Saat membaca buku terjemahan What is Religious Authority karya Ismail Fajrie Alatas yang baru diterbitkan Mizan/Bentang, terutama di bagian pengantar yang banyak mengeksplorasi aspek metodologi, saya jadi teringat tentang pentingnya bahan-bahan pokok dan mendasar dalam karya ilmiah. Saya teringat tentang pentingnya mahasiswa dan kalangan akademisi membaca teks-teks kunci dan mendasar pada tiap bidang atau rumpun keilmuan yang ditekuninya.
Saat Alatas menyebut Talal Asad, misalnya, saya jadi ingat teks yang dirujuk karya Asad yang telah menjadi klasik, yakni esai panjang “The Idea of an Anthropology of Islam” (1986). Di kalangan akademisi, khususnya yang menggeluti bidang antropologi, teks tersebut sangat penting karena memuat kritik atas pendekatan kajian Islam yang selama ini berkembang. Asad menawarkan gagasan yang jika dirumuskan secara sederhana menempatkan Islam sebagai tradisi diskursif (discursive tradition).
Cara pandang ini menolak corak esensialisme yang memandang Islam dengan menghubungkannya pada esensi tertentu dan mencoba melihat dinamika pemaknaan Islam sebagai sebuah tradisi yang hidup, yang dinamis. Praktik tradisi umat Islam yang beragam pada waktu, tempat, dan komunitas yang berbeda menandakan perbedaan bernalar sesuai dengan kondisi sosio-historis masing-masing. Karena itu, menurut Asad, antropologi Islam berusaha untuk memahami kondisi sejarah yang memungkinkan terjadinya produksi dan upaya untuk mempertahankan tradisi diskursif tertentu, termasuk juga bagaimana proses transformasi terjadi beserta upaya yang dilakukan.
Memang Alatas tidak sepenuhnya sepakat dengan seluruh poin gagasan Asad sehingga Alatas juga menggunakan perspektif metodologi yang lain dalam karyanya itu. Namun fokus saya di sini bukan tentang penelitian Alatas secara khusus. Fokus saya adalah tentang pentingnya memperkenalkan teks-teks kunci kepada mahasiswa dan bagaimana kalangan akademisi membekali dirinya dengan teks-teks babon tersebut.
Saya menduga kritik terhadap kondisi dunia akademik kita yang tidak sehat belakangan ini, seperti lesunya diskusi akademik, maraknya plagiarisme, berkembangnya publikasi ilmiah yang bersifat instan, di antaranya juga terkait dengan lemahnya penguasaan para akademisi atas teks-teks kunci pada bidang yang digelutinya. Ia tidak kenal peta bacaan kunci tersebut, baik yang sifatnya klasik maupun yang mutakhir. Akibatnya, ia tidak bergerak di wilayah-wilayah yang sifatnya fondasional pada bidang keilmuannya dan seringnya hanya bergerak di wilayah pinggiran.
Saat dulu saya mengajar Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA 3 Annuqayah, saya juga memiliki pikiran serupa. Siswa-siswa mestinya diperkenalkan dengan teks-teks kunci bidang sastra Indonesia. Keprihatinan itu lalu memicu saya untuk menghimpun sejumlah cerpen-cerpen Indonesia yang saya anggap sebagai “cerpen sepanjang zaman”. Saya berdiskusi dengan banyak rekan, termasuk dengan AS Laksana, Kiai Faizi, almarhum M. Zamiel el-Muttaqien, Bernando J. Sujibto, dan yang lainnya, dan akhirnya sekolah “menerbitkan” kumpulan cerpen pilihan karya para sastrawan Indonesia dari setiap periode/generasi. Apa yang saya lakukan itu pernah ditulis dan diapresiasi oleh AS Laksana dalam satu esainya di Jawa Pos, 29 Desember 2013.
Kembali ke pokok pembicaraan, saat membaca karya Alatas yang sangat renyah dan mengilhamkan ini, saya bertemu dengan teks-teks kunci atau buku-buku babon lainnya yang sebagian masih banyak yang belum saya baca.
Keprihatinan atas kondisi dunia akademik yang lemah dalam penguasaan teks kunci itu mendorong saya untuk berpikir tentang pentingnya membuat antologi atau setidaknya daftar bacaan yang direkomendasikan pada bidang-bidang tertentu. Misalnya bidang filsafat moral, etika lingkungan, tasawuf, studi al-Qur’an, pendidikan Islam, dan seterusnya. Di kampus tempat saya mengajar, Institut Ilmu Keislaman Annuqayah, saya sering mendorong hal tersebut, sehingga prodi tempat saya mengajar saat ini sudah mulai membuat daftar tersebut dan mendorong mahasiswa dengan mewajibkan mereka membaca teks-teks tersebut setiap semester dengan target tertentu.
Lebih detail dari itu, saya teringat salah satu buku Franz Magnis-Suseno yang berjudul 13 Tokoh Etika. Buku yang terbit di Kanisius dan pertama terbit tahun 1997 itu (saya dulu meresensinya di Surabaya Post saat saya baru masuk kuliah di Filsafat UGM Yogyakarta) lalu disusul oleh buku lain yang diberi judul 13 Model Pendekatan Etika (Kanisius, 1998). Buku yang terakhir ini memuat kutipan teks-teks pokok dari ketiga belas filsuf yang dibahas Magnis-Suseno pada buku sebelumnya. Ada pengantar singkat yang diberikan oleh Magnis-Suseno sebelum kutipan teks kunci disajikan. Di bagian akhir, ada daftar pertanyaan yang dibuat untuk menguji pemahaman pembaca.
Buku semacam ini menurut saya sangat penting untuk membantu penguasaan mahasiswa dan akademisi atas konsep dan gagasan dasar pada setiap bidang ilmu sehingga penguasaan dan pengembangan diskursus keilmuan dapat lebih mudah dilakukan.
Sayangnya hal-hal semacam ini belum banyak dipikirkan dan dikerjakan. Kita belum punya infrastruktur belajar yang cukup dan diperlukan oleh mereka yang mau belajar, mendalami ilmu, dan mengembangkan ilmu. Tak heran bila perkembangan ilmu di lingkungan kita bergerak sangat lambat—untuk tidak mengatakan macet.
Selasa, 06 Februari 2024
Teks Babon, Buku Babon
Selasa, 23 Januari 2024
Menulis Pendek, Menulis Panjang
Butuh tenaga ekstra untuk bisa menulis panjang dengan target menulis di kisaran 5000 kata. Tapi saya ingat, jarak 12 ribu kilometer tetap dimulai dari tapak satu dua langkah. Artinya, 5000 kata tetaplah dimulai dari dua tiga kalimat.
Saya tidak terbiasa menulis panjang seperti untuk artikel jurnal yang menuntut minimal 5000-an kata. Jadi ketika mulai kuliah S-3, saya sempat khawatir jika ada tugas makalah yang menuntut minimal panjang tulisan seperti itu. Namun ternyata alhamdulillah, untuk tugas-tugas makalah presentasi dengan minimal 4000 kata, saya bisa mengerjakannya dengan sistem kebut (sehari) semalam. Asal bahan sudah cukup jelas, sistematika disiapkan, proses penulisannya bisa pake sistem balapan.
Begitulah saya mengerjakan tugas makalah presentasi di semester ini. Terjepit di antara berbagai aktivitas, makalah diselesaikan dalam waktu sekitar sehari semalam. Hasilnya tak buruk-buruk amat. Saya berpikir, kok ternyata bisa saya menulis agak panjang? Ya itu tadi, karena tulisan panjang adalah tulisan pendek yang disatukan. Untungnya, saya sudah cukup terbiasa menulis—yang pendek-pendek itu, dahulu, terutama saat masih aktif menulis populer resensi buku di koran-koran dan juga aktif menulis untuk rindupulang.id, blog kesayangan yang beberapa tahun terakhir cukup terlantar.
Jadi mungkin benar apa yang sering saya katakan: menulis itu juga soal keterampilan, seperti memasak atau menyetir kendaraan. Iya terkait juga dengan jam terbang. Saya ingat saat saya pertama kali belajar memasak saat menempuh S-2. Mentor saya teman kelas dari Bangladesh—dan juga YouTube, yang kontennya belum seheboh sekarang. Saya ingat bagaimana kakunya saya memotong-motong bawang. Saya masih menyimpan videonya. Hehehe..
Demikian juga menulis. Mereka yang belum terbiasa menulis, mungkin akan terbata-bata memulai paragraf dan kalimat-kalimat pembuka. Satu paragraf selesai, kebingungan datang untuk melanjutkan paragraf berikutnya. Seperti mobil mogok yang kehabisan bahan bakar. Ya, begitulah, kadang penulis pemula tidak siap dengan bahan mentah, seperti saat saya memasak kare ayam di Utrecht dan lupa tidak membeli jahe untuk membuat masakan saya lebih enak.
Tapi soal keterampilan, sekali lagi, itu soal jam terbang. Saya ingat, dahulu saat masih duduk di bangku sekolah kelas menengah, saya juga rajin menulis catatan harian. Sayang sebagian tak terarsip. Yang tersisa ada catatan harian tahun 1996. Tapi ada juga arsip tulisan saya di era-era itu, termasuk ada juga yang menggambarkan proses kreatifnya, mulai dari mengumpulkan dan merangkum bahan dari berbagai sumber, hingga kemudian saya tuangkan dalam satu tulisan yang kalau saya bayangkan waktu itu hitungannya agak panjang.
Jadi kalau ada orang yang tiba-tiba dituntut untuk menulis panjang, tapi sebelumnya belum terbiasa bahkan untuk menulis yang pendek-pendek, saya bisa membayangkan betapa mumetnya dia itu. Makanya, daripada mumet, saran saya, cobalah untuk menulis yang pendek-pendek dulu, di kisaran 500 kata, itu sudah sangat bagus jika dilakukan secara rutin.
Saya ingat, pada awal 2013 saya pernah mendapat proyek penulisan 40 esai yang masing-masing panjangnya sekitar 400 hingga 500 kata. Saya lakukan tiap hari. Malam menyiapkan bahan, pagi setelah subuh saya tulis. Alhamdulillah berjalan lancar.
Setelah lama tidak aktif menulis, dan dalam beberapa bulan ini dipaksa membaca dan menulis karena saya sekolah lagi, saya bersyukur. Sepertinya rindupulang.id akan senang menyambut saya membuka akun blogger.com, dan memposkan tulisan-tulisan baru yang melulu tidak hanya tentang hal akademik, tapi tulisan-tulisan spontan yang saya tulis sekali duduk semacam ini.
Salam hangat.
Label: Daily Life, Literacy
Kamis, 16 Desember 2021
Sebuah Percakapan Singkat tentang Pengembangan Literasi Digital Mahasiswa
Mengapa mahasiswa perlu memiliki dan mengembangkan literasi digital?
Kita hidup di era digital. Era digital ini telah memberikan pengaruh yang sangat luas dan mendalam bagi kehidupan manusia, baik pada tataran kehidupan sosial, ekonomi, budaya, dan bahkan pada tataran eksistensial.
Apa yang dimaksud dengan era digital?
Era digital adalah suatu periode waktu Ketika informasi begitu mudah dan cepat diperoleh dan disebarluaskan. Penyebabnya adalah semakin masifnya teknologi digital yang digunakan oleh manusia, bahkan hingga ke wilayah pelosok. Teknologi digital itu pun juga berkembang dengan cepat, sehingga era digital memberikan dampak perubahan yang cepat dan luas. Secara kebahasaan, KBBI menjelaskan arti kata “digital” sebagai “berhubungan dengan angka-angka untuk sistem perhitungan tertentu; berhubungan dengan penomoran”. Namun, secara asal Bahasa, kata ini berasal dari kata Latin “digitalis” yang berarti “jari”. Di era digital, manusia telah berubah menjadi “manusia jari” yang memusatkan aktivitasnya saat menggali informasi dengan menggerakkan jarinya pada sebuah perangkat digital.
Apa saja dampak atau pengaruh era digital dalam kaitannya dengan pembicaraan kita pagi ini?
Tema diskusi ini sudah memperlihatkan satu hal: bahwa era digital mendorong lahirnya industry 4.0, yakni sebuah model pengelolaan industri yang memanfaatkan sistem otomatisasi berbasis computer secara lebih menyeluruh sehingga keputusan-keputusan tertentu dibuat secara otomatis oleh mesin pintar. Secara lebih luas, dampak atau pengaruh era digital bisa dijelaskan secara lebih luas. Yang pertama, pada tataran yang paling mudah terbaca, kita mengalami banjir informasi yang belum pernah dialami sebelumnya. Sekitar 25 tahun yang lalu, kita, termasuk atau terutama pelajar/mahasiswa, akses untuk mendapatkan informasi relatif sulit. Saat ini, kita bahkan mengalami banjir informasi. Jutaan berita atau informasi disebarkan melalui perangkat digital. Kedua, pada tataran yang lebih jauh, banjir informasi dan teknologi digital yang semakin massif ini membentuk cara baru dalam berinteraksi, termasuk dalam kaitannya dengan cara menggali informasi. Dengan kemudahan akses tersebut, manusia cenderung menjadi bersikap instan dan dangkal dalam mendapatkan informasi. Nicholas Carr, penulis buku The Shallows: What the Internet is Doing to Our Brains (2011) menjelaskan bahwa internet telah menurunkan kemampuan kita untuk berpikir secara mendalam serta menggerus kemampuan kita untuk berkonsentrasi dan merenung—hal-hal yang sangat mendukung kreativitas dan inovasi. Internet mendorong cara berpikir yang dangkal, serba instan, cepat, dan massal. Di satu bagian, Carr menggambarkan kecenderungan ini dengan metafor yang menarik: “yang sedang kita alami adalah pembalikan dari sejarah awal peradaban: kita berevolusi dari pengolah pengetahuan pribadi menjadi pemburu dan peramu di belantara data elektronis”. Ketiga, menurunnya kemampuan membaca secara intensif ini pada gilirannya berpotensi untuk menyesatkan manusia dengan penyebaran informasi yang disalahgunakan. Berita palsu atau pembingkaian untuk kepentingan tertentu belakangan menjadi hal yang cukup sering kita temukan.
Kalau dirangkum secara singkat, bagaimana gambaran dampak era digital ini?
Ada tiga poin. Pertama, ketakterbendungan arus informasi. Kedua, kedangkalan muatan informasi. Ketiga, kecenderungan untuk mengacaukan pola hubungan masyarakat.
Kalau demikian, lalu apa yang perlu kita lakukan, utamanya terkait dengan pelajar/mahasiswa sebagai insan Pendidikan?
Apa yang tergambar dalam tema ini sudah tepat, yakni bahwa kita perlu membekali pelajar/mahasiswa dengan literasi digital.
Apa itu literasi digital?
Merangkum dari berbagai sumber, sebuah buku yang dirilis Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI dalam kaitannya dengan Gerakan LIterasi Nasional menjelaskan bahwa literasi digital adalah pengetahuan dan kecakapan untuk menggunakan media digital, alat-alat komunikasi, atau jaringan dalam menemukan, mengevaluasi, menggunakan, membuat informasi, dan memanfaatkannya secara sehat, bijak, cerdas, cermat, tepat, dan patuh hukum dalam rangka membina komunikasi dan interaksi dalam kehidupan sehari-hari. Dari definisi ini, literasi digital berarti memiliki lapisan atau tingkatan, mulai dari level sederhana, yakni pemanfaatan secara dasar seperti menyerap informasi, hingga level kreatif yakni mencipta informasi.
Jadi, jika ingin mengembangkan literasi digital, apa yang harus kita lakukan?
Kita sedang berhadapan dengan suasana budaya yang menyeluruh dan membentuk keseharian kita. Jadi, upaya untuk mengembangkan literasi digital harus juga dilakukan secara utuh. Yang pertama, dari sudut beberapa lapis makna literasi digital itu, kita harus menanganinya satu per satu. Secara sederhana, ada tiga lapis, yakni menyerap informasi, mencipta informasi, dan menyebarkan informasi. Keterampilan terkait tiga hal ini perlu diberikan kepada mahasiswa kita dengan satu rencana yang rapi dan tertata. Di era digital seperti sekarang ini, literasi digital harus diperlakukan atau dipandang sebagai keterampilan dasar, sama seperti keterampilan membaca pada Pendidikan dasar. Karena jika pelajar/mahasiswa kita tidak memiliki keterampilan dasar ini, maka dampak buruk era digital akan sulit untuk dihindari.
Selain itu, apa hal lain yang harus dikerjakan?
Secara umum, masalah atau tantangan yang muncul terkait dampak era digital ini juga berakar pada kemampuan berpikir sebagai salah satu keterampilan dasar. Literasi digital pada akhirnya adalah soal kemampuan berpikir. Katakanlah, kemampuan berpikir kritis. Beberapa tahun yang lalu, sebuah data mengemukakan tentang krisis kemampuan matematika dasar pada siswa/pelajar kita, yang pada satu sisi bisa menunjukkan kemampuan berpikir pelajar kita yang masih bermasalah.
Apakah dua hal ini cukup untuk mengembangkan literasi digital?
Dua hal ini terkait secara langsung dengan literasi digital. Selain itu, di era digital dan terus berkembangnya model industri berbasis komputasi, mahasiswa kita juga perlu dibekali dengan wawasan global. Artinya, mahasiswa didorong untuk berpikir bukan hanya pada tingkat wilayah/regional sekitarnya semata, tapi harus selalu diajak berpikir dalam konteks konstelasi dunia. Kita tahu, globalisasi adalah bagian dari dampak era informasi yang dipercepat dengan era digital saat ini.
Apa ada strategi yang bersifat lebih konkret?
Sementara, yang tergambar dalam pikiran saya, pada tingkat yang paling sederhana adalah berupa pendampingan peningkatan keterampilan membaca. Mahasiswa didampingi untuk meningkatkan keterampilan membaca atau menyerap informasi. Kalau bisa sesuai dengan bidang atau minat keilmuannya, itu tentu lebih baik.
Wah, kok strateginya terkesan sederhana ya?
Ya, mungkin tampak klasik, dan sederhana. Tapi ini hal mendasar. Dan kita sejauh ini belum selesai dengan hal-hal yang mendasar seperti ini. Jadi tetap harus dikerjakan, tidak bisa dilewatkan begitu saja. Kalau dipaksa dilewatkan, jalan yang ditempuh berikutnya bisa kurang sempurna atau bahkan bermasalah. Kita mungkin akan melihat produk pemikiran mahasiswa yang dangkal, atau mereka di era industri ini tidak mampu menjadi knowledge worker yang keahliannya ditentukan oleh penguasaan atas pengetahuan mendasar. Untuk lebih detailnya, nanti kita diskusikan lebih lanjut ya. Terima kasih.
Pengantar diskusi di STIT Aqidah Usymuni Sumenep pada tanggal 30 September 2021.
Read More..
Label: Literacy
Senin, 22 Oktober 2018
Menyoal Pengembangan Literasi di Indonesia
Judul buku: Dongeng Panjang Literasi Indonesia: Sehimpun Esai
Penulis: Yona Primadesi
Penerbit: Kabarita, Padang
Cetakan: Pertama, 2018
Tebal: x + 110 halaman
ISBN: 9786026106278
Beberapa tahun terakhir, dunia literasi di Indonesia tampak mendapatkan tempat yang semakin baik. Kebijakan publik yang mendukung untuk pengembangan literasi bermunculan. Perhatian lembaga, masyarakat, dan perorangan pada pengembangan literasi juga tampak semakin meningkat.
Salah satu tanda meningkatnya perhatian pada dunia literasi tampak pada munculnya produk-produk edukasi untuk anak baik berupa buku dan media pembelajaran berbasis teknologi begitu populer. Linimasa media sosial dipenuhi dengan promosi produk-produk tersebut. Orangtua muda yang terobsesi agar anak-anaknya dapat gemar membaca, menjadi pintar, dan akhirnya sukses nyaris tak ragu untuk membeli produk-produk tersebut.
Namun, muncul pertanyaan kritis: apakah langkah seperti itu bagus untuk menumbuhkan kegemaran membaca dan menjadikan anak literat? Demikian juga, apakah kebijakan publik yang dibuat juga telah berada pada jalur yang tepat untuk mendorong kemajuan dunia literasi sebagai salah satu pilar kemajuan peradaban?
Yona Primadesi, dosen Ilmu Perpustakaan dan juga aktivis literasi dari Padang, dalam buku ini memberikan banyak catatan kritis atas pengembangan literasi di Indonesia, termasuk tentang cara sebagian orang memperkenalkan dunia literasi kepada anak-anak.
Menurut Yona, literasi dini (emerging literacy) tidak bisa dilakukan hanya dengan cara menyediakan bahan bacaan untuk anak-anak. Yona justru mengajukan gagasan untuk menghidupkan kembali tradisi yang berbasis kearifan lokal. Dalam masyarakat Minangkabau, misalnya, ada tradisi manjujai, yakni bentuk komunikasi antara ibu dan anak yang intens dengan berdendang, mendongeng, dan semacamnya. Dalam tradisi manjujai, legenda, sejarah, dongeng, dan anekdot lokal diperkenalkan. Pada tahapan selanjutnya, menurut tradisi masyarakat Minangkabau, anak laki-laki usia balig akan belajar secara informal di surau bersama rekan-rekan seusianya.
Mendongeng di sini bagi Yona tidak sama pengertiannya dengan membacakan buku dongeng. Mendongeng secara lebih mendasar adalah mengenalkan wawasan dan menanamkan minat pada pengetahuan. Karena itu, literasi dini yang lebih mendasar bukanlah dengan “memperlihatkan” atau menyediakan buku pada anak. Minat anak bukan diarahkan pada media, tapi pada materi atau topik-topik tertentu.
Pandangan Yona ini didasarkan pada pemahaman yang lebih luas tentang literasi. Di beberapa bagian buku ini, Yona mengkritik pandangan umum yang memahami literasi dalam kaitannya dengan membaca dan menulis belaka. Yona mengutip penjelasan Deklarasi Praha yang digagas PBB pada tahun 2003 tentang literasi yang mengelompokkan literasi dalam beberapa tahapan, yakni literasi dasar, kemampuan untuk meneliti dengan menggunakan referensi, kemampuan menggunakan media informasi, literasi teknologi, dan kemampuan mengapresiasi grafis dan teks visual.
UNESCO bahkan mendefinisikan literasi sebagai proses pembelajaran seumur hidup. Atas dasar ini, gagasan-gagasan Yona tentang literasi dalam buku ini berusaha keluar dari pemahaman umum yang menyempitkan makna literasi dengan hanya mencukupkan pada semboyan “Ayo Membaca!”.
Bagi Yona, literasi diarahkan untuk membentuk minat belajar dan mempertajam kepekaan anak pada kenyataan hidup di sekitarnya. Betul, kemampuan membaca dan menulis adalah kompetensi mendasar. Akan tetapi, kemampuan itu harus dilanjutkan dengan keterampilan mengelola, menganalisis, mengemas, dan membagikan informasi dengan baik.
Yona sendiri mempraktikkan literasi dini ini kepada putrinya, Naya, dengan cara yang cukup mengilhamkan. Yona tidak cukup mendongengkan cerita Si Kancil atau Malin Kundang, tapi juga menceritakan figur-figur sastrawan. Misalnya, Yona bertutur tentang Pramoedya Ananta Toer dengan berbagai sisi heroik, melankoli, dan dramatisasinya.
Yona, yang juga terlibat aktif dalam pengelolaan rumah baca, secara khusus menggarisbawahi pentingnya memperkenalkan sastra kepada anak. Tak hanya memupuk kecintaan pada buku, mendekatkan sastra pada anak juga membantu anak bersikap kritis dan peka memahami diri dan lingkungannya. Pada bagian ini Yona menyayangkan masih minimnya upaya untuk mengadaptasi dan mengemas ulang karya-karya sastra Indonesia agar lebih ramah anak.
Tanggung jawab pemupukan budaya literasi juga menjadi bagian kritik dalam buku ini. Selama ini, banyak orangtua yang berpikir untuk menyerahkan urusan pengembangan literasi pada sekolah, pemerintah, atau rumah baca. Padahal, tanggung jawab pertama mestinya ada pada keluarga. Pada titik ini, Yona juga menekankan pentingnya teladan dalam keluarga.
Orangtua yang hanya membelikan buku pada anaknya tapi tidak dapat menjadi figur sosok yang cinta buku dan literat maka rasanya akan tampak kurang padu di mata anaknya. Anak-anak belajar mencintai buku pertama-tama terutama dengan melihat orang-orang terdekatnya—siapa lagi kalau bukan orangtua—yang memiliki kebiasaan membaca yang baik.
Buku ini memuat banyak gagasan yang mengilhamkan untuk pengembangan literasi di Indonesia. Sudut pandangnya yang kritis dan juga berbasis pengalaman membuat buku ini memiliki kekuatan argumentasi yang kuat baik untuk diangkat sebagai saran untuk perorangan maupun sebagai rekomendasi kebijakan publik bagi pengembangan literasi.
Tulisan ini dimuat di Koran Sindo, 21 Oktober 2018.
Sabtu, 10 Februari 2018
Kata Baku dan Selingkung
“Otentik” atau “autentik”? “Sekedar” atau “sekadar”? “Nopember” atau “november”? “Shalat” atau “salat”? Di manakah di antara kedua kata-kata tersebut yang merupakan kata baku? Yang disebut pertama atau yang kedua?
Ketika tulisan saya hari Ahad 21 Januari 2018 dimuat di Jawa Pos di rubrik Buku, saya lihat redaktur Jawa Pos mengubah kata “autentik” dalam tulisan saya menjadi “otentik”. Saya menemukan pengubahan itu dengan mudah karena saya menggunakan kata itu pada bagian judul. Tentu saja pengubahan tidak hanya dilakukan pada judul tulisan saya. Kata “autentik” dalam tubuh tulisan juga diganti dengan kata “otentik”.
Perbedaan penulisan beberapa kata sebagaimana disebutkan di atas ada yang merupakan kata baku dan tidak baku. Ada juga yang perbedaannya lebih karena pilihan lingkungan atau lembaga tertentu.
Kata “otentik”, “sekedar”, “nopember”, “shalat”, bisa kita temukan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Namun demikian, dalam KBBI, kata-kata tersebut disebutkan sebagai bentuk tidak baku.
Meski kata-kata tersebut oleh KBBI disebut sebagai bentuk tidak baku, ada lembaga atau lingkungan tertentu yang secara sadar tetap memilih menggunakan kata-kata tidak baku tersebut. Begitulah. Memang ada orang atau lembaga yang mengikuti sepenuhnya pada standar KBBI. Namun ada pula orang atau lembaga yang memilih berbeda untuk kasus tertentu.
Saya lihat di situlah posisi Jawa Pos yang mengubah kata “autentik” dengan “otentik” pada tulisan saya. Gaya selingkung seperti yang dilakukan Jawa Pos biasanya sudah melewati proses internal berupa kesepakatan dan sosialisasi kepada unsur-unsur internal: bahwa ada kata-kata tertentu yang dipilih untuk tidak mengikuti standar baku KBBI.
Pilihan untuk tidak mengikuti kata baku KBBI tersebut bisa saja dibuat dengan alasan “ilmiah”. Tapi mungkin ada juga orang yang hanya berdasarkan pada sekadar alasan yang lebih bersifat subjektif. Saya, misalnya, sampai saat ini masih merasa kurang nyaman untuk menulis kata “Alquran”, “shalat”, “selawat”, dalam tulisan-tulisan saya sebagaimana standar KBBI. Sebagai muslim yang sehari-hari juga hidup di lembaga dan lingkungan keilmuan muslim, lidah saya terasa kurang nyaman untuk mengikuti lafal penulisan ala KBBI untuk kata-kata tersebut.
Saya bukan ahli bahasa. Tapi tentu saja boleh-boleh saja saya punya pilihan. Namun begitu, saat tulisan saya harus tampil di tempat yang memiliki standar yang berbeda dengan pilihan saya, saya biasa saja dan menghormati pilihan mereka.
Demikian.
Label: Literacy
Jumat, 20 Oktober 2017
Buku dan Pendidikan di Amerika
![]() |
Perpustakaan Fordson High School di Detroit, Michigan |
Saat mendapatkan penjelasan dari Kepala Sekolah Al Fatih Academy (AFA), Ms. Afeefa Syeed, bahwa sekolah yang dikelolanya tidak menggunakan buku paket dalam proses pembelajaran di kelas, saya cukup terkejut. Apa alasannya? Menurut Afeefa, buku pelajaran dapat berpotensi membatasi ruang lingkup pembelajaran. Pembelajaran bisa menjadi kaku dan hanya terfokus pada buku teks yang digunakan.
Di Al Fatih Academy—sekolah swasta yang mengelola pendidikan dari jenjang PAUD hingga SMP di Reston, Virginia—pembelajaran lebih ditekankan pada arahan kurikulum yang telah disusun dengan pendekatan terpadu, interdisipliner, dan terutama menggunakan metode inquiry. Dengan arahan tema dan pembahasan sesuai kurikulum sekolah dan juga nilai-nilai pokok yang ingin dikembangkan, siswa difasilitasi untuk belajar dengan bertanya dan berpikir tentang hal-hal yang ada di sekitar mereka.
Saya melihat dokumen kurikulum mereka. Pada tingkat Kindergarten, saya menemukan satu halaman tema pembelajaran tentang “My Five Senses”. Saya dapat melihat bagaimana subjek-subjek pelajaran—sains, ilmu sosial, bahasa, seni, matematika, dan keislaman—dapat terintegrasi dalam tema tersebut. Saya juga sempat melihat dokumen kurikulum untuk Islamic Studies dengan konsentrasi akidah di jenjang SD, dan memperhatikan bagaimana di tiap jenjang tingkat kerumitan materi disusun dengan baik.
Pembelajaran tanpa buku pelajaran ala Al Fatih Academy, yang saat ini siswanya semua berjumlah 292 anak itu, dalam pandangan saya haruslah mengandalkan guru yang mumpuni dalam mengelola kelas sesuai dengan arahan dan target kurikulum. Selain itu, saya melihat peran ketersediaan fasilitas buku di perpustakaan sangatlah penting juga diperhatikan.
Di Perpustakaan Al Fatih Academy, saya menemukan buku-buku menarik yang rasanya akan cukup sulit saya temukan dalam versi bahasa Indonesianya. Saya cukup terkagum-kagum saat menemukan buku versi anak-anak yang dipetik dan diolah dari karya besar Imam al-Ghazali. Beberapa buku yang terlihat seperti serial terbitan Fons Vitae tersebut dicetak dengan kemasan hardcover dan full colour.
Ada yang isinya lebih dominan gambar, yakni dalam bentuk cerita bergambar, yang kemudian di bagian belakang disajikan terjemahan bahasa Inggris yang dipetik dari salah satu bab Ihya’ Ulumiddin. Untuk yang ditujukan pada pembaca yang levelnya lebih tinggi, gambar tidak terlalu dominan, tapi tetap dengan tata letak dan perwajahan yang menarik.

Di Perpustakaan Al Fatih Academy yang dapat dibilang tidak terlalu besar, saya juga menemukan buku-buku cerita yang menarik, seperti fabel lingkungan yang cukup ternama yang dikemas dalam buku berjudul When the Animals Saved Earth, dan juga buku-buku anak lainnya.
Terprovokasi dengan buku-buku semacam ini yang kemudian juga saya temukan dalam kunjungan ke sekolah-sekolah lainnya di Amerika selama tiga pekan di bulan September lalu, saya mencoba membeli beberapa buku anak di toko daring Amazon. Setelah memilih dan membeli beberapa buku yang di antaranya memang merupakan buku yang saya temukan di beberapa perpustakaan sekolah di Amerika, di Amazon saya menemukan buku-buku anak dan remaja yang menarik lainnya yang memperlihatkan kekayaan dunia bacaan berbahasa Inggris.
Selain itu, saya juga menemukan dugaan kuat bahwa dalam proses penyediaan sumber bacaan untuk kalangan anak dan remaja tersebut, pihak-pihak yang sangat berkompeten ikut serta dengan baik. Dugaan ini saya simpulkan dari salah satu buku yang saya beli yang berjudul Painting Heaven: Polishing the Mirror of the Heart (Ghazali Children) terbitan Fons Vitae. Buku komik tipis yang diolah dari bagian kecil dalam bab ‘Ajâibul-Qalb dari kitab Ihya’ Ulumiddin ini melibatkan Profesor Coleman Barks yang terkenal dengan terjemahannya atas puisi-puisi Rumi. Barks, penyair dan profesor emiritus di University of Georgia, menyiapkan naskah untuk buku yang saya beli dengan harga 16,71 dolar Amerika ini (sebelum pajak). Sedangkan yang menggarap ilustrasinya adalah Demi Hunt yang memang telah terlibat dengan penerbitan ratusan buku anak dan mendapatkan berbagai penghargaan bergengsi.
Selain itu, saya juga ingat bahwa Ms. Afeefa Syeed, kepala sekolah Al Fatih Academy, juga tercatat sebagai konsultan untuk penerbit Simon & Schuster Children’s Book Division—penerbit yang di antaranya menerbitkan buku-buku karya William J. Bennett.
Nama William J. Bennett ini menjadi masuk dalam rekam ingatan saya lantaran dia menerbitkan sebuah buku yang cukup membuat saya penasaran karena saya temukan di hampir semua perpustakaan sekolah yang saya kunjungi di Amerika. Bukunya berjudul The Book of Virtues: A Treasury of Great Moral Stories. Setelah saya membaca sebagian isi buku ini di versi Kindle yang saya beli di Amazon, pertanyaan saya tentang pendidikan moral di Amerika sedikit terjawab.
Buku yang menghimpun cerita, puisi, dan esai-esai terpilih ini berusaha membantu menumbuhkan moral literacy (kesadaran moral atau melek moral) di kalangan anak-anak dan remaja. Caranya adalah dengan berbagi keutamaan (virtues) yang termuat dalam cerita, puisi, dan esai-esai tersebut, pada anak-anak, pelajar, orangtua, dan juga guru. Dalam pengantarnya, Bennett menjelaskan empat alasan penggunaan model pendidikan moral yang dikembangkan dalam buku ini.
Pertama, cerita-cerita yang terhimpun dalam buku ini dapat menjadi titik rujukan tentang praktik konkret berbagai keutamaan moral. Kedua, kisah-kisah dalam buku ini dapat menarik perhatian anak-anak. Ketiga, cerita-cerita dalam buku ini membantu anak-anak untuk menjangkarkan diri mereka dengan akar budaya, sejarah, dan tradisi mereka. Keempat, dengan mengajarkan kisah-kisah dalam buku ini berarti kita terlibat dengan usaha pembaruan dan pemaknaan kontekstual atas kisah-kisah tersebut.
Buku yang berfokus pada 10 sifat utama ini ternyata juga dibuat dalam versi yang lebih spesifik. Bennett juga menulis buku The Book of Virtues for Your People, The Children’s Book of Virtues, dan The Book of Virtues for Boys and Girls. Bennett juga menulis buku The Moral Compass: Stories for a Life’s Journey, The Children’s Book of Heroes, The Children’s Book of America, dan lain-lain.
Satu hal lain yang cukup menarik tentang buku dan pendidikan di Amerika saya temukan di University of Dallas di Texas. Saat kunjungan ke Departemen Pendidikan kampus tersebut, saya bersama teman-teman rombongan International Visitor Leadership Program (IVLP) berkesempatan mengikuti salah satu kelas perkuliahan di kampus berlatar Katolik tersebut. Nah, kebetulan kelas yang kami ikuti terkait dengan buku. Nama mata kuliahnya “Child and Young Adult Literature” yang diampu oleh Dr. Amie Sarker.

Pada saat kami mengikuti kelas tersebut, dosen sedang fokus pada pembahasan tentang bagaimana cara mempertimbangkan buku yang cocok untuk digunakan sebagai bahan pembelajaran di tingkat sekolah dasar dan yang lebih rendah. Selain pemaparan yang menarik, dosen juga membagikan beberapa tulisan pendukung yang di antaranya juga memuat data-data tentang buku anak menarik dari berbagai belahan dunia. Dia juga membawa contoh buku-buku dan mengajak mahasiswa untuk mendiskusikannya di kelas.
Sepulang dari kunjungan di kampus tersebut, saya mencoba menjelajah ke laman kampus University of Dallas, dan ternyata saya menemukan mata kuliah yang lain di Department of Education yang juga berkaitan dengan buku. Ada mata kuliah Writing Children’s Books, Reading in the Secondary Schools, Developmental Reading, Diagnostic and Corrective Reading, dan juga Storytelling.
Lebih jauh, di laman kampus University of Dallas, saya menemukan satu hal yang sangat menarik, yakni bahwa kampus ini menyelenggarakan kelas-kelas dengan jumlah mahasiswa sekitar 16 orang per kelas yang membahas teks-teks babon untuk beberapa disiplin, seperti filsafat, teologi, ekonomi, sejarah, dan lain-lain. Kelas semacam ini diharapkan dapat mengantarkan profesor dan mahasiswa yang ikut serta untuk terlibat dalam dialog mendalam dan bermakna yang dapat mengembangkan kemampuan berpikir kritis dan menginspirasi mereka untuk mencintai pengembaraan intelektual sehingga itu semua dapat bermanfaat untuk karier akademik dan kehidupan mereka secara umum kelak. Di laman kampus juga disebutkan buku-buku induk yang akan dibahas, seperti The Communist Manifesto karya Marx dan Engels, Crime and Punishment karya Fyodor Dostoevsky, The Question Concerning Technology karya Martin Heidegger, Genealogy of Morals karya Friedrich Nietzsche, dan sebagainya.
