Minggu, 25 April 2010

Tentang Takdir Sebuah Titik dan Seseorang dari Kegelapan Masa Depan

Hidup adalah jejaring. Kita adalah titik yang terhubung dengan titik-titik yang lain. Takdir kita adalah bahwa kita tak bisa sepenuhnya mengucilkan kehadiran kita di luar jangkauan titik-titik yang lain. Kita didefinisikan dan mendefinsikan hal-hal dalam kaitannya dengan hal-hal yang lain.

Hari ini saya berpikir tentang takdir sebuah titik yang terlempar ke bumi yang takdirnya terperangkap di antara jejaring takdir yang lain. Sebagaimana yang lain, ia terlahir dengan faktisitas yang tak bisa ia tolak. Ia pun lalu mengembara, kemudian terus berkembang dan menjadi matang sehingga akhirnya tampak cukup kemilau. Mungkin di luar ia terlihat tak amat istimewa, tapi di dalam ia seperti menyimpan cahaya.

Namun kini ia rupanya tengah berada dalam situasi yang tak terlalu menguntungkan. Ya, karena hidup adalah jejaring. Takdir satu titik bertemu dengan takdir titik yang lain, juga yang lain, terus yang lain lagi, ditambah yang lainnya lagi, sampai akhirnya mengikat membentuk tali yang menjerat tanpa ia kehendaki. Memang, di antara simpul tali itu ada yang tak begitu kuat karena hanya dibangun di atas praduga dan rekaan belaka—bukan fakta. Namun begitu, ini cukup mampu untuk membuat rangkaian titik-titik itu bertambah kusut.

Pertanyaan yang kemudian datang mengganggu pikiran saya adalah: takdir titik manakah yang kira-kira akan dapat mengeluarkannya dari jejaring takdir himpunan titik-titik itu?

Seseorang dari kegelapan masa depan mencoba menakar perannya bahwa ia akan menjadi elemen baru dari himpunan titik yang rumit itu. Namun ia pun ragu bahwa ia akan mampu masuk ke situ sebagai pengurai bagi belitan titik yang melilit pelik itu. Ia sadar bahwa ia pun tak lebih dari sebuah titik yang juga tak bisa lepas dari jejaringnya sendiri. Ia, seseorang dari kegelapan masa depan di balik kaca yang buram, tahu bahwa jika ia memilih terlibat ke situ, mungkin itu akan menjadi semacam “bunuh diri” yang tak hanya akan melibatkan dirinya, tapi juga titik lain dalam jejaringnya—atau bahkan titik lain yang tak pernah ia duga sebelumnya.

“Seseorang dari kegelapan masa depan itu mungkin pengecut. Atau peragu. Atau entah,” pikir saya yang gagal untuk membuat kesimpulan yang tegas.

Saya tahu, bagaimanapun, seseorang dari kegelapan masa depan mungkin akan datang untuknya. Namun saya tak pernah tahu siapa dia sesungguhnya—kecuali waktu telah menyingkapkan tirai gaibnya. Seperti juga halnya saya tak pernah tahu takdir apa pula yang akan membawanya—ke arah mana, dan bagaimana.

Sampai di sini saya masih tetap saja penasaran, dan pertanyaan itu masih menempel di benak saya: takdir titik manakah yang kira-kira akan dapat mengeluarkannya dari jejaring takdir himpunan titik-titik itu?

Saya berpikir, saat takdirnya—dan juga masa depannya—nyata-nyata tak bisa ia definisikan berdasarkan pencapaiannya yang cukup kemilau , dan juga akan sangat ditentukan oleh takdir titik yang lain dalam jejaringnya, apakah saya boleh mengatakan bahwa hidup ini terlalu absurd dan tidak adil—paling tidak untuknya? Ia telah melewati perjalanan panjang dan hari-hari melelahkan yang telah menempanya sedemikian rupa. Tapi di persimpangan yang cukup menentukan, ia terjebak dalam jerat takdir titik yang lain, dalam jejak-jejak titik yang lain yang mengarah pada alur hidup yang dirangkainya.

Mengamati situasi semacam ini, saya kadang suka memaknainya sebagai bentuk nyata dari hidup yang absurd. Hidup yang tak mudah dijelaskan dan tampak tak menyediakan makna apa-apa. Tapi saya tahu bahwa jauh dari itu semua, situasi semacam ini buat saya sebenarnya justru semakin menegaskan bahwa hidup memang adalah jejaring. Kita tak bisa hanya berpikir untuk memuluskan jalan takdir titik tertentu saja—mungkin milik kita sendiri—karena ada banyak titik yang lain yang juga akan terkait dengannya. Membatasi untuk hanya berpikir tentang atau pada satu titik saja adalah sebentuk kealpaan akan takdir semesta.

Lebih dari itu, saya pun berpikir bahwa itu juga menjadi isyarat yang kuat betapa kita tak bisa menguasai masa depan—atau lainnya—secara penuh. Sebab lukisan masa depan tak hanya ditentukan oleh garis yang kita guratkan, tapi juga digoreskan oleh pelukis yang lain dengan karakter dan gradasi warna sesuai dengan seleranya masing-masing.

Menjelang tengah malam, saya masih tak bisa lepas dari pertanyaan saya ini yang terlontar di sebuah perbincangan siang tadi setelah mungkin sebelumnya menunggu momentum cukup lama untuk dirumuskan. Namun, saat perlahan saya mencoba menuliskan butir-butir pikiran saya dalam catatan ini, terlintaslah dalam benak saya bahwa jangan-jangan ini semua hanya semacam kerusuhan dalam pikiran saya saja—pantulan dari keruwetan pikiran saya sendiri. Artinya, titik yang saya bicarakan dari tadi, yang digambarkan tengah berada dalam kerumitan, sebenarnya tak pernah seperti itu—atau mungkin tak merasa seperti itu. Ia baik-baik saja, atau merasa baik-baik saja, menjemput hari-hari mendatang dengan senyum di bibirnya.

Akhirnya, sepanjang terkait titik yang saya pikirkan itu, saya mengembalikan semuanya pada Rencana Semesta. Karena saya sebenarnya tak tahu apa-apa tentangnya—juga yang lainnya. Selebihnya, saya kembali pada kesimpulan saya, bahwa hidup ini adalah jejaring, dan saya tak bisa mengendalikan semua jejaring itu menurut kehendak dan keinginan saya. Namun saya yakin, dalam segala keterbatasan, ada hal-hal berguna yang bisa kita lakukan untuk membuat semuanya menjadi lebih baik—sekecil apa pun itu bentuknya.

Tulisan terkait:
>> Membincang Takdir

7 komentar:

  1. Luar biasa ilustrasinya gus, terima kasih. Saya merasa menangkap makna takdir secara lebih komprehensif dan penuh imajinatif.

    BalasHapus
  2. apakah bisa disimpulkan sebagai sebuah dilema?

    BalasHapus
  3. Siapa pun tak pernah tau apa yang sebenarnya ia alami.Betapa ia sangat membenci dirinya..

    BalasHapus
  4. makasih gus, begitu pelik mengeja takdir,

    BalasHapus
  5. @Nurul: sepelik apa pun, semua musti dihadapi.
    @Zaini: ini hanya semacam kelebat pikiran, jauh dari utuh.
    @Asmisya: mungkin memang ada banyak dilema di antara Rencana Semesta.
    @Anonymous: Siapa pun sebaiknya berupaya untuk memahami apa yang ia alami. Mungkin dengan begitu ia bisa berdamai dengan dirinya.
    Terima kasih untuk semua yang telah mampir dan mengapresiasi.

    BalasHapus
  6. Saya percaya ada Rencana Semesta jika saya sudah berusaha mewujudkan keinginan namun ternyata ada Kehendak lain. Sebaliknya, saya tidak bisa percaya jika diri sendiri saja berpangku tangan terhadap keinginan. Bahkan membiarkan keinginan sebagai imajinasi - saja (tanpa disadari).

    Menghormati orang lain tidak harus mewujudkan semua keinginannya lantas mengabaikan diri sendiri.

    Ada pepatah mengatakan, kita tidak akan bisa membahagiakan semua orang. Terlalu banyak manusia, dan terlalu banyak pula kehendaknya atas diri kita.

    BalasHapus
  7. Aduh... Kenapa mirip? Kok Bisa yaa?

    Hhhh... Mungkin ini juga termasuk bagian takdir yang sampean ilustrasikan...

    BalasHapus

Thanks for your visit and your comment.