Idul Fitri memiliki makna spiritual yang bersifat individual dan sosial. Pada tingkat perorangan, Idul Fitri adalah perayaan kembalinya seseorang ke fitrah kemanusiaan yang suci setelah melalui tempaan puasa satu bulan penuh. Melalui olah rohani pengendalian diri selama bulan puasa, pribadi yang berhasil akan meraih kemenangan dengan kembali ke status asal penciptaan—seperti terlahir suci.
Pemahaman tentang makna spiritual Idul Fitri secara sosial dapat berangkat dari pemahaman fitrah individual manusia. Menurut M Quraish Shihab, penamaan manusia dengan kata al-insan—dalam bahasa Arab yang kemudian diserap ke dalam bahasa Indonesia—diambil dari kata uns yang berarti senang atau harmonis. Artinya, manusia memiliki fitrah mendasar untuk menjalin hubungan baik yang bersifat harmonis dengan sesama.
Manusia yang jalinan hubungannya dengan orang lain terganggu pasti juga akan mengalami kegelisahan. Hidupnya tidak akan bisa tenang. Manusia yang menyakiti orang lain, mendendam, atau melakukan dosa, berarti telah mengotori fitrah kemanusiaannya.
Dalam konteks kehidupan bermasyarakat dan berbangsa, di antara pesan Idul Fitri yang penting digarisbawahi, dorongan untuk menjaga dan memperkuat jalinan harmoni antarmanusia. Berbagai fenomena kehidupan kebangsaan dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan, ancaman terhadap harmoni kebangsaan tidak pernah usai. Memang benar di balik keragaman bangsa juga tersimpan potensi bekerja sama menuju bangsa yang unggul. Namun, tidak sedikit pula gejala yang menunjukkan bahwa harmoni itu dapat terganggu.
Salah satu pengganggu yang semakin mengkhawatirkan adalah persebaran hoaks karena intensitasnya semakin meningkat dan dampaknya semakin meluas mulai dari lokal hingga nasional. Menurut Kementerian Komunikasi dan Informatika, dalam empat bulan pertama tahun 2019, persebaran hoaks media sosial terus meningkat. Kemenkominfo mencatat ada 175 hoaks di bulan Januari 2019, 353 di bulan Februari, 453 di bulan Maret, dan 486 di bulan April.
Hoaks yang mengancam harmoni kebangsaan ini terutama berkaitan dengan isu politik. Identifikasi Kemenkominfo, periode Agustus 2018 hingga April 2019, dari 1.731 hoaks, 620 di antaranya masuk dalam kategori politik dan 210 masuk kategori pemerintahan.
Hoaks di bidang politik terkait pemilu yang baru usai digelar. Dampak persebarannya membuat masyarakat terbelah ke dalam kubu-kubu politik yang terus membangun narasi disharmoni yang tidak sehat. Beberapa dampaknya bahkan berupa tindak kekerasan seperti Mapolsek Tambelangan di Kabupaten Sampang pada 22 Mei lalu akibat hoaks yang ditelan mentah-mentah.
Narasi disharmoni terus terbangun terutama di media sosial, disusun oleh kaum awam yang memang kurang berpendidikan hingga dilakukan oleh mereka yang secara formal sudah cukup terdidik. Narasi disharmoni dan ancaman perpecahan sangat mengganggu kehidupan berbang-sa dan bernegara karena jalan untuk membangun dan meningkatkan mutu kehidupan masyarakat akan terhambat. Nalar dan emosi warga banyak dikotori informasi sesat, sehingga ruang kerja sama untuk berbuat kebajikan menyempit.
Secara teknis, hoaks dapat diatasi dengan klarifikasi dan peningkatan literasi. Kemenkominfo sendiri tak hanya berhenti mengidentifikasi hoaks di internet, tapi juga memverifikasi dan memvalidasi, sehingga diharapkan dapat memulihkan keadaan. Selain Kemenkominfo, banyak komunitas yang juga gigih mengidentifikasi dan mengklarifikasi hoaks.
Harmoni kebangsaan yang terancam hoaks dapat juga dilawan dengan memperkuat makna spiritual Idul Fitri khususnya dalam konteks fitrah harmoni manusia sebagai makhluk sosial. Dengan merayakan Idul Fitri, umat Islam khususnya didorong menjernihkan sikap batin dalam memandang dan berinteraksi dengan orang lain.
Dalam literatur dan tasawuf, umat Islam sering diingatkan tentang bahaya prasangka, dengki, dan dendam. Dalam sebuah hadis, Nabi Muhammad Saw mengingatkan agar kita berhati-hati dengan prasangka karena bisa serupa berita bohong. Dalam hadis yang lain dikatakan, jika di benak terlintas prasangka buruk tentang orang lain, jangan melayani dan melanjutkannya dengan tindakan lain.
Hoaks tentang “polisi Tiongkok” dalam aksi demo yang berlanjut rusuh pada 21-22 Mei lalu dapat menjadi cermin dan pelajaran tentang tindakan ceroboh dan grusa-grusu yang dipupuk oleh prasangka. Pelaku tanpa menyadari dapat mengganggu harmoni dan mengancam keutuhan bangsa.
Sikap dengki juga tak kalah berbahaya. Imam Syafi’i (w 820) mengingatkan, setiap permusuhan sejatinya dapat diharapkan bisa membaik, kecuali yang didasari sikap dengki. Sikap dengki mengotori pikiran seseorang, sehingga menutup pintu nalar dan hati yang jernih.
Maaf dan Cinta
Prasangka dan dengki mengotori hati, sehingga mengganggu fitrah harmoni sebagai modal pokok dalam membangun kehidupan berbangsa dan bernegara. Idul Fitri mengajarkan agar umat terus belajar mencapai tingkat ketulusan maaf yang sejati. Maaf adalah wujud kesadaran bahwa dendam, kebencian, dan kemarahan hanyalah penghalang kebebasan yang justru memerangkap kita di ruang ego yang sempit dan pengap.
Orang yang mampu memberi maaf dapat menahan diri dari upaya membalas dendam. Menurut ajaran Islam sebagaimana tertuang dalam Surah Annahl ayat 125, membalas dengan setimpal itu diizinkan. Akan tetapi, memaafkan itu jauh lebih baik. Jalaluddin Rakhmat menerangkan, memaafkan itu lebih baik. Menurutnya, manusia cenderung membalas lebih buruk, sehingga terjerembap ke perilaku zalim.
Dalam kehidupan sosial, maaf di sini tentu saja tidak berarti kita menafikan nilai dan dampak perilaku buruk, zalim, dan tidak adil. Perbuatan buruk tetap harus diadili. Namun, maaf di sini lebih sebagai sebuah sikap batin dalam melihat dan membuka jalinan dengan orang lain. Sebab, tertutupnya pintu maaf juga berarti tertutupnya kemungkinan jalinan harmoni dan kerja sama dengan orang lain.
Pada lapisan makna yang terdalam, memaafkan adalah ungkapan cinta. Memberi maaf dengan tulus merupakan ungkapan cinta pada orang yang dimaafkan. Ini tingkat tertinggi sikap batin memaafkan. Jika terus dipupuk akan menjadi kekuatan besar dalam merawat harmoni kebangsaan.
Umat Islam yang sudah menjalani puasa harus berbesar hati bahwa dirinya sudah berhasil melewati jihad dan latihan batin menaklukkan berbagai bentuk nafsu sepanjang bulan. Inilah yang perlu terus dijaga. Sebab di antara pesan kebangsaan Idul Fitri yang cukup kontekstual saat ini adalah panggilan untuk senantiasa menjaga fitrah harmoni kemanusiaan sebagai dasar bagi upaya untuk terus menebarkan kebajikan dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa.
Tulisan ini dimuat di Koran Jakarta, 4 Juni 2019.
Selasa, 04 Juni 2019
Pesan Kebangsaan Idul Fitri
Kamis, 18 April 2019
Para Pengilham dan Bahan Baku Harapan
Judul buku: DI’s Way: Pribadi-Pribadi yang Menginspirasi
Penulis: Dahlan Iskan
Penerbit: Noura Books, Jakarta
Cetakan: Pertama, Februari 2019
Tebal: 200 halaman
ISBN: 978-602-385-765-4
Harapan adalah penggerak untuk mendorong perubahan di tengah situasi yang menantang. Bangsa yang mau bangkit harus bisa mengindustrialisasi harapan (manufacturing hope)—istilah yang diperkenalkan Dahlan Iskan setelah diangkat menjadi Menteri BUMN pada tahun 2011. Untuk mengindustrialisasi harapan, kata Dahlan Iskan, bahan bakunya adalah niat baik, ikhlas, kreativitas, tekad, dan totalitas.
Buku ini memuat 25 kisah sosok-sosok mengilhamkan yang dijumpai Dahlan. Melalui esai-esai renyahnya, Dahlan menjadi corong untuk menyuplai bahan baku harapan untuk bangsa ini.
Dahlan berkisah tentang Irwansyah, pribadi inspiratif dari Desa Untoronadi, Magetan. Irwansyah menjadi semacam Bulog di desanya. Setelah panen, dia membeli gabah petani yang harganya sedang anjlok. Tapi harga belinya tidak lantas ikut anjlok juga dan selesai setelah transaksi. Irwansyah menjual gabah tersebut saat harga sudah naik. Hasil jualnya dihitung ulang: uang yang sudah diterima petani dihitung, dipotong biaya proses pengeringan, dan sisanya dikembalikan ke petani.
Dari mana Irwansyah mengambil keuntungan? Dia mengambil laba dari pekerjaannya sebagai penjual pupuk. “Strategi Bulog” Irwansyah digunakan untuk mempertahankan loyalitas konsumennya.
Irwansyah sejauh ini hanya mampu membeli gabah dari 40 petani di desanya. Tapi peran dan strateginya luar biasa. Kata Dahlan, Irwansyah menggabungkan peran Bulog, Bank Indonesia, Bappenas, Kementan, dan BUMN untuk level desa (hlm. 132-137).
Esai-esai dalam buku yang semula terbit di “rumah baru” Dahlan, disway.id, ini juga menuturkan kehebatan sosok-sosok pengilham di bidang teknologi. Dahlan berkisah tentang Profesor Raldi Artono Koestoer yang di kartu namanya tak mencantumkan gelar apa pun. Kata Dahlan, Profesor Raldi bukan intelektual biasa. Dia intelektual egaliter. Kerja intelektulanya tak hanya dengan disiplin berpikir keras. Dia juga membawa misi. Misi kemanusiaan.
Profesor Raldi membuat inkubator murah untuk mengatasi masalah meninggalnya bayi prematur. Inkubator buatan Profesor Raldi hanya butuh listrik 50 watt. Beratnya 13 kg. Tapi inkubatornya ini hanya dijual khusus. Yakni khusus untuk pembeli yang mau jadi relawan: meminjamkan untuk orang miskin (hlm. 17-21).
Dahlan juga menulis tentang Garuda Maintenance Facility (GMF), salah satu anak perusahaan Garuda yang sukses besar. GMF yang dipimpin oleh Ir. Iwan Joeniarto MM ini ternyata dipercaya melayani perawatan pesawat banyak maskapai asing, seperti KLM. Total, GMF yang berlokasi dekat landasan pacu bandara Soekarno-Hatta melayani maskapai dari 15 negara (hlm. 26).
Namun kadang inovasi, niat baik, dan kreativitas anak negeri menghadapi kendala yang cukup ironis. Rudy Tavinos membuat ide brilian dengan membuat kilang di dekat sumur minyak sehingga minyak mentah tidak perlu diangkut ke sana kemari.
Membangun kilang butuh biaya besar. Sekitar 100 triliun rupiah. Balik modalnya lama. Jadinya rencana membangun kilang tak kunjung nyata sehingga BBM impor terus. Rudy muncul dengan ide sederhana tapi jitu: membuat “kilang mulut tambang”. Meskipun kapasitasnya kecil, tapi mangkus. Tantangan teknis berhasil diatasinya. Hasilnya, produksi sumur minyak Exxcon Cepu diolah di kilang Rudy.
Akan tetapi, kisah Rudy berakhir menyedihkan. Kata Dahlan, lumbung itu tidak untuk ayam. Keluar aturan pemerintah yang melarang jual minyak mentah di mulut tambang. Ironis. Akhirnya kilang Rudy tutup (hlm. 124-128).
Pada titik ini, kita melihat bahwa Dahlan dalam esai-esainya ini tidak hanya menyodorkan bahan baku harapan. Dahlan juga memercikkan cara pandang kritis. Bahwa bahan baku harapan pada akhirnya juga harus dikelola dan disinergikan dengan kebijakan oleh para pengurus publik.
Seperti juga saat Dahlan berkisah tentang Erika Eriyanti, petani wortel dari Batu, Malang, yang hanya lulusan SMA. Dia memimpin rekan-rekannya untuk belajar dan berinovasi, termasuk belajar kepada para petani di Berastagi, Sumut. Di esai ini, Dahlan menyentil dengan humor, dengan mengatakan bahwa petani seperti Erika ini terlihat kian mandiri, berusaha maju tanpa “bantuan dari pemerintah, misalnya pemerintah Tiongkok” (hlm. 41).
Kisah para pengilham di buku ini adalah senjata ampuh untuk menyuburkan harapan dan melawan sikap pesimistis dalam menatap masa depan. Kisah-kisah dalam buku ini penting untuk dicerna dan disebarkan, agar model kreativitas, tekad, ketulusan, dan kerja positif lainnya dapat ditiru dan dikembangkan di tempat lainnya.
Tulisan ini adalah naskah awal yang kemudian disunting redaksi dan dimuat di Koran Jakarta, 18 April 2019.
Jumat, 25 Januari 2019
Melawan Hoaks, Merawat Demokrasi
Judul buku: Kebohongan di Dunia Maya: Memahami Teori dan Praktik-Praktiknya di Indonesia
Penulis: Budi Gunawan dan Barito Mulyo Ratmono
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia (KPG), Jakarta
Cetakan: Pertama, 2018
Tebal: xvi + 166 halaman
ISBN: 978-602-424-868-0
Belakangan ini, berita bohong (hoax) dan berita palsu (fake news) semakin merajalela. Pembuat, penyebar, dan konsumennya bahkan melibatkan orang-orang terdidik. Dampaknya, kehidupan sosial menjadi kacau. Harmoni dan kesatuan masyarakat terancam.
Ancaman ini kian nyata jika kita melihat data Kementerian Komunikasi dan Informatika tahun 2018 yang menyebutkan bahwa penanganan konten negatif seperti hoaks, berita palsu, dan ujaran kebencian pada tahun 2017 meningkat sembilan kali lipat dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
Buku ini membedah fenomena hoaks yang menjamur di Indonesia pada beberapa tahun terakhir ini. Uraiannya yang ringkas, kaya data, dan memberi pemetaan dan solusi konkret adalah kelebihan buku ini. Apalagi kedua penulisnya berpengalaman di berbagai jabatan di instansi kepolisian dan saat ini bekerja di Badan Intelijen Negara (BIN).
Hoaks muncul bersamaan dengan munculnya media baru di jagat maya khususnya media sosial. Platform media baru ini mendorong berkembangnya budaya partisipasi (participatory culture) yang tidak saja menempatkan masyarakat sebagai konsumen teknologi, tetapi juga sebagai produsen yang siap menyumbangkan konten sesederhana apa pun di dunia internet.
Melalui media baru yang lazim disebut media sosial inilah hoaks di Indonesia pada khususnya menyebar dengan cara yang cukup mudah dan juga murah. Murah, karena memang tanpa biaya. Mudah, karena pengguna media sosial di Indonesia khususnya terus meningkat.
Pola produksi berita hoaks pada dasarnya masih memanfaatkan media arus utama. Para pembuat hoaks mengamati berita yang berpotensi menimbulkan kontroversi, meramunya dengan fiksi diberi bumbu SARA dan ujaran kebencian, dan mengganti judul (kadang juga gambar) dengan gaya bombastis dan provokatif.
Mesin penyebaran hoaks melalui media sosial menggunakan beberapa strategi. Di antaranya dengan membuat akun-akun anonim dan mengikuti situs-situs sumber hoaks, lalu membagikan berita-berita hoaks tersebut ke jaringan pertemanannya. Pengelola akun anonim ini membidik jaringan pertemanannya yang gemar membagikan postingan hoaks mereka untuk diteruskan pada kelompok pertemanannya masing-masing.
Penyebaran hoaks kadang juga memanfaatkan pengamat politik atau politisi yang memiliki kesesuaian sikap politik dengan muatan hoaks secara sadar atau tidak didorong untuk dapat dijadikan mesin viralisasi.
Penyebaran hoaks terutama dilatarbelakangi oleh motif ekonomi dan politik. Situs-situs penyebar hoaks terbukti dapat meraup keuntungan yang besar dari iklan. Situs postmetro.co misalnya memperoleh pendapatan iklan 25 hingga 30 juta rupiah per bulan dengan memproduksi sekitar 80 berita palsu. Sementara itu, portalpiyungan.co diperkirakan memperoleh penghasilan 379 dolar AS per tahun dari iklan, sedangkan seword.com 854 dolar AS per tahun. Secara politik, berita hoaks digunakan untuk menyerang lawan politik, menebar kebencian, dan juga meningkatkan rasa percaya diri dan untuk personal branding.
Di sini kita dapat melihat bahwa hoaks sangatlah mengancam kehidupan demokrasi. Saat ruang publik dikotori oleh berita-berita palsu, masyarakat dapat digiring pada sikap tertentu dengan lebih mengandalkan sentimen emosional dan mengabaikan nalar sehat mereka. Di sisi lain, hoaks juga memperlihatkan cara-cara yang tidak sehat dan tidak bermoral untuk meraih pengaruh kekuasaan.
Menghadapi fenomena hoaks ini, buku ini mengajukan solusi dengan pendekatan reflexive security dengan melibatkan unsur negara, pasar, dan masyarakat. Negara harus memperkuat aturan dan perangkat terkait pemberantasan hoaks, seperti sanksi atas laman pembuat dan pelaku penyebar hoaks. Pasukan siber pemerintah juga harus lebih berdaya dan sigap cara kerjanya. Selain itu, korporasi atau pelaku pasar, seperti yang terkait sumber iklan yakni Google dan Facebook, harus didorong agar dapat bekerja sama baik dalam hal menghentikan iklan pada sumber-sumber hoaks maupun dalam hal penyaringan informasi.
Yang tak kalah penting, masyarakat perlu terus didorong untuk kritis dan aktif memerangi hoaks. Melek informasi atau literasi digital harus terus diupayakan.
Beriringan dengan fakta-fakta mutakhir yang semakin jelas di depan mata, buku ini mengingatkan kita semua bahwa ancaman hoaks harus segera dilawan dan diantisipasi bersama. Tujuan utamanya demi menyelamatkan mutu kehidupan demokrasi, agar masyarakat dapat menemukan ruang publik yang jernih dan dapat menghasilkan keputusan-keputusan yang lebih baik dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa.
Tulisan ini adalah naskah awal yang kemudian disunting redaksi dan dimuat di Koran Jakarta, 24 Januari 2019.
Jumat, 30 November 2018
Bersyukur, Rahasia Hidup Bahagia
Judul buku: Chicken Soup for the Soul: Kekuatan Bersyukur (101 Kisah tentang Berterima Kasih yang Dapat Mengubah Hidup)
Editor: Amy Newmark dan Deborah Norville
Penerbit: Gramedia, Jakarta
Cetakan: Pertama, 2018
Tebal: xviii + 504 halaman
ISBN: 978-602-03-8103-9
Meraih hidup bahagia sebenarnya banyak tergantung pada sikap batin kita. Penderitaan atau bahkan kesengsaraan hidup sering kali terjadi karena sikap batin yang tidak tepat.
Buku ini menyajikan kisah-kisah inspiratif tentang kekuatan bersyukur sebagai salah satu sikap batin yang dapat mengantarkan pada kebahagiaan. Bersyukur dalam 101 kisah yang tersaji dalam buku ini dimaknai melalui pengalaman yang beragam sehingga nuansa maknanya menjadi sangat kaya.
Dalam pengantar editor ditegaskan bahwa bersyukur itu tidak sama dengan mengucapkan terima kasih. Memang benar bahwa ucapan terima kasih sebagai salah satu wujud sikap sopan santun dapat membantu memperlancar hubungan sosial. Namun, berterima kasih memiliki makna yang jauh lebih mendalam (hlm. xii).
Elizabeth Atwater menceritakan perubahan cara pandangnya tentang kakeknya saat sang kakek meninggal dunia. Sejak kecil hingga remaja, dia memandang kakeknya sebagai laki-laki yang tak punya apa-apa. Kakeknya hidup pas-pasan dan bekerja sebagai tukang. Rumahnya sesak dan lusuh. Perabotnya tidak menarik. Dalam hati, Atwater kerap mencemooh saat kakeknya bercerita tentang keberuntungan hidupnya.
Namun pandangan Atwater berbalik ketika hadir pada pemakaman kakeknya. Atwater terkesiap saat melihat nyaris orang sekota hadir pada acara pemakaman itu. Bill Fletcher, hartawan di kota kecil itu memberi kesaksian yang luar biasa tentang kakeknya. “Dia tidak pernah punya banyak uang, tetapi betapa berharganya harta yang dimilikinya,” kata Fletcher.
Atwater tersadar bahwa kakek yang di matanya tak punya apa-apa itu ternyata dipandang dengan iri hati oleh orang yang memiliki segalanya yang dapat ditawarkan oleh dunia (hlm. 316-318).
Kakek Atwater adalah sosok yang hidup dengan penuh syukur atas anugerah hidup yang dimilikinya. Sang kakek melihat segala sesuatu dengan hatinya yang bening sehingga semua nikmat dapat benar-benar terasa dan merasuk dalam batinnya. Itulah yang membuatnya bahagia.
Bersyukur pada dasarnya juga adalah tentang perspektif. Orang yang sulit bersyukur lebih sering berpikir negatif sehingga tidak mampu melihat berkah hidup yang diterimanya.
Kisah Diane Stark dalam buku ini dapat mewakili orang-orang yang suka mengeluh saat menghadapi hal-hal sepele yang tidak disukainya dan menutupi limpahan kebaikan lainnya. Stark mengomel saat kehabisan krim kopi kesukaannya, mengeluh saat merasa tidak suka dengan warna mobilnya, dan sebagainya. Padahal, di Afrika ada anak-anak yang kesulitan mendapatkan sepatu dan berisiko terkena kutu jiggers sehingga kakinya kadang harus diamputasi.
Stark sadar bahwa kegembiraannya selama ini sering direnggut oleh cara pandangnya yang membuat dia sering mengeluh. Bersyukur adalah jalan keluarnya (hlm. 194-198).
Kesadaran untuk bersyukur kadang tidak mudah diraih. Ia membutuhkan latihan. Membuat perbandingan, seperti yang dilakukan Stark, adalah salah satu bentuknya. Ada juga cara yang lain, seperti dalam kisah Earlene yang mengeluhkan suaminya yang mulai memasuki masa pensiun dan sering membuatnya kesal. Temannya lalu menyarankan Earlene untuk menulis daftar kebaikan suaminya. Daftar inilah yang kemudian membuatnya berubah dan mulai bersyukur (hlm. 90-92).
Kisah-kisah dalam buku ini mengungkapkan bahwa bersyukur dapat menekan beban hidup dan mengikis stres. Ada emosi positif yang ditularkan dalam sikap syukur yang kita pilih. Karena itu, bersyukur dapat menyegarkan hidup kita yang suntuk dan dipenuhi dengan pikiran jelek tentang situasi yang sedang dihadapi.
Di tengah kehidupan kita saat ini yang terasa semakin penuh beban, buku ini memberikan pelajaran penting tentang cara membentuk sikap batin positif untuk meraih kebahagiaan. Kisah-kisahnya yang bertolak dari pengalaman hidup sehari-hari yang sederhana membuat buku ini tidak terkesan menggurui sehingga pelajarannya terasa sangat membumi.
Tulisan ini dimuat di Koran Jakarta, 30 November 2018.
Senin, 16 Juli 2018
Orientasi Kependidikan untuk Guru
Memasuki awal tahun pelajaran baru di sekolah, insan pendidikan di Indonesia banyak menyorot kegiatan orientasi untuk siswa baru yang saat ini diberi nama Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS). Masuknya unsur kekerasan yang ditengarai selalu muncul dalam kegiatan tersebut membuat pemerintah pada tahun 2016 mengeluarkan instruksi khusus untuk memformat ulang kegiatan rutin tahunan tersebut.
Selain kegiatan MPLS, sejak 2015 Menteri Pendidikan dan Kebudayaan memberi penekanan pada keterlibatan orangtua/wali untuk mendukung proses pendidikan di sekolah dengan mendorong mereka untuk mengantarkan anak-anak mereka pada hari pertama sekolah.
Di luar kedua hal tersebut, kita semua mengetahui bahwa kunci penting pendidikan di sekolah bagaimanapun terletak di tangan guru. Para guru itulah yang sehari-hari bersentuhan secara langsung dengan murid melalui pembelajaran di kelas, pergaulan di lingkungan sekolah, maupun dalam kegiatan ekstrakurikuler. Mengingat posisi penting guru tersebut, pertanyaan yang menarik diangkat di awal tahun pelajaran adalah tidakkah penting kiranya bagi sekolah untuk menyegarkan orientasi kependidikan para guru melalui kegiatan khusus di awal tahun pelajaran.
Dalam tugas dan pengabdian mereka sehari-hari, para guru telah berjibaku dengan dinamika yang sangat beragam di kelas dan di sekolah sesuai dengan latar tempat, lingkungan sosial-budaya, dan karakter murid yang ada. Di luar sekolah, para guru juga bersentuhan dengan arus pergaulan sosial yang terus mengalami perubahan cepat. Media sosial dan internet pada umumnya yang dapat dilihat sebagai sumber belajar dan tempat aneka “teladan” perilaku saat ini menjadi aktor penting yang tak bisa diremehkan pengaruhnya bagi dunia pendidikan.
Dengan situasi dan tantangan yang sedemikian rupa, penyegaran orientasi kependidikan untuk guru sebenarnya adalah hal yang sangat penting dilakukan secara lebih tertata oleh sekolah. Bagaimanapun, kegiatan rutin mengajar yang juga ditambah dengan tugas administratif cukup rawan menumpulkan kepekaan para guru untuk melihat tantangan kontekstual masa kini dalam kaitannya dengan nilai dasar tugas keguruan dalam praksis pendidikan dan pembelajaran di sekolah.
Jika ditilik secara mendalam, kata “orientasi” memiliki makna yang sangat mendasar dan penting. Dalam menjelaskan pengertian Etika atau Filsafat Moral, Franz Magnis-Suseno (1996: 13) memberikan gambaran makna “orientasi” dengan situasi yang dihadapi oleh seseorang yang sedang bepergian ke tempat yang asing untuk pertama kali. Bisa dibayangkan situasi kejiwaan orang tersebut: tiba sendiri di terminal tanpa tahu harus ikut angkutan yang mana untuk tiba ke tempat yang ditujunya. Sementara itu, calo-calo dan bahkan juga preman mengintai memanfaatkan kebingungan orang tersebut.
Gambaran ini memberikan pengertian makna orientasi yang sangat penting dan kontekstual. Melalui gambaran ini, kita dapat memahami bahwa orang yang kehilangan orientasi terancam tak akan mencapai apa yang menjadi tujuannya. Di samping itu, ada kemungkinan pihak ketiga yang mengambil keuntungan dari situasi orang yang kehilangan orientasi dan dapat memicu masalah dan kerugian.
Siswa baru di sekolah mengikuti kegiatan orientasi karena dianggap mereka akan memasuki jenjang pendidikan dan lingkungan belajar baru. Jika siswa perlu mendapatkan orientasi sebelum memulai belajar di sekolah maka orientasi untuk guru sebenarnya juga sangatlah penting. Bahkan, meskipun bukan pertama kali mengajar, orientasi untuk guru di awal tahun pelajaran tetaplah penting.
Awal tahun pelajaran adalah momentum yang tepat untuk menyegarkan kembali visi kependidikan para guru terutama terkait peran yang sedang dimainkan mereka dalam kehidupan sosial. Visi ini perlu terus disegarkan seiring dengan situasi zaman yang berubah.
Hal yang paling penting digarisbawahi pada orientasi visi keguruan terkait dengan peran dan tugas guru. Jika peran guru hanya dilihat dalam kerangka yang sempit, maka kerja kependidikan berada dalam asumsi yang bersifat pinggiran. Padahal, pendidikan merupakan kerja peradaban yang maknanya sangat mendalam. Para guru adalah agen penting dalam perubahan dan kemajuan masyarakat. Pendidikan bukan hanya mengantarkan individu pada mobilitas vertikal, tapi juga mengantar masyarakat menyongsong kebangkitan dan kemajuannya sebagai komunitas atau bangsa.
Sejarah kebangsaan Indonesia menunjukkan bahwa tokoh-tokoh penting pendiri bangsa pernah mengabdi di dunia pendidikan sebagai guru. Perjumpaan langsung para guru dengan para generasi penerus bangsa yang intens setiap hari dapat mengilhamkan dan memberikan dorongan yang kuat untuk mengerahkan segenap daya dan kemampuan dalam kerangka pengabdian pada masyarakat dan bangsa.
Guru yang memiliki kerangka pikir yang lebih luas akan dapat membawa masalah-masalah dan tantangan aktual kebangsaan ke ruang pembelajaran baik sebagai materi maupun sebagai jangkar orientasi pembelajaran. Masalah-masalah seperti ancaman narkoba, virus radikalisme dan terorisme, eksploitasi alam yang mengabaikan keadilan, dan sebagainya adalah sekian masalah dan tantangan kebangsaan yang perlu direspons oleh dunia pendidikan khususnya para guru.
Dengan bekal orientasi yang segar dan pembacaan aktual atas visi kependidikan yang dilakoninya, diharapkan para guru dapat memberikan sumbangan yang lebih besar bagi pembangunan kehidupan kebangsaan.
Tulisan ini adalah naskah awal artikel yang kemudian dimuat di Koran Jakarta, 16 Juli 2018.
Senin, 18 Juni 2018
Idulfitri, Mudik Rohani
Idulfitri adalah kisah perjalanan pulang menuju fitrah kemanusiaan. Berkelana di belantara dunia yang penuh karut-marut dan cenderung mencipta kegundahan, Idulfitri adalah momentum bagi kita untuk kembali pada karakter dasar manusia tanpa embel-embel identitas duniawi yang berbeda-beda yang kadang memecah belah dan dapat mengerdilkan nilai kemanusiaan.
Secara kebahasaan, kata “Idulfitri” yang berasal dari Bahasa Arab dapat berarti “kembali ke asal”. Asal yang dimaksud adalah asal penciptaan, yakni bahwa manusia terlahir suci. Berdasarkan teks kitab suci, dalam Islam diyakini bahwa fitrah manusia adalah naluri beragama (agama tauhid) dan kecenderungannya pada kebaikan. Karena itu, berbuat baik pada dasarnya menenteramkan, dan berbuat buruk harus dilakukan dengan susah payah, penuh keterpaksaaan, dan justru berujung pada kerisauan.
Fitrah untuk mengimani agama tauhid dibangun di atas keyakinan adanya perjanjian primordial antara roh manusia dengan Tuhan untuk beriman pada Tuhan Yang Maha Esa (Q.,s. Al-A’raf/7: 172). Tugas manusia adalah menjaga kesucian perjanjian iman ini dari kekufuran dan kelak harus dipertanggungjawabkan di akhirat.
Sementara itu, fitrah manusia untuk cenderung pada kebaikan dalam bahasa yang lain mungkin identik dengan pengakuan akan adanya nilai moral universal dalam konteks kemanusiaan dan peradaban. Nilai-nilai yang sama dalam semua kebudayaan ini dalam ungkapan James Rachels (2004: 60) adalah aturan moral yang diperlukan untuk menjamin kelestarian masyarakat.
Dalam perjalanannya, fitrah kemanusiaan ini, seperti juga fitrah keimanan yang sifatnya mendasar, dapat tercederai oleh kehidupan duniawi dengan berbagai godaannya. Perbuatan-perbuatan buruk, yang kadang juga bercampur dengan asumsi atau cara pandang yang kurang jernih, sekecil apapun bentuknya, lambat laun juga dapat menutupi potensi suci manusia yang cenderung pada kebajikan itu sehingga keimanan dan fitrahnya pun layu dan gugur.
Penjara Ego
Perjuangan untuk menjaga dan perjalanan untuk meraih kembali fitrah ini tentu bukan perjalanan yang mudah. Imam Jamal Rahman (2013: 174-176), praktisi dan ahli spiritualitas lintas agama dari Amerika, mencatat bahwa umat beragama kadang gagal merawat fitrah kemanusiaan ini akibat kungkungan ego yang belum berhasil dijinakkan. Wujudnya dapat berupa bias dan eksklusivitas kelembagaan serta perasaan superioritas moral atas kelompok yang lain.
Akibatnya, kita terjebak pada diri-kecil yang eksklusif dan menghalangi kita untuk menjalin ikatan kemanusiaan dalam makna yang lebih luas. Orientasi fitrah untuk berbuat kebajikan kemudian menyempit dalam lingkar kelompok tertentu. Dalam konteks kisah Adam, situasinya mungkin mirip dengan klaim iblis yang sombong dengan mengakui bahwa ia lebih baik ketimbang manusia.
Nalar eksklusif ini bertentangan dengan penjelasan al-Qur’an bahwa tujuan keberagaman dalam penciptaan manusia adalah agar manusia saling mengenal (Q., s. al-Hujurat/49: 13). Khaled Abou El Fadl (2005: 206-207), tokoh muslim moderat dari University of California Los Angeles, memaknai fakta keberagaman ini sebagai sebuah tantangan etis bagi seorang muslim untuk dapat bekerja sama dengan orang lain yang berbeda demi kebajikan bersama.
Daya tarik untuk berpikir secara eksklusif ini belakangan cenderung menguat seiring dengan semakin keruhnya lalu-lintas informasi yang mengganggu kejernihan pikiran dan kebeningan hati yang sejatinya merupakan perkakas penting dalam menjaga fitrah kemanusiaan tersebut. Berita-berita palsu (hoax) yang disebarkan sembarangan secara masif pada titik tertentu mengubah kebohongan sebagai kebenaran, dan kemudian mengotori pikiran dan hati manusia saat membuat keputusan tindakan.
Tempaan Puasa
Idulfitri dapat dilihat sebagai sebuah etape bagi perjuangan kembali kepada fitrah kemanusiaan tersebut setelah melewati fase olah tubuh dan olah batin sepanjang bulan Ramadan. Al-Qur’an menyebutkan bahwa tujuan diwajibkan puasa bagi umat Islam adalah agar kita bertakwa (Q.s, al-Baqarah/2: 183).
Menurut Fazlur Rahman (1999: 29), akar kata “taqwa” dalam Bahasa Arab berarti “menjaga atau melindungi diri dari sesuatu”. Jadi, takwa bermakna melindungi seseorang dari akibat-akibat perbuatan buruk yang dilakukannya. Dalam diri orang yang bertakwa tertanam rasa takut (kepada Allah) yang mengarahkannya pada kesadaran akan tanggung jawab di Hari Akhir sehingga ia selalu berpegang pada fitrah kemanusiaannya itu.
Meraih takwa dengan berpuasa tentu bukan perkara yang gampang. Nabi Muhammad saw telah mengingatkan bahwa tidak sedikit orang yang berpuasa hanya mendapatkan lapar dan dahaga—jauh dari capaian takwa. Tingkatan takwa ini hanya bisa diraih jika seseorang telah berpuasa menurut tingkatan ketiga sebagaimana yang dijelaskan al-Ghazali, yakni saat seseorang tidak hanya menahan lapar, dahaga, dan nafsu seksual, tetapi juga berhasil mempuasakan anggota badan dari perbuatan dosa, hati dan pikirannya dari urusan duniawi dan hal-hal yang bernilai rendah.
Menahan lapar dalam puasa menurut al-Ghazali dapat melunakkan dan menjernihkan hati dan meruntuhkan tabir yang menghalangi hati dari pancaran kebenaran sejati. Nafsu konsumsi, bahkan meski terarah pada yang halal, menurut al-Ghazali dapat menjerumuskan seseorang pada tindakan yang dapat mencederai hak orang lain.
Selain pengendalian nafsu tubuh, puasa juga adalah kesempatan untuk menajamkan refleksi dengan perenungan (tafakur) dan iktikaf yang sangat disarankan terutama pada 10 hari terakhir Ramadan. Aktivitas reflektif ini dilakukan untuk mengisi energi batin secara intensif (Chodjim, 2013: 97). Menarik diri dari keramaian dan kegaduhan hidup yang rutin dalam kerangka reflektif telah dilakukan oleh tokoh-tokoh revolusioner sebelum mendapatkan pencerahan. Buddha bermeditasi di bawah pohon Bodhi, dan Nabi Muhammad juga menyepi di Gua Hira di bulan Ramadan sebelum menerima wahyu.
Berdasarkan uraian singkat di atas, pada tingkatan yang paling tinggi, puasa memuat kekuatan penuh dari fitrah kemanusiaan untuk selalu terhubung dengan Sang Asal, untuk mematrikan kesadaran pada perjanjian primordial, dan menerjemahkannya dalam laku perbuatan.
Idulfitri dengan demikian adalah mudik rohani untuk meneguhkan kembali fitrah kemanusiaan kita. Umat Islam pada khususnya diajak untuk menyegarkan kembali makna perjanjian primordialnya dengan Allah, meneguhkan keimanan dan mengagungkan Allah, dan mengorientasikan visi keimanannya pada kebajikan untuk sesama.
Kerangka orientasi makna Idulfitri yang demikian ini tidak saja menguatkan filosofi manusia menurut perspektif Islam yang berpandangan terbuka dan menghormati keberagaman, tetapi juga menjadi pengingat bahwa sejatinya Islam adalah agama yang dapat menebarkan rahmat bagi semesta alam.
Versi lebih pendek dari tulisan ini dimuat di Koran Jakarta, 18 Juni 2018.
Rabu, 06 Juni 2018
Kisah Para Penakluk Nafsu
Judul buku: Chicken Soup for the Soul: Makin Sedikit Makin Bahagia (101 Kisah tentang Mengubah Hidup dengan Melepaskan Apa yang Dimiliki)
Editor: Amy Newmark dan Brooke Burke-Charvet
Penerbit: Gramedia, Jakarta
Cetakan: Pertama, 2018
Tebal: xvi + 438 halaman
ISBN: 978-602-03-6124-6
Konsumsi adalah fenomena kehidupan modern. Peningkatan konsumsi yang masif dengan berbagai perkakas pendukungnya oleh sebagian kalangan dipandang sebagai gejala patologi. Erich Fromm misalnya melihat konsumsi yang kompulsif sebagai bentuk pelarian manusia modern dari kehampaan untuk mencari kebahagiaan. Namun menurut Fromm upaya itu hanyalah kesia-siaan.
Buku ini memuat kisah orang-orang biasa yang berusaha meraih kebahagiaan dengan mempraktikkan gaya hidup sederhana, bukan dengan merayakan konsumsi berlebihan. Para penutur di buku ini berlatar belakang profesi yang beragam. Mereka mungkin memang bukan ideolog anti-kapitalisme dan anti-konsumerisme. Akan tetapi kisah-kisah mereka dalam buku ini sungguh mengilhamkan dalam memberi teladan tentang hidup yang disyukuri dan kemurahan berbagi.
Kisah Jeanie Jacobson dari Omaha, Nebraska, memberi perspektif baru tentang kebiasaan menumpuk barang berlebihan yang tak dimanfaatkan secara maksimal. Setiap kali membantu teman-temannya membereskan rumah dengan menyortir barang-barang yang jarang digunakan untuk disumbangkan, ia mengajukan pertanyaan khas: “Apakah kau menahan berkat orang lain?” (hlm. 284-286)
Pertanyaan Jacobson ini, yang kemudian juga diarahkan kepada dirinya sendiri, membuka mata kesadaran kita bahwa menumpuk barang senyatanya adalah sebentuk keserakahan. Keserakahan itu menghalangi orang lain untuk memperoleh apa yang sebenarnya ia butuhkan. Sesederhana itu.
Denise Barnes tahu pasti betapa tidak mudah melawan rayuan iklan untuk mencari kepuasan dengan berbelanja. Awal tahun 2014 adiknya memberitahunya bahwa sedang membuat tantangan untuk tidak membeli baju, tas, sepatu, dan perhiasan baru selama setahun. Barner pun bergabung dengan tantangan itu. Mulanya memang tidak mudah, apalagi di tengah gempuran promo obral di kanan-kiri. Tapi begitu sukses melewati tantangan ini, Barnes merasakan bahwa ia telah menjalani hidup yang lebih bermakna (hlm. 59-63).
Godaan konsumsi yang kompulsif semakin kuat karena dukungan sistem ekonomi dan keuangan yang ada. Kisah Marsha Porter, seorang pengulas film, dalam bangkit kembali dengan hidup tanpa kartu kredit sungguh menarik disimak. Kemudahan bertransaksi yang diiming-imingkan oleh penyedia kartu kredit membuat Porter terjerat. Tiga belas kartu kreditnya menuntutnya melakukan pembayaran minimum setiap bulan yang berjumlah 1270 dolar. Setelah dengan upaya keras berhasil bebas dari jerat kartu kredit, kini ia tak lagi menggunakannya. Dan Porter kemudian merasakan momen-momen yang istimewa dan membahagiakan (hlm. 349-353).
Hidup yang tak mengenal batas konsumsi juga kadang didorong oleh tradisi. Kebiasaan merayakan ulang tahun, misalnya. Rebecca Smith Masterson dari Phoenix, Arizona, bertutur tentang ulang tahun putranya yang istimewa tanpa undangan, keriuhan, tumpukan hadiah, dan hura-hura. Putranya yang berumur sembilan tahun cukup tidur di tempat tidur Masterson di malam menjelang ulang tahunnya, ditambah dengan beberapa permintaan sederhana (hlm. 403-404).
Amy Newmark, editor serial Chicken Soup for the Soul, juga membagikan kisahnya di bagian akhir. Saat selesai mengkaji 300 finalis untuk buku ini, ia seperti duduk di depan cermin tentang gaya hidup yang dijalaninya sendiri. Di awal tahun itu, tahun 2016, ia lalu berkomitmen untuk membuat proyek 52 minggu berberes-beres barang yang menumpuk di rumahnya (hlm. 405-408).
Buku ini adalah kisah-kisah orang hebat yang betul-betul mengerti dan menghayati kenikmatan dan kebahagiaan hidup sederhana. Kisah mereka adalah cerita tentang penaklukan nafsu konsumtif dengan bekal keberanian di atas kesadaran bahwa makin sedikit mereka akan makin bahagia. Mereka adalah teladan nilai kesederhanaan. Meski tidak mesti di atas landasan religius, kesadaran mereka ini juga dibangun dengan fondasi rasa syukur atas berbagai nikmat dalam kehidupan yang mereka dapatkan.
Naskah ini adalah versi awal yang kemudian dimuat di Koran Jakarta, 6 Juni 2018.
Jumat, 18 Mei 2018
Menumbuhkan Ketabahan untuk Meraih Kesuksesan
Judul buku: Grit: Kekuatan Passion + Kegigihan
Penulis: Angela Duckworth
Penerbit: Gramedia, Jakarta
Cetakan: Pertama, 2018
Tebal: 402 halaman
ISBN: 978-602-03-8159-6
Jika orang ditanya tentang kunci kesuksesan, banyak yang menjawab bahwa kerja keras adalah hal yang lebih penting daripada bakat. Meski demikian, dalam kehidupan sehari-hari faktanya kita cenderung untuk memberi tempat yang lebih istimewa pada orang yang dianggap berbakat.
Penelitian Chia-Jung Tsay membuktikan “bias bakat” yang diam-diam menguasai kecenderungan banyak orang. Chia meneliti pendapat orang tentang dua pemain piano dan dua profil wirausaha. Ternyata profil yang lebih disukai dan dinilai akan sukses adalah mereka yang biodatanya menunjukkan latar bakat alami (hlm. 27-28).
Buku berbasis penelitian yang disajikan dengan gaya bertutur yang sungguh renyah ini memperlihatkan bahwa rahasia kesuksesan yang sebenarnya terletak pada perpaduan antara hasrat (passion) dan kegigihan (perseverance) yang disebut “ketabahan” (grit). Orang yang sukses adalah orang yang tahu secara sangat mendalam apa yang mereka inginkan. Dia tahu ke arah mana dia akan melangkah. Selain itu, orang yang sukses juga luar biasa tegar dan bekerja keras untuk menjalani alur menuju tujuan yang dia tetapkan (hlm. 9).
Angela Duckworth, penulis buku ini, menggarisbawahi bahwa keterpesonaan pada bakat dapat membuat orang menjauh dari jalan kesuksesan. Karena terarah pada bakat, maka upaya atau kerja keras akan kurang diperhatikan. Bahkan, lebih jauh Duckworth mengutip filsuf besar Jerman, Nietzsche, yang menyatakan bahwa ketika kita menilai seseorang itu istimewa—dengan kata lain: berbakat—maka kita terdorong untuk tidak menyainginya. Kita seperti kemudian diperbolehkan untuk tidak bekerja keras jika sudah berhadapan dengan sosok berbakat.
Nilai paling penting buku ini bukan terletak pada pemaparannya tentang apa sebenarnya kunci kesuksesan itu. Buku ini sangat penting untuk dibaca karena memaparkan secara mendalam cara menumbuhkan ketabahan. Pada bagian awal, Duckworth mengembangkan Skala Ketabahan untuk mengukur ketabahan yang kita miliki pada saat tertentu.
Menurut Duckworth, ketabahan ditumbuhkan melalui dua jalur utama, yakni dari dalam ke luar, dan dari luar ke dalam. Ketabahan dapat ditumbuhkan dari dalam dengan menegaskan dan memupuk minat, kebiasaan dan kemampuan berlatih secara terfokus, merumuskan tujuan dalam berbagai kegiatan atau pekerjaan dengan level yang padu, dan harapan atau kemampuan untuk bangkit setiap menghadapi kegagalan. Empat hal ini adalah aset psikologis yang dapat ditumbuhkan dari dalam diri seseorang sebagai bekal meraih kesuksesan (hlm. 103-104).
Sedangkan dari faktor luar ketabahan dapat ditumbuhkan dengan pengasuhan. Kata pengasuhan berasal dari bahasa Latin yang berarti “untuk membawa maju”. Duckworth lalu memperkenalkan model pengasuhan yang bijaksana untuk menjelaskan model pengasuhan yang ideal yang baik untuk mendukung tumbuhnya ketabahan. Pada bagian ini, Duckworth memberi pengertian yang jernih dan bisa menengahi model pengasuhan otoriter dan pengasuhan yang penuh kasih sayang (hlm. 233-253).
Duckworth juga menggarisbawahi bahwa pengasuhan bukan hanya terkait dengan ibu dan ayah. Guru, mentor, pelatih, atasan, bahkan teman, dapat berada dalam kerangka pengasuhan yang dapat menumbuhkan ketabahan.
Buku ini ditulis dengan penyajian yang ringan. Ada banyak contoh kasus yang diangkat yang sebagian besar merupakan hasil riset penelitian terkait sehingga informasi yang termuat begitu kaya dengan data ilmiah.
Dari buku ini kita diingatkan untuk mengalihkan fokus dan strategi kita yang semula bertolak dari kekaguman berlebihan pada bakat, tingkat IQ yang tinggi, dan semacamnya, pada upaya untuk membentuk iklim hasrat dan kegigihan yang kuat. Buku yang ditulis oleh mantan guru sekolah menengah dan kini menjadi profesor psikologi di University of Pennsylvania ini bernilai penting bagi kita sebagai bekal untuk menyiapkan generasi mendatang yang sukses baik pada tingkat individu maupun kolektif.
Versi pendek tulisan ini dimuat di Koran Jakarta, 18 Mei 2018.
Jumat, 09 Maret 2018
Derita, Makna, dan Kebebasan Batin
Judul buku: Man’s Search for Meaning
Penulis: Viktor E. Frankl
Penerjemah: Haris Priyatna
Penerbit: Noura Books, Jakarta
Cetakan: Pertama, Desember 2017
Tebal: xxii + 234 halaman
ISBN: 978-602-385-416-5
“Segala sesuatu yang tidak membunuh saya, membuat saya jadi lebih kuat”. Demikian ujar Nietzsche. Viktor E Frankl (1905-1997), seorang neuorolog dan psikiater terkemuka di Eropa, telah membuktikan pernyataan ini.
Frankl selama tiga tahun (1942-1945) pernah berada di empat kamp konsentrasi yang berbeda, termasuk Auschwitz. Di antara kekejaman, keganasan, dan penderitaannya di kamp, Frankl menemukan dan berhasil merefleksikan banyak hal yang kemudian dituliskannya setelah ia bebas. Dari situ, lahirlah buku yang berjudul Man’s Search for Meaning ini. Hingga sekarang, buku ini telah dicetak ulang lebih dari 100 kali dalam edisi bahasa Inggris dan diterbitkan dalam 49 bahasa ini.
Melalui buku ini, Frankl kemudian dikenal sebagai pendiri teori psikologi logoterapi. Dalam teorinya, Frankl menyatakan bahwa dorongan utama manusia dalam hidup bukanlah untuk mencari kesenangan atau kepuasan atau juga kekuasaan. Logoterapi meyakini bahwa perjuangan untuk mencari makna adalah dorongan utama manusia. Karena itu, logoterapi lebih memfokuskan pada masa depan. Dalam konteks ini, logoterapi membantu seseorang untuk menemukan makna hidupnya melalui proses yang bersifat analitis (hlm. 142-143).
Manusia yang tidak dipandu oleh makna hidup akan mengalami kehampaan eksistensial. Ini adalah fenomena yang mewabah khususnya sejak abad ke-20. Karena menjalani hidup tanpa orientasi makna yang jelas, manusia kemudian mengubah arah hidupnya pada upaya untuk mencari kesenangan belaka (hlm. 155).
Dalam pandangan logoterapi, makna hidup bukanlah hal yang bersifat abstrak. Makna hidup yang harus ditemukan adalah makna yang spesifik. Dalam pengertian sederhana, ia adalah tugas yang unik yang dijalani dalam hidup sehari-hari. Hidup dengan tugas khusus yang disadari bagi Frankl adalah juga sebentuk pertanggungjawaban atas hidup itu sendiri.
Pengalaman Frankl hidup di kamp selama tiga tahun membuktikan bahwa makna hidup bermakna sangat penting saat seseorang menjalani pengalaman negatif atau penderitaan. Menurut Frankl, orang yang relatif memiliki makna hidup akan lebih mudah bertahan menghadapi berbagai bentuk ancaman fisik dalam tahanan. Frankl memberi kesaksian bahwa kekuatan batin manusia bisa berdiri lebih tinggi dari nasib yang menimpa fisiknya (hlm. 98).
Kehidupan di kamp yang sangat kejam tidak hanya dapat menumpulkan emosi seseorang, tapi juga dapat membunuh harapan. Namun, bagi seseorang yang kebebasan batinnya masih terawat baik, orientasi makna hidupnya dapat menjadi tempat berlindung dari kehampaan dan keterasingan (hlm. 54).
Pada titik ini, logoterapi tampak menempatkan kebebasan positif di tempat yang istimewa pada kehidupan seseorang. Kebebasan positif, yakni kebebasan untuk secara sadar dan aktif mengorientasikan hidupnya pada titik tujuan tertentu atau kebebasan untuk menentukan sikap dalam setiap keadaan, akan dapat menjadi benteng dan sekoci penyelamat bagi seseorang yang sedang berada di titik nadir penderitaan.
Dengan kekuatan kebebasan batin dan kebebasan spiritual yang hebat, penderitaan sebagai sebuah nasib yang tak terhindarkan kemudian dilihat sebagai kesempatan untuk memperdalam makna hidup. Bahkan, kalau perlu penderitaan dilihat sebagai bagian dari tugas hidup. Berbekal orientasi makna hidup yang kuat, perasaan lemah dan takut lalu disingkirkan, sedangkan keberanian mengemuka.
Di tengah beratnya beban hidup di masa kini yang rawan menciptakan kegalauan, kecemasan, dan bahkan kehampaan eksistensial, buku ini membawa pesan yang kuat bahwa dalam kondisi terburuk pun hidup punya potensi untuk memiliki makna. Tugas kitalah untuk menemukannya. Dengan cara ini, buku ini berusaha memupuk optimisme dan memperluas cakrawala harapan kita.
Naskah ini adalah versi awal yang kemudian dimuat di Koran Jakarta, 9 Maret 2018.
Selasa, 25 Juli 2017
Biografi Pemikiran Para Penggugat Kemapanan
Judul buku: Membongkar Rezim Kepastian: Pemikiran Kritis Post-Strukturalis
Penulis: Haryatmoko
Penerbit: Kanisius, Yogyakarta
Cetakan: Pertama, 2016
Tebal: 160 halaman
ISBN: 978-979-21-4561-8
Buku yang ditulis oleh Haryatmoko ini menghimpun pemikiran singkat enam filsuf Prancis dari kelompok post-strukturalis. Mereka adalah para filsuf penggugat kemapanan, yakni Michel Foucault, Pierre Bourdieu, Jean Baudrillard, Paul Ricoeur, Gilles Deleuze, dan Jacques Derrida. Pemikiran mereka merayakan salah satu sisi corak berpikir kefilsafatan, yakni aspek dekonstruktif, yang bekerja dengan mempertanyakan pandangan tertentu yang sifatnya sudah cukup mapan untuk dikritik, digugat, dan dibongkar. Bagi mereka, kemapanan dan kepastian dapat menggiring pada kemandekan dan menghalangi perkembangan.
Michel Foucault dikenal sebagai filsuf yang mengemukakan gagasan tentang relasi kuasa dan pengetahuan. Selama ini, kekuasaan biasanya diidentikkan dengan negara sehingga kekuasaan bersifat terpusat. Menurut Foucault, kekuasaan bersifat menyebar dan produktif. Karena bersifat menyebar, mereka yang terlibat tidaklah sedikit. Hasilnya pun tidak selalu terangkum dalam hal-hal yang bersifat negatif.
Dahulu, kekuasaan sering dikaitkan dengan perang atau aturan dalam bentuk perintah dan larangan. Namun, bagi Foucault, kekuasaan dapat berwujud dalam relasi antara pasien dan klien, tes wawancara di sebuah perusahaan, atau jajak pendapat. Dari relasi-relasi semacam itu, kekuasaan yang beroperasi menghasilkan pengetahuan. Pengetahuan inilah yang kemudian dikembangkan yang pada gilirannya turut berperan dalam pembentukan individu modern. Dari situ, didefinisikanlah hal yang normal dan hal yang tidak normal (hlm. 14-17).
Jika Bourdieu mengungkap sisi narsistik setiap orang demi memperoleh pengakuan sosial, Baudrillard meletakkan fenomena konsumsi manusia modern dalam kerangka “manipulasi tanda”. Manusia modern terjebak dalam rimba tanda yang merupakan reduksi dari realitas. Cara mereka membuat keputusan konsumsi dipandu oleh aturan tanda, baik demi mendukung posisi kelasnya maupun untuk mengafirmasi hidup dan identitas mereka.
Pada titik ini, konsumsi mendorong orang untuk menjadi individualistis. Pemenuhan hasrat pada barang atau jasa konsumsi tertentu lebih ditentukan oleh dorongan pribadi sehingga lambat laun solidaritas kian luntur (hlm. 71).
Sementara itu, Paul Ricoeur membangun konsep hermeneutika yang mulai masuk ke ranah ontologis dengan mencangkokkan hermeneutika pada fenomenologi. Ricoeur menawarkan cara baca baru atas teks yang di antara kategori hermeneutikanya mendorong pembaca untuk melakukan pengambilan jarak terhadap diri sendiri dalam proses pemahaman diri (apropriasi).
Secara lebih khusus Ricoeur menawarkan pengambilan jarak dalam bentuk analogi permainan. Bagi Ricoeur, dalam kaitannya dengan hubungan antaragama, pengambilan jarak melalui permainan membuka peluang bagi perjumpaan informal yang dapat melepaskan dari keseriusan hidup dan ketakutan atas sanksi sosial. Dari situ, diharapkan ada pemahaman baru yang lebih segar dengan terbukanya kemungkinan penafsiran yang bersifat kreatif (hlm. 97-102).
Filsuf “pemberontak” lainnya adalah Jacques Derrida yang dikenal dengan metode “dekonstruksi”. Filsuf yang menjadi salah satu ikon penting pemikir post-strukturalis ini mengembangkan metode dekonstruksi untuk membongkar rezim kepastian. Dekonstruksi mencoba menawarkan cara untuk mengungkap kontradiksi dalam politik teks sehingga diperoleh pemahaman atau kesadaran yang lebih tinggi.
Dekonstruksi menyuburkan cara pandang kritis dengan mengungkap selubung ideologis yang hadir secara samar dalam politik bahasa. Penggambaran identitas terkait istilah pribumi dan pendatang serta konstruksi istilah minoritas dan mayoritas, misalnya, secara diam-diam sejak awal sudah bercorak ideologis dan jika digali lebih mendalam menyimpan kontradiksi internal yang cukup kompleks (hlm. 134-135).
Cara berpikir kritis yang coba ditumbuhkan oleh para filsuf yang dihadirkan dalam buku ini sangat penting untuk dipelajari di tengah situasi kehidupan yang diam-diam kadang menghadirkan penindasan terselubung yang bertolak dari cara berpikir yang dogmatis dan kaku.
Versi pendek tulisan ini dimuat di Koran Jakarta, 24 Juli 2017.
Minggu, 04 Juni 2017
Spiritualitas Islam Menjawab Tantangan Zaman
Judul buku: Islam Tuhan, Islam Manusia: Agama dan Spiritualitas di Zaman Kacau
Penulis: Haidar Bagir
Penerbit: Mizan, Bandung
Cetakan: Pertama, Maret 2017
Tebal: xxxiv + 288 halaman
ISBN: 978-602-441-016-2
Kemajuan ilmu dan teknologi yang semakin canggih pada satu sisi ikut menenggelamkan pamor agama. Apalagi agama belakangan kadang menunjukkan wajah yang menakutkan saat terorisme dan kekerasan berdasar agama kerap terjadi.
Buku yang ditulis oleh Haidar Bagir, pendiri Penerbit Mizan, ini mencoba merekonstruksi dan menyegarkan pemahaman atas aspek-aspek pokok dalam Islam sehingga ia dapat berkiprah untuk kemanusiaan dan masa depan kehidupan dunia yang lebih baik bersama agama dan unsur peradaban masyarakat yang lain.
Pembahasan dimulai dengan memberikan gambaran masalah yang dihadapi umat manusia pada umumnya dan bangsa Indonesia pada khususnya. Secara umum, dunia menghadapi krisis makna, kehampaan hidup, dan kegalauan yang lahir seturut dengan perkembangan ilmu dan teknologi. Kemajuan teknologi komunikasi secara ironis justru melahirkan misinformasi dan disinformasi yang sebagian menggerogoti ikatan sosial dan menipiskan rasa saling percaya. Luapan informasi justru membuat orang kehilangan arah.
Kekacauan akibat disorientasi di tengah kemelimpahan informasi ini menurut Haidar turut memberi andil bagi lahirnya paham-paham keagamaan yang radikal. Ideologi radikal bagi Haidar adalah pegangan keyakinan keagamaan yang instan dan simplistik untuk mendapatkan ketenteraman hidup. Ideologi radikal ini menjadi dasar pembenaran bagi tindakan kekerasan para penganutnya di tengah rasa frustrasi akibat tekanan sosial ekonomi yang mereka hadapi.
Pada bagian berikutnya Haidar berusaha menggali kekayaan khazanah Islam yang kiranya dapat disodorkan sebagai gagasan alternatif untuk mengatasi berbagai masalah tersebut. Pada bagian ini Haidar tampak memberi penekanan pada unsur pemikiran Islam yang bercorak filosofis untuk dijadikan sebagai alat baca kritis dan kerangka pandang dalam upaya memberi jalan keluar.
Secara tegas, Haidar menyebut “hermeneutika sebagai metode untuk memahami teks agama secara lebih terbuka dan relevan dengan tantangan-tantangan masa.” Karena hermeneutika lahir bukan dari rahim peradaban Islam, Haidar juga membuat perbandingan dengan metode takwil yang menurutnya memiliki unsur yang sejalan dengan hermeneutika.
Pada bagian ini, Haidar menggambarkan busur hermeneutik (hermeneutic arc) yang dicetuskan Paul Ricouer dalam konteks Islam sebagai berikut: teks agama/naql dipahami dengan akal/‘aql, dicek lagi dengan naql, diverifikasi lagi dengan ‘aql, dan seterusnya.
Dalam hal perkembangan sains, Haidar percaya bahwa ekses buruk teknologi yang muncul di antaranya akibat perceraian sains dengan filsafat. Terlepasnya sains dari kesatuan organiknya dengan filsafat memutus kemungkinan sains untuk memberi perhatian pada aspek transenden dan religius yang dapat digali dari filsafat.
Untuk menjawab tantangan zaman, Islam secara internal menurut Haidar harus mendorong sikap moderat (wasathiyyah), sikap terbuka, dan mengupayakan persatuan. Bagi Haidar, prinsip moderasi adalah salah satu risalah pokok Islam yang digambarkan al-Qur’an dan hadits. Selain itu, sejarah mengajarkan bahwa Islam memiliki dan berproses melalui keragaman mazhab yang luar biasa yang dirawat dalam semangat persatuan.
Dialog dengan umat agama lain dan gugus peradaban lain, termasuk budaya lokal, juga perlu dilakukan untuk saling memperkaya perspektif dalam melabuhkan visi kemanusiaan agama pada kehidupan nyata.
Benang merah solusi yang ditawarkan Haidar untuk meneguhkan peran Islam dalam kehidupan masa kini adalah dengan menghidupkan sisi spiritualitas Islam. Bagi Haidar, di antara masalah pokok yang membuat Islam menjadi tumpul dan ketinggalan zaman adalah kecenderungan orientasi keagamaan pada aspek hukum. Haidar percaya bahwa aspek spiritualitas Islam yang mempromosikan penghayatan keagamaan berorientasi cinta akan mampu menguatkan kiprah agama.
Jantung penggerak peradaban adalah agama, dan jantung agama adalah spiritualitas. Menurut Haidar, pemaparan tentang ibadah dalam sumber-sumber pokok Islam pada tingkatan yang tertinggi “selalu bermakna hubungan antara makhluk dan Tuhan yang berdasarkan cinta.”
Agama yang kental dengan nuansa spiritual dan cinta dipercaya akan mampu memupuskan fundamentalisme dan radikalisme keagamaan yang kaku, keras, formalistis, dan cenderung dangkal. Di sisi yang lain, Islam Cinta, demikian Haidar menyebut, juga akan mampu menjawab problem-problem sekularisme seperti kehampaan makna hidup dan sebagainya.
Dengan Islam Cinta, Haidar percaya bahwa Islam akan menjadi lengkap sebagai “Islam Tuhan dan Islam Manusia”. Artinya, Islam tidak hanya akan melangit di dunia transenden tetapi juga akan membumi dan memberi sumbangan nyata bagi kemanusiaan.
Meski dihimpun dari berbagai tulisan yang terbit dalam rentang tahun 1986 hingga 2016, alur pemikiran Haidar dalam buku ini terlihat jelas dan cukup sistematis. Apalagi, jalinan sistematika pembahasannya ditegaskan dalam pendahuluan sepanjang 13 halaman. Namun demikian, pada beberapa bagian gagasan yang dikemukakan memang tidak cukup mendalam. Wajar, kebanyakan tulisan dalam buku ini berasal dari media massa populer dengan ruang terbatas.
Upaya untuk menguatkan kiprah agama (Islam) di era kekinian tentu saja masih membutuhkan pemikiran dan aksi lebih jauh. Buku ini dapat dilihat sebagai semacam peta umum yang memuat beberapa gagasan kunci, meski mungkin juga belum cukup lengkap. Haidar, misalnya, belum secara cukup jelas menjelaskan posisi dan strategi Islam Cinta—yang juga mengusung nilai moderasi yang tentu sangat terkait dengan nilai keadilan—dalam menghadapi kapitalisme yang eksploitatif pada orang-orang lemah yang terpinggirkan.
Pada titik ini, paling tidak buku ini ikut mengingatkan para intelektual muslim dan tokoh-tokoh agama lainnya untuk bersama-sama berefleksi dan membaca ulang agama secara kritis demi menjawab tantangan zaman yang kian kompleks.
Versi pendek tulisan ini dimuat di Koran Jakarta, 2 Juni 2017.
Senin, 10 April 2017
Bakti Sekolah Katolik untuk Pendidikan Indonesia
Judul buku: Lembaga Pendidikan Katolik dalam Konteks Indonesia
Penulis: Paul Suparno, dkk
Penerbit: Kanisius, Yogyakarta
Cetakan: Pertama, 2017
Tebal: 336 halaman
ISBN: 978-979-21-5102-2
Salah satu potret masyarakat Indonesia yang damai tecermin dari sikap aktif berbagai unsur masyarakatnya dalam menyumbangkan kerja nyata bagi pembangunan bangsa. Buku ini merekam pergulatan para pegiat pendidikan berlatar Katolik dalam ikut memperjuangkan pembangunan bangsa melalui jalur pendidikan berbasis iman.
Kerja-kerja kependidikan oleh umat Katolik Indonesia dirintis oleh seorang misionaris Belanda, Pastor Fransiskus Van Lith, SJ (1863-1926), di Yogyakarta dan Jawa Tengah yang kemudian menyebar ke seluruh Indonesia. Pelayanan di bidang pendidikan bagi Van Lith diharapkan dapat mengantarkan “pemuda-pemuda Jawa sehingga mereka mendapat kedudukan yang baik dalam masyarakat” (hlm. 6).
Lembaga pendidikan Katolik yang kemudian muncul dan berkembang hingga saat ini bertolak dari semangat keagamaan. Paul Suparno, mantan rektor Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, dalam buku ini menegaskan bahwa sekolah Katolik dipandang sebagai kehadiran Gereja dalam dunia untuk “ikut meneruskan karya keselamatan Tuhan bagi umat manusia” (hlm. 48).
Namun demikian, dalam dinamikanya, sekolah-sekolah Katolik juga menghadapi tantangan berupa mulai pudarnya nilai-nilai kekatolikan yang dulu ditekankan, seperti nilai kasih. Di antara penyebabnya diduga karena beberapa sekolah Katolik mengikuti kurikulum pemerintah begitu saja. Paul Suparno dalam buku ini menegaskan 6 nilai kekatolikan yang harus ada, seperti nilai dan semangat kasih persaudaraan, nilai sosial dan keadilan, dan semangat mau diutus bagi orang lain (hlm. 50-51).
Tarsisius Sarkim, Wakil Rektor I Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, melihat keberadaan lembaga-lembaga pendidikan Katolik secara lebih luas sehingga ia mengusulkan tiga agenda penting, yakni penegasan misi, penguatan tata kelola, dan peningkatan sumber daya (hlm. 61-89). Berdasarkan evaluasi internal yang dilaksanakan oleh Komisi Pendidikan Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) pada 2016 atas lembaga-lembaga pendidikan Katolik di Indonesia, ditemukan bahwa di antara tantangan yang dihadapi adalah dalam hal rancangan terintegrasi internalisasi nilai-nilai Katolik, perencanaan terpadu pengembangan institusi, dan juga pengembangan sumber daya manusia (hlm. 22).
Selain membahas aspek idealisme pendidikan Katolik berdasarkan ajaran Gereja, buku ini juga mengulas praktik pendidikan dan model-model pembelajaran yang menarik dan inspiratif yang dikembangkan beberapa lembaga pendidikan Katolik. St Kartono, guru SMA Kolese De Britto Yogyakarta, menuturkan model pembelajaran Bahasa Indonesia dengan menggunakan materi-materi aktual dari koran (hlm. 165). Ada juga pemaparan tentang Sekolah Tarakanita yang menanamkan nilai-nilai cinta lingkungan di sekolah (hlm. 231) dan juga SMP Santa Ursula Bandung yang memberikan pendidikan kewirausahaan secara lebih tertata (hlm. 267).
Buku yang memuat 20 tulisan ini merupakan refleksi internal para pegiat pendidikan berlatar Katolik untuk menegaskan dan menguatkan bakti dan kontribusinya bagi kehidupan bangsa. Model reflektif seperti ini kiranya patut dicontoh oleh unsur masyarakat yang lain yang juga memberi kontribusi di bidang pendidikan bagi bangsa Indonesia.
Tulisan ini dimuat di Koran Jakarta, 8 April 2017.
Selasa, 25 Oktober 2016
Percik Kecil Sejarah dan Ikatan Tali Kebangsaan
Judul buku: Indonesia Poenja Tjerita: Yang Unik dan Tak Terungkap dari Sejarah Indonesia
Penulis: @SejarahRI
Penerbit: Bentang Pustaka, Yogyakarta
Cetakan: Pertama, Juli 2016
Tebal: xviii + 226 halaman
ISBN: 978-602-291-238-5
Menyajikan peristiwa sejarah dalam penuturan yang menarik memang menjadi tantangan tersendiri. Sejarah yang identik dengan nama tokoh-tokoh atau tanggal-tanggal terkait peristiwa penting dalam perjalanan bangsa atau masyarakat kerap tersaji secara kering dan datar. Akibatnya, membaca buku sejarah kurang diminati.
Padahal, dalam kerangka kemasyarakatan dan kebangsaan sejarah sangatlah penting sebagai kekuatan kultural untuk memaknai kekinian dan tantangan masa depan.
Buku ini dihimpun dari tulisan-tulisan di media online “Sejarah RI” yang berfokus pada edukasi sejarah Indonesia. Melalui laman SejarahRI.com dan akun twitter @SejarahRI dan juga akun Facebook, Sejarah RI berupaya menyajikan percik sejarah-sejarah kecil atau alternatif atau yang di luar arus utama demi mendapatkan gambar utuh sejarah Indonesia dalam upaya membangun paradigma keindonesiaan (hlm. 221-222).
Membaca buku ini, tampaklah bahwa percik-percik sejarah di luar arus utama memang juga memiliki potensi yang kuat untuk menjadi tiang penyokong persatuan bangsa. Misalnya, di satu bagian, buku ini bercerita tentang perancang lambang Garuda Pancasila, yaitu Syarif Abdul Hamid Alkadrie atau Sultan Hamid II, putra sulung Sultan Pontianak. Sultan Hamid II ini berdarah Indonesia-Arab.
Pembuatan lambang negara ini mulanya disayembarakan, dan yang masuk “final” adalah karya Sultan Hamid II dan M. Yamin. Namun karya M. Yamin ditolak karena pada gambar yang dia buat ada unsur sinar matahari yang dianggap menunjukkan pengaruh Jepang. Setelah melewati beberapa proses, lambang rancangan Sultan Hamid II diperkenalkan oleh Presiden Soekarno kepada khalayak pada tanggal 15 Februari 1950 di Hotel Des Indes, Jakarta (hlm. 144-149).