Pada titik ini, saya melihat kesadaran yang kuat akan pentingnya buku dalam proses pendidikan sehingga hal yang berkaitan dengan buku mendapatkan tempat yang istimewa dalam perkuliahan di bidang pendidikan atau kegiatan perkuliahan lain pada umumnya di University of Dallas.
Membandingkan antara keadaan dunia perbukuan dalam kaitannya dengan praktik dunia pendidikan di Amerika dan situasi di Indonesia, saya melihat jurang yang cukup lebar dalam berbagai aspeknya. Ketersediaan buku-buku bermutu yang sangat menunjang pada proses pendidikan, mungkin termasuk juga kemudahan aksesnya oleh masyarakat dan pelajar pada khususnya, keterlibatan dan dukungan kalangan ahli dan akademisi untuk menghasilkan produk buku yang bermutu, perhatian dunia pendidikan termasuk kampus untuk memanfaatkan buku-buku tersebut dalam proses pendidikan, semuanya tampak begitu padu sehingga dengan jelas memperlihatkan jurang yang cukup lebar tersebut.
Mengakui adanya jurang yang lebar dalam hal mutu dunia perbukuan dalam kaitannya dengan praktik pendidikan antara di Amerika dan di Indonesia mungkin akan terdengar sebagai hal yang menyedihkan. Namun begitu, kita tahu bahwa pengakuan dan kesadaran semacam ini dapat juga menjadi peluang dan tantangan: bahwa ada sesuatu, atau bahkan banyak hal, yang masih harus kita lakukan dengan penuh kerja keras untuk bersama-sama membangun dunia pendidikan yang lebih baik dan membangun peradaban yang lebih maju di masa depan.
Senin, 20 Juni 2016
Tulisan Saya Dijiplak Lagi
Menayangkan dan mengarsipkan tulisan di blog pribadi memang ada keuntungan dan kerugiannya. Dengan diarsip di blog pribadi, kita akan cukup mudah untuk mengakses tulisan kita di mana saja asalkan kita mendapatkan akses internet yang baik.
Namun, kerugian mengarsipkan tulisan di dunia maya dalam media blog juga ada. Satu kerugian yang saya rasakan dan alami adalah tulisan saya dengan cukup mudah dijiplak. Tinggal salin-tempel, beres.
Tahun 2014 lalu, saya menemukan sebuah tulisan saya yang dimuat di Koran Tempo edisi 4 Januari 2004 disalin-tempel—dengan perubahan minor—dalam buku berjudul Psikologi Tasawuf karangan Drs. Tamami HAG. M.Ag. terbitan Pustaka Setia, Bandung (2011) tanpa menyebutkan nama saya.
Nah, pagi ini, saya kembali menemukan tulisan saya di blog disalin-tempel dan disiarkan di sebuah media lokal bernama Musibanyuasin Post edisi 4 Juli 2014. Tulisan saya itu ditulis pada bulan September 2007 dan saya poskan di blog pribadi saya.
Bagaimana ceritanya kisah penemuan kasus plagiasi ini? Begini. Tadi pagi saya ingin memposkan tautan salah satu tulisan di blog saya di akun Facebook saya. Saya mencari tulisan-tulisan yang kiranya cocok. Saya mencari tulisan saya yang bertema puasa atau bulan Ramadan.
Ketemulah saya dengan artikel yang ditulis pada bulan September 2007 itu yang berjudul “Televisi dan Refleksi Religiusitas Puasa”. Sebelum saya memposkan tautan itu di akun Facebook, saya terlebih dulu membaca tulisan saya itu untuk membuat kutipan singkat bagian pokok atau membuat rangkumannya. Saat membaca, saya kok berpikir bahwa tulisan lama saya ini ternyata saya pikir masih cukup aktual dan relevan untuk konteks sekarang.
Karena tulisan ini belum pernah dimuat di media massa, kok saya terpikir untuk mencoba googling, mungkin ada laman di internet yang mengutip tulisan saya ini. saya mencoba mengutip beberapa kalimat yang khas dan spesifik dalam tulisan saya untuk dimasukkan ke mesin Google. Saat Google menampilkan hasil pencarian, saat itulah saya kemudian menemukan bahwa ternyata tulisan saya itu dijiplak.
Saya diantarkan ke arsip digital media Musibanyuasin Post edisi 4 Juli 2014 yang diarsipkan di issuu.com itu (bisa dilihat di sini). Di rubrik Opini (halaman 2), ada tulisan berjudul “Religiusitas Puasa VS Ideologi Televisi” karangan Darmadi. Dalam tulisan itu tercantum bahwa identitas penulis adalah pegawai fungsional Kantor Kementerian Agama Kabupaten Lampung Tengah, dosen STKIP Kumala Lampung, dan kandidat doktor Ilmu Manajemen.
Judulnya memang tidak persis dengan tulisan saya, tapi coba baca isinya.Ternyata dari awal hingga akhir isinya ya hasil salin-tempel dari tulisan saya—bukan hasil berpikir dan mengolah gagasan sendiri. Cukup mainkan tetikus (mouse), tekan Control-C, lalu Control-V. Beres!
Saya jadi teringat frasa “vampir kebudayaan” yang diperkenalkan oleh Afrizal Malna untuk melihat potensi buruk teknologi dalam kreativitas kebudayaan. Teknologi komputer dan internet bisa menjadi vampir kebudayaan di tangan orang yang malas berpikir dan tak menghargai kerja keras.
Sampai di sini saya merasa sedih sekali. Dunia keilmuan dan dunia akademik kita ternyata memang masih belepotan. Mental masyarakat kita yang katanya termasuk golongan terdidik ternyata masih memprihatinkan. Apa yang bisa kita lakukan untuk mencari jalan keluar atas masalah seperti ini? Demikian juga, apa yang sudah kita lakukan untuk mencari jalan keluar atas masalah seperti ini sesuai dengan posisi kita masing-masing?
Label: Education, Literacy, Social-Politics
Jumat, 15 April 2016
Pesan Cinta Buku untuk Anak dan Remaja
Judul buku: The Magic Library: Perpustakaan Ajaib Bibbi Bokken
Penulis: Jostein Gaarder dan Klaus Hagerup
Penerbit: Mizan, Bandung
Cetakan: Pertama, Januari 2016
Tebal: 284 halaman
ISBN: 978-979-433-924-4
Jostein Gaarder adalah penulis Norwegia yang karya-karyanya telah banyak diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Sisi paling menarik dari karya-karyanya adalah bahwa ia mengangkat tokoh anak dan remaja serta memberi nuansa reflektif yang kental.
Dalam karya Gaarder yang ditulis bersama Klaus Hagerup ini, tokoh remaja kembali tampil sebagai pemeran utama. Novel ini mengambil tema yang relatif lebih ringan, bukan dengan bobot filosofis yang cukup berat, yakni tentang dunia kepenulisan dan perbukuan. Cara penyajiannya khas Gaarder: berlapis, mengandung unsur cerita detektif dan misteri, dan ada unsur petualangan yang khas anak-anak dan remaja.
Novel ini berkisah tentang dua saudara sepupu, Berit dan Nils, yang tinggal di kota yang berbeda di Norwegia. Keduanya berkorespondensi dengan menggunakan buku-surat yang mereka kirimkan via pos. Nah, bersamaan dengan awal mereka saling berkirim surat itu, Berit dan Nils mengalami beberapa kejadian aneh yang berhubungan dengan seorang perempuan misterius.
Di sebuah toko buku, perempuan misterius, yang belakangan diketahui bernama Bibbi Bokken itu, membayari buku yang dibeli Nils dan tampak ngiler menyusur dan memandangi buku-buku. Sementara Berit secara tak sengaja menemukan dan membaca surat untuk Bibbi Bokken dari seseorang yang menyinggung soal “perpustakaan ajaib” dan “buku yang akan terbit tahun depan di Norwegia” (hlm. 11-15).
Jadilah kemudian buku-surat Berit dan Nils itu dipenuhi dengan tema peristiwa misterius itu. Semakin tebal misteri yang menyelimuti beberapa kejadian terkait dengan Bibbi Bokken itu, semakin Berit dan Nils diliputi rasa penasaran yang kadang bercampur dengan rasa ketakutan. Ada dugaan bahwa Bibbi Bokken, yang kadang disebut si Nyonya Buku dan si Penyihir Buku, bersama komplotannya sedang mengincar buku-surat Berit dan Nils. Dan itu tampak terbungkus dalam sebuah rencana rahasia berbau konspirasi yang berkaitan dengan Perpustakaan Ajaib Bibbi Bokken dan dunia perbukuan di Norwegia.
Yang unik, dan ini khas Gaarder, di sepanjang petualangan bak detektif penuh misteri itu, ada banyak hal menarik yang tersaji ke hadapan pembaca tentang dunia perbukuan dan kepenulisan. Berit dan Nils dalam buku-suratnya berbicara tentang Winnie the Pooh karya A.A. Milne, penulis buku anak-anak dari Swedia Astrid Lindgren, HC Andersen yang masyhur dari Denmark, Anne Frank yang meninggal di usia remaja sebagai korban Perang Dunia II dengan catatan hariannya yang kemudian cukup melegenda, penulis drama dari Norwegia Henrik Ibsen, dan sebagainya (hlm. 36-52).
Surat-surat Berit dan Nils serta alur novel ini juga banyak menyajikan pengenalan tentang dunia perbukuan dan perpustakaan. Misalnya tentang sistem klasifikasi desimal Dewey, yang digunakan untuk memudahkan pengkategorian buku di perpustakaan (hlm. 63-66). Ada juga dialog dan pemaparan tentang sejarah buku dan penerbitan, penemuan mesin cetak yang dikenal dengan Revolusi Gutenberg, teori sastra, teori fiksi, proses kreatif kepengarangan (teori menulis), dan semacamnya (hlm. 215-219).
Novel ini memang tepat dikatakan sebagai “sebuah surat cinta kepada buku dan dunia penulisan”—sebutan yang diberikan oleh sebuah terbitan di Jerman untuk karya ini. Novel ini tampaknya sengaja disusun untuk mempromosikan budaya baca-tulis dan mengenalkan lika-liku dunia kepustakaan dan kepenulisan kepada anak dan remaja.
Strategi tekstual yang dimainkan karya ini cukup kena dan cocok untuk segmen pembaca yang disasar. Alih-alih memaparkan secara kronologis atau sistematis, karya ini justru menyelipkan pesan cinta buku dan menyuguhkan pesona karya-karya dari dunia aksara dalam jalinan kisah misteri petualangan yang menarik dan enak diikuti—sesuai dengan selera kaum remaja dan anak-anak.
Versi yang sedikit berbeda dengan tulisan ini dimuat di Koran Jakarta, 15 April 2016.
Selasa, 24 November 2015
Membaca Efektif
Seringkali ada orang bertanya kepada saya: bagaimana caranya membaca yang baik sehingga kita mudah mengikat pengetahuan atau informasi yang kita cerna itu? Dengan kata lain, bagaimana caranya agar kita tidak mudah lupa atas apa yang telah kita baca?
Mungkin memang sulit untuk mendapatkan hasil yang sempurna: bahwa semua yang kita baca dapat kita ingat sepenuhnya. Tapi mungkin ada semacam kiat agar kegiatan membaca dapat lebih menghasilkan informasi yang—paling tidak relatif lama—tertancap dalam ingatan kita.
Untuk pertanyaan seperti ini, saya mencoba memberi jawaban berdasarkan sedikit pengalaman saya. Menurut saya, membaca buku yang relatif memungkinkan kita untuk lebih kuat menghimpunnya dalam ingatan yang baik adalah dengan cara membaca-terfokus dengan titik tujuan yang jelas. Maksudnya, kita membaca buku dalam kerangka sebuah penelusuran atau upaya untuk menjawab pertanyaan tertentu—sesederhana apa pun.
Dengan menempatkan kegiatan membaca dalam kerangka maksud yang lebih luas, kita akan lebih mudah mengikat jalinan informasi yang kita peroleh dari berbagai sumber bacaan. Dari jalinan yang mungkin dapat dirajut itulah, saya pikir ingatan kita akan lebih mudah menyimpannya, karena di antara berbagai informasi yang diperoleh dari berbagai sumber itu ada titik-titik tertentu yang bisa saling dikaitkan.
Jawaban ini saya temukan berdasar dari pengalaman saya saat menyusun sebuah tulisan yang kadang relatif panjang. Atau saat saya berupaya mengumpulkan butir-butir informasi untuk menemukan sebuah gambaran yang relatif lebih besar dan utuh tentang suatu hal—misalnya saat hendak membahas tema tertentu di kelas atau di sebuah kesempatan diskusi.
Dalam situasi seperti itu, kegiatan membaca yang saya lakukan cukup jelas tujuannya. Ada satu target terfokus dari kegiatan membaca. Ada butir informasi yang cukup spesifik yang ingin saya kumpulkan dan rekatkan. Ada (beberapa) pertanyaan yang menggantung di benak saya sepanjang kegiatan membaca yang saya lakukan.
Pertanyaan atau target yang saya buat itu menurut saya berfungsi seperti akar pohon yang memudahkan air hujan untuk terserap ke bumi. Ia memberi jalan bagi informasi untuk terkumpul di titik yang lebih dalam.
Ini cukup berbeda dengan kala saya membaca sebuah buku tanpa satu konteks yang mengorientasikan dan mengaitkan kegiatan membaca saya dengan sesuatu yang lebih besar dan luas. Meski mungkin kegiatan membaca di sini tetap bermakna dan bermanfaat, tapi butir-butir informasinya kadang masih agak kesulitan untuk terikat dengan gugus pengetahuan lainnya. Bisa jadi karena gugus informasinya itu terlalu jauh secara masa maupun konteksnya.
Akhirnya, membaca-terfokus dengan titik tujuan yang jelas akan lebih berdampak bagi kuatnya ikatan informasi yang dihimpun apabila ditindaklanjuti dengan menulis. Ya, menulis. Pada dasarnya, kegiatan membaca dalam bentuknya yang paling sederhana pun akan lebih mudah terikat dan padu dalam pikiran jika kita menuliskannya. Apalagi kegiatan membaca itu kita lakukan dengan alur, fokus, dan target yang jelas.
Pada titik ini saya semakin yakin bahwa kegiatan membaca dan menulis memang harus dilakukan secara padu. Keduanya merupakan kegiatan yang saling menguatkan. Membaca tapi tidak menulis mungkin akan membuat pengalaman membaca atau hasil bacaan kita kurang tersusun secara rapi dalam pikiran. Sedangkan menulis tanpa bekal bacaan yang baik mungkin akan kurang mendalam.
Apa yang saya paparkan secara singkat di sini hanya berdasar pada pengalaman pribadi saya. Lebih dari itu, mungkin sekali ada cara-cara lain yang bisa dilakukan agar kegiatan membaca kita dapat lebih bermakna dan lebih padu dengan kegiatan lain dalam aktivitas kita sehari-hari.
Wallahu a‘lam.
Tulisan terkait:
>> Merawat Gairah Membaca
Label: Literacy
Senin, 19 Oktober 2015
Merawat Gairah Membaca
Mendapatkan sesuatu itu bisa jadi cukup mudah. Yang lebih sulit dari itu adalah mempertahankannya. Demikian kurang lebih ungkapan bijak yang pernah saya dengar. Benar, merawat sesuatu itu justru sering lebih sulit daripada mendapatkannya.
Membaca termasuk dalam masalah ini. Saat godaan kegiatan hidup sehari-hari semakin banyak, tidak mudah rasanya untuk mempertahankan gairah membaca. Apalagi jika levelnya masih berusaha untuk membentuk dan mengokohkan gairah membaca.
Saya sebenarnya masih belum merasa sebagai orang yang punya gairah membaca yang sangat baik. Saya tidak bisa bertahan sangat lama membaca buku, tidak seperti beberapa orang yang saya kenal yang bisa betah berjam-jam menekuri halaman-halaman buku. Satu jam membaca buku tanpa diselingi kegiatan lain bagi saya terasa cukup berat.
Biasanya saya menyelingi dengan kegiatan lain sekadar untuk mengambil jeda. Mungkin ini juga terkait dengan kemampuan dan daya tahan mata saya yang terganggu akibat kecelakaan dijatuhi kayu pada saat berusia 13 tahun.
Saat menyadari betapa masih banyak buku-buku penting di bidang yang saya minati yang masih belum saya baca, saya jadi berpikir bagaimana caranya agar kegiatan membaca ini bisa lebih terjaga demi mengokohkan dan merawat gairah membaca saya.
Kesadaran ini muncul bersamaan dengan perkenalan saya dengan media sosial khusus untuk pembaca buku, yakni Goodreads. Saat memasukkan judul-judul buku yang pernah saya baca tuntas, ternyata jumlahnya tidak sebanyak yang saya bayangkan. Sejak itulah saya berusaha membangun komitmen membaca secara lebih konsisten.
Teknisnya bagaimana? Dengan mempertimbangkan berbagai kegiatan saya yang lain, saya kemudian meneguhkan niat untuk minimal dalam satu tahun bisa menamatkan 12 judul buku. Artinya, satu bulan khatam satu buku. Agar lebih mudah, perhitungannya saya mulai sejak awal tahun. Setelah menamatkan membaca satu buku, saya catat data dan tanggal selesainya di Goodreads.
Bila ada hari-hari atau pekan-pekan yang sudah padat dengan berbagai kegiatan atau tugas kependidikan, biasanya saya akan cukup kesulitan untuk menamatkan satu buku. Kesibukan macam ini bisa berlangsung selama satu, dua, atau tiga bulan. Saya butuh jeda waktu yang cukup tenang untuk bisa menyelesaikan buku secara utuh.
Kadang juga faktornya terkait dengan pilihan buku. Gairah membaca, dalam pengalaman saya, sering terkait dengan pilihan buku yang disiapkan untuk dibaca. Ada jenis buku tertentu yang dapat lebih mudah memantik gairah membaca, bahkan di saat kesibukan cukup padat. Misalnya, saat menuntaskan buku Misteri Berserah Kepada Allah karya Ibn ‘Athaillah al-Sakandari (Penerbit Zaman) yang merupakan terjemahan dari kitab al-Tanwir fi Isqath al-Tadbir, yang saya baca di bulan September lalu. Juga buku Apple vs Google karya Fred Vogelstein terbitan Bentang yang saya baca Agustus lalu.
Komitmen mengkhatamkan buku minimal 12 judul dalam setahun cukup membantu untuk mengingatkan dan mendorong saya jika pada titik waktu tertentu target yang dipatok tampak mengkhawatirkan. Pada situasi seperti ini, kadang saya mengambil langkah pragmatis: saya memilih buku yang cukup tipis asal temanya masih masuk dalam bidang minat bacaan saya.
Dalam memenuhi target bacaan, saya juga berusaha mempertimbangkan variasi jenis buku. Misalnya, saya berusaha agar dalam satu tahun ada buku teks yang dapat menjadi rujukan tulisan ilmiah yang saya tuntaskan secara utuh.
Dengan target yang cukup sedikit itu, saya berusaha pilihan buku untuk buku-target ini bisa relatif ideal. Artinya, saya berusaha memilih buku yang bergizi, buku yang dikerjakan dengan cukup baik dan sungguh-sungguh, atau memiliki keunggulan yang lain. Kadang ada juga buku yang ternyata setelah dibaca jauh dari harapan karena isinya cukup bermasalah.
Ya, cukup banyak suka duka atau hal-hal yang saya temukan seiring dengan upaya membangun komitmen membaca ini pada beberapa tahun terakhir. Yang jelas, di kesadaran saya, sampai saat ini masih tertanam kuat bahwa masih banyak buku bermutu, buku legendaris, atau buku babon di bidang minat bacaan atau keilmuan saya yang masih menjadi target.
Tapi ternyata saya tidak sendiri. Ada, atau mungkin banyak, orang lain yang juga punya kegelisahan yang sama. Beberapa bulan lalu, saat Seno Gumira Adjidarma berkunjung ke Annuqayah untuk sebuah acara diskusi, dia juga menuturkan bahwa dia masih belum tuntas membaca beberapa karya sastra dunia terkemuka yang mestinya dia baca.
Jadi ini menjadi semacam hiburan buat saya. Tapi tentu, hiburan ini bisa menipu dan bisa melenakan jika saya kemudian jadi melupakan niat dan komitmen saya untuk merawat gairah membaca ini.
Namun demikian, saya juga perlu menggarisbawahi bahwa urusan membaca ini baru satu hal. Hal lain yang lebih penting juga masih banyak, seperti mengamalkan apa yang saya baca, membagikan apa yang saya baca kepada orang-orang di sekitar, dan sebagainya. Untuk hal-hal yang disebut terakhir ini, saya pikir saya juga sangat perlu membangun strategi untuk menguatkan tekad agar bisa mewujudkannya.
Label: Literacy
Minggu, 07 Desember 2014
Inspirasi al-Qur’an untuk Literasi
Al-Qur’an adalah kitab suci yang telah menjadi sumber inspirasi banyak orang di berbagai penjuru dunia. Inspirasi itu di antaranya mewujud dalam bentuk buku. Tak terbilang berapa buku yang sudah ditulis—baik oleh kaum muslim maupun nonmuslim—yang terilhami oleh al-Qur’an, mulai dari tafsir yang ditulis oleh ulama muslim klasik hingga kontemporer, buku bertema tertentu yang berperspektif al-Qur’an, hingga akhirnya al-Qur’an menjadi bidang keilmuan tersendiri sehingga kemudian melahirkan banyak karya tulis.
Di Indonesia kita punya Tafsir Al-Misbah karya M. Quraish Shihab, Tafsir al-Azhar karya Buya Hamka, Tafsir al-Ibriz karya KH Bisri Mustofa yang berbahasa Jawa, dan karya-karya yang lain. Kajian keilmuan tertentu berperspektif al-Qur’an di kalangan intelektual Indonesia juga sudah dikenal, seperti buku Al-Qur’an dan Lautan (Penerbit ‘Arasy, 2007) karya Agus S. Djamil.
Beberapa buku yang disebutkan di atas dan yang sejenisnya bisa dikelompokkan sebagai karya yang coraknya relatif akademis. Karena itu, karya-karya tersebut mungkin hanya dikenal di kalangan tertentu saja.
Namun, seiring dengan makin meluasnya minat masyarakat Indonesia pada wacana keislaman pada beberapa dekade terakhir, kita menemukan produk-produk perbukuan populer yang terinspirasi dari al-Qur’an. Mungkin yang paling banyak kita temukan paling tidak dalam 10 tahun terakhir adalah berupa pengemasan mushaf al-Qur’an dalam bentuk yang lebih menarik dengan berbagai pernik kreasinya.
Di toko-toko buku, kita menemukan al-Qur’an yang dicetak dengan pengemasan dan tata artistik dengan diberi nilai tambah tertentu. Ada al-Qur’an yang ayat-ayat di dalamnya diberi tanda tertentu terkait cara bacanya sesuai dengan Ilmu Tajwid. Ada pula yang selain memuat terjemahan versi Kementerian Agama RI juga mencantumkan terjemah per kata. Yang demikian ini dimaksudkan untuk mempermudah pembaca mendaras al-Qur’an secara benar dan membantu pembaca memahami makna literal al-Qur’an secara lebih teperinci.
Selain itu, pengembangan pengemasan al-Qur’an ini juga masuk pada minat-minat khusus. Salah satu edisi menyebut al-Qur’an yang diterbitkannya dengan istilah “edisi wanita” karena secara khusus juga memuat hal-hal yang berkaitan dengan perempuan, seperti kisah-kisah perempuan yang ada dalam al-Qur’an, ibadah tertentu terkait perempuan, dan semacamnya.
Ada juga al-Qur’an yang memberi tanda warna khusus pada ayat-ayat kauniah untuk menunjukkan keluasan cakupan al-Qur’an pada bidang sains. Ayat-ayat kauniah yang jumlahnya jauh lebih banyak dibanding ayat-ayat hukum itu diyakini merupakan isyarat al-Qur’an agar kita meneliti dan mengkaji isyarat-isyarat semesta dengan nalar.
Ada pula al-Qur’an yang disebut edisi “famy bi syauqin”. Edisi ini membagi seluruh surah al-Qur’an dalam tujuh bagian (yang lazim disebut “manzil”) yang dimaksudkan sebagai pedoman bagi mereka yang berkomitmen untuk mengkhatamkan membaca al-Qur’an selama sepekan.
Kreativitas penerbit dalam hal ini sudah menyentuh pada sisi teknologi. Penerbit Syaamil, misalnya, menerbitkan al-Qur’an yang selain memberi banyak nilai tambah dengan tafsir singkat, sebab turunnya ayat, doa terkait, dan sebagainya, juga melengkapinya dengan pena elektronik yang dapat bersuara atau melantunkan ayat al-Qur’an yang sedang ditunjuk.
Salah satu al-Qur’an yang terbit dikeluarkan oleh Penerbit Al-Mizan, Bandung berjudul al-Qur’an al-Karim: The Wisdom (Mei 2014). Selain memuat terjemahan versi Kementerian Agama RI dan terjemah per kata, al-Qur’an ini juga memuat 1420 artikel tafsir dan pengaya wawasan di setiap halamannya yang terpetakan dalam enam tema besar: akidah, akhlak, ibadah, muamalah, ilmu, dan kisah. Al-Qur’an yang penerbitannya melibatkan 17 kontributor artikel dan tebalnya mencapai 1236 halaman ini kemudian tampak seperti tafsir tematik terpilih yang penyajiannya bersifat populer. Rujukan yang digunakan meliputi kitab-kitab tafsir otoritatif, mulai dari tafsir klasik seperti al-Thabari hingga kontemporer seperti karya Wahbah Zuhaili.
Berbagai edisi pengemasan al-Qur’an dalam bentuk baru dan populer ini bisa dilihat sebagai kreativitas dan kejelian penerbit untuk melihat kebutuhan dan peluang pasar. Di media massa, khususnya televisi, kita dapat melihat bangkitnya minat keagamaan masyarakat muslim khususnya di kalangan kelas menengah perkotaan. Di industri mode, busana muslim juga mengalami peningkatan minat yang cukup luar biasa.
Seiring dengan inilah kreasi penerbit untuk mengemas al-Qur’an dengan sedemikian rupa juga muncul. Melihat semakin beragamnya kreasi penerbit dalam penerbitan al-Qur’an ini, kita dapat menilai bahwa berbagai versi al-Qur’an tersebut sangat laku di pasaran. Penerbit tampak tak ragu untuk mengeluarkan modal penerbitan yang cukup besar (tampak dari cetakannya yang rata-rata mewah) karena laba yang bisa diperoleh cukup menjanjikan.
Demikianlah, dalam bentuk yang lebih populer, kita belakangan ini menyaksikan bagaimana al-Qur’an menginspirasi dunia literasi. Sampai di titik ini, kita patut menggarisbawahi bahwa ayat al-Qur’an yang pertama diturunkan, yakni surah al-‘Alaq ayat 1-5, memang memuat semangat literasi yang kuat.
Berbagai versi al-Qur’an yang sifatnya kreatif itu memberi akses yang lebih mudah dan lebih luas pada masyarakat umum untuk dapat membaca, memahami, dan menggali pesan-pesan al-Qur’an sebagai pedoman hidup kaum muslim. Mereka yang awam di bidang ilmu keislaman dapat belajar al-Qur’an melalui produk populer ini. Tentu ini bisa menjadi kabar yang menggembirakan. Harapannya, semoga inspirasi al-Qur’an untuk literasi ini bisa memberi dampak yang lebih nyata bagi peningkatan mutu keberagamaan dan mutu kehidupan masyarakat.
Versi pendek tulisan ini dimuat di Harian Radar Surabaya, 7 Desember 2014.
Senin, 01 September 2014
Plagiasi Bikin Sulit Tidur
Tadi malam saya dibuat tak bisa cepat lelap. Padahal, saya sudah cukup lelah. Sekitar petang, saya baru tiba dari Malang mengikuti International Conference on Islamic Civilization yang diadakan oleh Fakultas Humaniora UIN Maulana Malik Ibrahim Malang mulai hari Jum’at lalu.
Mengapa saya sulit tidur? Karena saya menemukan salah satu tulisan saya yang bisa dibaca di blog saya ini disalin-tempel dalam sebuah buku yang baru saya beli Ahad siang kemarin di Malang. Buku itu berjudul Psikologi Tasawuf karya Drs. Tamami HAG. M.Ag. terbitan Pustaka Setia, Bandung (2011). Di buku itu, tulisan saya sepanjang sekitar 600 kata yang disalin-tempel hanya dirujukkan ke Koran Tempo edisi 4 Januari 2004, yakni media dan tanggal pemuatan tulisan saya. Tanda perujukan diletakkan di paragraf terakhir dari seluruh bagian yang disalin-tempel.
Saya memeriksa tulisan saya di blog. Saya juga memeriksa arsip kliping tulisan yang disusun saat saya masih berstatus sebagai mahasiswa Fakultas Filsafat UGM itu. Saya bandingkan dengan buku yang baru saya beli itu. Memang salin-tempelnya tidak 100%. Tapi mungkin bisa dibilang 99% tidak jauh berbeda.
Ada bermacam perasaan yang membuat saya terus kepikiran. Saya kecewa. Saya sedih. Saya juga marah. Kekecewaan, kesedihan, dan kemarahan saya buka semata karena tulisan saya disalin-tempel tanpa menyebut nama saya, tapi lebih karena buku ini rupanya ditulis sebagai buku teks kuliah yang jika digoogling tampaknya sudah banyak digunakan mahasiswa dalam menyusun makalah. Saya berpikir, bagaimana mungkin karya yang dibuat dengan cara tak menghargai karya orang lain ini digunakan oleh para pelajar calon generasi penerus bangsa? Saya membayangkan betapa mental plagiasi di balik buku ini punya potensi merusak yang luas.
Tapi mungkin ada orang yang akan bertanya: “Bukankah si penulis sudah mencantumkan rujukan ke koran yang merupakan sumber tulisan saya?” Oke, benar. Tapi jika kutipannya persis, bukankah dalam kaidah penulisan ilmiah cara penulisannya harus berbeda? Serupa dengan cara orang membuat kalimat langsung dan kalimat tidak langsung yang cara penulisannya juga mesti berbeda.
Lagipula, si penulis hanya menyebut nama koran dan tanggal. Padahal di koran tersebut, judul tulisan dan penulisnya jelas ada. Tapi mengapa tidak dicantumkan, termasuk tidak dipasang di daftar pustaka? Di beberapa bagian, penulis buku mengubah kalimat dalam tulisan saya. Ada yang disesuaikan, karena tulisan saya itu merupakan resensi buku karya Lynn Wilcox, Ilmu Jiwa Berjumpa Tasawuf (Serambi, 2003). Tapi, ada bagian yang tak disesuaikan sehingga pembaca mungkin akan sedikit bingung.
Apakah ini termasuk plagiasi? Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, “plagiat” dimaknai “pengambilan karangan (pendapat dsb) orang lain dan menjadikannya seolah-olah karangan (pendapat dsb) sendiri”. Saya pikir, salin-tempel yang kalimat-kalimatnya 99% persis dan rujukannya dibuat tidak jelas seperti ini termasuk dalam kelompok plagiasi atau penjiplakan.
Agar jelas, silakan pembaca bandingkan secara lebih cermat isi buku yang salin-tempel dengan tulisan saya yang dimaksud.
Saya dengan mudah menemukan kasus salin-tempel ini karena judul subbab yang seluruh isinya bersumber dari tulisan saya tidak diubah dari judul yang saya buat. Judulnya persis sama dengan judul tulisan saya di Koran Tempo edisi 4 Januari 2004 itu. Judulnya khas koran dan sebenarnya kurang cocok untuk judul subbab di buku teks.
Melihat judul-judul subbab yang lain, saya jadi curiga bahwa di bagian yang lain itu saya bisa menemukan kasus salin-tempel serupa. Tadi pagi, saya coba memeriksa subbab sebelum dan sesudah bagian yang salin-tempel dari tulisan saya. Hasilnya, ternyata sama: si penulis buku melakukan salin-tempel dari sumber di internet dengan perujukan yang tidak jelas.
Pemeriksaan saya tadi pagi menemukan 7 tautan di internet yang disalin-tempel, termasuk tulisan saya. Di buku itu, 7 tautan tersebut menjelma menjadi 71 halaman (dalam 2 bab). Di antara yang disalin-tempel adalah tulisan Ihsan Maulana dan Martin van Bruinessen. Dalam kasus tulisan Ihsan Maulana, si penulis buku tak menyebut nama Ihsan Maulana atau rujukan tautan blog yang dikutip. Tulisan Ihsan Maulana yang disiarkan di blog pribadinya pada bulan Februari 2008 disalin-tempel dalam 15 halaman di buku itu. Rujukan-rujukan yang digunakan Ihsan Maulana langsung saja dirujuk oleh si penulis buku sehingga pembaca buku akan menduga bahwa pengarang buku merujuk pada buku-buku tersebut. Padahal, kalimat-kalimat dan rujukannya ya mengambil dari tulisan Ihsan Maulana.
Untuk tulisan Martin van Bruinessen, nama profesor dari Utrecht University yang juga peneliti tasawuf dan juga peneliti pesantren ini disebut di bagian awal tulisan yang merupakan salin-tempel dan di buku menjadi 6 halaman itu. Selanjutnya, si penulis buku mencantumkan rujukan-rujukan yang digunakan Martin van Bruinessen seolah-olah si penulis mengakses sendiri bahan rujukan tersebut. Padahal, kalimat-kalimat di buku bisa dibilang persis dengan tulisan Martin yang bisa diakses di laman Utrecht University itu.
Bagaimana dengan bab yang lain?
Cukuplah rasanya 7 tautan dan 71 halaman itu untuk membuat saya benar-benar kecewa, sedih, dan marah. Bukan karena ini terkait tulisan saya, tulisan Ihsan Maulana yang lulusan PP Bata-Bata Pamekasan atau tulisan Martin van Bruinessen yang merupakan profesor di kampus yang adalah almamater saya. Saya kecewa, sedih, dan marah karena perilaku kotor ini dilakukan oleh seorang pendidik di kampus agama, dan karyanya digunakan oleh ribuan atau lebih mahasiswa.
Seorang rekan mengatakan bahwa plagiasi seperti ini akan terus ada sepanjang masa. Tapi tentu saja tidak berarti kita harus diam saja. Pemaparan pengalaman saya melalui tulisan ini setidaknya diharapkan dapat menjadi peringatan bagi saya dan kita semua bahwa ada pekerjaan rumah yang penting diperhatikan di dunia pendidikan kita.
Terakhir, bagi yang kebetulan punya buku tersebut dan tertarik untuk memeriksa bagian salin-tempel yang saya maksud, silakan buka bab kedua dan bab ketiga buku tersebut, lalu bandingkan dengan rangkaian tautan di bawah ini:
Tautan 1
Tautan 2
Tautan 3
Tautan 4
Tautan 5
Tautan 6
Tautan 7
Baca juga:
>> Plagiarisme dan Komunitas Akademik yang Sekarat
>> Vampir Kebudayaan dan Sisi Hitam Dunia Kepenulisan
Label: Education, Literacy, Social-Politics
Jumat, 22 Agustus 2014
Buku Pembangkit Minat Baca
Saat membantu pengelolaan Perpustakaan Madaris III Annuqayah, Guluk-Guluk, Sumenep, pada tahun 2008-2009, saya sempat memunculkan istilah “buku pembangkit minat baca”. Istilah ini digunakan untuk menyebut buku-buku yang dianggap mampu menarik dan membangkitkan minat baca siswa khususnya yang sebelumnya masih belum cukup akrab dengan buku.
Sebagai perpustakaan sekolah yang berada di wilayah pedalaman Madura yang sebagian besar siswanya berlatar dari keluarga golongan masyarakat dengan kemampuan ekonomi menengah ke bawah, diperlukan upaya dan strategi khusus untuk memancing kegemaran siswa pada buku.
Saya berpandangan bahwa pemilihan buku koleksi perpustakaan menjadi kunci utama yang sangat penting untuk diperhatikan. Di tengah anggaran yang terbatas, perpustakaan harus cermat memilih buku. Pada titik inilah lalu muncul istilah “buku pembangkit minat baca”.
Yang dimaksud “buku pembangkit minat baca” adalah buku bermutu yang nyaman dicerna dan menyenangkan untuk dibaca bahkan oleh mereka yang masih tidak biasa atau malah fobia terhadap buku. Nah, pada waktu itu, saya berpikir bahwa yang masuk untuk kategori ini adalah buku yang bergaya tutur naratif sehingga nyaman dibaca dan mudah dicerna.
Dalam tulisan saya di tahun 2009, saya memberi contoh buku Muhammad karya Martin Lings (Serambi), Laskar Pelangi karya Andrea Hirata (Bentang), dan Ganti Hati karya Dahlan Iskan (JP Books). Sekali lagi, waktu itu saya terlalu fokus pada gaya penyajian bahasa untuk menilai apakah sebuah buku bisa disebut sebagai “buku pembangkit minat baca”. Saya tidak memberi perhatian yang cukup pada unsur “menyenangkan”.
Saya jadi berpikir ulang soal “buku pembangkit minat baca” ini setelah tulisan saya di blog ini yang memaparkan program “Tantangan Membaca 2.0” di SMA 3 Annuqayah dan juga disusul dengan daftar buku yang akan masuk dalam program tersebut ditanggapi banyak pihak. Salah satu butir komentar kritis yang saya terima, di antaranya oleh Ahmad Subhan dan Sekar Dinihari (keduanya pustakawan yang kebetulan saya kenal), atas program-program yang berusaha mendorong kegemaran membaca dan menulis di SMA 3 Annuqayah adalah bahwa berbagai program yang ada terkesan kurang menyentuh kelompok siswa yang kegemaran membaca dan kesukaannya pada buku masih lemah.
Dalam menanggapi salah satu posting saya di blog ini, Ahmad Subhan menulis: “Setelah membaca beberapa tulisan mengenai program tantangan membaca di blog ini dan Taman Karya Madaris, saya jadi menduga bahwa program ini baru memberi kesempatan bagi beberapa siswa yang sudah punya kebiasaan membaca dengan baik. Mungkin kebiasaan itu sudah terbangun pada mereka yang sedikit itu melalui berbagai cara yang bersifat individual. Program tantangan membaca membuka kesempatan bagi mereka yang ternyata menonjol ini untuk tampil.”
Sekar Dinihari, yang bersama suaminya yang seorang fotografer profesional pernah berkunjung dan berbagi ilmu di SMA 3 Annuqayah, menceritakan pengalaman pribadinya yang mengaku cenderung malas dengan buku tebal dan tak bergambar sama sekali. Baginya, membaca itu juga kudu menyenangkan sehingga dia mengaku selalu menekankan reading a book as an art dalam tiap diskusi tentang perpustakaan.
Komentar-komentar ini membuat saya diam sejenak dan berpikir ulang. Dari pengamatan selintas atas hasil pelaksanaan beberapa program yang berusaha mendorong kegemaran membaca di SMA 3 Annuqayah, saya jadi tersadar bahwa belakangan saya memang kurang fokus pada mereka yang memang masih jauh untuk dekat dengan buku. Memang, dari 11 siswa yang akhir tahun pelajaran 2013/2014 kemarin tuntas mengikuti program Tantangan Membaca, saya menemukan 4 di antaranya termasuk siswa yang tidak menonjol dalam kegiatan terkait buku dan kepenulisan, dan bahkan secara akademik di kelas tidaklah begitu menonjol. Ketuntasan 4 siswa ini bagi saya menjadi kabar gembira. Siswa yang di kelas tampak biasa-biasa saja ternyata bisa tuntas mengikuti program Tantangan Membaca, meskipun saat pemaparan hasil bacaannya secara lisan mereka memang masih tampak agak kesulitan.
Melihat hasil program Tantangan Membaca akhir tahun pelajaran lalu, saya malah tampak lebih tergoda untuk fokus dan mengembangkan program Tantangan Membaca ini, terbukti dengan munculnya gagasan program “Tantangan Membaca 2.0”. Namun, sekali lagi, komentar-komentar kritis dari beberapa rekan telah membuat saya berpikir ulang untuk kembali ke tujuan dasar program yang berusaha mendorong kegemaran membaca di SMA 3 Annuqayah. Kami tidak boleh hanya fokus memfasilitasi siswa yang sudah punya kebiasaan membaca dan kecintaan pada buku. Kami harus lebih memperhatikan mereka yang masih belum akrab dengan buku dan kegiatan membaca.
Untuk itu, saya jadi berpikir untuk menghidupkan kembali program “Perpustakaan Masuk Kelas” yang sempat terhenti karena persediaan naskah yang terbatas. Program yang mulai diperkenalkan di SMA 3 Annuqayah pada bulan Februari 2012 ini saat dievaluasi pelaksanaannya empat bulan kemudian ternyata menunjukkan antusiasme siswa secara umum untuk mulai akrab dengan bacaan bermutu. Keunggulan program ini terutama karena naskah yang disajikan benar-benar dipilih dengan cermat dan disuguhkan lengkap dengan kamus mini sehingga nyaman dan mudah dicerna. Panjang tulisan yang relatif pendek juga membuat siswa relatif tidak berat untuk mencerna bacaan yang disajikan.
Selain program “Perpustakaan Masuk Kelas” itu, untuk persiapan program Wajib Baca dan program Tantangan Membaca pada tahun pelajaran 2014/2015 ini, saya berusaha untuk menghimpun daftar “buku pembangkit minat baca” untuk segera dikoleksi oleh SMA 3 Annuqayah. Untuk menyusun daftar ini, saya sekarang mencoba ingin memberi penekanan pada unsur “menyenangkan”. Saya tak ingin mengulangi keteledoran saya yang kurang memperhatikan unsur ini.
Karena itu, saya berusaha mendaftar buku-buku yang penuh ilustrasi/gambar yang mengangkat tema-tema menarik dan penting sesuai dengan visi SMA 3 Annuqayah. Asumsinya, pembaca pemula, yakni mereka yang belum akrab dengan buku, akan lebih mudah terpikat pada buku yang tidak kering dan bertabur ilustrasi. Apalagi gambarnya kemudian tersaji warna-warni.
Di bawah ini adalah daftar sementara buku yang berhasil saya temukan yang akan dipertimbangkan untuk dikoleksi. Saya menyusun tulisan ini dan menyiarkan daftar sementara buku yang akan dikoleksi dengan harapan akan mendapatkan dukungan pembaca baik dalam bentuk usulan daftar buku selain yang sudah disebut di sini atau siapa tahu ada yang sudi mendatang beberapa buku yang ada di daftar berikut untuk SMA 3 Annuqayah.
Berikut daftar sementara yang berhasil saya himpun:
Qur’anku Sahabatku 1-4, Afif Muhammad, DAR! Mizan.
Kisah Nyata 25 Nabi dan Rasul, M. Faizi, Indonesia Tera.
Karung Mutiara al-Ghazali, Hermawan & Jitet Koestana, KPG.
Biografi Imam Syafi’i, Tariq Suwaidan, Zaman.
Biografi Imam Malik, Tariq Suwaidan, Zaman.
Biografi Imam Abu Hanifah, Tariq Suwaidan, Zaman.
Biografi Imam Ahmad ibn Hanbal, Tariq Suwaidan, Zaman.
Seri Walisongo, Arman Arroisi, Rosda.
Gus Dur van Jombang, Heru Prasetia & Edi Jatmiko, Bentang Pustaka.
Soekarno, Tim Majalah Tempo, KPG.
Hatta, Tim Majalah Tempo, KPG.
Wahid Hasyim, Tim Majalah Tempo, Jakarta: KPG.
Wiji Thukul, Tim Majalah Tempo, Jakarta: KPG.
Munir: Novel Grafis, Sulaiman Said, KPG.
Palestina: Duka Orang-Orang Terusir 1-2, Joe Sacco, DAR! Mizan.
Nafsu Perang, Joel Andreas, Profetik.
Komik Riwayat Peradaban 1-3, Larry Gonick, KPG.
Mendeteksi Bias Berita, Heri Winarko, KLIK.
Quantum Learner, Bobbi DePorter, Kaifa.
Quantum Thinker, Bobbi DePorter, Kaifa.
Quantum Reader, Bobbi DePorter, Kaifa.
Quantum Writer, Bobbi DePorter, Kaifa.
Quantum Note-Taker, Bobbi DePorter, Kaifa.
Quantum Memorizer, Bobbi DePorter, Kaifa.
The Naked Traveler, Trinity, C Publishing.
Baca juga:
>> Tantangan Membaca 2.0
>> Perpustakaan Masuk Kelas
Label: Literacy, School Corner
Kamis, 07 Agustus 2014
Buku untuk Literasi di Sekolah
Program literasi di SMA 3 Annuqayah semakin diperkuat mulai tahun pelajaran 2013/2014 lalu. Sekolah merancang sejumlah program khusus yang beberapa di antaranya memperkuat program yang sudah terlaksana sebelumnya.
Ada satu program baru yang dicanangkan tahun lalu, yakni program wajib baca buku. Rencananya, sekolah akan mewajibkan semua siswa untuk membaca sejumlah buku dalam waktu satu tahun pelajaran. Adapun buku yang bisa dibaca untuk program ini sudah dipilih dan disediakan secara khusus oleh sekolah di tiap kelas (dalam program Perpus-dalam-Kelas).
Karena ternyata proses pemilihan buku dan pengadaannya cukup memakan waktu, akhirnya program ini tidak terlaksana. Namun begitu, 3 bulan sebelum tahun pelajaran 2013/2014 berakhir, SMA 3 Annuqayah telah membeli 22 judul buku terpilih yang semua berjumlah 218 eksemplar. Selain itu, sekolah juga membeli Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) edisi terbaru sebanyak 9 eksemplar yang disebar ke tiap kelas. Sekolah juga menerbitkan Kisah Terpilih: Antologi Cerita Pendek yang merupakan proyek penerbitan cerpen-cerpen karya cerpenis terkemuka Indonesia lintas-dekade. Kisah Terpilih dicetak terbatas sebanyak 55 eksemplar dan disebar ke tiap kelas.
Meski program wajib baca tidak terlaksana, di akhir tahun pelajaran 2013/2014 lalu, SMA 3 Annuqayah sempat melaksanakan kegiatan “Tantangan Membaca”. Dalam waktu 30 hari antara 10 Mei hingga 10 Juni 2014, siswa SMA 3 Annuqayah ditantang untuk membaca paling sedikitnya 5 buku terpilih di antara 22 judul buku yang tersedia. Berikut ini daftar judul bukunya:
Buku Pilihan Program Wajib Baca dan Tantangan Membaca:
Annuqayah: Gerak Transformasi Sosial di Madura, Bisri Effendy, Jakarta: P3M.
Rahasia Perempuan Madura, A. Dardiri Zubairi, Surabaya: Andhap Asor.
Bilik-Bilik Cinta Muhammad, Nizar Abazhah, Jakarta: Zaman.
Perempuan, M. Quraish Shihab, Jakarta: Lentera Hati.
Wahid Hasyim, Tim Majalah Tempo, Jakarta: KPG.
Wiji Thukul, Tim Majalah Tempo, Jakarta: KPG.
Emak, Daoed Joesoef, Jakarta: Kompas.
Ganti Hati, Dahlan Iskan, Jakarta: Elex Media.
Alamku Tak Seramah Dulu, Aditya Dipta (ed.), Jakarta: YOI.
Greendeen, Ibrahim Abdul-Matin, Jakarta: Zaman.
Lumbung Pangan, Hira Jhamtani, Yogyakarta: Insist Press.
Terapi Berpikir Positif, Ibrahim Elfiky, Jakarta: Zaman.
Bekisar Merah, Ahmad Tohari, Jakarta: Gramedia.
Jalan Tak Ada Ujung, Mochtar Lubis, Jakarta: YOI.
Pertemuan Dua Hati, Nh. Dini, Jakarta: Gramedia.
Sang Alkemis, Paulo Coelho, Jakarta: Gramedia.
Lukisan Kaligrafi, A. Mustofa Bisri, Jakarta: Kompas.
Totto-chan, Tetsuko Kuroyanagi, Jakarta: Gramedia.
Sheila, Torey Hayden, Bandung: Qanita.
Rabiah al-Adawiyah, Makmun Gharib, Jakarta: Zaman.
Keajaiban Istighfar, Qamaruddin SF, Jakarta: Zaman.
Usir Galau dengan Internet Sehat, Donny Bu, Yogyakarta: Andi Offset.
Alhamdulillah, meski dilaksanakan secara cukup mendadak dan waktunya juga di sela-sela pelaksanaan ujian semester, ada 11 siswa yang berhasil menuntaskan program “Tantangan Membaca” ini (termasuk menuliskan rangkuman/ulasan buku yang dibacanya), dan 8 di antaranya mempresentasikan satu buku hasil bacaannya secara lisan di sebuah forum yang difasilitasi sekolah.
Program “Tantangan Membaca” ini sebenarnya bukan hal baru di lingkungan sekolah. Kami mendengar program ini dari Satria Dharma, Ketua Ikatan Guru Indonesia (IGI) yang juga pegiat literasi, saat menjadi narasumber di SMA 3 Annuqayah beberapa bulan lalu dalam sebuah seminar literasi. Namun, kami memilih secara khusus daftar buku yang dimasukkan untuk program ini. Mirip dengan pengembangan program silent reading yang sudah dilaksanakan di banyak sekolah di Indonesia dengan cara memilih bacaan yang dikutip dari buku tertentu untuk program silent reading yang di SMA 3 Annuqayah disebut program Perpus-Masuk-Kelas. Dengan memilih buku yang bisa dibaca dan disebar ke tiap kelas, diharapkan siswa dapat diarahkan untuk membaca buku-buku tertentu yang sesuai dengan visi sekolah dan relatif bermutu.
