Tampilkan postingan dengan label Book Review: Politics. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Book Review: Politics. Tampilkan semua postingan

Jumat, 25 Januari 2019

Melawan Hoaks, Merawat Demokrasi


Judul buku: Kebohongan di Dunia Maya: Memahami Teori dan Praktik-Praktiknya di Indonesia
Penulis: Budi Gunawan dan Barito Mulyo Ratmono
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia (KPG), Jakarta
Cetakan: Pertama, 2018
Tebal: xvi + 166 halaman
ISBN: 978-602-424-868-0

Belakangan ini, berita bohong (hoax) dan berita palsu (fake news) semakin merajalela. Pembuat, penyebar, dan konsumennya bahkan melibatkan orang-orang terdidik. Dampaknya, kehidupan sosial menjadi kacau. Harmoni dan kesatuan masyarakat terancam.

Ancaman ini kian nyata jika kita melihat data Kementerian Komunikasi dan Informatika tahun 2018 yang menyebutkan bahwa penanganan konten negatif seperti hoaks, berita palsu, dan ujaran kebencian pada tahun 2017 meningkat sembilan kali lipat dibandingkan dengan tahun sebelumnya.

Buku ini membedah fenomena hoaks yang menjamur di Indonesia pada beberapa tahun terakhir ini. Uraiannya yang ringkas, kaya data, dan memberi pemetaan dan solusi konkret adalah kelebihan buku ini. Apalagi kedua penulisnya berpengalaman di berbagai jabatan di instansi kepolisian dan saat ini bekerja di Badan Intelijen Negara (BIN).

Hoaks muncul bersamaan dengan munculnya media baru di jagat maya khususnya media sosial. Platform media baru ini mendorong berkembangnya budaya partisipasi (participatory culture) yang tidak saja menempatkan masyarakat sebagai konsumen teknologi, tetapi juga sebagai produsen yang siap menyumbangkan konten sesederhana apa pun di dunia internet.

Melalui media baru yang lazim disebut media sosial inilah hoaks di Indonesia pada khususnya menyebar dengan cara yang cukup mudah dan juga murah. Murah, karena memang tanpa biaya. Mudah, karena pengguna media sosial di Indonesia khususnya terus meningkat.

Pola produksi berita hoaks pada dasarnya masih memanfaatkan media arus utama. Para pembuat hoaks mengamati berita yang berpotensi menimbulkan kontroversi, meramunya dengan fiksi diberi bumbu SARA dan ujaran kebencian, dan mengganti judul (kadang juga gambar) dengan gaya bombastis dan provokatif.

Mesin penyebaran hoaks melalui media sosial menggunakan beberapa strategi. Di antaranya dengan membuat akun-akun anonim dan mengikuti situs-situs sumber hoaks, lalu membagikan berita-berita hoaks tersebut ke jaringan pertemanannya. Pengelola akun anonim ini membidik jaringan pertemanannya yang gemar membagikan postingan hoaks mereka untuk diteruskan pada kelompok pertemanannya masing-masing.

Penyebaran hoaks kadang juga memanfaatkan pengamat politik atau politisi yang memiliki kesesuaian sikap politik dengan muatan hoaks secara sadar atau tidak didorong untuk dapat dijadikan mesin viralisasi.

Penyebaran hoaks terutama dilatarbelakangi oleh motif ekonomi dan politik. Situs-situs penyebar hoaks terbukti dapat meraup keuntungan yang besar dari iklan. Situs postmetro.co misalnya memperoleh pendapatan iklan 25 hingga 30 juta rupiah per bulan dengan memproduksi sekitar 80 berita palsu. Sementara itu, portalpiyungan.co diperkirakan memperoleh penghasilan 379 dolar AS per tahun dari iklan, sedangkan seword.com 854 dolar AS per tahun. Secara politik, berita hoaks digunakan untuk menyerang lawan politik, menebar kebencian, dan juga meningkatkan rasa percaya diri dan untuk personal branding.

Di sini kita dapat melihat bahwa hoaks sangatlah mengancam kehidupan demokrasi. Saat ruang publik dikotori oleh berita-berita palsu, masyarakat dapat digiring pada sikap tertentu dengan lebih mengandalkan sentimen emosional dan mengabaikan nalar sehat mereka. Di sisi lain, hoaks juga memperlihatkan cara-cara yang tidak sehat dan tidak bermoral untuk meraih pengaruh kekuasaan.

Menghadapi fenomena hoaks ini, buku ini mengajukan solusi dengan pendekatan reflexive security dengan melibatkan unsur negara, pasar, dan masyarakat. Negara harus memperkuat aturan dan perangkat terkait pemberantasan hoaks, seperti sanksi atas laman pembuat dan pelaku penyebar hoaks. Pasukan siber pemerintah juga harus lebih berdaya dan sigap cara kerjanya. Selain itu, korporasi atau pelaku pasar, seperti yang terkait sumber iklan yakni Google dan Facebook, harus didorong agar dapat bekerja sama baik dalam hal menghentikan iklan pada sumber-sumber hoaks maupun dalam hal penyaringan informasi.

Yang tak kalah penting, masyarakat perlu terus didorong untuk kritis dan aktif memerangi hoaks. Melek informasi atau literasi digital harus terus diupayakan.

Beriringan dengan fakta-fakta mutakhir yang semakin jelas di depan mata, buku ini mengingatkan kita semua bahwa ancaman hoaks harus segera dilawan dan diantisipasi bersama. Tujuan utamanya demi menyelamatkan mutu kehidupan demokrasi, agar masyarakat dapat menemukan ruang publik yang jernih dan dapat menghasilkan keputusan-keputusan yang lebih baik dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa.


Tulisan ini adalah naskah awal yang kemudian disunting redaksi dan dimuat di Koran Jakarta, 24 Januari 2019.

Read More..

Minggu, 17 Desember 2017

Menata Migas Menuju Kedaulatan Energi


Judul buku: Tata Kelola Migas Merah Putih
Penulis: M. Kholid Syeirazi
Pengantar: Andang Bachtiar
Penerbit: LP3ES, Jakarta
Cetakan: Pertama, Oktober 2017
Tebal: xvii + 288 halaman
ISBN: 978-602-7984-31-8


Indonesia adalah negara yang memiliki potensi sumber daya energi yang melimpah, baik berupa energi yang dapat diperbarui maupun yang tak terbarui. Meski demikian, kondisi keenergian nasional beberapa tahun terakhir memperlihatkan sejumlah masalah krusial yang menunjukkan ketimpangan antara potensi dan fakta yang ada.

Sejak 2003, konsumsi BBM di Indonesia telah melampaui produksi. Tahun berikutnya, Indonesia resmi menjadi nett oil importer. Cadangan dan produksi migas yang menurun juga disertai dengan rendahnya partisipasi perusahaan minyak nasional dan tidak berkembangnya infrastruktur energi. Pertamina hanya menguasai 10% dari total cadangan migas nasional. Sementara itu, upaya pemerintah untuk mengarusutamakan gas terkendala infrastruktur yang terbatas sehingga salah satu dampaknya harga gas menjadi mahal.

Rapuhnya ketahanan dan kedaulatan energi di Indonesia menurut penulis buku ini, M. Kholid Syeirazi, sebagian besar akibat kebijakan tata kelola migas yang buruk. Kholid melihat bahwa UU Migas No 22 Tahun 2001 memuat banyak masalah mendasar dalam hal tata kelola migas sehingga wajar bila undang-undang tersebut sejak 2004 sebagian normanya telah dilucuti oleh Mahkamah Konstitusi (MK).

Buku ini merupakan telaah atas kebijakan tata kelola migas di Indonesia yang berusaha menegaskan dan meletakkan kembali masalah migas dalam kerangka filosofi kolektivisme di tengah arus liberalisme. Kritik kebijakan yang dikemukakan Kholid dalam buku ini dibuat dengan berlandaskan pada tafsir pasal 33 UUD 1945 ayat (2) yang berbunyi: “Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.”

Kholid mengutip dan menganalisis uraian Mohammad Hatta, arsitek dan perumus pasal 33 UUD 1945, dan juga poin-poin yang menjadi pertimbangan dalam keputusan Mahkamah Konstitusi untuk judicial review beberapa pasal UU Migas. Di antara poin kesimpulannya ditegaskan bahwa dengan landasan semangat kolektivisme, monopoli negara untuk sektor strategis diperbolehkan. Penguasaan negara ini—yang meliputi aspek kebijakan, pengurusan, pengaturan, pengelolaan, dan pengawasan—berangkat dari konsepsi kedaulatan rakyat Indonesia atas segala sumber kekayaan.

Dengan menelaah tiga keputusan MK untuk uji materi UU Migas dan juga model tata kelola migas di beberapa negara di dunia, Kholid kemudian mengelaborasi beberapa aspek mendasar terkait kebijakan tata kelola migas. Kholid juga memaparkan dan menganalisis data-data aktual keenergian dan perminyakan nasional, juga konstelasi global. Ujungnya, buku ini kemudian mengajukan beberapa rekomendasi agar Indonesia menuju pada kedaulatan energi.

Rekomendasi pertama, Kholid mengusulkan bahwa pengaturan migas harus bersifat khusus karena merupakan bidang usaha strategis dan menguasai hajat hidup orang banyak. Dengan sifat khusus ini, sektor migas tidak bisa diperlakukan seperti industri umum lainnya yang terikat dengan banyak peraturan teknis. Usulan ini merupakan kritik atas beberapa poin dalam UU Migas yang membuat investasi di sektor migas menjadi terhambat akibat birokrasi yang rumit.

Poin rekomendasi penting yang diajukan Kholid dalam buku ini adalah perombakan paradigma pengelolaan migas dari revenue-oriented kepada growth-oriented. Migas tidak boleh diletakkan sebagai komoditi ekspor penghasil devisa. Kholid mengusulkan agar sektor migas dijadikan sebagai modal pembangunan sehingga dalam jangka panjang sektor ini harus dikeluarkan seluruhnya dari keranjang penerimaan APBN.

Dalam kerangka jangka panjang, penerimaan migas dikelola oleh badan khusus sebagai petroleum fund untuk menopang program intensifikasi, diversifikasi, dan konservasi energi. Di sektor hulu, petroleum fund ini digunakan untuk menunjang eksplorasi dan litbang, sedang di hilir untuk membangun infrastruktur energi dan stabilisasi harga. Selain itu, Kholid mengusulkan agar ambang batas wajib pasok dalam negeri diperbesar menjadi 50%.

Selain aspek praktis rekomendasi yang diajukan dalam konteks politik kebijakan, kelebihan buku ini terletak pada ketajaman analisis penulisnya dalam mengurai masalah tata kelola migas. Filosofi mendasar dari konstitusi dibaca secara lebih kritis, aktual, dan padu dengan berbagai keputusan hukum lain yang relevan. Data mutakhir baik tentang kondisi energi dalam negeri maupun tata politik ekonomi migas international juga sangatlah kaya tersaji dalam buku ini.

Buku ini sangatlah bernilai untuk diskursus publik menuju cita-cita negara yang berdaulat. Bagaimanapun, kedaulatan nasional di antaranya mensyaratkan kemandirian dan kedaulatan di bidang energi.


Tulisan ini dimuat di Harian Jawa Pos, 17 Desember 2017


Tulisan terkait:
>> Jerat Liberalisasi dan Kedaulatan Energi

Read More..

Senin, 20 Maret 2017

Menakar Kematangan Hidup Berdemokrasi


Judul buku: Komunikasi dan Demokrasi: Esai-Esai Etika Komunikasi Politik
Penulis: Alois A Nugroho
Penerbit: Kanisius, Yogyakarta
Cetakan: Pertama, 2016
Tebal: 240 halaman


Secara umum, demokrasi saat ini dipandang sebagai pilihan terbaik untuk menjadi acuan tata kelola kehidupan berpolitik dan bermasyarakat. Namun demikian, kenyataan menunjukkan bahwa realitas dunia politik yang berlandaskan demokrasi tak selalu mulus dan sesuai dengan harapan. Kadang ada kontradiksi, bahkan kadang ada situasi anarki.

Buku ini memuat kumpulan esai yang berusaha menyorot dan merefleksikan dinamika kehidupan politik di Indonesia khususnya di bidang komunikasi dan demokrasi dengan sudut pandang etika atau filsafat moral. Dengan sudut pandang yang bercorak reflektif dan filosofis ini, Alois A Nugroho, penulisnya, mencoba masuk ke aspek mendalam dari setiap peristiwa untuk kemudian mengulas perihal bagaimana sepatutnya kita mengambil sikap dalam situasi tersebut.

Misalnya tentang masalah kampanye negatif. Beberapa pemikir di bidang etika memandang kampanye negatif sebagai hal yang tidak etis karena dipandang lebih banyak memuat informasi yang menyesatkan atau menyimpang. Kampanye negatif kadang juga disampaikan secara anonim sehingga tak memiliki bobot pertanggungjawaban yang cukup.

Namun demikian, ada juga kelompok yang tidak sepenuhnya sepakat untuk mengutuk praktik kampanye negatif. Kampanye negatif yang rasional, yang menitikberatkan pada aspek gagasan dan kebijakan daripada aspek kehidupan pribadi, dipandang dapat meningkatkan kadar kelengkapan informasi bagi para pemilih.

Berbeda halnya dengan kampanye hitam yang disepakati tidak etis. Kampanye hitam menggerogoti semangat demokrasi karena hanya menyajikan fitnah dan menyesatkan rakyat sebagai partisipan demokrasi. Bahkan kampanye hitam dapat memecah belah kehidupan masyarakat.

Seiring dengan mulai maraknya kampanye hitam, seperti yang menimpa cawapres Boediono pada 2009 dan semakin marak pada pilpres 2014, pesan kebencian belakangan cenderung semakin meningkat seiring dengan semakin luasnya penggunakan media sosial di internet. Pesan kebencian menurut Rita Kirk Whillock sejatinya merupakan “anihilasi retoris” terhadap lawan. Pesan kebencian menutup kemungkinan dialog dengan menyudutkan dan mematikan lawan. Bahkan menurut Erich Fromm pesan kebencian juga menutup diri sendiri untuk berproses dan berubah.

Meski begitu, bukan berarti hal-hal negatif tidak boleh disiarkan di media. Penulis buku ini sepakat dengan Amartya Sen yang menyatakan bahwa media massa yang bebas seharusnya menjadi pijar demokrasi, termasuk dengan memberitakan kelompok yang menderita, terpinggirkan, atau tertindas. Di sini media massa berperan sebagai ruang publik dalam fungsi protektif, yakni melindungi rakyat dari penyalahgunaan wewenang kekuasaan.

Di era demokrasi, bagaimanapun, wewenang dan kekuasaan sangatlah penting untuk diawasi. Di salah satu bagian, buku ini mengungkap beberapa kasus etika administrasi negara yang menunjukkan bahwa kewenangan kini juga telah menjadi “komoditas langka.” Misalnya kasus Gayus dan mafia pajak. Pada level akar rumput, komodifikasi kewenangan yang melanggar etika dapat ditemukan dalam kasus pengurusan KTP, urusan kenaikan pangkat, pencalonan anggota DPRD, dan sebagainya.

Komodifikasi kewenangan jelas merupakan pelanggaran etis yang tak bisa dipandang sepele. Ia mencederai nilai dasar kewenangan yang sebenarnya diperuntukkan bagi pengaturan kehidupan bermasyarakat demi tercapainya masyarakat yang sejahtera. Singkatnya, komodifikasi kewenangan juga adalah tindakan korupsi. Sedangkan korupsi pada dasarnya adalah tindakan menikam demokrasi.

Kumpulan esai dalam buku ini semula dimuat di media massa dalam rentang tahun 2009 hingga 2015. Meski beberapa tulisan bertolak dari kasus khusus yang terjadi dalam jagad politik di Indonesia, buku ini tetap akan memiliki nilai kontekstual karena penulis menggunakan sudut pandang kefilsafatan dengan berpijak pada nilai-nilai abadi seperti keadilan, kesetaraan, tanggung jawab, dan sebagainya.

Lebih jauh, uraian-uraian reflektif dalam buku ini dapat menjadi bahan dan titik tolak untuk menakar kembali tingkat kematangan kita semua—rakyat atau masyarakat umum dan juga pengurus publik—dalam menjalani kehidupan berdemokrasi di era reformasi. Di tengah iklim komunikasi politik dan kehidupan demokrasi yang masih penuh tantangan, buku ini bernilai penting untuk mengingatkan kita semua agar terus berupaya keras membangun kehidupan demokrasi dengan landasan etika dan hati nurani.


Tulisan ini dimuat di Koran Sindo, 19 Maret 2017
.


Read More..

Kamis, 10 Maret 2016

Membaca Ulang Hukuman Mati

Judul Buku: Menolak Hukuman Mati: Perspektif Intelektual Muda
Editor: Lucia Ratih Kusumadewi dan Gracia Asriningsih
Pengantar: Franz Magnis-Suseno
Penerbit: Kanisius, Yogyakarta
Cetakan: Pertama, Desember 2015
Tebal: 222 halaman
ISBN: 978-979-21-4462-8


Hukuman mati adalah hukuman yang kontroversial. Ini terlihat saat seorang narapidana diputuskan akan dihukum mati, masyarakat dari berbagai kalangan ramai berkomentar di media, mulai dari akademisi, ahli hukum, agamawan, pengamat politik, dan masyarakat biasa.

Buku ini menggugat keberadaan hukuman mati dalam sistem hukum di Indonesia. Buku yang ditulis oleh sebelas intelektual muda ini membedah hukuman mati dari perspektif filsafat, sosiologi, psikologi sosial, sejarah, politik, dan budaya. Pandangan umum yang diusung secara tegas oleh para penulis buku ini adalah bahwa sudah waktunya hukuman mati dihapuskan dari segenap sistem hukum kita.

Lucia Ratih Kusumadewi, salah satu penulis sekaligus editor buku ini, menunjukkan bahwa adanya hukuman mati merupakan potret masyarakat yang sakit jiwa. Dalam masyarakat yang sakit, bentuk-bentuk kekerasan termasuk hukuman mati tidak hanya dilegalkan tapi juga dinikmati oleh masyarakat.

Lucia menunjukkan contoh konkretnya saat ia menemukan sebuah foto bocah kecil yang beredar di internet kala kontroversi hukuman mati mencuat di awal tahun 2015. Dalam gambar tersebut, anak kecil itu menyampaikan pesan dalam poster kecil bertuliskan: “Tante Anggun.. Biarkan gembong narkoba MATI”. Lucia merasa miris bahwa anak kecil di negeri ini telah mulai terlibat dalam wacana sadisme.

Dengan meminjam teori tentang masyarakat yang sehat dari Sigmund Freud, Lucia mengusulkan pentingnya penguatan etika biofilia yang menjunjung tinggi nilai kehidupan dan berdasar pada humanisme normatif. Dalam kerangka etika biofilia, ada tiga kondisi sosial yang perlu didorong agar penolakan hukuman mati bisa mendapatkan jalan keluar yang tepat dan manusiawi, yakni penguatan rasa aman, penegakan keadilan, dan jaminan kebebasan sehingga masyarakat dapat berpartisipasi aktif dan bertanggung jawab.

Dari sudut pandang hukum dan politik, terungkap bahwa hukuman mati di Indonesia lebih banyak terkait dengan pertimbangan politik daripada pertimbangan hukum dan keadilan. Benny Hari Juliawan dalam buku ini menyebut hukuman mati sebagai pertunjukan kekuasaan negara. Dalam kilasan sejarah Indonesia, hukuman mati dalam berbagai periode menegaskan hal ini, seperti dalam kasus eksekusi mati Kartosoewirjo pada 1962, operasi penembakan misterius pada 1982-1985, dan sebagainya.

Dilihat dari perspektif grasi dan praktiknya di Indonesia, hukuman mati juga tampak sangat politis. Robertus Robet, pengajar di program sosiologi Universitas Negeri Jakarta, menganalisis penolakan grasi Presiden Joko Widodo dalam kasus hukuman mati terpidana narkoba tahun 2015 lalu. Menurutnya, keputusan presiden untuk menolak memberikan grasi lebih sebagai sarana yang mudah dan “murah” untuk mendapatkan simpati publik di tengah keterjepitannya akibat kisruh calon kapolri saat itu.

Salah satu argumen yang paling populer untuk mendukung hukuman mati adalah efek jera sehingga diharapkan kejahatan berat serupa tidak akan muncul di masa depan. Untuk mematahkan argumen ini, Poengky Indarti, salah satu penulis dalam buku ini yang juga direktur eksekutif Imparsial, memberikan analisisnya.

Di antara sanggahannya disebutkan bahwa berdasarkan statistik di beberapa negara nyatanya kasus kriminalitas justru ditemukan rendah jumlahnya di tempat yang tak menganut sistem hukuman mati. Selain itu, jika dianalisis karakter kejahatan yang diberi sanksi hukuman mati, ditemukan bahwa ia berada dalam jenis kejahatan yang tidak terpengaruh pada hukuman, yakni dalam kategori instrumental-acts yang bersifat high commitment.

Kontroversi hukuman mati di Indonesia tampaknya memang masih akan panjang ceritanya. Buku ini dapat ditempatkan sebagai upaya untuk membuka ruang diskusi yang lebih terbuka dan kritis atas masalah penting tersebut karena berdasarkan analisis beberapa penulis di buku ini terungkap bahwa hukuman mati selain banyak yang bersifat politis juga banyak melibatkan unsur emosi.

Selain itu, buku ini mengajak kita untuk melihat kasus kejahatan dalam kerangka yang lebih luas, seperti juga dalam kaitannya dengan isu kemiskinan, lemahnya penegakan hukum, dan kecenderungan aparat negara yang korup.


Tulisan ini dimuat di Majalah Gatra, 10-16 Maret 2016.

Read More..

Minggu, 26 April 2015

Chomsky Menelanjangi Amerika


Judul buku: How the World Works
Penulis: Noam Chomsky
Penerbit: Bentang Pustaka, Yogyakarta
Cetakan: Pertama, Februari 2015
Tebal: xii + 444 halaman


Kalau ditanya tentang siapa sekarang penguasa dunia, orang akan mudah menjawab: Amerika. Supremasi Amerika atas negara-negara lain begitu mudah dibaca. Negara yang penduduknya hanya 5% dari total populasi dunia itu mengonsumsi 40% sumber daya bumi. Selain itu, saat ini Amerika punya 700 pangkalan militer di luar negeri.

Meski buku buah gagasan Noam Chomsky ini dari segi judulnya tampak bermaksud untuk membahas tatanan-kerja dunia saat ini, sesuatu yang mungkin terkesan bersifat umum, tak pelak Chomsky nyatanya sedang fokus menelanjangi Amerika. Profesor linguistik dari Massachusetts Institute of Technology (MIT) ini menyatakan bahwa Amerika “muncul dari Perang Dunia II sebagai kekuasaan global pertama dalam sejarah.” Sejak itulah, Amerika merancang sejumlah kebijakan politik luar negeri pada khususnya yang dimaksudkan untuk mempertahankan supremasinya itu.

Chomsky mengungkap dokumen racikan George Kennan, kepala staf perencanaan Departemen Luar Negeri Amerika yang memegang kendali hingga tahun 1950. Di situ disebutkan dengan jelas bahwa Amerika menaruh perhatian yang besar untuk mempertahankan pola hubungan yang menguntungkan mereka, yakni disparitas yang membuat mereka menguasai sekitar separoh kekayaan dunia. Untuk tujuan itu, Amerika tak segan menyebut ide-ide tentang demokrasi dan hak asasi manusia sebagai penghambat.

Strategi dan contoh diungkap Chomsky dalam buku ini dengan terang benderang. Amerika, jelas Chomsky, telah menyiapkan desain setelah Perang Dunia II yang memetakan negara-negara di seluruh dunia untuk mendukung supremasinya. Jerman dan Jepang, misalnya, yang telah berperan penting dalam Perang Dunia II, akan bekerja di bawah pengawasan Amerika. Sementara itu, negara dunia ketiga akan menjadi sumber utama bahan mentah dan sekaligus pasar.

Ancaman utama tatanan dunia baru di bawah pimpinan Amerika adalah nasionalisme. Pemerintahan nasional bekerja untuk memenuhi dan meningkatkan mutu kehidupan warganya sehingga dapat bertentangan dengan kepentingan investasi Amerika. Di antara strategi dasar Amerika untuk mengatasi hal ini adalah aliansi dengan militer dalam negeri. Atau juga dengan jaringan mafia. Jika tidak berhasil, kekuatan militer Amerika tak segan untuk langsung masuk ke dalam.

Ini dapat kita saksikan pada kasus intervensi Amerika dalam Perang Vietnam. Dari kasus ini pula, kita bisa melihat bahwa dalam kerangka pandang Amerika, tak ada wilayah yang dapat disepelekan. Poin utamanya bukan seberapa besar kekuatan perlawanan itu, tapi jangan sampai penolakan terhadap fungsi penyuplai dan fungsi pasar ala Amerika dapat menginspirasi bangsa-bangsa lain untuk melakukan gerakan perlawanan serupa.

Salah satu perhatian utama Chomsky, yang juga menulis karya berjudul Manufacturing Consent (1988), atas tatanan dunia baru Amerika ini berkaitan dengan masalah propaganda. Istilah ini menggambarkan bagaimana kesadaran masyarakat dirancang, diarahkan, dan dikendalikan sedemikian rupa sehingga dapat tunduk dan takluk menurut kehendak si perancang.

Untuk kepentingan propaganda ini, dibuatlah pemaknaan-pemaknaan baru atas konsep-konsep kunci yang penting, seperti istilah globalisasi ekonomi, demokrasi, komunisme, terorisme, proses perdamaian, dan sebagainya. Globalisasi ekonomi misalnya adalah penghalusan istilah untuk menggambarkan ekspor pekerjaan ke wilayah-wilayah dengan tingkat penindasan tinggi dan sistem pengupahan yang rendah.

Istilah komunisme dan terorisme dirancang dan dilekatkan pada kelompok-kelompok yang mengganggu misi kapitalisme Amerika dan perusahaan-perusahaan transnasional. Gerakan berbasis rakyat akan digiring ke dalam stigma negatif komunisme. Lalu, ketika komunisme Soviet mulai melemah, istilah terorisme internasional mulai diperkenalkan. Melalui propaganda, istilah “terorisme” dirancang untuk merujuk pada aksi politik kaum oposisi/marginal di luar mainstream politik dunia yang menentang kebijakan dan kepentingan politik Amerika bersama korporasi yang berada di belakangnya.

Gagasan-gagasan Chomsky dalam buku ini yang sebagian besar tersaji dalam bentuk wawancara memang kebanyakan berasal dari dekade 1990-an. Namun, jika pembaca mencermati gagasan dan contoh yang dipaparkan dengan baik, kita akan menemukan bahwa analisis Chomsky masih sangat aktual. Analisisnya bahkan mungkin jauh lebih mendalam daripada ulasan pengamat politik saat ini.

Walhasil, uraian bernas Chomsky dalam buku ini membawa kabar buruk bagi kita bahwa tatanan dunia saat ini tidaklah setara dan jauh dari prinsip keadilan. Demokrasi dan nilai kemanusiaan lebih sering tampil sebagai retorika.

Tapi Chomsky tak berhenti di situ. Ia juga mengulas bagaimana perubahan dimungkinkan. Dalam hal ini, Chomsky mengritik kaum elite yang cenderung suka mencari jawaban ajaib atas krisis demokrasi yang dihadapi. Bagi Chomsky, tak ada jawaban ajaib yang bersifat instan. Jawabannya harus diperoleh secara spesifik di lapangan dengan landasan dedikasi yang penuh oleh mereka yang mau terlibat. Kecenderungan terkini, orang-orang dijauhkan dari keinginan untuk terlibat pada proses-proses perubahan yang memang menuntut militansi tinggi. Tambahan lagi, orang-orang dilupakan untuk merevitalisasi sumber daya kultural yang dimiliki.

Selain itu, Chomsky juga mengritik gerakan-gerakan perubahan yang sifatnya sporadis dan tak memiliki agenda jangka panjang yang jelas setelah reformasi terjadi. Bagian ini tampak sangat relevan dengan kondisi kekinian Indonesia. Tujuh belas tahun reformasi, masyarakat Indonesia tampak masih terombang-ambing dan tak menemukan arah.

Dalam arus perubahan politik di Indonesia yang kian intensif, buku ini penting dibaca karena sekaligus memberi kerangka pandang situasi global secara tajam (yakni supremasi Amerika dan hegemoni korporasi) dan juga dapat memberi inspirasi untuk hal-hal yang lebih spesifik dalam proses perubahan Indonesia menuju ke tatanan yang lebih baik.

Tulisan ini dimuat di Harian Jawa Pos, 26 April 2015.


Read More..

Jumat, 23 Januari 2015

Fenomenologi Stigma Terorisme Islam

Judul buku: Apa Jadinya Dunia Tanpa Islam?: Sebuah Narasi Sejarah Alternatif
Penulis: Graham E. Fuller
Penerbit: Mizan, Bandung
Cetakan: Pertama, November 2014
Tebal: 406 halaman


Saat Islam kerap dihubung-hubungkan dengan kekerasan dan terorisme, adakah jalan lain untuk menyangkalnya selain dari paparan normatif pandangan dunia Islam yang inklusif dan praktik toleran dalam sejarah Islam?

Buku ini mencoba memberi ulasan alternatif yang cukup menyeluruh tentang posisi Islam dalam isu-isu kekerasan dan terorisme dengan meletakkannya dalam terang sejarah peradaban dunia. Penulisnya, Graham E. Fuller, yang pernah menjabat sebagai Wakil Ketua Dewan Intelijen Nasional di CIA, mencoba menawarkan eksperimen berpikir dengan skenario alternatif andai Islam tidak pernah ada.

Kesimpulan utamanya adalah bahwa faktor-faktor geopolitik yang lebih intens menjadi faktor pertentangan Barat dengan Timur yang sudah ada sebelum Islam. Dalam kerangka pertentangan yang terbentuk lebih awal dan lebih mendalam inilah, Islam dipergunakan sebagai bendera yang berperan sebagai pemersatu yang sangat efektif dalam tataran praktis.

Metode eksperimen berpikir yang digunakan Fuller terilhami dari salah satu metode kerja intelijen. Caranya, kita membayangkan sebuah peristiwa penting di masa depan dengan skenario agak teperinci tentang jalan peristiwa tersebut. Tujuannya untuk melihat kemungkinan kecil yang sebelumnya tak terpikirkan yang ternyata dapat mendorong terjadinya hal yang sangat penting itu.

Secara metodologis, perspektif ini mirip pendekatan fenomenologis. Pembaca diajak meletakkan Islam sebagai sebuah agama dan ideologi ke dalam tanda kurung, lalu berbagai konflik besar dalam sejarah dunia dilihat secara lebih sederhana. Dalam bahasa Fuller, buku ini mengajak pembaca untuk men-de-Islami-kan persepsi tentang konflik-konflik tersebut dan melihatnya sebagai masalah sosial dan politik manusiawi yang bersifat universal. Dalam bahasa fenomenologi, mengembalikan peristiwa-peristiwa itu ke dunia pra-reflektif atau Lebenswelt (dunia keseharian) sebelum dikerangkakan dalam bingkai ideologi.

Dengan cara pandang seperti ini, Fuller menemukan bahwa Timur Tengah tanpa Islam tetap akan berpotensi mencurigai Barat. Kekuatan pengganti Islam dalam berhadapan dengan Barat adalah Kristen Ortodoks Timur, yang dalam pikiran Fuller akan mendominasi kawasan Mediterania dan Timur Tengah andai tak ada Islam. Sikap anti-Barat Gereja Ortodoks Timur dinarasikan panjang lebar oleh Fuller yang lalu tampak mirip sekali dengan sikap umat Islam terhadap Barat.

Di antara uraiannya, Fuller mengutip potongan pidato Paus Urbanus II pada 1095 yang menjadi titik mula Perang Salib. Fuller menggarisbawahi bahwa dalam pidatonya, Paus Urbanus II tidak spesifik menyebut musuh mereka itu kaum muslim. Musuh dan penindas kaum Kristen adalah agama apa pun di luar agama Kristen. Terbukti, dalam Perang Salib kaum Barat juga menunjukkan sikap agresif pada kaum Gereja Ortodoks Timur bahkan juga pada kaum Yahudi.

Kristen Barat yang menjadi musuh Islam dalam Perang Salib digambarkan secara kontras dengan kaum Kristen Timur yang telah lama hidup berdampingan secara damai dengan umat Islam, termasuk juga dengan Yahudi. Bahkan Fuller mencatat bahwa kaum Yahudi pernah berperang membantu umat Islam menghadapi serbuan Tentara Salib. Hal ini menegaskan bahwa agama bukanlah faktor terpenting.

Saat ini, konfrontasi Barat dan Timur terus berlangsung. Di antara wakil Timur adalah Rusia. Rusia, seperti negara-negara Eropa Timur yang kerap masih dianggap sebagai dunia yang berbeda dengan Eropa Barat, dipandang sebagai pewaris ortodoksi Timur.

Menurut Fuller, adopsi negara Rusia pasca-Soviet atas Gereja Ortodoks lebih terkait dengan problem identitas nasional, mirip dengan penggunaan Islam sebagai identitas pemersatu di Timur Tengah untuk menghadapi Barat. Karena itu, tak heran jika beberapa tahun yang lalu Parlemen Rusia mengesahkan undang-undang yang membatasi kebebasan dakwah asing yang ditujukan pada Kristen Barat, bukan Islam.

Upaya Fuller untuk memarkir sementara ideologi agama, dalam hal ini Islam, dalam memahami konflik dan terorisme dan melihatnya secara fenomenologis dapat dipandang sebagai upaya untuk melucuti stigma terorisme Islam. Stigma ini telah menyesatkan pandangan banyak pihak dan membuat solusi yang tepat dan manjur atas peristiwa dan potensi konflik dan terorisme tak kunjung ditemukan.

Di bagian akhir, Fuller mengajukan beberapa langkah praktis yang harus dilakukan Barat, khususnya Amerika, atas dasar perspektif yang dikembangkan dalam buku ini. Misalnya, campur tangan militer Amerika di Dunia Islam harus dihentikan. Bagi Fuller, 700 pangkalan militer Amerika di luar negeri sangatlah provokatif dan menyumbang bagi terciptanya konflik dan terorisme.

Buku karya Fuller yang kini menjadi guru besar sejarah di Simon Fraser University, Kanada, ini adalah sebuah langkah introspeksi Barat yang patut diapresiasi untuk membuka jalan bagi pandangan berimbang demi masa depan dunia yang damai.


Versi yang sedikit berbeda dengan tulisan ini dimuat di Majalah Gatra, 22-28 Januari 2015.


Read More..

Selasa, 28 Juli 2009

Jerat Liberalisasi dan Kedaulatan Energi

Judul buku : Di Bawah Bendera Asing: Liberalisasi Industri Migas di Indonesia
Penulis : M Kholid Syeirazi
Pengantar : K Tunggul Sirait
Penerbit : Pustaka LP3ES, Jakarta
Cetakan : Pertama, Juli 2009
Tebal : xxi + 328 halaman


Dalam suasana pemilu dan pilpres 2009 yang lalu, diskusi tentang neoliberalisme ekonomi sempat ramai dibicarakan di berbagai media. Sayangnya, masalah tersebut cenderung berkembang sebagai isu politik sesaat dalam konteks yang cukup pragmatis, sehingga substansi masalahnya kurang tersentuh. Salah satu indikasinya, saat ini masalah tersebut kembali redup tergantikan isu lainnya.

Buku yang ditulis oleh M Kholid Syeirazi ini mencoba mengupas satu contoh tentang bagaimana liberalisasi di bidang migas sebagaimana yang tampak dalam UU No 22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi berimplikasi terhadap masa depan pengembangan industri migas nasional. Kholid juga menelaah konfigurasi ekonomi politik yang melatarbelakangi lahirnya UU tersebut.

Saat dunia belakangan ini dilanda krisis energi, kita semakin sadar betapa minyak memiliki aspek strategis yang sangat signifikan. Kebutuhan akan minyak di semua negara, terutama yang tengah memacu aktivitas ekonomi mereka, sangatlah tinggi. Sementara itu, ketersediaan sumber daya alam minyak terbatas. Karena itu, tak heran jika masalah minyak sering berimbas politis. Keterlibatan Amerika di peta konflik Timur Tengah, misalnya, tak bisa dilepaskan dari kepentingannya untuk memperoleh jaminan suplai minyak.

Membaca uraian yang sangat kaya data di buku yang dikembangkan dari tesis di Program Pascasarjana Ilmu Politik UI ini, pembaca akan dapat menyimpulkan bahwa UU Migas No 22/2001 bukanlah karya otonom para legislator di DPR dan bukan pula prakarsa otonom negara. Ia lahir dalam suatu konstelasi geopolitik minyak yang menempatkan Amerika sebagai negara yang paling berkepentingan dengan skenario liberalisasi industri minyak di seluruh dunia. Undang-undang tersebut merupakan produk tekanan politis kekuatan ekonomi yang hendak memayungi dan melegalkan jaringan modal dan bisnis mereka di Indonesia.

Ini bisa dirunut dari saat Indonesia terpuruk dalam krisis moneter di penghujung 1997, yang kemudian menempatkan Indonesia tergolek di kursi pasien lembaga kreditor internasional seperti IMF dan World Bank. Mereka itu kemudian menyodorkan resep liberalisasi dan deregulasi sektor keuangan yang di antaranya mewujud dalam bentuk pencabutan subsidi pendidikan, pangan, dan kesehatan. Liberalisasi di bidang energi adalah salah satu poin kesepakatan yang membuka peluang bagi masuknya investor asing di sektor hulu dan hilir migas.

Setelah melalui proses yang cukup panjang, yakni sejak Maret 1999, UU Migas yang baru, yang menggantikan UU No 8/1971 tentang Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara (UU Pertamina), disahkan DPR pada 23 Oktober 2001. UU ini menjadikan Pertamina tak lagi berpola usaha yang terintegrasi (hulu dan hilir). Peran ganda Pertamina sebagai regulator sekaligus operator dilucuti. Fungsi regulator ditangani oleh BP Migas dan BPH Migas untuk mengatur kegiatan sektor hulu dan hilir, sedang Pertamina menjadi sekadar salah satu pelaku usaha. Dari sinilah, pemain-pemain asing di bidang migas menemukan pintu masuk yang cukup leluasa untuk bermain di komoditi strategis ini.

Dominasi asing dengan kehadiran UU Migas ini menjadi semakin tampak. Jika dengan UU Pertamina No 8/1971 saja partisipasi Pertamina di sektor migas tidak pernah meraih 10 persen, UU Migas semakin menguatkan dominasi maskapai tambang minyak dunia dalam industri migas nasional.

Catatan dan tinjauan kritis dari beberapa fraksi DPR saat RUU Migas digodok tak mampu mementahkan upaya kekuatan internasional yang bermain di belakang untuk melapangkan jalan liberalisasi migas ini. DPR dihegemoni pemerintah, dan pemerintah berada di bawah dominasi dan tekanan lembaga donor. Demikian pula, upaya sejumlah elemen masyarakat yang mengajukan judicial review ke Mahkamah Agung di awal 2003 juga berakhir dengan kecewa.

Salah satu argumen untuk menggusur wewenang Pertamina adalah korupsi yang merajalela. Padahal, penghapusan monopoli Pertamina terbukti tak mengakhiri riwayat korupsi di badan usaha ini. Inefisiensi birokrasi baru serta permainan mafia dan calo minyak hingga kini sulit diatasi. Mekanisme impor dan cengkeraman mafia minyak membuat negara dan rakyat harus menanggung harga BBM yang lebih mahal.

Perspektif yang kuat yang ditonjolkan buku ini adalah bahwa UU Migas telah berimplikasi pada rapuhnya kekuasaan negara untuk menjaga ketahanan dan kedaulatan energi sehingga komoditas strategis yang berkaitan dengan hajat hidup orang banyak ini terjerat dalam mangsa spekulasi para pelaku bisnis dunia. K Tunggul Sirait, pensiunan Guru Besar ITB yang juga mantan anggota Pansus RUU Migas DPR RI, dalam pengantar buku ini menulis bahwa bagian-bagian penting buku ini mengingatkan kita bahwa ada “kain merah-putih yang terkoyak” dalam tata kelola energi nasional karena hadirnya UU Migas tersebut, yang dinilai banyak pihak sangat liberal dan mendurhakai Pasal 33 UUD 1945.

Selain ulasan yang komprehensif dan pemaparan data yang lengkap, buku ini menjadi sangat menarik dan kontekstual untuk dibaca karena ia hendak mengajak kita semua merenungkan soal harga diri, martabat, dan kedaulatan kita sebagai sebuah bangsa. Menjelang 64 tahun Indonesia merdeka, dan melewati satu abad kebangkitan nasional, bangsa kita nyatanya masih harus bergelut dan berjuang keras untuk meraih kedaulatannya. Pertanyaannya: apakah perjalanan Orde Reformasi saat ini sebenarnya mengarahkan kita semua untuk merebut kedaulatan, otonomi, dan kemandirian kita sebagai bangsa, atau justru membuai kita dalam kepalsuan citra kesejahteraan di bawah bayang kekuasaan aktor-aktor global?

Versi yang sedikit berbeda dengan tulisan ini dimuat di Harian Jawa Pos, 26 Juli 2009.

Read More..

Minggu, 21 Juni 2009

Against Culture of Fear

Meicky Shoreamanis Panggabean, Keberanian Bernama Munir: Mengenal Sisi-Sisi Personal Munir, Mizan Pustaka, Bandung, December 2008, 290 pages


Military forces had significant role during Indonesia New Order regime. But their roles tend to be negative. Thirty years in the course of the regime, military forces didn’t act as the guard of national defence. They served the regime to secure its power and protect its policies from people’s resistance. In this context, we can easily understand that according to Louis Althusser military forces are a part of Repressive State Apparatus.

In the realm of New Order regime, anyone who opposed government policy will be stigmatized as an extreme left/right-winger, betrayer of Pancasila, communist, or anything else and the military forces, in the name of national stability, will use their authority to fight down the opposition movement in any way they want.

As a result, New Order regime established the culture of fear among the citizen. People were afraid of expressing their opinion and critics to the government. Mass media applied self-censorships to ensure sustainability of their business.

This book recounts a fascinating story about Munir, the defender of human rights in Indonesia. Panggabean, the writer of this book, focused his narration to the bravery of Munir to reveal the human rights violation carried out by state apparatus, especially military forces. She explored personal aspects of Munir to catch the spirit of his life.

Munir Said Thalib, born in 1965, first came to public prominence when he founded the human rights organization KontraS (Commission for Disappearances and Victims of Violence) on March 20, 1998, two months before the resignation of Soeharto. KontraS engaged intensely on advocating the victims of politics of violence. Between late 1997 and early 1998, in the twilight of Soeharto regime, twenty three pro-reformation activists were abducted, including Wiji Thukul, and KontraS fight for exposing this sensitive case into public sphere.

Based on this specific concern, Munir with KontraS gradually broke down the culture of fear and political silence among people. Munir emphasized that Indonesian people were not critical of the authoritarianism of the regime because of this culture. Munir encouraged people to speak up against oppression of the regime. Besides advocating the victims, Munir used various ways to revitalize spirit of the fight towards despotism and political violence. He set billboards contained the list of the victim of political disappearances on the strategic places to remind people about the violence.

Panggabean, who had worked as a volunteer in KontraS Munir in 1998, gave us several good pages of her interview with Munir, when Munir told about a mother of a victim of political disappearances, Mrs. Tuti Koto, which was afraid to speak out when her son, Yani Afri, was disappeared on July 1997. When Tuti reported the case to KontraS, Munir helped her to speak up the case, until she was brave to give a public speech in front of the armies. Munir underlined that this was a great achievement in the context of culture of political silence.

Fighting the culture of fear actually wasn’t a new activity of Munir. When involved on the case of Marsinah murder in 1994, we can saw Munir’s position at that time which showed his strong character to confront the power and pressure of military. He also involved in advocating the victims of Priok in 1984 and Lampung in 1989 and others, the cases that have strong connection with military. For his courage and dedication in fighting for human rights and the civilian control of the military in Indonesia, Munir received prestigious Human Rights Livelihood Award in 2000 from Sweden.

Fighting spirit on what Munir have done to fight the culture of fear maybe was a result of long education started in his family. Panggabean described detailed narration about Munir’s neighbourhood where he had grown up: discipline and confident character of his mother, his interaction in the market when he was a youngster and must help to earn his family with his brothers to live on, his experiences and his interactions with his friends, etc. One of his impressive experiences is when Munir was a junior high school student reported a murder of his neighbor in Batu Malang to the police. That was his early struggle for his own fear and maybe also his initial encounter with the meaning of justice and humanity in the context of social life.

This book has an important meaning in the context of Indonesia at this time, at least in two perspectives. First, as we know, the death of Munir, after more than four years, still became a mystery, and disclosure of this case is a must as an effort to sustain the fight of Munir itself against culture of fear and political violence. This book reminds us about our duty to insist revelation and subsequent investigation of this case and to educate people to bravely fight oppression and violence. Second, this book is an inspiring treasure to keep the spirit of Munir in existence, which is his courage, integrity, enthusiasm, and commitment to humanity. Panggabean successfully revived these spirits with his a remarkable account on Munir’s everyday life.



Related link:

Read More..

Senin, 28 Maret 2005

Catatan Kehilangan dari Wafatnya Munir

Judul Buku : Munir: Sebuah Kitab Melawan Lupa
Penyunting : Jaleswari Pramodhawardani dan Andi Widjajanto
Pengantar : Daniel Dhakidae
Penerbit : Mizan, Bandung
Cetakan : Pertama, Desember 2004
Tebal : lx + 548 halaman


Meninggalnya Munir dalam penerbangannya ke Belanda 7 September yang lalu menyisakan luka mendalam bagi bangsa ini. Kepergian sosok pejuang HAM yang belum genap berumur 40 tahun itu mengingatkan banyak hal dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia: tentang masih banyaknya agenda-agenda perjuangan penegakan demokrasi dan hak-hak asasi yang masih harus terus dilanjutkan, tentang komitmen keteguhan moral dan keberanian, atau juga tentang langkanya sosok pahlawan yang betul-betul total mengabdi untuk kepentingan bangsa.

Buku ini lahir dari refleksi serta rasa kehilangan atas meninggalnya pejuang HAM yang pernah menerima “YapThiam Hien Human Rights Award” (1998) ini. Buku yang diluncurkan pada momentum seratus hari wafatnya Munir ini secara garis besar terdiri dari dua bagian. Bagian pertama, yang ditulis dengan gaya feature, memuat penuturan sejumlah orang, baik itu kawan atau lawan ideologi almarhum, tentang bagaimana perjumpaan dan pengalaman mereka bersama Munir. Sedang bagian kedua menyajikan sejumlah tulisan yang lebih merupakan refleksi atas gagasan dan concern perjuangan Munir berkaitan dengan HAM dan demokrasi, seperti soal wacana sipil-militer, intervensi militer dalam konflik warga sipil, filosofi penegakan hukum, atau tentang reformasi kebijakan pertahanan dan keamanan negara.

Di bagian pertama, pembaca yang sebelumnya mengenal Munir melulu lewat media akan dapat menjumpai sosok Munir yang lebih utuh. Bahkan, pada titik tertentu, dengan gaya tulisan yang penuh empati dalam beberapa esai yang termuat, pembaca akan dapat menemukan ruang penghayatan yang lebih mendalam tentang perjuangan dan keseharian Munir.

Rachland Nashidik, yang pada tahun-tahun terakhir ini bersama Munir di Imparsial misalnya, memberikan kesaksian tentang bagaimana semangat juang, kesahajaan, dan kesederhanaan Munir dalam bekerja, bagaimana Munir yang ternyata kurang dari setahun ini baru memiliki mobil—Toyota Mark II tahun 1970-an yang dibelinya secara mencicil—dan sebelumnya biasa menggunakan motor berpelat “N”, bagaimana Munir yang saat dirawat di rumah sakit pun masih tak mau melepaskan laptop-nya dan terus bekerja, bagaimana Munir tak berhenti membaca buku, menulis, dan berdebat, untuk menunjang aktivitas dan perjuangannya.

Yang tak kalah menariknya lagi adalah penuturan panjang Adnan Buyung Nasution tentang bagaimana interaksinya dengan Munir yang notabene beberapa kali memiliki sikap yang berseberangan dengannya. Buyung memulai kisahnya sejak pertama kali berjumpa dengan Munir dalam sebuah forum para aktivis LSM di Malang pada 1993, dan Buyung kemudian mengenal Munir yang kritis, suka bertanya, dan berani memberi sanggahan dan kritik sehingga ia kemudian tertarik untuk mengajaknya bergabung di Jakarta. Ketika Buyung mengisahkan “perseteruannya” saat Buyung menjadi Ketua Tim Advokasi Perwira TNI pada 1999 yang dituduh melakukan pelanggaran berat HAM di Timor Timur, Buyung menunjukkan bagaimana Munir memang adalah seorang pejuang muda yang berkarakter, yang berani menyatakan pendiriannya langsung di hadapan Buyung dengan argumentasi yang tertata tapi disampaikan dengan santun. Demikian pula ketika keduanya berbeda pandangan tentang bagaimana memosisikan LBH/YLBHI dalam Rakernas di bulan November 2001. Buyung juga menceritakan tentang bagaimana Munir yang selalu berbicara dengan lugas, langsung, dan tanpa basa-basi itu juga tak enggan untuk mengakui kekhilafannya dan meminta maaf saat mereka bertemu pada suasana lebaran 2003.

Cukup tepat jika buku ini diberi judul Munir: Sebuah Kitab Melawan Lupa. Dengan meminjam ungkapan Milan Kundera yang sudah cukup populer itu, bahwa perjuangan manusia melawan kekuasaan adalah perjuangan manusia melawan lupa, kita betul-betul dapat mengerti bagaimana sosok Munir adalah sebuah monumen pengingat kepada kita semua tentang berbagai persoalan hak asasi dan demokrasi di negeri ini: tentang bagaimana kekerasan negara beroperasi dalam sebuah rezim yang totaliter, bagaimana penghilangan paksa dan pembunuhan politik cukup mudah terjadi, tentang bagaimana buruh dan nyawa manusia tak dihargai.

Dengan bergerak di isu yang sangat partikular pada saat itu, yaitu saat menangani para korban penculikan politik pada saat transisi di era reformasi, Munir, menurut Todung Mulya Lubis, mampu menjadi sumber inspirasi bagi lahirnya gerakan hak asasi manusia yang lebih luas. Dengan gigih Munir memberikan sebuah pendidikan politik yang cerdas kepada masyarakat untuk mengingatkan bahaya kekerasan (militer) negara atas warga sipil, dengan, misalnya, berkampanye memasang baliho besar yang memperlihatkan foto-foto orang hilang, dan bagaimana Munir mendampingi proses investigasi dan advokasi untuk mereka. Di sinilah terlihat keberanian Munir untuk berhadapan risiko yang tak kalah ngerinya—bahwa suatu saat Munir bisa saja dihilangkan secara paksa oleh entah siapa.

Ironisnya, kepergian Munir sendiri justru berakhir dengan sebuah drama yang mengenaskan. Sebagaimana dituturkan dalam buku ini oleh Aboeprijadi Santoso, wartawan Radio Nederland, kematian Munir yang penuh “misteri” politik-birokrasi itu justru hingga kini belum mendapatkan perhatian yang cukup serius dari negara. Padahal, masyarakat mungkin akan sepakat untuk mengatakan bahwa tokoh yang pernah menerima “Right Livelihood Award” (tahun 2000) dari Swedia ini adalah sosok pahlawan yang betul-betul berjuang dengan penuh integritas untuk penegakan HAM dan demokrasi.

Sungguh patut disesalkan jika sebuah bangsa tak lagi mampu menghargai nilai dan makna perjuangan para pahlawannya. Dalam konteks kasus Munir, dengan mengapresiasi kehadiran buku ini secara mendalam, pembaca akan segera berkesimpulan bahwa satu-satunya jalan ke arah penghargaan itu tak lain adalah dengan menuntaskan penyelidikan kasus kematian Munir sekaligus terus melanjutkan agenda-agenda perjuangan Munir ke depan.

* Tulisan ini dimuat di Jawa Pos, 27 Maret 2005


Read More..

Selasa, 07 Oktober 2003

Tragedi Cendekiawan Orde Baru

Judul buku : Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru
Penulis : Daniel Dhakidae
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Cetakan : Pertama, 2003
Tebal : xxxviii + 790 halaman


Buku ini merupakan kajian komprehensif atas pergulatan kaum cendekiawan Indonesia berhadapan dengan negara Orde Baru, dengan diletakkan dalam kerangka dialektika kekuasaan, modal, dan kebudayaan. Daniel Dhakidae, penulis buku ini, di awal buku ini menyatakan bahwa memang cukup sulit untuk mengidentifikasi kaum cendekiawan ini, kecuali bahwa mereka diikat oleh mimpi, cita-cita, dan angan-angan tentang suatu jenis kehidupan dan bagaimana menghidupkan sekaligus menghidupi mimpi-mimpinya itu.

Untuk itulah secara cerdas Dhakidae menggunakan pendekatan analisis wacana politik untuk membedah perjalanan panjang kaum cendekiawan Indonesia. Pendekatan ini menitiktekankan pada sistem diskursif (juga termasuk budaya wacana kritis) yang berhubungan dengan kaum cendekiawan itu, dengan meneliti bagaimana kemunculan dan perjalanan sebuah situasi dan pergulatan mereka yang memungkinkannya terjadi dengan meneropong cara kerja dan efek yang ditinggalkannya.

Meski mengambil fokus rentang waktu masa Orde Baru, Dhakidae mencoba mengulas secara cukup tajam bagaimana kaum cendekiawan Indonesia bergulat dengan kaum kolonial, saling merebut wacana untuk mendapatkan kuasa. Pada bagian ini Dhakidae menfokuskan pada kebijakan politik etis yang cukup signifikan mengubah konfigurasi politik pra-kemerdekaan.

Proses pengambil-alihan wacana juga merupakan ciri yang melekat saat Orde Baru dimulai, ketika negara mendesakkan developmentalisme demi hegemonia militaris. Dalam buku ini Dhakidae menyebut Orde Baru sebagai sistem neo-fasisme militer. Ini tidak lain karena militer memegang peran sebegitu penting, bahkan dimulai sejak proses kelahiran Orde Baru di akhir tahun 1960-an, yang dalam operasionalisasinya bekerja bersama Golongan Karya. Keduanya begitu identik. Hegemoni tentara ini juga menyusup dalam sejarah resmi, ketika disahkan bahwa ABRI lahir pada tanggal 5 Oktober 1945 (padahal ini adalah tanggal kelahiran Tentara Keamanan Rakyat). Ada klaim keberperanan ABRI di awal kemerdekaan, tapi ketika konflik tentara yang memuncratkan darah dalam peristiwa tahun 1965 meledak maka organisasi sipil (PKI) yang dipersalahkan.

Kehadiran negara yang menggurita ini perlahan menguasai medan wacana politik sehingga seluruh lapis masyarakat terikat dalam suatu diskursus politik neo-fasis militer seperti ketenangan, harmoni, jalan tengah, upaya menghindari konflik, dan semacamnya. Menghadapi situasi ini sulit sekali—untuk tidak mengatakan tidak mungkin—menemukan kelompok “cendekiawan bebas”, karena mereka berhadapan dengan aparat ideologis dan aparat represif negara yang begitu kuat.

Di bab empat Dhakidae memberi ilustrasi yang cukup bagus, ketika mengurai perjalanan organisasi profesional kaum cendekiawan, Himpunan Indonesia untuk Pengembangan Ilmu-Ilmu Sosial (HIPIIS), dan Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI). Seperti juga organisasi yang lain, kedua organisasi ini terkadang kehilangan otonominya untuk bersikap objektif dan kembali kepada landasan moral kerja-kerja intelektual, dan hanya menjadi pengesah kebijakan negara. Keterikatan organisasi profesional ini salah satunya terlihat ketika organisasi ini selalu diketuai oleh orang yang duduk di pemerintahan dan didominasi oleh kalangan birokrat yang bahkan kurang memiliki kualifikasi kecendekiawanan.

Kaum cendekiawan ilmu sosial sering mengalami existential schizzophrenia, kepribadian yang terpecah secara eksistensial. Terjadi kompartementalisasi antara diri seorang ilmuwan yang “ekonom” atau “sosiolog”, “pejabat”, “ilmuwan”, “manusia”, dan “warga negara”. Ruang diri yang enggan saling menyapa ini menggerogoti nilai-nilai moral absolut yang mestinya dimiliki oleh seorang cendekiawan, yang seperti dinyatakan oleh Julien Benda, berkait dengan nilai keadilan, kebenaran, dan akal, yang akan membentuk sikap seimbang, lepas dari kepentingan, dan rasional.

Kuasa negara juga terlihat dalam kontrol terhadap bahasa. Contohnya label PKI yang begitu mudah menyudutkan seseorang ke dalam stigma ekstra-negatif. Ketika Marsinah mengorganisasi gerakan buruh di tahun 1993, dia dituduh PKI. Ini sesuatu yang sulit diterima akal: bagaimana seorang yang baru berusia 20 tahun dan lahir jauh sesudah tragedi pembantaian PKI dituduh demikian? Ini yang disebut dengan disfemisme, ketika label PKI menjelma reifikasi entitas tersendiri yang lebih nyata dari kenyataan itu sendiri.

Di bagian lain, buku ini juga mengkaji dinamika pers serta kelompok-kelompok agama dan intelektual yang menjadi pos kaum cendekiawan berhadapan dengan negara.
Buku bagus ini (semoga) menandai dimulainya kembali tradisi penelitian serius di kalangan intelektual Indonesia. Yang terpenting, buku ini dapat menjadi bahan pelajaran yang berharga bagi bangsa yang sedang berbenah diri ini. Keterlibatan kaum cendekiawan di era reformasi sudah tidak lagi berada dalam bayang-bayang hegemoni negara. Tapi sejauh ini ada beberapa kritik yang menyayangkan keterlenaan mereka di atas euforia, sehingga kurang memberikan pengaruh signifikan dalam arus perubahan. Atau, mungkin saja kaum cendekiawan Indonesia masih tersubordinasi oleh kekuatan-kekuatan politik yang saling berebut wacana untuk menuai kuasa.



Tulisan ini dimuat di Harian Jawa Pos, 5 Oktober 2003.


Read More..

Minggu, 07 September 2003

Familiisme Politik Orde Baru



Judul Buku: Pahlawan-Pahlawan Belia: Keluarga Indonesia dalam Politik
Penulis : Saya Sasaki Shiraishi
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia Jakarta bekerjasama dengan Yayasan Adikarya IKAPI dan The Ford Foundation
Cetakan: Pertama, April 2001
Tebal: x + 290 halaman
Harga: Rp 30.000,-


Di antara sekian banyak kosakata yang kerap kali digunakan dalam bidang politik terselip ungkapan-ungkapan yang memiliki hubungan erat dengan dunia keluarga. Dalam otobiografi mantan Presiden Soeharto misalnya terdapat ungkapan yang menyebutkan bahwa menteri-menteri di pemerintahannya disebutnya sebagai anak-anaknya. Dalam sebuah konflik atau pertentangan yang bersifat sosial atau politik dikenal ungkapan ‘penyelesaian dengan cara kekeluargaan’.

Gejala seperti ini bagi orang kebanyakan mungkin dianggap sesuatu yang wajar dan biasa—mungkin disebut-sebut sebagai kekhasan ‘budaya timur’. Akan tetapi, bagi Saya Sasaki Shiraishi, penulis buku ini, hal itu bukan suatu kebetulan yang tak ada artinya. Dalam buku ini Shiraishi menunjukkan secara jernih dan argumentatif bahwa ada suatu hubungan yang erat antara politik dan keluarga di Indonesia, dan itu berpengaruh bagi keberlangsungan pengelolaan dan proses hidup bernegara di negeri ini.
* * *

Buku ini sendiri, yang semula adalah disertasi di Departemen Antropologi Cornell University pada tahun 1997, ditulis dengan tujuan meneliti dan mencari kemungkinan untuk menerobos, dan akhirnya menyingkap, susunan antropologis dan kultural masyarakat Orde Baru Indonesia yang amat tertekan dan tertindas. Mengapa dalam bayang-bayang ketertindasan itu masyarakat tetap bisa dikendalikan untuk tidak melawan secara frontal.

Kesimpulan penting yang diajukan buku ini adalah bahwa ada sebuah ideologi samar yang nyaris tak disadari yang menuntun dan membimbing jalannya sejarah politik di Indonesia—tidak hanya pada masa Orde Baru. Itulah ideologi keluarga atau familiisme. Gambaran sederhana yang dapat diberikan tentang ideologi ini adalah fakta bahwa dalam proses interaksi kehidupan berbangsa di Indonesia ada semacam isomorfisme antara hubungan guru dan murid, presiden dan rakyat atau pembantu pemerintahannya, pimpinan militer dan pasukannya, ketua organisasi dan anggotanya, dengan pola hubungan yang diatur oleh prinsip-prinsip yang sama dan dinyatakan dalam bahasa kekeluargaan yang menunjuk kepada bapak/ibu dan anak. Bahasa kekeluargaan ini ditopang oleh gagasan tentang keluarga, yang menyamakan sekolah sebagai keluarga, ABRI sebagai keluarga, perusahaan sebagai keluarga, dan bangsa sebagai keluarga (hal. 5).

Pertanyaan yang muncul berikutnya adalah konsep keluarga yang mana yang dominan dalam ideologi familiisme ini, sementara di Indonesia ada keragaman khazanah budaya yang juga meliputi sistem keluarga yang tiada terkira.

Jawaban atas pertanyaan ini dapat ditemukan ketika secara cukup tajam dan argumentatif, penulis buku ini secara historis melacak ideologi familiisme di Indonesia yang ternyata berasal-usul dari masa sebelum kemerdekaan. Familiisme dalam politik ini sudah menjadi suatu perdebatan antara tokoh nasionalis Jawa yang juga pendiri Taman Siswa, Soetatmo Soerjokoesoemo, yang didukung kuat oleh Ki Hajar Dewantara, dengan seorang tokoh nasionalis Hindia, Tjipto Mangoenkoesoemo. Model familiisme Soetatmo adalah model Soeharto, Bapak-tahu-segala (Fathers-knows-best) yang reaksioner dan model Tjipto adalah model hubungan bapak-anak yang revolusioner (hal. 131).

Peristiwa Rengasdengklok yang melibatkan Soekarno dan merupakan detik-detik revolusioner menuju momen proklamasi oleh penulis buku ini digambarkan secara jernih sehingga menunjukkan gaya hubungan bapak-anak yang revolusioner. Saat itu Soekarno (sebagai bapak) ditangkap, diculik, dan dibawa oleh anak buahnya sendiri dipaksa untuk mengikuti kemauan mereka untuk segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.

Akan tetapi, model revolusioner hubungan bapak-anak ini tidak bertahan lama karena begitu kuatnya pengaruh kuat familiisme ala Ki Hajar Dewantara yang diinvestasikan melalui media Taman Siswa selama masa pra-kemerdekaan. Model familiisme Ki Hajar inilah yang dominan, hingga secara pasti diperankan oleh Soeharto dalam peristiwa G-30-S tahun 1965. Dalam peristiwa ini, menurut analisis dan penafsiran penulis buku ini, Soeharto bertindak mengamankan kehangatan hidup keluarga (bangsa) yang terenggut oleh semangat revolusioner yang berlebihan ini dan menempatkan hubungan bapak-anak dalam pola yang harmonis: ayah yang bijak, ibu yang penuh perhatian, anak yang tahu-diri, tugas dan tanggung jawab. Inilah gerakan dan pola pikir yang bersifat kontra-revolusioner dalam pola hubungan bapak-anak.
* * *

Memulai rezim Orde Baru yang dibangunnya, Soeharto kemudian menempatkan dirinya sebagai Bapak Tertinggi (Supreme Father) bagi bawahannya dan rakyat Indonesia. Prinsip harmoni dalam keluarga merupakan kunci pengaturan negara yang memungkinkan rakyat (anak) tak berani menentang pemerintah (bapak)—anak yang tahu diri.

Pengaruh pemikiran-pemikiran Ki Hajar yang dalam buku ini disebut sebagai gabungan dari kreasi pemikiran Jawa-Belanda seringkali terlihat dari pernyataan Soeharto, seperti seringnya penggunaan semboyan tut wuri handayani. Arti petikan tersebut yang tidak lain adalah “membimbing dari belakang” pada dasarnya bermakna pemberian kesempatan bagi seorang anak untuk membina diri sendiri secara wajar dengan bimbingan orang tua (bapak) di belakang yang siap memberi petunjuk bila ada kesalahan. semboyan yang seringkali dikutip dalam panggung politik di Indonesia.

Akan tetapi, sayangnya, ketika dialihkan ke dalam khazanah politik nasional, semboyan itu ternyata tidak lagi dipahami sebagai upaya bimbingan dari belakang, malah mengisyaratkan adanya mata yang siap menghukum dan mengawasi dari belakang, yang siap menerkam kebebasan si anak itu sendiri.

Sementara itu, bapak-bapak Orde Baru yang merupakan bapak dari generasi kontra-revolusioner mewarisi corak dualisme bahasa kolonial antara komitmen terhadap hukum peraturan organisasi di satu pihak dan toleransi dan kesewenang-wenangan atas nama ikatan keluarga di pihak lain. Aturan dan peraturan hukum disiasati, sehingga lahirlah ungkapan terkenal: semua bisa diatur.

Ideologi familiisme ini selama Orde Baru dibangun melalui sarana sekolah, birokrasi, perusahaan, kantor, dan semacamnya. Pelajaran Bahasa Indonesia yang menurut penulis buku ini sama sekali belum memiliki acuan sosiologis yang jelas juga disusupi familiisme dalam proses pengajarannya terhadap anak-anak sekolah.
* * *

Dengan meminjam terminologi dan pola kerangka pikir yang digunakan penulis buku ini, saat ini kita semua sedang menyaksikan pola hubungan bapak-anak yang cukup rumit dan membingungkan. Para bapak sedang ribut berebut kursi kekuasaan dan membiarkan anak-anaknya terlantar. Sementara itu, beberapa anak malah mengancam memisahkan diri, dan yang lain sibuk bertengkar memperebutkan sepiring nasi.

Haruskah keluarga bangsa ini hancur lebur atas nama reformasi dan demokratisasi? Buku ini memang telah cukup bagus dan dengan cerdas memaparkan kekurangan-kekurangan pola hubungan bernegara yang telah menerpurukkan bangsa ini dalam krisis berkepanjangan. Karena itulah, dari buku ini, kita bersama hendaknya dituntut mendefinisikan ulang pola hubungan hidup bernegara ini dalam kerangka sistem negara yang lebih ajek. Kritik yang diajukan buku ini sehubungan dengan menguatnya pola ideologi familiisme adalah ketika kekeliruan dalam dunia politik dilihat semata sebagai soal individu—seperti dalam keluarga. Bertolak dari ini, saat ini kita semua mesti berpikir tentang landasan sistemik yang bersifat struktural untuk menghadang segala kemungkinan buruk dari sistem kultur yang sedemikian ini.

Dari paparan di atas, buku ini menampakkan nilai signifikansinya dalam kehidupan bangsa ini. Dengan menggunakan data-data lapangan berupa peristiwa-peristiwa keseharian di tingkat keluarga yang sederhana (menjemput di terminal, arisan, pernikahan, kelahiran, dan sebagainya) hingga buku-buku dan majalah, buku ini berhasil mengungkap satu sisi budaya politik yang tanpa sadar menyeret bangsa Indonesia ke titik krisis yang belum juga teratasi. Buku ini memberikan peringatan dan pelajaran sejarah bangsa demi membangun masa depan bangsa dan kebudayaannya yang lebih baik.


Tulisan ini dimuat di Harian Sinar Harapan, 6 September 2003.


Read More..

Selasa, 26 Februari 2002

Cermin Tatanan Politik Internasional yang Timpang


Judul Buku: Maling Teriak Maling: Amerika Sang Teroris?
Penulis: Noam Chomsky
Pengantar: Jalaluddin Rakhmat
Penerbit: Mizan, Bandung
Cetakan: Kedua, Oktober 2001
Tebal: xlv + 167 halaman


Penyerangan Amerika bersama sekutu-sekutunya terhadap Afghanistan, yang merupakan realisasi kebijakan politik luar negeri AS paska peristiwa 11 September 2001, telah memunculkan kontroversi di seantero dunia—termasuk di kalangan rakyat Amerika sendiri. Dengan dalih untuk memerangi terorisme internasional, Amerika menghujani Afghanistan dengan serangan-serangan udara yang telah membuat rakyat Afghanistan semakin menderita. Korban rakyat sipil berjatuhan, pengungsi dengan penanganan yang amat minim menyisakan kisah yang menyedihkan.

Pelbagai tragedi kemanusiaan yang merupakan buntut tak berkesudahan dari peristiwa megateror pengeboman WTC dan The Pentagon itu hingga saat ini semakin mengusik kita untuk kembali mempertanyakan: fenomena apa yang sebenarnya berada di balik peristiwa yang disebut terorisme, sehingga fenomena itu tak kunjung terselesaikan dan justru semakin memperburuk wajah dunia. Adakah penyelesaian yang lebih baik dan bersifat mendasar untuk mengatasinya.

Buku yang edisi aslinya terbit pada tahun 1986 dengan judul Pirates and Emperors: International Terrorism in the Real World ini memberikan perspektif yang menarik tentang fenomena terorisme internasional, yang sejak dulu selalu melibatkan aktor penting dalam wacana terorisme, yakni Sang Adikuasa, Amerika Serikat. Noam Chomsky, penulis buku ini, adalah seorang profesor linguistik di M.I.T. kelahiran Amerika Serikat yang justru ditakuti oleh pemerintah Amerika sendiri, lantaran kekritisannya terhadap berbagai kebijakan luar negeri Amerika.

Judul asli buku ini yang kurang lebih berarti Para Bajak Laut dan Kaisar merupakan sindiran tajam terhadap Amerika (atau juga yang lain) yang diangkat dari kisah penuturan St. Augustinus tentang seorang bajak laut yang tertangkap oleh Alexander Agung. Ditanya tentang latar belakang si bajak laut mengacau lautan oleh Alexander Agung, dengan cerdas dia balik bertanya: “Mengapa kamu berani mengacau seluruh dunia?; Karena aku melakukannya hanya dengan sebuah perahu kecil, aku disebut maling; kalian, karena melakukannya dengan kapal besar, disebut kaisar”.

Dari kutipan kisah ini, Chomsky seperti hendak mengatakan bahwa Amerika sebenarnya adalah juga sosok maling yang sedang meneriakkan maling kepada segelintir kecil maling lainnya. Amerika adalah maling, yang karena menguasai dunia—baik secara sosial, politik, ekonomi, dan budaya—justru tidak lagi dijuluki maling, tapi “polisi dunia”.

Ini adalah bentuk sikap mendua kebijakan politik luar negeri Amerika Serikat dalam menyikapi masalah terorisme. Kacamata politik ala Amerika yang semacam ini menurut Chomsky didukung oleh sebuah hegemoni wacana dan kesadaran terhadap seluruh penduduk dunia. Untuk itu, menurut Chomsky, disusunlah “Kamus Besar Terorisme” yang disusun oleh Amerika untuk menaklukkan rasionalitas umat manusia, sehingga berbagai kebijakan luar negeri yang mendua itu terlihat wajar-wajar saja.

Latar belakang Chomsky yang memang merupakan kampiun di bidang kajian linguistik—ada yang menyebutnya sebagai Einstein-nya linguistik—mengantarkan temuannya pada aspek penting pengendalian kesadaran masyarakat dunia melalui bahasa. Chomsky yang juga pernah menulis buku tentang kaitan bahasa dan pikiran dalam buku ini berhasil menunjukkan bahwa meskipun di Amerika kebebasan berekspresi dijunjung tinggi-tinggi sebagai wujud komitmen untuk berdemokrasi, tetapi ternyata pemerintah Amerika menggunakan alat lain dengan menemukan—meminjam bahasa Walter Lippmann—teknik-teknik “pengolahan persetujuan” (manufacture of consent) untuk mengatur atau justru merekayasa persetujuan yang bakal muncul.

Untuk menjelaskan hal ini lebih lanjut, Chomsky meminjam sebuah ungkapan yang diintrodusir oleh George Orwell dalam bukunya, 1984, yakni newspeak. Istilah yang terjemahan bebasnya kira-kira berarti “omongan gaya baru” ini menunjuk pada manipulasi terhadap pengertian yang lazim atas suatu kata/istilah guna menyesatkan kesadaran masyarakat. Newspeak ini lebih dari sekedar eufemisme, karena ia dapat menjungkirbalikkan pemahaman lazim masyarakat atas kenyataan yang dirujuk istilah tersebut.

Dengan bekerja melalui istilah-istilah itulah, Amerika menghegemoni kesadaran warga dunia sesuai dengan keinginannya. Muncul istilah-istilah seperti “terorisme” dan “pembalasan”, “proses perdamaian”, “ekstremis” dan “moderat”, dan sebagainya. Istilah “terorisme” misalnya, dalam pengertian kamus yang diterbitkan oleh Amerika, mengacu kepada tindakan-tindakan (kekerasan) politik kaum oposisi/marginal yang berada di luar mainstream politik dunia dan tidak sesuai dengan kebijakan serta kepentingan politik Amerika. Sementara itu, bila Amerika bertindak keras terhadap kelompok lain hal itu disebutnya sebagai “tindakan balasan” atau “serangan-serangan lebih dulu yang sah untuk menghindari terorisme lebih lanjut”. Dalam konteks kasus Afghanistan saat ini, Amerika menggunakan dalih untuk memburu kelompok teroris (Osama bin Laden, Al-Qaeeda) guna menumpas terorisme internasional.

Sekian banyak istilah-istilah yang diperkenalkan itu, semua pada umumnya disusun dengan menyingkirkan fakta-fakta lapangan yang tidak menguntungkan mereka (Amerika). Istilah “proses perdamaian” misalnya dalam kamus terorisme Amerika hanya menunjuk pada usulan-usulan perdamaian yang diajukan oleh pemerintah Amerika. Dukungan kalangan pers Amerika untuk menyebarkan arti istilah ini tampak begitu jelas. Sebuah ulasan di New York Times edisi 17 Maret 1985 ditulis oleh Bernard Gwertzman tentang proses perdamaian di Timur Tengah dengan judul: “Are the Palestinians Ready to Seek Peace” (“Apakah Bangsa Palestina Siap Mengupayakan Perdamaian?”). Pengertian dari pertanyaan ini sebenarnya berada dalam kerangka kamus kesadaran versi Amerika itu, yang arti sebenarnya adalah: apakah bangsa Palestina siap menerima syarat-syarat Amerika untuk perdamaian?

Buku ini dibagi dalam tiga bab. Bab pertama adalah semacam kerangka konseptual tentang uraian-uraian lebih lanjut yang dilakukan pada bab berikutnya. Bab kedua menyajikan kasus terorisme di Timur Tengah yang banyak dilengkapi data-data lapangan yang kurang terekspos. Bab Ketiga mengangkat kasus Libya dalam kancah wacana terorisme. Tulisan-tulisan Chomsky dalam buku ini ditulis dengan nada pamfletis dan bergaya “rap”, sehingga menghasilkan efek-efek psikologis tertentu bagi pembaca.

Terorisme internasional yang dibidik Chomsky melalui perspektif kritisnya dalam buku ini berhasil mengungkapkan suatu tatanan wacana dan tatanan politik dunia internasional yang timpang. Kekuatan politik dan ekonomi yang cukup luar biasa yang dimiliki Amerika dapat dengan mudah menjelma menjadi rezim kesadaran yang mendoktrin warga dunia untuk mengikuti kehendak-kehendak politiknya. Politik bahasa dan kesadaran yang dilancarkan dan mengendap di seluruh pelosok dunia telah cukup menjadi legitimasi moral bagi Amerika untuk menjustifikasi tindakan terorismenya.

Hal semacam ini sebenarnya sudah cukup lama dialami secara jelas oleh bangsa Indonesia. Miniatur rezim Orde Baru menjadi pengalaman empiris bangsa Indonesia yang menunjukkan betapa hegemoni kesadaran dengan newspeak-newspeak yang diciptakannya telah cukup mampu mengendalikan nalar politik masyarakat. Pada masa Orde Baru masyarakat diperkenalkan dengan istilah-istilah “Organisasi Tanpa Bentuk”, “Gerakan Pengacau Keamanan”, “Kelompok Kiri/Komunis”, “Anti-Pancasila”, “Anti-Pembangunan”, dan semacamnya. Padahal, istilah-istilah itu hanya digunakan untuk mendefinisikan gerakan-gerakan oposisi yang menentang totalitarianisme rezim.

Dalam konteks seperti itulah nilai penting buku ini menjadi tampak bagi masyarakat Indonesia. Pertama, secara implisit dikatakan bahwa dalam iklim kebebasan yang seperti apapun, kita harus tetap waspada terhadap segala macam otoritarianisme yang terselubung dalam kemasan-kemasan bahasa yang dapat menggiring kesadaran publik. Hal ini bisa terjadi tidak hanya dalam kancah internasional, tapi juga dalam ruang lingkup kehidupan sosial yang paling kecil.

Kedua, kajian terorisme internasional yang dilakukan Chomsky ini mengajak kita untuk melakukan dekonstruksi terhadap pengertian peristilahan-peristilahan yang lazim digunakan itu. Selain itu, fenomena terorisme Amerika yang hegemonik ini dari perspektif Chomsky tidak lain adalah cermin tatanan politik internasional yang timpang. Karena itu, seluruh pejuang demokrasi di seluruh dunia sebenarnya diundang bersama-sama untuk segera membenahinya.

Buku ini penting dibaca agar kita tidak mudah tertipu dengan perbudakan akali yang dapat mengauskan akal pikiran kita sehingga akal pikiran tersebut tidak lagi dapat bekerja dengan baik. Kekerasan dan terorisme yang dipertontonkan di panggung dunia ini harus mulai dicarikan jalan keluarnya dengan cara melihat motif fundamental yang melatarinya, yakni ketimpangan tatanan politik internasional itu sendiri. Melalui buku inilah, salah satunya, hal itu menjadi tampak lebih jelas.


Tulisan ini dimuat di Harian Kompas, 25 Februari 2002.

Read More..

Minggu, 02 Desember 2001

Akar Kebencian Terhadap Tentara

Judul Buku: Militer dan Politik Kekerasan Orde Baru
Penulis : Ikrar Nusa Bhakti, dkk (Tim Peneliti LIPI)
Penerbit: Mizan, Bandung bekerjasama dengan PPW-LIPI Jakarta
Cetakan: Pertama, Juli 2001
Tebal: 303 halaman


Stigma negatif terhadap kelompok tentara (TNI) sudah sedemikian mengendap dan nyaris berkarat dalam kesadaran masyarakat. Kenyataan ini memang cukup mudah untuk dimengerti. Betapa tidak, sepanjang 30 tahun lebih rezim Orde Baru berkuasa, tentara tidak berperan sebagai penjaga kepentingan nasional, melainkan menjadi pelayan kepentingan penguasa.
Akibatnya, setelah gong reformasi dibunyikan, kelompok tentara (TNI) seperti kehilangan pegangan dan dalam beberapa hal cenderung terpecah ke dalam beberapa kelompok kepentingan. Yang paling mengenaskan adalah bahwa akibat terburuk dari itu semua berdampak dalam performance TNI di era reformasi: ia susah berbuat atau berpartisipasi, karena di samping masih tersisanya antek-antek kekuatan Orde Baru di tubuh TNI, baik yang bersifat struktural maupun personal, rasa percaya diri TNI nyaris tidak ada.

Buku yang disusun oleh Tim Peneliti LIPI ini adalah sebuah upaya rekonstruksi terhadap berbagai perilaku politik TNI selama rezim Orde Baru berkuasa. Dari judul buku ini tampak bahwa TNI diasumsikan menjadi mesin politik kekerasan yang diterapkan Orde Baru. Politik kekerasan ala Orde Baru adalah ideologi kekerasan yang dibangun untuk melegitimasi berbagai kebijakan rezim selama berkuasa. Fokus kajian yang dibidik buku ini adalah berbagai tindakan kekerasan politik Orde Baru yang dikawal oleh TNI dalam meredam berbagai gejolak sosial-politik yang muncul ke permukaan.

Gejolak sosial-politik yang dimaksudkan adalah berbagai usaha perlawanan atau resistensi masyarakat terhadap represi penguasa. Secara lebih khusus buku ini memilih kasus Komando Jihad 1981 dan Tanjung Priok 1984 (kelompok Islam), kekerasan politik dalam pemilu-pemilu Orde Baru (penyerbuan Kantor DPP PDI 27 Juli 1996), aktivis mahasiswa, kelompok-kelompok marginal (petani Kedung Ombo, Nipah, dan Jenggawah), serta kasus kekerasan militer atas gerakan separatisme di Aceh dan Irian Jaya.

Berbagai gejolak sosial-politik yang berkembang di masyarakat itu menurut penelitian buku ini tidak lain bersumber dari tersumbatnya saluran aspirasi rakyat, sehingga pada akhirnya kegeraman masyarakat itu justru seperti menjelma bara dalam sekam yang siap terbakar kapan saja. Logika politik Orde Baru yang menekankan political order demi menopang ideologi pembangunanisme diterapkan dengan menempatkan kelompok TNI sebagai stabilisator politik dan cenderung menjadi penjaga keamanan rezim.

Karena itulah tidak berlebihan bila kemudian dikatakan bahwa berbagai tindakan kekerasan politik yang dilakukan jajaran militer ini disebut sebagai organized political crime. Dengan menggunakan pola yang profesional dan rapi, kalangan tentara ini juga memiliki jalinan kongkalikong yang amat erat dengan kepentingan penguasa.

Hal ini terlihat betul dalam kasus pemilihan umum selama Orde Baru. Setelah melakukan langkah depolitisasi massa terhadap parpol yang ada, rezim Orde Baru kemudian mengerahkan kekuatan tentara untuk menjamin agar partai pemerintah, yakni Golongan Karya, tetap menjadi pemenang pemilu—dengan cara apapun, bahkan dengan kekerasan. Demikian pula ketika militer digunakan untuk meredam aksi para aktivis mahasiswa.

Kasus yang lain adalah ketika terjadi perlawanan rakyat atas kasus sengketa agraria seperti di Kedungombo (Jawa Tengah), Nipah (Madura, Jawa Timur), atau Jenggawah (Jember, Jawa Timur), tentara turun tangan, bahkan dengan tanpa basa basi memuntahkan peluru tajamnya ke barisan rakyat yang melawan.

Lalu pertanyaan yang muncul saat ini—terutama dalam suasana ulang tahun TNI—adalah apa yang harus dilakukan TNI selanjutnya di alam reformasi ini? Seperti kemudian disampaikan di akhir buku ini, jika TNI ingin dihargai dan dicintai kembali oleh rakyat, tak ada cara lain kecuali TNI harus merelakan para anggotanya yang terlibat dengan berbagai kasus kekerasan politik era Orde Baru itu untuk diadili dan berjanji untuk tidak mengulanginya kembali di masa kini dan mendatang. Kemudian para politisi sipil pun harus terampil dan dengan penuh kesadaran berhati-hati agar jangan sampai terjebak dalam rayuan untuk berselingkuh dengan kelompok TNI demi tujuan kekuasaan tertentu.

Buku ini menarik dan penting dibaca, terutama untuk menjadi sahabat kritis terhadap sejarah kelam TNI di era Orde Baru, sehingga akhirnya TNI dapat bersikap yang lebih bijak pada hari-hari mendatang.

Tulisan ini dimuat di Harian Jawa Pos, 2 Desember 2001.

Read More..

Sabtu, 28 Juli 2001

Melacak Jejak "Sistem Soeharto"

Judul Buku : Indonesia Beyond Soeharto: Negara, Ekonomi, Masyarakat, Transisi
Penyunting : Donald K. Emmerson
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Cetakan : Pertama, 2001
Tebal : xxx + 678 halaman


Era transisi bangsa Indonesia menuju kehidupan demokrasi ternyata masih dijejali oleh setumpuk persoalan. Krisis ekonomi yang belum pulih, kerusuhan sosial, konflik vertikal dan horizontal mengiringi pertikaian elit politik, serta ancaman disintegrasi. Tidakkah itu semua merupakan ekses buruk dari “Sistem Soeharto” yang telah berkuasa selama 30 tahun di Indonesia?

Rezim Soeharto telah cukup mampu membentuk suatu struktur mapan yang cukup kokoh di berbagai bidang kehidupan—sosial, politik, ekonomi, budaya, dan yang lain—sehingga lengsernya Soeharto tidak serta merta berarti runtuhnya sistem itu.

Buku ini mencoba menelaah perjalanan panjang bangsa Indonesia di bawah Sistem Soeharto dengan titik tekan pada aspek kenegaraan, ekonomi, dan (budaya) masyarakat, serta bagaimana itu semua menyisakan garis kontinu dalam momen-momen reformasi.

Kelahiran Orde Baru pasca peristiwa G-30-S dimulai dengan suatu komitmen yang kuat untuk menghindari konflik-konflik ideologi, karena itu dianggap akan menyuburkan ladang konflik dan membawa rakyat dalam suatu bayang-bayang keterpecahan sehingga mengancam proses tercapainya cita-cita “modernitas” Indonesia. Orde Baru lebih memilih jalan yang mereka anggap rasional-pragmatis: develomentalisme. Orde Baru tidak mau mengganggap bahwa pilihan mereka ini—penekanan pada pertumbuhan ekonomi sebagai prinsip penting developmentalisme—sebagai persoalan ideologi.

Istilah “Demokrasi Pancasila” yang digunakan Orde Baru menurut R. William Liddle dalam buku ini hanyalah penipuan belaka. Orde Baru pada dasarnya tersusun oleh seperangkat lembaga otoriter yang mengekang partisipasi rakyat. Partisipasi yang dikontrol ini sebenarnya adalah konsekuensi logis dari strategi pembangunan ekonomi yang memerlukan stabilitas sosial yang kokoh. Politik massa mengambang yang merupakan wujud kebijakan depolitisasi massa Orde Baru dibarengi dengan sentralisasi kekuasaan negara.

Kontrol negara juga dilakukan dengan sentralisasi kekuasaan, dengan melibatkan militer sebagai penjaga gawang stabilitas. Sentralisasi ini juga diterapkan dalam bidang administratif, legal, dan finansial. Akibatnya, pemerintah daerah tak berdaya memaksimalkan potensi-potensi sumber daya yang dimilikinya. Daerah hanya menjadi kepanjangan tangan pemerintah pusat untuk dikerahkan pada proyek pembangunan. Efek lainnya adalah bahwa orientasi pemerintah daerah tidak lagi mengarah kepada rakyatnya sendiri, melainkan pada pimpinan negara (yakni Soeharto).

Yang menarik, seperti dicatat oleh Michael Malley (Ohio University), dalam rezim Orde Baru sendiri sempat muncul beberapa ketegangan antara pusat dan daerah. Salah satu kasus yang menjadi contoh di buku ini adalah kasus pembelotan anggota Fraksi Golkar DPRD Kalimantan Tengah dalam pemilihan Gubernur pada tahun 1993 yang menginginkan calon putra daerah diangkat menjadi Gubernur—yang berbeda dengan “petunjuk” dari Jakarta.

Sentralisasi ini dalam beberapa kasus telah berkembang menjadi semacam gerakan “pemberontakan” daerah terhadap pusat kekuasaan akibat ketidakadilan ekonomi yang dirasakan begitu kuat. Kasus Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang muncul sejak 1976 menjadi contoh yang amat tepat dan dibahas secara menarik oleh Malley. Pemberontakan ini, seperti juga pemberontakan oleh PRRI pada akhir 1950-an, awalnya lebih bertujuan untuk mengubah sifat sentralistik republik, bukan untuk lepas dari kesatuan republik.

Kecanggihan “Sistem Soeharto” dalam mengelola rezim adalah bahwa semua itu dilakukan dengan legitimasi konstitusional yang cukup kuat. Dalam Sistem Soeharto konstitusi memang hanya menjadi abdi kekuasaan. Kenyataan ini akhirnya berdampak besar terhadap kegiatan perekonomian negara, dengan terbentuknya model “kapitalisme kroni”. Ketika pasar tidak menentu yang diikuti dengan ketidakpastian politik, ekonomi dan hukum, maka para pengusaha lebih memilih untuk membangun jaringan ekonomi perkoncoan dengan para pemegang kekuasaan.

Akan tetapi, akhirnya Soeharto turun pada 21 Mei 1998. Menurut Donald K. Emmerson, turunnya Soeharto salah satunya dipicu oleh ambruknya bangunan ekonomi yang dibangun selama 30 tahun. Arah globalisasi sebenarnya mengharuskan adanya keseiringan antara demokrasi ekonomi dan demokrasi politik. Tapi Soeharto malah menghalangi modernisasi politik sehingga akhirnya remuklah sistem yang ia bangun itu. Hancurnya perekonomian ini lalu diikuti pula oleh desakan mundur dari massa di bawah dan para kolega politiknya yang juga merasa tertekan.

Ketika Soeharto turun boleh jadi bangsa Indonesia merasa lega karena salah satu penghalang demokratisasi sudah disingkirkan. Namun patut dicatat bahwa bahaya laten Orde Baru—Sistem Soeharto—masih kuat membayangi kehidupan bangsa ini. Ia sudah mengendap secara sistemik dalam berbagai ruang kehidupan bangsa Indonesia.

Dalam konteks inilah buku ini memiliki makna penting dan nilai relevansinya. Sistem otoriter Orde Baru, yang nyaris dikutuk habis-habisan oleh para tokoh reformis, ternyata dibangun dengan suatu karakter tokoh yang amat dominan, yakni Soeharto, yang mengkristal dan mengendap sedemikian rupa sehingga menubuh dalam struktur kesadaran dan struktur sosial-politik bangsa Indonesia. Saking besarnya pengaruh Soeharto sehingga persoalan yang dihadapi saat ini bukan cuma soal bagaimana Indonesia Beyond Soeharto, tetapi juga fakta perihal Soeharto Beyond Indonesia.

Dengan demikian buku ini semakin menegaskan bahwa Orde Baru memang bukan hanya sekedar sosok individu, seperangkat lembaga, atau sekelompok pejabat. Karena itu upaya untuk mendemokratiskan Indonesia di masa mendatang berarti membongkar borok-borok sistemik yang biasa dilakukan oleh Sistem Orde Baru itu, meliputi politik teror, penghormatan berlebih, praktik suap-menyuap, dan sebagainya.

Sementara dalam konteks reformasi, buku ini mengingatkan kita semua agar masalah ketokohan seorang individu (entah itu Gus Dur, Megawati, Amien Rais, Akbar Tanjung, atau yang lain) hendaknya tidak terlalu ditonjolkan dalam rangka upaya-upaya menegakkan reformasi. Seperti ditengarai oleh Ignas Kleden dalam salah satu tulisannya, politik kita di masa reformasi ini ternyata ‘hanya berpindah dari politik aliran yang berorientasi ideologis ke politik karismatis yang berorientasi keunggulan pribadi.’ Buku ini mengajak kita untuk berdamai dengan urusan konflik antar-elit (baca: antar-tokoh politik) dengan lebih memilih kerja-kerja konstruktif dan bersifat struktural ketatanegaraan (pengelolaan negara).

Buku yang terdiri dari 12 bab ini hampir semuanya ditulis oleh para pengamat asing ternama: R. William Liddle, Robert Hefner, Donald K. Emmerson, Robert Cribb, Virginia M. Hooker, dan sebagainya.

Ulasan buku ini boleh dikatakan cukup tuntas karena berusaha menelusuri proses-proses sosiologis dan politik terbentuknya Sistem Soeharto. Pada bagian tertentu, ulasan dalam buku tidak mau melewatkan proses historis yang cukup panjang yang berperan penting dalam membentuk karakter sosial bangsa Indonesia—hingga merujuk pada masa sebelum penjajahan, seperti dalam tulisan Cribb dan Hefner. Kelebihan lainnya adalah keterkaitan sinergis antar-tulisan sehingga terkesan buku ini bukanlah buku kumpulan, melainkan buku utuh yang digarap secara serius.



Tulisan ini dimuat di Harian Kompas, 28 Juli 2001.


Read More..

Rabu, 18 April 2001

Anatomi Akar Disintegrasi

Judul Buku: Bara dalam Sekam: Identifikasi Akar Masalah dan Solusi Atas Konflik-Konflik Lokal di Aceh, Maluku, Papua, dan Riau
Penulis: Tim Peneliti LIPI (Riza Sihbudi, dkk)
Penerbit: Mizan, Bandung kerjasama dengan LIPI dan Kantor Menristek RI
Cetakan: Pertama, Januari 2001
Tebal: 244 halaman


Ancaman terbesar bangsa Indonesia saat ini adalah tercerai-berainya struktur masyarakat dan beberapa wilayah dari kesatuan republik akibat konflik yang meluas. Ancaman disintegrasi tersebut selalu diikuti dengan konflik horizontal maupun vertikal yang penuh dengan praktik kekerasan. Aceh, Maluku, Papua Barat, dan Riau adalah beberapa wilayah yang hingga saat ini masih mengalami pergolakan dengan tuntutan memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Penanganan serius terhadap berbagai konflik dan ancaman disintegrasi ini merupakan agenda mendesak karena bila dibiarkan akan menjadi penghambat bagi penyelesaian agenda reformasi dan recovery ekonomi. Selain itu, sangat mungkin konflik di beberapa daerah tersebut akan memicu munculnya konfik baru di wilayah lain. Pada titik ekstrem, dikhawatirkan akan muncul kesenjangan yang lebar antara harapan masyarakat dan kemampuan pemerintah untuk menuntaskan masalah tersebut, sehingga akhirnya menimbulkan rasa frustrasi terhadap proses-proses reformasi.
Buku ini adalah karya terkini yang berusaha menguak akar-akar pergolakan politik di keempat daerah tersebut. Buku yang semula adalah penelitian oleh Tim Peneliti LIPI ini menfokuskan bahasannya pada akar permasalahan yang melatari menguatnya tuntutan pemisahan diri di keempat wilayah konflik tersebut, untuk kemudian diajukan beberapa skema penyelesaian menyeluruh baik untuk jangka pendek, menengah, dan panjang.
Karakter konflik yang terjadi di keempat wilayah tersebut memang tidak sepenuhnya sama. Di Aceh dan Papua misalnya yang terjadi adalah konflik antara negara dan masyarakat yang meluas sehingga menimbulkan ekses dan eskalasi di tingkat bawah. Sementara di Maluku kasusnya adalah konflik horizontal bermotif antar-agama, dan di Riau lebih kepada konflik antara negara dan masyarakat, tapi tidak sampai memunculkan praktik kekerasan yang serius.
Akan tetapi, benang merah yang menyatukan keempat kasus tersebut adalah bahwa semua itu merupakan dampak dari proses transformasi politik yang tengah dialami bangsa ini. Kasus-kasus tersebut terjadi setelah katup kebebasan lambat-laun terbuka sehingga perlawanan rakyat semakin memperoleh ruang yang cukup lebar.
Penelitian ini menyimpulkan bahwa konflik dan pergolakan daerah di Ambon, Papua, Ambon, dan Riau, adalah akumulasi dari persoalan-persoalan bangsa yang ditimbulkan akibat kebijakan pembangunan Orde Baru yang sudah akut dan tidak pernah berusaha diatasi secara mendasar. Akibatnya, sama sekali tak ada pintu darurat yang bisa dilalui ketika masalahnya menjadi sangat serius.
Kebijakan pembangunan (developmentalisme) Orde Baru melahirkan kebijakan-kebijakan yang sentralistik. Sentralisme kekuasaan Orde Baru ini ditegaskan dalam UU No. 5/1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah yang hanya menjadikan daerah sebagai sapi perah bagi pemerintah pusat. Bahkan, dalam kasus Aceh UU tersebut telah merusak struktur sosial-budaya yang sudah mapan di sana.
Sentralisme kekuasaan Orde Baru ini dilakukan tidak hanya dalam wilayah administratif, tapi juga secara finansial dan militer. Lahirlah kecemburuan sosial dan ekonomi yang luar biasa di keempat wilayah tersebut. Aset daerah hanya diperas untuk kepentingan “orang luar”. Bisa dibayangkan bagaimana Freeport di Papua pada tahun 1996 mampu menghasilkan keuntungan 94 triliun rupiah (APBN Indonesia saat itu sebesar 97 triliun rupiah), sementara orang Papua tidak memperoleh imbas sepeser pun. Sementara itu Riau yang menempati urutan ketiga dalam hal Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) masih menanggung 40% penduduk miskin di wilayahnya.
Tidak hanya masalah ekonomi saja yang mencuat di permukaan. Beberapa kebijakan pembangunan Orde Baru melahirkan benturan-benturan budaya masyarakat setempat. Transmigrasi hanya diurus secara administratif dan finansial saja, tanpa mempersiapkan berbagai konsekuensi kultural yang mungkin timbul.
Sentralisme Orde Baru juga dikawal oleh militerisme yang sangat rentan melakukan praktik kekerasan. Masyarakat Aceh dan Papua mengalami trauma yang luar biasa terhadap hadirnya militer di daerah mereka.
Semua permasalahan tersebut perlu segera diatasi secara serius dengan memberi perhatian lebih kepada daerah-daerah yang telah lama dianaktirikan itu. Pemberian otonomi luas, pemberantasan KKN serta restrukturisasi birokrasi dan militer di daerah, penegakan supremasi hukum, perlu segera diagendakan. Proses rekonsiliasi juga menjadi penting agar semua proses tersebut mengarah kepada suatu kerangka Indonesia Baru yang lebih civilized.

Read More..