Setelah tiga minggu keliling Amerika mengikuti kegiatan dan bertemu dengan tokoh agama dan tokoh pendidikan dengan berbagai latar, kami disodorkan sebuah pertanyaan yang cukup menggugah: apakah ada persepsi dan pandangan Anda yang berubah tentang Amerika?
Apakah ini pertanyaan untuk mencuci otak kami? Apakah ini pertanyaan untuk menarik kami ke perahu mereka? Tapi bukankah saya menemukan bahwa ternyata “mereka” sangatlah beragam?
Pertanyaan itu muncul pada sesi evaluasi di hari terakhir dari rangkaian tiga pekan kegiatan IVLP bertajuk Faith Based Education. Sesi evaluasi ini dihadiri oleh pejabat dari Department of State Amerika sebagai penanggung jawab. Namanya Karl Asmus. Asmus, yang berdarah Jerman dan sebelumnya pernah bekerja untuk Angkatan Darat Amerika, waktu itu bertugas di Biro Pendidikan dan Kebudayaan, bagian yang mengelola kegiatan IVLP. Dia terbang dari Washington DC khusus untuk sesi evaluasi ini sekaligus untuk mengucapkan salam perpisahan kepada kami. Dari Washington, dengan penerbangan langsung, dia butuh waktu hampir tujuh jam untuk tiba di Portland, Oregon, kota terakhir kegiatan kami.
Itu pertanyaan paling penting yang diajukan di sesi evaluasi tersebut. Lainnya lebih bersifat teknis atau turunan dari pertanyaan pokok itu. Bagi saya, ini pertanyaan reflektif yang membuat saya harus memeras semua pengalaman tiga minggu ini dalam satu kesan yang mungkin memang bernilai paling penting. Saya bersama delapan rekan peserta kegiatan lainnya tak punya waktu yang banyak untuk berpikir menyusun jawaban. Jawabannya memang lebih bersifat spontan.
Bagi saya, tiga pekan kegiatan yang cukup padat itu memang cukup berhasil mengubah pandangan saya tentang Amerika. Sebelumnya, saya tidak punya perhatian atau minat khusus untuk mempelajari Amerika secara mendalam. Orang-orang Amerika yang saya kenal pertama adalah para relawan dari Volunteer in Asia (VIA) yang bertugas di Pondok Pesantren Annuqayah Guluk-Guluk mulai tahun 1983 hingga 1997. Itu pun saya tidak kenal dekat. Rentang waktu itu adalah masa kanak-kanak dan remaja saya. Kebetulan saya tidak mengikuti kegiatan kursus Bahasa Inggris yang dikelola oleh mereka. Setelah itu, saat menempuh jenjang magister di Utrecht, Belanda, pada tahun 2009, ada teman kelas saya dari Amerika. Namun saya tidak cukup akrab.
Pandangan saya tentang Amerika adalah kesan yang saya tangkap di media dan pandangan umum lainnya yang berkembang. Amerika adalah negara adikuasa dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Saya juga menonton film-film Hollywood, termasuk American Beauty (1999)—yang dinobatkan sebagai film terbaik Academy Award tahun 2000 dan menyabet empat piala Oscar lainnya—yang menggambarkan kesuraman keluarga suburban Amerika. Juga film-film Oliver Stone yang banyak mengangkat realitas politik Amerika—di antaranya Born on the Fourth of July (1989), Platoon (1986), JFK (1991), Nixon (1995). Saya juga membaca buku-buku Noam Chomsky—juga film-film dokumenternya—yang bersikap sangat kritis terhadap kondisi masyarakat dan pemerintah Amerika. Salah satu terjemahan buku Chomsky pernah saya ulas cukup panjang di Harian Kompas, dulu, saat saya masih mahasiswa di Yogyakarta. Buku terjemahan karya Chomsky lainnya pernah saya ulas di Harian Jawa Pos.
Kisah-kisah fiksi yang saya baca ada juga yang berlatar Amerika, seperti In Cold Blood karya Truman Capote, To Kill a Mockingbird karya Harper Lee, Impian Amerika karya Kuntowijoyo, Orang-Orang Bloomington karya Budi Darma, atau beberapa cerita pendek berlatar Amerika karya Umar Kayam.
Pengalaman tiga minggu di bulan September 2017 itu benar-benar membuat saya mengalami langsung pertemuan sosial-budaya dengan Amerika. Minat dan perhatian saya untuk membaca atau mempelajari hal yang terkait Amerika pun bertambah—persis seperti yang dahulu terjadi setelah saya menempuh studi magister di Eropa. Pulang dari Amerika, beberapa buku atau tulisan tentang Amerika yang sebelumnya diabaikan menjadi menarik perhatian. Dengan situasi ini, persepsi populer sebelumnya yang mungkin bisa dibilang cukup awam tentang Amerika akhirnya disusun ulang berdasarkan narasi pengalaman tiga minggu tersebut.
Saya jadi teringat istilah simulakra yang dilontarkan oleh filsuf posmodern Jean Baudrillard. Saya berpikir bahwa persepsi saya—mungkin juga orang lain—tentang Amerika lebih banyak dibentuk oleh citra media. Dunia simulasi media meleburkan yang nyata dan yang fantasi, yang asli dan yang palsu, juga nilai, fakta, tanda, citra, dan kode.
Simulakra Amerika dalam benak saya akhirnya dihadapkan dengan pengalaman tiga pekan yang di antaranya mengantarkan pada pokok kesimpulan yang mungkin cukup sederhana: bahwa realitas Amerika terlalu beragam untuk diringkus dalam penyederhanaan titik kesimpulan yang cenderung tunggal. Pengalaman langsung meneguhkan pentingnya kesadaran akan keragaman dan perlunya keterbukaan dan kesediaan untuk mengenal sesuatu secara lebih berimbang—bukan hanya berdasar citra media. Perjumpaan yang saya alami selama tiga minggu mempertemukan saya dengan fakta keragaman yang kuat—tak jauh berbeda dengan keragaman umat Islam di berbagai belahan dunia. Ini terjadi tidak hanya pada tataran masyarakat akar rumput Amerika, tapi juga pada tingkat elite masyarakat. Bahkan juga pada lapis pengurus publik atau pemerintahan. Keragaman itu misalnya tampak dalam penyikapan terhadap hal-hal yang terkait umat Islam dan isu-isu Islam pada umumnya.
Pentingnya kesediaan untuk mengenal sesuatu secara lebih terbuka dan berimbang ini mengingatkan saya pada salah satu tulisan Imam Jamal Rahman saat ia bertutur tentang penolakan warga Amerika atas usulan pembangunan masjid dan pusat antariman di Ground Zero di kota New York. Rahman mengemukakan data yang mengungkapkan bahwa 61 persen warga Amerika yang menolak itu ternyata secara pribadi tak punya kenalan seorang muslim satu orang pun. Perjumpaan dan interaksi langsung nyatanya menjadi faktor yang cukup penting dalam peluang untuk mengubah stigma dan mengunci atau membuka jendela empati dan solidaritas.
Memang kita hidup di zaman dominasi media. Media gencar menyuplai persepsi dan pengetahuan dengan berbagai bentuknya. Benarlah bahwa pengetahuan kita pada tingkat yang paling sederhana paling banyak bukanlah pengetahuan langsung, melainkan pengetahuan dari sumber otoritas seperti media atau juga dari penyimpulan yang kita buat. Namun saya jadi mengerti bahwa pengetahuan langsung bisa menggugah dan mengusik pengetahuan lapis kedua yang kita peroleh dari media. Perjumpaan bisa mendorong pada tumbuhnya minat dan perhatian, yang kemudian dapat menjadi titik awal bagi pemahaman baru.
Saya sadar bahwa dalam situasi apapun, kita mesti bersikap kritis pada sumber-sumber informasi yang kita dapatkan. Chomsky sudah lama mengingatkan kita tentang kesadaran yang dibentuk menurut kepentingan politik tertentu—manufacturing consent. Perspektif kritis ini penting ditekankan untuk menghindari distorsi informasi yang bisa muncul dari media maupun pengalaman langsung.
Pengalaman kunjungan tiga pekan di Amerika ini pada satu sisi memberi saya peneguhan tentang beragam sumber persepsi dan pengetahuan kita. Antara simulakra, citra media, sumber otoritas, pengalaman dan perjumpaan langsung, penyimpulan berdasar pengalaman dan informasi, dan sebagainya.
Jadi, apakah setelah kunjungan tiga pekan itu pandangan saya tentang Amerika mengalami perubahan? Saya pikir iya. Pandangan saya tentang Amerika telah berubah. Bahkan mungkin juga yang berubah adalah pandangan saya tentang dunia. Namun saya berharap bahwa perubahan itu adalah perubahan yang mengarah pada sesuatu yang lebih baik, perubahan yang memperluas cakrawala saya, yang mungkin dapat menyelamatkan saya dari cara berpikir yang sempit dan tunggal.
Pamekasan, Desember 2020
Tulisan ini diambil dari buku kumpulan esai pengalaman Amerika yang saya terbitkan dengan judul Potret Pendidikan dan Agama di Amerika: Catatan Kegiatan IVLP 2017 Faith Based Education (Instika Press, 2020). Buku ini dapat dibeli di sini, dan isinya dapat diintip di sini.
Senin, 04 September 2023
Simulakra Amerika
Label: IVLP 2017, Social-Politics
Sabtu, 04 November 2017
Ihwal Pembiayaan Pendidikan di Amerika
![]() |
Ruangan untuk makan siang di St Alban's School |
Saat terbang dari Jakarta ke Surabaya dalam rute perjalanan terakhir dari Amerika di awal Oktober lalu, di pesawat saya sempat membaca sebuah esai di Harian Kompas yang mengangkat profil tokoh yang berjuang di bidang pendidikan. Esai di halaman 16 itu secara singkat memaparkan sosok bernama Irma Suryani, seorang perempuan yang memperjuangkan akses pendidikan bagi anak-anak yang tidak mampu di Kalimantan Selatan.
Kisah singkat Irma Suryani bagi saya merupakan gambaran tentang satu sisi persoalan pendidikan di Indonesia. Isu keterbatasan dana dalam akses pendidikan yang bermutu masih menjadi masalah yang cukup mengemuka di negeri ini. Kewajiban pemerintah untuk memberikan pelayanan pendidikan dasar yang baik untuk semua warga masih belum sepenuhnya terpenuhi. Di sekolah-sekolah negeri, kita masih bisa menjumpai beban pembiayaan yang harus dibayar oleh orangtua murid.
Selama kunjungan tiga pekan di Amerika dalam rangka program International Visitor Leadership Program (IVLP) bertema Pendidikan Berbasis Agama, ada beberapa hal yang cukup menarik perhatian saya terkait pembiayaan pendidikan di Amerika. Dari berbagai diskusi bersama para ahli dan kunjungan ke sekolah negeri dan swasta, juga ke instansi terkait seperti Department of Education di Washington DC dan lembaga terkait lainnya, saya mencatat beberapa hal menarik.
Pertama, tentang pemenuhan kewajiban negara atau pemerintah. Di Amerika, sekitar 90 persen peserta didik hingga jenjang menengah atas mengikuti pendidikan yang diselenggarakan pemerintah. Di sekolah negeri, mereka mendapatkan layanan yang penuh sehingga bebas dari pembiayaan. Ada fasilitas bus jemput-antar—bus kuning yang sering kita jumpai di film-film Amerika. Kebutuhan buku juga dipenuhi.
Yang menarik, kebijakan nasional terkait pengelolaan pendidikan yang dibuat oleh pemerintah federal Amerika lebih bersifat umum. Menurut Maureen F. Dowling, Ed.D., Direktur Kantor Pendidikan Swasta Departemen Pendidikan Pemerintah Amerika Serikat, Kementerian Pendidikan pemerintah federal Amerika memiliki empat wilayah kewenangan dan tugas pokok. Pertama, wewenang dalam hal distribusi dana, termasuk juga pengawasannya. Kedua, mengumpulkan data-data di bidang pendidikan yang dapat dijadikan dasar bagi perumusan kebijakan. Ketiga, menggarisbawahi isu-isu penting di bidang pendidikan untuk diprioritaskan dan ditekankan. Keempat, memastikan bahwa tidak ada diskriminasi dalam praktik dan layanan pendidikan.
Sementara itu, pemerintah negara bagian memiliki kewenangan yang cukup leluasa untuk mengarahkan kurikulum, misalnya. Itu pun dengan ruang yang cukup luwes sehingga kita dapat dengan mudah menemukan sekolah negeri yang mengakomodasi kebutuhan khas siswa-siswanya. Fordson High School di Detroit, Michigan, misalnya, mengakomodasi kebutuhan siswa-siswanya yang sekitar 95 persen keturunan Arab. Di sekolah ini, misalnya, diajarkan pelajaran Bahasa Arab sehingga tak heran guru-gurunya juga sedikit mengerti Bahasa Arab meski bukan keturunan Arab. Untuk momen-momen yang terkait dengan peribadatan umat Islam seperti bulan Ramadan atau perayaan Islam, Fordson dengan cukup luwes memberi keringanan untuk kegiatan olahraga di bulan Ramadan, waktu libur, dan semacamnya.
Jadi, poinnya, dari jumlah keikutsertaan masyarakat yang tinggi pada sekolah negeri di Amerika, kita mungkin dapat mengatakan bahwa pemerintah Amerika tampaknya memberikan layanan pendidikan dasar yang cukup baik sehingga dapat mengurangi beban masyarakat dalam pembiayaan pendidikan. Memang, biaya pendidikan selain di sekolah negeri di Amerika terbilang mahal.
St. Alban’s School di Washington DC, misalnya, yang secara kelembagaan merupakan anggota the Protestant Episcopal Cathedral Foundation, menetapkan beban biaya yang cukup mahal untuk ukuran kantong orang Indonesia secara umum. Sekolah yang mengelola pendidikan khusus untuk siswa tingkat 4-12 dan juga memiliki fasilitas asrama siswa ini kurang lebih memungut biaya pendidikan setidaknya sekitar 40 juta per bulan.
Namun, fasilitas dan layanan pendidikan di sekolah ini memang terbilang bagus. Saat kami berkunjung, kami melihat ruang-ruang kecil yang ternyata merupakan ruang kerja guru. Salah satu kelas yang kami amati memuat siswa sebanyak 8 orang. Saat ke bengkel seni, kami melihat 5 orang siswa sedang praktik didampingi seorang guru. Di ruangan teater, kami melihat satu orang siswa tengah berdiskusi dengan guru seni.
Sekolah swasta lainnya, seperti Al Fatih Academy, di Reston, Virginia, memungut biaya yang relatif lebih murah dibandingkan dengan biaya pendidikan di St. Alban’s School. Di Al Fatih Academy, misalnya, untuk tingkat 1-8 (masuk Senin sampai Jum’at, tiap hari Senin hingga Kamis masuk dari pukul 08.30 hingga pukul 15.30, dan untuk hari Jum’at masuk dari pukul 08.30 hingga pukul 13.30), biaya tahunannya per siswa 8.512 dolar Amerika (Rp 114.912.000,- jika menggunakan kurs satu dolar setara Rp 13.500,-). Untuk jenjang taman kanak-kanak (kindergarten), biaya tahunannya per siswa 9.924 dolar Amerika (Rp 133.974.000,- jika menggunakan kurs satu dolar setara Rp 13.500,-).
Secara statistik, sekolah swasta di Amerika yang dalam ukuran kantong rata-rata orang Indonesia mungkin cukup mahal itu memang hanya sekitar 10 persen. Tapi orangtua di Amerika punya alasan tersendiri untuk memilih menyekolahkan anak mereka di sekolah swasta meski biayanya mahal.
Namun demikian, meski mahal, orangtua yang menyekolahkan anaknya di sekolah swasta bisa mendapatkan bantuan keuangan dari lembaga swasta, bahkan juga dari pemerintah.
Di Al Fatih Academy, misalnya, orangtua siswa bisa mengajukan bantuan keuangan melalui prosedur yang informasinya bisa diperoleh di laman sekolah tersebut. Bantuan keuangan diberikan setelah melalui proses penilaian kelayakan terhadap keluarga yang mengajukan bantuan. Penilaian dilakukan oleh pihak ketiga, yakni oleh FACTS Management, sebuah perusahaan yang khusus membidangi bantuan di bidang pendidikan yang berkantor di Lincoln, Nebraska, dan telah menjalin kerja sama dengan lebih dari 13 ribu sekolah.
Faktor yang dipertimbangkan meliputi pemasukan dan aset keluarga, jumlah anggota keluarga, usia orangtua, jumlah anak dalam keluarga yang membutuhkan pembiayaan dalam pendidikan, kota atau negara bagian tempat tinggal keluarga, dan jumlah anggota keluarga yang bekerja.
Sumber dana bantuan diambil dari zakat yang diterima dan dikelola oleh Al Fatih Academy. Tentu saja pengelolaannya berdasarkan prinsip-prinsip pengelolaan zakat dalam Islam yang melibatkan para ahli hukum Islam.
Yang juga menarik, data-data terkait pengajuan bantuan keuangan ini dijaga kerahasiaannya. Siapa yang mengajukan dan seperti apa hasil penilaian dari FACTS Management hanya diketahui oleh bagian terkait di sekolah, dan dijamin kerahasiaannya.
Ada lagi hal menarik lainnya yang saya dapatkan tentang pembiayaan pendidikan di Amerika. Kita tahu, fasilitas dan layanan pendidikan di sekolah negeri diberikan oleh pemerintah dari sumber pajak warga. Nah, masyarakat yang memilih untuk menyekolahkan anaknya di sekolah swasta berarti tidak ikut menikmati pemanfaatan pajak yang dibayarkannya kepada pemerintah. Atas situasi ini, beberapa negara bagian membuat kebijakan khusus, yakni dengan memberikan voucher untuk membantu pembiayaan pendidikan di sekolah swasta khusus bagi orangtua yang menyekolahkan anaknya di sekolah swasta. Besar dana dalam voucher yang diberikan tidaklah sama, disesuaikan dengan pembayaran pajak yang dilakukan.
Sistem voucher untuk pendidikan ini cukup menjadi isu yang kontroversial, karena pada tingkat tertentu seperti turut mendelegitimasi mutu layanan pendidikan sekolah negeri. Namun, di sisi lain, voucher pendidikan ini dinilai positif karena dapat mengakomodasi pilihan orangtua tanpa mengesampingkan kewajiban negara untuk membantu dalam hal pembiayaan pendidikan warganya.
Kunjungan singkat yang saya ikuti selama mengikuti program IVLP di sepanjang bulan September 2017 lalu tentu tidak bisa memotret secara lengkap dinamika dunia pendidikan di Amerika. Salah satu hal yang masih belum tergambar, misalnya, adalah tentang kebijakan ekonomi liberal yang bisa diberi label kapitalistik dan imbasnya di dunia pendidikan. Saya belum bisa memberikan gambaran spesifik, misalnya, tentang bagaimana kepentingan industri di Amerika mempengaruhi dan mengarahkan kebijakan-kebijakan pendidikan, termasuk juga nuansa politisnya.
Yang dapat dikemukakan melalui tulisan singkat ini baru sebatas beberapa hal terkait pembiayaan pendidikan di Amerika yang dari situ menggambarkan upaya dan pelaksanaan kewajiban negara untuk memberikan layanan pendidikan, usaha-usaha masyarakat sipil untuk ikut menyelenggarakan pendidikan yang khas, dan juga siasat untuk mengatasi masalah pembiayaan yang dihadapi oleh sebagian masyarakat.
Meski demikian, dari beberapa informasi yang masih secuil ini, kita tentu dapat mengambil pelajaran khususnya untuk memperkuat masalah aspek pembiayaan dalam pendidikan untuk mencapai kualitas pendidikan yang baik.
Jumat, 20 Oktober 2017
Buku dan Pendidikan di Amerika
![]() |
Perpustakaan Fordson High School di Detroit, Michigan |
Saat mendapatkan penjelasan dari Kepala Sekolah Al Fatih Academy (AFA), Ms. Afeefa Syeed, bahwa sekolah yang dikelolanya tidak menggunakan buku paket dalam proses pembelajaran di kelas, saya cukup terkejut. Apa alasannya? Menurut Afeefa, buku pelajaran dapat berpotensi membatasi ruang lingkup pembelajaran. Pembelajaran bisa menjadi kaku dan hanya terfokus pada buku teks yang digunakan.
Di Al Fatih Academy—sekolah swasta yang mengelola pendidikan dari jenjang PAUD hingga SMP di Reston, Virginia—pembelajaran lebih ditekankan pada arahan kurikulum yang telah disusun dengan pendekatan terpadu, interdisipliner, dan terutama menggunakan metode inquiry. Dengan arahan tema dan pembahasan sesuai kurikulum sekolah dan juga nilai-nilai pokok yang ingin dikembangkan, siswa difasilitasi untuk belajar dengan bertanya dan berpikir tentang hal-hal yang ada di sekitar mereka.
Saya melihat dokumen kurikulum mereka. Pada tingkat Kindergarten, saya menemukan satu halaman tema pembelajaran tentang “My Five Senses”. Saya dapat melihat bagaimana subjek-subjek pelajaran—sains, ilmu sosial, bahasa, seni, matematika, dan keislaman—dapat terintegrasi dalam tema tersebut. Saya juga sempat melihat dokumen kurikulum untuk Islamic Studies dengan konsentrasi akidah di jenjang SD, dan memperhatikan bagaimana di tiap jenjang tingkat kerumitan materi disusun dengan baik.
Pembelajaran tanpa buku pelajaran ala Al Fatih Academy, yang saat ini siswanya semua berjumlah 292 anak itu, dalam pandangan saya haruslah mengandalkan guru yang mumpuni dalam mengelola kelas sesuai dengan arahan dan target kurikulum. Selain itu, saya melihat peran ketersediaan fasilitas buku di perpustakaan sangatlah penting juga diperhatikan.
Di Perpustakaan Al Fatih Academy, saya menemukan buku-buku menarik yang rasanya akan cukup sulit saya temukan dalam versi bahasa Indonesianya. Saya cukup terkagum-kagum saat menemukan buku versi anak-anak yang dipetik dan diolah dari karya besar Imam al-Ghazali. Beberapa buku yang terlihat seperti serial terbitan Fons Vitae tersebut dicetak dengan kemasan hardcover dan full colour.
Ada yang isinya lebih dominan gambar, yakni dalam bentuk cerita bergambar, yang kemudian di bagian belakang disajikan terjemahan bahasa Inggris yang dipetik dari salah satu bab Ihya’ Ulumiddin. Untuk yang ditujukan pada pembaca yang levelnya lebih tinggi, gambar tidak terlalu dominan, tapi tetap dengan tata letak dan perwajahan yang menarik.

Di Perpustakaan Al Fatih Academy yang dapat dibilang tidak terlalu besar, saya juga menemukan buku-buku cerita yang menarik, seperti fabel lingkungan yang cukup ternama yang dikemas dalam buku berjudul When the Animals Saved Earth, dan juga buku-buku anak lainnya.
Terprovokasi dengan buku-buku semacam ini yang kemudian juga saya temukan dalam kunjungan ke sekolah-sekolah lainnya di Amerika selama tiga pekan di bulan September lalu, saya mencoba membeli beberapa buku anak di toko daring Amazon. Setelah memilih dan membeli beberapa buku yang di antaranya memang merupakan buku yang saya temukan di beberapa perpustakaan sekolah di Amerika, di Amazon saya menemukan buku-buku anak dan remaja yang menarik lainnya yang memperlihatkan kekayaan dunia bacaan berbahasa Inggris.
Selain itu, saya juga menemukan dugaan kuat bahwa dalam proses penyediaan sumber bacaan untuk kalangan anak dan remaja tersebut, pihak-pihak yang sangat berkompeten ikut serta dengan baik. Dugaan ini saya simpulkan dari salah satu buku yang saya beli yang berjudul Painting Heaven: Polishing the Mirror of the Heart (Ghazali Children) terbitan Fons Vitae. Buku komik tipis yang diolah dari bagian kecil dalam bab ‘Ajâibul-Qalb dari kitab Ihya’ Ulumiddin ini melibatkan Profesor Coleman Barks yang terkenal dengan terjemahannya atas puisi-puisi Rumi. Barks, penyair dan profesor emiritus di University of Georgia, menyiapkan naskah untuk buku yang saya beli dengan harga 16,71 dolar Amerika ini (sebelum pajak). Sedangkan yang menggarap ilustrasinya adalah Demi Hunt yang memang telah terlibat dengan penerbitan ratusan buku anak dan mendapatkan berbagai penghargaan bergengsi.
Selain itu, saya juga ingat bahwa Ms. Afeefa Syeed, kepala sekolah Al Fatih Academy, juga tercatat sebagai konsultan untuk penerbit Simon & Schuster Children’s Book Division—penerbit yang di antaranya menerbitkan buku-buku karya William J. Bennett.
Nama William J. Bennett ini menjadi masuk dalam rekam ingatan saya lantaran dia menerbitkan sebuah buku yang cukup membuat saya penasaran karena saya temukan di hampir semua perpustakaan sekolah yang saya kunjungi di Amerika. Bukunya berjudul The Book of Virtues: A Treasury of Great Moral Stories. Setelah saya membaca sebagian isi buku ini di versi Kindle yang saya beli di Amazon, pertanyaan saya tentang pendidikan moral di Amerika sedikit terjawab.
Buku yang menghimpun cerita, puisi, dan esai-esai terpilih ini berusaha membantu menumbuhkan moral literacy (kesadaran moral atau melek moral) di kalangan anak-anak dan remaja. Caranya adalah dengan berbagi keutamaan (virtues) yang termuat dalam cerita, puisi, dan esai-esai tersebut, pada anak-anak, pelajar, orangtua, dan juga guru. Dalam pengantarnya, Bennett menjelaskan empat alasan penggunaan model pendidikan moral yang dikembangkan dalam buku ini.
Pertama, cerita-cerita yang terhimpun dalam buku ini dapat menjadi titik rujukan tentang praktik konkret berbagai keutamaan moral. Kedua, kisah-kisah dalam buku ini dapat menarik perhatian anak-anak. Ketiga, cerita-cerita dalam buku ini membantu anak-anak untuk menjangkarkan diri mereka dengan akar budaya, sejarah, dan tradisi mereka. Keempat, dengan mengajarkan kisah-kisah dalam buku ini berarti kita terlibat dengan usaha pembaruan dan pemaknaan kontekstual atas kisah-kisah tersebut.
Buku yang berfokus pada 10 sifat utama ini ternyata juga dibuat dalam versi yang lebih spesifik. Bennett juga menulis buku The Book of Virtues for Your People, The Children’s Book of Virtues, dan The Book of Virtues for Boys and Girls. Bennett juga menulis buku The Moral Compass: Stories for a Life’s Journey, The Children’s Book of Heroes, The Children’s Book of America, dan lain-lain.
Satu hal lain yang cukup menarik tentang buku dan pendidikan di Amerika saya temukan di University of Dallas di Texas. Saat kunjungan ke Departemen Pendidikan kampus tersebut, saya bersama teman-teman rombongan International Visitor Leadership Program (IVLP) berkesempatan mengikuti salah satu kelas perkuliahan di kampus berlatar Katolik tersebut. Nah, kebetulan kelas yang kami ikuti terkait dengan buku. Nama mata kuliahnya “Child and Young Adult Literature” yang diampu oleh Dr. Amie Sarker.

Pada saat kami mengikuti kelas tersebut, dosen sedang fokus pada pembahasan tentang bagaimana cara mempertimbangkan buku yang cocok untuk digunakan sebagai bahan pembelajaran di tingkat sekolah dasar dan yang lebih rendah. Selain pemaparan yang menarik, dosen juga membagikan beberapa tulisan pendukung yang di antaranya juga memuat data-data tentang buku anak menarik dari berbagai belahan dunia. Dia juga membawa contoh buku-buku dan mengajak mahasiswa untuk mendiskusikannya di kelas.
Sepulang dari kunjungan di kampus tersebut, saya mencoba menjelajah ke laman kampus University of Dallas, dan ternyata saya menemukan mata kuliah yang lain di Department of Education yang juga berkaitan dengan buku. Ada mata kuliah Writing Children’s Books, Reading in the Secondary Schools, Developmental Reading, Diagnostic and Corrective Reading, dan juga Storytelling.
Lebih jauh, di laman kampus University of Dallas, saya menemukan satu hal yang sangat menarik, yakni bahwa kampus ini menyelenggarakan kelas-kelas dengan jumlah mahasiswa sekitar 16 orang per kelas yang membahas teks-teks babon untuk beberapa disiplin, seperti filsafat, teologi, ekonomi, sejarah, dan lain-lain. Kelas semacam ini diharapkan dapat mengantarkan profesor dan mahasiswa yang ikut serta untuk terlibat dalam dialog mendalam dan bermakna yang dapat mengembangkan kemampuan berpikir kritis dan menginspirasi mereka untuk mencintai pengembaraan intelektual sehingga itu semua dapat bermanfaat untuk karier akademik dan kehidupan mereka secara umum kelak. Di laman kampus juga disebutkan buku-buku induk yang akan dibahas, seperti The Communist Manifesto karya Marx dan Engels, Crime and Punishment karya Fyodor Dostoevsky, The Question Concerning Technology karya Martin Heidegger, Genealogy of Morals karya Friedrich Nietzsche, dan sebagainya.
Pada titik ini, saya melihat kesadaran yang kuat akan pentingnya buku dalam proses pendidikan sehingga hal yang berkaitan dengan buku mendapatkan tempat yang istimewa dalam perkuliahan di bidang pendidikan atau kegiatan perkuliahan lain pada umumnya di University of Dallas.
Membandingkan antara keadaan dunia perbukuan dalam kaitannya dengan praktik dunia pendidikan di Amerika dan situasi di Indonesia, saya melihat jurang yang cukup lebar dalam berbagai aspeknya. Ketersediaan buku-buku bermutu yang sangat menunjang pada proses pendidikan, mungkin termasuk juga kemudahan aksesnya oleh masyarakat dan pelajar pada khususnya, keterlibatan dan dukungan kalangan ahli dan akademisi untuk menghasilkan produk buku yang bermutu, perhatian dunia pendidikan termasuk kampus untuk memanfaatkan buku-buku tersebut dalam proses pendidikan, semuanya tampak begitu padu sehingga dengan jelas memperlihatkan jurang yang cukup lebar tersebut.
Mengakui adanya jurang yang lebar dalam hal mutu dunia perbukuan dalam kaitannya dengan praktik pendidikan antara di Amerika dan di Indonesia mungkin akan terdengar sebagai hal yang menyedihkan. Namun begitu, kita tahu bahwa pengakuan dan kesadaran semacam ini dapat juga menjadi peluang dan tantangan: bahwa ada sesuatu, atau bahkan banyak hal, yang masih harus kita lakukan dengan penuh kerja keras untuk bersama-sama membangun dunia pendidikan yang lebih baik dan membangun peradaban yang lebih maju di masa depan.
Jumat, 13 Oktober 2017
Legenda Demonstran di Seberang White House
Tenda demonstran WHPV di seberang White House, Washington DC |
Ada hal menarik saat untuk pertama kalinya kami berkegiatan di Amerika, yakni jalan-jalan ke White House di Washington DC. Saat itu hari Ahad siang, 9 September 2017. Itu adalah hari kedua kami di Washington DC untuk rangkaian kegiatan sekitar 3 pekan di beberapa kota di Amerika. Mobil yang mengantar kami dari hotel menurunkan kami di Lafayette Square yang terletak di salah satu sisi White House.
Lafayette Square tidaklah amat luas. Setelah pemandu berbincang ringan tentang taman itu dan juga tentang White House, kami kemudian melintasi taman itu ke arah Gedung Putih. Begitu melewatinya, kami tiba di halaman luar White House yang dikelilingi pagar dan dijaga oleh beberapa petugas kepolisian.
Siang itu pengunjung begitu ramai lalu-lalang di situ. Namun, begitu masuk ke area halaman luar White House, perhatian saya langsung tertuju pada sebuah tenda yang di sekitarnya dipenuhi dengan tulisan-tulisan dan foto-foto semacam poster. Seorang lelaki berjanggut dan menggunakan kursi roda tampak di depan tenda berbicara keras ke arah orang-orang yang melintas.
Rombongan kami tak berhenti lama di tenda tempat orang yang tampak sedang melakukan aksi demonstrasi itu. Rombongan kami keburu bergerak mendekat ke arah White House mengikuti gerak pemandu yang terus memberi penjelasan.
Sambil mendengarkan penjelasan pemandu yang bergerak mulai dari depan White House, terus ke arah kanan ke Blair House dan Eisenhower Executive Office Building, dan kemudian berbalik ke arah gedung Treasury Department, di pikiran saya kadang melintas tenda demonstrasi dan sosok berjanggut itu.
Agak penasaran, hari Selasa pagi, 12 September, setelah shalat subuh saya berangkat sendiri dari One Washington Circle, hotel tempat saya menginap, ke White House dengan jalan kaki. Jarak 1,5 km ditempuh sekitar 16 menit. Hari masih gelap. Saya mengambil jalur Jalan K, lalu Jalan H, hingga tiba di Lafayette Square. Mendekati halaman luar White House yang tak berpenerangan yang cukup, saya mendengar gema suara orang yang seperti berteriak. Sampai di area halaman luar White House, di samping tenda demonstran itu, lurus ke arah White House, saya melihat sesosok orang menghadap pagar White House. Dialah sumber suara itu. Di hadapannya ada tiga orang petugas kepolisian.
Saya berusaha menangkap omongannya. Pembicaraannya ternyata tentang bencana Badai Irma di kawasan Florida. Dia menuntut pemerintah untuk benar-benar memberi perhatian kepada warga yang terkena musibah alam tersebut.
Saya mencoba mendekat ke arah petugas, lalu pura-pura bertanya letak ATM Bank of America terdekat, hanya untuk mencoba melihat dari dekat sosok lelaki yang berteriak itu. Si petugas tidak tahu pasti ATM yang saya tanyakan. Saat bertanya, saya melirik ke sosok lelaki yang agak gemuk dan mengenakan pakaian berwarna merah muda itu. Dia bukan orang yang saya lihat di hari Ahad sebelumnya dengan berkursi roda di dekat tenda. Dia tampak tidak terganggu dengan kedatangan saya ke petugas di dekatnya. Dia tetap bermonolog ke arah White House.
Saat Jum’at sore (15 September) saya melewati kawasan White House itu lagi, saya masih melihat si demonstran dengan tendanya.
Meninggalkan Washington DC pada hari Sabtu 16 September untuk pindah ke kota Detroit di Michigan, saya masih belum menyadari bahwa tenda dan demonstran di Lafayette Square seberang White House itu adalah sebuah legenda. Sementara itu, saya hanya menyimpan rasa kagum bahwa ada orang demonstrasi (yang dilakukan berhari-hari) di depan White House yang dibiarkan begitu saja oleh petugas kepolisian. Terlintas pertanyaan apakah itu bagian dari praktik kebebasan berbicara di Amerika.
Tenda dan demonstran di White House kembali muncul dalam pikiran saya saat di kota Detroit saya berjumpa dengan seorang perempuan yang tengah melakukan aksi demonstrasi sendirian di sebuah persimpangan jalan di dekat gedung perkantoran Renaissance Center. Dia mengangkat tulisan besar yang intinya mengecam General Motors yang persis berkantor di gedung Renaissance Center itu. Beberapa tulisan lainnya disiapkan di dekatnya.
Kesan saya saat menyaksikan aksi solo demo di pagi hari di kota Detroit yang katanya memang sedang dilanda krisis ekonomi sehingga di antaranya mengakibatkan terjadinya PHK yang cukup masif itu adalah soal kegigihan. Rupanya untuk mengungkapkan aspirasi atau tuntutan memang tak harus beramai-ramai. Satu orang sudah cukup. Asal cari tempat yang tepat. Seperti juga halnya aksi demo di Lafayette Square itu.
Saat saya bermaksud menuliskan catatan tentang dua aksi solo demo di Washington DC dan Detroit itu, saya mencoba menggali data di internet. Saat mencoba mengamati dua foto tersebut yang sempat saya ambil, khususnya foto tenda dan demonstran di White House, saya cukup terkejut saat saya melihat bendera Palestina ukuran kecil dipasang di atas tenda, bersebelahan dengan bendera Amerika.
Wah! Tenda dan demonstran ini pasti bukanlah hal sembarangan. Bendera Palestina bukan sesuatu yang biasa jika ia dipasang di dekat White House. Tapi mengapa saya tidak ingat pernah mendengar komentar atau pemaparan tentang tenda dan demonstran itu dari pemandu saat keliling kota Washington DC? Apa saya melewatkan bagian itu?
Saya coba minta bantuan Google dengan kata kunci teks yang saya temukan di foto tersebut. Saya menggunakan kata kunci “William Thomas anti nuclear peace vigil”. Saya juga coba “Palestine flag white house”, juga dengan variasi bahasa Indonesia. Dan ternyata saya menemukan cerita tentang legenda!
Dari Wikipedia dan beberapa sumber lainnya, saya jadi tahu bahwa tenda dan demonstran di Lafayette Square itu sudah memulai aksinya sejak 3 Juni 1981. William Thomas adalah pelopornya. Thomas yang kelahiran New York ini adalah seorang aktivis anti-nuklir dan juga aktivis perdamaian. Saat meninggal pada 23 Januari 2009, aksinya di depan White House yang sudah menjadi legenda dilanjutkan oleh Concepcion Picciotto—biasa disebut Connie—yang telah mengikuti aksi Thomas sejak Agustus 1981. Connie yang berdarah Spanyol ini meninggal pada 25 Januari 2016, dan aksinya kini dilanjutkan oleh rekan-rekannya sesama aktivis perdamaian yang tergabung dalam kelompok White House Peace Vigil (WHPV).
Adapun bendera Palestina yang dipasang di tenda demonstran itu, itu merupakan tanda bahwa isu Palestina adalah salah satu fokus masalah yang disuarakan selain masalah Irak dan juga Suriah yang belakangan juga hangat. Dari kunjungan saya selama tiga pekan di Amerika, saya akhirnya dapat memahami bahwa isu perdamaian dan perang di berbagai negara di dunia sangatlah berkaitan dengan Amerika karena faktanya cukup banyak warga yang mengalami konflik di berbagai negara tersebut yang kemudian hijrah ke Amerika.
Begitu selesai membaca beberapa informasi di internet tentang tenda dan demonstran di depan White House itu, saya merasa cukup menyesal bahwa saya baru mengetahui tentang legenda demonstran yang katanya sempat berkali-kali berurusan dengan pengadilan di Amerika akibat aksinya yang tercatat sebagai aksi demonstrasi terlama di Amerika yang tak bisa dibubarkan oleh pemerintah. Aturan bahwa aksi demonstrasi tidak boleh sampai menginap tidak bisa menghentikan aksi kelompok White House Peace Vigil ini, karena aksi ini jauh lebih awal digelar daripada terbitnya peraturan tersebut.
Andai saya tahu saat saya masih tinggal di Washington DC, mungkin saya bisa menggali informasi secara langsung di sana. Saya bisa bertanya tentang suka duka para aktivis perdamaian yang bergantian meneriakkan tuntutannya pada salah satu pusat politik di dunia itu. Saya mungkin juga akan menanyakan tentang keluarga mereka dan juga aneka tanggapan yang mereka terima dari para pengunjung di tempat itu.
Ah, semua hanya tinggal penyesalan. Ini akibat keterbatasan pengetahuan saya sehingga saya melewatkan salah satu legenda demonstran yang bernilai penting di Amerika. Akhirnya, saya sendiri tidak tahu apa saya masih akan punya kesempatan untuk kembali ke Lafayette Square itu untuk sekadar berbincang, foto bareng, atau turut menyumbang 10 atau 20 dolar untuk aksi damai tersebut.
Label: IVLP 2017, Social-Politics
Jumat, 06 Oktober 2017
Nasionalisme Sederhana ala Warga Amerika
![]() |
Bendera Amerika dalam ukuran besar di Ronald Reagan Washington National Airport |
Ada pelajaran kecil yang cukup berharga yang saya dapatkan dari kunjungan saya ke Amerika selama 3 pekan dalam rangka undangan Department of State (Kementerian Luar Negeri) untuk program International Visitor Leadership Program (IVLP). Pelajaran itu tentang nasionalisme yang terwujud dalam bentuk sederhana tapi saya rasakan cukup kuat dan berdampak.
Selama 3 pekan di Amerika, berpindah dari kota ke kota (Washington DC, Detroit di Michigan, Dallas dan Austin di Texas, dan Portland di Oregon), saya menyaksikan warga Amerika banyak yang memasang bendera Amerika di rumah-rumah mereka. Tidak semua berbentuk bendera. Ada juga kain dekoratif yang dipasang di pagar rumah tapi bermotif bendera Amerika.
Menurut pengalaman saya, di Indonesia, orang-orang ramai memasang bendera umumnya hanya pada bulan Agustus, yakni dalam rangka peringatan hari kemerdekaan Republik Indonesia.
Memasang bendera memang tampak sebagai laku sederhana. Tapi saya pikir kecintaan pada negara dan perasaan sebagai suatu bangsa di antaranya dapat terpupuk melalui tindakan-tindakan seperti itu. Identitas juga terbentuk melalui ungkapan sederhana yang dilakukan terus-menerus dan terjadi secara masif. Sifat masif di sini saya pikir dapat berfungsi untuk saling menguatkan dan saling menegaskan.

Selain di rumah-rumah, saya juga menemukan bendera Amerika dipajang di gedung-gedung publik, seperti sekolah, bandara, kantor, dan sebagainya. Tidak hanya di halaman, bendera kadang saya temukan di salah satu ruangan di gedung publik seperti sekolah.
Dalam pertunjukan Rodeo di Fort Worth, Texas, saya menyaksikan di arena dalam ruangan dekorasi bermotif bendera Amerika di sepanjang pagar tribun. Selain itu, pertunjukan dimulai dengan nyanyian kebangsaan yang juga menampilkan seseorang yang berkuda mengelilingi arena sambil membawa bendera Amerika.

Pernah juga sekali saya melihat sepeda onthel yang di belakangnya dipasang bendera Amerika sampai bersusun empat. Saya melihat sepeda itu di halaman Capuchin Soup Kitchen di Detroit.
Memasang bendera mungkin memang hal yang sederhana. Sekilas, maknanya seperti tak seberapa. Tapi kita tahu, di negeri kita, ada juga orang-orang yang sangat serius mempersoalkan bendera sehingga mereka melarang sikap hormat pada bendera sebagaimana lazim dilakukan pada upacara-upacara—konon, menurut mereka, hormat bendera bisa termasuk syirik, dosa terbesar dalam agama.
Dalam konteks kehidupan bernegara dan berkebangsaan, saya pikir memasang bendera adalah salah satu cara sederhana untuk menanamkan rasa kebangsaan dan untuk membentuk identitas dan nasionalisme. Identitas di sini, dalam konteks Indonesia, tentu merupakan identitas yang berlandaskan pada nilai-nilai Pancasila yang menghargai kemajemukan dan memberi tempat pada asas-asas pokok seperti ketuhanan, kemanusiaan, dan juga keadilan.
Label: IVLP 2017, Social-Politics
Senin, 02 Oktober 2017
Washington DC, Kekuatan Gagasan, dan Identitas
Tak terasa tiga pekan berlalu begitu cepat. Rasanya baru kemarin saat saya menginjakkan kaki untuk pertama kali di Washington DC tepat pada hari Sabtu, 9 September. Sekarang saya sudah dalam perjalanan pulang, melintasi Samudera Pasifik.
Selain kegiatan resmi berupa diskusi tentang tema-tema umum untuk mengenal Amerika dan sistem kehidupannya, saya bersama teman-teman lain berkesempatan mengunjungi tempat-tempat penting di Washington DC. Kebetulan juga hotel tempat kami menginap berjarak dekat dengan beberapa landmark Washington DC.
Secara khusus, pada hari kedua di Amerika, 10 September, kami mendapat kesempatan untuk keliling kota Washington DC selama sekitar 3 jam. Dari kegiatan itu, dan juga dari kegiatan diskusi, saya mendapatkan pemahaman tentang kekuatan gagasan yang ada di balik bangunan-bangunan penting di Washington DC yang juga dapat menjadi gambaran berkaitan dengan gagasan tentang Amerika.
Saat Washington City Tour, pemandu pertama mengantar kami ke Gedung Putih, yang sebenarnya mungkin hanya berjarak sepeminuman teh dari hotel kami. Hal pertama yang menarik buat saya tentang gedung putih adalah gagasan tentang bagaimana gedung pemerintahan dipersepsikan sebagai gedung rakyat sehingga katanya di situ gedung-gedung pemerintahan tidak secara definitif memiliki pintu atau halaman depan.
Sebagai gedung yang menjadi tempat untuk melayani masyarakat, Gedung Putih misalnya, tak memiliki apa yang disebut pintu atau halaman depan. Hanya disebut pintu jalan A, pintu jalan B, dan seterusnya. Jadi di sini saya menangkap ada unsur yang bersifat substantif di satu sisi dan unsur praktis di sisi lain.
Selain itu, ada juga hal menarik dari cerita pemandu. Katanya, beberapa kata kunci terkait pemerintahan di Amerika dibuat dengan keinginan untuk berbeda dengan tempat lain. Misal, di Amerika, kementerian luar negeri, lembagai pemerintah Amerika yang mengundang kami untuk program International Visitor Leadership Program (IVLP) ini disebut dengan istilah "Department of State" atau "State Department", bukan Ministry of Foreign Affairs sebagaimana lazim digunakan.
Demikian pula, penulisan "In God we trust" yang terdapat dalam mata uang dolar Amerika konon katanya dilakukan untuk membedakan dengan Uni Soviet, seteru Amerika, yang identitasnya tak mau dihubung-hubungkan dengan aspek ketuhanan.
Secara historis, tentu saja ide-ide menjadi landasan pokok yang menggerakkan roda sejarah sebuah bangsa. Gagasan tentang Pancasila bagi Indonesia misalnya menjadi hal yang sangat penting hingga sekarang. Demikian juga di Amerika. Gagasan tentang kebebasan beragama, sekularisme, dan juga federalisme menjadi hal pokok yang menjadi dasar sistem kehidupan masyarakat.
Di Washington DC, beberapa gagasan itu direkam dalam bentuk monumen, seperti Lincoln Memorial yang menggambarkan ide hebat Abraham Lincoln dalam menyatukan masyarakat Amerika saat mereka bertikai.
Gagasan juga kadang terwujud dalam hal yang cukup praktis, seperti pengaturan nama jalan. di Washington DC, tidak sulit untuk menghapalkan jalan, karena ada yang dibuat berurut abjad (seperti jalan K, jalan L, dan lain-lain) selain juga menggunakan nama-nama kota. Di kota lainnya, nama jalan kadang menggunakan nomor.
Kita tahu bahwa untuk membangun masyarakat dan membangun bangsa membutuhkan landasan yang baik. Gagasan-gagasan besar perlu dibangun, didiskusikan, dikuatkan, dan dilembagakan serta diterjemahkan dalam alur yang lebih praktis dan aplikatif. Dari Washington DC, saya mencoba belajar tentang bagaimana gagasan itu diolah dan terus mengalami dinamika hingga kini.
Los Angeles-Tokyo (Samudera Pasifik), 1 Oktober 2017
Label: IVLP 2017, Social-Politics
Minggu, 01 Oktober 2017
Pelajaran Empati dari Detroit
Saat jam menunjukkan pukul 4 sore, seorang petugas segera memberi tahu kami bahwa sudah waktunya untuk memulai. Kami sudah berbaris di belakang deretan aneka menu makanan. Di ujung kanan, ada dua orang petugas dari Capuchin Soup Kitchen. Mereka berdua memulai menyiapkan makanan. Kotak makanan diambil. Menu-menu mulai dimasukkan ke dalam kotak. Kami juga memasukkan menu makanan sesuai yang sudah ditugaskan, sesuai dengan bagian kami masing-masing.
Ada yang memasukkan sayuran. Ada yang meletakkan roti. Saya kebagian memasukkan sendok, garpu, dan pisau ke dalam kotak. Rekan di sebelah saya membagikan minuman.
Kami bertugas dengan gegas. Orang-orang yang semula duduk di kursi dan juga berdiri di ruangan yang mirip aula itu mulai berdatangan mendekat. Seorang rekan bertugas membagikan kotak yang sudah berisi makanan dan siap disajikan.
Demikianlah. Sore itu kegiatan kami dalam program International Visitor Leadership Program (IVLP) bertema Faith-Based Education ini memang berbeda. Biasanya kami berdiskusi dan atau mengunjungi lembaga atau sekolah tertentu. Namun sore itu kami mendapat kesempatan untuk menjadi relawan di Capuchin Soup Kitchen di kota Detroit, Michigan.
Capuchin Soup Kitchen adalah lembaga sosial yang dikelola komunitas religius Ordo Fransiskan yang membagikan makanan gratis kepada orang-orang sekitar 3 kali sehari. Aksi sosial ini bermula saat tekanan ekonomi hebat yang terjadi di Amerika Serikat pada dekade 1930-an. Saat ini, mereka menyajikan makanan gratis setidaknya 600 kotak per hari.
Sebagai sebuah lembaga sosial, Capuchin tidak hanya menggalang dana dari masyarakat. Mereka juga memiliki kegiatan berkebun yang hasilnya digunakan untuk aksi makan gratis tersebut. Selain itu, Capuchin juga membantu mengatasi masalah ekonomi masyarakat yang mencari makanan gratis di situ dengan cara memberi mereka keterampilan kerja sehingga diharapkan dapat berpenghasilan yang memadai. Saya di situ juga melihat ada pengumuman tentang kursus literasi yang diselenggarakan oleh Capuchin.
Kami mendapatkan pemaparan singkat tentang Capuchin sebelum kami ikut bertugas sebagai relawan dengan membagikan makanan gratis tepat pada pukul empat sore. Sekitar 45 menit sebelumnya kami tiba di situ dan disambut dengan menyaksikan video pendek profil Capuchin. Sayang karena waktu terbatas tak ada waktu untuk menggali lebih mendalam tentang profil dan kegiatan Capuchin karena kami harus bersiap memberi pelayanan.
Dari video profil singkat yang diputar, saya menemukan sebuah cerita yang sangat menyentuh. Pada salah satu bagian, dikisahkan bahwa pernah ada salah seorang relawan yang ikut membagikan makanan gratis di situ, dan saat dia membagikan makanan, ternyata salah seorang yang dia beri makanan adalah saudaranya sendiri yang sudah 15 tahun tak berjumpa.
Saat melayani orang-orang yang terus berdatangan, kami terkadang mendapatkan apresiasi dari mereka. Mereka berterima kasih dan mendoakan kami. "You're my hero," kata salah satu dari mereka. "May God bless you," kata yang lainnya.
Orang-orang yang kami layani itu cukup beragam. Tapi kebanyakan berkulit hitam. Tua, muda, juga ada anak-anak. Ada yang kadang minta jatah lebih, misalnya untuk roti atau susu.
Kami terus melayani nyaris tanpa henti. Arus kedatangan orang-orang tak pernah berhenti cukup lama. Kami terus berdiri sambil bertugas. Tak ada jeda yang cukup buat kami untuk sekadar duduk. Bila ada jeda, saya kadang menebarkan pandangan ke orang-orang yang duduk melingkar di antara meja dan kursi yang disediakan. Mereka tampak makan dengan lahap.
Saat memperhatikan mereka dan juga bertugas melayani, pikiran saya berkecamuk ke sana kemari. Pikiran saya pulang ke rumah saya, menemui adik-adik saya, anak-anak saya, dan orang-orang dekat lainnya. Dunia macam apa yang akan mereka hadapi kelak? Di sini, di Amerika, negara yang katanya paling berkuasa di dunia dan mungkin mencapai tingkat kemajuan tingkat atas, ternyata masih cukup banyak orang-orang yang berkekurangan dan membutuhkan uluran tangan.
Ini mungkin juga bagian dari ironi. Kota Detroit pada khususnya, adalah kota yang dikenal sebagai pusat industri, utamanya otomotif. Raksasa otomotif Amerika, Ford dan General Motors, ada di sini. Saya ingat, dua hari sebelumnya kami berkunjung ke Henry Ford Museum yang di sana digambarkan inovasi Amerika melalui sosok Ford dan yang lainnya.
Tapi Detroit kini sudah mengalami kemunduran. Krisis ekonomi tahun 2008 dan juga kekalahan persaingan mobil-mobil produk Amerika pada mobil produk Jepang di sisi lain menyebabkan masalah sosial dan ekonomi yang cukup serius.
Tanpa terasa, waktu berjalan begitu cepat di Capuchin. Tapi orang-orang masih berdatangan Menurut petugas, Capuchin memberi layanan sampai pukul 7 petang. Namun demikian, kami harus pulang ke hotel untuk istirahat sehingga kami hanya melaksanakan tugas sebagai relawan selama satu jam. Setelah itu, tugas kami digantikan oleh relawan yang lain.
Saat waktu menunjukkan pukul 5, kami undur diri dari ruangan makan. Kami berterima kasih kepada pengurus Capuchin dan kemudian meninggalkan tempat itu.
Saat kami keluar, langit terlihat mendung. Orang-orang masih ada yang datang. Ada juga yang pulang. Saya melihat di antara mereka ada yang membawa sepeda onthel. Di bagian belakang berkibar bendera Amerika Serikat. Saya teringat salah seorang yang tadi ikut mendapatkan kotak makanan di dalam yang mengenakan atribut tentara.
Sore itu kami pulang dengan perasaan bermacam-macam. Saya teringat salah seorang rekan kami yang tadi di dalam tampak berkaca-kaca saat sibuk bertugas mengemas makanan. Saya yakin, selama sekitar satu jam, kami semua tidak hanya ikut memberikan makanan kepada orang-orang itu. Saya percaya bahwa sesungguhya merekalah yang telah memberikan sesuatu yang sangat berharga buat kami, yakni pelajaran tentang empati dan tugas berat untuk menerjemahkan pelajaran itu dalam aksi nyata bersama-sama.
Los Angeles-Tokyo (Samudera Pasifik), 30 September 2017
Label: IVLP 2017, Spirituality
Sabtu, 30 September 2017
Shalat Jum'at di Gereja
Ada sedikit kejutan di hari terakhir kami di Amerika. Setelah kegiatan terakhir, yakni evaluasi program, dilaksanakan, saya dan beberapa teman bermaksud untuk shalat Jum'at. Menurut panduan yang dikeluarkan panitia, shalat Jum'at terdekat digelar oleh Muslim Student Association Portland State University di salah satu gedung kampus. Jaraknya sekitar 1 mil dari hotel tempat kami menginap. Menurut Google Maps, dari hotel ke tempat tersebut dapat ditempuh dengan jalan kaki 22 menit.
Di luar gerimis, persis seperti ramalan cuaca di televisi yang saya tonton sebelum subuh. Saya berangkat dengan membawa payung, berdua dengan Pak Yasir, dosen dari UIN Arraniry Banda Aceh. Kami bergegas di antara terpaan angin karena khawatir terlambat.
Saya berjalan di depan mengikuti petunjuk Google Maps. Tak sulit untuk menemukan gedung yang dimaksud. Gedung Peter W Stott sudah terlihat. Begitu pintu masuk terlihat, kami bergegas ke dalam. Setelah beberapa saat mencari, ternyata tak ada shalat Jum'at di gedung itu. Menurut salah seorang yang kami temui, katanya sebagian gedung itu sedang direnovasi sehingga mungkin tempat shalat Jum'at dipindah. Dia memberi petunjuk agar kami ke tempat Muslim Student Association di gedung sebelah.
Kantor Muslim Student Assoiation ternyata cukup jauh. Setelah mencari-cari kantor Muslim Student Association di gedung dimaksud, kami menemukan informasi yang cukup mengejutkan: shalat Jum'at hari ini digelar di First Christian Church di 1314 SW Park Ave, dan khotbah akan dimulai pada pukul 13.40.
Beruntung sekali di kantor tersebut ada jaringan Wi-Fi gratis. Saya segera cek Google Maps. Ternyata gedung First Christian Church tidak jauh dan tidak sulit. Enam menit jalan kaki, begitu menurut Google Maps. Gedungnya bersebelahan dengan Oregon Historical Society yang sebelumnya kami tempati salah satu sesi kegiatan.
Saat itu waktu menunjukkan pukul satu lewat beberapa menit. Masih cukup waktu untuk ke sana. Sebelum meninggalkan kantor Muslim Student Association, saya berkirim pesan ke teman-teman yang lain tentang perubahan tempat shalat Jum'at tersebut dan lokasi gereja di Google Maps.
Sesampai di depan gereja yang dimaksud, kami mencari pintu masuk. Pintu masuk utama tertutup rapat, terkunci. Ternyata di sebelah ada pintu yang sepertinya mengarah ke kantor gereja, dan di pintunya tertulis pengumuman tentang pelaksanaan shalat Jum'at di situ.
Setelah menunggu sebentar, seorang perempuan muda datang membukakan pintu. Dengan ramah, dia mengantar kami ke tempat pelaksanaan shalat Jum'at, yakni di lapangan basket yang ada di kompleks gereja. Saat kami tiba, hanya ada 2 orang di situ. Waktu menunjukkan pukul 13.10.
Namun tak lama setelah saya tiba, orang-orang mulai berdatangan. Lalu datang pula beberapa anak muda yang kemudian menggelar tikar bermotif sajadah di ruangan tersebut. Saat tikar mulai digelar, beberapa teman kami datang juga.
Seperti di pengumuman, khotbah dimulai pada pukul 13.40. Khotibnya masih muda. Saya menduga dia mahasiswa di Portland State University. Khotbahnya tidak lama. Standar. Isinya di antaranya seruan untuk meneladani sosok Nabi Muhammad saw dalam konteks kehidupan dan tantangan kaum muslim di Amerika. Sekitar pukul 2, shalat Jum'at digelar.
Setelah shalat Jum'at, panitia dari Muslim Student Association memberi pengumuman singkat. Di antaranya tentang pemindahan tempat shalat Jum'at. Dia menjelaskan bahwa Muslim Student Association sangat senang karena telah diberi tempat oleh First Christian Church untuk shalat Jum'at di situ; bahkan petugas di kantor gereja tersebut tidak pulang, menunggu selesainya pelaksanaan shalat Jum'at. Lalu dia mengumumkan bahwa ada kotak amal untuk gereja di belakang jika ada jamaah yang berkenan membantu.
Rasanya, shalat Jum'at terakhir di Amerika ini memberi kesan menarik buat saya. Pengalaman shalat Jum'at di gereja bagi saya adalah pengalaman pertama. Dan ini di antaranya menggambarkan bahwa paling tidak di tingkat akar rumput, kehidupan antar-umat beragama di Amerika tidak selalu jauh dari harmoni. Selama 3 pekan di Amerika, berpindah dari satu kota dan negara bagian yang berbeda (Washington DC, Reston di Virginia, Detroit di Michigan, Dallas dan Austin di Texas, dan Portland di Oregon), kami menemukan harmoni dan wajah toleransi yang mengesankan.
Di Dallas, Texas, misalnya, di masjid tempat kami Jum'atan saya menemukan surat dari komunitas Yahudi, komunitas Kristen, dan juga tetangga sekitar masjid, yang memberikan dukungan saat komunitas muslim mendapatkan perlakukan yang tidak nyaman dari kelompok masyarakat tertentu.
Dari sudut konstitusi, kebebasan beragama di Amerika dijamin oleh undang-undang. Umat beragama harus tidak mendapat hambatan untuk melaksanakan ajaran-ajarannya. Dari komunitas-komunitas muslim yang kami kunjungi, kami mendapatkan kisah bahwa secara umum menjalankan ajaran Islam di Amerika tidak sulit. Bahkan di kampus Georgetown University Washington DC, kampus Jesuit tersebut mengangkat seorang imam untuk mahasiswa muslim yang memiliki kantor dan mengelola kegiatan keagamaan bersama pemimpin agama yang lain.
Kesan saya tentang hubungan antar-agama di Amerika mendapatkan pengalaman menarik saat shalat Jum'at di gereja. Tambahan lagi, saat saya keluar dari kompleks gereja, saya menemukan sebuah tulisan menarik di salah satu sisi gedung kompleks gereja. Begini kalimatnya: "As a christian I am sorry for times we've been silent and the narrow-minded, judgemental, deceptive, manipulative, ignorant, harmful ways we have denied rights, equality and inclusion to so many in the name of God."
Pengakuan dan permintaan maaf atas kesalahan dan sikap buruk kepada orang lain tidaklah mudah untuk dkeluarkan. Untuk bisa demikian, kita harus selangkah mengalahkan ego dalam diri kita. Dalam menghargai dan menghormati orang lain, itu mungkin salah satu tahap tersulit yang harus kita lewati.
Jum'atan terakhir di Amerika seperti merangkum dan menegaskan pesan penting tentang makna hidup bersama sebagai manusia yang melampaui sekat-sekat identitas kelompok yang berpotensi mengundang sikap tidak manusiawi dan tidak beradab.
Portland-Los Angeles, 30 September 2017
Label: IVLP 2017, Religious Issues