Terkait dunia penerbitan, orang-orang Tionghoa peranakan sejak abad ke-19 telah menerbitkan surat kabar, majalah, dan buku sastra. Mereka menerbitkan karya dalam bahasa Melayu dengan berbagai variasinya. Kemudian pemerintah Hindia Belanda pada 14 September 1908 membentuk Commissie voor de Inlandsche School en Volkslectuur (Komisi Bacaan Rakyat) yang nyatanya berperan sangat penting dalam merangsang minat baca masyarakat. Yang diterbitkan komisi ini bukan hanya karya lokal, tapi juga ada terjemahan novel berbahasa Belanda, Inggris, Prancis, Jerman, dan juga Arab. Komisi ini pada gilirannya berkembang hingga menjadi lembagai yang dikenal dengan nama Balai Pustaka (hlm. 178-180).
Sebuah tulisan dalam buku ini juga mempersaksikan peran masyarakat luar Jawa, yakni bahwa surat kabar bumiputra yang pertama terbit adalah Warta Berita. Tulisan ini mematahkan pandangan umum yang mengatakan bahwa surat kabar bumiputra pertama adalah Medan Prijaji yang terbit di Bandung pada tahun 1907. Warta Berita ini terbit di Padang pertama kali pada tahun 1901, dengan pemimpin redaksi Datuk Sunan Marajo (hlm. 18-21).
Beberapa tulisan lain mengangkat tema kecil tapi menarik, seperti serba-serbi peristiwa yang menyertai Proklamasi Kemerdekaan RI 17 Agustus 1945, asal-usul lomba panjat pinang, sejarah tahu Sumedang, sejarah rokok kuno di Indonesia, dan lainnya.
Ada juga yang mengangkat keteladanan para pemimpin bangsa, seperti kisah Sultan Hamengkubuwono IX yang memberi tumpangan kepada seorang ibu pedagang beras di Yogyakarta (hlm. 114-115).
Selain gaya bertutur yang renyah, buku ini menarik dan sangat penting untuk dibaca dalam kerangka kehidupan kebangsaan Indonesia. Di tengah berbagai persoalan bangsa dan tantangan zaman yang kian berat, buku ini kiranya mampu untuk menjadi tali pengikat semangat persatuan bangsa.
Tulisan ini adalah naskah awal dari tulisan yang dimuat di Koran Jakarta, 25 Oktober 2016.
Jumat, 16 September 2016
Kearifan Silat sebagai Paradigma Hidup
Judul buku: Jurus Hidup Memenangi Pertarungan
Penulis: Whani Darmawan
Penerbit: Bentang Pustaka, Yogyakarta
Cetakan: Pertama, Mei 2016
Tebal: xxviii + 294 halaman
ISBN: 978-602-291-202-6
Banyak orang awam berpandangan bahwa silat identik dengan berkelahi. Lebih jauh, silat kadang dipahami sebagai olah tubuh. Namun demikian, silat dapat diposisikan lebih dari hal tersebut. Setidaknya itulah yang ditunjukkan oleh buku ini.
Buku ini ditulis oleh Whani Darmawan, seorang aktor kawakan dari Yogyakarta yang juga belajar silat di Perguruan Silat Budaya Indonesia Mataram (BIMA). Buku ini berisi renungan-renungan tentang dunia silat dalam kaitannya dengan laku hidup sehari-hari. Sudut pandangnya yang cukup bercorak filosofis menunjukkan bahwa penulis buku ini sudah mencapai taraf yang tinggi dalam menghayati laku dan latihan silat yang dijalaninya.
Perspektif yang diangkat buku ini adalah meletakkan silat sebagai paradigma hidup. Menurut Whani, dalam kehidupan setiap manusia pasti mengalami pertarungan, baik dengan orang lain, diri sendiri, atau persoalan tertentu. Dengan demikian, hidup bagi Whani adalah “serentetan latihan panjang dan pertarungan yang tak kunjung usai” (hlm. xxvi).
Kemampuan Whani untuk merefleksikan dunia silat dalam esai-esainya ditopang dengan keterampilannya dalam bertutur dan kejeliannya dalam mengangkat hal sederhana dalam renungan yang bermakna. Pada esai pertama, Whani menegaskan bahwa orang belajar silat mestinya bukan untuk maksud berkelahi. Belajar silat melibatkan kepaduan latihan tubuh, pikiran, dan jiwa. Tak hanya naluri, intelektualitas juga diasah dalam dunia silat (hlm. 3-4).
Menurut Whani, berkelahi kadang tidak membutuhkan alasan yang cukup. Sementara itu, belajar silat pada dasarnya adalah untuk mensyukuri dan memahami fungsi-fungsi tubuh dengan mempelajari cara kerja bagian-bagiannya hingga ke tataran spiritual.
Yang dimaksud tataran spiritual di sini adalah cara pandang yang melampaui dimensi fisik pada berbagai aspek olah tubuh. Contohnya, Whani menjelaskan gerakan berkelit dengan cara memiringkan tubuh yang disebut egos. Egos adalah gerak dasar yang penting yang tidak saja dipelajari untuk menghindar dan meminimalkan benturan, tapi juga untuk posisi menyerang.
Ditarik ke dalam kehidupan sehari-hari, Whani mengangkat ihwal cara hidup yang tak mengumbar konflik dan benturan. Menurut Whani, gesekan atau benturan dengan orang lain sering tak perlu dilakukan, meski bukan berarti kita harus melarikan diri dari masalah. Gerak egos seperti dalam silat itu mungkin memang terkesan tidak gagah dan tidak atraktif. Tapi gerak menghindar seperti egos dalam kehidupan kadang lebih produktif dan lebih bijak (hlm. 43-44).
Di bagian yang lain, Whani bercerita tentang Kazushi Sakuraba, seorang petarung dalam Ultimate Fighting Championship yang aktif pada 1990-an. Sakuraba adalah petarung yang berani tapi dengan kesadaran yang terpoles tanpa nafsu. Di atas pentas, Sakuraba enggan bersikap bombastis. Dia tak melayani tatapan mata yang konon menyimbolkan keberanian mental. Sakuraba tak hanya matang di teknik, tapi juga pada aras mental. Dia menghormati lawannya sebagai manusia (hlm. 195-198).
Di sini silat betul-betul terlihat bukan saja sebagai pendidikan fisik, tapi juga olah mental. Bela diri sebagai teknik diperlukan, tapi lebih dari itu, olah mental juga diperlukan.
Buku ini menggali dan mendedahkan salah satu kearifan yang terpendam dalam seni olah tubuh yang mampu memancarkan kebeningan dalam membaca dinamika kehidupan sehari-hari. Buku ini merupakan sumbangan berharga bagi khazanah kebudayaan Indonesia yang berhasil meneguhkan kaitan erat warisan kebudayaan silat dengan kearifan tradisional yang bersifat abadi.
Tulisan ini adalah naskah awal dari tulisan yang dimuat di Koran Jakarta, 16 September 2016.
Rabu, 13 Juli 2016
Optimisme untuk Keberagamaan Autentik
Judul buku: Agama-Agama Manusia: Edisi Bergambar
Penulis: Huston Smith
Penerbit: Serambi, Jakarta
Cetakan: Pertama, Desember 2015
Tebal: 434 halaman
ISBN: 978-602-290-053-5
Saat ilmu dan teknologi mencapai kemajuannya yang cukup berarti, sebagian manusia merasa seolah-olah tidak membutuhkan hal lainnya lagi untuk menjalani kehidupan sehari-hari. Apakah agama termasuk yang akan tersingkir di zaman yang terus bergerak semakin cepat ini?
Huston Smith, pengajar studi agama di University of California, Berkeley, melalui buku ini hendak mengatakan bahwa agama masih akan bermakna bagi umat manusia. Buku yang versi awalnya terbit tahun 1958 dengan judul The Religions of Man ini mencoba memberikan uraian tentang nilai-nilai pokok yang diajarkan dalam agama-agama dunia yang kemudian menjadi sumber rujukan, pemandu, sekaligus pengilham berbagai bentuk perubahan.
Smith cukup jeli untuk menggali sisi khusus dari agama-agama dunia. Smith tidak hendak membuat sejarah ringkas yang sifatnya lengkap tentang agama-agama dunia. Dia juga tidak bermaksud membuat uraian tentang perbandingan agama. Untuk memberikan pemahaman kepada pembaca tentang makna penting agama bagi manusia, Smith memilih untuk menjelaskan apa yang disebutnya “agama yang hadir” atau “agama yang hidup”.
Agama yang hidup inilah yang menggerakkan individu dan kelompok pada sebuah petulangan batin yang sunyi tapi dapat memancarkan energi positif ke dalam kehidupan. Inilah bentuk keberagamaan yang autentik. Dalam perjalanan sejarah, kita menemukan bahwa model keberagamaan yang sejati ini melahirkan tokoh-tokoh perubahan yang sangat dihormati, seperti Konfusius dan Laotze, Buddha, Yesus, Muhammad, dan yang lainnya (hlm. 18).
Buku ini menguraikan sejarah dan nilai-nilai atau ajaran dasar tujuh agama besar dunia, yakni Hinduisme, Buddhisme, Konfusianisme, Taoisme, Islam, Yahudi, dan Kristen, ditambah dengan uraian tentang agama-agama purba. Patut sedikit disayangkan bahwa Smith tidak memberikan penjelasan khusus dalam buku ini tentang pemilihan agama-agama yang dibahas serta urutan pembahasannya.
Pada dasarnya agama adalah jalan manusia untuk memahami hal-hal mendasar dalam hidupnya, seperti tujuan hidup, jalan kebahagiaan, atau makna kematian. Jalan itu ditempuh dalam kerangka spiritualitas, yakni dengan memberi tempat khusus yang luas bagi dunia batin manusia. Agama juga mengusung misi kemanusiaan, yakni mencita-citakan kehidupan yang lebih beradab dan manusiawi.
Sebagai sumber spiritualitas dan etos sosial, agama-agama besar telah memberi warna dan sumbangan berharga pada perkembangan peradaban, seperti sumbangan Hinduisme bagi India pada khususnya dan Buddhisme pada China dan Jepang. Selain itu, Konfusianisme dalam uraian Smith juga tampak berperan penting bagi tumbuhnya etos ekonomi di kawasan Asia Timur hingga saat ini (hlm. 211).
Spiritualitas yang dibawa agama kerap juga memperlihatkan sisi revolusionernya, seperti saat Nabi Muhammad mulai mendakwahkan Islam di Arabia. Menurut Smith, monoteisme yang diajarkan Muhammad mengusik keyakinan politeistis masyarakat Arab yang memberi keuntungan ekonomi bagi penduduk Mekah. Selain itu, ajaran moral Islam juga sangat kritis dalam memandang praktik tidak adil yang berlangsung pada kehidupan sosial waktu itu (hlm. 260).
Islam, seperti agama lainnya, juga menyentuh dimensi yang luas dalam kehidupan, seperti dorongan dan kontribusinya bagi perkembangan tradisi ilmiah, praktik spiritual dalam gerakan kaum sufi, dan sebagainya. Meski begitu, dimensi yang luas itu bersumber dari dua tuntunan dasar yang bersifat spiritual: bahwa manusia harus bersyukur atas rahmat Allah yang tak berhingga dan bahwa ia harus tunduk dan menyerahkan diri pada Allah. Mereka yang tidak bersyukur itu disebut kafir, seperti juga halnya orang-orang yang mengedepankan egoisme atau keangkuhan diri mereka.
Agama Kristen membawa pesan spiritual yang kurang lebih senada. Dalam pandangan Smith, Kristen berpijak pada kekaguman bahwa kasih sayang Tuhan kepada manusia sungguh amat luar biasa. Tuhan mencintai manusia secara mutlak, tanpa menimbang fakta-fakta tertentu yang terkait kepantasannya untuk dicintai, bahkan termasuk mencintai mereka yang tidak beriman pada-Nya. Terilhami oleh ketulusan Tuhan dalam mencintai makhluk, doktrin cinta dan kasih inilah yang dijadikan pijakan dan dikembangkan oleh Kristen (hlm. 367).
Pilihan Smith untuk hanya menampilkan nilai-nilai kebajikan agama atau praktik agama yang hidup dan mengabaikan fakta sejarah terkait konflik dan pertumpahan darah berbasis agama dapat dilihat sebagai kekurangan sekaligus kelebihan buku ini. Memang Smith bisa dilihat memandang agama secara parsial. Namun demikian, dengan menggali nilai-nilai kebijaksanaan dan kontribusi praktik keagamaan yang tulus, Smith dalam buku ini tampak sedang menyuarakan optimisme bahwa agama masih akan dibutuhkan dan bermakna bagi umat manusia. Sejauh ini, setelah sekian lama manusia dimanjakan dengan ilmu dan teknologi, terbukti bahwa keduanya tidak dapat memuaskan manusia untuk meraih dan menapaki jalan kebahagiaan sejati. Keberagamaan yang autentik, atau agama yang hidup, sebagaimana menjadi perspektif utama seluruh uraian dalam buku ini, memuat banyak pesan kebijaksanaan yang dapat menjawab dahaga manusia pada kebahagiaan itu, baik yang sifatnya personal maupun juga sosial.
Dalam kaitannya dengan optimisme ini, di akhir buku ini Smith menegaskan pentingnya upaya saling memahami dan saling menghormati yang dibangun dengan kehendak untuk saling mendengar. Optimisme Smith pada agama-agama dunia mengandaikan sikap saling menghormati ini. Suara bijak agama yang sarat dengan pesan kemanusiaan akan terancam bila sikap menghormati ini diabaikan.
Buku yang versi awalnya bersifat akademik dan terjual lebih dari dua juta kopi ini dikemas ulang secara cukup populer oleh Smith dengan membuatnya lebih ringkas dan dilengkapi dengan banyak gambar ekspresi seni manusia yang terilhami dari praktik-praktik keberagamaan. Pengemasan gaya tutur yang mudah dicerna pada buku yang versi bahasa Inggrisnya terbit tahun 1995 ini tampaknya dipilih Smith agar buku ini dapat menjangkau pembaca yang lebih luas karena memang buku ini membawa pesan yang sangat penting untuk para pemeluk agama di seluruh dunia. Buku ini sangatlah penting untuk dibaca terutama oleh kita sebagai umat beragama agar kita dapat senantiasa berupaya mempraktikkan bentuk “agama yang hidup” sehingga agama dapat benar-benar melahirkan kesejukan, kebijaksanaan, dan kedamaian.
Versi pendek tulisan ini dimuat di Koran Jakarta, 13 Juli 2016.
Jumat, 15 April 2016
Pesan Cinta Buku untuk Anak dan Remaja
Judul buku: The Magic Library: Perpustakaan Ajaib Bibbi Bokken
Penulis: Jostein Gaarder dan Klaus Hagerup
Penerbit: Mizan, Bandung
Cetakan: Pertama, Januari 2016
Tebal: 284 halaman
ISBN: 978-979-433-924-4
Jostein Gaarder adalah penulis Norwegia yang karya-karyanya telah banyak diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Sisi paling menarik dari karya-karyanya adalah bahwa ia mengangkat tokoh anak dan remaja serta memberi nuansa reflektif yang kental.
Dalam karya Gaarder yang ditulis bersama Klaus Hagerup ini, tokoh remaja kembali tampil sebagai pemeran utama. Novel ini mengambil tema yang relatif lebih ringan, bukan dengan bobot filosofis yang cukup berat, yakni tentang dunia kepenulisan dan perbukuan. Cara penyajiannya khas Gaarder: berlapis, mengandung unsur cerita detektif dan misteri, dan ada unsur petualangan yang khas anak-anak dan remaja.
Novel ini berkisah tentang dua saudara sepupu, Berit dan Nils, yang tinggal di kota yang berbeda di Norwegia. Keduanya berkorespondensi dengan menggunakan buku-surat yang mereka kirimkan via pos. Nah, bersamaan dengan awal mereka saling berkirim surat itu, Berit dan Nils mengalami beberapa kejadian aneh yang berhubungan dengan seorang perempuan misterius.
Di sebuah toko buku, perempuan misterius, yang belakangan diketahui bernama Bibbi Bokken itu, membayari buku yang dibeli Nils dan tampak ngiler menyusur dan memandangi buku-buku. Sementara Berit secara tak sengaja menemukan dan membaca surat untuk Bibbi Bokken dari seseorang yang menyinggung soal “perpustakaan ajaib” dan “buku yang akan terbit tahun depan di Norwegia” (hlm. 11-15).
Jadilah kemudian buku-surat Berit dan Nils itu dipenuhi dengan tema peristiwa misterius itu. Semakin tebal misteri yang menyelimuti beberapa kejadian terkait dengan Bibbi Bokken itu, semakin Berit dan Nils diliputi rasa penasaran yang kadang bercampur dengan rasa ketakutan. Ada dugaan bahwa Bibbi Bokken, yang kadang disebut si Nyonya Buku dan si Penyihir Buku, bersama komplotannya sedang mengincar buku-surat Berit dan Nils. Dan itu tampak terbungkus dalam sebuah rencana rahasia berbau konspirasi yang berkaitan dengan Perpustakaan Ajaib Bibbi Bokken dan dunia perbukuan di Norwegia.
Yang unik, dan ini khas Gaarder, di sepanjang petualangan bak detektif penuh misteri itu, ada banyak hal menarik yang tersaji ke hadapan pembaca tentang dunia perbukuan dan kepenulisan. Berit dan Nils dalam buku-suratnya berbicara tentang Winnie the Pooh karya A.A. Milne, penulis buku anak-anak dari Swedia Astrid Lindgren, HC Andersen yang masyhur dari Denmark, Anne Frank yang meninggal di usia remaja sebagai korban Perang Dunia II dengan catatan hariannya yang kemudian cukup melegenda, penulis drama dari Norwegia Henrik Ibsen, dan sebagainya (hlm. 36-52).
Surat-surat Berit dan Nils serta alur novel ini juga banyak menyajikan pengenalan tentang dunia perbukuan dan perpustakaan. Misalnya tentang sistem klasifikasi desimal Dewey, yang digunakan untuk memudahkan pengkategorian buku di perpustakaan (hlm. 63-66). Ada juga dialog dan pemaparan tentang sejarah buku dan penerbitan, penemuan mesin cetak yang dikenal dengan Revolusi Gutenberg, teori sastra, teori fiksi, proses kreatif kepengarangan (teori menulis), dan semacamnya (hlm. 215-219).
Novel ini memang tepat dikatakan sebagai “sebuah surat cinta kepada buku dan dunia penulisan”—sebutan yang diberikan oleh sebuah terbitan di Jerman untuk karya ini. Novel ini tampaknya sengaja disusun untuk mempromosikan budaya baca-tulis dan mengenalkan lika-liku dunia kepustakaan dan kepenulisan kepada anak dan remaja.
Strategi tekstual yang dimainkan karya ini cukup kena dan cocok untuk segmen pembaca yang disasar. Alih-alih memaparkan secara kronologis atau sistematis, karya ini justru menyelipkan pesan cinta buku dan menyuguhkan pesona karya-karya dari dunia aksara dalam jalinan kisah misteri petualangan yang menarik dan enak diikuti—sesuai dengan selera kaum remaja dan anak-anak.
Versi yang sedikit berbeda dengan tulisan ini dimuat di Koran Jakarta, 15 April 2016.
Kamis, 04 Februari 2016
Membentuk Karakter di Sekolah
Judul Buku: Pendidikan Karakter di Sekolah: Sebuah Pengantar Umum
Penulis: Paul Suparno, SJ
Penerbit: Kanisius, Yogyakarta
Cetakan: Pertama, 2015
Tebal: 176 halaman
ISBN: 978-979-21-4367-6
Dalam beberapa tahun terakhir, konsep pendidikan karakter menjadi tema paling hangat dan menonjol. Perubahan kurikulum sebagai bagian penting dari upaya perbaikan mutu pendidikan juga dikaitkan dengan pendidikan karakter. Bahkan, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pertengahan 2015 lalu meluncurkan program Penumbuhan Budi Pekerti (PBP) melalui Permendikbud Nomor 23 Tahun 2015 yang isinya berkesinambungan dengan program pendidikan karakter yang dicanangkan beberapa tahun sebelumnya.
Buku yang ditulis oleh mantan rektor Universitas Sanata Dharma Yogyakarta ini berusaha untuk memberikan pemahaman yang cukup lengkap tentang pendidikan karakter di sekolah. Pembahasannya meliputi latar situasi dan landasan sehingga pendidikan karakter menjadi penting, pengertian pendidikan karakter, siapa saja yang perlu dilibatkan di sekolah, model pelaksanaan dan contohnya di sekolah, dan juga penilaiannya.
Di bagian awal, Paul Suparno menegaskan bahwa pendidikan karakter sangat penting untuk diseriusi jika kita mencermati situasi dan persoalan bangsa serta tantangan globalisasi. Pada tingkat yang mendasar, berbagai persoalan bangsa seperti pelaku korupsi yang tak kunjung jera, konflik dan tindak kekerasan di masyarakat, kepekaan pada kaum pinggiran, dan sebagainya, sangat terkait dengan pendidikan karakter (hlm 14-20).
Sementara itu, tantangan globalisasi menghadirkan tantangan yang berat. Masyarakat dituntut untuk punya daya saing yang lebih baik. Arus informasi justru cenderung lebih banyak merusak mental generasi muda. Pada tingkat yang cukup jauh, globalisasi yang di antaranya dicirikan dengan arus informas yang semakin cepat bahkan dapat mendorong sikap instan sehingga daya juang dan kerja keras sulit terbentuk.
Dengan melihat pada struktur dasar hakikat manusia yang kaya dimensi, Paul Suparno menegaskan peran penting pendidikan untuk menyiapkan generasi yang berkarakter. Melalui proses pendidikan di sekolah, siswa dibantu untuk mengalami, memperoleh, dan memiliki sejumlah karakter yang diinginkan (hlm. 29).
Paul Suparno menyatakan bahwa faktor penentu pendidikan karakter itu banyak sehingga semua pihak di sekolah harus terlibat, mulai dari siswa, guru, karyawan, pengelola dan pengambil kebijakan, orangtua, dan juga masyarakat.
Kelebihan buku ini di antaranya terletak pada kesederhanaan dan kejelasannya dalam memaparkan pendidikan karakter di sekolah. Pada bagian selanjutnya, Paul Suparno menjelaskan model-model pendidikan karakter yang bisa dilaksanakan di sekolah. Kesimpulannya, Paul Suparno menegaskan bahwa pendidikan karakter harus dilaksanakan secara utuh, yakni tidak hanya melalui pemaparan di dalam kelas, tapi juga melalui program, kegiatan (baik ekstra maupun kokurikuler), dan situasi (seperti aturan, dsb) yang ada di sekolah (hlm. 93).
Paul Suparno juga menguraikan berbagai bentuk pelaksanaan pendidikan karakter melalui pelajaran di kelas. Pendidikan karakter bisa masuk lewat isi bahan pelajaran, juga lewat metode mengajar dan sikap dalam belajar, juga dalam praktik materi tertentu.
Selain uraian yang cukup teperinci, buku ini juga memberi contoh konkret bentuk-bentuk pendidikan karakter yang mungkin dilakukan di sekolah, mulai dari jenjang SD, SMP, dan SMA/SMK. Dalam memberi contoh, Paul Suparno berangkat dari contoh nilai atau karakter tertentu yang kemudian diturunkan dalam bentuk program atau kegiatan di sekolah (hlm. 139-154).
Buku ini penting dibaca tidak saja oleh para guru dan kepala sekolah, tapi juga para calon guru dan pendidik pada umumnya. Pemahaman yang baik yang diperoleh dari buku ini diharapkan dapat lebih meningkatkan mutu pendidikan karakter sehingga mutu kehidupan masyarakat menjadi semakin baik. Bagaimanapun, tujuan mendasar pendidikan sangat terkait dengan keberhasilan pendidikan karakter. Bila pendidikan karakter terabaikan, berarti salah satu fokus utama proses pendidikan tak mencapai hasilnya, yakni membentuk pribadi manusia yang kuat dan beradab sehingga mampu menjawab tantangan zaman.
Versi yang sedikit berbeda dari tulisan ini dimuat di Koran Jakarta, 4 Februari 2016.
Baca juga:
>> "Meradikalkan" Revolusi Mental di Sekolah