Pemilihan buku yang tepat menurut saya menjadi salah satu kunci penting dalam mendorong minat baca. Karena itu, selain kesesuaian dengan visi sekolah dan mutu yang terjamin, kami berusaha untuk memilih buku yang secara relatif enak dibaca dan mudah dicerna. Demi membantu kemudahan siswa, sekolah menyediakan Kamus Besar Bahasa Indonesia di tiap kelas.
Selain wawasan perbukuan yang luas, tantangan dalam memilih buku untuk program ini adalah kesesuaian dengan kemampuan membaca siswa. Meski siswa di SMA 3 Annuqayah rata-rata memiliki pengalaman membaca buku yang sangat minim, kadang saya memberanikan diri untuk memasukkan buku yang mungkin relatif berat. Sebagai penjajakan, kami mengujicobakan ke beberapa siswa dengan secara proaktif meminjamkan buku tersebut untuk dibaca. Misalnya, saya pernah meminjamkan buku Dari Puncak Bagdad karya Tamim Ansary untuk dibaca siswa kelas XI SMA 3 Annuqayah. Juga novel Mushashi karya Eiji Yoshikawa. Alhamdulillah, ternyata dibaca tuntas.
Tantangan lainnya berupa ketersediaan buku. Tak jarang kami harus memfotokopi buku yang kami pilih karena buku tersebut sudah tidak dicetak oleh penerbit.
Tentu saja, dalam hal memilih buku, masukan dari berbagai pihak sangatlah membantu kami. Tak hanya rekan-rekan pencinta buku yang memberi masukan, bahkan AS Laksana turut mengapresiasi program ini dan sempat berdiskusi soal pilihan beberapa buku yang saya daftar. Lebih jauh, AS Laksana sempat menyebut program literasi di SMA 3 Annuqayah ini dalam sebuah esainya di rubrik Ruang Putih Jawa Pos edisi 29 Desember 2013.
Dalam program “Tantangan Membaca” yang dilaksanakan akhir tahun pelajaran 2013/2014 lalu, memang terlihat bahwa ada buku yang tampaknya belum atau jarang dicoba untuk dibaca siswa. Ini merupakan tantangan bagi kami sebagai penyelenggara untuk memikirkan bagaimana caranya agar buku tersebut bisa diminati.
Sebagai pengembangan dari program “Tantangan Membaca”, beberapa waktu lalu saya menggagas untuk mengembangkan program ini dalam sebuah program dengan nama “Tantangan Membaca 2.0”. Dalam versi baru, program ini menantang siswa untuk membaca sejumlah buku terpilih dalam satu tema tertentu. Diharapkan, pengalaman membaca secara terfokus seperti ini akan memberi pengalaman baru yang berbeda, mendorong semangat belajar siswa, dan mengarahkan siswa untuk menekuni bidang kajian tertentu.
Sejauh ini, ada 10 tema yang sudah terpilih, yakni: al-Qur’an, sejarah kehidupan Nabi Muhammad saw., akhlak/tasawuf, pesantren, Madura, sejarah/tokoh, lingkungan hidup, jurnalistik, sastra Indonesia, dan sastra dunia.
Saat ini kami sedang menyusun daftar buku terpilih untuk kesepuluh tema ini. Saya memang tidak yakin bahwa semua buku yang ada dalam daftar ini dapat kami beli semua tahun ini, karena untuk soal pengadaan kami harus menyesuaikan dengan keterbatasan dana sekolah yang sejauh ini hanya mengandalkan pada dana BOS. Meski tidak terbeli semuanya tahun ini, saya pikir pekerjaan mendaftar buku ini akan bermanfaat. Paling tidak sebagai daftar keinginan. Pemilihan daftar ini saya pikir juga akan sangat berguna jika ada sekolah lain yang juga melaksanakan program literasi dan butuh rekomendasi daftar buku pilihan.
Saya berbagi daftar buku terpilih ini juga dengan maksud untuk mendapatkan dukungan dari para pembaca. Dukungan dapat berupa masukan atau usul tentang buku yang cocok untuk dimasukkan ke dalam daftar buku terpilih sesuai tema. Juga bisa terkait dengan pengadaan. Siapa tahu ada yang sudi membantu mencarikan di toko buku (tentu jika bisa dengan harga yang murah). Atau malah ada penerbit peduli literasi yang mau memberi potongan khusus untuk kami. (Alhamdulillah, dalam 2 tahun terakhir, Penerbit Serambi dan Zaman di Jakarta memberi kami diskon khusus setiap kali kami membeli buku-buku mereka). Atau ada yang mau menyumbang satu atau dua judul buku yang masuk di daftar ini. Atau ada yang mau membantu mencarikan bukunya untuk difotokopi jika ternyata buku tersebut sudah tidak tersedia lagi di toko buku.
Tentu saja, saya juga masih akan terus menghimpun daftar buku selain untuk kesepuluh tema ini. Namun, sementara, saya dahulukan untuk menyusun daftar buku untuk kesepuluh tema ini, dan nanti dalam pengadaannya saya mungkin harus kompromi dengan membelanjakan dana yang ada dengan fokus pada tema tertentu karena mungkin sulit untuk membeli semua buku dari sepuluh tema ini dalam waktu satu tahun pelajaran ini. Berikut ini daftar sementara buku terpilih untuk kesepuluh tema tersebut:
Tema al-Qur’an:
Tema Pokok al-Qur’an, Fazlur Rahman, Pustaka.
Mukjizat al-Qur’an, M. Quraish Shihab, Mizan.
Membumikan al-Qur’an, M. Quraish Shihab, Mizan.
Detik-Detik Penulisan Wahyu, Fathi Fawzi ‘Abdul Mu’thi, Zaman.
Al-Lubab (Al-Fatihah dan Juz ‘Amma), M. Quraish Shihab, Lentera Hati.
Wanita-Wanita al-Qur’an, Fathi Fawzi ‘Abdul Mu’thi, Zaman.
Al-Qur’an dan Lautan, Agus S. Djamil, Arasy.
Tema Sejarah Nabi Muhammad:
Muhammad, Martin Lings, Serambi.
Khadijah: The True Love Story of Muhammad, Abdul Mun’im Muhammad, Penerbit Pena.
Sayidah Aminah, ‘Aisyah Abdurrahman binti Syathi’, Lentera.
Pribadi Muhammad, Nizar Abazhah, Zaman.
Bilik-Bilik Cinta Muhammad, Nizar Abazhah, Zaman.
Ketika Nabi di Kota, Nizar Abazhah, Zaman.
Muhammad: Rasul Zaman Kita, Tariq Ramadan, Serambi.
Dan Muhammad adalah Utusan Allah, Annemarie Schimmel, Mizan.
Tema Akhlak/Tasawuf:
Buku Saku Olah Jiwa, al-Hakim al-Tirmidzi, Zaman.
Al-Hikam, Ibnu Athaillah, Zaman.
Nashaihul Ibad, Syekh Nawawi al-Bantani, Pustaka Turos.
Obrolan Sufi, Robert Frager, Zaman.
Pencerah Matahati, Muzaffer Ozak, Serambi.
Rabiah al-Adawiyah, Makmun Gharib, Zaman.
Jalan Cinta Rumi, Nigel Watts, Gramedia.
Keajaiban Istighfar, Qamaruddin SF, Zaman.
Tobat itu Nikmat, Asy’ari Khatib, Zaman.
Jiwaku Adalah Wanita, Annemarie Schimmel, Mizan.
Perjalanan Menuju Keabadian, M. Quraish Shihab, Lentera Hati.
Tafsir Kebahagiaan, Jalaluddin Rakhmat, Serambi.
Dengarkan Hatimu Berbisik, Muhammad Kuswandi, Zaman.
Tema Pesantren:
Annuqayah: Gerak Transformasi Sosial di Madura, Bisri Effendy, P3M.
Guruku Orang-Orang Pesantren, Saifuddin Zuhri, LKiS.
Berangkat dari Pesantren, Saifuddin Zuhri, LKiS.
Wahid Hasyim, Tim Majalah Tempo, KPG.
Kiai Nyentrik Membela Pemerintah, Abdurrahman Wahid, LKiS.
Tradisi Pesantren, Zamakhsyari Dhofier, LP3ES.
Pembaruan Pesantren, Abd. A’la, LKiS.
Bilik-Bilik Pesantren, Nurcholish Madjid, Paramadina.
Tema Madura:
Sejarah Madura: Selayang Pandang, Abdurrahman.
Madura dalam Empat Zaman, Hubb de Jong, Gramedia.
Madura 1850-1940: Perubahan Sosial dalam Masyarakat Agraris, Kuntowijoyo, MataBangsa.
Carok, A. Latief Wiyata, LKiS.
Manusia Madura, Mien A. Rifai, Pilar Media.
Rahasia Perempuan Madura, A. Dardiri Zubairi, Andhap Asor.
Tema Sejarah/Tokoh:
Atlas Walisongo, Agus Sunyoto, Pustaka IIMaN.
Kesadaran Nasional: Dari Kolonialisme sampai Kemerdekaan, Slamet Muljana, LKiS.
1000 Tahun Nusantara, Tim Kompas, Kompas.
Soekarno, Tim Tempo, KPG.
Hatta, Tim Tempo, KPG.
Dari Puncak Bagdad: Sejarah Dunia versi Islam, Tamim Ansary, Zaman.
100 Tokoh Paling Berpengaruh di Dunia, Michael Hart, Noura Books.
100 Muslim Paling Berpengaruh Sepanjang Masa, Muhammad Majlum Khan, Noura Books.
Tema Lingkungan Hidup:
Alamku Tak Seramah Dulu, Aditya Dipta (ed.), YOI.
Greendeen, Ibrahim Abdul-Matin, Zaman.
Lumbung Pangan, Hira Jhamtani, Insist Press.
Dari Ladang Sampai Kabinet: Menggugat Nasib Petani, JA Noertjahyo, Kompas.
Paradigma Baru Pembangunan Pertanian, Loekman Soetrisno, Kanisius.
Tema Jurnalistik:
Catatan-Catatan Jurnalisme Dasar, Luwi Ishwara, Kompas.
Seandainya Saya Wartawan Tempo, Bambang Bujono & Toriq Hadad, ISAI.
Kalimat Jurnalistik, AM Dewabrata, Kompas.
Cerita di Balik Dapur Tempo, Tim Majalah Tempo, KPG.
Jurnalisme Investigasi, Dandhy Dwi Laksono, Kaifa.
Jurnalisme Sastra, Andreas Harsono (ed.), KPG.
Citizen Journalism, Pepih Nugraha, Kompas.
Blur, Bill Kovach, Dewan Pers.
Tema Sastra Indonesia:
Arus Balik, Pramoedya Ananta Toer, Hasta Mitra.
Ronggeng Dukuh Paruk, Ahmad Tohari, Gramedia.
Dilarang Mencintai Bunga-Bunga, Kuntowijoyo, Pustaka Firdaus.
Orang-Orang Bloomington, Budi Darma, Sinar Harapan.
Seribu Kunang-Kunang di Manhattan, Umar Kayam, Grafiti.
Jalan Tak Ada Ujung, Mochtar Lubis, YOI.
Lukisan Kaligrafi, A. Mustofa Bisri, Kompas.
Saksi Mata, Seno Gumira Ajidarma, Bentang Pustaka.
Tarian Bumi, Oka Rusmini, Tera.
Blok, Putu Wijaya, Pustaka Firdaus.
Murjangkung, AS Laksana, GagasMedia.
Supernova: Ksatria, Putri, dan Bintang Jatuh, Dee, Bentang Pustaka.
Tema Sastra Dunia:
Pangeran Kecil, Antoine de Saint-Exupery, Gramedia.
Sampar, Albert Camus, Pustaka Jaya.
Musashi, Eiji Yoshikawa, Gramedia.
Lorong Midaq, Naguib Mahfouz, YOI.
Dr. Zhivago, Boris Pasternak, Narasi.
Ibunda, Maxim Gorky, Kalyanamitra.
Lelaki Tua dan Laut, Ernest Hemingway, Serambi.
To Kill a Mockingbird, Harper Lee, Qanita.
100 Tahun Kesunyian, Gabriel Garcia Marques, Bentang Pustaka.
In Cold Blood, Truman Capote, Bentang Pustaka.
Sang Alkemis, Paulo Coelho, Gramedia.
Kisah Pi, Yann Martel, Gramedia.
Baca juga:
>> Tantangan Membaca 2.0
>> Penerbit Peduli Literasi
>> Perpustakaan Masuk Kelas
>> Kerangka Acuan Program Literasi SMA 3 Annuqayah 2013/2014
Label: Literacy, School Corner