Minggu, 19 Juni 2016

Masnawi, Biblioterapi, dan Kekuatan Cerita


Judul buku: Terapi Masnawi
Penulis: Prof. Dr. Nevzat Tarhan
Penerjemah: Ridho Assidicky, Ummahati Solichin, Bernando J Sujibto
Penerbit: Qaf Publishing, Jakarta
Cetakan: Pertama, 2016
Tebal: 316 halaman
ISBN: 978-602-73761-4-4


Pemikiran tasawuf Jalaluddin Rumi (1207-1274) telah dikenal luas tidak hanya di kalangan umat Islam. Salah satu mahakaryanya, yakni Masnawi, telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa dunia dan dikaji oleh banyak kalangan, termasuk nonmuslim.

Buku ini mencoba mengangkat Masnawi dalam konteks yang bersifat praktis, yakni terapi. Nevzat Tarhan, penulisnya, adalah seorang profesor di bidang psikiatri dan neuropsikologi dari Turki. Dalam buku ini, Nevzat memilih kisah-kisah dalam Masnawi untuk dijadikan bahan utama dari apa yang kemudian disebutnya biblioterapi.

Dalam bidang psikoterapi, biblioterapi terbilang masih relatif baru. Biblioterapi adalah penggunaan teks-teks khusus untuk mengatasi penyakit dan gangguan jiwa dengan pendampingan khusus dari seorang spesialis. Menurut Nevzat, melalui kisah dan syair-syair dalam karyanya ini, Rumi memberikan pelajaran penting tentang bagaimana mengendalikan energi liar dalam diri kita.

Bagaimana sebuah kisah terpilih dapat menjadi terapi? Bagaimana biblioterapi bekerja? Menurut Nevzat, dengan memperdengarkan cerita yang pas, pendengar diharapkan dapat merasakan dan mengalami proses transformasi mental dalam dirinya. Pada tahap pertama, cerita pilihan itu berfungsi sebagai cermin. Artinya si pendengar menemukan keadaan mental dirinya melalui kisah yang dituturkan.

Selanjutnya, kisah-kisah itu memantik titik-titik refleksi si pendengar. Nevzat menjelaskan bahwa ada kekuatan simbol dan metafor dalam kisah-kisah Masnawi sehingga pendengar yang menyimak kisah yang tepat akan didorong untuk menemukan sudut pandang yang baru terkait dengan kondisi psikologis yang dihadapinya.

Selain itu, dalam biblioterapi, masalah berusaha dipecahkan dengan cara membicarakannya melalui titik tolak kisah tertentu yang dirasa pas. Perspektif baru dan inspirasi dari kisah tersebut diharapkan dapat melemahkan penyakit mental yang dimiliki seseorang yang sedang menjalani proses terapi.

Bagian utama buku ini memuat 32 pola pikir keliru yang dikategorikan sebagai penyakit mental yang biasa dihadapi manusia. Untuk kepentingan terapi, Nevzat memulai dengan mengangkat satu judul tentang pola pikir tertentu yang keliru. Setelah itu dia mengutip satu kisah dari Masnawi dan kemudian memberikan uraian dalam kerangka terapi atas sikap mental yang keliru tersebut. Setiap judul kemudian ditutup dengan kutipan syair dari Masnawi yang tampaknya dimaksudkan sebagai penguat sekaligus merangkum proses terapi.

Di antara contoh pola pikir yang keliru ada yang berupa pikiran untuk memandang diri sendiri sebagai sosok yang istimewa. Nevzat mengutip kisah seekor lalat yang berlagak seolah dirinya itu burung Phoenix. Saat terhanyut di tumpukan sampah yang digenangi kencing keledai, si lalat malah merasa seperti seorang kapten yang tengah menakhodai kapal istimewa.

Bagi Nevzat, kisah ini merefleksikan sikap arogan yang dapat menjerumuskan jiwa. Menganggap diri sebagai sosok istimewa dan penting adalah sebentuk sikap sombong. Menurut Nevzat, orang sombong sebenarnya memiliki penyakit mental berupa sikap tak percaya diri. Dia meninggikan dirinya sendiri untuk mengatasi ketakpercayaan dirinya itu. Sama halnya dengan orang yang bersiul saat melintasi kuburan demi menghilangkan rasa takutnya.

Melalui kisah Rumi, Nevzat menyingkapkan bahwa orang sombong adalah orang yang tertipu. Sombong membutakan diri sehingga seseorang justru semakin terperosok pada sifat-sifat yang buruk dan menggerogoti dirinya.

Ada juga pola pikir yang menganggap semua orang yang mengkritik kita hanya semata bermaksud merendahkan kita. Nevzat mengangkat kisah 4 orang yang tengah shalat namun akhirnya semuanya batal karena saling menanggapi dan mengkritik rekannya yang batal lantaran berbicara.

Di sini Nevzat mengingatkan kecenderungan dasar manusia yang bersifat reaktif saat menerima kritik. Sebaliknya, manusia juga cenderung keburu mengomentari orang lain saat menemukan kesalahan dan lupa akan kesalahan serupa yang dimilikinya.

Menerima kritik harus dengan jernih sehingga kita bisa membedakan antara kritik yang dibuat secara tulus dan kritik yang justru memang berangkat dari niat buruk. Selain itu, menyampaikan kritik jangan sampai terjebak pada sikap menggeneralisasi. Kritik idealnya harus bisa diterima seseorang layaknya sebagai hadiah yang indah.

Selain unsur terapi, pada bagian terakhir buku ini Nevzat menguraikan 10 langkah untuk mengembangkan kecerdasan emosi. Metodenya juga sama, yakni memanfaatkan kisah-kisah terpilih dari Masnawi. Sepuluh langkah itu dimulai dari mengenali diri sendiri, berempati dan memahami orang lain, menjalin komunikasi dengan baik, dan seterusnya hingga langkah kesepuluh yakni menjadi penengah.

Dalam konteks yang lebih luas, hal paling menarik dari upaya Nevzat untuk memperkenalkan biblioterapi adalah potensi besar dari kisah-kisah tertentu untuk memberi efek perubahan mental pada diri seseorang. Mendidik, membentuk karakter, atau mengobati penyakit mental akan cukup ampuh jika dilakukan dengan pendekatan cerita. Kisah yang disampaikan dalam rangka pendidikan atau terapi tidak terkesan menggurui sehingga lebih mudah diserap.

Tentu saja kita menyadari bahwa Masnawi adalah teks yang istimewa. Menurut Seyed G. Safavi, seorang pengkaji Rumi, teks pramodern seperti Masnawi ditulis dengan sebuah upaya besar dan serius. Ia bukan sekadar buku seperti di era industri modern saat ini yang isinya bisa mudah kedaluwarsa. Bahkan pengkaji Rumi yang lain, Richter, menunjukkan bahwa cara Masnawi disusun mengikuti paradigma al-Qur’an dalam menggabungkan kisah, perumpamaan, pesan etik dan filsafat didaktik.

Meski metodologi pemilihan kisah-kisah Masnawi dan penyusunan aspek terapinya tidak dijelaskan dengan cukup teperinci, kajian Nevzat dalam buku ini mendorong kita untuk melihat lebih jauh potensi kisah-kisah terpilih untuk dimanfaatkan secara lebih luas dalam kehidupan sehari-hari. Ada banyak potensi kisah, cerita, dan semacamnya baik yang ditulis oleh sastrawan, tokoh agama, atau khazanah lokal, yang mungkin bisa juga ditempatkan dalam kerangka pendidikan karakter dan terapi.

Buku yang diterjemahkan dari bahasa Turki ini juga dapat dilihat sebagai pengembangan dari bentuk pengobatan ala sufi yang bertolak dari teks—sebuah kajian yang masih cukup jarang dalam kajian tasawuf di Indonesia.


Tulisan ini dimuat di Harian Jawa Pos, 19 Juni 2016.

0 komentar: