Minggu, 24 April 2016

Nasionalisme Kaum Minoritas


Judul buku: Mencari Sila Kelima: Sebuah Surat Cinta untuk Indonesia
Penulis: Audrey Yu Jia Hui
Penerbit: Bentang Pustaka, Yogyakarta
Cetakan: Pertama, Oktober 2015
Tebal: xxiv + 162 halaman


Dalam konteks kehidupan kebangsaan, nasionalisme kadang menjadi konsep yang mengawang-awang. Hal ini di antaranya terjadi jika konsep nasionalisme itu tidak pernah direfleksikan dan didialogkan dengan kehidupan konkret para warga. Malah terkadang nasionalisme dijadikan pembenaran untuk tindakan yang melanggar hak individu.

Buku ini adalah suara warga tentang nasionalisme yang sangat patut didengar. Nilai penting buku ini bukan saja karena suara itu berasal dari kelompok minoritas dalam konteks kehidupan kebangsaan Indonesia, tetapi juga karena selama ini tidak banyak pembahasan tentang nasionalisme yang sifatnya reflektif dengan bertolak dari pengalaman konkret individu warga negara.

Penulis buku ini, Audrey Yu Jia Hui, adalah gadis keturunan Tionghoa dengan tingkat kecerdasan yang luar biasa. Ia menamatkan S-1 di Amerika Serikat pada usia 16 tahun dan pada saat berumur 10 tahun telah memecahkan rekor MURI untuk skor TOEFL 573.

Namun buku ini bukan tentang kegeniusan Audrey. Buku yang ditulis seperti surat ini menuturkan pengalaman keseharian Audrey yang direfleksikan dalam bingkai nasionalisme. Di antara hal yang direfleksikan adalah masih begitu banyaknya benih prasangka di antara berbagai kelompok masyarakat Indonesia sehingga pergaulan sosial mudah tersulut konflik.

Audrey yang dibesarkan dalam keluarga berkecukupan di Surabaya bercerita tentang prasangka terhadap asisten rumah tangga. Mereka dikesankan bodoh dan tak bisa dipercaya. Akibat prasangka, sisi kemanusiaan pada asisten rumah tangga itu sering tak terlihat, misalnya tentang perjuangan mereka untuk menghidupi keluarganya, kesulitan hidup yang mereka hadapi, dan sebagainya.

Audrey, yang kini bekerja di Changzhou, Tiongkok, bercerita tentang pengalamannya saat bertemu dengan para TKW di penerbangan Hongkong-Surabaya. Saat menyaksikan tingkah para TKW yang memalukan, Audrey merasa terdorong untuk memisahkan identitasnya dengan mereka: bahwa ia berbeda, dan karena itu tak perlu dipedulikan.

Pergulatan eksistensial semacam ini dirasakan Audrey sebagai ujian bagi nasionalisme dan rasa persaudaraannya sebagai sesama warga Indonesia. Dalam momen seperti ini, Audrey tertantang untuk tetap memperlakukan mereka sebagai tóng bāo, yakni sebagai orang yang “lahir dari rahim yang sama”, yakni Indonesia.

Tidak mudah untuk menghadapi prasangka seperti ini, bukan hanya karena prasangka itu begitu telah ditanamkan berulang-ulang tapi juga kadang didukung dengan pembenaran oleh para pemuka agama atau kasusnya beririsan dengan prasangka yang berlatar agama—selain juga prasangka berbasis etnis.

Rasa kebangsaan ini harus dipulihkan dengan pendidikan sejati. Pendidikan sejati akan mengembalikan hati nurani dan status primordial warga negara sebagai manusia. Selain itu, pendidikan sejati juga diharapkan dapat menumbuhkan kasih sayang di antara sesama warga, sebagaimana yang menjadi ruh dan inti pesan agama.

Pada bagian ini, Audrey memberi perbandingan dengan pengalamannya di Tiongkok. Di sana ia melihat proses pendidikan banyak digali dari khazanah lokal, seperti filosofi dan tradisi leluhur.

Audrey juga mengkritik sekolah-sekolah internasional di Indonesia yang menurutnya gagal membangun identitas kebangsaan. Bahkan, murid-murid di sana cenderung menyimpan sikap superior yang pada titik tertentu dapat mengikis rasa persaudaraan kebangsaan.

Sementara itu, di sisi lain, negara tampak gagal membangun identitas dan persaudaraan di antara sesama warga. Padahal Indonesia memiliki filosofi kebangsaan yang luar biasa, yakni Pancasila. Sayangnya, dalam kehidupan sehari-hari, banyak pengurus publik yang justru sering mempertunjukkan sikap yang bertentangan dengan Pancasila. Bentuknya banyak yang berupa ketimpangan dan absennya keadilan sosial dalam kehidupan nyata sehari-hari.

Selain sebagai refleksi kebangsaan, buku ini memperlihatkan tantangan kebangsaan Indonesia di hari depan. Dalam tatanan dunia yang semakin menyatu, Audrey menunjukkan generasi muda bangsa yang mengalami kegalauan dalam merumuskan identitas kebangsaan. Jika semua tinggal diam, ini akan menjadi ancaman serius bagi masa depan Indonesia.

Buku ini adalah panggilan yang tulus kepada seluruh elemen bangsa untuk lebih membumikan Pancasila.


Tulisan ini dimuat di Harian Radar Madura, 24 April 2016.


2 komentar:

pahing mengatakan...

di mana saya bisa mendapatkna buku ini?

Unknown mengatakan...

Sy jg nda tau