Jumat, 08 Januari 2016

Teladan Spiritual Gus Dur


Judul: Gus Dur: Mengarungi Jagat Spiritual Sang Guru Bangsa
Penulis: Dr. Abdul Wahid Hasan
Penerbit: IRCiSoD, Yogyakarta
Cetakan: Pertama, Agustus 2015
Tebal: 252 halaman
ISBN: 978-602-255-956-6


Gus Dur adalah sosok multidimensi. Dia seorang kiai, aktivis demokrasi, pemikir, juga budayawan. Namun demikian, menurut Greg Barton, Gus Dur hanya bisa dipahami jika kita mencermati keyakinan religius dan kehidupan batinnya.

Buku ini berusaha menggali sisi spiritualitas Gus Dur. Abdul Wahid Hasan, penulis buku ini, berusaha memotret akar terbentuknya spiritualitas Gus Dur, bentuk pendidikan spiritual yang diperjuangkan Gus Dur, serta strategi pendidikan spiritual yang dijalankan Gus Dur.

Abdul Wahid berasumsi bahwa seluruh visi, tindakan, dan gerakan yang dilakukan Gus Dur bertolak dari pemahaman keagamaan dan spiritualitasnya. Jika melihat biografi kehidupan Gus Dur, tampaklah bahwa benih spiritualitas yang tumbuh dan menjadi landasan orientasi visi hidupnya amatlah jelas. Dibesarkan di lingkungan keluarga berbasis pesantren, Gus Dur mendapatkan teladan pelayanan kepada umat dari lingkungan terdekatnya yang berangkat dari semangat penghayatan keagamaan.

Teladan yang inspirasinya pada tingkat dasar mengacu pada pribadi Muhammad Rasulullah ini melahirkan bentuk pemahaman spiritualitas dengan semangat dakwah transformatif. Prof. Abd. A’la dalam pengantar buku ini membandingkan dengan model spiritualitas yang dihayati oleh Rabiah al-Adawiyah meski berujung pada bentuk ekspresi yang berbeda (hlm. 13).

Menurut penelitian Abdul Wahid dalam karya yang semula merupakan disertasi di UIN Sunan Ampel Surabaya ini, terungkap bahwa sosok Gus Dur mempertunjukkan empat bentuk pendidikan spiritual, yakni spiritual humanis, spiritual inklusif-kosmopolit, spiritual dinamis-progresif, dan spiritual mistikal trans-eksistensial (hlm. 144).

Spiritualitas Gus Dur tiba pada pemahaman bahwa agama sejatinya hadir untuk misi kemanusiaan. Dalam pemahaman ini, pelayanan kepada sesama adalah hal yang sangat penting, termasuk pada kelompok marginal. Tidak heran jika Gus Dur sering hadir di pihak yang lemah, seperti saat membela Inul Daratista atau bahkan menemui Soeharto saat dalam posisi terpojok setelah lengser.

Lebih dari sekadar berorientasi kemanusiaan, spiritualitas Gus Dur menembus batas-batas agama sehingga juga bercorak inklusif-kosmopolit. Dalam pemahaman Gus Dur, Islam adalah agama universal sehingga kehadirannya melampaui batas-batas perbedaan manusia. Dengan cara ini, spiritualitas menjelma sebagai cahaya yang mengayomi dan anti-kekerasan.

Penghayatan personal yang bersifat mistik sebagai bentuk spiritualitas pada sosok Gus Dur juga mendorong sikap dinamis-progresif. Ada yang menyatakan bahwa keberanian dan kepercayaan diri Gus Dur saat mengambil tindakan yang terbilang kontroversial di antaranya terbangun atas pengalaman spiritual yang bersifat mistik setelah ia sering mendatangi makam para wali.

Dalam rentang perjalanan hidupnya, berbagai bentuk penghayatan pendidikan spiritual itu disampaikan Gus Dur dengan beberapa strategi. Menurut penelitian Abdul Wahid, ada tiga strategi yang digunakan Gus Dur, yakni strategi selebritasi, strategi kontroversi, dan strategi imitasi (hlm. 209).

Pertama, Gus Dur tampil sebagai selebriti di media sehingga ia memiliki ruang leluasa untuk menyampaikan visi dan perjuangannya. Kedua, Gus Dur sering melemparkan pernyataan atau menampilkan sikap kontroversial. Menurut Wahid, langkah ini diambil untuk memberi terapi kejut sekaligus mendorong masyarakat untuk berefleksi secara lebih mendalam atas hal-hal yang sebelumnya dianggap rutin dan biasa.

Ketiga, Gus Dur tampil memberi contoh, aksi nyata, dan keteladanan atas penghayatan spiritual yang diyakininya. Ia memberi contoh kesederhanaan, ketulusan, dan sikap kemanusiaannya yang mendalam.

Menurut Abdul Wahid, teladan spiritual Gus Dur, yang oleh Majalah Time pernah disebut sebagai The Spiritual Leader, meneguhkan pesan penting bagi pengembangan pendidikan spiritual yang humanis. Wujudnya berupa pendidikan keagamaan yang terbuka, berbasis moral, berakar di masyarakat, dan menghargai kebijaksanaan lokal (hlm. 228).

Buku ini mengisi kelangkaan kajian atas sosok Gus Dur yang menempatkannya sebagai pribadi unik yang penuh dengan penghayatan spiritualitas. Secara khusus, kajian ini juga bisa memberikan pemahaman yang baik atas salah satu corak penghayatan spiritualitas yang bertumbuh dari kalangan berlatar pesantren. Dari sosok Gus Dur, terbukti bahwa kaum santri tidak bisa dibilang kolot dan jumud.

Pengaruh dan apresiasi terhadap Gus Dur yang sangat kuat di kalangan santri pada khususnya menunjukkan bahwa corak spiritualitas ala Gus Dur bukanlah pandangan pinggiran. Buku ini memberi gambaran yang lebih utuh tentang bagaimana spiritualitas Gus Dur ini dapat berkontribusi lebih nyata bagi bangsa ini.


Versi yang sedikit berbeda dengan tulisan ini dimuat di Koran Jakarta, 8 Januari 2016.


1 komentar:

Rusdi El Umar mengatakan...

Sosok Gus Dur, dihormati kala masih ada dan dirindu saat Beliau tiada. Jika ada yang tak "suka," adalah dimensi kewajaran untuk setiap ada Abu Bakar, maka pasti ada Abu Jahal. Sosok sekaliber Muhammad pun ada yg tidak suka. Super sekali!