Senin, 09 November 2009

Belajar tentang Belajar: Dua Bulan di Utrecht University

Setelah dua bulan menjalani studi di program Master of Applied Ethics Utrecht University, saya mencatat beberapa hal menarik terkait dengan sistem pendidikan tinggi di sini yang dalam banyak hal cukup memberi inspirasi. Sebelumnya, jauh sebelum saya berangkat ke Eropa dan mengetahui bahwa sepanjang satu semester di Utrecht University saya hanya akan mengikuti empat mata kuliah, saya merasa cukup senang karena berpikir bahwa beban studi (akademik) saya tidak akan terlalu banyak. Itu berarti saya akan cukup punya waktu untuk berkegiatan di luar aktivitas akademik, termasuk jalan-jalan.

Tetapi ternyata saya keliru. Empat mata kuliah yang untuk satu semester dibagi dalam dua blok itu (satu blok ada dua mata kuliah) ternyata menyita banyak waktu saya. Setelah menuntaskan blok pertama dan selesai mengikuti dua mata kuliah utama, saya jadi tahu bahwa ternyata tugas-tugas kuliah begitu banyak, seperti juga halnya bahan-bahan bacaan yang mesti tuntas dilahap sebelum masuk kelas.

Tugas-tugas itu telah terjadwal dengan rapi sepanjang 9 pekan di blok pertama. Begitu juga bahan bacaan. Sebenarnya, saya sudah menerima informasi tentang satu mata kuliah menyangkut gambaran umum, tujuan, alur, referensi, dan tugas-tugas, tepat 20 hari sebelum perkuliahan dimulai—saat itu saya masih berada di Madura. Dosen pengampu salah satu mata kuliah itu mengirimkannya via email ke seluruh mahasiswa, lengkap dengan peta tempat kuliah, toko buku, dan info pendukung lainnya.
Inilah catatan pertama saya: perkuliahan di sini dirancang dengan sangat matang. Dosen menyiapkan semuanya dengan sangat baik dan terencana. Dan mereka sangat disiplin dengan rencana tersebut, sehingga aktivitas perkuliahan dapat berjalan dengan sangat baik.

Dari sisi mahasiswa, perkuliahan di sini menuntut kerja keras dan kemandirian. Jika tak membaca bahan bacaan atau artikel yang diwajibkan untuk satu pertemuan tertentu, jangan harap kita bisa benar-benar paham dengan apa yang sedang dibicarakan di kelas. Kelas di sini bukan dirancang untuk menambah stok pengetahuan baru. Kelas adalah ruang untuk mendiskusikan artikel relevan yang sudah ditentukan sebelumnya dalam daftar referensi, dan dosen menjadi pengarah dan mitra yang menawarkan alur dan alternatif.

Memang, pada tataran ide, hal semacam ini mungkin bukan sesuatu yang baru. Dahulu, di dunia pendidikan Indonesia ada istilah CBSA, atau Cara Belajar Siswa Aktif. Sayangnya, hal semacam ini, bahkan di tingkat perguruan tinggi pun, baru lebih sebagai teori saja. Di tingkat praktik, sulit sekali kita menemukan sistem belajar semacam ini. Karena itu, menjalani suatu proses belajar yang benar-benar menuntut sikap aktif seperti ini buat saya adalah sesuatu yang baru, menarik, dan menantang.
Inilah catatan kedua saya: sistem kuliah di sini, paling tidak dari pengalaman saya dua bulan ini, memberi ruang dan bahkan menuntut sikap aktif dari mahasiswa.

Dengan jumlah mata kuliah yang relatif sedikit dalam satu semester, saya juga mencatat bahwa tradisi akademik di sini adalah memberi kesempatan yang cukup leluasa untuk menggali suatu tema hingga cukup mendalam. Dengan kata lain: terfokus. Mata kuliahnya saja sudah cukup spesifik. Dalam blok pertama, misalnya, saya mengikuti dua kuliah dengan nama Ethical Theory and Moral Practice dan satu lagi Human Dignity and Human Rights. Hasilnya tentu saja lebih jelas, memberikan pemahaman yang lebih mendalam tentang tema tertentu.

Setelah saya telusuri, ternyata hal semacam ini tidak hanya berlaku di tingkat program magister. Salah seorang teman sekelas saya yang orang Belanda kebetulan berlatar belakang pendidikan S1 jurusan filsafat. Menurut dia, kuliah di S1 di sini juga demikian adanya: satu semester terdiri dari empat mata kuliah.

Saya beruntung telah belajar bersama teman-teman kelas yang berjumlah sekitar 20 orang dengan latar yang sangat beragam. Mereka berasal dari berbagai negara: Belanda, Amerika, Kanada, Italia, Serbia, Slovenia, Afrika Selatan, Bangladesh, dan Cina. Karena jurusan saya terbilang interdisipliner, latar belakang studi mereka juga beragam, tak hanya filsafat. Ada yang kedokteran, hukum, turisme, ekonomi, dan politik. Dengan aneka latar itu, di kelas kami dapat berbagi banyak hal berdasarkan perspektif masing-masing.

Dari segi usia, mereka sangat beragam. Beberapa masih berumur 23 tahun, belum lama menyelesaikan studi S1. Tapi ada juga yang sudah berkepala lima—mungkin seusia dengan sang dosen. Yang menarik, mereka yang sudah cukup lanjut itu mengikuti program ini bukan semata untuk meraih gelar, tapi tampak karena benar-benar haus akan ilmu dan pengalaman akademik. Salah seorang di antara mereka, yang kebetulan pernah satu kelompok dalam dua tugas mata kuliah bersama saya, adalah seorang perempuan yang sudah punya cucu dan telah bekerja sebagai dosen di NHTV Breda University. Dia meminati studi turisme dan merasa perlu belajar tentang aspek etis dalam turisme sehingga dia mengikuti program ini.

Demikianlah. Sejak sebelum berangkat, saya memang telah mencatat bahwa saya belajar di Eropa tidak hanya sekadar untuk menuntut ilmu khusus sesuai dengan jurusan saya. Saya juga ingin sekali belajar tentang bagaimana sistem perkuliahan di Eropa berlangsung. Dan, selama dua bulan di sini, saya sudah belajar banyak hal tentang itu. Mungkin apa yang saya tangkap ini memang masih belum cukup menjadi gambaran yang utuh tentang sistem pendidikan di sini. Akan tetapi, semuanya tampak inspiratif. Beberapa di antaranya ingin sekali saya coba nanti di Indonesia, meski tak musti dilakukan di sistem pendidikan formal.

Saya yakin, dalam rentang sisa waktu saya di sini, saya masih akan belajar banyak hal tentang semua itu—semoga bisa lebih luas, mendalam, dan substantif.

>> Beri rating untuk tulisan ini di Blog Radio Nederland Wereldomroep.

1 komentar:

Muhammad Izzy mengatakan...

Semoga diberi kemudahan dan kesehatan oleh Allah. Amien. Saya mau belajar tuan guru