Jumat, 22 Mei 2015

Pesona Mulia Sang “Anak Asuh Wahyu”


Judul buku: ‘Ali ibn Abi Thalib: Khalifah Nabi Tercinta
Penulis: Khalid Muhammad Khalid
Penerbit: Mizania, Bandung
Cetakan: Pertama, Desember 2014
Tebal: 196 halaman


Di kalangan umat Islam, sosok ‘Ali ibn Abi Thalib tidak saja menempati posisi penting, tapi juga cukup kontroversial. Disebut penting karena ia adalah sepupu sekaligus menantu Nabi Muhammad saw. Selain itu, ia juga tercatat sebagai anak yang masuk Islam pertama kali. Namun begitu, ia juga cukup kontroversial karena diposisikan sebagai panutan atau imam kelompok syi’ah, golongan yang posisinya selalu menimbulkan perdebatan.

Posisi sulit ‘Ali ibn Abi Thalib menjadi nyata karena ia diangkat sebagai khalifah pada situasi yang genting, saat umat Islam mulai terseret dalam konflik politik yang menceraiberaikan persatuan dan persaudaraan yang telah dibangun mulai dakwah Nabi di Mekah.

Buku ini tidak memaparkan runtutan peristiwa di seputar kehidupan ‘Ali ibn Abi Thalib. Mengikuti alur kronologis kehidupan ‘Ali yang tidak disajikan secara kaku, Khalid Muhammad Khalid berusaha menampilkan “kemuliaan dan kemanusiaan yang tersirat di balik setiap rangkaian peristiwa” (hlm. 9) dalam alur kehidupan ‘Ali.

Buku ini dibagi ke dalam lima bab. Bab yang pertama berusaha menampilkan sosok ayah dan kakek ‘Ali—yang tak lain adalah juga paman dan kakek Nabi Muhammad saw—yakni Abu Thalib dan ‘Abdul Muththalib. Keduanya adalah tokoh terkemuka masyarakat Mekah yang disegani. Setelah menggambarkan beberapa fragmen kehidupan kedua sosok tersebut, Khalid menyimpulkan bahwa ‘Ali mewarisi sifat-sifat mulia dari keduanya, yakni berupa “sifat pantang menyerah, keteguhan dalam memegang pendirian, dan kekuatan dalam akidahnya” (hlm. 32).

Tak berhenti hanya pada kesimpulan ini, Khalid kemudian menguatkan: apalagi ‘Ali mendapat kesempatan untuk berada serumah dan bahkan dididik langsung oleh Nabi Muhammad saw. Maka tentunya karakter yang kemudian mendapatkan landasan keimanan Agama Tauhid tentu akan lebih kuat lagi.

Inilah yang diuraikan Khalid pada bab kedua. Khalid menyebut ‘Ali dengan julukan “Anak Asuh Wahyu”. Hal ini tak lain karena sejak usia 6 tahun ‘Ali sudah tinggal bersama Nabi, dan pada usia 10 tahun telah memeluk agama Islam sehingga ia dikenang sebagai orang yang pertama kali masuk Islam dari golongan anak-anak. Pada tahun-tahun pertama turunnya wahyu, ‘Ali selalu berada di dekat Nabi sehingga hal itu membentuk loyalitasnya secara total terhadap al-Qur’an.

Bab ketiga buku ini berjudul “Seorang Pahlawan dan Kesatria”. Bagian ini menggambarkan sosok ‘Ali yang memiliki semangat juang yang tinggi. ‘Ali digambarkan memiliki karakter prajurit sejati, pahlawan, dan kesatria yang luhur. Di antara kisah yang diangkat pada bab ini berasal dari peristiwa Perang Uhud. Pada waktu itu, ‘Ali memenangi duel bersama Abu Sa’ad ibn Abi Thalhah, salah seorang dari kaum musyrik. Namun, ‘Ali urung menghabisi Abu Sa’ad karena setelah terhempas ke tanah, tiba-tiba pakaian Abu Sa’ad tersingkap dan auratnya kelihatan. ‘Ali tak mau melihat aurat orang lain. Ia memejamkan matanya dan berpaling, lalu kembali ke pasukannya.

Dalam peristiwa Perang Unta, ‘Ali menegur keras dua orang pembesar kaum Anshar yang melemparkan cacian dan makian pada Muawiyah. ‘Ali melarang mereka mencela dan melaknat dan menyarankan agar lebih baik mendoakan pada kebaikan (hlm. 69).

Bagian terpanjang dalam buku ini adalah bab keempat. Bab ini menggambarkan periode kehidupan ‘Ali saat ia diangkat sebagai khalifah. Poin mendasar yang ditekankan adalah rasa akan tanggung jawab atas jabatan yang diemban. Sebagaimana banyak diulas oleh penulis sejarah Islam yang lain, Khalid dalam buku ini menegaskan keikhlasan dan sifat amanah empat khalifah Islam yang pertama (atau khulafaurrasyidin) serta kebersihan hati mereka dari ambisi pribadi dan hasrat atas kekuasaan. Kalaupun ada perselisihan atau perbedaan pandangan mereka dalam hal mengelola pemerintahan, itu bukan karena dorongan hal yang sifatnya duniawi (hlm. 100).

Selain praktik zuhud atau hidup sederhana yang dicontohkan oleh ‘Ali, ‘Ali menekankan visi kepemimpinannya untuk menyatukan umat Islam yang saat itu terpecah belah secara politik. Selain itu, ‘Ali juga mereformasi santunan dana dari Baitul Mal dengan mengembalikannya seperti kebijakan Abu Bakar, yakni dalam menentukan besarannya tak mempertimbangkan siapa yang lebih dulu masuk Islam.

Yang menarik dicatat, meski tampak berusaha netral, di beberapa bagian kita dapat menemukan bagian yang tampak memperlihatkan keberpihakan penulis pada ‘Ali dengan memposisikan Muawiyah serta pada pendukung dan kerabatnya pada posisi yang terkesan kurang baik. Namun begitu, di beberapa bagian yang seperti itu, buku ini kemudian merujukkan sejumlah catatan kaki yang di antaranya mementahkan validitas dasar pandangan penulis—di antaranya banyak bersumber dari penilaian ahli hadits Al-Albani.

Terlepas dari sisi kontroversial tersebut, buku ini menarik untuk dibaca karena bagaimanapun sosok ‘Ali ibn Abi Thalib memiliki posisi yang penting dalam Islam karena kedekatannya dalam banyak hal dengan Nabi Muhammad saw. Hanya memang mungkin untuk hal-hal yang sifatnya kontroversial, pembaca perlu memperkaya dengan rujukan yang lain sebagai penyeimbang.


Tulisan ini dimuat di Harian Kabar Madura, 21 Mei 2015.

0 komentar: