Kamis, 16 Desember 2021

Sebuah Percakapan Singkat tentang Pengembangan Literasi Digital Mahasiswa


Mengapa mahasiswa perlu memiliki dan mengembangkan literasi digital?

Kita hidup di era digital. Era digital ini telah memberikan pengaruh yang sangat luas dan mendalam bagi kehidupan manusia, baik pada tataran kehidupan sosial, ekonomi, budaya, dan bahkan pada tataran eksistensial.

Apa yang dimaksud dengan era digital?

Era digital adalah suatu periode waktu Ketika informasi begitu mudah dan cepat diperoleh dan disebarluaskan. Penyebabnya adalah semakin masifnya teknologi digital yang digunakan oleh manusia, bahkan hingga ke wilayah pelosok. Teknologi digital itu pun juga berkembang dengan cepat, sehingga era digital memberikan dampak perubahan yang cepat dan luas. Secara kebahasaan, KBBI menjelaskan arti kata “digital” sebagai “berhubungan dengan angka-angka untuk sistem perhitungan tertentu; berhubungan dengan penomoran”. Namun, secara asal Bahasa, kata ini berasal dari kata Latin “digitalis” yang berarti “jari”. Di era digital, manusia telah berubah menjadi “manusia jari” yang memusatkan aktivitasnya saat menggali informasi dengan menggerakkan jarinya pada sebuah perangkat digital.

Apa saja dampak atau pengaruh era digital dalam kaitannya dengan pembicaraan kita pagi ini?

Tema diskusi ini sudah memperlihatkan satu hal: bahwa era digital mendorong lahirnya industry 4.0, yakni sebuah model pengelolaan industri yang memanfaatkan sistem otomatisasi berbasis computer secara lebih menyeluruh sehingga keputusan-keputusan tertentu dibuat secara otomatis oleh mesin pintar. Secara lebih luas, dampak atau pengaruh era digital bisa dijelaskan secara lebih luas. Yang pertama, pada tataran yang paling mudah terbaca, kita mengalami banjir informasi yang belum pernah dialami sebelumnya. Sekitar 25 tahun yang lalu, kita, termasuk atau terutama pelajar/mahasiswa, akses untuk mendapatkan informasi relatif sulit. Saat ini, kita bahkan mengalami banjir informasi. Jutaan berita atau informasi disebarkan melalui perangkat digital. Kedua, pada tataran yang lebih jauh, banjir informasi dan teknologi digital yang semakin massif ini membentuk cara baru dalam berinteraksi, termasuk dalam kaitannya dengan cara menggali informasi. Dengan kemudahan akses tersebut, manusia cenderung menjadi bersikap instan dan dangkal dalam mendapatkan informasi. Nicholas Carr, penulis buku The Shallows: What the Internet is Doing to Our Brains (2011) menjelaskan bahwa internet telah menurunkan kemampuan kita untuk berpikir secara mendalam serta menggerus kemampuan kita untuk berkonsentrasi dan merenung—hal-hal yang sangat mendukung kreativitas dan inovasi. Internet mendorong cara berpikir yang dangkal, serba instan, cepat, dan massal. Di satu bagian, Carr menggambarkan kecenderungan ini dengan metafor yang menarik: “yang sedang kita alami adalah pembalikan dari sejarah awal peradaban: kita berevolusi dari pengolah pengetahuan pribadi menjadi pemburu dan peramu di belantara data elektronis”. Ketiga, menurunnya kemampuan membaca secara intensif ini pada gilirannya berpotensi untuk menyesatkan manusia dengan penyebaran informasi yang disalahgunakan. Berita palsu atau pembingkaian untuk kepentingan tertentu belakangan menjadi hal yang cukup sering kita temukan.

Kalau dirangkum secara singkat, bagaimana gambaran dampak era digital ini?

Ada tiga poin. Pertama, ketakterbendungan arus informasi. Kedua, kedangkalan muatan informasi. Ketiga, kecenderungan untuk mengacaukan pola hubungan masyarakat.

Kalau demikian, lalu apa yang perlu kita lakukan, utamanya terkait dengan pelajar/mahasiswa sebagai insan Pendidikan?

Apa yang tergambar dalam tema ini sudah tepat, yakni bahwa kita perlu membekali pelajar/mahasiswa dengan literasi digital.

Apa itu literasi digital?

Merangkum dari berbagai sumber, sebuah buku yang dirilis Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI dalam kaitannya dengan Gerakan LIterasi Nasional menjelaskan bahwa literasi digital adalah pengetahuan dan kecakapan untuk menggunakan media digital, alat-alat komunikasi, atau jaringan dalam menemukan, mengevaluasi, menggunakan, membuat informasi, dan memanfaatkannya secara sehat, bijak, cerdas, cermat, tepat, dan patuh hukum dalam rangka membina komunikasi dan interaksi dalam kehidupan sehari-hari. Dari definisi ini, literasi digital berarti memiliki lapisan atau tingkatan, mulai dari level sederhana, yakni pemanfaatan secara dasar seperti menyerap informasi, hingga level kreatif yakni mencipta informasi.

Jadi, jika ingin mengembangkan literasi digital, apa yang harus kita lakukan?

Kita sedang berhadapan dengan suasana budaya yang menyeluruh dan membentuk keseharian kita. Jadi, upaya untuk mengembangkan literasi digital harus juga dilakukan secara utuh. Yang pertama, dari sudut beberapa lapis makna literasi digital itu, kita harus menanganinya satu per satu. Secara sederhana, ada tiga lapis, yakni menyerap informasi, mencipta informasi, dan menyebarkan informasi. Keterampilan terkait tiga hal ini perlu diberikan kepada mahasiswa kita dengan satu rencana yang rapi dan tertata. Di era digital seperti sekarang ini, literasi digital harus diperlakukan atau dipandang sebagai keterampilan dasar, sama seperti keterampilan membaca pada Pendidikan dasar. Karena jika pelajar/mahasiswa kita tidak memiliki keterampilan dasar ini, maka dampak buruk era digital akan sulit untuk dihindari.

Selain itu, apa hal lain yang harus dikerjakan?

Secara umum, masalah atau tantangan yang muncul terkait dampak era digital ini juga berakar pada kemampuan berpikir sebagai salah satu keterampilan dasar. Literasi digital pada akhirnya adalah soal kemampuan berpikir. Katakanlah, kemampuan berpikir kritis. Beberapa tahun yang lalu, sebuah data mengemukakan tentang krisis kemampuan matematika dasar pada siswa/pelajar kita, yang pada satu sisi bisa menunjukkan kemampuan berpikir pelajar kita yang masih bermasalah.

Apakah dua hal ini cukup untuk mengembangkan literasi digital?

Dua hal ini terkait secara langsung dengan literasi digital. Selain itu, di era digital dan terus berkembangnya model industri berbasis komputasi, mahasiswa kita juga perlu dibekali dengan wawasan global. Artinya, mahasiswa didorong untuk berpikir bukan hanya pada tingkat wilayah/regional sekitarnya semata, tapi harus selalu diajak berpikir dalam konteks konstelasi dunia. Kita tahu, globalisasi adalah bagian dari dampak era informasi yang dipercepat dengan era digital saat ini.

Apa ada strategi yang bersifat lebih konkret?

Sementara, yang tergambar dalam pikiran saya, pada tingkat yang paling sederhana adalah berupa pendampingan peningkatan keterampilan membaca. Mahasiswa didampingi untuk meningkatkan keterampilan membaca atau menyerap informasi. Kalau bisa sesuai dengan bidang atau minat keilmuannya, itu tentu lebih baik.

Wah, kok strateginya terkesan sederhana ya?

Ya, mungkin tampak klasik, dan sederhana. Tapi ini hal mendasar. Dan kita sejauh ini belum selesai dengan hal-hal yang mendasar seperti ini. Jadi tetap harus dikerjakan, tidak bisa dilewatkan begitu saja. Kalau dipaksa dilewatkan, jalan yang ditempuh berikutnya bisa kurang sempurna atau bahkan bermasalah. Kita mungkin akan melihat produk pemikiran mahasiswa yang dangkal, atau mereka di era industri ini tidak mampu menjadi knowledge worker yang keahliannya ditentukan oleh penguasaan atas pengetahuan mendasar. Untuk lebih detailnya, nanti kita diskusikan lebih lanjut ya. Terima kasih.

Pengantar diskusi di STIT Aqidah Usymuni Sumenep pada tanggal 30 September 2021.


0 komentar: