identitas kediriannya dalam kegiatan-kegiatan yang positif, konstruktif, dan aktual. Dalam situasi yang demikian ini, pola relasi kaum laki-laki dan perempuan menjadi tak ramah lagi. Kaum laki-laki tak menghendaki adanya ketegangan relasi subjek-objek, sebagaimana dijelaskan oleh filsuf-filsuf eksistensial, dengan menyangkal subjektivitas perempuan dan menjadikannya sebagai pengada lain absolut.

Pada titik inilah pemikiran Beauvoir tentang etika ambiguitas menjadi penting dikemukakan. Dengan etika ambiguitas, Beauvoir menolak sikap yang ingin mengelak dari ketegangan relasi tersebut. Menurut Beauvoir, ketegangan antara “kebutuhan akan orang lain” dan “kekhawatiran dikuasai orang lain” (diobjekkan) merupakan situasi yang harus diterima apa adanya dan ditransendensikan ke dalam situasi yang lebih proporsional dan manusiawi.

Jalan pembebasan kaum perempuan ditempuh dari dua jalur utama, yakni level pemikiran dan praktik. Pada tataran pemikiran, tubuh perempuan harus dibebaskan dari label-label yang ditempelkan oleh budaya patriarkat yang membuatnya tak leluasa melakukan proses transendensi. Selain menempatkan konsep subjek dengan tubuh yang berbeda dan ambigu, Beauvoir juga menyerukan untuk mengubah pola relasi antara kaum laki-laki dan perempuan dari ikatan biologis dan fungsional menjadi ikatan manusawi dan etis, yang terangkum dalam semangat persahabatan dan kemurahan hati.

Di level praktik, Beauvoir mengusulkan pentingnya kemandirian ekonomi sebagai pintu pembuka bagi pembebasan tubuh perempuan, yang akan semakin mantap jika dipadukan dengan perlakuan setara terhadap perempuan di ranah sosial, budaya, dan politik, yang dicapai melalui revolusi sosial.

Selain melakukan sistematisasi, buku ini cukup berhasil melakukan kritik dan kontekstualisasi pemikiran-pemikiran Beauvoir dalam konteks problem-problem kekinian perempuan di era globalisasi. Di beberapa bagian, misalnya, menurut penulis buku ini, Beauvoir kadang terlihat terlalu menyederhanakan persoalan situasi perempuan dan tidak mengakomodasi kompleksitas situasi penindasan perempuan yang cukup rumit. Di akhir bagian, penulis buku ini menambahkan bahwa selain ancaman nilai-nilai patriarkat sebagaimana tampak jelas dalam pemikiran Beauvoir, perempuan kini juga ditantang oleh kekuatan pasar bebas yang untuk beberapa hal tak jauh berbeda dengan kultur patriarkat dalam soal menyempitkan ruang perempuan ke dalam kategori objek belaka, di tengah kegamangan kaum perempuan untuk terjun ke dalam ketegangan dan sifat dasar kebebasannya.

Karya ini cukup berhasil menyajikan pemikiran-pemikiran filosofis Simone de Beauvoir tentang praksis etis pembebasan perempuan dalam bahasa dan uraian yang cukup mudah dicerna tanpa harus kehilangan segi kedalaman kajiannya. Buat mereka yang terjun di level gerakan (sosial) pembebasan perempuan, buku ini dapat menyuguhkan peta umum kondisi perempuan dengan berbagai kompleksitas persoalannya, dan buat kaum perempuan sebagai individu, Beauvoir melalui karya ini memberikan semangat dan seruan untuk hidup lebih autentik dan hidup dengan menggali identitas dan kebebasannya.

* Tulisan ini dimuat di Jurnal Perempuan edisi 45, Januari 2006


Read More..

Jumat, 26 Agustus 2005

Derrida, Dekonstruksi, dan Ironi Kebenaran

Judul Buku : Derrida
Penulis : Muhammad Al-Fayyadl
Pengantar : Goenawan Mohamad
Penerbit : LKiS
Cetakan : Pertama, Agustus 2005
Tebal : xxx + 244 halaman

9 Oktober 2004, seorang filsuf terkemuka dari Prancis meninggalkan kita semua. Namanya telah begitu mendunia: Jacques Derrida. Salah satu konsep kunci yang diperkenalkannya ke dalam khazanah filsafat, “dekonstruksi”, telah begitu sering dikutip dalam berbagai forum dan media oleh berbagai kalangan, terutama untuk menggambarkan semangat perlawanan dan sikap anti-kemapanan. Dekonstruksi juga diyakini sebagai semacam jimat pembebasan yang cukup ampuh untuk menghadapi klaim-klaim kebenaran yang dibangun atas dasar arogansi.

Buku ini hadir ke khalayak Indonesia untuk mengundang para pembacanya berbagi kegelisahan dan keprihatinan seperti yang telah digeluti Derrida selama ini, sebagaimana tergambar dalam filsafat dan pemikirannya. Dalam karya ini Derrida hadir sebagai sebuah nama yang merepresentasikan salah satu gugus pemikiran alternatif, di tengah situasi dunia yang cenderung tak menoleransi yang lain, the Other, dan mengarahkan semuanya ke pusaran teleologi modernisme yang tunggal dan seragam.

Di antara simpul-simpul pemikiran Derrida yang mewartakan pembebasan, sikap rendah hati, dan penghargaan atas yang lain itu, terdapat butir-butir pemikiran filosofis yang sebenarnya sangatlah canggih membedah, tajam berargumen, cermat menelisik, dan kadang cukup rumit. Meski demikian, yang menarik dari karya ini adalah bahwa ia dapat bertutur dengan cukup bernas dan mengalir tentang bagaimana Derrida menyampaikan dan membangun argumen menyangkut sejumlah persoalan filosofis yang didiskusikannya itu.

Empat bab dalam buku ini secara berkesinambungan memberikan gambaran yang jernih dan utuh tentang dasar-dasar kritik dan keberatan Derrida atas strukturalisme yang kemudian mengantarkan Derrida pada bangunan filsafat yang dikembangkannya, yang banyak bertumpu pada strategi dekonstruksi, serta tentang bagaimana dekonstruksi itu sendiri membawa pada sejumlah konsekuensi di berbagai wilayah kehidupan.

Garis besar kritik Derrida atas tradisi filsafat Barat berpusat pada serangannya terhadap metafisika kehadiran (logosentrisme) yang begitu dominan. Namun demikian, uraian dalam buku ini tidak secara eksplisit masuk dari term metafisika kehadiran itu, melainkan dimulai dari kritik dan ketidakpuasan Derrida atas strukturalisme, pemikiran yang diilhami oleh Ferdinand de Saussure dan di tahun 1960-an berkembang serta begitu populer di Eropa. Bagi Derrida strukturalisme memang telah membukakan gerbang bagi penjelajahan intelektual yang dilakukannya; strukturalisme adalah pemikiran yang menyingkirkan subjek sebagai pusat wacana dengan menekankan pada aspek struktural bahasa yang lebih bersifat objektif. Sayangnya, menurut Derrida, Saussure dengan strukturalismenya itu tak sepenuhnya berhasil mengelak dari logosentrisme; strukturalisme masih merindukan pusat dan selalu ingin bernostalgia dengan asal usul (origins, arché). Ini terlihat jelas dalam kecenderungan fonosentrisme strukturalisme, yang begitu memuja suara (phōnē), yang menjadi cerminan dari “kehadiran-diri” (self-presence) si penutur.

Melanjutkan strukturalisme yang mengarahkan fokus kupasan ke bahasa, Derrida meradikalkan makna teks, tulisan, dan metafor. Dalam hal ini Derrida menggunakan strategi dekonstruksi untuk melawan kecenderungan fondasionalisme dan pengacuan pada subjek atau asal usul tertentu, dan kemudian menggantikannya dengan intertekstualitas. Dengan dekonstruksi, yang dalam buku ini dijelaskan melalui komentar-komentar kritis Derrida atas filsuf-filsuf terkemuka semisal Nietzsche, Freud, Heidegger, dan Levinas, ditunjukkan bahwa makna sebuah teks selalu tertunda, berada dalam suatu usaha penataan dan khaos tiada henti, dan karena itu tak dapat mencapai titik makna yang utuh dan bulat. Secara positif, dekonstruksi menumbangkan hierarki konseptual yang menstruktur dalam teks dan menghidupkan kekuatan-kekuatan tersembunyi (tekstualitas laten) yang sebelumnya terbungkam.

Dengan demikian, dekonstruksi mengantar kita semua ke dalam suatu penjelajahan makna yang tak terbatas dan tak mencapai titik pungkas. Bukan suatu nihilisme, tetapi semacam parodi, atau ironi, tentang kebenaran, di tengah hasrat berlebih manusia untuk mencapai kepenuhan makna.

Di tengah masih cukup langkanya karya tulis yang mengupas segi-segi pemikiran konseptual yang dituturkan dengan jernih, tajam, dan kontekstual di Indonesia, tak heran jika Goenawan Mohamad memuji karya ini sebagai “sumbangan yang amat berharga dalam khazanah penulisan filsafat dalam bahasa kita”. Fayyadl, penulis buku ini, dengan sangat fasih dan penuh empati membawa kita ke titik-titik penting pemikiran Derrida, untuk bersama-sama terus menyadari betapa wajah kebenaran itu relatif, dan karena itu kita harus selalu rendah hati dalam mengungkapkan setiap nilai kebenaran yang kita temukan.

Read More..

Minggu, 11 Agustus 2002

Mengurai Perselingkuhan Sejarah Ide

Judul Buku: The Archaeology of Knowledge: Menggugat Sejarah Ide
Penulis: Michel Foucault
Penerbit: IRCiSoD, Yogyakarta
Cetakan: Pertama, Mei 2002
Tebal: 306 halaman


Sebagai salah seorang filsuf posmodern, Michel Foucault (1926-1984) dikenal dengan berbagai pemikirannya yang cukup kontroversial. Yang unik dari filsuf yang banyak bekerja dalam ranah sejarah ini adalah tema-tema yang dia pilih, mulai dari sejarah kegilaan, sejarah penjara, rumah sakit, hingga sejarah seksualitas.

Buku yang edisi aslinya terbit pada tahun 1969 ini merupakan refleksi penulisnya atas tiga buku yang telah ditulis sebelumnya, yakni Madness and Civilization, The Birth of the Clinic, dan The Order of Things. Buku ini berusaha memberikan pertanggungjawaban metodologis atas pisau analisis yang digunakan dalam tiga buku tersebut, yakni metode yang disebut analisis arkeologis.

Secara harfiah arkeologi berarti ilmu purbakala, yang mempelajari kehidupan dan kebudayaan zaman kuno berdasarkan benda-benda peninggalan. Di tangan Foucault, arkeologi memang masih menjadi semacam alat gali sejarah yang digunakan untuk menguraikan lintasan sejarah ide-ide sehingga pada akhirnya membentuk suatu sistem pemikiran tertentu. Tetapi, lebih dari itu, di tangan Foucault arkeologi menjadi senjata yang cukup ampuh untuk mendedahkan perselingkuhan rezim-kebenaran-yang-nyaris-tidak-kehilangan-legitimasi-ilmiahnya.

Sebagai sebuah perangkat penelitian yang berkaitan erat dengan sejarah, ada filosofi mendasar yang unik dan jauh berbeda dengan pandangan sejarah konvensional. Dalam konteks analisis arkeologis ini, Foucault menolak progresivitas sejarah, kontinuitas, dan juga totalisasi subyek sejarah. Kecenderungan penerimaan konsep semacam ini menurut Foucault adalah usaha untuk mengingkari perbedaan-perbedaan yang ada dalam pergolakan masyarakat sepanjang sejarah.

Desentralisasi subyek yang dilakukan Foucault dalam penelitian sejarah arkeologisnya ini lebih memberi tempat pada diskontinuitas yang selanjutnya didudukkan secara positif. Sejarawan tidak perlu menghindari atau bahkan mengingkari diskontinuitas sejarah, karena dari situlah sebenarnya ditemukan bagaimana suatu sistem gugus pemikiran bergeser ke sistem yang lain.

Dengan dasar asumsi seperti tersebut di atas Foucault kemudian lebih tertarik untuk menguraikan regularitas suatu praktik diskursif, aturan-aturan apa saja yang mewadahi suatu praktik wacana sehingga mengarahkan suatu pemikiran. Untuk menjelaskan hal ini Foucault menemukan tiga konsep penting, yaitu positivitas, apriori historis dan arsip. Positivitas adalah ruang lingkup komunikasi di antara para ilmuwan, pengarang, pemikir dan bahkan orang pada umumnya sehingga memungkinkan terjadi dialog-tanpa-terencana-dan-tanpa-disadari antar berbagai pernyataan. Suatu positivitas dimungkinkan oleh suatu aturan main yang disebut apriori historis, yang diandaikan begitu saja dalam suatu diskursus. Semua ini akan menghasilkan sistem pernyataan, sistem pembentukan pernyataan dan sistem transformasi pernyataan yang oleh Foucault disebut arsip.

Dari ketiga dasar konseptual pembentukan suatu wacana itu, Foucault mencatat pentingnya “pernyataan” (statement, enonce) yang menjadi unit elementer setiap gugus diskursif. Dalam praktik penelitian arkeologis, Foucault memang mengabaikan unsur “pengarang” dalam setiap pernyataan. Yang lebih penting bagi Foucault adalah bagaimana fungsi penyampaian suatu pernyataan sehingga membentuk suatu formasi teks menjadi sistem kode yang eksis, saling bertaut, dan akhirnya mengarahkan pada suatu gugus pemikiran tertentu. Berbagai gugus pemikiran ini lambat-laut membentuk titik-titik diskursif dan jalinan inter-referensial yang pada akhirnya mengantarkan kepada suatu corak epistemologis tertentu. Soal siapa yang berbicara dan menyampaikan suatu “pernyataan” menjadi kurang penting, karena yang memberikan titik diskursif suatu “pernyataan” itu bagi Foucault bersifat relatif, dan maka dari itu ruang yang ditempati “pembicara” suatu “pernyataan” ibarat ruang lowong yang dapat diisi oleh siapa saja yang dianggap berkompeten. Dengan pandangan ini, Foucault tidak enggan meneliti data-data sejarah yang selama ini disepelekan, seperti pamflet, surat perjanjian, data pemeriksaan dokter dan sipir penjara, dan sebagainya.

Sistem gagasan memang kadang hadir dengan suatu konspirasi tingkat tinggi yang nyaris tak terlihat. Dengan analisis arkeologisnya ini, Foucault terbukti telah cukup berhasil mengangkat segi-segi bisu dalam sejarah peradaban, subyek-subyek yang dibungkam kehadirannya dan terpinggirkan dalam sejarah. Di sinilah tampak segi penting dari buku ini yang menyajikan suatu perangkat metodologis yang cukup tajam untuk membedah realitas sosial yang timpang. Buku ini tidak saja berhasil menunjukkan kekurangan penelitian sejarah (pemikiran, sosial) yang telah ada, tapi juga cukup berhasil memberi tawaran alternatif berupa proposal metodologis bagi suatu horison pemikiran yang lebih adil dan berimbang.

Tulisan ini dimuat di Koran Tempo, 11 Agustus 2002.

Read More..

Rabu, 19 Juni 2002

Genealogi Rasisme Kelas Menengah Eropa

Judul buku : Tubuh yang Rasis: Telaah Kritis Michel Foucault atas Dasar-Dasar Pembentukan Diri Kelas Menengah Eropa
Penulis : Seno Joko Suyono
Penerbit : Pustaka Pelajar bekerjasama dengan Lanskap Zaman, Yogyakarta
Cetakan : Pertama, April 2002
Tebal : xx + 528 halaman


Dunia saat ini adalah sebuah perkampungan global yang memungkinkan terjadinya interaksi lintas-peradaban. Dalam pergaulan macam itu kadang mendekam sejumlah stereotip-apriori bercorak narsistik yang bila menyeruak ke permukaan dapat mencederai hubungan-hubungan sosial dalam bentuk kekerasan.

Seno Joko Suyono dalam buku ini mengajukan sebuah paparan yang cukup orisinil berkaitan dengan pemikiran Michel Foucault (1926-1984), seorang filsuf postmodern dari Perancis yang keluasan bidang kajiannya merambah dari masalah seks dan kekuasaan, relasi kuasa-pengetahuan, fenomena kegilaan, hingga soal sejarah penjara. Seno mengajukan sebuah tesis menarik, bahwa inti pemikiran Foucault adalah individualisasi, yakni dasar-dasar pembentukan diri masyarakat Eropa modern sehingga mayoritas mereka memiliki sikap-sikap, tindakan-tindakan, dan sentimen tertentu terhadap kelompok masyarakat lain.

Pisau analisis yang digunakan Foucault untuk membedah proses pembentukan individu Eropa modern adalah metode arkeologi dan genealogi. Metode arkeologi diarahkan kepada pencarian episteme setiap zaman, sehingga di antara berbagai cabang ilmu yang ada mengalunkan suatu irama kebenaran yang satu sama lain identik. Metode genealogi beranjak dari sekedar penelitian terhadap formasi diskursif ke medan formasi non-diskursis bercorak institusional semacam rumah sakit, penjara, barak tentara, atau bengkel kerja, yang bertujuan untuk melacak konspirasi kekuasaan yang bermain dalam proses pembentukan tubuh.

Bermodal ketajaman dua pisau analisis tersebut, Foucault mulai menguliti lembar sejarah satu-persatu. Jalan sejarah yang ditempuh Foucault untuk menemukan konstruksi proses individualisasi ini ditempuh melewati kawasan sejarah antagonis, yakni areal-areal sejarah yang sebelumnya dikubur kekuasaan.

Temuan awal Foucault yang dibaca oleh Seno dalam buku ini adalah episteme masyarakat Eropa di awal abad ke-18 yang saat itu tengah beralih dari wacana bahasa ke narasi klinis. Bila sebelumnya berbagai cara kerja ilmu dikuasai logika ilmu bahasa, maka sejak awal abad ke-18 narasi klinis menuntun berbagai disiplin ilmu lain. Ini tidak lepas dari sebuah penemuan revolusioner dalam ilmu kedokteran, ketika ditemukan teknologi otopsi, yang selanjutnya mengubah definisi pasien menjadi lebih sebagai suatu pathological fact, diikuti dengan konsolidasi dasar-dasar rezim disiplin melalui katalogisasi dan klasifikasi simptom, unsur pengawasan dokter terhadap pasien yang begitu ketat, dan penataan ruang arsitektural yang efektif bagi pengawasan. Sejalan dengan itu, muncul impian-impian kesehatan publik kalangan kelas menengah untuk menciptakan sebuah kota yang teratur dan tertata rapi, sehat, dan bersih sesuai dengan cita rasa moral kelas sosial mereka.

Mulailah episteme narasi klinis ini menancapkan gugus-gugus diskursifnya ke berbagai ruang institusional masyarakat. Pencairan epistemologis dari narasi klinis ini pertama kali disambut dengan dikukuhkannya model penghukuman penjara. Para poros inilah proses pembentukan individu Eropa modern melalui prosedur eksternal mulai menapakkan jejaknya. Penjara disebut Foucault sebagai institusi tempat transformasi individu bermatriks klinis karena dalam penjara berkembang jenis penghukuman yang mengarah pada terapi individu ala klinis. Teknologi disiplin berwajah baru ini bekerja baik dengan investigasi biografis atau dengan inspeksi terhadap segenap aktivitas si terhukum. Di sini penjara kemudian memutus kemungkinan pemaknaan kriminalitas sebagai ekspresi pembangkangan politik kalangan bawah terhadap kekuasaan, dengan menonjolkan sisi kriminalitas an sich dan anonimitas unsur politik kekuasaan. Mengikuti pola narasi klinis, penjara memeriksa dengan identitas impersonal, jaringan pendokumentasian dan efek obyektifikasi serta stigmatisasi yang begitu dalam pada tiap individu.

Sementara itu, dari jalur prosedur internal, individu Eropa modern dibentuk dengan definisi baru seksualitas. Di bawah bayang-bayang episteme narasi klinis, seksualitas semata-mata dimaknai dalam konteks pembentukan tubuh yang steril, sehat, disiplin, tunduk, dan berguna. Di sini terjadi penciutan besar-besaran makna seksualitas, tidak seperti etika seksual Yunani Kuno yang menghubungkan seksualitas dengan kemampuan individu untuk mengontrol dan memperimbang berbagai hasrat seksual secara baik dan terukur, sesuai dengan kondisi wajar tubuh masing-masing. Berbagai kontrol seksual dilakukan secara ketat lewat suatu alasan yang berdasar pada suatu basis ‘ilmiah’ yang bersifat klinis. Inilah perselingkuhan antara kekuasaan (pouvoir), pengetahuan (savoir), dan seksualitas (sexualite) untuk menundukkan tubuh, mengendalikan populasi dan demi mencetak sumber daya warga yang sehat.

Dari seluruh uraiannya ini, Foucault lalu menunjukkan proses body-molding techniques yang membentuk individu Eropa modern. Dengan tempaan teknologi disiplin dan implikasi bio-politik tubuh yang begitu kuat, terbit anggapan di kalangan kelas menengah Eropa bahwa tubuh mereka adalah tubuh yang terproteksi, berdayaguna, serta terpelihara dari segala bahaya dan kontak yang tidak perlu. Juga bahwa tubuh mereka memiliki keunggulan heriditas di masa depan. Pada titik inilah, secara tidak sadar, muncul stereotip-stereotip kalangan individu Eropa yang dihadiahkan kepada kelompok masyarakat lain (the other), suatu bentuk rasisme yang menyusup tanpa aksi represif atau kekerasan fisik tapi memiliki impak yang cukup luar biasa.

Perspektif rasisme yang cukup unik dan aneh ini begitu menarik untuk dikaji karena rasisme di sini justru secara diam-diam merasuk lalu dikukuhkan oleh struktur epistemologis masyarakat. Di sinilah kemudian salah satu ujaran Foucault menjadi relevan untuk dikutip: “...Yang saya persoalkan bukanlah bahwa segalanya buruk, melainkan bahwa segala sesuatu itu berbahaya, yang tidak persis sama dengan buruk. Jika segalanya ternyata berbahaya, setidaknya kita selalu memiliki sesuatu untuk dikerjakan.”

Penggalian terhadap pemikiran filsuf yang meninggal karena AIDS ini disampaikan dengan gaya bertutur yang segar dan tak bosan dibaca. Buku utuh yang awalnya adalah skripsi di Fakultas Filsafat UGM ini memang layak dibaca dan dikaji, sehingga dapat memberi inspirasi bagi penelitian lebih lanjut.


Tulisan ini dimuat di Harian Media Indonesia, 16 Juni 2002.


Read More..

Kamis, 18 April 2002

Menggairahkan Wacana Filsafat Islam

Judul Buku: Pengantar Filsafat Islam: Sebuah Pendekatan Tematis
Penulis : Oliver Leaman
Penerbit: Mizan, Bandung
Cetakan: Pertama, September 2001
Tebal: xxiv + 224 halaman

Arus perkembangan tradisi keilmuan di Indonesia memang masih menunjukkan suatu catatan yang kurang menggembirakan. Ditambah lagi dengan krisis multidimensional yang menerpa bangsa Indonesia sehingga semakin memecah konsentrasi seluruh komponen bangsa terhadap pembangunan dasar-dasar tradisi ilmiah dalam tubuh bangsa ini.

Disiplin ilmu filsafat adalah bagian dari bidang kajian ilmu yang selama ini masih betul-betul terbengkalai dan diabaikan. Hal ini terjadi tidak lepas dari masih adanya stigma negatif terhadap ilmu filsafat. Ada yang menganggap filsafat sebagai sesuatu yang tidak berguna, karena berbincang tentang realitas secara terlalu abstrak.

Dalam kerangka pikir membangun dasar peradaban yang rasional, lebih maju, dan menjunjung tradisi ilmiah, maka kehadiran buku Pengantar Filsafat Islam ini menunjukkan maknanya yang signifikan. Buku ini adalah buku pertama yang diterbitkan Mizan yang masuk dalam Seri Filsafat Islam.

Seperti dijelaskan Haidar Bagir dalam pengantar buku ini, penerbitan buku Seri Filsafat Islam ini dimaksudkan agar masyarakat sadar betapa filsafat yang tidak lain adalah sebagai induk pengetahuan dapat berpartisipasi dalam menyelesaikan persoalan-persoalan yang dihadapi bangsa ini. Lebih lanjut Bagir menjelaskan bahwa saat ini sedang terjadi krisis persepsi di tubuh bangsa ini yang menyebabkan komponen-komponen bangsa kehilangan arah menangkap substansi persoalan yang dihadapi bangsa. Ini terbukti dengan sering munculnya pandangan-pandangan yang atomistik, simplifistik, terpecah-pecah, dan superfisial.

Secara lebih spesifik dikatakan oleh Jamaluddin Al-Afghani—seorang intelektual Islam dari Mesir—bahwa kemunduran umat Islam saat ini salah satunya disebabkan karena gagalnya umat Islam menguasai tradisi intelektual dan hikmah (filsafat). Akibatnya, umat Islam hanya menjadi konsumen yang tidak kritis terhadap berbagai produk kebudayaan lain.

* * *
Buku ini adalah buku pengantar yang memperkenalkan pemikiran filsafat Islam secara tematik. Oliver Leaman, penulis buku ini yang merupakan Profesor Filsafat di Liverpool John Moores University, adalah nama yang sudah cukup akrab dalam bidang kajian filsafat Islam. Pendekatan tematik yang dipilih Leaman untuk menguraikan filsafat Islam dalam buku ini dimaksudkan kurang lebih untuk mencapai pemaparan yang komprehensif terhadap persoalan-persoalan filsafati yang digeluti dalam pemikiran filsafat Islam, seperti epistemologi, ontologi, politik, etika, mistisisme, dan filsafat bahasa.

Pada bagian awal buku ini Leaman menelusuri kerangka pikir umat Islam dahulu kala sehingga dapat menerima kontak kebudayaan dengan warisan tradisi filsafat Yunani. Umat Islam secara prinsipil mengakui sifat ajaran Islam yang sudah lengkap, bahkan untuk menghadapi berbagai masalah yang akan muncul di masa mendatang. Akan tetapi, tumbuh kesadaran bahwa ternyata masih begitu banyak informasi teoritik lain yang bersifat netral menurut ukuran agama, yang tidak saja penting untuk diketahui secara luas, tapi juga untuk dikuasai. Sikap seperti ini menurut Leaman dapat tumbuh karena saat itu umat Islam tampil dengan penuh percaya diri dan bisa menghadapi identitas kebudayaan lain dengan tangan terbuka.

Menilik dari sejarah perkembangan awalnya, maka dalam kajian filsafat Islam kemudian banyak ditemukan kontroversi seputar eksistensi filsafat Islam itu sendiri: apakah ia tidak sekedar filsafat Yunani dalam bahasa Arab, dan hanya berperan sebagai penyambung peradaban Yunani. Menyikapi hal ini, dalam uraian bab kedua Leaman menjelaskan bahwa filsafat Islam kebanyakan tumbuh dari rangkaian isu teoritis yang muncul dalam pikiran yang sering bersentuhan langsung dengan perselisihan teologi dan keagamaan. Dalam konteks ini, Al-Qur’an dan Sunnah sebagai sumber pokok ajaran Islam tetap menjadi rujukan, yang pada akhirnya cukup mewarnai corak khas filsafat Islam.

Hal ini akan menjadi lebih jelas misalnya bila masuk ke dalam bidang filsafat yang lebih spesifik, seperti epistemologi. Epistemologi Islam—bila kita sepekat menyebutnya demikian—memiliki pandangan yang khas menyikapi objek ilmu atau pengetahuan. Pengetahuan, dalam kerangka Epistemologi Islam, bukan melulu percobaan bebas-nilai untuk mencerap objek luaran seperti pandangan kaum positivis pada umumnya, tetapi memiliki sisi ibadah yang dijalankan untuk suatu tujuan. Dasar perlakuan terhadap alam sebagai objek pengetahuan adalah asumsi bahwa alam merupakan karya cipta ilahi.

Konsekuensi dari pandangan semacam ini adalah bahwa dalam sistem Epistemologi Islam tidak diakui adanya semangat mencari pengetahuan demi pengetahuan, karena hanya pengetahuan yang bermanfaatlah yang layak dimiliki.

Cara pandang lain yang cukup khas dalam sistem filsafat Islam adalah dalam hal melihat hakikat pengetahuan. Dengan mengacu kepada Kitab Suci Al-Qur’an, dikatakan bahwa ada dua bidang pengetahuan, yakni yang nampak dan yang gaib. Yang nampak ini adalah wilayah dan objek kajian sains, sedang yang gaib adalah wilayah wahyu dan hanya dapat dihampiri melalui potensi hati (qalb) yang ada pada diri manusia.

Kedekatan corak pemikiran filsafat Islam dengan ajaran-ajaran agama (Islam) yang dimilikinya merupakan ciri khas yang cukup jelas. Selain dalam bidang epistemologi, mistisisme Islam juga dapat menunjukkan hal ini. Dalam mistisisme Islam, ada sebuah konsep kunci, yakni tentang manusia sempurna (al-insan al-kamil). Berbeda dengan konsep Ubermensch-nya Nietzsche yang lebih bersifat sekuler, manusia sempurna dalam filsafat Islam adalah sosok yang memperlihatkan semua kualitas kebajikan moral, yang pada gilirannya, melukiskan sifat-sifat Allah pada derajat yang paripurna.

Hal semacam ini juga akan terlihat pada tema-tema yang lain, seperti ontologi, etika, politik, dan sebagainya.

* * *
Kehadiran buku ini, yang merupakan buku pertama dari serangkaian buku-buku seri filsafat Islam lainnya yang diterbitkan oleh Mizan, patut disambut dengan baik. Filsafat Islam adalah bagian dari khazanah keilmuan dari sebuah agama yang melahirkan beragam arus pemikiran. Kelahiran filsafat Islam itu sendiri pada dasarnya adalah bagian dari kemestian sejarah setelah Islam berjumpa dengan berbagai tradisi keilmuan peradaban lain.

Kesadaran sejarah semacam inilah yang dapat menunjukkan pentingnya kajian filsafat pada umumnya bagi kehidupan bangsa Indonesia saat ini. Filsafat selalu berusaha menerbitkan kesadaran untuk menerima berbagai perbedaan pemikiran dengan kepala dingin, tidak emosional, dan berusaha mencari penyelesaian yang rasional dan produktif. Selama ini, bangsa Indonesia telah kehilangan langkah-langkah strategis untuk menyelesaikan konflik dan perbedaan dengan damai. Malah, beragam kekayaan perbedaan yang ada hanya menyumbangkan tindak kekerasan, bukannya memperkaya perspektif.

Bahasa Leaman menyajikan uraiannya cukup enak dibaca, karena memang buku ini ditujukan kepada pembaca awam—bahkan Leaman menulis dengan asumsi bahwa pembaca tidak harus berpegang pada satu agama (Islam).

Terbitnya buku ini pula semakin menunjukkan semangat dan komitmen Penerbit Mizan untuk menjadi mitra bangsa Indonesia menemukan butir-butir perspektif kritis dan bijak yang diabaikan dan berlalu tanpa arti, serta untuk menggairahkan wacana kritis filsafat Islam pada khususnya.

Tulisan ini dimuat di www.attin.org 17 April 2002.

Read More..

Senin, 19 November 2001

Bimbingan Praktis Berfilsafat

Judul buku : Berfilsafat: Sebuah Langkah Awal
Penulis : Mark B. Woodhouse
Penerbit : Kanisius, Yogyakarta
Cetakan : Pertama, 2000
Tebal : 240 halaman (tanpa indeks)


Orang yang mendengar kata ‘filsafat’ akan menanggapi dengan sikap yang bermacam-macam. Seringkali filsafat diasosiasikan dengan sesuatu yang berbau pemberontakan, sehingga kemudian terdengar agak ‘menyeramkan’. Secara keliru, filsafat dihubung-hubungkan dengan sesuatu yang berbau mistik. Sayangnya, berbagai pandangan itu tidak didasarkan pada suatu pengetahuan yang memadai, sehingga ia sebenarnya hanyalah prasangka-prasangka tak berdasar.

Yang lebih mengherankan adalah pandangan yang menganggap aktivitas berfilsafat sebagai sesuatu yang tidak berguna. Filsafat dianggap berbicara tentang sesuatu dengan terlalu abstrak, sehingga seperti mengajak orang melayang tanpa menjejakkan kakinya di bumi. Kesan seperti ini semakin parah karena ungkapan-ungkapan filsafat dianggap terlalu rumit dan absurd.

Buku ini adalah sebuah upaya cerdas penulisnya untuk menepis segala atribut miring yang dilekatkan kepada filsafat itu, terutama anggapan bahwa filsafat tidak bersifat praktis dan terlalu teoritis. Melalui buku ini pembaca yang masih awam filsafat diajak berkenalan dengan filsafat dengan titik tekan pada pembentukan kemampuan praktis berfilsafat—meski mungkin hanya amatiran—tanpa harus banyak meneliti persoalan-persoalan spesifik dalam cabang filsafat tertentu atau pemikiran-pemikiran dalam aliran filsafat yang begitu beragam.

Buku ini terdiri dari tujuh bab dan apindeks tentang sejarah dan pemikiran para filsuf plus glosarium istilah-istilah penting. Dua bab pertama membahas tentang objek pembahasan dan kegunaan filsafat.

Dalam dua bab awal yang menjadi semacam pengantar teoritik terhadap masalah-masalah filsafat ini, Mark B. Woodhouse menjelaskan bahwa permasalahan filsafat mencakup pertanyaan-pertanyaan mengenai makna, kebenaran, dan hubungan logis di antara ide-ide dasar yang tidak dapat dipecahkan oleh ilmu-ilmu empiris (hlm. 15). Filsafat tidak berhubungan secara langsung dengan dunia empiris. Filsafat lebih berkaitan dengan ide-ide mendasar (seperti ide tentang keadilan, kebahagiaan, cinta, dan sebagainya) dengan menekankan kepada makna dan hubungan logis di antara premis-premis yang dibangun, sehingga filsafat selalu berusaha menembus partikularitas fakta empiris (hlm. 25).

Termasuk pula dalam hal ini adalah masalah asumsi-asumsi tersembunyi yang diandaikan dalam setiap pernyataan. Filsafat tidak menghentikan penyelidikannya pada dataran fakta empiris yang dangkal. Pemikiran filsafat selalu berusaha untuk menyeberangi dan melampaui fakta, masuk ke palung samudera hakikat realitas yang tak terjamah ilmu-ilmu khusus. Dengan cara ini, pemahaman terhadap realitas dapat bersifat lebih umum, mendasar, dan mencapai hakikat yang terdalam.

Selain kehendak untuk menemukan kebenaran tertinggi (the ultimate truth) filsafat juga memiliki kegunaan praktis yang lebih jelas. Woodhouse menegaskan bahwa kegiatan berfilsafat dapat membiasakan seseorang untuk bersikap mandiri secara intelektual, lebih toleran terhadap perbedaan sudut pandang, dan semakin membebaskan diri dari dogmatisme (hlm. 47). Memang, hal-hal yang tersebut tidak semata-mata ditemukan hanya dalam aktivitas berfilsafat. Akan tetapi, cara kerja filsafat yang merayakan kebebasan intelektual serta menuntut kesetiaan kepada kekuatan dan keruntutan argumen menjadikan filsafat sebagai alternatif terbaik untuk mencapai maksud tersebut.

Implikasi yang lebih jauh dari kegiatan berfilsafat adalah terbitnya rasa kepekaan terhadap hal-hal yang tak pernah terpikirkan sebelumnya (hlm. 50). Filsafat mengajarkan sikap hati-hati terhadap hal-hal yang dianggap remeh-temeh. Asumsi-asumsi apriori yang dibiarkan menggelantung dalam pikiran dibongkar. Dengan cara pandang ini, tak berlebihan bila beberapa orang memandang filsafat terkesan hendak membongkar tatanan realitas yang telah mapan.

Dalam bab ketiga hingga kelima, Woodhouse sudah mulai mengajak pembaca untuk langsung berfilsafat. Sebelumnya, Woodhouse mengemukakan bahwa dalam berfilsafat ada beberapa langkah persiapan yang harus diperhatikan (hlm. 57). Misalnya, filsafat membutuhkan sikap batin yang khas: keberanian menguji sesuatu secara kritis, kesediaan mengajukan hipotesis sebagai tanggapan awal, tekad untuk menempatkan nilai kebenaran sebagai ukuran, dan kemampuan untuk memisahkan kepribadian seseorang dari materi yang dibicarakan. Berfilsafat juga mesti dikembangkan melalui praktik. Karena itu, ketika seseorang sedang belajar filsafat sebenarnya ia telah memulai berfilsafat. Dua sisi peran filsafat juga harus diingat dengan baik, bahwa ia mengemban fungsi kritis sekaligus konstruktif.

Pada tiga bab ini Woodhouse memberikan jurus-jurus ampuh dan sistematis untuk secara praktis membedah suatu persoalan dengan pendekatan filsafat. Pada bagian inilah sebenarnya cara kerja filsafat dikemukakan secara lebih rinci. Beberapa garis besar pertanyaan filsafat yang dapat diterapkan kepada suatu fakta empiris diuraikan secara baik, seperti pertanyaan apakah premis-premis yang dikandung sudah benar?, apakah konsekuensi logisnya dapat diterima?, apakah istilah-istilah kunci sudah terpahami secara benar?, dan sebagainya.

Dua bagian terakhir adalah imbuhan kemampuan praktis lainnya yang juga dibutuhkan dalam kegiatan berfilsafat, yakni tentang bagaimana cara membaca karya filsafat dan cara menulis karangan filsafat.

Sebagai buku pengantar tentang filsafat, buku ini memiliki beberapa kelebihan dibanding buku yang lain. Pertama, dengan menekankan aspek praktis Woodhouse menepis anggapan bahwa filsafat hanya bergelut dengan masalah-masalah teoritik yang abstrak. Kedua, karena mengedepankan pendekatan praktis, maka proses internalisasi kepada pembaca berlangsung secara lebih efektif. Apalagi Woodhouse melengkapi uraian-uraiannya dengan contoh dan pertanyaan-pertanyaan yang diikuti dengan jawabannya. Ketiga, secara tidak langsung Woodhouse mengajak pembaca—terutama orang yang telah bergelut dengan dunia filsafat—untuk menegaskan sisi praktis dari filsafat.

Namun, penting dicatat bahwa setiap usaha menjelaskan filsafat nyaris selalu terjebak ke dalam pemihakan epistemologis tertentu. Meski sejak awal Woodhouse sudah berusaha menghindar dari pemihakan ideologis, akan tetapi, dalam mendefinisikan filsafat, secara epistemologis Woodhouse tampak lebih berpihak kepada aliran rasionalisme yang mementingkan koherensi antar-ide tinimbang kesesuaian faktual.

Selain itu, pada bagian lain, terdapat suatu kejanggalan teoritik dalam pemikiran Woodhouse, ketika di awal ia menghendaki uraiannya lebih menekankan sisi praktis, sementara pada bagian lain Woodhouse mengatakan bahwa aktivitas berfilsafat terutama berhubungan dengan aktivitas berpikir. Padahal, kalau mau mendengarkan ujaran Karl Marx, sisi praktis mestinya lebih ditekankan, yakni ketika Marx menulis: “Para ahli filsafat hanya telah menafsirkan dunia, dengan berbagai cara; akan tetapi soalnya ialah bagaimana mengubahnya”.

Tentu, perbedaan dan pemihakan adalah sesuatu yang wajar dalam filsafat, dan itu tidak kemudian mengurangi nilai lebih buku ini. Dalam kerangka kontekstual yang lebih luas, yakni dalam konteks kehidupan sosial sehari-hari, buku ini dapat menjadi modal dasar untuk menjadi titik tolak bagi usaha-usaha menyelesaikan berbagai persoalan bangsa. Tradisi berpikir kritis yang tersemai dari kegiatan berfilsafat sepertinya penting untuk dimasyarakatkan.


Read More..

Minggu, 12 Agustus 2001

Tuhan yang Menyejarah

Judul Buku : Sejarah Tuhan: Kisah Pencarian Tuhan yang Dilakukan oleh Orang-Orang Yahudi, Kristen, dan Islam selama 4000 Tahun
Penulis : Karen Armstrong
Penerbit: Mizan, Bandung
Cetakan: Pertama, April 2001
Tebal: 581 halaman


Diskusi tentang Tuhan termasuk dalam kategori problem abadi yang tak kunjung mencapai titik final. Setiap zaman, bahkan sejak 4000 tahun yang lalu, manusia sebagai homo sapiens merekonstruksi konsep-konsep tentang Tuhannya. Tak jarang, bertolak dari konsepsi mereka terhadap Tuhan, lahir gerakan-gerakan sosial yang bersifat liberatif atau bahkan juga muncul tindakan “anarkis” demi menegakkan citra Tuhan yang mereka yakini.

Buku ini memerikan suatu peringatan dan pesan yang cukup jelas, bahwa kita semestinya tidak bersikap ahistoris terhadap konsep Tuhan yang berusaha dikenali manusia itu, bahwa ternyata sepanjang sejarah manusia nyaris memiliki konsepsi tentang Tuhan yang begitu beragam—bahkan dalam suatu periode. Buku ini secara cukup utuh menelaah pertumbuhan karakter tiga agama besar—Yahudi, Kristen, dan Islam—dalam mengkonsepsikan Tuhan dalam terang perspektif historis-sosiologis.

Ziarah intelektual yang dilakukan dalam buku ini sebenarnya bermula dari kekecewaan penulisnya, Karen Armstrong, setelah menyadari bahwa ajaran-ajaran agama yang dipelajarinya selama tujuh tahun menjadi biarawati Katolik Roma adalah hasil dari suatu konstruksi historis yang tentu saja bersifat subjektif. Kebenaran-kebenaran agama yang dikhotbahkan itu melewati proses subjektivikasi dan karena itu tidak dapat lepas dari konteks historis-sosiologis. Ini berarti gagasan manusia tentang Tuhan memiliki sejarah yang berbeda-beda antar-generasi, sehingga tidak aneh bila kadang konsepsi ketuhanan suatu generasi akan dipandang tidak cocok bagi generasi berikutnya.

Buku bagus yang terdiri dari sebelas bab ini memulai uraiannya dengan beberapa teori dan pemikiran tentang munculnya gagasan tentang Tuhan. Dengan mengutip beberapa pemikir terkemuka seperti Mircea Eliade, Wilhelm Schmidt atau Rudolf Otto, terungkap bahwa ternyata manusia memang cenderung memiliki kepercayaan terhadap yang gaib yang merupakan dasar dari setiap agama. Kepercayaan terhadap dewa misalnya merupakan contoh dari monoteisme primitif yang mempercayai adanya “Tuhan” yang menciptakan dan mengatur urusan dunia.

Semua konsepsi tentang Tuhan yang dikemukakan dari zaman ke zaman atau dari kelompok yang berbeda—mistikus, teolog, filsuf, saintis, dan sebagainya—terbukti tidak sepenuhnya harus rasional, logis, dan ilmiah. Hal ini semakin menegaskan bahwa sebenarnya setiap gagasan tentang Tuhan sebenarnya tidak sakral, karena ia mesti melibatkan penafsiran manusia. Ada semacam sisi pragmatis dari konsep tentang Tuhan, yakni asal ia bisa diterima oleh masyarakat. Muhammad misalnya, Nabi kaum muslim bertolak dari sebuah konsep dakwah yang pada awalnya cukup sederhana. Dia tidak berpikir bahwa dirinya tengah membangun sebuah agama universal (konsep Tuhan yang universal), melainkan justru menggunakan keyakinan kuno masyarakat Arab yang mengajarkan keesaan Tuhan kepada orang-orang Quraisy.

Kemudian, dalam perkembangannya, pada sekitar abad ke-17, mulai muncul gagasan-gagasan tentang ateisme. Diam-diam, beberapa kelompok mulai berniat menyingkirkan Tuhan dari kehidupan manusia. Periode ini tidak hanya spesifik dialami masyarakat Barat (Yahudi dan Kristen), tapi juga dialami kaum Muslim. Armstrong dalam buku ini memberikan suatu paparan menarik bahwa pada dasarnya ateisme itu muncul akibat ketidakcukupan konsepsi tentang Tuhan dalam mengikuti gerak roda zaman. Atau, bisa jadi ateisme ini muncul akibat merebaknya tindakan-tindakan mengerikan (pembunuhan, perang, dan sebagainya) yang dilakukan atas nama Tuhan.

Saat ini, memasuki milenium ketiga, konsepsi umat manusia tentang Tuhan dihadapkan dengan berbagai pemikiran semisal sekularisme atau spirit humanisme yang ingin menggantikan agama. Buku ini mengajak kita untuk menyegarkan kembali keberimanan kita dan pemahaman serta penghayatan kita terhadap Tuhan, menuju suatu kesadaran bahwa “sosok” Tuhan itu ternyata dapat ditangkap dengan spektrum yang amat luas. Buku ini menggelitik kita untuk melahirkan semangat dan gairah keimanan baru yang bermakna bagi masa depan manusia, agar iman kita itu tidak justru melukai nilai-nilai kemanusiaan.

Read More..

Rabu, 27 Juni 2001

Dari Pasar Bebas ke Etika

Judul Buku: Masih Adakah Harapan Bagi Kaum Miskin?
Penulis: Amartya Sen
Penerbit: Mizan, Bandung
Cetakan: Pertama, Maret 2001
Tebal: xxxii + 140 halaman


Ilmu ekonomi termasuk ilmu yang berusia cukup tua. Aristoteles, seorang filsuf Yunani Kuno, mendefinisikan ilmu ekonomi sebagai ilmu tentang pengaturan rumah tangga (oikonomia, dari oikos dan nomos). Akan tetapi sejarah perkembangan manusia hingga memasuki milenium ketiga ini masih banyak diselimuti oleh berbagai fakta kegagalan ilmu ekonomi terutama dalam mengatasi kemiskinan, kelaparan, ketertindasan, kesenjangan, dan sebagainya.
Melalui buku ini, Amartya Sen, peraih Nobel Ekonomi tahun 1998, melakukan kritik epistemologis terhadap ilmu ekonomi modern yang gagal menjawab tantangan kemanusiaan. Kritik dan gagasan utama Sen dalam buku ini tercermin dalam judul asli buku ini, yakni On Ethics and Economics. Dalam buku ini Sen mengatakan bahwa selama ini ilmu ekonomi cenderung lebih berorientasi pada perkembangan pasar dan bisnis tingkat dunia saja tanpa memperhatikan proses-proses pembangunan ekonomi yang menurut kenyataannya telah merampas hak-hak asasi manusia.
Untuk mengakhiri kebuntuan tersebut sudah semestinya ilmu ekonomi melakukan tegur sapa dan dialog dengan bidang ilmu lain yang cukup penting, yakni etika. Asumsi dasarnya amat sederhana: kegiatan ekonomi pada dasarnya adalah suatu kegiatan manusiawi biasa yang karena itu semestinya juga memperhatikan segi-segi etis. Dengan memberi perhatian yang lebih besar secara eksplisit terhadap pertimbangan-pertimbangan etis inilah ilmu ekonomi nantinya dapat lebih bersifat efektif mengatasi persoalan-persoalan ekonomi masyarakat yang sebenarnya.
Kritik epistemologis Sen dimulai dengan suatu penyadaran sejarah bahwa sejak semula sudah lama ditegaskan keterkaitan ilmu ekonomi dengan bidang ilmu lainnya, seperti etika dan ilmu politik. Aristoteles misalnya dalam buku Nicomachean Ethics mengaitkan subjek ilmu ekonomi dengan tujuan-tujuan manusia. Dengan demikian, telaah ekonomi seharusnya juga mengikutkan pembahasan mengenai berbagai penilaian dan peningkatan tujuan yang bersifat lebih mendasar itu, yang dapat ditemukan dalam bidang etika pada level individu dan politik pada level struktur sosial.
Sen juga mengkritik pandangan ilmu ekonomi modern yang mengatakan bahwa dalam perilaku ekonomi sepenuhnya bersifat rasional. Rasional di sini bisa berarti sebagai konsistensi internal terhadap pilihan, atau mengidentifikasikan rasionalitas dengan maksimalisasi kepentingan diri. Sen secara tegas menolak kedua anggapan ini terutama karena dengan adanya asumsi perilaku rasional dalam aktivitas ekonomi, maka pendekatan etis diam-diam hendak dibuang jauh-jauh. Lagipula, menurut Sen, yang disebut dengan konsistensi yang murni itu sebenarnya amat bergantung kepada serangkaian penafsiran (subjektif) terhadap beberapa pilihan, dan bahwa kepentingan diri itu tidak serta-merta dapat mengantarkan kepada efisiensi atau efektifitas ekonomis.
Dalam soal kepentingan diri ini pula Sen memberikan penafsiran terhadap pemikiran Adam Smith dalam buku The Wealth of Nation yang oleh beberapa kalangan dianggap sebagai penolakan Smith terhadap pendekatan etis dalam ilmu ekonomi. Menurut Sen, ketika Adam Smith menulis: “Kita mendapatkan manfaat, bukan karena rasa kemanusiaan mereka melainkan karena kecintaan mereka pada diri sendiri, dan jangan pernah berbicara dengan mereka tentang kebutuhan-kebutuhan kita sendiri melainkan keuntungan-keuntungan mereka”, dia sebenarnya sedang membahas tentang pola pembagian kerja ekonomi dan bagaimana transaksi-transaksi normal berlangsung di pasar sehingga dapat memberikan manfaat bagi semua pihak.
Lebih jauh lagi Sen memperjelas bahwa pertimbangan etika dalam ilmu ekonomi tidak hanya dapat memberikan maksimalisasi kesejahteraan pribadi saja, melainkan juga dapat mendorong timbulnya tanggapan-tanggapan yang membuat kesejahteraan pribadi mendapat landasan lebih luas daripada konsumsi sendiri. Namun perlu dicatat bahwa pendekatan etis juga memerlukan penilaian-penilaian yang bersifat konsekuensial terhadap aktivitas ekonomi, sehingga dapat menjangkau bidang kehidupan yang lebih luas.
Pemikiran-pemikiran Sen dalam buku ini menarik dikaji dan didiskusikan bersama ketika ilmu ekonomi kehilangan keberpihakannya terhadap nilai humanisme dan cenderung elitis karena berparadigma positivistik. Melalui pemikiran Sen ini, ilmu ekonomi diajak kembali kepada komitmen awalnya untuk menebar harapan bagi semua orang untuk dapat hidup lebih baik dan layak dan tidak terjebak pada ambisi dan kerakusan.

Tulisan ini dimuat di Majalah Gamma, 27 Juni 2001.

Read More..

Senin, 16 April 2001

Memaknai Chaos dalam Zona Kebimbangan

Judul Buku: Sebuah Dunia yang Menakutkan: Mesin-Mesin Kekerasan dalam Jagat Raya Chaos
Penulis: Yasraf A. Piliang
Penerbit: Mizan, Bandung
Cetakan: Pertama, 2001
Tebal: 358 halaman


Langit Indonesia saat ini sedang diselimuti oleh kabut ketidakpastian dan cuaca ketidakadaan putusan sebagai bagian dari iklim transisi. Meminjam pemikiran Henzel Henderson, Indonesia saat ini sedang berada dalam zona kebimbangan (befurcation), setelah melewati zona kemacetan dan krisis (breakdown zone).
Zona kebimbangan ditandai dengan turbulensi sosial dan chaos yang menyebar di mana-mana, seiring dengan pecahnya sumber kekuasaan Orde Baru pada zona sebelumnya. Itulah ledakan eksplosif yang berhasil menebar partikel-partikel kekuasaan ke seantero tubuh masyarakat. Itulah ledakan yang kemudian mengundang seluruh elemen masyarakat untuk turut serta dalam arus implosif, arus perebutan kekuasaan yang baru saja tumbang.
Kedua proses yang bersifat sambung-menyambung tersebut ditandai dengan bentrokan dan pertikaian antar-kelompok yang berusaha mempertahankan teritorial kekuasaannya—termasuk sisa-sisa elit penguasa lama (Orde Baru). Lahirlah hantu teror, kerusuhan, penjarahan, pembantaian, provokator, dan chaos yang mendatangkan kegelisahan dan kecemasan luar biasa. Inilah paradoks reformasi: ketika euforia keterpesonaan, kegembiraan, dan kegairahan tiba-tiba berganti wajah menjadi histeria kepanikan akibat menjamurnya kekerasan.
Tidakkah itu semua merupakan warisan yang ditinggalkan rezim Orde Baru pada bangsa Indonesia? Memang tak dapat disangkal bahwa tumbangnya Orde Baru tidak serta merta berarti musnahnya segenap cara dan pola kerja Orde Baru. Apalagi praktik-praktik kekerasan ala Orde Baru telah sanggup menyelimuti semua wilayah kesadaran masyarakat. Kekerasan dan teror rezim Orde Baru tidak hanya kekerasan fisik, tapi juga tercermin dalam bentuk kekerasan politik, kekerasan, ekonomi, kekerasan media, kekerasan simbol, kekerasan kultural, dan sebagainya. Karena itu, Negara Orde Baru sebenarnya adalah sebuah Mesin Besar yang tidak lain adalah “mesin horor” (horror machine) itu sendiri.
Sebagai sebuah “mesin horor” raksasa, kejahatan dan teror yang dilakukan Orde Baru bukan suatu bentuk kriminalitas biasa, akan tetapi pantas disebut sebuah metakriminalitas, karena ia dilakukan oleh para penegak hukum itu sendiri. Kejahatan pada masa Orde Baru telah berselingkuh dengan kekuasaan, sehingga ia menjadi suatu kejahatan yang sempurna (perfect crime). Lebih buruk lagi, mesin teror Orde Baru menularkan kejahatannya ke sekujur tubuh masyarakat. Itulah parasit yang akhirnya menggerogoti seluruh sistem negara ini—hukum, keamanan, agama, dan sebagainya.
Parasit-parasit sistemik itulah yang kini sedang beraksi menabur kecemasan di segala penjuru. Dalam pengamatan Yasraf—penulis buku ini—parasit-parasit itu kadang-kadang cukup berhasil menyemai benih parasit lainnya, seperti terlihat dengan munculnya partai-partai semu yang siap menjadi sebuah kekuatan horor baru di masyarakat.
Persoalannya adalah bagaimana sebaiknya bangsa Indonesia menyikapi situasi chaos yang melahirkan sebuah tatanan yang menakutkan ini? Cukupkah kecemasan dirawat dalam kesadaran, tanpa ada usaha lain yang lebih positif?
Menurut Yasraf, dalam zona kebimbangan chaos dan kegelisahan adalah sesuatu yang amat wajar. Hanya saja masyarakat selama ini memandang chaos dan kegelisahan secara negatif. Padahal, chaos bagi Yasraf adalah semacam peluang untuk menunjukkan kreativitas-dialektis, etos kerja, persaingan, dan produktivitas bangsa Indonesia dalam menyudahi krisis dan kebimbangan ini.
Saat ini seluruh elemen bangsa harus segera mengambil keputusan untuk rancangan masa depan Indonesia. Kegelisahan harus mendorong lahirnya suatu penjelajahan kreatif untuk mencipta suatu kondisi yang lebih baik.
Di bagian akhir buku ini Yasraf mengajukan beberapa tawaran menarik yang dapat menjadi bahan pertimbangan bagi rancangan skenario masa depan bangsa. Menurut Yasraf harus segera dilakukan dekonstruksi kultural terhadap semua peninggalan Orde Baru, untuk kemudian merekonstruksi kembali semangat kultur masyarakat beradab dengan terobosan-terobosan baru yang inovatif. Status quo harus disingkirkan, termasuk juga mesin hasrat (desire) tak terkendali yang menjadi motor kekuatan lama. Yang perlu dibangun adalah keterbukaan (inklusifitas) dan semangat cinta kasih terhadap sesama.
Dengan gaya bertutur yang khas Yasraf menyajikan sebuah potret sejarah gelap bangsa Indonesia selama masa Orde Baru. Perspektif humaniora dan kebudayaan yang digunakan cukup berhasil mengangkat sisi-sisi kemanusiaan yang menjadi akar persoalan bangsa ini. Buku ini juga kaya dengan tamsil-tamsil cerdas dengan dasar teori-teori pemikir post-struktural terkemuka.

Read More..