Tampilkan postingan dengan label Madura. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Madura. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 15 Juni 2019

Tahlilan, Strategi Dakwah ala Islam Nusantara


Di desa tempat saya tinggal saat ini, di pedalaman Madura, ada tradisi tahlilan bersama di pemakaman umum desa di sore hari di hari lebaran Idulfitri. Sekitar pukul empat sore, sebagian warga desa—tua, muda, laki-laki, perempuan, remaja, anak kecil—berbondong-bondong datang ke pemakaman umum Desa Taro’an, Kecamatan Tlanakan, Kabupaten Pamekasan. Beberapa warga yang mudik dari tempat mereka merantau pun turut hadir.

Tradisi tahlil bersama di hari lebaran sebenarnya sesuatu yang lazim khususnya di Madura. Di tanah kelahiran saya di Desa Guluk-Guluk, Kecamatan Guluk-Guluk, Kabupaten Sumenep, tahlilan dilakukan tepat setelah salat Idulfitri di masjid.

Berbeda dengan tahlilan yang dilaksanakan setelah salat Idulfitri yang juga digelar di tempat saya salat Id, tahlilan di pemakaman umum Desa Taro’an di sore hari di hari lebaran ternyata punya sedikit latar cerita yang cukup menarik.

Menurut para tetua di desa kami, dulunya di hari lebaran pemakaman umum desa kami sering ditempati orang-orang bermain taruhan atau judi. Waktunya biasanya antara setelah asar hingga jelang maghrib. Orang-orang bergerombol di sudut-sudut lokasi pemakaman. Warga resah. Tak ada yang berinisiatif mengambil tindakan.

Kemudian salah satu tokoh masyarakat desa mengajukan usulan. Namanya Kiai Zainuddin Abdul Mu’thi. Dengan beberapa tokoh masyarakat, dia mengajak warga untuk tahlil bersama di pemakaman umum di sore hari di hari lebaran. Tujuan utamanya agar orang-orang yang biasa main taruhan di pemakaman umum jadi sungkan dan berhenti main taruhan di sana.

Walhasil, usulan ini disambut baik oleh warga. Di sore hari di hari lebaran, warga berduyun-duyun ke pemakaman umum Desa Taro’an. Beberapa orang membawa alas. Ada juga yang menyiapkan pengeras suara. Tahlil pun digelar secara rutin tiap lebaran Idulfitri—juga Iduladha.

Sejak saat itu, orang-orang yang bermain taruhan di pemakaman tak ada lagi. Tak terdengar kabar apakah orang-orang itu masih melanjutkan kebiasaannya di tempat yang lain.

Dalam tahlilan yang rutin dilaksanakan, Kiai Zainuddin yang memimpin tahlilan juga mengingatkan warga pada leluhur desa yang makamnya ada di pemakaman umum tersebut. Memang, orang-orang di Desa Taro’an tidak tahu tentang riwayat dan silsilah tetua desa yang makamnya ada di pemakaman umum desa. Makamnya pun cukup unik. Dua makam yang dari batu nisannya teridentifikasi jenis kelamin laki-laki dan perempuan terletak di tengah pemakaman umum desa. Dua makam ini dikelilingi oleh batu karang setinggi sekitar setengah meter. Cukup aneh, karena lokasi Desa Taro’an berjarak sekitar 6,5 km dari pantai.

Jadi, selain memberantas maksiat, kegiatan tahlilan ini juga menjadi sarana untuk menyambungkan silsilah keimanan dan dakwah warga dengan leluhur desa yang dipercaya merintis dakwah Islam di desa kami. Hal ini terus diingatkan setiap acara tahlil digelar, sambil juga ditambahi dengan pesan-pesan keagamaan yang bersifat kontekstual.

Tahun demi tahun, perhatian masyarakat Desa Taro’an pada pemakaman umum di desanya semakin membaik. Dua tahun yang lalu, secara bergotong royong masyarakat desa membangun congkop atau pendopo kecil tepat di tengah lokasi pemakaman umum, di sekitar dua makam leluhur desa. Ukurannya sekitar 10 x 8 meter.

Setelah bangunan ini selesai, masyarakat juga membuat kegiatan rutin bulanan. Setiap hari Jum’at legi, masyarakat Desa Taro’an menggelar acara khataman Alquran, dimulai dari pagi-pagi benar setelah subuh hingga siang. Selain mendoakan para leluhur, khataman juga diniatkan untuk keselamatan desa dan masyarakatnya.

Bagi saya, kisah ini memberikan sedikit gambaran tentang pola dan strategi dakwah ala Islam Nusantara yang teduh dan tidak menggunakan cara kekerasan. Saya yakin, model dan strategi dakwah Islam yang seperti ini cukup banyak untuk ditemukan di tingkat akar rumput, meski minim publikasi.


Read More..

Senin, 02 Juli 2018

Humor, Pertemuan Orang Madura dengan Gus Dur


Judul buku: Kelakar Madura buat Gus Dur
Penulis: H. Sujiwo Tejo
Penerbit: Imania, Tangerang Selatan
Cetakan: Pertama, 2018
Tebal: 200 halaman


Kelakar telah mempertemukan Gus Dur dengan orang Madura. Sujiwo Tejo, dalang kelahiran Jember berdarah Madura, yang mempertemukannya dalam esai-esai yang terhimpun dalam buku ini.

Orang Madura dikenal dengan sifat keras kepala dan keluguannya. Sering juga tersirat kecerdikan dan kepandaian mengambil perspektif di balik dua sifat ini. Karakter khas orang Madura ini sering tampil dalam cerita sehari-hari yang penuh kelakar yang disampaikan dalam pembicaraan santai atau bahkan dalam penggung pengajian atau forum diskusi.

Banyak orang percaya bahwa humor memiliki kekuatan yang tak dapat disepelekan. Kumpulan esai Gus Dur di Majalah Tempo diterbitkan dengan judul Melawan Melalui Lelucon (2000). Gus Dur sendiri dalam esai pengantar untuk buku Mati Ketawa Cara Rusia menulis bahwa humor adalah “sublimasi dari kearifan sebuah masyarakat”. Lebih jauh, humor bagi Gus Dur juga menjadi unsur penting dalam tradisi perlawanan budaya.

Sujiwo Tejo dalam buku ini menyajikan kisah-kisah orang Madura dengan latar saat Gus Dur aktif di dunia politik, khususnya saat menjabat sebagai Presiden RI yang keempat. Ada kisah Pak Sutawi, pedagang bekisar dari Sumenep, yang dalam kisahnya menyentil arah reformasi yang tidak jelas. Dia menyuruh sopir pribadinya untuk mencopot stiker “Hidup Reformasi!” di kaca mobilnya, dan menggantinya dengan poster Jennifer Lopez, lalu diberi tulisan: “Jangan cam-macam. Pantat dia saja diasuransikan. Apalagi mobil ini!”

Selain mengkritik reformasi yang “tak diasuransikan” sehingga jalannya tak keruan dan mengkhawatirkan, dalam kisah Pak Sutawi ada selingan kisah lucu. Di sebuah lampu merah di Malang, Pak Sutawi memprotes penjual foto presiden dan wakil presiden karena harganya sama. Menurut Pak Sutawi, mestinya foto wakil presiden harganya beda, karena kedudukannya beda.

Di bagian lain, Sujiwo Tejo juga terlihat menyelipkan pandangan orang Madura yang unik dalam salah satu esainya, yakni pandangan orang Madura tentang ayam. Sujiwo Tejo menulis bahwa alasan Gus Dur membiarkan kursi jabatan ketua Mahkamah Agung tetap kosong waktu itu adalah karena Gus Dur khawatir orang Madura bakal marah.

Apa hubungannya? Karena sebelumnya pernah ada rombongan demonstran yang mendemo Andi M. Ghalib, ketua Mahkamah Agung sebelumnya, dengan menghadiahinya ayam. Menurut Sujiwo Tejo, di mata orang Madura ini penghinaan terhadap martabat ayam. Apalagi hidup orang Madura menganut filsafat ayam, yaitu kar-karkar colpek. “Ibarat ayam, mereka mengais-ngaiskan cakar kakinya (kar-karkar) untuk menemukan yang masih bisa dimakan di antara sampah lalu mematuknya (colpek),” tulis Sujiwo Tejo.

Etos kerja keras orang Madura di antaranya bersumber dari filosofi ini sehingga tak heran orang Madura banyak yang hidup merantau. Di perantauan, mereka tak malu untuk bekerja sebagai pengumpul besi tua, penggali parit, tukang becak, tukang cukur, dan sebagainya.

Di salah satu esai, Sujiwo Tejo juga menulis terkait salah satu profesi yang melekat sebagai identitasnya: dalang. Saat membandingkan Gus Dur dengan Semar, Tejo menulis tentang wayang topeng Madura. Dalam wayang topeng Madura, hanya Semar yang bisa berbicara terlepas dari skenario dalang karena topeng Semar hanya tertutup di bagian separuh atas.

Tejo bercerita tentang sebuah lakon yang kacau karena dalangnya bercerita tentang Raja Mandura yang kalah perang. Penonton tidak terima. Tapi Semar menjadi penyelamat. Dia nyerocos di luar skenario.

Semar berbicara tentang konflik orang Madura di Sambas. Semar memberi kilasan singkat sejarah keberadaan dan konflik orang Madura di sana, meski kemudian pembicaraannya yang berhasil menenangkan penonton menjadi melantur.

Selain mengangkat dan mengemas aspek humor yang mengandung kearifan, unsur kritik dan perlawanan, serta kebersahajaan dan kecerdasan orang Madura, Sujiwo Tejo dalam 32 esai dalam buku ini juga banyak menyisipkan informasi menarik tentang Madura baik yang bersifat historis maupun antropologis. Ada tentang peran Wiraraja yang menolong Raden Wijaya sebelum kelak mendirikan Kerajaan Majapahit (yang oleh Tejo diletakkan dalam konteks “bakat” orang Madura untuk menjadi otonom dari sesuatu yang lebih besar), tentang Trunojoyo, dan tentang Sarifah Ambani (istri Cakraningrat) yang kemudian menjadi legenda Rato Ebu.

Ada banyak unsur antropologis Madura yang juga disebut dalam buku ini. Misalnya tentang kerupuk tangguk dari Kampung Pongkoran, Kelurahan Gladak Anyar, Pamekasan, canmacanan buatan Bersoka yang terkenal, orang Madura yang suka menggunakan gigi emas, dan banyak lagi yang lainnya.

Meski bagian-bagian yang bersifat historis maupun antropologis tersebut tidak disampaikan secara luas dan mendalam, seperti juga halnya unsur humornya yang bagi sebagian pembaca di beberapa bagian mungkin masih kurang terasa kental, buku ini merupakan khazanah budaya yang bernilai khususnya bagi masyarakat Madura. Paling tidak dari buku ini kita sebagai masyarakat Madura semakin tersadar bahwa ada banyak aspek menarik yang perlu digali dari kebudayaan Madura sebagai bagian dari kerja kebudayaan.

Tulisan ini dimuat di Radar Madura, 1 Juli 2018.

Read More..

Minggu, 31 Januari 2016

Penguatan Potensi Sosial-Budaya Madura di Era MEA


Noam Chomsky, profesor linguistik di MIT, menyatakan bahwa dalam genggaman hegemoni kapitalisme, masyarakat lokal cenderung didorong untuk mengabaikan kekuatan kultural mereka. Dalam How the World Works Chomsky menulis: “Mengosongkan pikiran seseorang dari kemampuan, atau bahkan semangat, untuk mengakses sumber daya kultural merupakan kemenangan terbesar bagi sistem kapitalis.” Saat individu dan masyarakat berpaling dari kekuatan kultural yang dimilikinya, secara perlahan namun pasti globalisasi dan kapitalisme datang menguasai.

Pertanyaannya: apa saja potensi sosial-budaya masyarakat Madura yang penting untuk diperkuat menghadapi tantangan pasar bebas dalam Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)? Pertanyaan ini mendorong kita untuk melihat kembali ke dalam pada apa yang dimiliki dan disadari oleh kita sebagai sebuah entitas budaya. Pertanyaan ini menuntut kita untuk berefleksi.

Sebagai individu, Prof. Mien Ahmad Rifai dalam bukunya, Manusia Madura, mengungkapkan bahwa manusia Madura itu—di antaranya—bersifat sangat individualistis tetapi tidak egois, sangat menekankan ketidaktergantungannya pada orang lain, ulet dan tegar, suka berterus terang, suka bertualang, sangat menghormati tetua dan guru, dan sebagainya.

Dalam nada yang sama, Kuntowijoyo melihat karakter individu orang Madura itu terbentuk oleh ekologi fisik Madura yang gersang, bercurah hujan rendah, dan memiliki kepadatan penduduk yang cukup tinggi, sehingga membentuk pola pemukiman yang tersebar dalam kelompok perdusunan kecil dengan hubungan keluarga sebagai faktor pengikatnya. Karena itu, hubungan sosial lebih berpusat pada individu dengan keluarga inti sebagai unit dasarnya. Karakter ini pada satu sisi kemudian membuat sulit terbentuknya solidaritas dalam skala yang lebih luas, seperti solidaritas desa.

Kekuatan kultural masyarakat Madura juga ada pada perjumpaan dan pertaliannya yang erat dengan Islam. Pada sisi tertentu, karakter orang Madura terbentuk secara beririsan dengan ajaran-ajaran Islam. Karakter Islam yang moderat dan lentur yang diperkenalkan kepada masyarakat Madura pada satu sisi mempermudah akulturasi budaya antara Islam dan kebudayaan Madura.

Pesantren di Madura dapat dilihat sebagai salah satu kekuatan kultural yang tidak bisa dipandang remeh. Karakter orang Madura yang umumnya dipandang religius menempatkan pesantren dalam posisi penting.

Namun, pesantren sebagai lembaga pendidikan menghadapi tantangan dalam ikut menyiapkan generasi masa depan masyarakat Madura. Pada titik ini, menarik kiranya untuk mendiskusikan bagaimana peran yang diharapkan masyarakat Madura dari pesantren. Apakah kita berharap bahwa peran pengembangan ilmu dan teknologi juga akan diberikan pada pesantren? Atau pesantren cukup menjadi penjaga moral dan pengilham perubahan? Lebih jauh lagi, bisakah pesantren berperan sebagai fasilitator untuk memperkuat ikatan di antara berbagai elemen kultural lainnya di Madura?

Kenyataannya, di era globalisasi, pesantren juga mengalami perubahan kelembagaan, baik itu berupa semakin beragamnya orientasi keilmuan yang berkembang di kalangan pesantren maupun orientasi formal yang semakin menguat dalam pendidikan pesantren sehingga juga berpotensi mengikis karakter uniknya.

Selain itu, tarikan iklim politik pasca-reformasi juga berpengaruh pada pesantren. Ada kekhawatiran bahwa tarikan pusaran politik yang kian banal dapat menggerogoti wibawa dan otoritas moral pesantren di masyarakat yang pada gilirannya akan menyurutkan potensi transformatif pesantren.


Ruang Publik dan Demokratisasi

Dalam bukunya tentang globalisasi, Anthony Giddens menyarankan penguatan kembali ide-ide demokrasi. Globalisasi yang berpotensi mencipta jurang ketidakadilan harus dikawal dengan memperkuat nilai-nilai demokrasi sosial seperti solidaritas, kesamaan, kebebasan, keamanan, dan juga peran aktif negara.

Bagi masyarakat Madura, demokrasi atau demokratisasi kadang terlihat sebagai sebuah ide yang masih cukup sulit untuk menyatu dengan kehidupan sosial-budaya mereka. Selain karena iklim politik negara yang memang masih bergulat dengan demokrasi, arus reformasi yang kadang terjatuh pada pemujaan berlebihan pada kebebasan semakin mempersulit pelembagaan demokrasi dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan dalam hal tertentu ada arus balik demokrasi yang terjadi justru di jalur-jalur demokrasi prosedural.

Secara sederhana, demokratisasi adalah peningkatan partisipasi. Ini berarti bahwa berbagai unsur masyarakat memiliki ruang yang cukup leluasa untuk mengemukakan pendapat dan terlibat dalam proses pengambilan keputusan untuk hal-hal terkait kepentingan mereka.

Dengan kerangka seperti ini, ruang publik apakah yang masih tersisa di masyarakat Madura? Krisis ruang publik sebagai salah satu masalah budaya yang dialami masyarakat Madura akan membuat masalah-masalah yang mungkin muncul seiring dengan terbukanya arus persaingan dalam MEA atau proses konstruktif dalam menyusun langkah bersama dalam menghadapi MEA kurang terartikulasikan secara mendalam dan luas.

Ruang publik tradisional, seperti keluarga, yang juga berfungsi sebagai media sosialisasi nilai, menghadapi tantangan yang luar biasa dari derasnya arus informasi sehingga pamor otoritasnya memudar. Demikian pula, kekuatan perkumpulan tradisional baik yang berbasis kesenian maupun keagamaan perlahan juga tampak berkurang.

Pada saat yang sama, ruang publik yang diproduksi dari proses modernisasi, seperti misalnya media massa (baik cetak, elektronik, maupun yang berbasis internet) tampaknya juga masih belum memperlihatkan tanda-tanda untuk menapaki jalan kematangannya. Berbagai keterbatasan, baik dari sudut pengelola maupun dari sisi masyarakat, membuat perkembangan media massa sebagai ruang publik dalam kerangka demokrasi partisipatif tampak masih cukup bermasalah.

Sementara itu, pengurus publik yang diharapkan dapat mengelola berbagai peluang penguatan ruang publik tersebut sering melihat persoalan kemasyarakatan secara dangkal—kurang radikal dan tidak substantif—sehingga langkah-langkah yang diambil memberi dampak yang kurang penting.


Anak Muda dan Masa Depan Madura

Globalisasi dan era pasar bebas tampaknya memang tak dapat ditolak. Perkembangan zaman di berbagai belahan dunia memperlihatkan jalur ke arah itu. Tantangan yang tampak berat dan situasi yang kadang dilematis pada akhirnya menuntut kerja keras dan kerja sama.

Menghadapi itu semua, harapan terbesar tampaknya patut diberikan kepada kaum muda Madura yang saat ini tersebar di berbagai tempat dan menempa diri dalam pengalaman individual mereka masing-masing. Mendengar berbagai potensi dan kreativitas yang ditunjukkan oleh mereka, kita patutlah bersikap optimistis bahwa perlu sedikit sentuhan yang bersifat kolaboratif dan terencana agar potensi anak muda ini dapat lebih menunjukkan dayanya bagi perubahan dan tantangan Madura.

Kita menunggu individu-individu yang tulus dan penuh passion untuk memperkuat optimisme ini, sebagaimana Margaret Mead (1901-1978), seorang antropolog Amerika, menyatakan: “Never depend upon institutions or government to solve any problem. All social movements are founded by, guided by, motivated and seen through by the passion of individuals.”


Tulisan ini dimuat di Harian Radar Madura, 31 Januari 2016. Tulisan ini adalah versi ringkas dari makalah yang disampaikan dalam Sarasehan Kebudayaan Madura dengan tema “Dialektika Sosial Budaya Madura Menyongsong MEA” yang diselenggarakan oleh Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Budaya Universitas Trunojoyo Madura, Bangkalan, pada 7 November 2015.


Read More..

Senin, 09 Juli 2012

Nalar Bahasa Pengurus Publik

Menteri ESDM diprotes pembaca Kompas karena tidak tertib berbahasa.

Di rubrik “Redaksi Yth” Harian Kompas tanggal 1 Mei 2012, ada surat pembaca yang sangat menarik perhatian saya. Surat pembaca itu berjudul “Menteri dan Bahasa Indonesia”, ditulis oleh Ketua Umum Yayasan WJS Poerwadarminta, Marius Widjajarta. Dia risau dengan pernyataan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Jero Wacik, di halaman muka Kompas edisi 23 April 2012.

Berikut kutipan surat pembaca Marius Widjajarta:

Sebagai Ketua Umum Yayasan WJS Poerwadarminta, yayasan yang—antara lain—berupaya melestarikan penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan betul, saya risau dengan pernyataan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Jero Wacik mengenai pembatasan pemakaian BBM bersubsidi yang konon akan diterapkan dalam waktu dekat.

Pada paragraf kelima berita halaman muka
Kompas edisi 23 April 2012, "Mobil Pribadi 1.500 Cc ke Atas Tak Pakai BBM Subsidi", tersua pernyataan langsung Menteri ESDM Jero Wacik: "Tidak ada mobil yang pas 1.500 cc, ada 1.490 cc, 1.492 cc." Lalu, keterangan berikutnya berbunyi: "Mobil dengan kapasitas seperti itu akan digolongkan dengan mobil berkapasitas 1.500 cc ke atas."

Apabila pernyataan itu dikaitkan dengan kaidah bahasa Indonesia yang baik dan betul, pengertian 1.500 cc ke atas adalah "1.500 cc, 1.501 cc, dan seterusnya". Jika yang dimaksudkan Menteri ESDM bahwa aturan itu mencakup mobil "1.490 cc, 1.492 cc", seharusnya ia mengatakan bahwa aturan "tidak boleh menggunakan BBM bersubsidi" itu berlaku untuk mobil berkapasitas 1.400 cc ke atas.


Saya sangat sedih mengingat Menteri ESDM merupakan pejabat publik berpendidikan tinggi. Ucapan dan tingkah lakunya semestinya teladan bagi masyarakat luas.


Melalui surat pembaca di atas, saya jadi tersadar bahwa kemampuan berbahasa pengurus publik di negeri kita masih bermasalah. Bahkan sebenarnya bukan hanya tentang kemampuan berbahasa, karena saya percaya bahwa bahasa pada dasarnya juga adalah soal nalar. Bahasa bukan semata soal komunikasi dan ekspresi, tapi juga soal cara berpikir. Manusia itu berpikir dengan bahasa. Jadi, kesalahan berbahasa sangat mungkin terjadi karena kekurangrapian berpikir.

Lalu bagaimana jika yang salah berpikir itu orang-orang yang termasuk pengurus publik atau pemegang kebijakan strategis? Atau mereka yang punya pengaruh besar bagi kehidupan masyarakat, seperti Menteri ESDM atau yang lainnya?

Anda, pembaca, tentu dapat mengemukakan jawabannya. Tapi izinkanlah saya memberikan gambaran yang lebih jelas melalui kasus yang sedang saya hadapi saat ini.

Ceritanya begini. Ada seorang lulusan Madrasah Aliyah 2 Annuqayah, Guluk-Guluk, Sumenep, bernama Azhari, mendaftar dalam penerimaan brigadir brimob dan dalmas di Kepolisian Resor Sumenep. Namun dia dinyatakan tidak lulus karena ijazahnya tidak diakui oleh panitia penerimaan di Polres Sumenep.

Kenapa tidak diterima? Menurut polisi, ijazah Azhari (yakni ijazah MA 2 Annuqayah) tidak diakui atau dianggap tidak memenuhi syarat karena MA 2 Annuqayah berada di bawah naungan pondok pesantren. Sedangkan pesantren yang diakui oleh mereka, katanya, hanya empat pesantren sebagaimana tercantum dalam brosur penerimaan.

Pembaca, agar lebih jelas, saya kutip secara lengkap bagian dari brosur yang menjelaskan hal tersebut:

II. PERSYARATAN LAIN.

1. Berijazah serendah-rendahnya SMU/MA jurusan IPA/IPS atau SMK yang sesuai dengan kompetensi dengan tugas pokok Polri (kecuali Tata Busana dan Tata Kecantikan) dgn nilai rata-rata HUAN (Hasil Ujian Akhir Nasional) min 6,25 (enam koma dua lima) untuk IPA dan 6,5 (enam koma lima) untuk jurusan IPS dan SMK;


2. Khusus untuk lulusan pondok pesantren sesuai dengan Surat Departemen Pendidikan Nasional yang diakui setara dengan SMU dan diperbolehkan mendaftar menjadi anggota Polri antara lain: a. Ponpes Gontor Ponorogo; b. Ponpes Al-Amien Prenduan Sumenep; c. Ponpes Mathabul Ulum Sumenep; d. Ponpes Modern Al-Barokah Patianrowo Nganjuk;




Brosur penerimaan brigadir brimob dan dalmas Polres Sumenep.


Sebelum saya lanjutkan, saya ajak pembaca untuk mencerna kembali dua poin dalam kutipan di atas dengan cermat. Bacalah dengan nalar yang lurus dan tangkaplah pokok gagasannya.

Apabila sudah dicerna ulang, baiklah, sekarang teruskan.

Penolakan polisi dengan alasan sebagaimana disebut di atas menurut saya secara terang benderang menunjukkan kesalahan nalar bahasa polisi. Menurut saya, panitia/polisi gagal memahami persyaratan yang tercantum dalam brosur yang mereka buat sendiri. Gagal bagaimana? Menurut saya, mereka tak bisa memahami pokok gagasan yang hendak disampaikan oleh pembuat kebijakan terkait persyaratan ijazah—siapa sebenarnya pembuat kebijakan tersebut?

Jika kita perhatikan alasan penolakan polisi, mereka sebenarnya berpikir seperti ini: bagi mereka, semua ijazah lembaga pendidikan formal setingkat Madrasah Aliyah atau SMA yang berada di bawah naungan pesantren tak akan diakui—bahkan meskipun telah terakreditasi dan diakui oleh Kementerian Agama atau Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI—kecuali lembaga pendidikan yang dikelola oleh keempat pesantren tersebut.

Apakah cara berpikir seperti ini dapat dibenarkan secara logika (bahasa)? Mari kita lihat secara lebih cermat dengan akal sehat.

Poin kedua dalam persyaratan tersebut menurut saya sebenarnya adalah untuk mengkhususkan atau mengecualikan poin persyaratan yang pertama. Perhatikan frasa “yang diakui setara dengan SMU” dalam poin kedua persyaratan tersebut. Frasa ini menunjukkan bahwa poin kedua ini ingin mengecualikan pesantren yang tidak memiliki Madrasah Aliyah atau SMA yang mengikuti sistem pendidikan nasional tetapi memiliki sistem pendidikan sendiri yang setara dengan Madrasah Aliyah atau SMA.

Pesantren Al-Amien, Prenduan, misalnya, memiliki Tarbiyatul Mu’allimien Al-Islamiyah (TMI), yakni lembaga pendidikan setingkat Madrasah Tsanawiyah dan Madrasah Aliyah atau SMP dan SMA dengan model atau sistem mandiri yang tidak sama dengan sistem pendidikan nasional. Nah, menurut saya, poin kedua ini hendak menyatakan bahwa sistem pendidikan khas pesantren yang berbeda dengan sistem pendidikan nasional sebagaimana terdapat di keempat pesantren tersebut di atas juga diakui oleh Negara, yakni diakui setara dengan Madrasah Aliyah atau SMA, sehingga lulusannya dapat mendaftar dalam penerimaan brigadir brimob dan dalmas ini.

Karena itu, dalam pengumuman penerimaan siswa TMI di Al-Amien, dijelaskan bahwa ijazah TMI diakui setara dengan Madrasah Aliyah atau SMA oleh Negara. Sebaliknya, dalam pengumuman penerimaan siswa di Madrasah Aliyah atau SMA di Annuqayah, tak perlu ada penjelasan semacam ini. Cukup menjelaskan bahwa madrasah/sekolah ini sudah terakreditasi (oleh Negara).

Masalahnya polisi berpikir terbalik, sehingga kesimpulannya sangatlah fatal. Jika mengikuti logika polisi, maka seluruh lembaga pendidikan formal setingkat Madrasah Aliyah atau SMA yang bernaung di pondok pesantren tidak akan diakui ijazahnya oleh polisi meskipun telah terakreditasi oleh Negara dan mengikuti Ujian Nasional—kecuali lembaga pendidikan di empat pesantren yang disebut dalam brosur tersebut. Logika yang sesat ini akan meruntuhkan wewenang Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan Kementerian Agama dalam menilai mutu dan keabsahan lembaga pendidikan yang mengikuti sistem Negara.

Saya sangat heran mengapa polisi sampai salah paham dan sesat pikir hingga sejauh ini. Saya tak habis pikir, jika mereka tak mencerna kalimat-kalimat dalam brosur itu dengan logika, lalu mereka memahaminya dengan apa? Saya semakin heran ketika di media massa polisi menjawab bahwa mereka hanya mengikuti aturan. Aturan apakah itu tepatnya?

Saya pikir dalam hal ini mungkin mereka hanya ikut-ikutan, ikut apa kata atasan, dan tak mau mencoba mengikuti aturan bahasa, aturan nalar. Apakah mereka menempatkan atasan lebih tinggi daripada nalar?

Bahkan jika pun mereka mau memaksa menggunakan logika terbalik seperti di atas, saya pun masih bisa menunjukkan kelemahan lainnya yang bersumber dari keteledoran berbahasa yang termuat dalam kutipan brosur tersebut di atas, khususnya di poin kedua.

Apa itu? Biar lebih jelas, saya kutip kembali poin kedua di atas:

2. Khusus untuk lulusan pondok pesantren sesuai dengan Surat Departemen Pendidikan Nasional yang diakui setara dengan SMU dan diperbolehkan mendaftar menjadi anggota Polri antara lain: a. Ponpes Gontor Ponorogo; b. Ponpes Al-Amien Prenduan Sumenep; c. Ponpes Mathabul Ulum Sumenep; d. Ponpes Modern Al-Barokah Patianrowo Nganjuk;

Baiklah. Taruhlah saya akan ikut logika sesat polisi, bahwa poin kedua ini akan diperhitungkan pertama kali jika ada pendaftar yang berasal dari lembaga pendidikan di bawah pengelolaan pesantren. Tapi coba perhatikan kata “antara lain” di poin kedua ini.

Bagaimanakah penggunaan kata “antara lain” yang benar dan sesuai nalar?

Menurut saya, “antara lain” digunakan saat kita hendak menyebutkan sejumlah hal/barang dan kita hanya menyebutkan sebagian saja. Perhatikan contoh penggunaan kata “antara lain” yang saya kutip dari Harian Kompas edisi 7 Mei 2012: “Pada tahun yang sama, anggota TNI tercatat melakukan 56 perilaku arogan, yang antara lain berwujud penganiayaan, penembakan, dan intimidasi”. Kata “antara lain” dalam kalimat ini menunjukkan bahwa perilaku arogan anggota TNI tak hanya berwujud penganiayaan, penembakan, dan intimidasi. Ini hanya sebagian. Ada lagi yang lainnya. Jika Anda membaca lebih lanjut laporan Kompas di edisi 7 Mei 2012 itu, Anda akan menemukan bentuk arogansi anggota TNI yang lain, seperti pelecehan seksual, penangkapan dan penahanan sewenang-wenang, dan yang lainnya.



Contoh penggunaan kata "antara lain" di Kompas, 7 Mei 2012.


Nah, jika penggunaan kata “antara lain” seperti ini, yakni untuk menyebut sebagian dari sebuah himpunan, maka berarti seharusnya ada pesantren lain yang juga diakui setara dengan SMA selain keempat pesantren tersebut. Apakah Annuqayah termasuk? Apakah Pesantren Al-Is’af, Kalabaan, Guluk-Guluk, juga termasuk? Apakah Pesantren Karay, Ganding, termasuk? Polisi mestinya tahu jawabannya.

Tapi polisi tak bisa menjawab: “Oooo tidak, hanya empat pesantren itu saja yang diakui setara”. Kalau menjawab seperti ini, berarti polisi sedang melawan nalar atau aturan bahasa—melanggar hukum bahasa.

Dua kesalahan fatal ini, sekali lagi, menunjukkan nalar bahasa pengurus publik di negeri ini masih kacau. Untuk kasus yang saya ulas panjang ini, saya sangat heran (saya sesungguhnya butuh ekstra hiperbola untuk mengungkapkan keheranan saya ini) karena di media massa secara cukup lama, sejak kasus ini pertama kali dipersoalkan oleh Azhari ke polisi pada 21 Juni lalu hingga tulisan ini dibuat, polisi tak mau mengubah pandangannya. Bahkan, Kabar Madura edisi 6 Juli 2012 menulis: “Rahbini (Kabag Sumber Daya Manusia Polres Sumenep—MM) juga menjelaskan, Pantia Seleksi Administrasi Tahap Pertama melibatkan pihak Dinas Pendidikan Sumenep yang diwakili Mery Margaret, Penggiat LSM Tajul Arifin, Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Sumenep Jazuli, dan dua anggotanya, Aiptu Teguh Prawoto dan Ipda Rasyidi”. Sekali lagi, saya heran.


Pemberitaan kasus ijazah Azhari di Kabar Madura, 6 Juli 2012.

Saya juga sedih. Sebagai guru Bahasa Indonesia yang juga mengajar Logika, kasus ini dari satu sisi mungkin menunjukkan kegagalan pelajaran Bahasa Indonesia di sekolah. Belakangan ini, kemampuan menyerap pokok gagasan dalam sebuah paragraf atau kalimat yang diajarkan dalam pelajaran Bahasa Indonesia memang telah disorot oleh banyak kalangan—dinilai belum berhasil. Ada yang mengatakan, ini juga terkait dengan rendahnya kebiasaan membaca.

Namun demikian, dari sisi yang lain, masalah ini memunculkan tantangan bagi saya. Sebagai guru Bahasa Indonesia, saya tertantang untuk mengupayakan proses pembelajaran bahasa di sekolah yang lebih baik dan bermutu sehingga masyarakat pada umumnya dapat berbahasa secara lebih baik. Saya harus meneguhkan komitmen saya agar dapat mengajar dengan lebih baik, dan juga mengajak rekan-rekan guru Bahasa Indonesia yang lain untuk juga meningkatkan mutu pembelajaran Bahasa Indonesia di sekolah.

Siapa tahu di antara murid-murid saya kelak ada yang menjadi pengurus publik, sehingga jika saya dan guru-guru Bahasa Indonesia berhasil memberi dasar-dasar kebahasaan yang baik, terutama dari segi logika bahasa, mereka nantinya akan dapat mengurus masyarakat dengan pola pikir yang tertib, lurus, dan sehat.

Baca juga:
Surat Terbuka untuk Pak Polisi

Read More..

Selasa, 08 Mei 2012

Surat Terbuka untuk Pak Polisi (tentang Anarki, Penghakiman Massa, Maling Sapi, dan lain-lain)


Yang terhormat,
Pak Polisi Sektor Guluk-Guluk dan Resor Sumenep
di tempat tugas

Assalamu’alaikum wr. wb.

Pak Polisi, apa kabar? Apa Bapak sempat membaca koran Radar Madura edisi Ahad (6/5) kemarin? Saya terkejut saat membaca teras berita yang cukup menghebohkan di halaman pertama Radar Madura. Judulnya “Massa Bakar Maling Hidup-Hidup”.

Di bawah judul itu, ada sebuah foto besar yang menampilkan gambar sejumlah orang di sisi kiri dan api yang sedang berkobar di sisi kanan. Orang-orang itu tidak sedang main api unggun, karena di antara kobaran api itu ada semacam papan dinding yang terbuat dari anyaman bambu. Di dekat kobaran api itu, tampak sebuah sudut bangunan. Membaca keterangan foto, saya tahu bahwa yang terbakar itu adalah kandang sapi.

Tentu Bapak sudah tahu detailnya. Tapi izinkan saya meringkas kabar yang saya baca dari Radar Madura itu. Berita itu mengabarkan peristiwa amuk massa di Dasuk Laok, Dasuk, Sumenep. Radar Madura menyebutkan, sekitar 1.500 orang membakar hidup-hidup seorang yang diduga gembong maling sapi. Selain menghakimi dan mengeksekusi sendiri maling sapi yang bernama Alwan (50) itu, massa kemudian juga memburu maling sapi lain di desa lain di Kecamatan Dasuk yang diduga masih komplotannya Alwan. Namanya Nur Bahri. Namun Nur Bahri tak ada di rumah. Massa melampiaskan kemarahan mereka dengan membakar rumah dan kandang sapi Nur Bahri.

Pak Polisi. Saya tertarik mencermati apa yang dikatakan oleh polisi setempat menanggapi berita itu. Kapolsek Dasuk AKP Zulkarnain melalui Kanit Reskrim Dasuk Ipda Haryono berujar, “Saya lagi malas wawancara. Nanti sajalah.”

Di Radar Madura keesokan harinya, yakni edisi Senin (7/5), tak ada tanggapan resmi dari pihak kepolisian terkait aksi anarkis dan penghakiman massa tersebut. Sebenarnya saya agak heran, Pak. Tidakkah aksi anarkis dan penghakiman massa seperti itu tergolong tindakan melawan hukum? Apakah bapak-bapak di sana diam-diam sedang menyelidiki masalah ini? Apakah komentar seperti di koran itu memang semacam strategi yang sudah menjadi semacam SOP (standard operating procedure) dalam penanganannya?

Pak Polisi. Membaca berita penghakiman massa tersebut saya jadi teringat Michel Foucault. Foucalt ini, Pak Polisi, adalah seorang filsuf besar Prancis yang populer dengan foto plontosnya. Dia menulis sebuah buku yang berjudul Discipline and Punish: The Birth of the Prison. Buku ini menelaah tentang pembentukan (disiplin) individu Eropa modern dengan titik fokus sejarah penjara.

Saya teringat Foucault karena dia pernah membahas soal aksi anarkis semacam itu—seperti yang di Dasuk itu, Pak. Melalui penelitian sejarah, Foucault di antaranya membahas tentang popular justice. Kakak angkatan saya di Filsafat UGM, Seno Joko Suyono (2002: 313-314), dalam skripsinya menulis bahwa popular justice adalah “istilah yang dipakai Foucault untuk menyebut fenomena riuh di masa lampau akan adanya berbagai tindakan pengadilan langsung yang dilakukan oleh masyarakat atas orang-orang yang terbukti berlaku sewenang-wenang terhadap masyarakat tanpa diperlukan lembaga perantara di antara masyarakat dan mereka yang menjadi sasaran kemarahan masyarakat seperti halnya pengadilan kini”.

Aksi anarkis yang disebut popular justice ini menurut Foucault lahir di Eropa di sepanjang abad ke-14 hingga abad ke-18 sebagai aksi perlawanan terhadap fiskalisasi sistem pengadilan yang menguntungkan sekelompok elite masyarakat. Pak Polisi, si Foucault ini memang orang yang percaya bahwa lembaga pengadilan bukanlah institusi pemberi hukuman yang netral. Nah, aksi-aksi anarkis semacam ini menurut Foucault mulai surut setelah lembaga peradilan mulai memperlengkapi dirinya dengan penjara.

Dalam skripsinya, Seno Joko Suyono (2002: 316) yang kini menjadi salah seorang jurnalis senior di Majalah Tempo menulis bahwa salah satu benang merah pembahasan Foucault tentang popular justice dan kelahiran penjara ini menunjukkan bahwa “lembaga peradilan yang kini sah disepakati sebagai institusi penegak keadilan merupakan institusi yang ternyata dalam sejarahnya tidak dikehendaki kehadirannya oleh masyarakat”.

Wah, pemikiran Foucault ini tentu bagi Bapak yang berstatus sebagai penegak hukum akan terdengar cukup “mengerikan” ya. Saya saja masih sulit untuk menerima pemikiran semacam itu. Bayangkan saja, bagaimana jadinya jika tak ada lembaga peradilan? Di mana keadilan akan dicari? Pak Polisi, tampaknya cukup menarik jika kita bisa berdiskusi soal ini lebih mendalam.

Terus apa hubungannya berita di Radar Madura itu dengan si Foucault? Juga tanggapan polisi yang katanya lagi malas wawancara itu?

Sebenarnya cukup sederhana, Pak. Melalui Foucault, saya kok jadi menduga bahwa aksi anarkis dan penghakiman massa seperti itu terjadi karena kekecewaan masyarakat atas kerja lembaga kepolisian, terutama dalam mengatasi masalah pencurian. Sama seperti aksi popular justice di Eropa yang berlatar kekecewaan masyarakat atas fiskalisasi sistem pengadilan.

Andai sekarang Foucault masih hidup, dan kebetulan sedang bertamasya ke Pantai Lombang dan mendengar kabar heboh di Radar Madura itu (eh, tapi Foucault tak bisa bahasa Indonesia ya), ia mungkin akan semakin yakin dengan tesisnya tentang popular justice dan lembaga peradilan itu.

Tapi saya pikir mungkin sebenarnya saya tak perlu harus mengundang Foucault di surat ini untuk berkesimpulan bahwa masyarakat selama ini telah cukup sering kecewa dengan kerja penanganan kriminalitas oleh kepolisian. Kesimpulan semacam ini paling tidak bisa saya dapatkan dari rekaman percakapan sehari-hari beberapa warga di sekitar saya.

Ambil contoh saja kasus yang cukup populer. Bapak ‘kan tahu, masyarakat Madura itu banyak yang memelihara sapi. Dan setiap kali saya mendengar kasus pencurian sapi, saya sering sedih karena masyarakat, terutama yang berasal dari kelas menengah ke bawah, akan kesulitan untuk mendapatkan haknya atas keadilan. Sulit sekali sapi yang dicuri bisa kembali—saya jadi berpikir mungkin maling sapi jauh lebih hebat daripada para teroris yang suka main bom itu. Kadang sapi yang dicari ditemukan, namun si maling malah minta tebusan. Ibarat jatuh masih kena roboh tangga.

Saya mengambil contoh kasus pencurian sapi karena ini kasus aktual di desa saya. Jum’at dini hari dua minggu yang lalu (27/4), misalnya, salah seorang tetangga saya kehilangan sepasang sapinya. (Sebetulnya itu sapi adik saya yang dipelihara salah seorang tetangga dekat kami.) Tak lama setelah dilakukan pencarian, ditemukanlah salah seekor sapi yang hilang itu di desa tetangga. Setelah diurus, lalu ada desas-desus: jika satu ekor sapi lainnya ingin ditemukan, silakan bayar dua juta rupiah. Dengan kata lain, minta tebusan.

Kasus ini semakin mengenaskan lagi, Pak. Kepala Desa beserta perangkatnya yang kami hubungi malah bilang hal seperti itu biasa. Hilang dua kembali satu, dan dimintai tebusan. Biasa? Saya tidak yakin Pak Klebun ini bisa bergurau menghadapi masalah seperti ini. Bukannya mau membantu mencarikan sapi yang hilang atau melaporkannya ke pihak kepolisian, dia malah terkesan diam saja. Saya berpikir, apakah dia masih sibuk mengurusi tuntutan sejumlah masyarakat yang mempersoalkan pembagian beras untuk masyarakat miskin yang tak beres dan sempat digugat ke DPRD beberapa waktu lalu?

Seminggu setelah peristiwa pencurian itu, lagi-lagi ada pencurian sapi di desa sebelah. Saya tidak tahu detail kelanjutannya. Yang jelas para tetangga di desa saya saat ini menjadi resah.

Pak Polisi, tampaknya alur kisah kasus pencurian sapi nyaris selalu seperti itu. Masyarakat bawah menjadi korban dan sulit sekali menemukan keadilan. Ini pengamatan awam saya, yang tak punya data detail seperti Bapak.

Jadi, membaca berita di Radar Madura, setelah saya berpikir seperti ini, saya kok rasanya menjadi tidak terkejut lagi, Pak. Pak Polisi, masyarakat tampaknya sudah capek. Bapak tahu, kehidupan ekonomi masyarakat kian hari kian sangat sulit. Lalu harta berharga mereka, sapi, dicuri. Keadilan hanya mimpi. Para pengurus publik tampak tak punya empati. Jadi, kalau proposisi-proposisi seperti ini disusun rapi, saya kira kesimpulannya akan mudah ditemukan. Tak perlu kuliah Logika untuk menguji validitas penyimpulannya: bahwa aksi anarkis dan penghakiman massa itu adalah buah dari kekecewaan atas susahnya menemukan keadilan.

Memikirkan kesimpulan saya ini, saya mencoba menemukan dan menyusun proposisi-proposisi yang lain—proposisi alternatif—yang diharapkan dapat mengantarkan pada kesimpulan berbeda. Tapi ternyata saya sulit sekali dan tak berhasil menemukan proposisi alternatif itu. Apa Bapak kira-kira bisa membantu?

Apakah Kapolsek Dasuk yang bilang lagi malas wawancara itu sebenarnya sama seperti saya yang sudah berusaha mencari proposisi alternatif dan ternyata benar-benar tak bisa menemukan kesimpulan lain, lalu yang ada hanya kesimpulan yang berbau Foucault seperti di atas tadi? Hanya saja Pak Kapolsek mungkin merasa tak pantas untuk mengemukakan kesimpulan semacam itu kepada publik.



Saat saya menyimpan kesimpulan seperti di atas tadi, secara kebetulan Senin (7/5) kemarin saya membaca sebuah berita menarik di Kompas. Berita itu tampaknya adalah semacam tanggapan, rangkuman, atau refleksi atas kasus heboh “Koboi Palmerah” yang ramai dibicarakan masyarakat di berbagai situs jejaring sosial. Kompas menurunkan tulisan yang agak komprehensif tentang arogansi aparat TNI dan Polri belakangan ini. Data Kompas menyebutkan bahwa di tahun 2011, ada 657 kasus kekerasan yang dilakukan oleh aparat kepolisian, baik berupa penyiksaan, penganiayaan, penembakan, pelecehan seksual, intimidasi, ataupun penangkapan dan penahanan sewenang-wenang.

Kompas mengutip Kepala Lembaga Pendidikan Polri Komisaris Jenderal Oegroseno. Oegroseno tak menampik masih adanya perilaku arogan di jajaran kepolisian itu. Menurutnya, ini tak bisa dilepaskan dari rendahnya pendidikan di kalangan anggota kepolisian dan kurangnya pengawasan di lapangan. Sampai di sini, misi pengayoman dan perlindungan yang menjadi norma menjadi bermasalah.

Banyak pendapat dikutip di Kompas, termasuk Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro yang mengatakan bahwa mental arogan itu tak ada—kejadian semacam “Koboi Palmerah” adalah kasuistis.

Pak Polisi, mungkin surat saya ini sudah terlalu panjang. Intinya, melalui kesempatan ini, saya ingin mengatakan kepada Bapak bahwa jika Bapak melakukan pembiaran terhadap berbagai tindakan pelanggaran hukum di wilayah Bapak, sangat mungkin tindakan anarkis dan penghakiman massa seperti yang terjadi di Dasuk itu terulang kembali. Saya kira proposisi saya di atas jika disusun akan cukup kuat untuk tiba pada kesimpulan semacam ini.

Di desa saya dan sekitarnya, belakangan cukup marak berbagai kejadian yang mestinya ditindaklanjuti dan diatasi. Perjudian (togel) dan pencurian, misalnya, cukup sering terjadi. Sayang saya belum punya waktu untuk mencatat kasus-kasus pencurian mulai dari tabung gas elpiji, mesin pompa air, hingga sapi yang dalam beberapa tahun terakhir cukup sering saya dengar. Yang jelas itu semua tak boleh dibiarkan, karena ada Bapak di sini, yang mengemban tugas mulia dari negara untuk mengatasinya.

Bagi Bapak yang terhormat, menangani tindakan pelanggaran hukum adalah tugas negara, dan itu, dalam bahasa Stephen Covey, berada dalam lingkaran pengaruh (circle of influence) Bapak. Bagi kami yang awam, itu sekadar ada dalam lingkaran kepedulian (circle of concern) kami. Jadi tolong, jangan sampai Bapak membuat masyarakat menganggap Bapak sudah tiada, sehingga secara paksa mereka kemudian menobatkan diri sebagai yang berwenang untuk menumpas kesewenang-wenangan seperti kasus-kasus pencurian itu.

Kiranya ini yang bisa saya sampaikan. Mohon maaf jika ada kata-kata yang kurang berkenan. Semoga Bapak diberi kekuatan untuk menjalankan tugas pengabdian di tengah banyaknya keterbatasan dan masalah. Saya percaya, jika niat baik dan niat tulus diperjuangkan, keterbatasan tak akan jadi penghalang untuk melakukan sesuatu demi kebaikan.

Wassalam,

Guluk-Guluk, 8 Mei 2012

M. Mushthafa

Read More..

Kamis, 29 Maret 2012

Perincian Listrik Padam 130 Kali

Tanggapan PLN Area Madura di Kompas 16 Maret 2012


Surat pembaca saya yang dimuat Kompas 1 Maret 2012 yang memaparkan hasil pencatatan saya tentang listrik padam di Guluk-Guluk, Sumenep, dalam waktu setahun, yakni mulai 12 Januari 2011 hingga 12 Januari 2012, sebanyak 130 kali ditanggapi PLN Area Madura pada Kompas 16 Maret 2012. Menurut PLN, listrik padam pada periode tersebut sebanyak 58 kali, dengan perincian 25 kali akibat kegiatan pemeliharaan terencana (preventif) dan 33 kali akibat gangguan (dengan perincian 24 kali padam di bawah lima menit dan 9 kali padam di atas lima menit).

Saya merasa perlu menanggapi PLN Area Madura karena hasil pencatatan saya ternyata berbeda cukup jauh dengan rekaman PLN. Berikut catatan saya.

Pertama, saya ingin menegaskan bahwa pengertian listrik padam dalam catatan saya adalah jika ada pemadaman dari PLN—entah karena apa—berapa pun durasinya. Padam tiga detik saya catat sebagai padam satu kali. Padam tiga jam juga saya catat satu kali. Kenyataannya, listrik padam kadang terjadi beberapa detik dengan frekuensi dua kali atau lebih dalam waktu yang relatif singkat—satu hingga dua jam, misalnya.

Kedua, agar lebih jelas, PLN, pembaca Kompas, dan juga pembaca blog saya yang budiman dapat memeriksa catatan saya tentang perincian listrik padam 130 kali tersebut. Saya cantumkan di bawah ini. Saya salin langsung dari akun twitter saya agar nuansa dan konteksnya bisa tertangkap. Mohon dimaklumi bahwa perincian catatan saya tidak terlalu detail. Bahkan kadang tak menyebutkan tanggal secara spesifik. Akan tetapi, mulai Maret 2012, saya berkomitmen untuk lebih detail mencatat listrik padam di wilayah saya.

Ketiga, saya ingin menambahkan catatan untuk PLN. Salah seorang pembaca blog saya menanggapi tulisan saya tentang listrik padam 130 kali tersebut. Dia menambahkan bahwa di Guluk-Guluk, Sumenep, yang menjadi masalah bukan hanya listrik padam, tetapi juga voltage yang kadang tak sesuai dengan yang dijanjikan, yakni 220 volt, sehingga beberapa perangkat elektronik sangat terganggu kinerjanya.

Berikut ini perincian listrik padam 130 kali:

12 Januari 2011
bbrp hari lalu PLN pasang iklan di koran, katanya di wilayah pamekasan (madura) tahun 2010 #listrikpadam 25kali /pelanggan/tahun.

14 Januari 2011
rabu 12/1 kemarin, di tempat saya (guluk2, sumenep, madura) #listrikpadam lebih 12 jam seharian.

hari ini jum'at 14/1 di tempat saya #listrikpadam barusan sekitar 30 menit.

15 Januari 2011
sabtu 15/1 subuh #listrikpadam sekitar 3 menit. apa kasus spt ini dihitung juga Pak Dahlan Iskan?

16 Januari 2011
ahad 16/1, pukul 14.35 di guluk2 sumenep #listrikpadam sekitar 3 menit. apa seperti ini juga dihitung Pak Dahlan Iskan ya wahai @infoPLN ?

24 Januari 2011
Ahad 23/1 sekitar pukul 12.54 di gulukguluk #listrikpadam sekitar 1-2 menit. kok sering begini, Pak Dahlan? @infoPLN bagaimana menurutmu?

25 Januari 2011
Selasa 25/1 pkl 12.08, di guluk2 sumenep #listrikpadam sekitar satu jam.

5 Februari 2011
Pak Dahlan Iskan, #listrikpadam jgn sering2 di sktr guluk2 sumenep. td pkl sktr 17.15 pdam. Rabu 2/2 jg. UPS sy sdh mati. kasian kmpternya.

7 Februari 2011
#listrikpadam #listrikpadam.. lagi2 Pak Dahlan Iskan..barusan pas saya di kelas jam 12an #listrikpadam beberapa menit..

26 Februari 2011
Pak Dahlan, beberapa pekan terakhir terjadi #listrikpadam di sini tapi saya tak sempat mencatatnya. sepertinya ada sekitar 3-4 kali.

1 Maret 2011
2 hari lalu #listrikpadam di sini, guluk2 sumenep. kmrn jg. tadi jg. tiap hari. sangat mengganggu, meski msg2 ga smp sejam.. gmn Pak Dahlan?

2 Maret 2011
jelang tengah malam hingga pagi agak siang tadi di guluk2 sumenep #listrikpadam lagi. apa krn angin dan hujan, Pak Dahlan?

4 Maret 2011
kemarin siang sekitar pukul 11 dan tadi malam sekitar pukul 22 #listrikpadam di guluk2. gimana targetmu, Pak Dahlan?

6 Maret 2011
di guluk2, barusan #listrikpadam beberapa menit pas setelah MU dikalahkan Liverpool 3-1..

11 Maret 2011
semalam #listrikpadam berkali2 sejak pukul 10 di wilayah guluk2 dan sekitarnya..

14 Maret 2011
tadi malam beberapa kali #listrikpadam di guluk2. barusan jg begitu. ini sdh yg kesekian kali di 2011. gmn Pak Dahlan?

23 Maret 2011
#listrikpadam betul2 nyebbelin! tadi sore. kemarin juga. kemarinnya lagi. untung UPS sdh jalan.

24 Maret 2011
jelang maghrib tadi #listrikpadam beberapa detik. untung UPS sudah bekerja dg baik.. sy mencatat #listrikpadam di daerah saya, sejak 12/1/11 sdh 27x. sy catat krn tak percaya pd iklan PLN bhw pamekasan th 2010 padam 25x.

26 Maret 2011
2 hari lalu #listrikpadam. tadi juga. msh perlukah earth hour?

29 Maret 2011
Laporan utk @infoPLN : untuk yg ke-28 sejak 12/1/2011, di guluk2 kemarin sore #listrikpadam beberapa menit.

9 April 2011
tadi malam dan barusan #listrikpadam di guluk2. berarti sejak 12/1/2011, ini yg ke-31 kali. laporan selesai... @infoPLN

10 April 2011
tadi sore #listrikpadam di guluk2, sumenep. ini yg ke-32 sejak 12/1/2011. ada yg bisa ngasi tau ke Dahlan Iskan? @infoPLN

12 April 2011
kemarin, di guluk2 sumenep #listrikpadam. trus tadi jg #listrikpadam, utk yg ke-34 sejak 12/1/2011. gimana tanggapan @infoPLN ?

13 April 2011
tadi siang, di guluk2 sumenep #listrikpadam utk yg ke-35 sejak 12/1/2011

14 April 2011
tadi siang, di guluk2 sumenep #listrikpadam utk yang ke-36 kalinya sejak 12/1/2011.. gimana Pak Dahlan Iskan? @infoPLN

16 April 2011
td mlm #listrikpadam 2x di guluk2 sumenep. td 1x. berarti td yg ke-39 sjk 12/1/2011. sptnya perlu ditulis di suratpembaca kompas nih.

17 April 2011
terang bulan di guluk2 sumenep, brsn #listrikpadam utk yg ke-40 kali sejak 12/1/2011..mgkn dahlan iskan sdg ingin menikmati bulan ya..

26 April 2011
hari ini #listrikpadam 2x di guluk2 sumenep. berarti sudah 42 kali #listrikpadam sejak 12/1/2011.

27 April 2011
hr ini #listrikpadam 2x d guluk2 sumenep. berarti sdh 44x #listrikpadam sjk 12/1/2011. apa Dahlan Iskan mau ganti alat2 elektronik yg rusak.

2 Mei 2011
hari ini #listrikpadam 2x di guluk2 sumenep. berarti sejak 12/1/2011 sdh padam 46 kali.. valentino rossi dong..!

5 Mei 2011
semalam raungan UPS membangunkanku gara2 #listrikpadam utk yg ke-47 kali sjk 12/1/2011 di guluk2 sumenep..tp aku tak bermimpi dahlan iskan..

15 Mei 2011
hatrick #listrikpadam: jum'at(an) siang, sabtu siang, smlm jam 9an. brarti sdh 50 kali #listrikpadam di guluk2 sumenep sjk 12/1/2011.

22 Mei 2011
bbrp kali #listrikpadam di guluk2 sumenep tdk diinfokan. ada 4x, shg total sjk 12/1/2011 #listrikpadam berjumlah 54 kali.

29 Mei 2011
Sabtu siang kmrn, trus pas final champion smlm, dan td siang, #listrikpadam di guluk2 sumenep. brarti sdh 57 kali padam sjk 12/1/2011/

30 Mei 2011
semalam #listrikpadam yg ke-58 sejak 12/1/2011. UPS menjerit2 membangunkan tidur saya.. apa maksudmu membangunkan saya, Pak Dahlan Iskan?

2 Juni 2011
kemarin siang, ditambah barusan, total #listrikpadam di guluk2 sumenep sdh 60 kali sejak 12/1/2011. apa kau baca wahai Pak Dahlan Iskan?

9 Juni 2011
jum'at pagi-siang &td malam #listrikpadam di guluk2 sumenep. brarti sdh 62 kali sjk 12/1/2011. sabtu-slasa kmrn ga trpantau krn sy tdk d rmh

13 Juni 2011
smlm saya tak mimpi Dahlan Iskan. UPS menjerit2 saat #listrikpadam untuk yg ke-64 kalinya di wilayah guluk2 sumenep sejak 12/1/2011.

17 Juni 2011
skdr mncatat: tgl 16/6 kmrn, #listrikpadam 4x di guluk2 sumenep. jd sjk 12/1/2011, #listrikpadam saya hitung sdh 68 kali!

dlm wkt sktr 2 jam brsn, #listrikpadam 2x di guluk2 sumenep. jd total 70 kali sejak 12/1/2011. berapa korban barang elektronik yg rusak?

19 Juni 2011
hari ini #listrikpadam 2x di guluk2 sumenep. berarti sdh 72 kali #listrikpadam sejak 12/1/2011.

21 Juni 2011
kemarin #listrikpadam sekali, jadi sejak 12/1/2011 sdh 73 kali #listrikpadam di guluk2 sumenep.

22 Juni 2011
tadi malam dan barusan #listrikpadam di guluk2 sumenep. artinya sdh padam 75 kali sejak 12/1/2011.

27 Juni 2011
ya, betul. td mlm UPS menjerit2 2x. jadi sjk 12/1/2011 #listrikpadam sdh 77 kali. RT @pangapora Apakah betul, kabarnya semalam lampu mati 2x

30 Juni 2011
semalam #listrikpadam bbrp kali sbntr2, shg total sjk 12/1/2011 #listrikpadam di guluk2 sumenep sdh 78 kali.

3 Juli 2011
lewat tengah malam, #listrikpadam membuat UPS di kamar menjerit2, membangunkan tidur saya. Ini adalah #listrikpadam ke-79 sejak 12/1/2011.

5 Agustus 2011
satu bulan tak mencatat #listrikpadam. mmg agk jarang. tp plg tidak ada 7x #listrikpadam. jd sjk 12/1/11, #listrikpadam di guluk2 sdh 86kali.

16 Agustus 2011
semalam #listrikpadam. sepekan terakhir ini ada sekitar 4x. jd sejak 12/1/2011 di guluk2 sumenep #listrikpadam sdh berjumlah 90 kali.

17 Agustus 2011
Selamat! Di hari kemerdekaan, Dahlan Iskan telah menghadiahkan #listrikpadam utk yang ke-91 kali sejak 12/1/2011 bagi warga Guluk2 Sumenep.

20 Agustus 2011
tadi siang dan tadi sore #listrikpadam di guluk2 sumenep. jadi sejak 12/1/2011 #listrikpadam sdh 93 kali.

21 Agustus 2011
tadi sore #listrikpadam di guluk2 sumenep. jadi sejak 12/1/2011 #listrikpadam sdh 94 kali.

25 Agustus 2011
kemarin malam #listrikpadam di guluk2 sumenep ketika jam tarawih. itu yg ke-95 sejak 12/1/2011.

29 Agustus 2011
OOT: 2 malam yg lalu, #listrikpadam di guluk2 sumenep. ini yg ke-96 sjk 12/1/2011..

24 September 2011
cukup lama ga ada #listrikpadam di guluk2 sumenep. sore ini muncul kembali. ini #listrikpadam yg ke-97 sjk 12/1/2011..

26 September 2011
td sore #listrikpadam di guluk2 sumenep. ini adalah yg ke-98 sjk 12/1/2011..

11 November 2011
kalau mau dihitung kasar, ada lbh 10x #listrikpadam sjk terakhir saya mencatat 26 sept lalu. di antaranya yg 4 hari berturut2 itu..

jd kl mau dirangkum, sjk 12/1/2011, #listrikpadam di area guluk2 sumenep sdh 108 kali. saya pikir ini minimal. krn kdg saya lupa tak catat.

14 November 2011
kmrn, #listrikpadam 4x di guluk2 sumenep. jd sjk 12/1/2011 #listrikpadam 112 kali.

18 November 2011
tadi jelang sore #listrikpadam di guluk2 sumenep. rabu kemarin jg. jd sjk 12/1/2011 #listrikpadam di guluk2 berjumlah 114 kali.

4 Desember 2011
Rabu kmrn #listrikpadam di guluk2 sumenep. berarti #listrikpadam sdh 116 kali sjk 12/1/2011.

6 Desember 2011
tadi malam sktr isya #listrikpadam bbrp detik di guluk2 sumenep. ini #listrikpadam yg ke-117 sjk 12/1/2011.

9 Desember 2011
Hari Kamis kemarin #listrikpadam 2x di guluk2 sumenep. jd total sjk 12/1/2011 #listrikpadam 119x...

21 Desember 2011
kemarin siang #listrikpadam dua kali di guluk2 sumenep. berarti sjk 12/1/2011 sdh 122 kali #listrikpadam. adakah HOPE terang utk 2012?

22 Desember 2011
antologi #listrikpadam guluk2 sumenep: td malam tambah 2 kali. jd sjk 12/1/2011 sdh berjumlah 124 kali.

26 Desember 2011
hari ini ada #listrikpadam di guluk2 sumenep. dlm perhitungan saya, ini #listrikpadam yg ke-125 sjk 12/1/2011.

1 Januari 2012
berarti ini #listrikpadam yg ke-126 sjk 12/1/2011 (pdhl setahun!) > RT @ahmadamal: matilampu setahun, dr 2011 sampai 2012 msh blm nyala jg..

4 Januari 2011
td malam #listrikpadam di guluk2 sumenep. sjk 12/1/2011 (hampir pas setahun),berarti ini #listrikpadam yg ke-127 utk wilayah guluk2 sumenep.

pagi ini #listrikpadam lg di guluk2 sumenep. ini yg ke-128 sjk 12/1/2011.

10 Januari 2011
mlm ahad kmrn & td mlm #listrikpadam di guluk2 sumenep. berarti, sjk 12/1/2011, sdh 130 kali. ayo, msh ada hr ini &bsk jk mau padam lg.

1 Maret 2012
saya mencatat #listrikpadam utk wilayah guluk2 sumenep mulai 12/1/2011 hingga setahun kemudian. hasilnya #listrikpadam 130 kali.

ironisnya, barusan jam 12-an #listrikpadam sktr 90 menit. mgkn org PLN blm baca Kompas.


Tulisan terkait:
>> Listrik Padam 130 Kali Setahun
>> Jam Bumi dan Keadilan Energi

Read More..

Kamis, 01 Maret 2012

Listrik Padam 130 Kali Setahun

Iklan PLN di Harian Kompas, 12 Januari 2011, halaman 2.

Pada hari Kamis, 23 Februari 2012, saya mengirimkan tulisan untuk rubrik “Redaksi Yth” Harian Kompas. Isinya tentang hasil pengamatan saya selama setahun mencatat listrik padam di Guluk-Guluk, Sumenep. Tulisan saya itu berjudul “Listrik Padam 130 Kali Setahun”.

Tulisan saya itu kemudian dimuat hari ini, tepat sepekan setelah dikirimkan. Ironisnya, pada hari tulisan saya tentang listrik padam itu dimuat, PLN melakukan pemadaman di wilayah Guluk-Guluk, Sumenep, setelah lewat tengah hari. Saat itu, listrik padam sekitar 90 menit. Sekitar 30 menit setelah menyala, listrik sempat padam kembali beberapa detik.

“Apakah petugas PLN Guluk-Guluk, Sumenep, sudah membaca Kompas hari ini?” tanya saya. Salah seorang rekan saya menjawab, “Itu respons PLN terhadap tulisan, biar hitungannya tambah banyak.”

Tidak, saya pikir PLN memang belum membaca Kompas hari ini.



Berikut ini tulisan yang saya kirimkan ke Kompas dalam versi awal. Setelah dimuat, Kompas menyunting dan meringkas tulisan saya tersebut, sebagaimana dapat dibaca dalam kliping Kompas cetak yang juga saya sertakan di sini.

"Pada tanggal 12 Januari 2011, di Harian Kompas saya mendapatkan iklan Perusahaan Listrik Negara (PLN) yang memuat data listrik padam di tahun 2010. Di situ di antaranya tercantum bahwa untuk Pamekasan, di tahun 2010 listrik padam 25 kali.

Saya tidak tahu pasti yang dimaksud “Pamekasan” apakah merujuk pada kota atau kabupaten. Saya juga bertanya-tanya, apakah wilayah Pulau Madura yang lain, seperti Sumenep, tempat saya tinggal, juga sama.

Pertanyaan ini muncul karena di lingkungan rumah tinggal saya, yakni Desa Guluk-Guluk, Kecamatan Guluk-Guluk, Kabupaten Sumenep, listrik padam sangat sering terjadi, meski beberapa tahun yang lalu sudah sempat ada lembaga masyarakat yang mengadvokasi masalah listrik padam ini.

Sejak melihat iklan itu, saya lalu tertarik untuk mencatat listrik padam di lingkungan rumah tinggal saya. Akhirnya, dalam waktu setahun, yakni mulai 12 Januari 2011 hingga 12 Januari 2012, saya mencatat listrik padam di Guluk-Guluk, Sumenep, terjadi sebanyak 130 kali (teknisnya, setiap listrik padam, saya menuliskannya di akun twitter saya). Listrik padam yang saya catat adalah pemadaman dari PLN, baik itu berlangsung beberapa detik, atau beberapa jam. Jumlah 130 kali ini saya pikir adalah jumlah minimal, karena sangat mungkin ada kejadian listrik padam yang tak tercatat, baik karena saya sedang bepergian ke luar desa, atau hal lainnya.

Saya mencatat listrik padam di wilayah saya sebagai bagian dari partisipasi untuk mengontrol pelayanan publik di wilayah saya. Selama ini, jika warga telat membayar listrik, langsung kena sanksi. Sedangkan pemadaman dari PLN yang seringnya tanpa pemberitahuan ini saya pikir telah banyak memakan korban barang-barang elektronik warga yang usianya dipotong karena terlalu sering mengalami kejutan.

Saya pikir menarik jika warga melakukan upaya kontrol seperti ini. Bahkan jika mungkin dengan catatan yang lebih terperinci, misalnya mencatat hingga durasinya. Meski mungkin terkesan sederhana, tapi paling tidak dengan cara ini saya berharap PLN mau lebih serius melanjutkan tugasnya untuk memberikan layanan yang baik kepada warga."


Tulisan terkait:
>> Jam Bumi dan Keadilan Energi.

Read More..

Sabtu, 01 Mei 2010

Kisah Para Abdi yang Lelap dalam Mimpi

Konon, Orde Reformasi yang dimulai sejak tumbangnya kekuasaan Soeharto menandai permulaan era baru demokrasi di Indonesia. Orde Reformasi adalah saat ketika rakyat punya kesempatan untuk berbicara dan mengekspresikan aspirasinya. Lebih dari itu, Orde Reformasi menjanjikan perbaikan nasib rakyat dari berbagai hal yang mengungkung dan menyengsarakan mereka.

Di daerah, reformasi ditandai dengan munculnya wajah-wajah baru di elite kekuasaan, baik di pemerintahan maupun badan legislatif. Di daerah saya, Sumenep, atau Madura pada umumnya, hal serupa juga terjadi. Jabatan bupati bahkan dipegang oleh kalangan kiai. Banyak anggota badan legislatif yang juga berlatar belakang santri.

Setelah lebih 10 tahun bendera reformasi dikibarkan dengan penuh suka cita, perubahan apakah yang dapat terlihat di daerah saya? Yang cukup tampak adalah bahwa jalan-jalan pelosok yang dulu berbatu dan berdebu kini telah beraspal—meski kualitasnya kadang seperti murahan, lekas rusak dalam hitungan beberapa pekan. Juga, ada subsidi pendidikan untuk siswa tingkat menengah atas—meski terkesan kurang diiringi dengan rencana strategis yang matang.

Namun, jika berbicara soal pelayanan publik, saya rasa daerah saya masih berada jauh di belakang garis periode reformasi alias mengecewakan. Saya berani mengatakan demikian meski saya mendapat informasi bahwa Pemerintah Kabupaten Sumenep tahun ini menerima piagam penghargaan pelayanan publik Citra Bhakti Abdi Negara (CBAN) dari Kementerian Negara Pendayagunaan Aparatur Negara. Menurut laman Pemerintah Kabupaten Sumenep, penghargaan ini diberikan karena Pemkab “dinilai mempunyai komitmen kuat untuk meningkatkan pelayanan publik, dengan melahirkan berbagai kebijakan perbaikan di bidang pelayanan publik”.

Banyak pengalaman dan cerita di sekitar saya yang menegaskan buruknya pelayanan publik di Sumenep. Hampir setahun yang lalu, saya mengalami sendiri bagaimana ribetnya mengurus salinan akta kelahiran di Kantor Kependudukan dan Catatan Sipil Sumenep. Pekan ini, saya kembali mendapat informasi yang semakin menguatkan pendapat saya bahwa dalam hal pelayanan publik, daerah saya sepertinya belum beranjak dari era kegelapan.

Melalui status Facebook seorang kawan, saya mendapat kabar bahwa ada seorang mahasiswa di Sumenep yang dijemput oleh dua orang ke rumahnya untuk menghadap Kepala Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Sumenep. Masalahnya, si mahasiswa menulis surat pembaca di Jawa Pos tentang pungutan liar pembuatan KTP. Kabarnya, saat dipanggil menghadap, si mahasiswa diancam tidak akan pernah mendapat KTP selamanya kecuali ia meralat surat pembacanya itu.


Saya nyaris tak percaya mendengar kabar ini. Cara pejabat Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil menanggapi surat pembaca itu sungguh tak elok sama sekali. Pungutan liar, atau apa pun namanya, dalam pembuatan KTP di Sumenep sudah jamak diketahui masyarakat. Menurut Perda No 9/2007, biaya pembuatan KTP di Sumenep Rp 6.000,-, tapi di lapangan hampir bisa dipastikan biayanya lebih besar berlipat-lipat.

Apa yang dialami si mahasiswa buat saya sungguh sangat berlebihan. Memanggilnya ke kantor dan memberinya ancaman? Wah, ini jelas bukan hal yang mestinya dilakukan seorang abdi rakyat. Bukannya melayani dan mawas diri, malah mengancam.

Tak lama setelah saya mendapat kabar ini, datang lagi kabar senada tetapi dari kantor instansi yang berbeda. Kali ini dari Dinas Pendidikan. Satu di antaranya mengabarkan tentang nasib salah seorang murid di sekolah tempat saya mengajar yang tengah meminta surat keterangan ke Dinas Pendidikan sebagai bagian dari persyaratan diterimanya ia di Institut Teknologi Bandung. Katanya, murid saya itu dimintai uang oleh salah satu staf di sana.

Kabar lainnya, masih dari sumber yang sama, menuturkan bahwa teman saya yang memberi kabar ini sudah tiga hari bolak-balik ke Dinas Pendidikan untuk semacam surat rekomendasi atau surat keterangan atas kegiatannya yang berkaitan dengan pemberdayaan masyarakat. Saya tidak terlalu mengerti konteks dan kronologinya. Tapi dia menceritakan tentang bagaimana ia dilempar ke sana kemari sehingga harus datang berkali-kali tanpa kejelasan yang pasti.

Saya sungguh tak mengerti dengan ini semua. Seperti yang saya rasakan tahun lalu, saya hanya bisa merasa kasihan kepada mereka. Para pejabat dan staf di kantor pemerintahan itu rasanya sungguh berada di tempat dan waktu yang salah. Jika tak mau melayani, jangan sekali-kali melamar jadi pegawai negeri. Mungkin mereka merasa bahwa mereka masih hidup di era Orde Baru, saat pemerintah bisa berbuat semena-mena dan rakyat hanyalah hamba yang mesti diam di hadapan penguasa.

Saya kira begitulah adanya. Mereka masih lelap dalam mimpi, bahwa mereka adalah penguasa, bukan abdi masyarakat. Bahwa mereka aman dalam kekuasaan negara yang menggurita dan bebas berbuat apa saja—termasuk mengancam orang yang mengusik kenyamanan mereka. Saya pikir, kita, rakyat atau masyarakat Sumenep, perlu membangunkan mereka.

Sebenarnya, saya ingin sekali mendengar kabar bahwa tokoh-tokoh masyarakat dan kalangan santri yang kini duduk di jajaran elite pemerintahan atau badan legislatif itu juga turut peduli untuk memperjuangkan perbaikan pelayanan publik di Sumenep. Mungkin memang tidak mudah melakukan perubahan dalam soal ini—apa juga karena sudah mengandung semacam unsur “mafia”? Tapi reformasi sudah lebih 10 tahun, dan belum terlihat perubahan yang berarti. Menyadari hal ini, kadang saya pesimis dan merasa bahwa sepertinya saya tak cukup tepat untuk berharap pada para elite itu.

Lalu kepada siapa saya bisa berharap? Oke, mungkin saya tak boleh terlalu apatis dengan para elite itu. Dalam kasus tertentu, memang terkadang ada di antara elite yang bisa membantu. Tapi yang saya harapkan adalah perubahan yang mendasar dan menyentuh hal-hal yang substansial, bukan hanya bantuan penyelesaian dalam kasus tertentu. Ya, mari kita mencoba sedikit berbaik sangka, bahwa di antara para elite itu masih ada yang bisa mendukung langkah perbaikan semacam ini.

Namun begitu, yang paling penting, untuk bisa ke sana, saya kira kitalah, para rakyat bawah, yang harus kompak dan konsisten bergerak bersama-sama—jangan terus menunggu para elite itu untuk berbuat sesuatu. Di tingkat paling awal, saya kira kita harus bisa memanfaatkan peluang yang diberikan oleh teknologi informasi saat ini, yakni internet, untuk bisa saling berbagi pengalaman dan pikiran guna memperbaiki semua ini. Ya, semacam langkah konsolidasi dan merintis upaya keterbukaan informasi, saat laman-laman instansi pemerintah daerah yang mungkin berbiaya tinggi itu tak cukup mampu memenuhi kebutuhan dan tuntutan transparansi, saat para elite kekuasaan daerah di dunia maya kadang hanya bermonolog, asyik dengan dunianya sendiri, dan kurang membuka diri dan peka atas permasalahan nyata yang dialami rakyat sehari-hari.

Jika pengalaman si mahasiswa yang diancam dan pengalaman murid saya yang dimintai uang itu dibagi bersama di ruang maya ini, mungkin kisah-kisah serupa akan bermunculan datang dari para korban dari tempat, waktu, dan instansi yang bermacam-macam. Lalu pikiran dan langkah ke arah perbaikan mungkin juga akan datang dan dapat disusun dengan lebih baik. Dan, itu semua saya pikir akan dapat menjadi suatu kekuatan besar yang tidak saja akan menjadi ironi bagi sederet penghargaan (formal) atau trofi yang didapat instansi-instansi itu, tetapi mungkin juga bisa mampu memberi efek kejut untuk membangunkan mereka yang tengah lelap dalam mimpi itu.

Ya, mungkin semacam memercikkan air ke wajah mereka yang tidur lelap atau pura-pura tidur. Agar mereka benar-benar mau bangun, lalu bersama-sama kita ajak shalat, mengaji, dan bertaubat. Bukankah konon kiamat sudah dekat—bisa jadi 2012?

Baca juga:
>> Arogansi, Mental-Tak-Mau-Melayani, ataukah Hidup-Salah-Zaman?
>> Orang Miskin Dilarang Sakit

Read More..

Senin, 23 November 2009

Orang Miskin Dilarang Sakit

Minggu, 15 November. Sore itu saya mendapat kabar duka dari Madura. Widadah (sehari-hari dipanggil Wiwid), yang pernah menjadi murid terbaik saya di SMA 3 Annuqayah Guluk-Guluk Sumenep, dikabarkan meninggal dunia oleh sepupu saya. (Allahummaghfir laha warham-ha waj‘al jannata ma'wa-ha). Dia meninggal di ICU RSUD Sumenep, setelah sehari sebelumnya melahirkan dua anak pertamanya (kembar). Saat menerima kabar itu, saya tak terlalu banyak bertanya tentang kronologi dan sebab-musababnya. Saya hanya tertegun. Lama. Sungguh, saya terkejut sekali mendengar berita duka ini. Saya membayangkan dua putra kembarnya, keluarganya.

Sepertinya baru kemarin, saat saya memberikan buku Muhammad karya Martin Lings untuknya, setelah dia dinobatkan sebagai siswa teladan di pertengahan 2008 lalu di sekolah. Saya mencoba mengingat-ingat, kapan terakhir kali saya berjumpa dengan dia. Sayangnya, ingatan saya tak cukup kuat. Setelah lulus dari SMA 3 Annuqayah, dia menikah, dan sependek ingatan saya, saya tak pernah bertemu dengannya lagi.

Saya memang tak berusaha mencari informasi lebih jauh tentang meninggalnya Wiwid. Akan tetapi, secara kebetulan, saya menemukan berita tentang itu. Seorang teman di Facebook yang juga seorang anggota DPRD Sumenep menuliskan dua posting di dindingnya yang berkaitan dengan hal itu. Saya kutip lengkap dan persis sebagaimana berikut:


sekali lg pelayanan RSUD Smnp m'dapat sorotan negatif dari masyarakat, pelayanan t'hadap pasien ASKESKIN krg m'dapatkan pelayanan standart minimal, t'buti pasien operasi melahirkan "Widadah" asal desa Poreh Kec. Lenteng Smp saat ini sedang tergolek kritis di ruang ICU krn t'indikasi adanya infeksi pasca operasi yg diakibatkan telatnya penangan dari petugas di sana. (15 November 2009, 9.43 WIB)
sampai info ini ditulis blm ada 1 dokterpun yg menangani pasien tsb, walau sy telah telpon lgsg k Kep. RSUD "dr. Kifli Mahmud" (15 November 2009, 9.44 WIB)



Membaca dua posting itu dua hari yang lalu, saya agak terkejut, bercampur sedih, dan juga jengkel. Pikiran saya jadi ke mana-mana. Sempat terlintas di benak saya: seharusnya ada sesuatu yang bisa dilakukan oleh pihak rumah sakit untuk menyelamatkan Wiwid. Tapi, hal yang terjadi tidaklah menurut aturan yang semestinya.

Jika benar dugaan dalam posting teman saya itu, bahwa infeksi pasca operasi itu diakibatkan telatnya penanganan petugas rumah sakit, sungguh, ini adalah kali kesekian saya mendapat kabar tentang masyarakat kecil di Sumenep yang kurang mendapatkan perhatian dalam hal pelayanan kesehatan. Memang, kerap saya dengar bahwa pasien dengan Asuransi Kesehatan Masyarakat Miskin (Askeskin) mendapat perlakuan berbeda di rumah sakit.

Mestinya para petugas kesehatan itu mengerti bahwa kesehatan bukanlah hal yang sepele. Ia bisa berkaitan langsung dengan hak hidup seseorang. Hak untuk mendapat akses kesehatan yang baik adalah hak setiap warga negara. Dan negara berkewajiban untuk memenuhinya.

Hanya karena seseorang menggunakan Askeskin, yang itu berarti dia tidak mampu membayar dengan penuh dan dibantu oleh negara, para petugas malah menganaktirikannya. Sungguh logika dan juga kepekaan mereka telah tumpul. Mestinya, orang yang tak mampu itu mendapat perhatian lebih, bukannya diabaikan.

Jika benar bahwa penyebab meninggalnya Wiwid adalah karena telatnya penanganan petugas (dan ini tentu saja masih harus diverifikasi secara jujur dan objektif—sebentar, apakah dalam hal ini saya bersikap cukup wajar dan masuk akal untuk mengharapkan objektivitas?), maka jelas para petugas yang mestinya bertanggung jawab telah melakukan hal yang salah—paling tidak secara moral. Mereka telah lalai dalam tanggung jawabnya. Membiarkan orang meninggal karena layanan kesehatan yang tidak maksimal adalah sesuatu yang tidak baik atau salah secara moral. Jika seseorang mampu mencegah terjadinya hal yang buruk secara kesehatan tanpa harus mengorbankan hal penting pada dirinya (apalagi itu adalah kewajibannya), maka jika orang itu tak melakukannya, berarti ia telah melakukan suatu kesalahan.

Saya tidak mendapat sumber informasi yang lain mengenai hal ini. Meski begitu, saya cukup mudah untuk meyakini bahwa pelayanan rumah sakit di negeri kita memang masih sungguh jauh dari standar. Saya banyak mendengar cerita-cerita semacam ini dari beberapa kawan. Di koran dan media massa lainnya, kita juga sering mendapat informasi serupa, tentang buruknya layanan kesehatan, dan, lebih jauh lagi, tentang kecenderungan memperlakukan orang sakit sebagai barang dagangan—bukan manusia.

Saat rehat di kelas kuliah saya yang sedang berdiskusi soal etika biomedis (layanan kesehatan) beberapa pekan yang lalu, saya bilang kepada teman kelas saya yang seorang dokter dari Slovenia bahwa buat saya diskusi semacam ini saat ini masih terasa cukup mewah. Standar pelayanan kesehatan di negeri saya masih jauh dari memadai. Sementara itu, di belahan dunia yang lain, orang sudah lama berbicara dan mempraktikkan kewajiban untuk tidak menularkan penyakit kepada orang lain (obligatory precautions), informed consent, dan semacamnya.

Saya juga jadi teringat Michel Foucault (1926-1984), filsuf Prancis yang menulis buku The Birth of the Clinic (1963), yang bertutur tentang relasi kuasa yang bekerja di rumah sakit melalui tatapan medis (medical gaze, regard) para dokter yang bekerja dengan paradigma kontrol dalam kerangka panopticon.

Saya juga jadi teringat judul sebuah buku yang cukup menarik: Orang Miskin Dilarang Sakit. Ya, orang miskin jangan sampai sakit, karena mereka tak akan mendapatkan pelayanan yang baik di negeri ini. Buku ini tidak saja menunjukkan banyak hal tentang carut-marut wajah layanan kesehatan di negeri kita. Lebih dari itu, cobalah Anda ketikkan judul buku ini di mesin pencari Google, dan Anda akan mendapatkan tulisan-tulisan dan laporan faktual bernada serupa dari berbagai sumber.

Mengingat itu semua, saya benar-benar takut untuk sakit. Sungguh. Bukan apa-apa. Karena saya memang termasuk orang miskin.

Read More..

Kamis, 16 Juli 2009

Arogansi, Mental-Tak-Mau-Melayani, ataukah Hidup-Salah-Zaman?

Setelah agak terlantar beberapa waktu karena masih merampungkan tugas-tugas di sekolah dan yang lainnya, akhirnya saya pun mulai mengurus kepentingan saya untuk melanjutkan studi. Pengumuman kelulusan saya di program Master of Applied Ethics di Utrecht University (Belanda) dan NTNU (Norwegian University of Science and Technology) Trondheim (Norwegia) beasiswa dari Komisi Eropa (badan eksekutif Uni Eropa) sebenarnya sudah agak lama, tepatnya 1 Mei yang lalu. Tapi sejak pengumuman keluar, saya tidak bisa fokus ke berbagai persiapan yang perlu saya lakukan, baik teknis maupun nonteknis. Saya hanya sempat membuat paspor dan mengumpulkan informasi awal dari internet tentang beberapa hal.

Satu hari sebelum Pilpres 2009, saya mengirimkan aplikasi visa saya ke Belanda. Pengiriman aplikasi visa sempat tertunda agak lama, dan saya sempat sangat khawatir gara-gara nomor mahasiswa saya di Utrecht University tak kunjung diinformasikan oleh International Office—padahal saya sudah kirim email dan sempat menelepon juga.

Sementara itu, aplikasi visa Norwegia tidak bisa diproses karena saya mesti memproses legalisasi akta kelahiran. Legalisasi akta kelahiran ini juga saya perlukan untuk keperluan di Belanda nanti, termasuk untuk pengambilan visa Belanda di konsulat/kedutaan. Dan untuk urusan inilah saya masih terhambat oleh birokrasi Catatan Sipil di Sumenep.

Berdasarkan informasi yang saya himpun di internet (milis, blog), terutama berdasarkan pengalaman mereka yang sebelumnya pernah studi ke Belanda dan Norwegia dan juga negara Eropa lainnya, ketentuan dan persyaratan tentang legalisasi akta kelahiran ini memang beragam. Khusus di Belanda, secara umum bisa dibilang agak ribet. Mereka mensyaratkan bahwa akta kelahiran yang akan digunakan berusia tak lebih dari lima tahun. Saya menjadi lebih jelas ketika saya bertanya langsung ke Kedutaan Belanda. Selain itu, katanya, juga ada kantor kependudukan di salah satu kota di Belanda yang tak menerima dokumen legalisasi versi fotokopi—jadi yang dilegalisasi harus dokumen asli.

Urutan proses legalisasi adalah sebagai berikut. Dokumen akta kelahiran yang akan dilegalisasi (asli dan atau fotokopi) diproses di Departemen Hukum dan HAM RI, setelah itu dilegalisasi di Departemen Luar Negeri RI, kemudian dilegalisasi di kedutaan negara yang kita tuju. Untuk legalisasi di Dephukham, mereka mensyarakatkan kita untuk membawa spesimen tanda tangan pejabat yang mengesahkan atau menandatangani dokumen kita itu (untuk diverifikasi).

Hambatan di Catatan Sipil Sumenep dimulai ketika pada hari Kamis tanggal 25 Juni saya hendak membuat kutipan akta kelahiran yang baru, karena akta yang saya punya dikeluarkan 12 tahun yang lalu sehingga tak akan diterima di Belanda nanti. (Lagipula, andai saya menggunakan akta keluaran tahun 1997, bagaimana saya bisa mendapatkan spesimen tanda tangan pejabat yang tanda tangan di akta tersebut?) Pejabat di Kantor Catatan Sipil Sumenep bersikeras bahwa jika sudah memiliki kutipan akta kelahiran, maka saya tidak bisa membuat kutipan yang baru. “Ini kan berlaku seumur hidup?” kata si pejabat. Ya, siapa yang tidak tahu bahwa akta kelahiran itu berlaku seumur hidup, pikir saya. Masalahnya: bisakah saya mendapatkan spesimen tanda tangan R.B.H. Abd. Karim, BA, pejabat Catatan Sipil yang katanya sudah pensiun itu? Sampai di sini si pejabat tak bisa memberi solusi, dan berargumen bahwa menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, saya tak boleh membuat kutipan baru (karena sudah punya).

Saya berbincang agak lama dengan pejabat Catatan Sipil Sumenep itu, sampai akhirnya saya sama sekali tak diberi pilihan jalan keluar. Pokoknya tidak bisa! Saya masih ingat, pertama pejabat di loket malah meminta saya agar membawa surat dari Dephukham yang menerangkan bahwa saya butuh kutipan akta kelahiran yang baru. Walah, ada-ada saja. Berdasarkan informasi yang saya dapatkan langsung dari Dephukham via telepon di hari itu, mereka mengatakan bahwa saya akan sia-sia saja jika terpaksa membawa akta kelahiran yang lama, karena itu nanti tidak akan diterima di Belanda. Saat ditanya tentang spesimen tanda tangan, pejabat di Dephukham itu mengatakan bahwa ketentuan soal itu tidak ada di undang-undang, tapi dijelaskan melalui surat edaran.

Hari itu saya pulang dengan kecewa. Setiba di rumah, saya pun mencoba mencari jalan keluar sendiri. Tampaknya saran rekan-rekan di milis benar: daripada ribet, lebih baik memproses ulang membuat kutipan akta kelahiran baru dengan alasan kutipan yang lama hilang. Ini kurang lebih mirip dengan saran dua orang yang saya jumpai di luar Kantor Catatan Sipil Sumenep, setelah mereka menyaksikan saya agak lama sedikit bersitegang dengan petugas di sana.

Penasaran, saya mencoba mencari ketentuan perundangan, termasuk yang disebut oleh si petugas Capil Sumenep. UU No 23/2006 berhasil saya unduh di internet. Juga Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 28 Tahun 2005 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil di Daerah, dan juga beberapa peraturan daerah di beberapa kabupaten/kota di Indonesia (termasuk Sumenep) terkait dengan itu. (Sebagai catatan, mendapatkan perda melalui laman instansi pemerintah di Sumenep tidaklah mudah; padahal, katanya, instansi di Sumenep sudah lama menerapkan E-Government). Saya coba baca-baca, dan ternyata tak satu pun saya temukan klausul eksplisit atau implisit yang menyatakan bahwa jika sudah punya kutipan akta kelahiran, tak boleh membuat kutipan yang baru. Bahkan, di perda kependudukan beberapa kabupaten, termasuk Sumenep, tercantum tarif/biaya pembuatan kutipan akta kelahiran yang kedua (dan seterusnya)—nah, berarti mestinya bisa buat lagi kan?

Kesimpulan saya: si pejabat Capil Sumenep sebenarnya tidak mengerti aturan yang sebenarnya. Mungkin dia cuma tidak mau ambil pusing dengan kasus baru (permintaan saya) yang dia alami siang itu, sehingga langsung saja ambil jalan pintas dengan mengatakan: tidak bisa! Saat saya mencoba berbagi dengan beberapa rekan soal kejadian ini, beberapa di antaranya mencatat beberapa kemungkinan yang lain. Ada yang mengatakan bahwa mental sebagian pejabat kita bukan melayani, dan mereka tampil arogan di hadapan masyarakat yang membutuhkan pelayanan yang mestinya menjadi kewajiban mereka. Apalagi, dalam konteks Sumenep, sebagian pejabat (merasa) berasal dari kasta masyarakat yang lebih tinggi dari orang kebanyakan. Adik saya menyebut kemungkinan seperti yang saya tulis di atas: ini kasus baru, mereka tak tahu peraturan yang sebenarnya, dan tetap saja tak mau bergerak keluar dari tempurung mereka yang sebenarnya pengap itu.

Sebenarnya, yang paling membuat saya kesal adalah karena mereka tak mau memberi saya jalan keluar—bahkan terkesan mempersulit. Mereka tidak mencerahkan saya dengan peraturan atau ketentuan yang mungkin dapat saya jadikan dasar untuk menjadi jalan keluar. Saya bertambah kesal setelah saya tahu bahwa ketentuan undang-undang yang mereka jadikan tameng dibawa dari alam mimpi!

Akhirnya saya memutuskan jalan yang akan saya ambil: saya mau membuat lagi kutipan akta kelahiran yang baru dengan alasan hilang. Saya minta tolong adik saya untuk menguruskan kelengkapan persyaratannya ke pejabat desa dan kecamatan. Lagi-lagi, saya menemukan versi yang berbeda dengan informasi yang saya dapatkan dari Kantor Capil Sumenep dan perda. (Artinya, peraturan yang ada tidak tersosialisasikan dengan baik, bahkan di kalangan mereka yang bertugas—apalagi ke masyarakat).

Akan tetapi, akhirnya saya tidak mengikuti jalur ini. Secara kebetulan, ada seorang santri alumnus Annuqayah yang siap membantu saya mendapatkan kutipan akta kelahiran dengan jalur cepat: satu hari jadi. Okelah, saya ikut jalur ini saja, karena sudah mencoba baik-baik tapi tidak diberi solusi. (Sempat terlintas di pikiran: apa saya yang sedikit bego ya, tidak memahami sosiologi politik-kebudayaan pejabat di Sumenep, sehingga saya “memaksa” ikut aturan?).

Alhamdulillah, akhirnya pada hari Kamis 2 Juli saya bisa mendapatkan kutipan akta kelahiran yang baru. Biayanya cuma 15 ribu rupiah. Sama seperti yang tercantum di perda kependudukan Sumenep.

Tapi hambatan dari Capil belum berakhir di sini. Saya masih butuh spesimen tanda tangan pejabat yang menandatangani kutipan akta kelahiran saya yang baru. Maka pada hari Senin tanggal 6 Juli, saya minta tolong si santri yang membantu saya untuk mendapatkan spesimen itu. Saya tidak bisa mengurus sendiri karena di hari itu saya masih ada tugas di pesantren, sambil menyiapkan kelengkapan informasi dan dokumen yang harus saya urus ke Jakarta.

Dan, ini dia berita yang paling lucu: pejabat di Kantor Capil Sumenep mengatakan bahwa untuk mendapatkan spesimen itu, saya harus izin kepada Bupati Sumenep. Hhhaaah?? Apakah bupati memang masih mengurusi tetek bengek macam ini? Sungguh kasihan jika K.H. Moh. Ramdan Siraj, Bupati Sumenep, di tengah berbagai kesibukannya yang lebih strategis masih akan dibuat repot dengan hal seperti ini. Lagipula, tak satu pun pasal saya temukan soal itu di peraturan perundangan kependudukan yang saya punya.

Pembaca, dalam konteks ini, akhirnya saya pun merasa perlu untuk mengungkapkan satu hal berikut ini: bahwa menurut UU No 23/2006 tentang Kependudukan, yang mulanya disebut-sebut oleh pejabat Capil Sumenep itu, tepatnya di pasal (2) tentang hak dan kewajiban penduduk, disebutkan bahwa “Setiap Penduduk mempunya hak untuk memperoleh... (a) Dokumen Kependudukan; (b) Pelayanan yang sama dalam Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil; (c) Perlindungan atas data pribadi; (d) Kepastian hukum atas kepemilikan dokumen.” Ya, kita berhak memperoleh kepastian hukum atas kepemilikan dokumen. Faktanya, saya, warga negara Indonesia, tak menemukan kepastian itu, dan seperti dipermainkan oleh abdi negara.

Karena saya saat itu sungguh sudah terdesak oleh waktu (jika tak segera diproses, aplikasi visa Norwegia saya tak kunjung bisa dimasukkan ke Kedutaan), maka saat itu pun saya menelepon salah seorang anggota DPRD Sumenep yang pernah menjadi guru wali kelas saya selama tiga tahun saat duduk di MTs 1 Annuqayah (1991-1994). Saya bertanya tentang kebenaran kata-kata si pejabat tentang syarat untuk mendapatkan spesimen tanda tangan itu. Beliau, yang memang bertugas di bidang yang menangani masalah ini, menyangkal keterangan si pejabat Capil. Saya pun meminta kesediaannya untuk membantu mengatasi masalah ini.

Alhamdulillah, keesokan harinya, beliau membantu saya mendapatkan spesimen tanda tangan tersebut. Sayangnya, saya sendiri tidak bisa mengurus ini dan bertemu dengan beliau, karena di hari Senin malam saya berhasil mendapatkan nomor mahasiswa saya di Utrecht University, dan karena itu di hari Selasa pagi saya segera berangkat ke Surabaya untuk mengirimkan dokumen aplikasi Visa ke Utrecht melalui jasa pengiriman DHL.

Di perjalanan pulang dari Surabaya, melintasi Jembatan Suramadu yang ketika itu hampir genap satu bulan diresmikan, saya tak habis pikir dengan pengalaman saya berurusan dengan kantor yang juga sempat terkait dengan kisruh DPT Pemilu/Pilpres 2009. Jika orang yang cukup berpendidikan seperti saya saja mengalami kesulitan berurusan langsung dengan mereka (dan harus menggunakan “orang dalam” atau “orang kuat”), bagaimana dengan masyarakat yang kurang berpengalaman dan atau kurang berpendidikan?

Dalam hati saya merasa kasihan kepada mereka, para pejabat itu—termasuk kepada seorang ibu di kantor itu yang ikut nyletuk seperti untuk menyudutkan saya—, bila melihat dari sudut pandang betapa mereka sebenarnya tidak sadar dengan kekeliruan cara mereka bersikap. Kita sudah hidup di zaman baru, era informasi dan komunikasi yang canggih. (Buktinya, saya dapat dengan cukup mudah memperoleh undang-undang yang mereka jadikan alasan untuk sedikit merepotkan saya, dan saya juga sangat mudah untuk berbagi pengalaman saya ini dengan orang-orang sedunia). Dan mereka bersikap seolah-olah ini adalah zaman ketika informasi masih dimonopoli oleh para clerus, sehingga mereka berani saja bicara dengan dasar aturan yang keliru.

Bagaimanapun, kita harus mengakui bahwa ini adalah gambaran tingkat peradaban masyarakat kita yang masih tak kunjung dewasa.

Semoga mereka, dan kita juga, dapat segera bangun dari tidur nyenyak ini, dan segera menyadari bahwa untuk menghadapi tantangan milenium ini, kita harus membangun keadaban yang sejati, dengan kerja keras dan ketulusan, penghargaan kepada sesama, kerja sama, dan sikap progresif lainnya.

Read More..