Rabu, 03 Desember 2014

Ancaman Liberalisasi Pendidikan atas Kedaulatan Bangsa


Judul buku: Melawan Liberalisme Pendidikan
Penulis: Darmaningtyas, Edi Subkhan, Fahmi Panimbang
Penerbit: Penerbit Madani, Malang
Cetakan: Pertama, April 2014
Tebal: xxvi + 342 halaman


Dalam perbincangan publik, isu pendidikan sering kalah untuk mendapat perhatian masyarakat ketimbang isu politik praktis. Padahal, untuk membangun sendi utama kehidupan masyarakat yang bermutu dalam jangka panjang, pendidikan memiliki peran yang sangat penting.

Perhatian yang kurang dari masyarakat atas isu pendidikan ini terlihat saat pembahasan Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP) mengemuka selama sekitar satu tahun pada 2007-2008. Tak banyak mahasiswa atau pihak kampus yang bersuara secara kritis atau turun jalan—tak seperti dalam menyoal isu BBM, misalnya. Padahal, kehadiran RUU BHP tersebut akan berdampak langsung pada mahasiswa dan kampus pada khususnya.

Buku ini membincang salah satu bentuk ancaman peningkatan mutu pendidikan di Indonesia, yakni yang berbentuk liberalisasi di sektor pendidikan. Liberalisasi yang dimaksud adalah kecenderungan negara untuk melepas tanggung jawabnya dalam memenuhi salah satu hak dasar warga negara, yakni pendidikan. Dalam bentuk yang konkret, liberalisasi pendidikan yang dibahas dalam buku ini mewujud berupa UU Badan Hukum Pendidikan.

Kemunculan UU BHP sebenarnya dimulai cukup lama, yakni sejak tahun 2003, namun mengemuka pada 2007-2008 hingga kemudian disahkan pada 17 Desember 2008. Kepada masyarakat luas, disampaikan bahwa UU ini diterbitkan terutama bertujuan untuk memperkuat otonomi kampus dan meningkatkan transparansi dan akuntibilitas pengelolaan perguruan tinggi.

Buku ini menyingkapkan dengan kritis berbagai segi problematis penerapan UU tersebut. Pada intinya, UU tersebut dipandang mengubah arah perguruan tinggi menjadi tak ubahnya seperti perusahaan (korporasi). Ini terlihat dari penekanannya yang besar pada aspek tata kelola agar lebih efisien dan produktif. Pendidikan bukan dipandang terutama sebagai kewajiban negara, tapi lebih sebagai bentuk jasa yang diperdagangkan.

Jadinya, hal-hal yang lebih substansial terkait arah dan kebijakan pendidikan nasional dalam hubungannya dengan tantangan kebangsaan kemudian menjadi kurang diutamakan. Pada gilirannya, masalah kemudahan akses masyarakat kurang mampu untuk mengenyam pendidikan tinggi, dukungan negara untuk pendidikan swasta, dan sebagainya, menjadi terabaikan. Buku ini menunjukkan dengan lugas bahwa ruh dan substansi UU BHP tersebut benar-benar mengarah pada liberalisasi, privatisasi, dan komersialisasi sektor pendidikan.

Menurut para penulis buku ini, membiarkan pendidikan nasional masuk dalam perangkap liberalisasi hanya akan menghancurkan masa depan bangsa Indonesia. Saat pendidikan mahal dan akses pendidikan tinggi hanya bisa diakses oleh mereka yang memiliki kemampuan ekonomi yang cukup, maka berarti kelak tak akan banyak warga Indonesia yang dapat berpartisipasi dalam mengelola kekayaan alam di Indonesia. Ketergantungan pada bangsa asing dalam hal pengelolaan sumber daya alam, seperti sekarang sudah terlihat, akan bisa menjadi penghambat bagi pemanfaatan kekayaan alam Indonesia demi kemakmuran, kesejahteraan, dan kedaulatan bangsa.

Selain itu, pendidikan mahal hanya akan mereproduksi kelas elite yang cenderung memiliki kepedulian yang kecil pada kepentingan masyarakat umum. Mereka akan cenderung lebih berpikir untuk mengembalikan biaya pendidikan mahal yang telah mereka keluarkan. Ini berarti bahwa pendidikan mahal hanya mereproduksi kemiskinan. Mereka yang miskin akan kesulitan untuk melakukan mobilitas vertikal.

Dalam contoh yang lebih spesifik, buku ini mengangkat problem pendidikan kedokteran di Indonesia. Sejak beberapa kampus berubah menjadi PT BHMN, biaya masuk ke Fakultas Kedokteran sangat mahal, berkisar antara Rp 50 juta hingga Rp 150 juta. Bahkan untuk jalur internasional bisa lebih tinggi. Mahalnya biaya pendidikan kedokteran ini menurut para penulis buku ini dapat mengubah karakter pendidikan yang akan menyiapkan tenaga-tenaga kemanusiaan itu. Tak heran, belakangan ini kita menemukan berita tentang kecenderungan komersial layanan kesehatan atau bahkan terjadinya malapraktik di bidang kesehatan. Secara kontras, buku ini mengungkap kebijakan pendidikan kedokteran di Iran dan India yang menempatkan Fakultas Kedokteran sebagai salah satu fakultas termurah sehingga dapat menyerap siswa-siswa terbaik tanpa melihat kemampuan ekonomi mereka.

Secara lebih teperinci, buku ini membahas berbagai dampak negatif liberalisasi pendidikan, seperti kesenjangan yang semakin lebar termasuk antara lembaga pendidikan negeri dan swasta, disorientasi pendidikan nasional yang kemudian mengabaikan visi pendidikan sebagai upaya pencerdasan maupun pemerdekaan, hilangnya idealisme dan integritas intelektual kalangan kampus, dan sebagainya.

Buku ini bukanlah kajian yang bersifat teoretis atas isu liberalisasi pendidikan. Buku ini sebenarnya merupakan dokumentasi para penulisnya yang merekam perlawanan mereka bersama rakyat Indonesia atas liberalisasi dan privatisasi pendidikan di Indonesia yang berbentuk terbitnya UU BHP No 9 Tahun 2009. Strategi perlawanan mereka berupa perang wacana di media publik dan yang terpenting berupa pengajuan uji materi UU BHP ke Mahkamah Konstitusi (MK). UU BHP dan Pasal 53 UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menjadi landasan terbitnya UU BHP digugat ke MK karena dipandang bertentangan dengan UUD 1945.

Setelah berproses sekian lama, pada 31 Maret 2010 hakim konstitusi di MK yang dipimpin oleh Prof. Dr. Mahfud MD akhirnya mengabulkan pembatalan UU BHP dan Pasal 53 UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Dokumentasi yang teperinci seperti termuat dalam buku ini—yang dilengkapi data lapangan dan kutipan dari berbagai media—sangatlah bernilai karena menurut para penulis buku ini ancaman liberalisasi di bidang pendidikan di Indonesia masih terbuka. Buku ini menengarai bahwa semangat liberalistik masih mungkin muncul sebagaimana dalam UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi yang sempat diajukan ke MK untuk diuji materi namun ditolak.

Selain itu, pengaturan lembaga pendidikan asing sebagaimana termuat dalam pasal 65 UU No. 20/2013 juga berpotensi mengganggu kepentingan pendidikan nasional. Belum lama ini, kontroversi kasus pencabulan di Jakarta International School (JIS) sempat memunculkan diskusi tentang sekolah internasional vis-a-vis arah pendidikan nasional. Sayangnya, diskusi tersebut tergusur oleh isu pemilu calon anggota legislatif dan pemilu presiden.

Dengan adanya catatan yang tersusun rapi seperti buku ini, diharapkan bangsa Indonesia tidak lupa bahwa pernah ada regulasi pendidikan yang bersifat liberalistik, tidak pro-rakyat, dan bahkan bertentangan dengan UUD 1945, yang sangat mengancam masa depan kehidupan bangsa. Dalam posisinya sebagai dokumen sejarah inilah buku ini tak hanya pantas dicerna oleh para praktisi dan pengambil kebijakan di bidang pendidikan, tapi juga oleh mereka yang peduli dengan masa depan bangsa dan mereka yang meyakini bahwa pendidikan nasional yang bermutu akan menjadi kunci kemajuan dan kebangkitan bangsa Indonesia.


Versi pendek tulisan ini dimuat di Koran Jakarta, 3 Desember 2014.

0 komentar: