Saat membantu pengelolaan Perpustakaan Madaris III Annuqayah, Guluk-Guluk, Sumenep, pada tahun 2008-2009, saya sempat memunculkan istilah “buku pembangkit minat baca”. Istilah ini digunakan untuk menyebut buku-buku yang dianggap mampu menarik dan membangkitkan minat baca siswa khususnya yang sebelumnya masih belum cukup akrab dengan buku.
Sebagai perpustakaan sekolah yang berada di wilayah pedalaman Madura yang sebagian besar siswanya berlatar dari keluarga golongan masyarakat dengan kemampuan ekonomi menengah ke bawah, diperlukan upaya dan strategi khusus untuk memancing kegemaran siswa pada buku.
Saya berpandangan bahwa pemilihan buku koleksi perpustakaan menjadi kunci utama yang sangat penting untuk diperhatikan. Di tengah anggaran yang terbatas, perpustakaan harus cermat memilih buku. Pada titik inilah lalu muncul istilah “buku pembangkit minat baca”.
Yang dimaksud “buku pembangkit minat baca” adalah buku bermutu yang nyaman dicerna dan menyenangkan untuk dibaca bahkan oleh mereka yang masih tidak biasa atau malah fobia terhadap buku. Nah, pada waktu itu, saya berpikir bahwa yang masuk untuk kategori ini adalah buku yang bergaya tutur naratif sehingga nyaman dibaca dan mudah dicerna.
Dalam tulisan saya di tahun 2009, saya memberi contoh buku Muhammad karya Martin Lings (Serambi), Laskar Pelangi karya Andrea Hirata (Bentang), dan Ganti Hati karya Dahlan Iskan (JP Books). Sekali lagi, waktu itu saya terlalu fokus pada gaya penyajian bahasa untuk menilai apakah sebuah buku bisa disebut sebagai “buku pembangkit minat baca”. Saya tidak memberi perhatian yang cukup pada unsur “menyenangkan”.
Saya jadi berpikir ulang soal “buku pembangkit minat baca” ini setelah tulisan saya di blog ini yang memaparkan program “Tantangan Membaca 2.0” di SMA 3 Annuqayah dan juga disusul dengan daftar buku yang akan masuk dalam program tersebut ditanggapi banyak pihak. Salah satu butir komentar kritis yang saya terima, di antaranya oleh Ahmad Subhan dan Sekar Dinihari (keduanya pustakawan yang kebetulan saya kenal), atas program-program yang berusaha mendorong kegemaran membaca dan menulis di SMA 3 Annuqayah adalah bahwa berbagai program yang ada terkesan kurang menyentuh kelompok siswa yang kegemaran membaca dan kesukaannya pada buku masih lemah.
Dalam menanggapi salah satu posting saya di blog ini, Ahmad Subhan menulis: “Setelah membaca beberapa tulisan mengenai program tantangan membaca di blog ini dan Taman Karya Madaris, saya jadi menduga bahwa program ini baru memberi kesempatan bagi beberapa siswa yang sudah punya kebiasaan membaca dengan baik. Mungkin kebiasaan itu sudah terbangun pada mereka yang sedikit itu melalui berbagai cara yang bersifat individual. Program tantangan membaca membuka kesempatan bagi mereka yang ternyata menonjol ini untuk tampil.”
Sekar Dinihari, yang bersama suaminya yang seorang fotografer profesional pernah berkunjung dan berbagi ilmu di SMA 3 Annuqayah, menceritakan pengalaman pribadinya yang mengaku cenderung malas dengan buku tebal dan tak bergambar sama sekali. Baginya, membaca itu juga kudu menyenangkan sehingga dia mengaku selalu menekankan reading a book as an art dalam tiap diskusi tentang perpustakaan.
Komentar-komentar ini membuat saya diam sejenak dan berpikir ulang. Dari pengamatan selintas atas hasil pelaksanaan beberapa program yang berusaha mendorong kegemaran membaca di SMA 3 Annuqayah, saya jadi tersadar bahwa belakangan saya memang kurang fokus pada mereka yang memang masih jauh untuk dekat dengan buku. Memang, dari 11 siswa yang akhir tahun pelajaran 2013/2014 kemarin tuntas mengikuti program Tantangan Membaca, saya menemukan 4 di antaranya termasuk siswa yang tidak menonjol dalam kegiatan terkait buku dan kepenulisan, dan bahkan secara akademik di kelas tidaklah begitu menonjol. Ketuntasan 4 siswa ini bagi saya menjadi kabar gembira. Siswa yang di kelas tampak biasa-biasa saja ternyata bisa tuntas mengikuti program Tantangan Membaca, meskipun saat pemaparan hasil bacaannya secara lisan mereka memang masih tampak agak kesulitan.
Melihat hasil program Tantangan Membaca akhir tahun pelajaran lalu, saya malah tampak lebih tergoda untuk fokus dan mengembangkan program Tantangan Membaca ini, terbukti dengan munculnya gagasan program “Tantangan Membaca 2.0”. Namun, sekali lagi, komentar-komentar kritis dari beberapa rekan telah membuat saya berpikir ulang untuk kembali ke tujuan dasar program yang berusaha mendorong kegemaran membaca di SMA 3 Annuqayah. Kami tidak boleh hanya fokus memfasilitasi siswa yang sudah punya kebiasaan membaca dan kecintaan pada buku. Kami harus lebih memperhatikan mereka yang masih belum akrab dengan buku dan kegiatan membaca.
Untuk itu, saya jadi berpikir untuk menghidupkan kembali program “Perpustakaan Masuk Kelas” yang sempat terhenti karena persediaan naskah yang terbatas. Program yang mulai diperkenalkan di SMA 3 Annuqayah pada bulan Februari 2012 ini saat dievaluasi pelaksanaannya empat bulan kemudian ternyata menunjukkan antusiasme siswa secara umum untuk mulai akrab dengan bacaan bermutu. Keunggulan program ini terutama karena naskah yang disajikan benar-benar dipilih dengan cermat dan disuguhkan lengkap dengan kamus mini sehingga nyaman dan mudah dicerna. Panjang tulisan yang relatif pendek juga membuat siswa relatif tidak berat untuk mencerna bacaan yang disajikan.
Selain program “Perpustakaan Masuk Kelas” itu, untuk persiapan program Wajib Baca dan program Tantangan Membaca pada tahun pelajaran 2014/2015 ini, saya berusaha untuk menghimpun daftar “buku pembangkit minat baca” untuk segera dikoleksi oleh SMA 3 Annuqayah. Untuk menyusun daftar ini, saya sekarang mencoba ingin memberi penekanan pada unsur “menyenangkan”. Saya tak ingin mengulangi keteledoran saya yang kurang memperhatikan unsur ini.
Karena itu, saya berusaha mendaftar buku-buku yang penuh ilustrasi/gambar yang mengangkat tema-tema menarik dan penting sesuai dengan visi SMA 3 Annuqayah. Asumsinya, pembaca pemula, yakni mereka yang belum akrab dengan buku, akan lebih mudah terpikat pada buku yang tidak kering dan bertabur ilustrasi. Apalagi gambarnya kemudian tersaji warna-warni.
Di bawah ini adalah daftar sementara buku yang berhasil saya temukan yang akan dipertimbangkan untuk dikoleksi. Saya menyusun tulisan ini dan menyiarkan daftar sementara buku yang akan dikoleksi dengan harapan akan mendapatkan dukungan pembaca baik dalam bentuk usulan daftar buku selain yang sudah disebut di sini atau siapa tahu ada yang sudi mendatang beberapa buku yang ada di daftar berikut untuk SMA 3 Annuqayah.
Berikut daftar sementara yang berhasil saya himpun:
Qur’anku Sahabatku 1-4, Afif Muhammad, DAR! Mizan.
Kisah Nyata 25 Nabi dan Rasul, M. Faizi, Indonesia Tera.
Karung Mutiara al-Ghazali, Hermawan & Jitet Koestana, KPG.
Biografi Imam Syafi’i, Tariq Suwaidan, Zaman.
Biografi Imam Malik, Tariq Suwaidan, Zaman.
Biografi Imam Abu Hanifah, Tariq Suwaidan, Zaman.
Biografi Imam Ahmad ibn Hanbal, Tariq Suwaidan, Zaman.
Seri Walisongo, Arman Arroisi, Rosda.
Gus Dur van Jombang, Heru Prasetia & Edi Jatmiko, Bentang Pustaka.
Soekarno, Tim Majalah Tempo, KPG.
Hatta, Tim Majalah Tempo, KPG.
Wahid Hasyim, Tim Majalah Tempo, Jakarta: KPG.
Wiji Thukul, Tim Majalah Tempo, Jakarta: KPG.
Munir: Novel Grafis, Sulaiman Said, KPG.
Palestina: Duka Orang-Orang Terusir 1-2, Joe Sacco, DAR! Mizan.
Nafsu Perang, Joel Andreas, Profetik.
Komik Riwayat Peradaban 1-3, Larry Gonick, KPG.
Mendeteksi Bias Berita, Heri Winarko, KLIK.
Quantum Learner, Bobbi DePorter, Kaifa.
Quantum Thinker, Bobbi DePorter, Kaifa.
Quantum Reader, Bobbi DePorter, Kaifa.
Quantum Writer, Bobbi DePorter, Kaifa.
Quantum Note-Taker, Bobbi DePorter, Kaifa.
Quantum Memorizer, Bobbi DePorter, Kaifa.
The Naked Traveler, Trinity, C Publishing.
Baca juga:
>> Tantangan Membaca 2.0
>> Perpustakaan Masuk Kelas
Jumat, 22 Agustus 2014
Buku Pembangkit Minat Baca
Label: Literacy, School Corner
Kamis, 07 Agustus 2014
Buku untuk Literasi di Sekolah
Program literasi di SMA 3 Annuqayah semakin diperkuat mulai tahun pelajaran 2013/2014 lalu. Sekolah merancang sejumlah program khusus yang beberapa di antaranya memperkuat program yang sudah terlaksana sebelumnya.
Ada satu program baru yang dicanangkan tahun lalu, yakni program wajib baca buku. Rencananya, sekolah akan mewajibkan semua siswa untuk membaca sejumlah buku dalam waktu satu tahun pelajaran. Adapun buku yang bisa dibaca untuk program ini sudah dipilih dan disediakan secara khusus oleh sekolah di tiap kelas (dalam program Perpus-dalam-Kelas).
Karena ternyata proses pemilihan buku dan pengadaannya cukup memakan waktu, akhirnya program ini tidak terlaksana. Namun begitu, 3 bulan sebelum tahun pelajaran 2013/2014 berakhir, SMA 3 Annuqayah telah membeli 22 judul buku terpilih yang semua berjumlah 218 eksemplar. Selain itu, sekolah juga membeli Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) edisi terbaru sebanyak 9 eksemplar yang disebar ke tiap kelas. Sekolah juga menerbitkan Kisah Terpilih: Antologi Cerita Pendek yang merupakan proyek penerbitan cerpen-cerpen karya cerpenis terkemuka Indonesia lintas-dekade. Kisah Terpilih dicetak terbatas sebanyak 55 eksemplar dan disebar ke tiap kelas.
Meski program wajib baca tidak terlaksana, di akhir tahun pelajaran 2013/2014 lalu, SMA 3 Annuqayah sempat melaksanakan kegiatan “Tantangan Membaca”. Dalam waktu 30 hari antara 10 Mei hingga 10 Juni 2014, siswa SMA 3 Annuqayah ditantang untuk membaca paling sedikitnya 5 buku terpilih di antara 22 judul buku yang tersedia. Berikut ini daftar judul bukunya:
Buku Pilihan Program Wajib Baca dan Tantangan Membaca:
Annuqayah: Gerak Transformasi Sosial di Madura, Bisri Effendy, Jakarta: P3M.
Rahasia Perempuan Madura, A. Dardiri Zubairi, Surabaya: Andhap Asor.
Bilik-Bilik Cinta Muhammad, Nizar Abazhah, Jakarta: Zaman.
Perempuan, M. Quraish Shihab, Jakarta: Lentera Hati.
Wahid Hasyim, Tim Majalah Tempo, Jakarta: KPG.
Wiji Thukul, Tim Majalah Tempo, Jakarta: KPG.
Emak, Daoed Joesoef, Jakarta: Kompas.
Ganti Hati, Dahlan Iskan, Jakarta: Elex Media.
Alamku Tak Seramah Dulu, Aditya Dipta (ed.), Jakarta: YOI.
Greendeen, Ibrahim Abdul-Matin, Jakarta: Zaman.
Lumbung Pangan, Hira Jhamtani, Yogyakarta: Insist Press.
Terapi Berpikir Positif, Ibrahim Elfiky, Jakarta: Zaman.
Bekisar Merah, Ahmad Tohari, Jakarta: Gramedia.
Jalan Tak Ada Ujung, Mochtar Lubis, Jakarta: YOI.
Pertemuan Dua Hati, Nh. Dini, Jakarta: Gramedia.
Sang Alkemis, Paulo Coelho, Jakarta: Gramedia.
Lukisan Kaligrafi, A. Mustofa Bisri, Jakarta: Kompas.
Totto-chan, Tetsuko Kuroyanagi, Jakarta: Gramedia.
Sheila, Torey Hayden, Bandung: Qanita.
Rabiah al-Adawiyah, Makmun Gharib, Jakarta: Zaman.
Keajaiban Istighfar, Qamaruddin SF, Jakarta: Zaman.
Usir Galau dengan Internet Sehat, Donny Bu, Yogyakarta: Andi Offset.
Alhamdulillah, meski dilaksanakan secara cukup mendadak dan waktunya juga di sela-sela pelaksanaan ujian semester, ada 11 siswa yang berhasil menuntaskan program “Tantangan Membaca” ini (termasuk menuliskan rangkuman/ulasan buku yang dibacanya), dan 8 di antaranya mempresentasikan satu buku hasil bacaannya secara lisan di sebuah forum yang difasilitasi sekolah.
Program “Tantangan Membaca” ini sebenarnya bukan hal baru di lingkungan sekolah. Kami mendengar program ini dari Satria Dharma, Ketua Ikatan Guru Indonesia (IGI) yang juga pegiat literasi, saat menjadi narasumber di SMA 3 Annuqayah beberapa bulan lalu dalam sebuah seminar literasi. Namun, kami memilih secara khusus daftar buku yang dimasukkan untuk program ini. Mirip dengan pengembangan program silent reading yang sudah dilaksanakan di banyak sekolah di Indonesia dengan cara memilih bacaan yang dikutip dari buku tertentu untuk program silent reading yang di SMA 3 Annuqayah disebut program Perpus-Masuk-Kelas. Dengan memilih buku yang bisa dibaca dan disebar ke tiap kelas, diharapkan siswa dapat diarahkan untuk membaca buku-buku tertentu yang sesuai dengan visi sekolah dan relatif bermutu.
Pemilihan buku yang tepat menurut saya menjadi salah satu kunci penting dalam mendorong minat baca. Karena itu, selain kesesuaian dengan visi sekolah dan mutu yang terjamin, kami berusaha untuk memilih buku yang secara relatif enak dibaca dan mudah dicerna. Demi membantu kemudahan siswa, sekolah menyediakan Kamus Besar Bahasa Indonesia di tiap kelas.
Selain wawasan perbukuan yang luas, tantangan dalam memilih buku untuk program ini adalah kesesuaian dengan kemampuan membaca siswa. Meski siswa di SMA 3 Annuqayah rata-rata memiliki pengalaman membaca buku yang sangat minim, kadang saya memberanikan diri untuk memasukkan buku yang mungkin relatif berat. Sebagai penjajakan, kami mengujicobakan ke beberapa siswa dengan secara proaktif meminjamkan buku tersebut untuk dibaca. Misalnya, saya pernah meminjamkan buku Dari Puncak Bagdad karya Tamim Ansary untuk dibaca siswa kelas XI SMA 3 Annuqayah. Juga novel Mushashi karya Eiji Yoshikawa. Alhamdulillah, ternyata dibaca tuntas.
Tantangan lainnya berupa ketersediaan buku. Tak jarang kami harus memfotokopi buku yang kami pilih karena buku tersebut sudah tidak dicetak oleh penerbit.
Tentu saja, dalam hal memilih buku, masukan dari berbagai pihak sangatlah membantu kami. Tak hanya rekan-rekan pencinta buku yang memberi masukan, bahkan AS Laksana turut mengapresiasi program ini dan sempat berdiskusi soal pilihan beberapa buku yang saya daftar. Lebih jauh, AS Laksana sempat menyebut program literasi di SMA 3 Annuqayah ini dalam sebuah esainya di rubrik Ruang Putih Jawa Pos edisi 29 Desember 2013.
Dalam program “Tantangan Membaca” yang dilaksanakan akhir tahun pelajaran 2013/2014 lalu, memang terlihat bahwa ada buku yang tampaknya belum atau jarang dicoba untuk dibaca siswa. Ini merupakan tantangan bagi kami sebagai penyelenggara untuk memikirkan bagaimana caranya agar buku tersebut bisa diminati.
Sebagai pengembangan dari program “Tantangan Membaca”, beberapa waktu lalu saya menggagas untuk mengembangkan program ini dalam sebuah program dengan nama “Tantangan Membaca 2.0”. Dalam versi baru, program ini menantang siswa untuk membaca sejumlah buku terpilih dalam satu tema tertentu. Diharapkan, pengalaman membaca secara terfokus seperti ini akan memberi pengalaman baru yang berbeda, mendorong semangat belajar siswa, dan mengarahkan siswa untuk menekuni bidang kajian tertentu.
Sejauh ini, ada 10 tema yang sudah terpilih, yakni: al-Qur’an, sejarah kehidupan Nabi Muhammad saw., akhlak/tasawuf, pesantren, Madura, sejarah/tokoh, lingkungan hidup, jurnalistik, sastra Indonesia, dan sastra dunia.
Saat ini kami sedang menyusun daftar buku terpilih untuk kesepuluh tema ini. Saya memang tidak yakin bahwa semua buku yang ada dalam daftar ini dapat kami beli semua tahun ini, karena untuk soal pengadaan kami harus menyesuaikan dengan keterbatasan dana sekolah yang sejauh ini hanya mengandalkan pada dana BOS. Meski tidak terbeli semuanya tahun ini, saya pikir pekerjaan mendaftar buku ini akan bermanfaat. Paling tidak sebagai daftar keinginan. Pemilihan daftar ini saya pikir juga akan sangat berguna jika ada sekolah lain yang juga melaksanakan program literasi dan butuh rekomendasi daftar buku pilihan.
Saya berbagi daftar buku terpilih ini juga dengan maksud untuk mendapatkan dukungan dari para pembaca. Dukungan dapat berupa masukan atau usul tentang buku yang cocok untuk dimasukkan ke dalam daftar buku terpilih sesuai tema. Juga bisa terkait dengan pengadaan. Siapa tahu ada yang sudi membantu mencarikan di toko buku (tentu jika bisa dengan harga yang murah). Atau malah ada penerbit peduli literasi yang mau memberi potongan khusus untuk kami. (Alhamdulillah, dalam 2 tahun terakhir, Penerbit Serambi dan Zaman di Jakarta memberi kami diskon khusus setiap kali kami membeli buku-buku mereka). Atau ada yang mau menyumbang satu atau dua judul buku yang masuk di daftar ini. Atau ada yang mau membantu mencarikan bukunya untuk difotokopi jika ternyata buku tersebut sudah tidak tersedia lagi di toko buku.
Tentu saja, saya juga masih akan terus menghimpun daftar buku selain untuk kesepuluh tema ini. Namun, sementara, saya dahulukan untuk menyusun daftar buku untuk kesepuluh tema ini, dan nanti dalam pengadaannya saya mungkin harus kompromi dengan membelanjakan dana yang ada dengan fokus pada tema tertentu karena mungkin sulit untuk membeli semua buku dari sepuluh tema ini dalam waktu satu tahun pelajaran ini. Berikut ini daftar sementara buku terpilih untuk kesepuluh tema tersebut:
Tema al-Qur’an:
Tema Pokok al-Qur’an, Fazlur Rahman, Pustaka.
Mukjizat al-Qur’an, M. Quraish Shihab, Mizan.
Membumikan al-Qur’an, M. Quraish Shihab, Mizan.
Detik-Detik Penulisan Wahyu, Fathi Fawzi ‘Abdul Mu’thi, Zaman.
Al-Lubab (Al-Fatihah dan Juz ‘Amma), M. Quraish Shihab, Lentera Hati.
Wanita-Wanita al-Qur’an, Fathi Fawzi ‘Abdul Mu’thi, Zaman.
Al-Qur’an dan Lautan, Agus S. Djamil, Arasy.
Tema Sejarah Nabi Muhammad:
Muhammad, Martin Lings, Serambi.
Khadijah: The True Love Story of Muhammad, Abdul Mun’im Muhammad, Penerbit Pena.
Sayidah Aminah, ‘Aisyah Abdurrahman binti Syathi’, Lentera.
Pribadi Muhammad, Nizar Abazhah, Zaman.
Bilik-Bilik Cinta Muhammad, Nizar Abazhah, Zaman.
Ketika Nabi di Kota, Nizar Abazhah, Zaman.
Muhammad: Rasul Zaman Kita, Tariq Ramadan, Serambi.
Dan Muhammad adalah Utusan Allah, Annemarie Schimmel, Mizan.
Tema Akhlak/Tasawuf:
Buku Saku Olah Jiwa, al-Hakim al-Tirmidzi, Zaman.
Al-Hikam, Ibnu Athaillah, Zaman.
Nashaihul Ibad, Syekh Nawawi al-Bantani, Pustaka Turos.
Obrolan Sufi, Robert Frager, Zaman.
Pencerah Matahati, Muzaffer Ozak, Serambi.
Rabiah al-Adawiyah, Makmun Gharib, Zaman.
Jalan Cinta Rumi, Nigel Watts, Gramedia.
Keajaiban Istighfar, Qamaruddin SF, Zaman.
Tobat itu Nikmat, Asy’ari Khatib, Zaman.
Jiwaku Adalah Wanita, Annemarie Schimmel, Mizan.
Perjalanan Menuju Keabadian, M. Quraish Shihab, Lentera Hati.
Tafsir Kebahagiaan, Jalaluddin Rakhmat, Serambi.
Dengarkan Hatimu Berbisik, Muhammad Kuswandi, Zaman.
Tema Pesantren:
Annuqayah: Gerak Transformasi Sosial di Madura, Bisri Effendy, P3M.
Guruku Orang-Orang Pesantren, Saifuddin Zuhri, LKiS.
Berangkat dari Pesantren, Saifuddin Zuhri, LKiS.
Wahid Hasyim, Tim Majalah Tempo, KPG.
Kiai Nyentrik Membela Pemerintah, Abdurrahman Wahid, LKiS.
Tradisi Pesantren, Zamakhsyari Dhofier, LP3ES.
Pembaruan Pesantren, Abd. A’la, LKiS.
Bilik-Bilik Pesantren, Nurcholish Madjid, Paramadina.
Tema Madura:
Sejarah Madura: Selayang Pandang, Abdurrahman.
Madura dalam Empat Zaman, Hubb de Jong, Gramedia.
Madura 1850-1940: Perubahan Sosial dalam Masyarakat Agraris, Kuntowijoyo, MataBangsa.
Carok, A. Latief Wiyata, LKiS.
Manusia Madura, Mien A. Rifai, Pilar Media.
Rahasia Perempuan Madura, A. Dardiri Zubairi, Andhap Asor.
Tema Sejarah/Tokoh:
Atlas Walisongo, Agus Sunyoto, Pustaka IIMaN.
Kesadaran Nasional: Dari Kolonialisme sampai Kemerdekaan, Slamet Muljana, LKiS.
1000 Tahun Nusantara, Tim Kompas, Kompas.
Soekarno, Tim Tempo, KPG.
Hatta, Tim Tempo, KPG.
Dari Puncak Bagdad: Sejarah Dunia versi Islam, Tamim Ansary, Zaman.
100 Tokoh Paling Berpengaruh di Dunia, Michael Hart, Noura Books.
100 Muslim Paling Berpengaruh Sepanjang Masa, Muhammad Majlum Khan, Noura Books.
Tema Lingkungan Hidup:
Alamku Tak Seramah Dulu, Aditya Dipta (ed.), YOI.
Greendeen, Ibrahim Abdul-Matin, Zaman.
Lumbung Pangan, Hira Jhamtani, Insist Press.
Dari Ladang Sampai Kabinet: Menggugat Nasib Petani, JA Noertjahyo, Kompas.
Paradigma Baru Pembangunan Pertanian, Loekman Soetrisno, Kanisius.
Tema Jurnalistik:
Catatan-Catatan Jurnalisme Dasar, Luwi Ishwara, Kompas.
Seandainya Saya Wartawan Tempo, Bambang Bujono & Toriq Hadad, ISAI.
Kalimat Jurnalistik, AM Dewabrata, Kompas.
Cerita di Balik Dapur Tempo, Tim Majalah Tempo, KPG.
Jurnalisme Investigasi, Dandhy Dwi Laksono, Kaifa.
Jurnalisme Sastra, Andreas Harsono (ed.), KPG.
Citizen Journalism, Pepih Nugraha, Kompas.
Blur, Bill Kovach, Dewan Pers.
Tema Sastra Indonesia:
Arus Balik, Pramoedya Ananta Toer, Hasta Mitra.
Ronggeng Dukuh Paruk, Ahmad Tohari, Gramedia.
Dilarang Mencintai Bunga-Bunga, Kuntowijoyo, Pustaka Firdaus.
Orang-Orang Bloomington, Budi Darma, Sinar Harapan.
Seribu Kunang-Kunang di Manhattan, Umar Kayam, Grafiti.
Jalan Tak Ada Ujung, Mochtar Lubis, YOI.
Lukisan Kaligrafi, A. Mustofa Bisri, Kompas.
Saksi Mata, Seno Gumira Ajidarma, Bentang Pustaka.
Tarian Bumi, Oka Rusmini, Tera.
Blok, Putu Wijaya, Pustaka Firdaus.
Murjangkung, AS Laksana, GagasMedia.
Supernova: Ksatria, Putri, dan Bintang Jatuh, Dee, Bentang Pustaka.
Tema Sastra Dunia:
Pangeran Kecil, Antoine de Saint-Exupery, Gramedia.
Sampar, Albert Camus, Pustaka Jaya.
Musashi, Eiji Yoshikawa, Gramedia.
Lorong Midaq, Naguib Mahfouz, YOI.
Dr. Zhivago, Boris Pasternak, Narasi.
Ibunda, Maxim Gorky, Kalyanamitra.
Lelaki Tua dan Laut, Ernest Hemingway, Serambi.
To Kill a Mockingbird, Harper Lee, Qanita.
100 Tahun Kesunyian, Gabriel Garcia Marques, Bentang Pustaka.
In Cold Blood, Truman Capote, Bentang Pustaka.
Sang Alkemis, Paulo Coelho, Gramedia.
Kisah Pi, Yann Martel, Gramedia.
Baca juga:
>> Tantangan Membaca 2.0
>> Penerbit Peduli Literasi
>> Perpustakaan Masuk Kelas
>> Kerangka Acuan Program Literasi SMA 3 Annuqayah 2013/2014
Label: Literacy, School Corner
Selasa, 05 Agustus 2014
Tantangan Membaca 2.0
Sejak bertugas sebagai kepala sekolah di SMA 3 Annuqayah, Guluk-Guluk, Sumenep, mulai bulan Agustus 2010, saya berusaha memperkuat visi sekolah di bidang literasi (membaca dan menulis). Beberapa program untuk mendorong siswa gemar membaca dan menulis telah dirancang dan dilaksanakan. Di antaranya program Perpus-Masuk-Kelas, Perpustakaan-dalam-Kelas, bimbingan menulis berita atau menjadi pewarta warga untuk blog sekolah, dan sebagainya.
Pada akhir tahun pelajaran 2013/2014 lalu, kami sempat meluncurkan program baru yang bernama “Tantangan Membaca”. Dalam rentang waktu antara 10 Mei 2014 sampai dengan 10 Juni 2014, siswa SMA 3 Annuqayah ditantang untuk membaca minimal 5 buku terpilih dari 22 judul yang tersedia di perpustakaan dalam kelas masing-masing. Siswa membuktikan ketuntasan membacanya dengan menulis ulasan/rangkuman buku yang dibaca sedikitnya satu halaman kuarto.
Siswa yang berhasil memenuhi tantangan ini dan menuliskan ulasan/rangkuman buku yang dibacanya kemudian mendapatkan sertifikat dari sekolah. Lebih dari itu, siswa yang memaparkan hasil bacaannya dalam forum terbatas yang difasilitasi sekolah kemudian mendapatkan penghargaan tambahan berupa buku bacaan.
Meski pemberitahuan program ini cukup mendadak dan waktu pelaksanaannya cukup terbatas dan bahkan 10 hari di antaranya merupakan hari pelaksanaan ujian semester, ternyata ada 11 orang siswa yang berhasil menuntaskan program ini (jumlah siswa kelas X, XI, dan XII SMA 3 Annuqayah di bulan Mei 2014 adalah 198 siswa). Delapan siswa di antaranya memaparkan hasil bacaannya dalam forum terbatas setelah pelaksanaan ujian semester. Selain kesebelas siswa tersebut, saya mendapatkan laporan bahwa sebenarnya cukup banyak siswa lainnya yang juga turut membaca beberapa buku namun mereka kesulitan menulis ulasan atau rangkumannya. Karena itu, mereka tidak mendaftarkan diri kepada ketua kelas masing-masing sebagai siswa yang telah menyelesaikan program “Tantangan Membaca” ini.
Setelah menyiapkan dan memantau langsung pelaksanaan program ini, mulai dari tahap pemilihan buku bacaan yang kemudian disebar di tiap kelas hingga pelaksanaan pemaparan hasil bacaan oleh siswa, saya mencatat beberapa hal sebagai evaluasi.
Pertama, secara umum, kebanyakan siswa—untuk tidak mengatakan semuanya—belum memiliki kebiasaan membaca buku yang baik. Karena itu, perlu ada bimbingan khusus tentang bagaimana cara mencerna buku yang baik (dan cepat). Demikian pula, siswa perlu dibekali keterampilan yang sifatnya praktis dan lepas (bahkan sifatnya bisa personal) tentang bagaimana mengulas sebuah buku. Untuk kedua hal ini, sekolah harus memprogram pelatihan mencerna buku (digesting) dan meresensi buku untuk semua siswa.
Kedua, siswa perlu belajar cara memaparkan gagasan secara lisan dengan baik agar gagasan yang disampaikan lebih mudah dipahami pendengar. Untuk masalah ini, sekolah perlu memberi materi semacam pelatihan tentang teknik presentasi. Ketiga, perlu ada layanan yang siap membimbing siswa bila saat membaca buku ada kesulitan atau hal yang ingin ditanyakan. Keempat, perlu adanya dukungan yang lebih kuat dari guru dan wali kelas untuk mendorong agar siswa mau mengikuti program ini.
Terlepas dari berbagai kekurangan yang ditemukan di lapangan, saya sangat tertarik untuk terus mendukung dan mengembangkan program ini. Selain penambahan koleksi buku terpilih untuk dimasukkan dalam program ini yang kemudian disebar di tiap kelas, saya berpikir untuk mengarahkan program ini agar siswa membaca buku secara lebih terfokus.
Maka mulai tahun pelajaran 2014/2015 ini, saya terpikir untuk menyiapkan dan meluncurkan program “Tantangan Membaca 2.0”. Sambil tetap mempertahankan model yang lama, kecuali soal jumlah buku dan waktu yang diberikan, dalam versi baru, program ini akan menantang siswa untuk membaca sejumlah buku dalam kategori tema yang sama. Misalnya, “Tantangan Membaca” untuk buku-buku bertema sejarah kehidupan Nabi Muhammad saw. Saya akan memilih sejumlah buku dalam tema ini yang mencakup aneka pembahasan yang kira-kira mewakili berbagai segi kehidupan Nabi untuk kemudian ditawarkan kepada siswa yang berminat. Untuk tema ini, misalnya, sementara yang sudah terbayang dalam benak saya antara lain buku Muhammad karya Martin Lings, Pribadi Muhammad karya Nizar Abazhah, Bilik-Bilik Cinta Muhammad karya Nizar Abazhah, Khadijah: The True Love Story of Muhammad karya Abdul Mun’im Muhammad, Ketika Nabi di Kota karya Nizar Abazhah, Muhammad: Rasul Zaman Kita karya Tariq Ramadan, Dan Muhammad adalah Utusan Allah karya Annemarie Schimmel.
Tema apa saja yang akan ditawarkan? Sesuai dengan semangat program literasi di SMA 3 Annuqayah, tema yang ditawarkan adalah terutama tema-tema yang menjadi visi pengembangan strategis SMA 3 Annuqayah dan dengan mempertimbangkan ketersediaan buku bermutu dalam tema serumpun yang kira-kira bisa dicerna siswa setingkat SMA/MA. Hingga saat ini, yang terbayang dalam benak saya adalah tema al-Qur’an, sejarah kehidupan Nabi Muhammad, akhlak/tasawuf, kepesantrenan dan Islam Nusantara, lingkungan hidup, Madura, jurnalisme, tokoh/sejarah, dan sastra.
Sekarang, saya sedang berusaha menyusun daftar buku terpilih untuk beberapa tema ini. Seperti halnya saat memilih daftar buku terpilih yang dibeli tahun pelajaran lalu yang menghabiskan dana lebih dari 10 juta rupiah, pekerjaan memilih buku yang bagus dan bisa dicerna siswa setingkat SMA/MA ini bukan perkara mudah.
Saya berpikir bahwa dengan membaca buku secara terfokus, pengalaman membaca siswa pasti akan memberi manfaat yang lebih baik. Saya berpikir bahwa bisa jadi himpunan informasi yang dikumpulkan siswa dari sejumlah buku dalam satu tema itu nantinya akan memunculkan pertanyaan-pertanyaan atau gugus gagasan yang membuka penjelajahan lebih lanjut. “Tantangan Membaca 2.0” menurut saya mungkin bisa menjadi pemicu bagi lahirnya para pembelajar mandiri yang punya semangat meneliti. Agar lebih efektif, saya pikir dalam proses mencerna buku-buku yang masuk dalam daftar, siswa perlu mendapatkan bimbingan khusus, misalnya tentang sebaiknya buku apa yang pertama kali dibaca, dan sebagainya.
Gagasan tentang “Tantangan Membaca 2.0” ini muncul bulan Ramadan lalu. Dengan menuliskan gagasan itu di sini, saya berharap ada masukan dari siapa saja yang sekiranya dapat membantu segera terwujudnya program ini atau semakin baiknya program ini.
Semoga Allah meridai.
Baca juga:
>> Menyemarakkan Semangat Membaca dan Menulis di Sekolah
>> Kerangka Acuan Program Pengembangan Literasi SMA 3 Annuqayah Tahun Pelajaran 2013/2014
Label: Literacy, School Corner
Kamis, 12 September 2013
Kerja Efektif
Setiap hari kita tenggelam dalam pekerjaan atau kegiatan yang kita lakukan. Namun pernahkah kita mencoba diam sejenak lalu bertanya pada diri kita sendiri: seberapa jauh sebenarnya langkah yang kita buat dalam pekerjaan kita? Seperti apa sebenarnya nilai pekerjaan atau kegiatan yang telah kita lakukan itu?
Pertanyaan semacam ini dapat kita bawa ke wilayah pekerjaan atau kegiatan yang sifatnya perseorangan maupun kelembagaan. Mengajukan pertanyaan ini kepada diri kita sendiri mungkin terasa cukup sederhana. Pertanyaan itu hanya untuk kita, tidak untuk orang lain. Akan tetapi jika terkait dengan lembaga, pertanyaan ini tampak menjadi lebih rumit karena tentu saja pekerjaan atau kegiatan yang kita maksud melibatkan orang dan faktor yang tidak tunggal.
Baik diarahkan kepada diri kita sendiri maupun pada suatu lembaga, pertanyaan ini pada dasarnya bersifat evaluatif dan reflektif. Pertanyaan ini hendak mengukur dan melihat kembali secara lebih cermat titik-titik yang telah kita lalui dalam serangkaian pekerjaan atau kegiatan kita itu. Seperti apakah bentuk titik-titik yang kita bentuk dalam jejak pekerjaan atau kegiatan kita?
Membiasakan diri untuk mengangkat pertanyaan yang sifatnya evaluatif dan reflektif ini secara gamblang dan terus terang sangatlah penting. Di SMA 3 Annuqayah, hal ini saya wujudkan dengan membiasakan menyusun laporan kegiatan kependidikan sekolah setiap akhir tahun pelajaran. Dalam tiga tahun masa kepemimpinan saya, ada tiga laporan yang telah dibuat. Sejak tahun lalu, saya juga berusaha mendorong tradisi membuat laporan ini pada Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS) dan juga salah satu unit kegiatan siswa di SMA 3 Annuqayah, yakni komunitas siswa peduli lingkungan yang bernama Pemulung Sampah Gaul (PSG).
Dalam laporan yang dibuat sekolah ini saya berusaha untuk mengangkat dan menyajikan semua data yang kami miliki terkait dengan seluruh kegiatan sekolah. Sistematikanya mengikuti bidang-bidang utama yang dikerjakan sekolah, yakni bidang kelembagaan, kurikuler, kesiswaan, sarana dan prasarana, dan administrasi.
Kadang data dan butir informasi yang kami cantumkan terasa agak remeh. Misalnya data asal sekolah siswa atau tanggal pelaksanaan rapat yang pernah dilaksanakan di sekolah. Akan tetapi saya yakin bahwa catatan-catatan seperti itu suatu saat akan kelihatan nilai gunanya.
Laporan sekolah yang kami buat saya dorong agar tidak hanya bersifat formal dan sangat singkat. Dalam tiap butir laporan kegiatan, saya mendorong agar ada deskripsi atau narasi sesingkat apa pun tentang kegiatan yang telah dilaksanakan itu. Pada titik ini kami merasa sangat terbantu oleh tradisi kami yang lain yang sejak tahun 2008 mendorong siswa-siswa kami untuk menulis berita kegiatan di sekolah. Tulisan-tulisan siswa itu pada akhirnya dapat menjadi paparan penjelas yang sifatnya naratif dan deskriptif tentang kegiatan-kegiatan sekolah yang dilaksanakan dalam satu tahun pelajaran. Sadar akan pentingnya “laporan” yang dibuat siswa ini, sejak tahun lalu kami melampirkan tulisan-tulisan siswa tersebut dalam laporan pertanggungjawaban kegiatan kependidikan sekolah.
Laporan yang kami susun ini terasa sekali semakin memudahkan pekerjaan kami pada tahun-tahun berikutnya karena dari laporan itulah kami bisa menemukan satu informasi tertentu tentang satu butir kegiatan yang akan berguna saat kami merancang atau melaksanakan kegiatan serupa di tahun berikutnya. Lebih dari itu, kami juga bisa mendapatkan satu gambaran yang cukup utuh dengan melihat semua apa yang telah kami lakukan dalam rentang satu tahun pelajaran.
Kami merasa dapat bekerja secara lebih efektif saat sejak tahun pelajaran yang lalu, yakni tahun pelajaran 2012/2013, di awal tahun pelajaran kami berhasil menyusun dokumen rencana program sekolah yang cukup lengkap. Pada dua tahun pelajaran sebelumnya, kami hanya membuat alokasi anggaran secara kasar dengan berdasarkan pada apa yang sudah kami kerjakan pada tahun sebelumnya. Namun sejak tahun pelajaran yang lalu, kami berhasil membuat rencana program sekolah yang disusun melalui proses yang cukup panjang dan melibatkan pihak guru.
Rencana program sekolah itu menuntun arah pekerjaan dan kegiatan kami, dan laporan yang kami buat di akhir tahun mengukur dan menilai seberapa jauh rencana kami itu terlaksana.
Rencana dan evaluasi atau laporan sebenarnya hal yang sudah lazim diketahui oleh banyak orang. Apalagi mereka yang berada di posisi pengambil keputusan atau kebijakan suatu lembaga. Biasanya masalah ini disampaikan dalam pelatihan kepemimpinan atau organisasi. Namun rasanya, paling tidak di sekitar saya, belum banyak lembaga yang mencoba untuk berdisiplin melaksanakan hal ini.
Saya membayangkan seperti apa kira-kira jalannya suatu lembaga yang melaksanakan kegiatan-kegiatannya tanpa perencanaan dan tanpa evaluasi. Pada tingkat yang paling ekstrem, saya pikir lembaga itu mungkin akan sangat rentan dengan situasi darurat atau tantangan bila suatu saat datang. Pada tingkat yang masih bisa ditoleransi, mungkin lembaga itu tetap bisa bertahan dan melaksanakan kegiatan rutinnya. Namun saya pikir lembaga itu akan cukup sulit berkembang.
Kerja efektif dengan perencanaan dan laporan saya rasakan juga dalam kaitannya dengan soal jejaring. Dokumen perencanaan dan laporan sekolah jika disiarkan kepada khalayak terkait akan mempermudah suatu lembaga untuk bekerja sama atau berjejaring dengan pihak-pihak yang lebih luas. Jika saya berbincang dengan seseorang yang sekiranya dapat membantu program sekolah kami, saya cukup memberinya tautan dokumen atau tulisan tentang kami di internet sehingga dia bisa mendapatkan informasi yang lebih lengkap. Dari situ juga, orang itu dapat juga terus melanjutkan penelusurannya melalui tautan dan jejaring informasi yang tersedia. Saya sangat percaya bahwa kerja sama atau berjejaring adalah salah satu faktor yang sangat penting dalam membantu kesuksesan pekerjaan atau kegiatan yang kita lakukan.
Kesimpulannya, pekerjaan atau kegiatan kita semestinya kita rencanakan dengan baik dan kita nilai (evaluasi) dengan tertib dalam bentuk dokumen tertulis. Ini tidak saja akan membuat pekerjaan kita menjadi lebih berdaya dan berhasil guna, tapi juga memudahkan orang lain untuk terlibat dan membantu pekerjaan atau kegiatan kita itu.
Terakhir, tulisan ini sebenarnya adalah pengingat untuk diri saya sendiri. Ya, tulisan ini adalah semacam peneguhan agar saat saya berkegiatan di satu lembaga, saya bisa terus istikamah untuk membuat perencanaan dan evaluasi tertulis—sesederhana apa pun, seperti halnya tulisan ini—agar pekerjaan saya itu bisa lebih mangkus atau bahkan agar waktu yang saya habiskan dalam kegiatan saya itu tidak relatif sia-sia.
Wa mâ tawfîq illâ bi l-Lâh.
>> Laporan Pertanggungjawaban Kegiatan Kependidikan SMA 3 Annuqayah Tahun pelajaran 2012/2013 bisa diunduh di sini.
>> Dokumentasi berita kegiatan SMA 3 Annuqayah Tahun Pelajaran 2012/2013 bisa diunduh di sini.
Label: Education, School Corner
Minggu, 14 Juli 2013
Menyemai Benih Pewarta Warga
Para pewarta warga SMA 3 Annuqayah tahun pelajaran 2012/2013 |
Saat memimpin proses penyusunan Laporan Kegiatan Kependidikan SMA 3 Annuqayah Tahun Pelajaran 2012/2013, saya dan para pimpinan yang lain sangat terbantu dengan berita-berita kegiatan sekolah yang ditulis oleh siswa SMA 3 Annuqayah dan ditayangkan di blog sekolah khususnya dalam satu tahun pelajaran terakhir.
Selain fungsi dokumentasi, tulisan-tulisan siswa itu dapat menjadi sarana promosi kegiatan sekolah. Dari promosi kegiatan itu, tak jarang ada pihak-pihak yang mau bekerja sama atau bahkan membantu program sekolah kami. Tulisan-tulisan siswa itu bahkan kami rujuk dalam laporan singkat yang kami sebarkan kepada para wali siswa pada hari penyerahan rapor 3 Juli lalu.
Tradisi menulis para siswa pada khususnya berkaitan dengan kegiatan sekolah ini sudah saya rintis sejak saya masih belum menjadi kepala SMA 3 Annuqayah, yakni pada tahun 2008. Saat itu saya mengajar materi Bahasa Indonesia. Karena keterbatasan waktu dan keterbatasan yang lain, kemampuan menulis tidak bisa secara leluasa dilakukan di dalam kelas. Untuk itu, saya berinisiatif membuat ruang belajar yang lain bagi siswa untuk belajar menulis. Bentuknya adalah blog sekolah.
Belajar menulis yang paling mudah adalah menuliskan hal yang paling dekat atau sesuatu di sekitar kita. Jadi, menurut saya belajar menulis dengan dimulai dari tema kegiatan sekolah relatif akan cukup mudah bagi siswa. Maka saya mengarahkan proses belajar menulis ke arah penulisan berita sederhana atau straight news.
Saya merangkum cara penulisan berita sederhana dari buku-buku jurnalistik atau sumber lainnya. Dalam menerangkan hal ini kepada para siswa, sering kali saya menggunakan contoh berita yang dimuat di berbagai media untuk mengamati bersama bagaimana proses kreatif di balik penulisan berita-berita tersebut berdasarkan teori kepenulisan yang dipelajari.
Misalnya, saya mengambil satu berita di koran, lalu kami mendiskusikan sumber-sumber berita yang digunakan si penulis. Kami mengamati butir-butir informasi yang ada dan memilahnya berdasarkan jenis sumber berita, lalu mendiskusikan kemungkinan pengembangannya.
Berita yang ditulis siswa itu lalu saya tayangkan di blog sekolah. Untuk mendorong keterbacaan berita tersebut, saya menyebarkan tautan tulisan siswa itu di berbagai media sosial.
Naskah yang ditulis siswa saya periksa dan saya berita catatan. Jika tidak terlalu parah, biasanya saya yang menyunting sekadarnya. Jika masih banyak kesalahan mendasar, saya mengembalikan kepada si penulis dan memintanya untuk melakukan perbaikan. Kadang ada tulisan yang sampai dikembalikan sampai tiga kali. Senang juga jika si penulisnya tidak menyerah untuk menyunting tulisannya.
Sering kali saya harus bertindak lebih aktif dalam menagih tulisan kepada para penyumbang berita. Karena itu, setiap kali ada kegiatan di sekolah, saya sejak awal sering mengingatkan dengan bertanya: siapa yang akan menulis berita kegiatan ini? Dengan cara seperti ini, cukup jarang ada kegiatan sekolah yang tidak dituliskan beritanya oleh siswa.
Apa yang saya lakukan ini bisa dibilang juga merupakan upaya untuk menyemaikan benih-benih pewarta warga di kalangan siswa. Di era informasi ini, sangat penting untuk mendidik para penulis agar juga punya orientasi kepedulian sosial yang wujudnya berupa sikap berbagi (informasi). Mereka yang punya kemampuan menulis semestinya juga menggunakan kemampuannya itu untuk menyiarkan hal-hal penting yang tidak dikabarkan media arus utama.
Saya senang sekali saat menemukan siswa yang dulu aktif menyumbang berita dan kini telah berstatus sebagai alumni SMA 3 Annuqayah masih tetap menulis entah itu di blog pribadinya atau di media yang lain.
Atas kerja sama dan dukungan para siswa yang menyumbangkan proses dokumentasi dan promosi kegiatan sekolah ini, sejak saya menjadi kepala sekolah, saya memberikan penghargaan kepada penyumbang berita paling produktif.
Untuk tahun pelajaran 2012/2013 ini, saya memberikan kenangan-kenangan buku untuk semua penyumbang berita dari kalangan siswa yang jumlahnya ada 9 orang. Namun saya tetap memilih penyumbang berita terbaik dan memberinya penghargaan buku yang lebih banyak daripada penyumbang berita lainnya. Pengumuman nama-nama penyumbang berita dan penyerahan penghargaannya ini dilakukan pada hari penyerahan rapor di Madaris III Annuqayah, 3 Juli lalu.
Saya berharap semangat berbagi informasi ini menjadi salah satu nilai penting yang akan terus dikuatkan di SMA 3 Annuqayah. Dan saya yakin, ini semua akan dicatat sebagai amal kebaikan oleh Allah swt. Semoga Allah meridai.
Read More..
Label: Education, Literacy, School Corner
Jumat, 21 Juni 2013
Kerangka Acuan Program Pengembangan Literasi SMA 3 Annuqayah Tahun Pelajaran 2013/2014
Latar Belakang
Era informasi ditandai dengan membanjirnya informasi dalam berbagai bentuk. Ini tidak hanya ditandai dengan semakin banyaknya penerbitan buku, majalah, koran, dan media cetak lainnya. Revolusi teknologi informasi melalui kehadiran internet yang semakin cepat dan intens masuk ke wilayah perkampungan telah memberikan dampak yang sangat besar bagi generasi muda Indonesia.
Generasi muda Indonesia saat ini telah benar-benar menjadi generasi informasi. Dengan akses internet yang semakin meluas, mereka dengan mudah bisa mengakses informasi dan berhubungan dengan orang-orang dan gagasan yang bahkan mungkin tak mereka bayangkan sebelumnya.
Pertanyaannya, apakah sekolah telah cukup memberi bekal keterampilan dan pengalaman yang cukup agar mereka tidak gagap menghadapi era informasi semacam ini?
Dalam kerangka menjawab pertanyaan ini, SMA 3 Annuqayah dalam beberapa tahun terakhir ini telah berupaya membekali siswa agar memiliki kemampuan literasi yang baik. Wujudnya berupa kebiasaan membaca dan keterampilan mencerna dan menggali/mendalami informasi dengan baik. Siswa dilatih untuk dapat melek informasi, tangkas mengolah informasi, dan mampu menyampaikan gagasan dengan baik melalui berbagai media. Kemampuan literasi yang baik ini diharapkan dapat mengantarkan mereka untuk menjadi pembelajar mandiri yang kreatif dan kritis.
Penguatan literasi di sekolah perlu didorong dan dikuatkan dengan penyediaan bacaan-bacaan bermutu yang terpilih. Juga perlu adanya arahan dan bimbingan agar siswa terbiasa dan terampil membaca dan mendalami informasi. Selain itu, siswa juga membutuhkan pendampingan dalam belajar dan berlatih menyampaikan gagasan melalui tulisan.
Secara umum, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa penguatan literasi tampak belum menjadi perhatian utama sekolah. Belum banyak upaya yang dilakukan sekolah secara sistematis untuk membimbing siswa dalam memilih buku bacaan yang menarik dan memahaminya dengan baik.
Secara lebih khusus, ini terlihat dari kondisi siswa SMA 3 Annuqayah pada umumnya yang dalam pengamatan sepintas tiga tahun terakhir tergolong relatif kurang akrab dengan buku. Cukup bisa dimaklumi, karena dalam pengamatan tersebut ditemukan bahwa kebanyakan sekolah asal siswa SMA 3 Annuqayah tidak memiliki program yang secara khusus mendorong siswa memiliki keterampilan membaca dan menulis. Selain itu, mayoritas siswa SMA 3 Annuqayah berasal dari masyarakat golongan ekonomi menengah ke bawah yang belum memiliki akses ke dunia buku dan media informasi.
Sejauh ini, siswa SMA 3 Annuqayah mengakses buku dan memperoleh penguatan literasi melalui Perpustakaan Madaris III Annuqayah. Perpustakaan Madaris III Annuqayah yang digunakan bersama oleh siswa Madrasah Ibtidaiyah 3 Annuqayah, Madrasah Tsanawiyah 3 Annuqayah, dan SMA 3 Annuqayah sejak tahun 2006 telah dihidupkan kembali dan aktif dengan sejumlah kegiatan literasi. Meski dananya terbatas, perpustakaan ini berusaha menjadi perpustakaan aktif dengan cara mengelola beberapa kegiatan rutin yang dimaksudkan untuk mendorong literasi. (Tentang Perpustakaan Madaris III Annuqayah, silakan baca di sini).
Namun SMA 3 Annuqayah merasa perlu untuk memberikan kegiatan literasi yang lebih menantang pada siswa SMA 3 Annuqayah pada khususnya sehingga dalam dua tahun terakhir ini SMA 3 Annuqayah mencoba melakukan sejumlah kegiatan pengembangan dan penguatan literasi, termasuk juga yang menyentuh pada guru. Dengan latar belakang ini, maka untuk tahun pelajaran 2013/2014 mendatang, SMA 3 Annuqayah merancang beberapa program pengembangan literasi.
Tujuan/Target
- Siswa memiliki kebiasaan dan keterampilan membaca yang baik.
- Siswa memiliki kemampuan untuk mendalami informasi atau bahan bacaan dengan kritis.
- Siswa mampu berbagi informasi dan gagasan dengan baik khususnya melalui tulisan.
- Siswa memiliki wawasan kepustakaan dan pengalaman membaca jenis tulisan yang beragam.
- Siswa dekat dengan buku-buku pemancing minat baca.
- Siswa membaca secara mendalam paling tidak 3 buku terpilih dalam satu tahun dan mampu memaparkan hasil bacaannya secara lisan dan tertulis.
- Guru terlibat aktif dalam program literasi sekolah sehingga guru terdorong untuk terus belajar dan menambah wawasan terutama terkait bidang yang digelutinya.
Bentuk Program
Program literasi di SMA 3 Annuqayah sejauh ini yang paling menonjol adalah program Perpus Masuk Kelas, yakni program penyediaan naskah kutipan pendek (sekitar 500-1300 kata) dari buku atau sumber terpilih yang setiap hari diantarkan ke tiap kelas. Program ini adalah pengembangan dari apa yang sudah populer dengan nama “silent reading” atau “membaca senyap” yang banyak dipraktikkan di beberapa sekolah. Bedanya, dalam Perpus Masuk Kelas, sekolah memilih kutipan-kutipan menarik yang sekiranya dapat memancing minat baca siswa. Sejauh ini SMA 3 Annuqayah baru memiliki 80 naskah bacaan (lebih jelasnya, silakan baca di sini).
Untuk tahun pelajaran 2013/2014 mendatang, SMA 3 Annuqayah merancang 4 program literasi:
1. Perpus Masuk Kelas.
Sejak mulai dilaksanakan pada akhir Februari 2012, program ini telah mendapatkan dukungan dari murid dan guru. Dukungan tersebut tampak dari angket yang pernah disebarkan sekolah kepada siswa untuk mengevaluasi program ini dan tanggapan beberapa guru dan masyarakat pada umumnya dalam berbagai kesempatan. Untuk tahun pelajaran 2013/2014, program ini akan berupaya menambah dan memperkaya bahan bacaan. Paling tidak di akhir tahun pelajaran 2013/2014 ditargetkan SMA 3 Annuqayah sudah memiliki sekitar 150-200 naskah terpilih.
2. Buku Wajib Baca.
Adapun perincian teknis program ini adalah sebagai berikut:
- Program ini akan mewajibkan setiap siswa SMA 3 Annuqayah untuk membaca sedikitnya 3 buku pilihan dalam satu tahun pelajaran. Satu buku di semester pertama, dan dua buku di semester kedua.
- Sekolah akan menentukan sekitar 25 judul buku terpilih dan masing-masing judul akan disediakan sedikitnya sebanyak 10 eksemplar (jumlah siswa di SMA 3 Annuqayah sekitar 220 orang). Daftar sementara buku wajib baca terlampir.
- Pilihan buku didasarkan atas tema yang menarik, kesesuaian dengan visi dan misi sekolah, potensi isi buku untuk digali dan didiskusikan dari beberapa segi, keberagaman tema, ketebalan buku, dan keterjangkauan pemahaman siswa.
- Siswa diwajibkan membuat rangkuman dan ulasan buku yang sudah dibaca tuntas. Diupayakan agar rangkuman dan ulasan tersebut dibimbing dengan bentuk kerangka atau pertanyaan yang dapat memunculkan unsur-unsur penting dari buku (akan dibuat setelah daftar buku wajib baca ditentukan/disepakati).
- Rangkuman dan ulasan tersebut harus dipaparkan di hadapan paling tidak 10 murid dan 1 guru (sekolah memfasilitasi kegiatan presentasi ini). Diharapkan, peserta yang mengikuti diskusi adalah mereka yang juga membaca buku yang sama. Mungkin saja dibuat dua atau tiga hari khusus untuk acara presentasi (sekolah diliburkan, mungkin sebelum ujian semester) dengan sesi paralel. Namun presentasi juga dimungkinkan dilaksanakan jauh sebelum ujian semester asalkan memenuhi syarat kehadiran audien. Guru yang hadir diharapkan dapat menjadi fasilitator (karena itu seharusnya sudah membaca bukunya). Tidak menutup kemungkinan untuk melibatkan alumni SMA 3 Annuqayah agar sewaktu-waktu dapat ikut membantu memfasilitasi diskusi.
Untuk memperkenalkan para penulis cerpen dan karya-karya terbaik mereka kepada siswa, SMA 3 Annuqayah bermaksud untuk menerbitkan buku antologi cerpen terpilih yang memuat cerpen karya penulis-penulis terkemuka di Indonesia dan dunia. Sekolah akan mengumpulkan cerpen-cerpen terpilih dan dicetak terbatas untuk dibaca siswa (mungkin sekitar 50 eks). Cerpen dipilih dengan maksud untuk memberi rujukan berbagai teknik penceritaan atau gaya bertutur kepada siswa sekaligus memperkenalkan penulis-penulis terkemuka. Program ini untuk mendukung kecenderungan siswa yang suka membaca atau menulis cerpen tetapi kekurangan referensi/contoh cerpen yang baik dari beragam penulis.
4. Perpus dalam Kelas.
Letak Perpustakaan Madaris III Annuqayah yang terpisah/berjarak dengan kompleks kelas SMA 3 Annuqayah terkadang membuat siswa malas datang ke perpustakaan. Untuk itu, SMA 3 Annuqayah memandang bahwa siswa perlu didekatkan dengan bahan pustaka tertentu yang kira-kira dapat memancing minat baca dan rasa ingin tahu siswa. Karena itu, untuk tahun pelajaran 2013/2014 mendatang, SMA 3 Annuqayah memprogram untuk menyediakan lemari kecil berukuran 80 cm x 120 cm di tiap kelas (total ada 8 kelas) sebagai tempat buku-buku terpilih, termasuk buku-buku yang masuk dalam kategori Buku Wajib Baca, antologi cerpen terpilih, dan pustaka primer untuk mendukung literasi dan pembelajaran secara umum (seperti kamus bahasa, kamus subjek ilmu tertentu, dan sebagainya).
Untuk mendukung keempat program literasi tersebut di atas, sekolah juga memprogram pelatihan membaca dan menulis, diskusi buku, temu penulis, penerbitan kumpulan tulisan karya siswa, dan semacamnya. Sebenarnya, beberapa bentuk kegiatan seperti ini sudah cukup sering diadakan di SMA 3 Annuqayah (silakan baca di sini), termasuk dukungan siswa untuk menulis berita kegiatan sekolah di blog sekolah. Namun ke depan kegiatan semacam ini secara khusus akan diarahkan terutama untuk membantu siswa mencerna dan mendalami bahan bacaan yang masuk dalam kategori Buku Wajib Baca. Pertimbangannya, dalam pengamatan sekilas dua tahun terakhir, beberapa siswa tampaknya memiliki kemampuan membaca atau memahami bacaan yang cukup rendah karena sebelumnya belum terbiasa atau belum akrab dengan bahan pustaka sehingga program pendukung yang bersifat bimbingan dan pendampingan sangatlah dibutuhkan.
Waktu Pelaksanaan
Program Perpus Masuk Kelas akan dimulai setelah siswa baru (kelas X) masuk aktif seusai mengikuti MOS tahun pelajaran 2013/2014. Saat ini, naskah-naskah baru terus diketik dan diproses dengan standar pemilihan yang sama sebagaimana naskah-naskah sebelumnya. Penyiapan naskah melibatkan siswa aktif dan alumni SMA 3 Annuqayah.
Sedangkan program Wajib Baca Buku akan diberlakukan mulai semester kedua tahun pelajaran 2013/2014, bulan Januari 2014. Semester pertama digunakan untuk menyiapkan buku dan perangkat yang dibutuhkan, termasuk untuk sosialisasi program ini kepada siswa dan guru. Selain itu, pada semester pertama program ini akan diujicobakan untuk siswa tertentu, termasuk siswa yang kemampuan membacanya di bawah rata-rata. Untuk yang terakhir ini, juga akan diujicobakan program khusus pendampingan bagi mereka yang memiliki kemampuan membaca di bawah rata-rata.
Penerbitan buku antologi cerpen pilihan ditargetkan dapat terlaksana di akhir semester ganjil tahun pelajaran 2013/2014 mendatang. Tahapan kerja yang diperlukan adalah (1) pemilihan cerpen tahap awal; (2) seleksi cerpen yang akan masuk dalam antologi; (3) pengetikan cerpen; (4) lay-out; dan (5) pencetakan.
Sedangkan Perpus dalam Kelas akan mulai diaktifkan pada awal tahun pelajaran 2013/2014, karena lemari buku untuk tiap kelas saat ini sudah hampir tersedia semuanya (saat ini sudah tersedia 5 lemari). Buku-buku yang akan diletakkan sementara di awal tahun pelajaran mendatang adalah buku-buku bantuan beberapa pihak yang jumlahnya sekitar 100 eksemplar yang setahun terakhir ini diletakkan di kantor sekolah dan dipinjamkan kepada siswa dan guru.
Anggaran
Dana yang dibutuhkan untuk program yang dipaparkan di sini kurang lebih sebagai berikut:
- Naskah Perpus Masuk Kelas 80 x 45 x Rp 175 = Rp 630.000,-
- Buku Wajib Baca 25 judul x 10 eks x Rp 60.000 = Rp 15.000.000,-
- Penerbitan Antologi Cerpen 50 eks x Rp 50.000 = Rp 2.500.000,-
- Pengadaan KBBI 9 eks @ Rp 375.000,- = Rp 3.375.000,-
- Pelatihan membaca/menulis, diskusi buku, dll = Rp 5.000.000,-
Jumlah = Rp 26.505.000,-
Secara keuangan, SMA 3 Annuqayah hampir sepenuhnya mengandalkan anggaran sekolah pada dana dari pemerintah. Karena kemampuan ekonomi orangtua siswa yang secara umum termasuk golongan ekonomi menengah ke bawah, sekolah tiap tahun hanya menarik uang sebesar Rp 60.000,- per siswa. Karena tergantung pada dana pemerintah, kasus ketidakjelasan alokasi dana dan realisasinya dari pemerintah seperti yang terjadi pada tahun pelajaran 2012/2013 misalnya menyebabkan rencana program sekolah yang sudah disusun di awal tahun pelajaran tidak dapat terlaksana semua. Dana dari pemerintah yang terbatas tersebut tentu saja didahulukan terutama untuk melaksanakan kegiatan rutin kependidikan yang sebagian besar tersedot untuk honor guru dan operasional sehari-hari.
Karena keterbatasan dana sekolah ini, maka kami sangat berharap adanya dukungan dari berbagai pihak yang memiliki visi yang sama untuk menguatkan literasi di sekolah pada khususnya. Secara khusus kami juga berharap adanya dukungan dari penerbit buku berupa penyediaan buku gratis atau bentuk dukungan lainnya.
Penutup
Demikian kerangka acuan program pengembangan literasi SMA 3 Annuqayah ini dibuat untuk menjadi bahan rujukan bagi semua pihak terkait terutama agar dapat lebih mudah dalam memberikan dukungan yang lebih konkret pada program ini. Hal-hal yang belum jelas akan dijelaskan kemudian.
Guluk-Guluk, 21 Juni 2013
Kepala SMA 3 Annuqayah,
M. Mushthafa
Lampiran
Daftar Sementara Buku Wajib Baca SMA 3 Annuqayah
- Guruku Orang-Orang dari Pesantren, KH Saifuddin Zuhri, LKiS.
- Emak, Daoed Joesoef, Kompas.
- Lukisan Kaligrafi, A Mustofa Bisri, Kompas.
- Rahasia Perempuan Madura, A. Dardiri Zubairi, Andhap Asor.
- Manusia Madura, Mien A. Rifai, Pilar Media.
- Annuqayah: Gerak Transformasi Sosial di Madura, Bisri Effendy, P3M.
- Satu Abad Annuqayah, Tim Penulis, PP Annuqayah.
- Bilik-Bilik Cinta Muhammad, Nizar Abazhah, Zaman.
- Wanita-Wanita al-Qur’an, Fathi Fawzi ‘Abd al-Mu’thi, Zaman.
- Perempuan, M. Quraish Shihab, Lentera.
- Bukuku Kakiku, St Sularto (Editor), Gramedia.
- Ganti Hati, Dahlan Iskan, JP Books.
- Sekolah itu Candu, Roem Topatimasang, Insist.
- Lumbung Pangan, Hira Jhamtani, Insist.
- Creative Writing, AS Laksana, Gagas Media.
- Buku Pintar Mind Map, Tony Buzan, Gramedia.
- Bekisar Merah, Ahmad Tohari, Gramedia.
- Harimau! Harimau!, Mochtar Lubis, YOI.
- Pertemuan Dua Hati, NH Dini, Gramedia.
- Para Priyayi, Umar Kayam, Grafiti.
- Burung-Burung Manyar, YB Mangunwijaya, Djambatan.
- Totto-chan, Tetsuko Kuroyanagi, Gramedia.
- City of Joy (Negeri Bahagia), Dominique Lapierre, Bentang.
- To Kill a Mockingbird, Harper Lee, Qanita.
- The Kite Runner, Khaled Hosseini, Qanita.
- Sheila, Torey Hayden, Qanita.
- Gadis Jeruk, Jostein Gaarder, Mizan.
Versi paling mutakhir kerangka acuan ini, termasuk daftar buku wajib baca yang telah diperbarui, dapat diunduh di sini.
Read More..
Label: Literacy, School Corner
Selasa, 07 Mei 2013
Bincang Profesi untuk Mendorong Refleksi
Sependek pengamatan saya, di lingkungan sekolah secara umum guru-guru cukup jarang berbincang hal-hal yang berkaitan dengan profesi mereka secara intens. Lebih jauh lagi, tidak banyak upaya yang dilakukan sekolah untuk mendorong guru-guru merefleksikan kegiatan yang terkait profesi mereka sehari-hari.
Kegiatan rapat di sekolah lebih banyak mengangkat masalah teknis. Dalam pengalaman saya, rasanya agak sulit membawa perbincangan rapat yang memang cukup formal ke tema-tema reflektif. Maka gagasan tentang “professional talk” atau “bincang profesi” bagi saya menjadi menarik untuk dicoba dilakukan di sekolah.
Saya belajar tentang professional talk atau bincang profesi ini pada hari Sabtu (4/5) kemarin dalam sebuah kegiatan yang dilaksanakan oleh Ikatan Guru Indonesia (IGI) di Surabaya. Bertempat di Pecel Bu Kus di Jalan Barata Jaya 17, Surabaya, acara ini menghadirkan dua nara sumber: Itje Chodidjah (seorang praktisi pendidikan dari Jakarta) dan Dhitta Puti Sarasvati (Direktur Riset dan Pengembangan Program IGI).
Bincang profesi pada dasarnya merupakan kegiatan yang sederhana. Ia berupa kegiatan berbincang-bincang secara ringan berkaitan dengan berbagai pernik dunia pendidikan atau secara lebih khusus lagi kegiatan pengajaran di kelas. Bincang profesi ini mengasumsikan bahwa guru punya banyak pengalaman sehari-hari yang menarik yang bisa dibagi dan direfleksikan bersama.
Hal sederhana yang dibicarakan bisa saja akan membutuhkan waktu yang cukup panjang jika terus digali dan dikembangkan dengan baik. Pada pertemuan Sabtu kemarin, dua nara sumber mencoba mengemukakan topik sederhana untuk dibincangkan oleh para guru yang hadir. Ada yang berupa foto salah satu pajangan di kelas yang diamati dan kemudian dikomentari. Diskusi pun berkembang ke beberapa hal penting dalam pembelajaran.
Bincang profesi bisa juga berangkat dari masalah-masalah yang muncul di sekolah. Pada Sabtu kemarin, para peserta misalnya diminta untuk berdiskusi soal bullying di sekolah yang terjadi di antara sesama guru, yang menurut survei IGI merupakan salah satu masalah yang jamak terjadi di sekolah-sekolah.
Memang tak harus ada jalan keluar yang disepakati atas permasalahan yang dibicarakan. Akan tetapi, dengan berbagi dan berefleksi, paling tidak para guru memiliki persediaan rujukan dan wawasan yang semakin kaya dalam menjalani kegiatan kependidikan mereka sehari-hari. Ini juga adalah cara untuk mendorong guru-guru agar terus belajar melalui pengalaman-pengalaman sederhana di sekolah.
Selain rapat, tampaknya bincang profesi ini perlu diberi ruang tersendiri secara khusus di sekolah. Tujuannya juga agar sekolah bisa menjadi sebuah lingkungan yang reflektif, sehingga berbagai kegiatan yang kependidikan yang ada tetap terjaga untuk terus ditemalikan dengan diri guru masing-masing dan lingkungan atau masyarakat.
Label: School Corner
Kamis, 04 April 2013
Dekor Ramah Lingkungan
Setelah saya memasang foto kegiatan Temu Guru Penulis di SMA 3 Annuqayah yang dilaksanakan 21 Maret lalu di sebuah grup Facebook, ada sebuah komentar menarik dari Ahmad Fawaid Sjadzili, seorang teman yang saat ini menjadi dosen di STAIN Pamekasan. Berbeda dengan komentar orang lain yang menyorot tema kegiatan atau narasumber yang hadir, Fawaid mengomentari dekor yang menjadi latar acara. Fawaid menulis bahwa ia menyukai kreativitas pembuat latar (dekor) yang mau bersabar dengan menggunting kertas dan menghindari cara-cara instan.
Memang, dari foto kegiatan tersebut terlihat bahwa dekor yang digunakan bukanlah spanduk dari plastik dengan huruf-huruf yang dicetak rapi dari program pengolah desain di komputer. Dekor berlatar kain biru dongker yang kemudian ditempeli kertas-kertas bertuliskan nama kegiatan itu dibuat secara manual oleh siswa.
Seingat saya, SMA 3 Annuqayah tidak pernah mengeluarkan biaya untuk membuat banner (spanduk) kegiatan yang menggunakan plastik dan dicetak dari desain komputer itu. Sejak saya menjabat sebagai kepala sekolah pada pertengahan 2010, saya memang menegaskan bahwa saya tidak suka dengan banner sekali pakai itu.
Selain biayanya relatif mahal, dekor menggunakan banner itu terasa mubazir karena hanya digunakan sekali. Lagi pula, dekor dengan cara manual (model lama) buat saya memberi kesempatan bagi pembuatnya untuk bersentuhan secara langsung dengan banyak benda, mulai dari gunting, kertas, lem, dan juga kain. Sedangkan desain berbasis komputer relatif terpusat pada komputer. Paling jauh, bila menggunakan komputer, perancangnya mencari bahan-bahan dari internet.
Sebenarnya tidak semua banner akan menjadi mubazir setelah digunakan di sebuah acara. Ada banner yang dibuat untuk kegiatan yang sifatnya rutin. Artinya, ia akan dipergunakan kembali pada kegiatan serupa di waktu yang berbeda. Untuk yang seperti ini, bagi saya tidak masalah membuat banner dengan bahan plastik. Atau, banner tersebut bisa saja dimanfaatkan untuk keperluan lain setelah digunakan pada acara yang dimaksud. Misalnya, digunakan sebagai latar sorot untuk LCD proyektor.
Pertengahan 2012 lalu, SMA 3 Annuqayah, misalnya, pernah menyelenggarakan bedah buku bekerja sama dengan salah satu unit perusahaan PT Mizan Pustaka, Bandung, dan Mizan menyediakan banner berbahan plastik dalam ukuran yang cukup lebar. Setelah kegiatan itu, kami memanfaatkan banner tersebut untuk kegiatan di luar ruangan yang membutuhkan latar sorot LCD proyektor.
Bagi sekolah yang memiliki dana besar, membuat banner berbahan plastik itu mungkin tidak masalah secara keuangan. Tapi bagi kami, sekolah yang dana kegiatannya cukup minim, sekian ratus ribu rupiah tampak akan jauh lebih bermanfaat untuk dibelanjakan buku bacaan untuk menambah koleksi perpustakaan atau bahan pengayaan referensi guru. Atau untuk membiayai kegiatan sekolah lainnya.
Terkadang dekor manual yang dibuat di SMA 3 Annuqayah menggunakan bahan-bahan yang mungkin bisa disebut sampah, seperti plastik bekas bungkus deterjen, atau juga koran bekas. Pada pertengahan 2009, saat memaparkan hasil proyek kegiatan lingkungan dalam kerangka School Climate Challenge Competition yang diadakan oleh British Council Indonesia, siswa SMA 3 Annuqayah membuat dekor dengan menggunakan sampah plastik. Demikian pula, pada kegiatan Kemah Lingkungan (2) yang diadakan oleh Pemulung Sampah Gaul (PSG) SMA 3 Annuqayah Juni 2012 lalu, siswa menggunakan sampah plastik sebagai bahan dekor.
Dekor manual bagi saya menjadi pilihan karena sifatnya yang lebih ramah lingkungan. Lebih dari itu, ini juga menjadi sarana untuk menanamkan nilai kepekaan dan sikap cinta lingkungan, yakni untuk menghemat penggunaan sumber daya alam, di tengah arah kehidupan yang kini semakin serba instan. Read More..
Rabu, 26 September 2012
Menyiram Pohon, Merawat Kehidupan
Sejak pertengahan Juni lalu, saya punya kegiatan tambahan di sela bermacam kegiatan utama saya. Kegiatan tambahan itu adalah menyiram pohon. Ceritanya, Juni lalu, di akhir acara Kemah Lingkungan yang diadakan oleh komunitas peduli lingkungan di sekolah tempat saya mengajar (Pemulung Sampah Gaul [PSG] SMA 3 Annuqayah, Guluk-Guluk, Sumenep), ada penanaman pohon di halaman sekolah. Pohon yang ditanam bermacam. Ada pohon nangka, disusul dengan rambutan, melinjo, dan mangga. Pohon-pohon inilah yang sesekali saya siram.
Sudah lebih tiga bulan kegiatan ini saya lakukan. Pagi-pagi sekali, atau kadang sore hari, saya mengangkut air-air dalam timba ke paling tidak enam titik utama di halaman sekolah.
Sebenarnya perawatan pohon ini ditangani oleh anak-anak anggota PSG. Namun saya ingin turut menyiram dan merawat pohon-pohon ini. Pada saat liburan puasa dan lebaran, saat sekolah libur dan santri-santri pulang, tugas menyiram saya catat dengan garis tebal di agenda saya. Maklum, di tengah cuaca yang sangat panas, pohon-pohon itu tentu sangat membutuhkan air.
Saat cukup lama tak disiram, beberapa daun pohon nangka, misalnya, sempat tampak mengering. Mungkin juga karena terus diterpa terik matahari. Akhirnya, saya meletakkan semacam pelindung di atas pohon nangka itu agar tak langsung diterjang sinar matahari di siang hari.
Suka duka menyiram pohon juga saya rasakan. Pernah suatu kali bibit pohon trembesi yang sudah ditanam dan disiram selama sekitar dua pekan dipatahkan orang. Bahkan ada yang dicabut oleh entah siapa. Tentu saya sedih. Juga bercampur marah. Saya bertanya-tanya: ke manakah kini air-air yang telah saya siramkan dan diserap pohon trembesi itu?
Mencari sumber air terdekat untuk diangkut ke titik penyiraman juga menjadi bagian dari kisah saya. Jika saya harus mengangkut air dari rumah saya yang memang bersebelahan dengan sekolah, saya harus berjalan sekitar 70 meter ke titik terdekat pohon di sekolah itu. Dari sumber yang sama, ke titik paling jauh saya berjalan sekitar 120 meter.
Di lingkungan sekolah sebenarnya ada keran air. Hanya saja ia tidak mengalir sepanjang waktu. Karena itu, saat saya tahu keran air itu sedang mengalir, dan di rumah air sedang relatif terbatas, dan pohon-pohon itu sudah cukup lama tak disiram sehingga tanahnya sangat kering, saya tak bisa menyia-nyiakan kesempatan itu. Saya pun mengangkut air-air dalam timba dari keran air yang berjarak 40 meter ke titik terdekat pohon yang ditanam di sekolah.
Menjalani kegiatan baru ini, saya jadi teringat esai Dewi Lestari yang dimuat di Pikiran Rakyat, 23 Juli 2006. Menanam pohon, dalam pemaparan Dee, panggilan akrab Dewi Lestari, adalah sebentuk tanggung jawab kita untuk membayar suplai oksigen yang kita hirup setiap hari. Saya berpikir bahwa melalui pepohonan itu, Allah telah memberikan oksigen untuk kita secara gratis. Jadi betapa tak tahu dirinya jika manusia hanya bisa menebangi pohon.
Bagi saya, menyiram pohon pada akhirnya adalah rasa syukur kepada Allah dan keinginan untuk ikut merawat kehidupan. Sesungguhnya, kaum muslim setiap hari senantiasa menegaskan sebutir gagasan penting yang sangat terkait dengan hal ini setiap kali shalat, paling tidak 17 kali sehari: bahwa Allah itu rabb alam semesta. M. Quraish Shihab menerjemahkan ayat kedua surat al-Fatihah itu sebagai berikut: “Segala puji hanya bagi Allah pemelihara seluruh alam.”
Lebih dari sekadar menanam, menyiram adalah sebuah kegiatan yang saya pikir cukup menantang. Saya cukup sering membaca berita di media massa tentang kegiatan penanaman sejumlah pohon di beberapa tempat. Frasa penanaman seribu pohon tampaknya sudah begitu populer untuk menunjukkan kecintaan pada alam atau lingkungan hidup. Akan tetapi, setiap kali mendengar kabar tentang kegiatan semacam ini, pikiran saya selalu dipenuhi dengan tanda tanya: setelah ditanam, lalu siapa yang merawatnya?
Saya cukup percaya bahwa kehidupan kita saat ini tampaknya memang telah banyak dikuasai oleh paradigma produksi. Orang-orang didorong untuk menghasilkan sesuatu sebanyak mungkin, termasuk juga untuk menorehkan catatan prestasi yang sifatnya produktif. Namun cukup banyak orang yang lupa pada paradigma konservasi. Kita kadang abai untuk merawat hal-hal berharga yang telah menjadi milik kita. Merawat hal yang berharga kadang diremehkan sehingga tak digolongkan sebagai sebentuk prestasi.
Pada titik ini, menyiram pohon, merawat kehidupan, bagi saya adalah juga melatih menjaga hal-hal berharga yang saya miliki saat ini. Kehidupan adalah hal mendasar yang sangat berharga yang melandasi kegiatan peradaban lainnya. Untuk itu, meski dalam tingkat yang sederhana, saya ingin menjadi bagian dari mereka yang ikut menjaga hal-hal berharga yang telah diraih manusia.
Dengan gagasan seperti ini, rasa lelah saat mengangkut air-air dalam timba itu tak begitu terasa. Saya tahu bahwa air-air itu tak akan sia-sia. Delapan liter untuk tiap pohon akan tercatat bersama tunas-tunas hijau yang akan merimbunkan halaman. Kemudian kelak kicau burung akan lebih sering terdengar di halaman sekolah kami, seolah ikut mengucap syukur atas anugerah kehidupan untuk kami semua.
Read More..
Kamis, 13 September 2012
350 Kata: Agar Siswa Mencintai Bahasa
Setiap masuk ke tahun pelajaran baru di sekolah, saya selalu berusaha memunculkan pertanyaan berikut: apa hal baru yang saya tawarkan untuk dibawa ke ruang pembelajaran di dalam kelas? Pertanyaan ini saya ajukan untuk diri saya sendiri terutama sebagai pengingat bahwa sebagai guru saya seharusnya terus mencoba melakukan hal-hal baru yang sifatnya pengembangan sehingga proses pembelajaran punya peluang yang lebih besar untuk menjadi lebih baik.
Jawaban seperti apa yang sebenarnya saya harapkan? Terus terang, saya sesungguhnya menginginkan jawaban yang relatif lebih jelas dan terukur. Maksudnya? Saya tidak terlalu mengharapkan jawaban-jawaban yang masih belum begitu jelas wujudnya dalam tingkat penerapannya. Misalnya, “Saya akan memperbanyak metode dialog dan diskusi di dalam kelas”; atau “Saya akan menyentuh unsur kecerdasan emosional dan spiritual siswa”; dan semacamnya.
Jawaban seperti ini memang terdengar bagus. Namun demikian, saya pikir jawaban semacam ini masih berjarak cukup jauh dengan ruang kelas. Kedengarannya masih mengawang-awang. Jawaban seperti ini, menurut saya, lebih cocok menjadi semacam visi (pembelajaran) yang mendasari berbagai bentuk nyata butir kegiatan pembelajaran lainnya yang lebih terperinci.
Tentu saja visi dalam pengertian seperti ini memang dibutuhkan. Akan tetapi saya sekarang tidak sedang mau memusatkan pembicaraan atau membahas panjang soal visi. Saya ingin bertanya hal konkret yang hendak dilakukan seorang guru di ruang kelas yang sifatnya baru dan belum dilakukan sebelumnya—paling tidak oleh guru itu sendiri.
Atas pertanyaan ini, apa jawaban saya tahun ini? Saya punya satu jawaban sederhana: untuk pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia kelas X di SMA 3 Annuqayah, Guluk-Guluk, Sumenep, tahun pelajaran ini saya memilih 350 kosa kata dari dalam buku pegangan yang digunakan siswa untuk kemudian dibuatkan semacam kamus kecil yang ditambahkan pada buku pegangan tersebut. Saya memilih 350 kata yang kira-kira belum dipahami atau cukup asing bagi siswa. Ketiga ratus lima puluh kosa kata ini lalu dijelaskan artinya secara singkat. Penjelasan makna kata saya ambil dari Kamus Besar Bahasa Indonesia. Pada beberapa lema, saya menambahkan muradifnya dari Tesaurus Bahasa Indonesia karya Eko Endarmoko.
Kosa kata ini akan menjadi bagian dari bahan pembelajaran di kelas. Artinya, siswa harus hafal dan paham. Terkait dengan hal ini, saya akan mengadakan penilaian untuk menguji hafalan dan pemahaman siswa. Penilaian atau ujian itu akan dilakukan secara berangsur dan berkala. Rencananya setiap sekitar tiga pekan.
Saya melakukan hal ini karena menurut saya penguasaan kosa kata adalah hal yang sangat mendasar dalam pembelajaran bahasa—bahasa apa pun. Penguasaan kosa kata adalah modal yang sangat penting untuk mengembangkan berbagai segi kemampuan berbahasa.
Saya teringat sosok guru Eugene Simonet yang diperankan oleh Kevin Spacey dalam Pay It Forward (2000), guru Ilmu Sosial yang suka menggunakan kosa kata baru di kelas dan menugaskan murid-muridnya untuk mencari artinya di dalam kamus.
Lebih jauh lagi, saya teringat Paulo Freire yang dalam Cultural Action for Freedom (1972)—yang membahas tentang filosofi mendasar praktik pendidikan dalam kaitannya dengan pendidikan sebagai praktik pembebasan—menulis: “The human word is more than mere vocabulary—it is word-and-action.” Freire menempatkan kata-kata dalam ranah yang radikal. Memahami kata-kata pada akhirnya adalah belajar mencermati hubungan manusia dengan dunia yang akan menjadi dasar dan pendorong baginya untuk melakukan perubahan.
Sesungguhnya ada landasan lain yang berasal dari ingatan saya saat saya mengaji tafsir di pesantren sekitar 20 tahun silam. Di bagian awal surah al-Baqarah, dalam kisah penciptaan Nabi Adam a.s., al-Qur’an menunjukkan bahwa kelebihan manusia (Nabi Adam a.s.) atas malaikat adalah penguasaan Nabi Adam a.s. atas kata-kata (asmâ’). Dalam ayat itu diterangkan bahwa Allah mengajarkan (semua) kata-kata (asmâ’) kepada Nabi Adam a.s. dan kemudian Allah menantang dan menguji malaikat terkait kata-kata tersebut. Dikisahkan bahwa malaikat mengaku kalah (Q., s. al-Baqarah/2: 31-33).
Di tingkat praktik, apa yang saya lakukan ini sebenarnya bukan hal yang baru. Lebih 10 tahun lalu, saat saya mengikuti program English Extension Course di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, dalam salah satu mata pelajaran, yakni Vocabulary, ada kamus khusus yang disiapkan pengajarnya untuk melengkapi buku pegangan yang digunakan di kelas. Kata-kata yang dipilih adalah kosa kata dari buku pegangan tersebut. Dalam satu semester, peserta kursus harus menghafalkan kosa kata yang berjumlah lebih dari 2.700 kata. Secara berkala, ada tes hafalan kosa kata—kalau tak salah setiap dua pekan.
Berdasar pengalaman saya mengajar di beberapa lembaga pendidikan di Sumenep, yang kebetulan semua berada di kawasan pedesaan, penguasaan kosa kata siswa, atau bahkan mahasiswa, relatif masih terbatas. Mungkin memang perkenalan, keakraban, dan kecintaan mereka pada bahasa atau kamus masih kurang—bahkan mungkin juga di kalangan guru-gurunya.
Yang sebenarnya ironis, saya kadang menemukan pengurus publik yang tidak paham dengan arti kata-kata tertentu sehingga tidak tertib dalam berbahasa. Ada catatan kakak sepupu saya yang menemukan bahwa polisi di Madura ternyata ada yang buta warna. Kakak saya itu menemukannya dalam sebuah dokumen kepolisian. Mereka tak bisa membedakan warna biru dan hijau—apakah ini terpengaruh kosa kata bahasa Madura? Beberapa waktu lalu saya sendiri pernah menulis kegagalan aparat polisi di Sumenep dalam memahami kata-kata dalam dokumen publik yang mereka buat sendiri sehingga berdampak sangat fatal.
Atas situasi yang terkait dengan pengurus publik ini, saya tak bisa berbuat banyak. Ini berada cukup jauh dari wilayah kewenangan saya. Yang bisa saya lakukan sebagai guru bahasa dan sastra Indonesia di sebuah SMA di pedalaman Madura adalah menyiapkan generasi yang mencintai bahasa. Atas keinginan atau visi tersebut, kali ini saya punya modal 350 kata yang saya harapkan bisa menjadi pendorong agar siswa mencintai bahasa dan terus mengembangkan berbagai potensi kebahasaan lainnya.
Oleh karena itu, setelah sebelumnya hanya dilakukan secara tidak tertata, akhirnya saya memutuskan untuk mendorong minat dan penguasaan siswa atas kosa kata secara lebih terencana. Jika pada tahun sebelumnya saya pernah menugaskan siswa untuk mencari arti kata-kata tertentu pada beberapa pertemuan di kelas, atau selalu membahas arti kata-kata yang dipandang cukup asing secara cukup panjang untuk setiap materi bacaan di berbagai pelajaran, sekarang saya ingin ada proses dan atau sasaran yang lebih terukur dan terencana.
Tiga ratus lima puluh kata mungkin jumlah yang terbilang sedikit. Namun, sampai di sini saya lalu teringat sebuah kutipan dari Bruce Barton dalam buku Stephen R. Covey yang sangat terkenal, The Seven Habits of Highly Effective People: “Sometimes when I consider what tremendous consequences come from little things.... I am tempted to think...there are no little things.” Kadang saat saya menyadari betapa dahsyatnya dampak dari hal-hal kecil... saya tergoda untuk berpikir... bahwa sebenarnya tak ada hal-hal yang kecil.
Sekali lagi, mungkin ini memang langkah kecil. Tiga ratus lima puluh kata jumlahnya tak besar. Karena itu saya menggunakan istilah “kamus kecil”. Tapi saya pikir saya menyusun kamus kecil ini dengan cinta—kecintaan saya pada bahasa, juga pada siswa-siswa saya. Dan saya yakin bahwa dengan landasan cinta, insya Allah hasil yang bakal terbit akan memiliki nilai dan kekuatan yang bisa jadi tak kita duga.
Tulisan ini semula ditayangkan di sini.
Read More..
Label: Education, Literacy, School Corner
Jumat, 20 April 2012
Menyelamatkan Otak Kanan
Sejak tahun pelajaran 2011/2012 ini, saya membuat sedikit perubahan dalam cara mengajar saya di kelas. Pertama, saya kerap memutar lagu-lagu instrumental di ruang kelas. Lagu-lagu itu saya putar dari telepon genggam yang saya bawa dengan bantuan pengeras suara portable. Kadang-kadang, lagu-lagu itu diputar dari laptop yang saya gunakan di ruang kelas.
Lagu instrumental yang saya putar bermacam-macam. Kadang musik klasik, seperti Beethoven, Bach, Mozart, atau Vivaldi. Kadang Kenny G, Richard Clayderman, Spyro Gyra, Secret Garden, atau favorit saya, Joe Satriani.
Hal lainnya baru dimulai semester ini. Sejak awal tahun 2012 ini, jika memungkinkan, saya menulis di papan dengan menggunakan spidol warna-warni: hitam, biru, merah, dan hijau. Dari sekolah tempat saya mengajar, biasanya hanya disediakan spidol warna hitam. Spidol warna-warni saya beli sendiri. Spidol warna-warni ini tak cukup mudah saya dapatkan. Spidol boardmarker biru dan merah tak saya temukan di Guluk-Guluk. Saya belinya di sebuah toko di Sumenep. Yang terakhir, warna hijau, baru saya dapatkan beberapa waktu yang lalu dengan memesan ke Yogyakarta.
Ada apa dengan musik instrumental dan spidol warna-warni? Belum lama ini beberapa mahasiswa di kelas Logika di Institut Ilmu Keislaman Annuqayah (Instika) bertanya kepada saya perihal musik dan spidol warna-warni itu. Secara spontan ketika itu saya menjawab: “Saya menggunakannya untuk menyelamatkan otak kanan.”
Menyelamatkan otak kanan? Aha, rupanya pertanyaan mahasiswa tersebut telah membantu memancing otak saya untuk menemukan frasa yang kemudian menjadi judul tulisan ini—ya, pertanyaan itu berperan besar dalam melahirkan tulisan ini. Sebelumnya, saya tak membayangkan formula kata-kata tersebut sebagai jawaban atau latar belakang dari musik instrumental dan spidol warna-warni itu. Namun begitu, memang demikianlah adanya: saya pikir musik instrumental dan spidol warna-warni itu akan membantu murid di kelas untuk menyelamatkan otak kanan.
Saya menjelaskan kepada si penanya apa yang saya maksudkan dengan menyelamatkan otak kanan. Menurut saya, sistem pendidikan dan cara belajar kebanyakan kita selama ini cenderung terlalu terpaku pada potensi otak kiri saja. Karena itu, saya mencoba untuk mengimbangi penguasaan otak kiri di dunia pendidikan itu dengan musik instrumental dan spidol warna-warni.
Sebagaimana jamak diketahui, otak kiri berurusan dengan logika, angka, urutan, pola pikir linear, dan semacamnya. Sedangkan otak kanan berkaitan dengan imajinasi, kesadaran holistik, kesadaran seni, warna, dan sebagainya.
Sekarang, coba perhatikan hal-hal yang berkaitan dengan dunia pendidikan kita di sekolah. Buku pelajaran di sekolah nyaris semuanya disajikan dengan kering dan kaku. Cara siswa mencatat pun dari dulu masih tak jauh berbeda: kalimat-kalimat deskripsi atau eksposisi, dan semacamnya.
Penyajian bahan pembelajaran dan cara pencatatan yang kering dan kaku selama ini pada tingkat tertentu tampaknya telah cukup berhasil memenjarakan otak kanan. Akibatnya, sisi kreatif peserta didik kurang menemukan tempat untuk berkembang.
Penjara otak kiri yang bercorak positivistik tergambar melalui sebuah permainan yang sebenarnya cukup populer yang beberapa kali telah saya ujicobakan di kelas: sembilan titik yang membentuk kubus terdiri dari tiga baris mendatar dan menurun, lalu murid diminta untuk membuat empat garis lurus tak terputus dan harus bisa mengenai kesembilan titik tersebut. Menghadapi permainan semacam ini, pikiran murid-murid sering kali terpenjara dengan titik terluar yang membentuk kubus tersebut. Akibatnya, mereka kesulitan untuk memecahkan permainan ini.
Potensi otak kanan untuk berkembang bukan hanya dihadang oleh bahan dan penyajian kegiatan pembelajaran maupun cara pencatatan. Dalam kehidupan masyarakat kita yang lebih luas, penghargaan terhadap otak kiri cenderung lebih besar. Sedang penghargaan terhadap prestasi otak kanan masih kurang. Seorang kiai muda dan guru di Gapura yang aktif sekali menulis di blog, A. Dardiri Zubairi, pernah mencatat kurangnya penghargaan pemerintah daerah Sumenep atas prestasi di bidang sastra dibandingkan dengan bidang lain yang mengandalkan otak kiri—dan tampaknya ini bisa jadi bukan hanya terjadi di Sumenep saja. Sudah sering terjadi, murid yang berprestasi di bidang matematika atau bidang sains lainnya diberi apresiasi yang begitu meriah. Ini tak berlaku bagi murid yang punya kelebihan di bidang yang berbasis otak kanan, seperti bidang sastra.
Apa yang bisa dilakukan menghadapi ancaman terus terbatasnya ruang otak kanan di dunia pendidikan kita? Banyak hal yang bisa dilakukan. Bisa bersifat mendasar, sistematis, maupun massal. Sementara ini, di ruang kelas saya melakukannya dengan musik instrumental dan spidol warna-warni. Musik instrumental dan spidol warna-warni itu saya pikir adalah salah satu media sederhana yang tampaknya dapat merangsang otak kanan untuk berbiak dan memperkuat jejaringnya.
Kepada mahasiswa mata kuliah Logika saya katakan bahwa pelajaran Logika berpihak pada otak kiri. Karena itu, mengimbangi dominasi otak kiri dengan musik instrumental dan spidol warna-warni mungkin merupakan langkah sederhana yang patut untuk dicoba dilakukan.
Selebihnya, saya sepenuhnya sadar bahwa masih perlu dilakukan upaya-upaya lain yang lebih luas, mendasar, dan berkelanjutan untuk memberi ruang yang lebih lapang bagi otak kanan ini—ruang bagi kreativitas dan imajinasi. Musik instrumental dan spidol warna-warni mungkin hanya semacam balatentara yang pasti membutuhkan panglima yang memberi arahan dan taktik strategis.
Namun, kalaupun belum ada panglima, musik dan spidol warna-warni harus terus berjalan. Karena jika kita terus membiarkan otak kanan terpenjara maka sebenarnya, meminjam kata-kata Tony Buzan, kita telah melawan cara kerja alamiah otak. Jika demikian adanya, kita tidak saja akan mengalami hambatan yang berkepanjangan dalam belajar, bahkan mungkin saja sisi dan nilai kemanusiaan kita tak akan melangkah sempurna.
Read More..
Label: Education, School Corner