Tampilkan postingan dengan label Family Life. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Family Life. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 15 Februari 2025

Nyai Fairuzah Tsabit: Pengawal al-Qur’an dari Sabajarin

Nyai Fairuzah dalam kegiatan "Al-Qur'an Camp", September 2022


Menjelang subuh, kabar itu begitu mengejutkan saya. Nyai Fairuzah putri Kiai Tsabit Khazin meninggal dunia di RSUD dr Moh Anwar, Sumenep. Beliau dikabarkan dirawat di Klinik Pratama Annuqayah mulai hari Kamis pagi karena kadar HB turun. Lalu malam harinya, menjelang wafatnya Kiai Muqsith Idris, beliau dirujuk ke Sumenep.

Beliau adalah putri pertama Kiai Tsabit yang memang dikader untuk mendalami al-Qur’an. Kuliah di Jakarta jenjang sarjana dan magister di jurusan tafsir-hadits. Setelah kuliah dan kemudian berkeluarga, di Annuqayah beliau menjadi dosen tetap di jurusan tafsir di Universitas Annuqayah (sejak masih bernama Sekolah Tinggi Ilmu Keislaman Annuqayah atau STIKA) dan juga mengajar bidang al-Qur’an di Madrasah Tsanawiyah 3 Annuqayah dan SMA 3 Annuqayah. Beliau juga terlibat dalam kegiatan tahfiz di lingkungan Pondok Pesantren Annuqayah, juga kegiatan sima’an tahfiz di Kabupaten Sumenep.

Di SMA 3 Annuqayah, beliau merintis program tahfiz juz ‘amma sejak 2008, sebuah program yang hingga sekarang terus berkembang dalam berbagai kegiatan, yang kemudian juga dilaksanakan di MTs 3 Annuqayah. Apresiasi luar biasa atas inisiatif dan kepemimpinan Nyai Fairuzah dalam mengembangkan program al-Qur’an di Sabajarin. Sejak mulai diprogram di sekolah di Sabajarin, program ini menjadi bagian dari identitas lembaga pendidikan di Sabajarin pada khususnya.

Dengan semangat meneruskan identitas Annuqayah sebagai pesantren yang menaruh perhatian pada al-Qur’an, Nyai Fairuzah dengan penuh semangat mengawal program tahfiz dan al-Qur’an di Sabajarin pada khususnya. Untuk mendukung kegiatan tahfiz juz ‘amma tersebut, pada tahun 2014 dibentuk Komunitas Sima’an Juz ‘Amma yang melibatkan para alumni untuk merawat hafalan mereka. Pada tahun pelajaran 2014/2015, di SMA 3 Annuqayah juga diberikan pelajaran Tafsir Juz ‘Amma di kelas XI dan XII yang mempelajari tafsir juz ‘amma dari Tafsir Jalalayn.

Upaya untuk merawat semangat santri dalam menghafalkan juz ‘amma juga dilakukan oleh Nyai Fairuzah dengan merancang kegiatan yang diberi nama “Al-Qur’an Camp”. Ini dimulai tahun 2022. Jadi, secara cukup sistematis, beliau berpikir perlu ada kegiatan yang lebih terstruktur untuk tahfiz ini. Muncullah konsep kegiatan yang dimulai dari proses inisiasi untuk siswa baru, lalu evaluasi dan monitoring, kendali mutu, hingga ujian akhir dan "wisuda".

“Al-Qur’an Camp” ini dilaksanakan di awal tahun pelajaran untuk siswa kelas XII di SMA 3 Annuqayah untuk memastikan bahwa pada tahun terakhir mereka di sekolah mereka dapat menuntaskan target hafalan juz ‘amma. Ragam kegiatan dilaksanakan di situ, mulai dari yang sifatnya motivasi, refleksi, teknik menghafal yang lebih mudah, dan juga wawasan tafsir.

Setiap kali saya hadir dan berbicara di forum keguruan di Annuqayah khususnya di lingkungan Sabajarin, tak ragu saya memberi apresiasi dan pujian untuk Nyai Fairuzah atas konsistensinya dan semangatnya mengawal program-program al-Qur’an di Annuqayah. Saya sampaikan bahwa kerja-kerja beliau ini akan menjadi amal yang nilainya luar biasa. Saya menyampaikan ini dengan penuh emosi, membayangkan betapa amal saya jauh kalah mulia dari kerja-kerja beliau dalam menjadi “pengawal” al-Qur’an. Al-Qur’an, kalamullah yang juga adalah mukjizat Rasulullah saw, dan beliau menjadi “pengawal” yang berdiri di baris terdepan dengan penuh semangat untuk merawat kecintaan pada al-Qur’an.

Nyai Fairuzah, saya yakin keberkahan al-Qur’an akan mengantarkan Ajunan untuk mendapatkan syafa’at Rasulullah saw. dan bahagia selamanya di surga.


Sumber foto: Ditangkap dari video di kanal Annuqayah TV YouTube di sini.


Read More..

Rabu, 31 Januari 2024

Mudah Pecah


Ia mudah pecah. Ia rentan. Ia seperti gelas yang jika dibawa dengan tangan harus dipegang dengan hati-hati agar tidak terjatuh. Saya sering melihat gambar gelas dengan ada kilatan kecil di salah satu sisinya, diletakkan sebagai simbol pada kemasan barang yang katanya mudah pecah.

Jangan dibanting. Demikian tertulis sebagai pengingat. Please handle with care. Tangani atau bawa dengan hati-hati. Namun sering juga terdengar orang-orang mengeluh, karena kurir ekspedisi kadang masih sembarangan menangani paket yang sudah ditempeli dengan stiker simbol gelas yang mudah pecah dan ada tulisan “FRAGILE” itu.

Namun saya tidak sedang berpikir tentang gelas yang mudah pecah atau barang pecah belah serupa. Saya berpikir tentang anak-anak, jiwa dan perasaan anak-anak, yang saya bayangkan mungkin juga “mudah pecah”, dan membutuhkan penanganan yang hati-hati, meski kita tidak menemukan stiker bergambar gelas pecah yang ditempelkan pada baju anak-anak kita.

Saya teringat Robert Frager yang dalam buku bagusnya berjudul Sufi Talks (terakhir versi terjemahan bahasa Indonesianya diterbitkan oleh Noura Books, dan sebelumnya diterbitkan oleh Penerbit Zaman) yang mengingatkan bahwa bayi manusia, atau anak-anak, membutuhkan perawatan lebih banyak dan lebih lama dibandingkan bayi spesies lainnya. Mereka lebih banyak membutuhkan aliran cinta—mungkin waktu yang juga lebih lama di masa atau periode kanak-kanaknya. Mereka mudah pecah.

Saya teringat novel-novel Torey Hayden, di antaranya berjudul Sheila, versi terjemahannya diterbitkan Penerbit Qanita, diterjemahkan oleh Rahmani Astuti, disunting oleh Rika Iffati Farihah yang pernah menjadi mitra kerja saya di Bentang Pustaka. Sheila bercerita tentang luka hati seorang gadis kecil yang dampaknya begitu membekas dalam kehidupannya. Sheila berkisah tentang gelas yang telah pecah dan tak ditangani dengan baik. Sheila bercerita tentang anak-anak yang tak mendapatkan aliran cinta sebagaimana layaknya ia membutuhkan pada masa-masa penting perkembangannya.

Saya teringat paket yang saya terima dalam keadaan “pecah” karena tak ditangani dengan baik oleh kurir ekspedisi, meski sudah ada stiker bergambar gelas di kemasannya.

Lalu saya juga teringat pada anak-anak saya yang kadang tidak saya tangani sebagaimana gelas yang mudah pecah itu. Tulisan ini adalah pengingat untuk saya—mungkin juga untuk Anda, para pembaca. Kata Frager, saat kita belajar mencintai, termasuk anak-anak itu, kita juga belajar mengatasi narsisisme kita—sesuatu yang belakangan begitu dirayakan melalui platform media sosial kita. Kita belajar mendahulukan kebutuhan orang lain. Masih kata Frager, ada orang yang harus menunggu jatuh cinta atau menjadi orangtua untuk menyadari dan belajar mendahulukan kepentingan orang lain. Kata Frager, mungkin anak-anak adalah terapi kejut versi Tuhan untuk mengobati egoisme kita.

Jadi, pegang mereka dengan hati-hati. Karena mereka itu mudah pecah. Dan mereka senantiasa menunggu kelembutan pegangan kita.

Read More..

Selasa, 28 Juni 2016

Kekerasan, Pendidikan Anak, dan Tanggung Jawab Keluarga


Baru-baru ini, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan menyinggung fakta tindak kekerasan yang masih banyak terjadi di sekolah. Dalam kurun waktu 2010-2015, kasus kekerasan di sekolah belum ada penurunan signifikan (JPPN, 14/6/2016).

Tahun lalu, LSM Plan International dan International Center for Research on Women (ICRW) merilis data yang menyebutkan bahwa 84 persen anak di Indonesia mengalami kekerasan di sekolah. Angka ini lebih tinggi dari pada rata-rata kasus kekerasan anak di Asia, yakni 70 persen.

Kekerasan yang marak terjadi di sekolah ini tidak bisa dilepaskan dari perubahan sosial yang terjadi di masyarakat. Pada tingkat yang mendasar, tindak kekerasan terjadi karena kecenderungan semakin pudarnya pendekatan cinta baik dalam lingkungan sekolah maupun dalam lingkungan keluarga dan masyarakat.

Di sekolah, tindak pengajaran dan pendidikan yang sarat dengan penghayatan cinta mulai tergerus oleh dominasi pendekatan administratif dan formal dalam pendidikan yang hadir beriringan dengan iklim komersialisasi pendidikan. Sementara itu, pada tingkat kehidupan masyarakat, nilai-nilai keluarga yang penuh dengan unsur spiritual dan nilai moral mulai digerogoti oleh kehidupan modern yang cenderung individualistis.

Dengan asumsi bahwa sekolah merupakan perpanjangan dari pendidikan keluarga, kita dapat berkesimpulan bahwa krisis pendekatan cinta sangat mungkin sebenarnya terjadi di tingkat keluarga.

Gambaran teperinci tentang tindakan kekerasan di sekolah dan keluarga tak lain merupakan bukti nyata dari krisis dan senjakala cinta. Laporan Unicef tahun lalu menyebutkan bahwa 50% anak melaporkan mengalami perundungan di sekolah. Sementara itu, laporan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pada 2014 menyebutkan bahwa ada 921 laporan kekerasan dalam bidang keluarga dan pengasuhan alternatif.

Di tingkat lokal, yakni di Kabupaten Sumenep, dilaporkan bahwa angka perceraian pada 2012-2013 cenderung meningkat. Pada 2012, kasus perceraian di Pengadilan Agama Sumenep mencapai 1.381, sedang tahun berikutnya hingga Januari 2014 berjumlah 1.559 kasus (Koran Madura, 28/2/2014).

Meningkatnya angka perceraian ini cukup mengkhawatirkan karena sering kali yang menjadi dampak dari kasus perceraian adalah keterlantaran anak. Masalahnya bukan hanya soal proses pendidikan anak yang terancam tersendat, tapi juga bahkan dapat menyangkut ancaman keterperosokan anak pada lingkungan dan pergaulan yang tak bermoral dan penuh kekerasan, seperti narkoba, trafficking, dan sebagainya.

Pentingnya nilai cinta dalam keluarga ini dapat dilihat dalam konteks pendidikan spiritual dan pembentukan karakter. Menurut Robert Frager (2013: 56-58), keluarga adalah model universal untuk pendidikan spiritual. Frager menjelaskan bahwa di awal pertumbuhan kehidupannya, manusia membutuhkan perawatan dan perhatian yang lebih banyak dan lebih lama dibandingkan dengan makhluk lainnya. Dengan cara ini, manusia pada tahap awal kehidupannya secara alamiah lebih banyak mendapatkan curahan cinta.

Secara spiritual, menurut Frager, keluarga adalah tempat manusia belajar mencintai demi merawat kelangsungan kehidupan yang pada titik tertinggi bakal tersambung dengan Tuhan, Sang Mahacinta. Curahan cinta di antara sesama anggota keluarga ini pada gilirannya juga mengantisipasi menebalnya sikap narsis dan egois yang berpotensi berkembang dalam diri manusia dan dapat mengancam harmoni kehidupan masyarakat.

Penjelasan Frager ini kiranya sudah cukup untuk menjelaskan peran strategis keluarga dalam konteks kehidupan bermasyarakat. Namun demikian, jika nyatanya keluarga dan juga sekolah faktanya saat ini menjadi tempat yang rawan dengan tindak kekerasan, apa yang harus dilakukan?

Memang benar bahwa upaya untuk memulihkan pendidikan anak harus dilakukan bersama-sama, baik keluarga maupun sekolah. Namun demikian, harus disadari bahwa kewajiban pertama pendidikan anak ada di tangan keluarga.

Menguatnya sistem persekolahan (pendidikan formal) dalam sistem kehidupan bermasyarakat saat ini pada satu sisi cenderung dapat mengikis kesadaran orangtua (keluarga) akan tanggung jawabnya untuk memberikan pendidikan terbaik dan mencurahkan cinta yang penuh pada anak-anaknya. Apalagi ritme kehidupan saat ini semakin cepat dan rumit sehingga orangtua sering disibukkan dengan urusan di luar keluarga. Sementara itu, orangtua merasa bahwa urusan pendidikan anak-anaknya sudah cukup ditangani oleh guru di sekolah.

Asumsi semacam inilah yang membuat pendidikan anak saat ini menjadi rapuh yang di antaranya ditandai dengan pertambahan kasus kekerasan anak. Sudah saatnya orangtua kembali memperkuat komitmennya untuk memenuhi tanggung jawab dasarnya sebagai pendidik bagi anak-anaknya.

Dalam konteks ini, sekolah juga dapat mengambil posisi yang tepat. Sekolah harus sadar akan posisi sekundernya dalam pendidikan anak. Dengan kesadaran ini, sekolah juga harus mendorong keterlibatan aktif para orangtua untuk memberikan pendidikan dan bimbingan pada anak-anak mereka. Program pendidikan yang disusun sekolah harus selalu mempertimbangkan dan mendorong keterlibatan aktif para orangtua. Komunikasi antara guru dan sekolah dengan orangtua dikembangkan dalam kerangka kesadaran untuk memperkuat peran dasar para orangtua dan keluarga.

Menghadapi tantangan zaman yang semakin keras, upaya untuk menyiapkan generasi bangsa yang tangguh tak dapat disepelekan. Penguatan pendidikan anak melalui keluarga harus mendapatkan perhatian semua pihak, mulai dari lembaga pendidikan, tokoh masyarakat, pengurus publik, dan yang lainnya. Keluarga harus didorong untuk menjadi tempat yang teduh bagi anak sehingga proses pewarisan nilai dan proses pendidikan dapat berlangsung dengan baik.


Tulisan ini dimuat di Koran Madura, 28 Juni 2016.



Read More..

Selasa, 07 Juni 2016

Jihad dalam Berkeluarga


Belakangan ini, kasus kekerasan anak semakin marak terjadi. Semakin beratnya masalah kekerasan anak ini dapat dilihat dari fakta bahwa anak tidak lagi hanya menjadi korban kekerasan. Beberapa tahun terakhir, dalam kasus kekerasan, jumlah anak yang berstatus sebagai pelaku kekerasan cenderung naik. Pada Oktober 2014, Komnas Anak menyiarkan data bahwa anak yang menjadi pelaku kekerasan seksual pada tahun 2014 hingga bulan Oktober berjumlah 26%, sedang pada sepanjang 2013 jumlahnya 16% dari 3.339 kasus (Tempo, 22/10/2014).

Kasus kekerasan anak yang makin banyak terjadi ini salah satunya dapat dilihat sebagai kegagalan keluarga untuk memerankan diri sebagai tempat pewarisan nilai dalam sistem kehidupan bermasyarakat. Anak-anak menyerap nilai-nilai dan membentuk diri dari lingkungan sosial yang cenderung semakin keras dan menyimpang dari norma-norma sosial.

Bagaimana sebenarnya posisi lembaga keluarga atau pernikahan? Syekh Hujjatul Islam Imam Al-Ghazali dalam Ihya’ ‘Ulumiddin menjelaskan bahwa salah satu faidah pernikahan adalah sebagai sarana jihad-diri (mujâhadah al-nafs). Sebagaimana arti dasarnya, jihad bermakna “berjuang” atau “berusaha sungguh-sungguh” untuk tujuan mencapai kebaikan tertentu. Menurut al-Ghazali, pernikahan menjadi sarana jihad dalam kaitannya dengan tugas memberi pendidikan yang baik sesuai dengan tuntunan agama.

Beberapa tugas dan fungsi keluarga (pernikahan) yang oleh al-Ghazali diletakkan dalam kerangka jihad-diri terutama sangat terkait dengan fungsi pewarisan atau pelestarian nilai. Al-Ghazali menjelaskan bahwa jihad-diri ini meliputi tugas seperti membimbing anggota keluarga agar tetap berada di jalan agama, bersikap sabar dalam menghadapi perilaku anak yang tidak baik, memenuhi hak anggota keluarga, atau berupaya mencari nafkah (yang halal).

Dalam konteks situasi kehidupan yang semakin mendunia saat ini, fungsi sosialisasi dan pelestarian nilai dalam keluarga di antaranya berhadapan dengan tarikan berbagai unsur sosial yang semakin rumit dan memiliki kekuatan yang tidak dapat disepelekan. Arus informasi yang begitu cepat dan deras dengan mudah merasuk ke ruang-ruang pribadi anak dan anggota keluarga yang lain sehingga berpeluang menggiring pada perilaku menyimpang.

Selain itu, ada kecenderungan bahwa kehidupan saat ini tampak lebih mendorong anak atau siapa pun untuk lebih memberi perhatian pada upaya pencapaian hal-hal baru—produksi dan prestasi. Sedangkan pelestarian hal-hal berharga yang sudah dicapai dan dimiliki kadang cenderung diabaikan. Dengan kata lain, dalam cengkeraman nalar kapitalis yang kadang cukup samar, gerak dunia saat ini cenderung mengabaikan nilai konservasi.

Cara berpikir berdasarkan gaya hidup (kapitalis) masa kini inilah yang mungkin juga membuat fungsi pendidikan atau pelestarian nilai dalam keluarga terabaikan. Ritme kehidupan yang menjadi semakin cepat terkadang justru membuat orang lupa untuk merawat hal-hal yang berharga dalam keluarga, baik berupa nilai, maupun hal yang lainnya.

Dalam situasi seperti ini, maka sangatlah penting untuk membekali kalangan remaja dengan visi yang bersifat mendasar dalam berkeluarga—yang di antaranya adalah kerangka pandang jihad-diri dalam berkeluarga sebagaimana dijelaskan oleh al-Ghazali. Jangan sampai kaum remaja hanya terjebak dalam romantisme cinta yang dangkal dan semu dalam memandang laku berkeluarga sehingga peran strategis keluarga dalam sistem hidup bermasyarakat kurang terwujud dengan baik.

Pada titik ini, berbagai lembaga sosial yang ada diharapkan dapat berbagi dan mengambil peran untuk saling memperkuat penanaman visi berkeluarga yang bernilai strategis, kontekstual, dan visioner terutama bagi kalangan remaja. Melalui sekolah, perkumpulan informal, maupun dalam keluarga itu sendiri, atau juga lembaga sosial yang lain, kaum remaja hendaknya terus didorong untuk mempersiapkan diri agar kelak dapat mengambil peran yang baik sebagai pelestari nilai-nilai penting dalam masyarakat.

Kesiapan untuk menjadi orangtua dapat menyangkut hal yang bersifat abstrak seperti visi dan cara pandang tentang fungsi keluarga. Namun ia juga dapat berupa keterampilan praktis dalam menjalin komunikasi, membangun rasa saling percaya di antara anggota keluarga, memberi bimbingan, maupun memecahkan masalah.

Dengan memandang laku berkeluarga sebagai jihad, dengan sendirinya kita juga tengah mendorong visi sosial para remaja dalam berkeluarga. Yakni bahwa berkeluarga itu bukan semata perkara personal, tapi juga menyangkut kelestarian kehidupan dan peradaban masyarakat—di sinilah letak fungsi sosial keluarga terkait konservasi.

Ini sejalan dengan penjelasan Allah swt. dalam al-Qur’an surah al-Furqan [25] ayat 74 yang mengidealkan bahwa seorang “hamba Allah Yang Maha Pemurah” (‘ibâdurrahmân) adalah mereka yang peduli pada pendidikan anggota keluarga mereka sekaligus dapat mengantar anak-anak mereka sebagai teladan dan pemimpin umat.


Tulisan ini dimuat di Majalah Auleea edisi Juni 2016.


Read More..

Minggu, 08 Mei 2016

Membagi Cinta


Seperti apa rasanya membagi cinta? Itu pertanyaan yang tiba-tiba muncul dalam pikiran saya saat anak kedua saya lahir Jum’at sore kemarin.

Saya tiba di rumah saat istri saya sudah selesai melahirkan dan makhluk mungil yang beratnya 3,5 kg itu sedang dimandikan oleh bidan desa di halaman rumah. Saat itu banyak orang di halaman rumah karena kebetulan ada acara rutin muslimatan sore itu. Di antara kerumunan orang, saya melihat anak pertama saya yang sedang digendong.

Dia terlihat seperti bangun tidur. Saya pikir dia mungkin juga agak bingung melihat keramaian orang dan makhluk kecil baru yang sedang menjadi pusat perhatian. Apakah wajahnya juga menyimpan semacam kekhawatiran?

Dalam usianya yang masuk di bulan keenam belas, dia memang belum bisa berkomunikasi dengan sempurna layaknya orang dewasa. Tapi saya berpikir bahwa cara dia memahami keadaan sudah cukup baik. Untuk hal-hal sederhana, dia sudah bisa mengerti, seperti jika saya meminta (dengan kata-kata) barang yang sedang dipegangnya atau ada di dekatnya.

Menyaksikan adanya tanda-tanda bahwa akan ada pusat baru di lingkungannya, saya pikir cukup wajar jika dia memperlihatkan wajah khawatir. Lalu saya berpikir: seperti itukah mungkin rasanya kekhawatiran yang timbul dalam hal keharusan berbagi cinta?

Hadirnya anak kedua ini di satu sisi bagi saya adalah semacam ujian: seberapa bisa saya mampu membagi cinta untuk kedua anak saya—juga untuk istri saya. Secara manusiawi, kita bisa memiliki kecenderungan untuk lebih condong pada sesuatu yang berstatus setara, seperti pada teman, murid, guru, anak, dan sebagainya. Terhadap anak, tentu kita harus bisa memperlakukan mereka secara adil. Jangan sampai yang satu merasa lebih diperhatikan dan yang lain merasa kurang.

Bagaimana saya bisa berlaku adil untuk kedua anak saya dalam mencurahkan perhatian dan cinta saya untuk mereka? Apa ukurannya bahwa saya sudah berlaku adil?

Bagi saya, pertanyaan ini bukan semata pertanyaan teoretis yang mungkin tidak cukup mudah dijawab. Ini juga persoalan praktis tentang bagaimana saya mengendalikan diri dari sikap berlebihan yang berada di luar batas kepantasan. Saya teringat peringatan Allah swt dalam surah al-Ma’idah [5] ayat kedelapan agar jangan sampai kebencian kita yang berlebihan pada suatu kelompok dapat menghilangkan sifat adil yang mestinya kita pegang. Al-Razi dalam tafsirnya menjelaskan bahwa terhadap orang kafir pun Allah menuntut sikap adil (mungkin bisa juga disebut sikap yang proporsional dan objektif). Apalagi pada sesama saudara (seiman).

2 x 24 jam telah berlalu. Dalam waktu yang singkat ini, saya menyaksikan bagaimana anak pertama saya melihat adik barunya. Saat baru lahir dan baru dimandikan, saya yang mengendong anak pertama saya berusaha untuk mengenalkannya dengan mendekatkannya dan mengarahkan tangan anak pertama saya agar menyentuh adik barunya. Tapi waktu itu anak pertama saya menolak—mungkin karena masih memandang adiknya sebagai makhluk baru yang asing.

Malam hari di hari kelahiran, anak pertama saya sudah mau menyentuh adiknya. Bahkan sudah belajar memberi ciuman ringan meski tetap berada dalam pantauan ketat saya. Namun sesekali saat istri saya menggendong bayi barunya atau saya yang menggendong, si anak pertama kadang berteriak seperti ingin mendapat perhatian juga.

Saya kemudian berpikir bahwa kehadiran anak kedua ini bukan hanya ujian buat saya, tapi juga buat kami sekeluarga, dalam hal membagi cinta dan perhatian. Dalam rentang waktu yang panjang, saya pikir saya juga perlu memberi ruang dan teladan bagi si anak pertama agar ia bisa belajar tentang bagaimana berbagi dan membagi cinta dan perhatian. Sebenarnya menurut saya kalimat ini salah, karena saya pikir saya juga bisa berstatus belajar pada anak saya atau istri saya dalam soal ini. Jadi yang tepat mungkin bentuk relasi “saling” atau mutualisme.

Saya berharap bahwa keberkahan untuk kami sekeluarga bisa datang melalui kehadiran anak kedua saya yang lahir dengan relatif mudah pada Jum’at sore kemarin ini. Keberkahan ini bukan hanya untuk hal-hal yang bersifat duniawi dan material, tapi juga untuk menjadi jalan bagi kedewasaan dan kematangan jiwa kami sekeluarga.

Semoga Allah memberkahi kami sekeluarga.


Read More..

Kamis, 19 November 2015

Pelajaran Bahasa


Bahasa apakah yang dapat menghubungkan seseorang dengan orang lain yang belum atau tidak bisa berbicara? Apakah memang mungkin ada komunikasi antara dua orang yang salah satunya belum atau tidak bisa berbicara?

Beberapa bulan ini, saat menemani anak saya bermain-main untuk waktu yang relatif lama, saya kadang berpikir tentang komunikasi yang tengah berlangsung di antara kami. Anak saya sekarang belum genap berumur 10 bulan. Kemampuan verbalnya belum seberapa. Dia belum bisa mengucapkan satu kata yang bermakna. Bisanya hanya mengoceh sesukanya.

Lalu saat saya bersamanya, menemaninya, sementara dia kadang sibuk sendiri dengan membongkar-bongkar barang yang sudah ditata di ruangan, apakah di antara kami sebenarnya ada jalinan komunikasi? Ada kalanya saya menggodanya dengan bermain semacam petak umpet. Atau saya memancing perhatiannya dengan barang yang bisa mengeluarkan bunyi tertentu. Bisa saja dia tersenyum memperlihatkan dua giginya yang tumbuh di bawah. Tapi kadang dia bergeming atau tetap dengan kesibukannya.

Saya tak bisa menjawab secara pasti bentuk komunikasi apa yang sebenarnya kami jalin. Kami kadang bersama untuk waktu yang cukup lama. Bisa 2 hingga 3 jam. Apa mungkin memang ada orang yang berada bersama di satu tempat tapi di antara mereka tidak terjalin komunikasi?

Di antara pertanyaan-pertanyaan yang datang dan tersimpan itu, saya lalu teringat salah satu bagian dalam buku Robert Frager, Obrolan Sufi. Frager menulis tentang pelayanan orangtua pada anaknya, bahwa itu adalah bagian dari pelajaran cinta, saat kita mulai belajar mengatasi narsisisme dan mengobati egoisme dan perhatian pada diri sendiri. Memiliki anak menurut Frager adalah terapi kejut versi Tuhan agar manusia belajar mencintai dengan tulus sehingga potensi jiwanya yang bersifat ilahi dapat tumbuh.

Jadi saya lalu berpikir bahwa ini adalah sebentuk komunikasi spiritual. Saya tidak tahu apakah ini bisa disebut dengan istilah komunikasi. Tapi mungkin bahwa dalam perjumpaan-tanpa-bahasa antara saya dan anak saya itu, saya sebenarnya sedang belajar bahasa cinta. Bukankah cinta adalah bahasa semesta?

Tadi pagi hingga siang, setelah sekitar empat hari tak berjumpa, saya kembali belajar bahasa itu. Saya menemaninya sambil saya menyalin beberapa berkas di komputer, juga sambil membuka-buka buku bacaan. Saya juga mendampinginya saat ia mulai menarik-narik jemuran kecil di serambi dalam rumah. Kadang ia berusaha berdiri di satu sisi dan melangkah ke samping sambil tangannya tetap meraih mencari pegangan. Bila saya menemaninya dengan tiduran, dia suka sekali menggunakan tubuh saya sebagai tempat latihannya berdiri.

Bahasanya kadang hanya dengan rengekan. Saya berusaha menerka. Kadang karena haus, kadang karena mengantuk. Saat saya menafsir, saat itu juga mungkin saya sedang berusaha perlahan belajar bahasa cinta.

Pertanyaan berikutnya, bagaimanakah pelajaran yang sedang saya ikuti ini nantinya akan berubah bentuk saat ia sudah bisa melafalkan kata-kata dan mengucapkan kalimat secara lengkap sesuai dengan kaidah bahasa? Di manakah pelajaran bahasa cinta itu akan termuat? Apakah bahasa semesta ini akan sirna perlahan dimakan rutinitas bahasa yang sudah sifatnya biasa?

Rasanya saya pantas khawatir bahwa pelajaran berharga ini bisa saja akan menghilang di kelas kehidupan saya. Lalu bagaimana saya dapat memastikan bahwa pelajaran ini dapat terus berlangsung dalam jalinan relasi antara saya dengan anak saya?

Read More..