Tampilkan postingan dengan label Book Review: Social. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Book Review: Social. Tampilkan semua postingan

Minggu, 20 Juni 2021

Membangun Dunia dengan Asumsi Baik Sangka

Judul buku: Humankind: Sejarah Penuh Harapan
Penulis: Rutger Bregman
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Cetakan: Pertama, Februari 2021
Tebal: xxiv + 444 halaman
ISBN: 978-602-06-4919-1

Saat ini dunia dikelola di atas pandangan dasar yang suram. Dunia bisnis, pendidikan, juga negara, ditata dengan asumsi bahwa manusia itu bersifat dasar egois dan digerakkan oleh kepentingan pribadi.

Adam Smith, ahli ekonomi pencerahan, dalam karya klasiknya, The Wealth of Nations (1776), menjelaskan bahwa roda ekonomi berputar bukan karena dorongan kemanusiaan, tapi karena rasa cinta individu pada diri sendiri. Karena itu, egoisme jangan diredam.

Buku ini mengajukan argumen yang berbeda, yakni bahwa manusia itu pada dasarnya baik. Manusia itu memiliki naluri untuk bekerja sama, bukan bersaing. Manusia itu cenderung menaruh kepercayaan pada sesama, bukannya saling curiga.

Rutger Bregman, sejarawan muda dari Belanda yang menulis buku ini, menggambarkan betapa pandangan suram bahwa hakikat manusia itu bersifat durjana begitu dominan. Persepsi keliru ini utamanya terbentuk karena kita setiap hari mengonsumsi berita di berbagai media. Berita, menurut Bregman, cenderung mengangkat hal-hal yang negatif sehingga akhirnya membentuk persepsi bahwa manusia itu bersifat dasar buruk.

Bukan hanya berita, dari sisi ilmiah, banyak teori atau penemuan ilmiah yang menegaskan sisi muram manusia. Penelitian Philip Zimbardo pada 1971 menemukan bahwa manusia biasa berubah menjadi monster jika berada dalam situasi tertekan. Penelitian Milgram pada 1961 menunjukkan bahwa manusia patuh berbuat jahat saat berada dalam tekanan otoritas.

Untuk membongkar pandangan yang sudah mendarah daging ini, Bregman merangkum dan menelaah kembali beberapa penelitian mutakhir di bidang sejarah, humaniora, dan sains secara kritis. Pertama, Bregman membahas kemunculan homo Sapiens dan bagaimana ia bisa bertahan hingga kini.

Berdasar beberapa penelitian dari perspektif evolusioner, Bregman menyimpulkan bahwa manusia tidak dibentuk oleh gen egois seperti digagas Richard Dawkins. Jenis homo yang bertahan adalah yang ramah. Keramahan dan kerja sama melahirkan kecerdasan yang jauh lebih dahsyat ketimbang genius individual yang egois seperti Neanderthal.

Bregman membahas penyebab sifat baik manusia yang berubah menjadi jahat. Menurut Bregman, paling tidak ada dua pokok penyebab manusia menjadi jahat, yakni empati dan kekuasaan. Empat itu tak sepenuhnya baik. Empati bisa membutakan, membuat sifat baik manusia digusur oleh sifat buruk. Sebuah penelitian psikologis atas tentara Nazi mengungkapkan bahwa mereka bisa berperang dengan luar biasa bukan karena daya tarik ideologi Nazi, tapi karena persahabatan (Kameradschaft).

Sementara itu, kekuasaan cenderung membuat orang kehilangan sifat baik dan kebersahajaannya –sesuatu yang mungkin membuat dia terpilih sebagai pemimpin. Dari beberapa riset, Bregman menulis bahwa kekuasaan itu seperti obat bius yang mematikan kepekaan seseorang pada orang lain.

Bregman menjajaki kemungkinan membangun dunia dan lembaga-lembaga masyarakat dengan pandangan berbaik sangka. Prasangka baik atas sifat dasar manusia ini adalah sebuah harapan atau optimisme atas masa depan sejarah dunia.

Ada beberapa contoh konkret praktik lembaga yang menurut Bregman dikelola dengan asumsi sifat baik manusia. Di antaranya adalah pengelolaan dua penjara di Norwegia (Halden dan Bastøy) yang tak biasa karena dibangun dengan pendekatan yang lebih manusiawi –tak ada sel dan jeruji di sana.

Bregman menunjukkan bahwa dua penjara yang dibangun dengan asumsi bahwa manusia pada dasarnya baik itu justru lebih berhasil dan efektif dalam mengembalikan para narapidana pada kehidupan normal di masyarakat. Setelah dua tahun keluar dari Bastøy, misalnya, hanya 16 persen yang kembali dipenjara sesudah dua tahun –sedangkan di Amerika, angkanya mencapai 60 persen.

Gagasan reformasi yang diajukan Bregman diakuinya tidak mudah untuk diterima. Selalu ada alasan yang dikemukakan untuk berpegang bahwa manusia itu jahat. Selain itu, membela sifat baik manusia bisa menantang kekuasaan. Asumsi bahwa sifat manusia itu dasarnya adalah baik menuntut jenis kepemimpinan yang berbeda dengan yang lazim dipraktikkan saat ini.

Ide besar yang digagas buku ini menarik untuk dicermati lebih lanjut dan dikontekstualisasikan dengan situasi masyarakat kita. Reformasi kelembagaan di masyarakat kita sangat pantas untuk mempertimbangkan perspektif baru yang diajukan buku ini.

Selain gagasan dasar yang ditawarkan, kelebihan buku ini terletak pada kekayaan data dan argumentasinya yang dibangun secara kritis di atas banyak penelitian ilmiah mutakhir. Ketajaman analisisnya berpadu dengan gaya bertutur yang renyah dan nyaman dicerna. Namun sayang, edisi terjemahan buku ini tidak dilengkapi dengan indeks yang dapat memudahkan pembaca untuk mencari subjek penting tertentu secara lebih cepat.

Tulisan ini dimuat di Harian Jawa Pos, 20 Juni 2021.


Read More..

Kamis, 18 April 2019

Para Pengilham dan Bahan Baku Harapan


Judul buku: DI’s Way: Pribadi-Pribadi yang Menginspirasi
Penulis: Dahlan Iskan
Penerbit: Noura Books, Jakarta
Cetakan: Pertama, Februari 2019
Tebal: 200 halaman
ISBN: 978-602-385-765-4

Harapan adalah penggerak untuk mendorong perubahan di tengah situasi yang menantang. Bangsa yang mau bangkit harus bisa mengindustrialisasi harapan (manufacturing hope)—istilah yang diperkenalkan Dahlan Iskan setelah diangkat menjadi Menteri BUMN pada tahun 2011. Untuk mengindustrialisasi harapan, kata Dahlan Iskan, bahan bakunya adalah niat baik, ikhlas, kreativitas, tekad, dan totalitas.

Buku ini memuat 25 kisah sosok-sosok mengilhamkan yang dijumpai Dahlan. Melalui esai-esai renyahnya, Dahlan menjadi corong untuk menyuplai bahan baku harapan untuk bangsa ini.

Dahlan berkisah tentang Irwansyah, pribadi inspiratif dari Desa Untoronadi, Magetan. Irwansyah menjadi semacam Bulog di desanya. Setelah panen, dia membeli gabah petani yang harganya sedang anjlok. Tapi harga belinya tidak lantas ikut anjlok juga dan selesai setelah transaksi. Irwansyah menjual gabah tersebut saat harga sudah naik. Hasil jualnya dihitung ulang: uang yang sudah diterima petani dihitung, dipotong biaya proses pengeringan, dan sisanya dikembalikan ke petani.

Dari mana Irwansyah mengambil keuntungan? Dia mengambil laba dari pekerjaannya sebagai penjual pupuk. “Strategi Bulog” Irwansyah digunakan untuk mempertahankan loyalitas konsumennya.

Irwansyah sejauh ini hanya mampu membeli gabah dari 40 petani di desanya. Tapi peran dan strateginya luar biasa. Kata Dahlan, Irwansyah menggabungkan peran Bulog, Bank Indonesia, Bappenas, Kementan, dan BUMN untuk level desa (hlm. 132-137).

Esai-esai dalam buku yang semula terbit di “rumah baru” Dahlan, disway.id, ini juga menuturkan kehebatan sosok-sosok pengilham di bidang teknologi. Dahlan berkisah tentang Profesor Raldi Artono Koestoer yang di kartu namanya tak mencantumkan gelar apa pun. Kata Dahlan, Profesor Raldi bukan intelektual biasa. Dia intelektual egaliter. Kerja intelektulanya tak hanya dengan disiplin berpikir keras. Dia juga membawa misi. Misi kemanusiaan.

Profesor Raldi membuat inkubator murah untuk mengatasi masalah meninggalnya bayi prematur. Inkubator buatan Profesor Raldi hanya butuh listrik 50 watt. Beratnya 13 kg. Tapi inkubatornya ini hanya dijual khusus. Yakni khusus untuk pembeli yang mau jadi relawan: meminjamkan untuk orang miskin (hlm. 17-21).

Dahlan juga menulis tentang Garuda Maintenance Facility (GMF), salah satu anak perusahaan Garuda yang sukses besar. GMF yang dipimpin oleh Ir. Iwan Joeniarto MM ini ternyata dipercaya melayani perawatan pesawat banyak maskapai asing, seperti KLM. Total, GMF yang berlokasi dekat landasan pacu bandara Soekarno-Hatta melayani maskapai dari 15 negara (hlm. 26).

Namun kadang inovasi, niat baik, dan kreativitas anak negeri menghadapi kendala yang cukup ironis. Rudy Tavinos membuat ide brilian dengan membuat kilang di dekat sumur minyak sehingga minyak mentah tidak perlu diangkut ke sana kemari.

Membangun kilang butuh biaya besar. Sekitar 100 triliun rupiah. Balik modalnya lama. Jadinya rencana membangun kilang tak kunjung nyata sehingga BBM impor terus. Rudy muncul dengan ide sederhana tapi jitu: membuat “kilang mulut tambang”. Meskipun kapasitasnya kecil, tapi mangkus. Tantangan teknis berhasil diatasinya. Hasilnya, produksi sumur minyak Exxcon Cepu diolah di kilang Rudy.

Akan tetapi, kisah Rudy berakhir menyedihkan. Kata Dahlan, lumbung itu tidak untuk ayam. Keluar aturan pemerintah yang melarang jual minyak mentah di mulut tambang. Ironis. Akhirnya kilang Rudy tutup (hlm. 124-128).

Pada titik ini, kita melihat bahwa Dahlan dalam esai-esainya ini tidak hanya menyodorkan bahan baku harapan. Dahlan juga memercikkan cara pandang kritis. Bahwa bahan baku harapan pada akhirnya juga harus dikelola dan disinergikan dengan kebijakan oleh para pengurus publik.

Seperti juga saat Dahlan berkisah tentang Erika Eriyanti, petani wortel dari Batu, Malang, yang hanya lulusan SMA. Dia memimpin rekan-rekannya untuk belajar dan berinovasi, termasuk belajar kepada para petani di Berastagi, Sumut. Di esai ini, Dahlan menyentil dengan humor, dengan mengatakan bahwa petani seperti Erika ini terlihat kian mandiri, berusaha maju tanpa “bantuan dari pemerintah, misalnya pemerintah Tiongkok” (hlm. 41).

Kisah para pengilham di buku ini adalah senjata ampuh untuk menyuburkan harapan dan melawan sikap pesimistis dalam menatap masa depan. Kisah-kisah dalam buku ini penting untuk dicerna dan disebarkan, agar model kreativitas, tekad, ketulusan, dan kerja positif lainnya dapat ditiru dan dikembangkan di tempat lainnya.


Tulisan ini adalah naskah awal yang kemudian disunting redaksi dan dimuat di Koran Jakarta, 18 April 2019.


Read More..

Rabu, 06 Juni 2018

Kisah Para Penakluk Nafsu


Judul buku: Chicken Soup for the Soul: Makin Sedikit Makin Bahagia (101 Kisah tentang Mengubah Hidup dengan Melepaskan Apa yang Dimiliki)
Editor: Amy Newmark dan Brooke Burke-Charvet
Penerbit: Gramedia, Jakarta
Cetakan: Pertama, 2018
Tebal: xvi + 438 halaman
ISBN: 978-602-03-6124-6


Konsumsi adalah fenomena kehidupan modern. Peningkatan konsumsi yang masif dengan berbagai perkakas pendukungnya oleh sebagian kalangan dipandang sebagai gejala patologi. Erich Fromm misalnya melihat konsumsi yang kompulsif sebagai bentuk pelarian manusia modern dari kehampaan untuk mencari kebahagiaan. Namun menurut Fromm upaya itu hanyalah kesia-siaan.

Buku ini memuat kisah orang-orang biasa yang berusaha meraih kebahagiaan dengan mempraktikkan gaya hidup sederhana, bukan dengan merayakan konsumsi berlebihan. Para penutur di buku ini berlatar belakang profesi yang beragam. Mereka mungkin memang bukan ideolog anti-kapitalisme dan anti-konsumerisme. Akan tetapi kisah-kisah mereka dalam buku ini sungguh mengilhamkan dalam memberi teladan tentang hidup yang disyukuri dan kemurahan berbagi.

Kisah Jeanie Jacobson dari Omaha, Nebraska, memberi perspektif baru tentang kebiasaan menumpuk barang berlebihan yang tak dimanfaatkan secara maksimal. Setiap kali membantu teman-temannya membereskan rumah dengan menyortir barang-barang yang jarang digunakan untuk disumbangkan, ia mengajukan pertanyaan khas: “Apakah kau menahan berkat orang lain?” (hlm. 284-286)

Pertanyaan Jacobson ini, yang kemudian juga diarahkan kepada dirinya sendiri, membuka mata kesadaran kita bahwa menumpuk barang senyatanya adalah sebentuk keserakahan. Keserakahan itu menghalangi orang lain untuk memperoleh apa yang sebenarnya ia butuhkan. Sesederhana itu.

Denise Barnes tahu pasti betapa tidak mudah melawan rayuan iklan untuk mencari kepuasan dengan berbelanja. Awal tahun 2014 adiknya memberitahunya bahwa sedang membuat tantangan untuk tidak membeli baju, tas, sepatu, dan perhiasan baru selama setahun. Barner pun bergabung dengan tantangan itu. Mulanya memang tidak mudah, apalagi di tengah gempuran promo obral di kanan-kiri. Tapi begitu sukses melewati tantangan ini, Barnes merasakan bahwa ia telah menjalani hidup yang lebih bermakna (hlm. 59-63).

Godaan konsumsi yang kompulsif semakin kuat karena dukungan sistem ekonomi dan keuangan yang ada. Kisah Marsha Porter, seorang pengulas film, dalam bangkit kembali dengan hidup tanpa kartu kredit sungguh menarik disimak. Kemudahan bertransaksi yang diiming-imingkan oleh penyedia kartu kredit membuat Porter terjerat. Tiga belas kartu kreditnya menuntutnya melakukan pembayaran minimum setiap bulan yang berjumlah 1270 dolar. Setelah dengan upaya keras berhasil bebas dari jerat kartu kredit, kini ia tak lagi menggunakannya. Dan Porter kemudian merasakan momen-momen yang istimewa dan membahagiakan (hlm. 349-353).

Hidup yang tak mengenal batas konsumsi juga kadang didorong oleh tradisi. Kebiasaan merayakan ulang tahun, misalnya. Rebecca Smith Masterson dari Phoenix, Arizona, bertutur tentang ulang tahun putranya yang istimewa tanpa undangan, keriuhan, tumpukan hadiah, dan hura-hura. Putranya yang berumur sembilan tahun cukup tidur di tempat tidur Masterson di malam menjelang ulang tahunnya, ditambah dengan beberapa permintaan sederhana (hlm. 403-404).

Amy Newmark, editor serial Chicken Soup for the Soul, juga membagikan kisahnya di bagian akhir. Saat selesai mengkaji 300 finalis untuk buku ini, ia seperti duduk di depan cermin tentang gaya hidup yang dijalaninya sendiri. Di awal tahun itu, tahun 2016, ia lalu berkomitmen untuk membuat proyek 52 minggu berberes-beres barang yang menumpuk di rumahnya (hlm. 405-408).

Buku ini adalah kisah-kisah orang hebat yang betul-betul mengerti dan menghayati kenikmatan dan kebahagiaan hidup sederhana. Kisah mereka adalah cerita tentang penaklukan nafsu konsumtif dengan bekal keberanian di atas kesadaran bahwa makin sedikit mereka akan makin bahagia. Mereka adalah teladan nilai kesederhanaan. Meski tidak mesti di atas landasan religius, kesadaran mereka ini juga dibangun dengan fondasi rasa syukur atas berbagai nikmat dalam kehidupan yang mereka dapatkan.

Naskah ini adalah versi awal yang kemudian dimuat di Koran Jakarta, 6 Juni 2018.

Read More..

Jumat, 18 Mei 2018

Menumbuhkan Ketabahan untuk Meraih Kesuksesan


Judul buku: Grit: Kekuatan Passion + Kegigihan
Penulis: Angela Duckworth
Penerbit: Gramedia, Jakarta
Cetakan: Pertama, 2018
Tebal: 402 halaman
ISBN: 978-602-03-8159-6


Jika orang ditanya tentang kunci kesuksesan, banyak yang menjawab bahwa kerja keras adalah hal yang lebih penting daripada bakat. Meski demikian, dalam kehidupan sehari-hari faktanya kita cenderung untuk memberi tempat yang lebih istimewa pada orang yang dianggap berbakat.

Penelitian Chia-Jung Tsay membuktikan “bias bakat” yang diam-diam menguasai kecenderungan banyak orang. Chia meneliti pendapat orang tentang dua pemain piano dan dua profil wirausaha. Ternyata profil yang lebih disukai dan dinilai akan sukses adalah mereka yang biodatanya menunjukkan latar bakat alami (hlm. 27-28).

Buku berbasis penelitian yang disajikan dengan gaya bertutur yang sungguh renyah ini memperlihatkan bahwa rahasia kesuksesan yang sebenarnya terletak pada perpaduan antara hasrat (passion) dan kegigihan (perseverance) yang disebut “ketabahan” (grit). Orang yang sukses adalah orang yang tahu secara sangat mendalam apa yang mereka inginkan. Dia tahu ke arah mana dia akan melangkah. Selain itu, orang yang sukses juga luar biasa tegar dan bekerja keras untuk menjalani alur menuju tujuan yang dia tetapkan (hlm. 9).

Angela Duckworth, penulis buku ini, menggarisbawahi bahwa keterpesonaan pada bakat dapat membuat orang menjauh dari jalan kesuksesan. Karena terarah pada bakat, maka upaya atau kerja keras akan kurang diperhatikan. Bahkan, lebih jauh Duckworth mengutip filsuf besar Jerman, Nietzsche, yang menyatakan bahwa ketika kita menilai seseorang itu istimewa—dengan kata lain: berbakat—maka kita terdorong untuk tidak menyainginya. Kita seperti kemudian diperbolehkan untuk tidak bekerja keras jika sudah berhadapan dengan sosok berbakat.

Nilai paling penting buku ini bukan terletak pada pemaparannya tentang apa sebenarnya kunci kesuksesan itu. Buku ini sangat penting untuk dibaca karena memaparkan secara mendalam cara menumbuhkan ketabahan. Pada bagian awal, Duckworth mengembangkan Skala Ketabahan untuk mengukur ketabahan yang kita miliki pada saat tertentu.

Menurut Duckworth, ketabahan ditumbuhkan melalui dua jalur utama, yakni dari dalam ke luar, dan dari luar ke dalam. Ketabahan dapat ditumbuhkan dari dalam dengan menegaskan dan memupuk minat, kebiasaan dan kemampuan berlatih secara terfokus, merumuskan tujuan dalam berbagai kegiatan atau pekerjaan dengan level yang padu, dan harapan atau kemampuan untuk bangkit setiap menghadapi kegagalan. Empat hal ini adalah aset psikologis yang dapat ditumbuhkan dari dalam diri seseorang sebagai bekal meraih kesuksesan (hlm. 103-104).

Sedangkan dari faktor luar ketabahan dapat ditumbuhkan dengan pengasuhan. Kata pengasuhan berasal dari bahasa Latin yang berarti “untuk membawa maju”. Duckworth lalu memperkenalkan model pengasuhan yang bijaksana untuk menjelaskan model pengasuhan yang ideal yang baik untuk mendukung tumbuhnya ketabahan. Pada bagian ini, Duckworth memberi pengertian yang jernih dan bisa menengahi model pengasuhan otoriter dan pengasuhan yang penuh kasih sayang (hlm. 233-253).

Duckworth juga menggarisbawahi bahwa pengasuhan bukan hanya terkait dengan ibu dan ayah. Guru, mentor, pelatih, atasan, bahkan teman, dapat berada dalam kerangka pengasuhan yang dapat menumbuhkan ketabahan.

Buku ini ditulis dengan penyajian yang ringan. Ada banyak contoh kasus yang diangkat yang sebagian besar merupakan hasil riset penelitian terkait sehingga informasi yang termuat begitu kaya dengan data ilmiah.

Dari buku ini kita diingatkan untuk mengalihkan fokus dan strategi kita yang semula bertolak dari kekaguman berlebihan pada bakat, tingkat IQ yang tinggi, dan semacamnya, pada upaya untuk membentuk iklim hasrat dan kegigihan yang kuat. Buku yang ditulis oleh mantan guru sekolah menengah dan kini menjadi profesor psikologi di University of Pennsylvania ini bernilai penting bagi kita sebagai bekal untuk menyiapkan generasi mendatang yang sukses baik pada tingkat individu maupun kolektif.

Versi pendek tulisan ini dimuat di Koran Jakarta, 18 Mei 2018.


Read More..

Jumat, 09 Maret 2018

Derita, Makna, dan Kebebasan Batin


Judul buku: Man’s Search for Meaning
Penulis: Viktor E. Frankl
Penerjemah: Haris Priyatna
Penerbit: Noura Books, Jakarta
Cetakan: Pertama, Desember 2017
Tebal: xxii + 234 halaman
ISBN: 978-602-385-416-5


“Segala sesuatu yang tidak membunuh saya, membuat saya jadi lebih kuat”. Demikian ujar Nietzsche. Viktor E Frankl (1905-1997), seorang neuorolog dan psikiater terkemuka di Eropa, telah membuktikan pernyataan ini.

Frankl selama tiga tahun (1942-1945) pernah berada di empat kamp konsentrasi yang berbeda, termasuk Auschwitz. Di antara kekejaman, keganasan, dan penderitaannya di kamp, Frankl menemukan dan berhasil merefleksikan banyak hal yang kemudian dituliskannya setelah ia bebas. Dari situ, lahirlah buku yang berjudul Man’s Search for Meaning ini. Hingga sekarang, buku ini telah dicetak ulang lebih dari 100 kali dalam edisi bahasa Inggris dan diterbitkan dalam 49 bahasa ini.

Melalui buku ini, Frankl kemudian dikenal sebagai pendiri teori psikologi logoterapi. Dalam teorinya, Frankl menyatakan bahwa dorongan utama manusia dalam hidup bukanlah untuk mencari kesenangan atau kepuasan atau juga kekuasaan. Logoterapi meyakini bahwa perjuangan untuk mencari makna adalah dorongan utama manusia. Karena itu, logoterapi lebih memfokuskan pada masa depan. Dalam konteks ini, logoterapi membantu seseorang untuk menemukan makna hidupnya melalui proses yang bersifat analitis (hlm. 142-143).

Manusia yang tidak dipandu oleh makna hidup akan mengalami kehampaan eksistensial. Ini adalah fenomena yang mewabah khususnya sejak abad ke-20. Karena menjalani hidup tanpa orientasi makna yang jelas, manusia kemudian mengubah arah hidupnya pada upaya untuk mencari kesenangan belaka (hlm. 155).

Dalam pandangan logoterapi, makna hidup bukanlah hal yang bersifat abstrak. Makna hidup yang harus ditemukan adalah makna yang spesifik. Dalam pengertian sederhana, ia adalah tugas yang unik yang dijalani dalam hidup sehari-hari. Hidup dengan tugas khusus yang disadari bagi Frankl adalah juga sebentuk pertanggungjawaban atas hidup itu sendiri.

Pengalaman Frankl hidup di kamp selama tiga tahun membuktikan bahwa makna hidup bermakna sangat penting saat seseorang menjalani pengalaman negatif atau penderitaan. Menurut Frankl, orang yang relatif memiliki makna hidup akan lebih mudah bertahan menghadapi berbagai bentuk ancaman fisik dalam tahanan. Frankl memberi kesaksian bahwa kekuatan batin manusia bisa berdiri lebih tinggi dari nasib yang menimpa fisiknya (hlm. 98).

Kehidupan di kamp yang sangat kejam tidak hanya dapat menumpulkan emosi seseorang, tapi juga dapat membunuh harapan. Namun, bagi seseorang yang kebebasan batinnya masih terawat baik, orientasi makna hidupnya dapat menjadi tempat berlindung dari kehampaan dan keterasingan (hlm. 54).

Pada titik ini, logoterapi tampak menempatkan kebebasan positif di tempat yang istimewa pada kehidupan seseorang. Kebebasan positif, yakni kebebasan untuk secara sadar dan aktif mengorientasikan hidupnya pada titik tujuan tertentu atau kebebasan untuk menentukan sikap dalam setiap keadaan, akan dapat menjadi benteng dan sekoci penyelamat bagi seseorang yang sedang berada di titik nadir penderitaan.

Dengan kekuatan kebebasan batin dan kebebasan spiritual yang hebat, penderitaan sebagai sebuah nasib yang tak terhindarkan kemudian dilihat sebagai kesempatan untuk memperdalam makna hidup. Bahkan, kalau perlu penderitaan dilihat sebagai bagian dari tugas hidup. Berbekal orientasi makna hidup yang kuat, perasaan lemah dan takut lalu disingkirkan, sedangkan keberanian mengemuka.

Di tengah beratnya beban hidup di masa kini yang rawan menciptakan kegalauan, kecemasan, dan bahkan kehampaan eksistensial, buku ini membawa pesan yang kuat bahwa dalam kondisi terburuk pun hidup punya potensi untuk memiliki makna. Tugas kitalah untuk menemukannya. Dengan cara ini, buku ini berusaha memupuk optimisme dan memperluas cakrawala harapan kita.

Naskah ini adalah versi awal yang kemudian dimuat di Koran Jakarta, 9 Maret 2018.


Read More..

Minggu, 21 Januari 2018

Tantangan Menjadi Manusia Autentik


Judul buku: Solitude: In Pursuit of a Singular Life in a Crowded World
Penulis: Michael Harris
Penerbit: Thomas Dunne Books, New York
Cetakan: Pertama, 2017
Tebal: 256 halaman
ISBN: 978-1-250-08860-4

Manusia masa kini menjalani kehidupan sehari-hari dengan dikepung oleh berbagai perangkat teknologi. Obsesi untuk terus terhubung dengan orang lain melalui berbagai media sosial di gawai yang kita jinjing ternyata berpotensi menghilangkan salah satu sisi penting dalam kehidupan kita, yakni momen kesendirian, yang nilainya tak bisa diremehkan.

Itulah gagasan pokok yang dituturkan Michael Harris, penulis asal Kanada, dalam buku ini. Manusia di era digital kini tampaknya memiliki ketakutan berlebih untuk terputus dari jejaring maya yang dirajut oleh perangkat teknologi dengan berbagai fasilitas pendukungnya. Harris memberi ilustrasi yang cukup mengena. Cobalah mengetik “fear of being without” di mesin pencari Google, maka fitur auto-complete di baris pertama akan menampilkan “fear of being without your phone”.

Harris juga mengutip sebuah penelitian tahun 2013 yang melibatkan 7.500 pengguna telepon seluler di Amerika. Salah satu hasil penelitian tersebut mengungkapkan bahwa 80 persen di antara mereka segera mengambil telepon seluler 15 menit setelah bangun tidur.

Semakin tergerusnya momen kesendirian menurut Harris dapat menggerogoti hal-hal yang cukup bernilai. Kesendirian bagi Harris menjadi tempat yang baik untuk lahirnya kreativitas, inovasi, dan pemikiran yang segar. Tengoklah para penemu seperti Einstein atau Newton. Momen kesendirian juga dapat menjadi pengantar bagi lahirnya pencerahan. Buddha, Yesus, juga Nabi Muhammad, tulis Harris, tiba pada titik transformatif kesadaran dan awal kepemimpinan sosialnya yang revolusioner setelah menjalani momen kesendirian.

Kesendirian dapat memperdalam pemahaman seseorang akan aspek interior dirinya. Tapi di sisi yang lain ia juga dapat memperkuat ikatan seseorang dengan orang lain. Kesendirian juga dapat membebaskan seseorang dari tekanan konformitas. Selain itu, kesendirian menyediakan ruang yang dibutuhkan seseorang untuk menemukan sumber terdalam gairah, kegembiraan, dan kepenuhan makna hidupnya.

Kehidupan zaman modern di era teknologi memang rawan menimbulkan depresi dan alienasi. Namun menurut Harris banyak orang salah paham. Mereka berpikir bahwa keterasingan harus diobati dengan berbaur seluas-luasnya—termasuk di media sosial. Bagi Harris, memaknai dan menggeluti kesendirian hingga mendalam justru menawarkan solusi bagi problem alienasi, yakni dengan cara mengajak individu untuk menemukan dan memperjuangkan sisi kehidupannya yang unik—itulah hidup yang autentik.

Harris juga mencontohkan salah satu momen kesendirian yang cukup klasik, yakni membaca. Mengutip Keith Oatley, profesor psikologi kognitif di University of Toronto, Harris menyatakan bahwa membaca dapat membantu seseorang untuk meningkatkan kemampuan berempati—kemampuan untuk menyingkirkan ego dan terlibat dengan posisi orang lain. Namun demikian, kepungan perangkat teknologi yang hiper-sosial membentuk budaya membaca yang baru.

Di era digital ini, pengalaman membaca akan sulit mendapatkan kepenuhan fungsinya, yakni untuk membaca mendalam dengan manfaat seperti yang dikemukakan Oatley. Mengutip Maryanne Wolf, neurosaintis dari Tufts University, Harris menulis bahwa membaca dengan gawai—bahkan meski kita mematikan fungsi notifikasi—adalah antitesis dari membaca secara mendalam.

Secara umum, buku ini menggambarkan tantangan manusia zaman now untuk menjadi manusia autentik. Penetrasi perangkat teknologi dalam kehidupan sehari-hari yang semakin menghilangkan momen kesendirian cenderung menyulitkan seseorang untuk keluar dari arus kerumunan karena semakin tumpulnya kemampuan reflektif yang dimilikinya. Lebih jauh, tanpa disadari ritme kehidupan individu perlahan semakin dikendalikan oleh aktor-aktor di balik layar berbagai perangkat teknologi itu yang pusatnya terutama adalah kepentingan pasar.

Buku ini bermakna penting sebagai pengingat bahwa momen kesendirian itu bukan hanya menyia-nyiakan waktu. Ia memuat nilai yang sangat kontekstual dengan tantangan zaman sekarang ketika era teknologi diam-diam dapat merenggut kebebasan dan mengantarkan manusia pada perbudakan akali terselubung.

Tulisan ini adalah naskah awal yang kemudian dimuat di Harian Jawa Pos, 21 Januari 2018.


Read More..

Jumat, 12 Agustus 2016

Marissa Mayer dan Misi Penyelamatan Yahoo


Judul buku: Marissa Mayer: Keputusan-Keputusan Kontroversial dan Misi Menyelamatkan Yahoo dari Kebangkrutan
Penulis: Nicholas Carlson
Penerbit: Bentang Pustaka, Yogyakarta
Cetakan: Pertama, Desember 2015
Tebal: 368 halaman
ISBN: 978-602-291-125-8


Sungguh tragis nasib Yahoo, pelopor mesin pencari dan portal web yang berpengaruh, saat pada 25 Juli lalu diakuisisi oleh Verizon, perusahaan telekomunikasi di Amerika Serikat. Yahoo yang merajai dunia internet pada dekade 1990-an akhirnya harus tenggelam.

Buku ini mengangkat kisah jatuh bangun salah satu sosok yang berusaha menyelamatkan Yahoo di detik-detik terakhirnya, yaitu Marissa Mayer, CEO Yahoo yang memimpin sejak Juli 2012 di tengah situasi bisnis Yahoo yang membutuhkan penyelamatan.

Sebelum menuturkan kiprah Mayer di Yahoo, Nicholas Carlson, yang menjadi koresponden utama Business Insider, memulai pemaparannya dari awal Yahoo didirikan oleh Jerry Yang dan David Filo pada 1994. Yang dan Filo adalah mahasiswa Stanford yang di awal era internet membuat direktori daftar laman yang mereka sukai.

Mulanya, laman itu bernama “David and Jerry’s Guide to the World Wide Web.” Ternyata laman buatan mereka ini disukai banyak orang. Pada September 1994, kala telah memuat dua ribu tautan, laman mereka mendapatkan kunjungan 50 ribu kali dalam sehari. Empat tahun setelah itu, keduanya menjadi miliarder dunia (hlm. 31-36).

Setelah sukses besar, mulai tahun 2000 Yahoo menghadapi masalah seiring dengan masa dot-com bust. Yahoo ketinggalan zaman. Bisnis periklanannya mundur. Demikian pula, fasilitas mesin pencarinya tak bisa menyaingi Google yang ironisnya pada 1997 pernah ditawarkan untuk dijual pada Yahoo (hlm. 58-70).

Mulai tahun 2000, Yahoo mengalami persaingan bisnis yang ketat. Kehadiran Google yang semakin besar, Microsoft yang membuat situasi kacau saat berusaha membeli Yahoo, dan juga Facebook, membuat citra internet yang pada awal popularitasnya identik dengan Yahoo kemudian berubah. Beberapa CEO sudah pernah berusaha mengatasi masalah Yahoo, mulai dari Terry Semel yang mantan pemimpin Warner Bros, hingga Carol Bartz yang sukses di Autodesk.

Marissa Mayer direkrut Yahoo sebagai CEO pada Juli 2012. Mayer memiliki pengalaman yang menarik, yakni 13 tahun bekerja di Google dengan banyak peran strategis. Saat baru direkrut, orang-orang di Yahoo penuh dengan optimisme. Beberapa karyawan memasang poster bertuliskan kata “HOPE” di dinding. Poster ini meniru gaya poster terkenal Barack Obama karya Shepard Fairey (hlm. 248).

Gebrakan pertama Mayer di Yahoo adalah membangun moral karyawan dengan membuat rapat mingguan yang dihadiri oleh semua karyawan purnawaktu Yahoo. Mayer ingin membangun kultur perusahaan yang transparan. Mayer ingin komunikasi antara karyawan dan eksekutif Yahoo menjadi lebih terbuka (hlm. 264).

Untuk membangun kultur produktif, Mayer melarang karyawan bekerja dari rumah. Tapi Mayer memberi fasilitas makan gratis di Yahoo. Alhasil, dalam satu tahun pertama, kepemimpinan Mayer memperlihatkan hasil yang cukup baik. Saham Yahoo naik 60,6 persen sejak Mayer bergabung. Dua puluh produk Yahoo diluncurkan, dan satu di antaranya, yakni Yahoo Weather, mendapatkan penghargaan desain dari Apple. Pada Mei 2013, sepuluh ribu lamaran kerja masuk ke Yahoo dalam satu pekan (hlm. 284).

Namun, selang beberapa bulan kemudian, Mayer menghadapi tugas berat. Sistem evaluasi kinerja karyawan yang dibawa Mayer dari Google sebagai solusi penolakannya untuk memecat ribuan karyawan saat baru memimpin ternyata perlahan bermasalah. Iklim kerja sama rusak. Karyawan menuntut perbaikan. Lain dari itu, pendapatan perusahaan tak mengalami pertumbuhan. Pangsa pasar pencarian menyusut cepat. Yahoo Mail mulai runtuh (hlm. 315).

Kisah Mayer dalam buku ini ditutup dengan kembalinya tantangan berat untuk penyelamatan Yahoo babak berikutnya. Namun, pembaca buku ini sekarang sudah mengetahui kelanjutan kisah Mayer dan Yahoo melalui headline berita baru-baru ini yang mewartakan akuisisi oleh Verizon dengan nilai 4,83 miliar dollar AS.

Buku ini mendokumentasikan kisah jatuh-bangun Yahoo dan peran penting Marissa Mayer. Selain kekuatan ide dan kemampuan manajerial individu, buku ini memperlihatkan kekuatan kultur kreatif perusahaan yang sangat dinamis dan pencarian ide kreatif-inovatif menghadapi persaingan bisnis yang sangat ketat. Namun demikian, pembaca buku ini sekarang dapat menilai betapa Yahoo mungkin telah terlambat untuk berinovasi.

Selain data yang sangat kaya, kelebihan buku ini terletak pada gaya tuturnya yang lincah dan nyaman dicerna. Gaya penulisannya yang bermodel naratif membuat pembaca tak sabar untuk menuntaskan kisah yang penuh inspirasi ini.


Tulisan ini dimuat di Kabar Madura, 10 Agustus 2016.


Read More..

Minggu, 24 April 2016

Nasionalisme Kaum Minoritas


Judul buku: Mencari Sila Kelima: Sebuah Surat Cinta untuk Indonesia
Penulis: Audrey Yu Jia Hui
Penerbit: Bentang Pustaka, Yogyakarta
Cetakan: Pertama, Oktober 2015
Tebal: xxiv + 162 halaman


Dalam konteks kehidupan kebangsaan, nasionalisme kadang menjadi konsep yang mengawang-awang. Hal ini di antaranya terjadi jika konsep nasionalisme itu tidak pernah direfleksikan dan didialogkan dengan kehidupan konkret para warga. Malah terkadang nasionalisme dijadikan pembenaran untuk tindakan yang melanggar hak individu.

Buku ini adalah suara warga tentang nasionalisme yang sangat patut didengar. Nilai penting buku ini bukan saja karena suara itu berasal dari kelompok minoritas dalam konteks kehidupan kebangsaan Indonesia, tetapi juga karena selama ini tidak banyak pembahasan tentang nasionalisme yang sifatnya reflektif dengan bertolak dari pengalaman konkret individu warga negara.

Penulis buku ini, Audrey Yu Jia Hui, adalah gadis keturunan Tionghoa dengan tingkat kecerdasan yang luar biasa. Ia menamatkan S-1 di Amerika Serikat pada usia 16 tahun dan pada saat berumur 10 tahun telah memecahkan rekor MURI untuk skor TOEFL 573.

Namun buku ini bukan tentang kegeniusan Audrey. Buku yang ditulis seperti surat ini menuturkan pengalaman keseharian Audrey yang direfleksikan dalam bingkai nasionalisme. Di antara hal yang direfleksikan adalah masih begitu banyaknya benih prasangka di antara berbagai kelompok masyarakat Indonesia sehingga pergaulan sosial mudah tersulut konflik.

Audrey yang dibesarkan dalam keluarga berkecukupan di Surabaya bercerita tentang prasangka terhadap asisten rumah tangga. Mereka dikesankan bodoh dan tak bisa dipercaya. Akibat prasangka, sisi kemanusiaan pada asisten rumah tangga itu sering tak terlihat, misalnya tentang perjuangan mereka untuk menghidupi keluarganya, kesulitan hidup yang mereka hadapi, dan sebagainya.

Audrey, yang kini bekerja di Changzhou, Tiongkok, bercerita tentang pengalamannya saat bertemu dengan para TKW di penerbangan Hongkong-Surabaya. Saat menyaksikan tingkah para TKW yang memalukan, Audrey merasa terdorong untuk memisahkan identitasnya dengan mereka: bahwa ia berbeda, dan karena itu tak perlu dipedulikan.

Pergulatan eksistensial semacam ini dirasakan Audrey sebagai ujian bagi nasionalisme dan rasa persaudaraannya sebagai sesama warga Indonesia. Dalam momen seperti ini, Audrey tertantang untuk tetap memperlakukan mereka sebagai tóng bāo, yakni sebagai orang yang “lahir dari rahim yang sama”, yakni Indonesia.

Tidak mudah untuk menghadapi prasangka seperti ini, bukan hanya karena prasangka itu begitu telah ditanamkan berulang-ulang tapi juga kadang didukung dengan pembenaran oleh para pemuka agama atau kasusnya beririsan dengan prasangka yang berlatar agama—selain juga prasangka berbasis etnis.

Rasa kebangsaan ini harus dipulihkan dengan pendidikan sejati. Pendidikan sejati akan mengembalikan hati nurani dan status primordial warga negara sebagai manusia. Selain itu, pendidikan sejati juga diharapkan dapat menumbuhkan kasih sayang di antara sesama warga, sebagaimana yang menjadi ruh dan inti pesan agama.

Pada bagian ini, Audrey memberi perbandingan dengan pengalamannya di Tiongkok. Di sana ia melihat proses pendidikan banyak digali dari khazanah lokal, seperti filosofi dan tradisi leluhur.

Audrey juga mengkritik sekolah-sekolah internasional di Indonesia yang menurutnya gagal membangun identitas kebangsaan. Bahkan, murid-murid di sana cenderung menyimpan sikap superior yang pada titik tertentu dapat mengikis rasa persaudaraan kebangsaan.

Sementara itu, di sisi lain, negara tampak gagal membangun identitas dan persaudaraan di antara sesama warga. Padahal Indonesia memiliki filosofi kebangsaan yang luar biasa, yakni Pancasila. Sayangnya, dalam kehidupan sehari-hari, banyak pengurus publik yang justru sering mempertunjukkan sikap yang bertentangan dengan Pancasila. Bentuknya banyak yang berupa ketimpangan dan absennya keadilan sosial dalam kehidupan nyata sehari-hari.

Selain sebagai refleksi kebangsaan, buku ini memperlihatkan tantangan kebangsaan Indonesia di hari depan. Dalam tatanan dunia yang semakin menyatu, Audrey menunjukkan generasi muda bangsa yang mengalami kegalauan dalam merumuskan identitas kebangsaan. Jika semua tinggal diam, ini akan menjadi ancaman serius bagi masa depan Indonesia.

Buku ini adalah panggilan yang tulus kepada seluruh elemen bangsa untuk lebih membumikan Pancasila.


Tulisan ini dimuat di Harian Radar Madura, 24 April 2016.


Read More..

Minggu, 19 Juli 2015

Meneropong Realitas yang Timpang


Judul buku: Gelandangan di Kampung Sendiri: Pengaduan Orang-Orang Pinggiran
Penulis: Emha Ainun Nadjib
Penerbit: Bentang Pustaka, Yogyakarta
Cetakan: Pertama, Maret 2015
Tebal: viii + 288 halaman
ISBN: 978-602-291-078-7


Kenyataan hidup sehari-hari sering tampil sebagai sesuatu yang biasa. Akibatnya, sering kali kepekaan kita tumpul dan tak bisa menangkap pesan hidup di balik sebuah peristiwa. Akhirnya hidup ini menjadi jalinan arus yang hambar sehingga dalam bahasa Sokrates menjadi hidup yang tak layak dijalani karena tanpa refleksi.

Esai-esai budayawan kondang Emha Ainun Nadjib yang terkumpul dalam buku ini mengajak pembaca untuk merefleksikan kenyataan hidup sehari-hari. Yang menarik, refleksi Emha terfokus pada kisah-kisah hidup orang-orang pinggiran. Di halaman persembahan buku ini, secara eksplisit Emha menyebut “orang-orang yang dianiaya,” “orang-orang yang ditindas,” “orang-orang yang dirampas kemerdekaannya,” dan “orang-orang yang dimiskinkan”.

Penyebutan Emha ini jelas merupakan sebentuk keberpihakan yang sifatnya cukup ideologis. Artinya, dalam meneropong kenyataan hidup yang timpang, Emha berada di pihak mereka yang terpinggirkan itu. Pihak yang terpinggirkan kerap tak memiliki saluran untuk menyatakan diri di ruang publik sehingga Emha kemudian seperti menjadi juru bicara untuk mereka.

Contohnya seperti kisah para pedagang di pasar yang diancam secara samar oleh seorang pejabat lantaran proses pembongkaran dan renovasi pasar. Emha menampilkan dialog orang-orang kecil yang resah dan merasa tak dihargai itu. Di sebuah bagian, Emha menulis bahwa mereka bukannya tidak setuju, tapi hanya ingin diajak berunding, diakui dan dihargai bahwa mereka juga adalah subjek utama pembangunan.

Esai-esai dalam buku ini memang ditulis pada paruh pertama dekade 1990-an, saat pemerintah Orde Baru nyaris sepenuhnya tak memberi ruang kritis dan ruang partisipasi masyarakat dalam proses politik dan pembangunan. Kisah pedagang pasar di atas cukup sering terjadi tapi tak ada media yang siap mengangkat isu ini secara terang-terangan.

Lebih dari sekadar menyajikan ironi pembangunan, Emha memberikan refleksi sederhana yang cukup tajam dan mendasar. Misalnya terkait kasus pembangunan Kedung Ombo, Jawa Tengah, yang mendapat penolakan dari warga namun akhirnya diresmikan pada tahun 1991. Seperti pedagang pasar, warga sebenarnya bukan hendak membangkang dan melawan program pembangunan yang dicanangkan pemerintah. Mereka hanya menuntut keadilan. Tapi, tulis Emha, apakah untuk menuntut keadilan warga akhirnya harus mendapat cap sebagai “melawan konstitusi”?

Perlawanan memang identik dengan orang-orang pinggiran, termasuk di antaranya kaum buruh. Masalahnya, pemerintah Orde Baru ketika itu kemudian terbiasa memberi stigma negatif kepada para buruh yang sering memprotes ketidakadilan yang dialaminya dengan menyebut mereka sebagai “komunis”. Padahal, tulis Emha, tak harus menjadi komunis untuk memprotes ketidakadilan.

Namun Emha tak hanya berhenti di sini. Emha mengajak pembaca untuk menelaah lebih mendalam. Jika isu buruh dalam konteks internasional memang cukup identik dengan komunis, Emha mengusik kita untuk melihat kenyatan kaum buruh di negara-negara komunis yang ketika itu justru ditindas penguasa. Malah kaum buruh di negara kapitalis cenderung berjaya.

Selain berangkat dari hasil pengamatan, Emha juga menulis esai-esainya berdasarkan pengaduan baik secara langsung maupun melalui surat. Pada tahun 1992 Emha misalnya pernah menerima surat dari seorang pendeta di Nusa Tenggara Timur yang menyampaikan keresahannya akibat proyek hutan tanaman industri yang menggusur hutan adat dan padang ternak warga dan jemaatnya. Mereka sudah mengadu kepada aparat, tapi hasilnya nihil dan tak memuaskan.

Emha juga menulis beberapa esai tentang kasus mutilasi di Probolinggo tahun 1992 yang membuat geger. Mbah Jiwo, seorang nenek, memutilasi cucunya sendiri. Badan cucunya itu diiris-iris menjadi 79 bagian. Sebagian kabarnya dijadikan bahan membuat rawon. Orang-orang terkejut, juga mengecam. Atas peristiwa ini, Emha mengemukakan refleksi menarik. Kalau orang-orang terkejut dengan sadisme Mbah Jiwo dan menganggap Mbah Jiwo sebagai orang yang tak normal, mengapa banyak masyarakat memandang biasa realitas yang sebenarnya juga tak biasa dan bahkan mungkin juga termasuk sadis?

Emha menyebut seorang ibu di pasar yang bekerja mulai tengah malam hingga esok sorenya hanya untuk seribu-dua ribu rupiah, sementara di sebuah kantor ada orang yang hanya duduk-duduk digaji ratusan juta rupiah. Apakah ini bukan sadisme dalam mekanisme perekonomian kita?

Di tengah berbagai fenomena ketimpangan sosial dan ketidakadilan itu, memang ada para pemuda yang tampak peduli misalnya dengan menggelar demonstrasi. Namun, atas fenomena seperti ini, Emha memberi catatan kritis. Emha khawatir mereka yang “hobi” demonstrasi itu “lebih berorientasi kepada keasyikan memprotes daripada pencarian jalan keluar”.

Meskipun esai-esai dalam buku ini ditulis lebih 20 tahun lalu tapi kekuatan refleksi dan relevansinya tetap cukup kuat. Esai-esai dalam buku ini tidak saja menghadirkan suara orang yang terpinggirkan, tapi juga memuat refleksi kritis terkait isu pembangunan dan kehidupan sosial pada umumnya.

Bukankah ketimpangan sosial yang menuntut perhatian pemerintah dan semua unsur masyarakat hingga ini masih menjadi masalah serius bagi bangsa ini? Bukankah masih banyak masyarakat kita yang menjadi gelandangan di kampung sendiri? Demikian juga masalah pembangunan kadang juga masih berbenturan dengan aspirasi masyarakat, seperti dalam kasus pembangunan semen di Rembang, Jawa Tengah.

Kekuatan esai-esai Emha ada pada sudut pandangnya yang kritis, reflektif, dan tak biasa sehingga dapat menghadirkan kenyataan hidup yang timpang dengan lebih menggugah. Perspektif Emha dalam esai-esainya menghidupkan kepekaan kemanusiaan kita yang mendasar sehingga juga menggiring kita untuk berbuat sesuatu demi mengatasi berbagai realitas timpang itu meski dengan cara yang sederhana.


Tulisan ini dimuat di Harian Jawa Pos, 19 Juli 2015.


Read More..

Selasa, 31 Januari 2012

Memaknai Nasionalisme dengan Keliling Nusantara

Judul buku : Meraba Indonesia: Ekspedisi “Gila” Keliling Nusantara
Penulis : Ahmad Yunus
Penerbit : Serambi, Jakarta
Cetakan : Pertama, Juli 2011
Tebal : 372 halaman

Banyak penulis menyatakan bahwa perjalanan merupakan lumbung inspirasi. Di tangan seorang penulis, perjumpaan dengan orang-orang dan kenyataan yang ditemui sepanjang perjalanan bisa memantik ide-ide yang terpendam untuk muncul ke permukaan.

Dari sudut pandang seperti inilah kita bisa memulai mencerna buku yang ditulis oleh Ahmad Yunus ini. Yunus, seorang jurnalis, melalui buku ini menuliskan catatan perjalanannya selama hampir setahun keliling nusantara. Yang menarik, sebagai pengembara, sebelum memulai perjalanannya, Yunus telah menegaskan sudut pandangnya, yakni bahwa ia ingin bisa lebih menjiwai makna nasionalisme. Karena itu, ia, bersama rekan seperjalanannya yang juga seorang jurnalis, Farid Gaban, menyebut perjalanannya ini sebagai Ekspedisi Zamrud Khatulistiwa.

Seperti Farid Gaban, Yunus dibesarkan sebagai anak gunung. Keduanya tak akrab dengan laut. Sedang Indonesia adalah bentangan negeri kepulauan yang memiliki lebih dari tujuh belas ribu pulau. Demi meneguhkan kecintaannya akan tanah air Indonesia, keduanya lalu menyusun rencana gila: keliling nusantara dengan sepeda motor.

Misi ekspedisi ini adalah untuk mengenal Indonesia lebih dekat dengan terutama mengelilingi pulau-pulau terluar nusantara serta merekam berbagai potret kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia di sana. Di sini, tampak jelas bahwa Yunus ingin memaknai nasionalisme dengan kategori objektif, yakni dengan melihat secara langsung pengalaman orang-orang biasa menjalani kehidupannya dalam bingkai kebangsaan Indonesia.

Perjalanan Yunus bersama Farid Gaban dimulai pada awal Juni 2009 dari Jakarta, bergerak ke arah Sumatera hingga Sabang, terus melintas kepulauan di Selat Malaka hingga Kalimantan, Sulawesi, Ambon, Papua, Nusa Tenggara, dan terus ke arah barat hingga tiba kembali di Jakarta. Melalui rute ini, tercatat 80 pulau telah disinggahi.

Secara umum, Yunus menemukan dua hal sepanjang penjelajahannya dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas hingga Rote. Pertama, Yunus menemukan kekayaan dan keindahan alam nusantara yang luar biasa. Dalam buku ini, ditampilkan beberapa foto hasil jepretan Farid Gaban, di samping bonus DVD yang menampilkan ringkasan alur perjalanan ekspedisi ini. Namun demikian, Yunus dalam buku ini juga mempersaksikan berbagai ironi yang dialami masyarakat Indonesia. Ironi itu dapat berupa kekayaan dan keindahan alam yang dieksploitasi oleh segelintir orang, kesejahteraan masyarakat yang terhalang oleh kebijakan publik yang tak berpihak, atau “pengkhianatan” para aparat atas amanat kebangsaan yang mereka pikul.

Di sepanjang perjalanan, Yunus menjadi saksi atas jurang ketimpangan antara kondisi masyarakat di Pulau Jawa dan luar Jawa. Mulai menginjakkan kaki di daerah Lampung, tepatnya di Teluk Kiluan, Yunus sudah menjumpai perkampungan yang tak mendapat jaringan listrik. Jalanannya berbatu sehingga ketika hujan medannya menjadi semakin berat.

Di Pulau Enggano, Bengkulu, kondisinya tak jauh berbeda. Fasilitas publik sungguh mengenaskan. Rumah sakit di pulau yang dihuni sekitar 2.600 jiwa ini terlantar. Padahal pulau ini ke Bengkulu berjarak 156 kilometer. Bandara yang dijanjikan dibangun terbengkalai.

Sementara itu, di Kepulauan Mentawai, Yunus menyaksikan eksploitasi hutan yang sudah berlangsung sejak era Orde Baru yang menyebabkan kerusakan lingkungan dan ekosistem kepulauan. Air laut menjadi keruh. Hutan bakau rusak, dan terumbu karang juga rusak. Kerusakan ekosistem juga terlihat dalam perjalanan Yunus di Kalimantan, mulai dari hutan yang terus ditebangi dan juga terbakar, perdagangan satwa liar, atau nasib Sungai Kapuas yang menyedihkan.

Di antara pengalaman yang cukup mengenaskan adalah kisah perompak di kawasan Selat Malaka. Dalam perjalanan dari Dumai ke Batam, kapal sayur yang ditumpangi Yunus empat kali dicegat petugas patroli (polisi laut). Ternyata mereka ini memalak kapal yang ditumpanginya, masing-masing dibayar antara 150-200 ribu rupiah. “Merekalah bajak laut yang diberi wewenang oleh negara,” tulis Yunus geram. Ironi ini semakin bertambah saat Yunus juga melihat bagaimana penyelundupan berlangsung di kawasan yang menjadi etalase pembangunan ekonomi nasional ini.

Perjalanan Yunus bersama Farid Gaban yang pembiayaannya secara swadaya ini banyak yang ditempuh dengan menggunakan jalur laut sehingga keduanya dapat merasakan secara langsung kondisi transportasi laut di berbagai daerah di nusantara. Secara umum, Yunus menulis bahwa negara tak berhasil menyediakan angkutan laut yang nyaman dan bersih. Berulang kali Yunus merasakan aneka ketidaknyamanan jalur laut, mulai dari sanitasi, makanan, hingga tempat istirahat yang layak dan manusiawi. Sayangnya, media massa sangat kurang mengangkat soal ini ke permukaan. Padahal, ini adalah isu publik yang menyangkut kehidupan banyak orang.

Buruknya transportasi laut ini sangat terasa bagi masyarakat kepulauan. Beban hidup mereka bertambah berat sehingga mereka kesulitan meningkatkan taraf kehidupan mereka. Mereka sering dicekik oleh harga bahan bakar yang melambung. Di Kepulauan Ayau Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat, ada masyarakat yang perlu bensin 200 liter untuk ke Sorong, sedang harga per liternya mencapai dua belas ribu rupiah.

Selain memotret kehidupan masyarakat, dalam ekspedisi ini Yunus juga singgah di tempat-tempat bersejarah, seperti pengasingan Soekarno di Ende, pengasingan Hatta dan Sjahrir di Banda Neira, dan sebagainya. Memang, dalam buku ini Yunus juga banyak melengkapi penuturannya dengan data-data sejarah sehingga memperkuat refleksinya dalam melihat kehidupan masyarakat dalam kerangka kehidupan berbangsa.

Narasi Ahmad Yunus yang cukup lincah dalam buku ini akan sangat bernilai jika kita menempatkannya sebagai upaya seorang warga negara Indonesia dalam menemukan makna kehidupan kebangsaan yang nyata. Ini dilakukan ketika nasionalisme sering kali hanya dimunculkan sebagai jargon politik yang kering dan cenderung menipu. Juga ketika kebijakan pemerintah kurang mampu mempertimbangkan situasi sosial-ekonomi masyarakat yang nyata, seperti kondisi di luar Jawa.

Yunus menulis bahwa ini adalah cara sederhana mencintai Indonesia. Dalam hal ini, Yunus menunjukkan cintanya dengan berusaha untuk lebih dekat, sambil menyimak, melihat dengan cermat, serta berempati dengan kehidupan masyarakat biasa seantero nusantara.

Inilah yang patut diteladani oleh para pemimpin dan pemegang amanat kebangsaan di negeri ini. Kita menyaksikan bahwa belakangan para pemimpin negeri ini cenderung terkesan jauh dan berjarak dengan rakyat. Bahkan mungkin tak mengetahui masalah yang dihadapi masyarakat, sehingga kebijakan yang diambilnya tak sejalan atau tak memberi solusi bagi masalah tersebut. Tentu para pemimpin kita itu tak harus keliling nusantara. Tapi buku ini memberi perspektif menarik yang tampaknya sudah mulai dilupakan oleh para pemimpin kita: bahwa menjadi pemimpin itu harus berusaha lebih dekat dan mendengar suara rakyat.

Secara tidak langsung, buku ini juga adalah semacam ajakan kepada seluruh warga negara Indonesia untuk mencoba belajar mengenali negerinya yang kaya dan indah dengan lebih baik. Dalam skala yang lebih kecil, mengenali secara lebih utuh dan mendalam lingkungan masyarakat kita adalah sebuah cara yang baik untuk menjadi titik tolak penghayatan atas kehidupan kebangsaan dan bermasyarakat. Selanjutnya, dari pengenalan yang lebih dekat itu, akan semakin benderanglah tantangan dan agenda yang harus dipikirkan dan dicarikan jawaban konkretnya.

Pada akhirnya, buku ini menghadirkan tantangan bagi kita semua untuk bersama-sama membangun semangat kebangsaan dalam wujud yang lebih nyata, sehingga nilai-nilai dasar kebangsaan yang dirumuskan oleh para pendiri republik ini dapat terwujud.

Sayangnya, buku yang memaparkan kisah menarik dan inspiratif ini tampaknya kurang disiapkan dengan cukup matang, terutama dari segi penyuntingannya, sehingga di beberapa bagian pembaca mungkin akan merasa kurang nyaman menikmati kisah petualangan keliling nusantara ini.

Read More..

Sabtu, 12 April 2008

Ganti Hati dan Renungan Menjemput Mati

Judul buku : Ganti Hati
Penulis : Dahlan Iskan
Penerbit : JP Books, Surabaya
Cetakan : Pertama, Oktober 2007
Tebal : viii + 328 halaman


Saat pertama kali dimuat secara bersambung di Harian Jawa Pos bulan Ramadan lalu, saya tak terlalu tertarik untuk membaca tulisan Dahlan Iskan bertajuk Ganti Hati. Lagi pula, Ramadan lalu, setiap pagi, saya punya jadwal yang cukup padat sehingga saya hanya melihat-lihat headline Jawa Pos, dan membaca berita sekadarnya.

Saya baru tertarik untuk membaca buku Ganti Hati ketika saya berjumpa dengan sahabat saya di Jakarta, di sebuah acara di akhir November tahun lalu. Di sela-sela acara yang kami ikuti, teman saya yang populer dipanggil Pak Guru itu mengajak saya untuk berkunjung ke Ibu Listiana Srisanti, kepala editor fiksi Gramedia. Di sana, Pak Guru—yang nama aslinya J Sumardianta dan mengajar di SMU Kolese de Britto Yogyakarta—memperlihatkan dan bercerita buku Ganti Hati yang baru dibacanya.

Sepulang dari Jakarta, saya sempatkan membeli buku Ganti Hati itu di sebuah toko buku di Surabaya. Beberapa hari kemudian, saya membaca buku itu. Tak genap dua hari saya melahap buku setebal 300-an halaman itu (teman saya yang meminjamnya kemudian menuntaskannya tak lebih dari 7 jam!). Dan ternyata Pak Guru tak salah: Ganti Hati memang buku bagus.

Buku Ganti Hati pada dasarnya adalah semacam catatan harian Dahlan Iskan yang menceritakan pengalamannya di sekitar operasi ganti hati yang dijalaninya di sebuah rumah sakit terkemuka di Tianjin, Tiongkok. Dasar seorang wartawan, Dahlan merekam semua pengalamannya itu dengan cukup terperinci untuk kemudian disajikan dalam sebuah tulisan berseri selama 32 hari.

Karena keluasan wawasan dan pengalaman yang dimilikinya, selain mungkin juga karena teknik penulisannya yang cukup mengalir dan pintar mengelola alur, maka buku Ganti Hati ini kemudian menjadi lebih dari sekadar catatan pengalaman cangkok hati. Ia juga bisa bergerak ke sana kemari: bercerita tentang lika-liku kehidupan Dahlan yang kemudian mengantarkannya pada kesuksesan bisnis yang diraihnya saat ini, mengkritik berbagai fenomena sosial-politik, atau juga mengantar pada perenungan hidup yang mendalam di sekitar—meminjam istilahnya Pak Guru—zona sakaratul maut.

Dahlan menjalani operasi ganti hati karena livernya sudah rusak. Ada tiga kanker yang sudah berbiak dalam livernya itu, selain dua calon kanker yang lain yang siap bersarang. Secara medis, fungsi liver Dahlan sudah nyaris tak berfungsi karena mengalami sirosis. Kadar albuminnya juga rendah, yakni 2,7 (normalnya 3,2), selama lebih dari 10 tahun, sehingga Dahlan susah berkeringat dan sulit buang air kecil.

Liver Dahlan rusak akibat virus hepatitis B yang tak dapat diatasi. Karena sudah rutin disuntik, Dahlan mengira hepatitisnya sudah beres. Tapi ternyata tidak demikian. Dahlan baru sadar bahwa virus hepatitis yang mendekam dalam tubuhnya ternyata telah nyaris mengancam nyawanya pada Mei 2005, ketika dalam waktu delapan hari ia terbang ke 19 kota. Setibanya dari perjalanan maraton itu, Dahlan muntah darah di Surabaya.

Sadar bahwa penyakitnya cukup serius, Dahlan pun berobat dan berkonsultasi dengan dokter, yang akhirnya menuntunnya pada keputusan untuk melakukan operasi ganti hati. Mengapa di Tiongkok? Dalam sebuah liputan di Majalah Tempo Dahlan menjelaskan bahwa dia memilih Tiongkok karena di sana tingkat kecelakaan lalu-lintas cukup tinggi, yakni 300 orang setiap hari (sebagian pasti meninggal), sehingga kemungkinan untuk mendapatkan hati yang cocok lebih besar daripada di Singapura, misalnya—di Singapura, bisa-bisa Dahlan harus antre 10 tahun! Di Tiongkok, Dahlan menjalani operasi di Rumah Sakit Yi Zhong Xin Yi Yuan, di Tianjin. Dokter yang memimpin operasinya bernama Shen Zhong Yang. Dokter berumur 52 tahun ini sudah melakukan operasi cangkok liver lebih dari 800 kali dan mencatat berbagai rekor cangkok liver.

Dengan kepekaan insting kewartawanannya, Dahlan mencatat detik-detik proses operasi dan hal-hal penting lainnya dengan cermat, dan kemudian dituturkan dengan baik. Akan tetapi, dalam buku ini Dahlan tidak hanya bercerita aspek medis dan teknis dari operasi ganti hati yang mengharuskannya untuk dibius selama 18 jam di awal Agustus 2007 lalu. Dahlan juga menghadirkan refleksi mendalam tentang makna kesederhanaan, kesyukuran atas nikmat hidup dan kesehatan, penanganan kesehatan masyarakat oleh negara, kaitan ilmu (kedokteran) dan agama, dan sebagainya.

Salah satu yang cukup menarik adalah ketika Dahlan membandingkan keberhasilan proses operasi yang dijalaninya dengan operasi yang dijalani Nurcholish Madjid yang gagal, sehingga ketika meninggal wajah Cak Nur menghitam. Pada saat itu ada pihak-pihak yang berbicara di media mencoba menghubungkan wajah Cak Nur yang menghitam itu dengan kemurkaan Tuhan yang dikaitkan dengan almarhum Cak Nur. Dalam salah satu bagian buku ini, Dahlan membongkar mitos tak berdasar dan kadang terkesan mengada-ada itu. Dahlan menjelaskan bahwa secara medis penderita sirosis akan mengalami wajah yang menghitam. Jadi, wajah menghitam saat meninggal itu belum tentu karena kemurkaan Tuhan. Yang pasti, menurut ilmu kedokteran, karena sirosis.

Membaca utuh Ganti Hati pada akhirnya akan mengantarkan kita pada satu kesimpulan besar betapa nikmat kesehatan yang kita miliki sungguh amat mahal harganya. Ironisnya, kebanyakan kita jarang sekali memberi harga yang tepat untuk nikmat kesehatan kita itu. Sering kali kesadaran kita akan nikmat kesehatan itu baru muncul saat kita tak lagi sehat dan tak berdaya. Refleksi Dahlan di zona sakaratul maut ini menyimpan banyak hikmah yang dalam yang semakin menyadarkan kita akan makna hidup yang bergulir menuju kematian, untuk kemudian masuk ke alam keabadian.

Read More..

Selasa, 21 Maret 2006

Satir Hidup tentang Popularitas


Judul buku : Heavier Than Heaven: Biografi Kurt Cobain
Penulis : Charles R. Cross
Penerbit : Alinea, Yogyakarta
Cetakan : Pertama, November 2005
Tebal : x + 540 halaman


Popularitas menjadi impian hidup yang jamak menghinggapi kalangan muda yang menghirup udara awal milenia ketiga. Jika kesuksesan dapat didefinisikan, popularitas termasuk ke dalam salah satu ciri utamanya. Belakangan ini, di berbagai stasiun televisi kita gencar sekali disajikan tayangan-tayangan semacam reality show yang memikat kalangan muda dengan janji pemenuhan obsesi popularitas mereka.

Tak banyak orang yang berpikir tentang sisi gelap popularitas. Popularitas terlalu sering diidentikkan dengan tahap pencapaian yang memungkinkan seseorang dapat menikmati hidup dengan segala kemudahan dan kenyamanannya.

Kisah hidup Kurt Cobain—vokalis kelompok Nirvana yang oleh majalah Rolling Stones dimasukkan ke dalam kategori 50 artis terbaik sepanjang masa—yang berakhir dengan tragedi bunuh diri dan dipaparkan dengan baik dalam buku ini dari cara pandang tertentu menunjukkan kepada kita betapa popularitas ternyata juga menyimpan sisi-sisi kelam yang kadang terasa absurd. Dengan cara pandang semacam ini, kita akan semakin mengerti bahwa para idola termasyhur yang dipuja-puja itu juga tak lebih dari manusia biasa.

Kurt Cobain lahir di Aberdeen, sebuah kota yang khas dengan industri penggergajian di negara bagian Washington, 20 Februari 1967. Sejak kecil ia sudah memperlihatkan berbagai bakat dan kecerdasannya, baik di bidang olahraga maupun seni. Kurt masuk dan berperan besar dalam tim bisbol dan gulat di sekolah. Dia juga sangat menyukai pelajaran seni dan senang melukis.

Tapi kehidupan Kurt dalam keluarganya begitu suram, terutama sejak perceraian kedua orang tuanya ketika dia berusia sembilan tahun. Peristiwa ini menjadi bencana emosional terbesar dalam hidupnya. Kurt jadi membenci kedua orang tuanya. Apalagi ketika ayahnya menikah lagi dan ibunya berpacaran dengan pemuda yang umurnya hanya 7 tahun lebih tua darinya. Peristiwa ini mengubah Kurt menjadi sosok pemurung, tertutup, dan berandal. Kurt kemudian mulai berkenalan dengan dunia obat-obatan hingga akhirnya putus sekolah.

Jalan menuju popularitas Kurt di jalur musik juga tak mudah diraih. Di masa-masa awal sebelum sukses, Kurt bersama personel Nirvana lainnya kadang harus menempuh jarak ratusan hingga ribuan mil untuk melangsungkan konser promosi album pertamanya, Bleach. Penontonnya pun kadang cuma 20 atau belasan orang. Bayarannya hanya cukup untuk mengganti bensin.

Tapi semua perjuangan keras Kurt terbayar ketika album kedua Nirvana, Nevermind, hadir dengan hentakan dahsyat sehingga menggoncang peta musik internasional. Album yang dirilis September 1991 itu dengan cepat berhasil bertengger di puncak teratas tangga lagu Billboard, menggeser Dangerous-nya Michael Jackson. Seiring dengan itu pula, popularitas Kurt dan Nirvana mencuat luar biasa.

Pada titik inilah kemudian pelan-pelan mulai terlihat sisi-sisi suram popularitas sebagaimana dialami Kurt. Sikap dan gaya hidup Kurt yang memang penuh kontradiksi dan kontroversi, keterlibatannya dengan dunia narkoba, yang menurut pengakuan Kurt juga dipicu oleh penyakit perut yang dideritanya sejak lama, serta kisah kehidupan keluarganya dengan Courtney Love, semua menjadi bahan menarik untuk diangkat media. Pemberitaan dari tabloid The Globe dan majalah Vanity Fair tak lama setelah kelahiran anaknya, Frances, misalnya, bagi Kurt dan istrinya tampak seperti penghakiman bahwa keduanya tak berhak mengasuh anaknya itu, dengan mengabaikan kenyataan bahwa Frances lahir dengan sehat. Karena itulah, pada tingkat tertentu, Kurt kadang mengalami semacam paranoid terhadap media, khawatir bila ternyata apa yang diberitakan tentangnya justru sesuatu yang tak ia sukai—entah itu karena berupa fitnah maupun semacamnya.

Rasa putus asa dalam mengatasi problem kecanduannya serta untuk memperbaiki kehidupan keluarganya, baik dalam relasinya dengan kedua orang tuanya maupun keluarganya sendiri, mengantarkan Kurt pada satu kondisi depresi yang luar biasa. Akhirnya, di awal April 1994, Kurt ditemukan bunuh diri di rumahnya dengan meledakkan kepalanya sambil mengkonsumsi obat-obatan, setelah beberapa hari sebelumnya kabur dari rumah sakit di Los Angeles tempat ia dirawat untuk mengatasi kecanduannya.

Meninggalnya Kurt akibat bunuh diri ini menambah daftar panjang para artis dan orang-orang ternama lainnya yang mengakhiri hidupnya dengan cara yang tragis itu. Sebelumnya tercatat nama Jim Morrison, Jimi Hendrix, dan Janis Joplin, para musisi yang secara kebetulan sama-sama meninggal di usia 27 tahun—seperti juga Kurt.

Charles R Cross menyajikan kisah hidup Kurt Cobain dalam buku ini dengan cukup detail dan komprehensif. Dengan dibagi ke dalam dua puluh empat bab, Cross mengimbuhkan catatan keterangan waktu dan tempat di tiap awal bab, sehingga pembaca akan cukup mudah menelusuri alur hidup Kurt. Cross, yang menjadi editor di majalah musik The Rocket ini, cukup berhasil memperlihatkan berbagai segi manusiawi Kurt, seorang artis terkemuka yang gema pengaruhnya hingga kini masih terasa, terutama di kalangan muda. Segi-segi manusiawi yang penuh lika-liku dari jejak kehidupan Kurt disampaikan dengan keahlian bertutur yang indah dan menawan; tentang perjuangan Kurt yang berkreasi dengan penuh kerja keras di dunia musik, bagaimana karya-karya musiknya itu lahir, Kurt kecil dan remaja yang merasa terabaikan dan terbuang di keluarganya, Kurt yang merasa dieksploitasi oleh media dan para penggemarnya, serta hubungan-hubungan kemanusiaan yang rumit antara Kurt dengan orang di sekelilingnya. Cross cukup berhasil menuturkan semua itu dengan keterlibatan emosi yang mendalam, sehingga pembaca buku ini dapat berempati dan masuk ke relung suasana setiap peristiwa.

Kelebihan utama buku ini lebih terlihat karena Cross berhasil menghimpun dan mengolah segudang data yang cukup berharga tentang kehidupan Kurt itu sendiri. Cross dalam buku ini tidak sedang bergosip atau sekadar menyajikan isu-isu murahan tak berdasar tentang kehidupan Kurt. Empat ratus wawancara dengan berbagai pihak yang terlibat dengan kehidupan pribadi dan karier Kurt di dunia musik dilakukan Cross selama sekitar empat tahun. Belum lagi berbagai arsip dan dokumen penting berkaitan dengan Kurt yang ditelusuri Cross, seperti catatan medis dan kepolisian, serta catatan harian yang ditulis Kurt sendiri. Kegigihan menelisik dan mengolah data inilah yang sebenarnya memang sangat dibutuhkan seseorang dalam menulis sebuah buku berjenis biografi, karena hanya dengan begitu sebuah buku biografi akan dapat tampil bertenaga dan tersaji secara baik—seperti buku ini.

Meski diterjemahkan secara keroyokan oleh tiga orang, buku ini cukup enak dibaca. Pilihan kata dan strukturnya sengaja dibuat lebih populer, sehingga dalam dialog-dialognya kita akan banyak menjumpai kata-kata yang tidak baku, seperti “kalo”, “ancur”, dan sebagainya. Beberapa ungkapan bahasa Inggris yang dalam konteks Indonesia saat ini juga sedang populer dan sering digunakan sehari-hari, seperti ungkapan “so what?”, oleh penerjemahnya tetap dibiarkan dalam bahasa Inggris. Dengan cara ini, suasana dan karakter tokoh-tokoh di buku ini, yang kebanyakan memang anak muda, menjadi lebih kental terasa.


* Tulisan ini dimuat di Harian Media Indonesia, Sabtu, 8 April 2006


Read More..

Sabtu, 21 Januari 2006

Perspektif Cinta dalam Mendidik Anak-Anak

Judul buku‭ ‬:‭ ‬Rumah Cinta Penuh Warna:‭ ‬Catatan Kebahagiaan Mendidik Buah Hati
Penulis‭ ‬:‭ ‬Asma Nadia dan Isa
Penerbit ‬:‭ ‬Qanita,‭ ‬Bandung
Cetakan ‬:‭ ‬Pertama,‭ ‬September‭ ‬2005
Tebal‭ :‭ ‬168‭ ‬halaman



Selain berbagai tindak kekerasan,‭ ‬saat ini dunia anak-anak kita dikepung dengan berbagai bentuk serbuan dan tekanan sosial-budaya yang dapat membuatnya kehilangan masa depan yang cerah.‭ ‬Beberapa kasus anak-anak bunuh diri yang belakangan cukup sering diberitakan di media misalnya menunjukkan bagaimana anak-anak menghadapi tekanan sosial yang hebat di sekolah atau komunitasnya sehingga kemudian dapat memilih jalan keluar yang cukup tragis itu.‭ ‬Penelitian Organisasi Buruh Internasional‭ (‬ILO‭) ‬Jakarta mengungkapkan bahwa di Jakarta anak-anak saat ini sudah mulai tak asing dengan dunia narkoba.‭ ‬Anak-anak bahkan juga terlibat dalam proses produksi dan distribusi narkoba‭ (‬Kompas,‭ ‬13/07/2005‭)‬.

Lalu di manakah keluarga,‭ ‬tempat anak-anak berbagi masalah dan ruang menempa kepribadiannya‭? ‬Sulit dibantah bahwa institusi keluarga saat ini tengah menghadapi krisis yang membuatnya kehilangan fungsi sosial untuk mendidik dan menanamkan nilai-nilai dasar kemanusiaan dan kedewasaan kepada anak-anak.‭ ‬Apakah saat ini para orangtua telah terlalu sibuk bekerja dan beraktivitas,‭ ‬lalu nyaris sepenuhnya memercayakan pendidikan anak-anaknya pada‭ ‬baby sitter,‭ ‬sekolah,‭ ‬atau bahkan televisi‭? ‬Apakah para orangtua saat ini juga sudah cukup yakin bahwa pola relasi dan pendekatan pendidikan yang mereka terapkan sudah cukup memberi ruang bagi anak-anak mereka untuk dapat merasakan nuansa cinta yang penuh warna dalam rumah mereka‭?

Salah satu simpul solusi dari persoalan dunia anak yang rentan dan rapuhnya fungsi institusi keluarga saat ini adalah dengan memberdayakan sekaligus menciptakan kehangatan di lingkungan keluarga itu sendiri.‭ ‬Atas hal ini,‭ ‬sebenarnya sudah cukup banyak buku yang mencoba memberikan kiat-kiat ataupun penjelasan yang lebih bersifat teoretis tentang mendidik anak dalam keluarga,‭ ‬menjadi orangtua yang baik,‭ ‬mencipta keluarga yang kompak,‭ ‬atau semacamnya.

Keunikan buku ini mengemuka karena ia menyajikan pengalaman sehari-hari dalam keluarga yang dituturkan dengan cukup sederhana.‭ ‬Pasangan muda Asma Nadia dan Isa dalam buku ini berbagi kisah tentang pengalaman mereka membesarkan kedua anaknya,‭ ‬Caca‭ (‬8‭ ‬tahun‭) ‬dan Adam‭ (‬4‭ ‬tahun‭)‬.‭ ‬Secara garis besar pembaca akan menemukan dua poin penting dalam catatan pengalaman Asma dan Isa ini:‭ ‬bagaimana kedua buah hati mereka itu kadang dapat memperlihatkan potensi-potensi kreatif yang menakjubkan,‭ ‬dan bagaimana mereka semua mengelola kebersamaan dalam bingkai cinta dan kasih sayang.

Asma dan Isa dapat dikatakan tipikal pasangan muda dengan aktivitas yang sibuk.‭ ‬Sebagai penulis fiksi remaja terkemuka,‭ ‬sehari-hari Asma sibuk mengelola Forum Lingkar Pena dan atau berbicara di‭ ‬workshop kepenulisan atau forum-forum ilmiah lainnya.‭ ‬Sementara Isa bekerja di TV NHK Jepang selain juga menekuni bidang pengembangan pendidikan anak.‭ ‬Tapi pasangan muda ini begitu sadar bahwa anak-anak mereka tak hanya butuh uang.‭ ‬Di tengah kesibukan,‭ ‬mereka tetap berupaya keras untuk memberikan kebahagiaan dalam cinta,‭ ‬perhatian,‭ ‬dan waktu untuk anak-anak mereka‭ (‬hlm.‭ ‬111‭)‬.‭ ‬Isa,‭ ‬yang juga pernah mengembangkan konsep dongeng interaktif untuk anak,‭ ‬sering ditunggu-tunggu kepulangannya dari kantor oleh kedua anak mereka untuk diajak bermain bersama.‭ ‬Di antara rasa lelah,‭ ‬dengan sabar Isa memenuhi keinginan mereka.‭ ‬Alasannya sederhana:‭ ‬mumpung mereka masih membutuhkan,‭ ‬mumpung orangtua mereka masih menjadi teman favorit mereka,‭ ‬mumpung mereka belum menjadi dewasa dan dibekap dengan berbagai kesibukan‭ (‬hlm.‭ ‬18‭)‬.

Menyediakan waktu untuk bermain dengan anak ternyata tidak hanya baik untuk menanamkan kedekatan emosional anak dengan orangtua,‭ ‬tapi juga bisa menjadi media membangun kekompakan antara dua anak kecil yang sama-sama baru mulai meninggi egonya.‭ ‬Begitulah pendekatan Isa untuk membentuk‭ ‬sense kerjasama di antara kedua anaknya.‭ ‬Saat bermain berantem-beranteman,‭ ‬Isa yang berperan sebagai monster yang berusaha dikalahkan Adam berbisik,‭ “‬Kau tak mungkin menang,‭ ‬apalagi kalau kakakmu tidak membantu‭” (‬hlm.‭ ‬65‭)‬.

Anak-anak kerap membuat kesal para orangtua dengan sikap nakal dan usilnya.‭ ‬Menghadapi hal semacam ini para orangtua kebanyakan bereaksi dengan marah atau memberi hukuman.‭ ‬Tapi justru Asma menemukan bahwa ternyata teguran itu lebih mudah diterima jika diungkapkan dengan cara yang lebih lembut,‭ ‬dengan mengutarakan betapa sedihnya mereka saat melihat Caca dan Adam berbuat hal-hal yang nakal‭ (‬hlm.‭ ‬80‭)‬.

Jika terpaksa harus menghukum,‭ ‬hukuman harus disosialisasikan sebelumnya,‭ ‬logis,‭ ‬mendidik,‭ ‬dan memberi efek jera.‭ ‬Pernah Asma begitu marah pada Caca sehingga ia memutuskan untuk memberinya hukuman:‭ ‬dikurung di kamar mandi.‭ ‬Tapi,‭ ‬demi menghindar dari hal-hal yang tak diinginkan,‭ ‬Asma menemukan cara menarik dalam mengeksekusi hukumannya.‭ ‬Asma menemani Caca dalam kamar mandi yang gelap,‭ ‬begitu lama,‭ ‬sampai akhirnya Caca sadar dan meminta maaf atas kesalahannya‭ (‬hlm.‭ ‬41‭)‬.

Mendidik dengan cinta.‭ ‬Itulah benang merah dan kata kunci utama yang dapat dipetik dari kisah-kisah Asma dan Isa dalam mendidik anak-anak mereka.‭ ‬Mungkin kekuatan misterius cinta ini pulalah yang kemudian tak jarang melahirkan sikap-sikap yang menakjubkan dari anak-anak,‭ ‬seperti yang juga ditemukan dalam kisah-kisah Asma dan Isa.‭ ‬Tentang bagaimana suatu hari di sebuah rumah makan Caca memasukkan delapan koinnya ke kotak amal,‭ ‬atau Caca yang berinisiatif menyumbangkan tabungannya untuk ulang tahun Adam yang nyaris tak dirayakan karena keterbatasan dana keluarga,‭ ‬atau ungkapan-ungkapan cinta kedua anak mereka dalam kata-kata atau gambar yang indah.

Atas hal-hal yang menakjubkan semacam ini Asma dan Isa memang seperti membiarkannya tak terjelaskan,‭ ‬bagaimana semua ini bisa muncul dari sikap kedua anak mereka yang masih polos itu.‭ ‬Mungkin memang sulit memberikan penjelasan tentang bagaimana anak-anak dapat digiring untuk bersikap peka dan solider dengan sesama.‭ ‬Mungkin itu semua adalah bagian dari misteri menakjubkan anak-anak.‭ ‬Mungkin pula semua itu memang didapat tidak dengan tips-tips instan,‭ ‬tapi dengan cinta yang terus ditempa saban hari dengan kelembutan dan ketulusan.

Karena itulah,‭ ‬Asma dan Isa bertutur dengan sama sekali tak hendak menggurui.‭ ‬Teori-teori,‭ ‬tips-tips,‭ ‬atau kiat-kiat,‭ ‬tak terlalu banyak ditemukan di sepanjang buku ini.‭ ‬Yang banyak adalah kisah-kisah ringan,‭ ‬tempat pembaca akan banyak menemukan hikmah bertaburan,‭ ‬yang kadang cukup menggugah dan mengharukan.‭ ‬Tapi justru karena kisah-kisah yang diangkat dari pengalaman sehari-hari itulah,‭ ‬Asma dan Isa cukup berhasil untuk memberikan sebuah potret sederhana tentang bagaimana cinta dan kehangatan itu mestinya disemaikan kepada anak-anak kita dalam keluarga—sesuatu yang mungkin bisa menjadi perspektif alternatif dalam mendidik anak-anak.

Buku ini sangat cocok untuk pasangan muda yang baru mulai menapaki mahligai pernikahan,‭ ‬terutama sebagai bekal untuk melahirkan individu-individu baru yang berdaya,‭ ‬berkualitas,‭ ‬dan untuk mengantar mereka ke gerbang dunia dengan senyum bahagia.


Read More..

Rabu, 07 Januari 2004

Membebaskan Psikologi dari Belenggu Positivisme


Judul buku : Ilmu Jiwa Berjumpa Tasawuf: Sebuah Upaya Spiritualisasi Psikologi
Penulis : Lynn Wilcox
Penerbit : Serambi, Jakarta
Cetakan : Pertama, November 2003
Tebal : 336 halaman


Arah perkembangan spesialisasi ilmu yang pada abad-abad terakhir di penghujung milenium kedua semakin terlihat jelas pada satu sisi memang mampu menghadirkan kedalaman pengkajian yang luar biasa. Detail yang sangat khusus dari suatu bidang terjelajahi dengan sangat baik. Akan tetapi, ternyata perkembangan semacam ini kadang juga bisa membuat sebuah disiplin ilmu terpuruk dalam jerat cara pandang positivisme.

Lynn Wilcox, seorang mursyid sufi dan profesor psikologi pada California State University, dalam buku ini menunjukkan bahwa akibat dari superspesialisasi dalam bidang ilmu tersebut, psikologi telah menjadi kering dan bahkan cenderung melupakan muasal tempat lahirnya. Psikologi akhirnya terlalu sibuk berburu serpihan data dan informasi tentang manusia. Para psikolog dari spesialisasi yang berbeda mempelajari beragam aspek manusia dan mengabaikan pengertian mendasar psikologi itu sendiri.

Kata “psikologi” pertama kali digunakan dalam bahasa Inggris pada sekitar tahun 1600-an untuk menyebut jiwa, dan psikologi mula-mula adalah cabang metafisika yang membahas jiwa. Tapi akhirnya unsur jiwa sebagai elemen penting dalam psikologi tak lagi diperhitungkan. Maka, mulailah babak positivisme dalam psikologi dirayakan, seperti dalam psikologi eksprimental dan behaviorisme.

Untuk keluar dari belenggu positivisme yang terus membayangi psikologi, Wilcox mengajukan cara pandang tasawuf sebagai ikhtiar mempertemukan psikologi dengan muasalnya, untuk dapat menggerakkan psikologi melampaui kategori-kategori positivistik dan materialistik yang tengah menguasainya. Wilcox memberi sebuah ibarat sederhana tapi begitu mengena. Menurutnya, psikologi bagaikan mempelajari karakteristik sebuah lampu: berapa tingginya, bobotnya, serta bahan yang menyusunnya, atau tentang bagaimana lampu bisa serasi dengan ruang yang akan diteranginya. Tapi psikologi alpa dengan sumber daya listrik yang dapat membuat lampu itu menyala. Tasawuf berkaitan dengan proses penyalaan lampu dan ihwal bagaimana menapak jalan menuju Sumber terang.

Orientasi positivistik ini terjadi karena metode psikologi yang cenderung mengedepankan riset kuantitatif yang hanya didasarkan pada pengamatan indra fisik belaka. Ini membuat psikologi tercurah pada medan sempit yang menyulitkannya mencapai jalan menuju Pengetahuan Absolut. Ibarat pohon, psikologi cenderung sibuk memerhatikan daun-daunnya sehingga melupakan pohonnya, atau bahkan bahwa sebenarnya ada hutan yang begitu luas yang perlu dirambah.

Dalam buku ini Wilcox mengupas secara gamblang aspek-aspek mendasar psikologi, mulai dari sejarah perkembangan, metode, dan berbagai tema-tema umum yang menjadi kajiannya seperti tentang motivasi, memori, pikiran, aktualisasi diri, cinta, agama, dan sebagainya, untuk kemudian dieksplorasi berdasarkan doktrin-doktrin tasawuf. Dengan cara seperti ini, Wilcox membawa psikologi ke dalam rumusan dan ukuran-ukuran baru yang lebih bernuansa spiritual.

Dalam pembahasan tentang sensasi dan memori, penjelasan lebih jauh dari perspektif tasawuf tiba pada peringatan bahwa indra-indra fisik berkenaan dengan sensasi dan memori serta penafsiran materialistik tentang keduanya dapat menjauhkan dan mendistorsi manusia dari realitas absolut. Tasawuf mengajak manusia untuk belajar mengembangkan dan meningkatkan kemampuan penglihatan dan pendengaran melalui mata dan telinga bawaan untuk kembali berhubungan dengan Sumber Kekuatan cahaya. Untuk itu manusia harus mulai melucuti kendali otak yang berlebihan itu, menyeimbangkannya dengan gelombang Lantunan Ilahi dalam diri yang fitri. Demikian pula, manusia juga dilatih agar memori untuk merekam hal-hal tidak hanya dari sudut pandang fisik dan material belaka.

Ketika mengupas soal motivasi pun kita menemukan sebuah perspektif yang menarik tentang hal ini. Psikologi mendefinisikan motivasi sebagai sesuatu yang mengarahkan perilaku manusia, dan melihatnya sebagai bersifat mekanistik atau kognitif. Tapi psikologi tidak mempertanyakan prinsip yang menggerakkan dalam kehidupan ini, dan hanya membahas tentang bagaimana emosi atau motif bekerja. Tasawuf menjelaskan bahwa kekuatan yang menggerakkan itu adalah pancaran ilahiah dari roh Tuhan dan mengajarkan bagaimana cara memperoleh akses ke proporsi yang lebih luas dari spektrum motivasi yang mencakup antara roh Tuhan, dinamika universal, dimensi fisik dan spiritual.

Pelbagai eksplanasi yang dipaparkan dalam buku ini menunjukkan bahwa dengan perjumpaannya dengan tasawuf, psikologi bisa belajar untuk lebih menukik ke sisi personal-eksistensial manusia dengan menggali dimensi kualitatif, baik dari sisi pengetahuan-diri maupun pengetahuan tentang sang Pencipta. Dalam perjumpaan inilah diharapkan baik psikologi maupun tasawuf dapat memberikan kontribusi bagi nestapa kemanusiaan yang terus membayangi kehidupan, mengantarkan umat manusia ke penemuan makna inti keberadaannya yang hakiki.


Tulisan ini dimuat di Koran Tempo, 4 Januari 2004.



Read More..

Minggu, 14 September 2003

Determinasi Ekologi dalam Sejarah Madura

Judul Buku : Perubahan Sosial dalam Masyarakat Agraris: Madura 1850-1940
Penulis : Prof. Dr. Kuntowijoyo
Penerbit : Mata Bangsa, Yogyakarta, bekerja sama dengan Yayasan Adikarya
IKAPI dan The Ford Foundation
Cetakan : Pertama, November 2002
Tebal : xxiv + 679 halaman


Pluralitas etnis dan budaya di Indonesia selama ini menjadi semacam khazanah kekayaan bangsa yang terpendam. Kajian-kajian serius terhadap beragam kultur lokal belum pernah diangkat secara luas menjadi wacana publik. Sementara itu, arus kebebasan yang dipicu oleh Orde Reformasi di satu sisi telah menyuburkan penerbitan karya-karya penelitian etnografis yang telah dihasilkan oleh berbagai kalangan intelektual. Salah satunya adalah buku karya sejarawan terkemuka, Prof. Dr. Kuntowijoyo ini.

Buku yang mulanya adalah disertasi doktoral di Columbia University ini menyajikan gambaran yang cukup mendalam tentang proses perubahan sosial di Madura dalam periode satu abad menjelang kemerdekaan Indonesia. Sudut pandang sejarah yang digunakan Kunto lebih bersifat sosiologis, dengan menekankan pada formasi-formasi sosial dan cara-cara masyarakat melakukan aktivitas produksi.

Tesis utama buku ini adalah bahwa sejarah masyarakat Madura dibentuk sedemikian rupa oleh berbagai kekuatan alam, baik itu ekologi fisik maupun ekologi sosial. Dari proses historis yang diamati Kunto dapat disimpulkan bahwa Madura adalah suatu unit lingkungan sejarah yang cukup unik dan berbeda dengan wilayah geografis yang lain di Indonesia. Di Madura, sisi pengaruh berbagai kebijakan kolonial Belanda kurang menampakkan pengaruhnya: struktur desa dan kelompok strata sosial yang hidup di dalamnya, struktur birokrasi kolonial, dan juga penetrasi dagang kaum kapitalis Eropa.

Di bagian awal Kunto berusaha memberikan gambaran ekologi fisik Madura yang dikenal gersang, bercurah hujan rendah, dan memiliki kepadatan penduduk yang cukup tinggi. Pengaruhnya terlihat pada tatanan kepemukiman masyarakatnya. Berbeda dengan masyarakat luar Madura yang memiliki pusat-pusat pemukiman di tiap desa, pemukiman penduduk di Madura lebih bersifat tersebar dalam kelompok-kelompok perdusunan kecil dengan hubungan keluarga sebagai faktor pengikatnya. Desa bukannya dibentuk oleh suatu kompleks pemukiman penduduk dan dikitari oleh persawahan. Hal ini membuat kontak sosial antar-warga menjadi cukup sulit, sehingga tidak aneh bila orang-orang di Madura relatif sulit membentuk solidaritas desa dan lebih didorong untuk memiliki rasa percaya diri yang bersifat individual. Ini berarti bahwa hubungan sosial lebih berpusat pada individu-individu, dengan keluarga inti (yang mendiami dusun-dusun kecil itu) sebagai unit dasarnya.

Pada titik inilah peranan pemuka agama (kiai) menjadi penting, yakni sebagai perantara budaya masyarakat dengan dunia luar, termasuk juga dengan penguasa.
Naga-naga perubahan sosial di Madura bermula dari berakhirnya kejayaan kerajaan-kerajaan tradisional Madura (Sumenep, Pamekasan, dan Bangkalan), ketika mereka menyerah pada penguasa kolonial Belanda pada paruh kedua abad ke-19. Sistem upeti misalnya yang sebelumnya memang sudah hampir tak berdaya melawan arus kekuatan pedagang Cina menjadi semakin sulit mendapat tempat, seperti juga akhirnya para bangsawan tidak lagi mendapat kursi kekuasaan tradisional, dan akhirnya masuk ke dalam sistem birokrasi kolonial Belanda dan mewujud dalam bentuk kelas sosial priyayi.

Sejalan dengan itu, proses dan pengaruh struktur ekologis mengantarkan Madura dalam suatu situasi kelangkaan ekonomi yang cukup signifikan, ditambah lagi dengan laju pertumbuhan penduduk yang relatif tinggi. Menghadapi hal ini, terjadi migrasi yang cukup besar sebagian masyarakat Madura ke wilayah timur Pulau Jawa. Apalagi saat itu di situ sedang semarak dibangun proyek-proyek perkebunan oleh pemerintah kolonial Belanda.

Solidaritas sosial di Madura sempat berkembang pada awal abad ke-20, mengiringi gerakan nasional dan didukung oleh hasil pengaruh politik etis (pendidikan) kolonial. Organisasi Sarekat Islam misalnya sempat aktif di Madura, bahkan sempat memberikan sedikit aksi massa seperti perlawanan sosial-ekonomi, baik terhadap penguasa kolonial maupun kapitalis Cina. Tapi itu tidak bertahan terlalu lama.

Dari keseluruhan uraian dalam buku ini, pertanyaan kontekstual yang muncul adalah apakah saat ini ekologi fisik dan sosial di Madura sudah mengalami perubahan, sehingga dapat mendorong terjadi perubahan sosial ke arah yang berbeda? Di bagian epilog yang ditulis khusus untuk buku ini Kunto memberikan jawaban bahwa belum ada perubahan signifikan, sehingga “ke-Madura-an” orang Madura tetap begitu lekat.

Buku ini begitu berharga bagi perkembangan perjalanan bangsa ini, dan terutama bagi masyarakat Madura. Ada kecenderungan bahwa bangsa ini mulai kehilangan dasar-dasar pijakan historisnya sehingga seringkali arah perjalanan bangsa, atau kelompok masyarakat tertentu, tercerabut dari akar sejarahnya sendiri. Sudah waktunya bangsa yang besar ini memungut dan menata kembali warisan sejarahnya yang panjang, untuk dimaknakan sebagai etos yang bersifat orientatif dan sebagai pendorong kemajuan bangsa.

Buku ini menyajikan data-data dan analisis sejarah yang cukup kaya, yang ternyata banyak ditemukan di pusat-pusat kajian di Belanda. Sejarawan kita benar-benar ditantang untuk mengumpulkan dan menganalisis arsip-arsip perjalanan bangsa yang berserakan di mana-mana, termasuk juga dalam sejarah lisan yang hidup di tengah masyarakat.


Tulisan ini dimuat di Harian Sinar Harapan, 13 September 2003.


Read More..

Minggu, 11 Mei 2003

Remaja, Kenali Diri Hadapi Globalisasi

Judul buku : It’s My Life!: Diary Plus Buat Remaja
Penulis : Tian Dayton
Penerbit : Kaifa, Bandung
Cetakan : Kedua, Februari 2003 (Cet. I November 2002)
Tebal : 278 halaman


Kaum remaja saat ini menghadapi tantangan masa depan yang cukup berat. Ketika persaingan hidup semakin ketat dan tuntutan kreativitas juga semakin mengemuka, kaum remaja masih harus berhadapan dengan godaan arus global yang memanfaatkan kerapuhan psikologi mereka. Rayuan globalisasi ini biasanya bekerja dengan pencitraan-pencitraan identitas diri menurut kepentingan kapital yang hanya dapat melahirkan generasi-generasi penurut, tidak kritis, apatis, dan miskin visi masa depan. Sulitnya lagi, dari segi usia, masa remaja merupakan medan pencarian identitas diri, ketika sang remaja juga diliputi tuntutan tanggung jawab, egoisme, dan keinginan ekspresi kebebasan yang meluap.

Globalisasi jelas-jelas memfasilitasi—atau mungkin, lebih tepatnya, memanfaatkan—dimensi-dimensi semacam ini untuk menancapkan pengaruhnya. Sarana yang paling ampuh tentu adalah media komunikasi dengan efek pencitraan yang dimilikinya. Dalam situasi seperti ini, seorang remaja menjadi cukup tidak mudah untuk merumuskan kediriannya secara lebih independen dan berdasar pada pembacaan diri yang jernih. Apalagi globalisasi juga diiringi dengan tarikan yang cukup kuat ke arah gaya hidup tertentu yang juga mengglobal. Krisis identitas inilah yang pada akhirnya dapat menjadi benih bagi krisis kemanusiaan di abad ini.

Dalam konteks tersebut di atas, buku ini sungguh patut diacungi jempol karena menyediakan sebuah ruang penjelajahan diri yang cerdas dan menyenangkan untuk kaum remaja. Buku ini format dasarnya berbentuk catatan harian, tapi sudah disusun sedemikian rupa oleh penulisnya sehingga di satu sisi dapat mengungkapkan dan mengeksplisitkan identitas diri melalui tulisan, dan di sisi yang lain dapat memanfaatkan langkah pengenalan diri tersebut untuk memberikan motivasi, visi, dan kekuatan jiwa menghadapi tantangan masa depan.

Ada lima wilayah yang dibidik buku ini dalam proses penjelajahan pengenalan diri kaum remaja: diri sendiri, keluarga dan teman, pengelolaan perasaan, kemandirian menjalani hidup, dan visi masa depan. Setiap bagian, atau bahkan sub-bagian tertentu, diawali dengan semacam orientasi singkat terhadap makna masing-masing bagian tersebut dari perspektif psikologi remaja. Kemudian ada semacam panduan pertanyaan atau daftar isian untuk menjelajahi kisi-kisi diri. Di bagian pertama tentang diri sendiri misalnya ada sejumlah pertanyaan tentang citra diri: bagaimana diri sang remaja dicitrakan, baik secara positif maupun negatif, oleh anggota keluarga, teman, dan guru. Lalu ada sejumlah pertanyaan lanjutan berkenaan dengan citra diri tersebut.

Soal citra diri ini kemudian juga dipertajam pada bagian citra tubuh. Untuk soal ini sang remaja diberi pengantar pembuka dengan sedikit eksplorasi dan contoh catatan seorang remaja dalam mencitrakan tubuhnya. Sudah lazim diketahui bahwa di zaman sekarang ini citra tubuh seorang remaja khususnya begitu gencar diserbu oleh definisi-definisi global dengan berbagai kepentingannya: bahwa misalnya seorang gadis remaja yang cantik adalah yang langsing, berkulit putih, berambut lurus, dan sebagainya. Pada bagian ini ada satu kisah pendek Santi tentang bagaimana dia mempersepsikan tubuhnya yang kegemukan. Dengan pengantar dan cerita ini, sang remaja dapat berekspresi dengan motivasi kepercayaan diri yang cukup baik ketika tiba untuk menuliskan isian tentang citra dirinya.

Salah satu bagian yang cukup labil dalam kehidupan remaja adalah hubungannya dengan keluarga dan teman. Menginjak usia remaja, seseorang akan lebih terikat dengan teman-teman sepermainannya sehingga kadang mengabaikan keutuhan relasi keluarga. Dalam buku ini disediakan ruang eksplorasi yang cukup untuk mengukuhkan ikatan cinta, kasih sayang, dan harapan masa depan keluarga. Ada contoh penggambaran bagaimana posisi dan kedekatan sang remaja dengan masing-masing anggota keluarga (juga dengan teman) dan harapan ideal yang diinginkan.

Selain masalah keluarga dan teman, aspek emosi adalah sisi yang juga cukup rentan. Remaja sering digambarkan terlalu mengedepankan perasaan dan kurang mampu berpikiran jernih. Pada bagian inilah sang remaja dibantu untuk satu-persatu memuntahkan dan mengidentifikasi luapan emosi yang pernah dialaminya. Tantangan kemandirian dan visi masa depan juga mendapat tempat. Menghadapi masa depan, sang remaja dikuatkan, didorong, dan diyakinkan untuk dapat menyingkirkan rasa minder dan memanfaatkan anugerah dan potensinya secara baik.

Buku ini dapat menjadi sahabat yang tepat untuk remaja, terutama karena biasanya seorang remaja mula-mula selalu berjumpa dengan rasa bingung bagaimana harus memulai melangkah. Buku ini memberikan jawaban cerdas dan kreatif, dan seperti hendak menegaskan kembali sebuah pernyataan terkenal dari periode Yunani kuno: kenalilah dirimu sendiri (Gnothi se auton), yang menjadi dasar filsafat Sokrates. Menurut Sokrates, pengenalan diri bermanfaat untuk menghasilkan pengetahuan dan perilaku yang lebih baik, tepat, dan bijak. Dengan melakukan petualangan cerdas ke relung-relung diri hingga ke palung terdalam, sang remaja dipersilakan untuk menyingkap tirai diri yang kadang enggan diakui karena terasa kurang mengenakkan. Justru dengan menumpahkan melalui catatan harian yang terpandu di buku ini sang remaja sebenarnya dapat berekspresi dan menyehatkan batin dan kepercayaannya.

Kritik terhadap buku ini adalah bahwa buku ini kurang menyediakan ruang untuk menggali dimensi sosial dan religius remaja. Bisa jadi karena sang penulis berasumsi bahwa dimensi personal-eksistensial lebih penting dan menonjol pada sosok remaja. Memang ada satu halaman tempat sang remaja diminta menulis “surat untuk Tuhan”. Tapi sekiranya dimensi religius ini, seperti juga dimensi sosial, digali lebih mendalam, maka sisi sang remaja tersebut akan lebih terungkap dari perspektif yang lebih utuh dan manusiawi.

Tapi tentu saja buku ini tetap amat layak diapresiasi. Selain cara penyajiannya yang sangat pas untuk remaja, baik dari segi tuturan bahasa maupun tata letak, buku ini juga dapat menjadi media bagi remaja untuk belajar berekspresi melalui tulisan, sebuah kemampuan yang cukup mendasar dalam proses belajar.


Read More..