Selasa, 06 Oktober 2009

Gempa itu Tak Datang di Malam Hari

Sebenarnya, di hari itu, Sabtu, 26 Mei 2006, saya bangun cukup awal, sebelum fajar tiba. Namun, setelah salat Subuh, saya memilih untuk tidur lagi. Maunya saya bersepeda keluar. Tapi, karena hari itu saya punya banyak agenda, saya memutuskan untuk tidur saja.

Saya mulai berbaring sekitar pukul lima. Tak sampai satu jam kemudian, tanpa saya bayangkan sebelumnya, saya dibangunkan oleh goncangan keras di lantai kamar saya. Seketika saya terbangun. Saya merasakan getaran keras dan suara yang mirip dengan deru kereta api yang melintas cepat. Masih dalam keadaan setengah sadar, di tengah penerangan kamar yang minim, ditambah lagi tak berkacamata sehingga pandangan saya agak kabur, dengan spontan saya berusaha keluar dari kamar.

Saya berusaha membuka pintu kamar secepatnya. Namun saya kesulitan. Goncangan yang masih tak berhenti itu membuat saya sulit menguasai keseimbangan. Di belakang saya, rak buku setinggi 180 cm tampak bergoyang dan mau roboh. Di dekat pintu, air mineral dalam galon berkapasitas 19 liter terdengar beriak. Setelah berusaha keras, akhirnya saya berhasil keluar dari kamar saya. Beruntung, kamar saya paling dekat ke pintu keluar rumah. Begitu keluar, saya langsung keluar, berlari ke jalan depan rumah.

Ternyata saya agak terlambat keluar. Begitu tiba di luar, orang-orang sudah tampak banyak berdiri dalam suasana yang masih penuh tanda tanya. Belum lama saya berdiri di pinggir jalan, dari arah gang tepat di barat rumah, seekor anjing putih yang cukup besar berlari cepat ke arah saya dan hampir saja menabrak saya. Saya pikir anjing itu juga panik dengan goncangan keras itu.

Goncangan masih sedikit terasa, sampai akhirnya pun mereda. Orang-orang pun saling bertanya tentang apa yang tengah terjadi. Beberapa tampak berusaha melihat lebih jelas ke arah utara, ke arah Gunung Merapi. Apakah Gunung Merapi meletus? Tapi tak ada yang tampak istimewa dari arah utara. Tak ada kepulan. Gunung Merapi, di pagi yang mulai terang itu, tampak menjulang biasa, tanpa tanda-tanda yang cukup berbeda.

Orang-orang pun kemudian tak ragu untuk menyimpulkan bahwa goncangan keras yang baru saja terjadi itu adalah gempa. Ya, gempa bumi.

Begitu merasa agak aman, saya mencoba kembali ke kamar untuk mengambil kacamata dan telepon seluler. Masuk ke kamar, saya mendapatkan kamar saya sudah berantakan. Rak buku di sisi barat kamar roboh ke arah timur. Buku-buku bertebaran. Galon air mineral juga tergeletak di lantai. Untung airnya sedang tidak penuh, sehingga air yang tumpah tidak seberapa. Saya segera mengambil kacamata, telepon seluler, dan dompet, dan kemudian segera kembali ke luar.

Di luar, orang-orang terus mencoba mencari informasi tentang kejadian di pagi itu. Namun, ternyata telepon seluler pun sulit digunakan. Listrik juga padam.

Saya berkumpul dengan teman-teman saya di kos seberang tempat saya. Adik saya juga di situ. Katanya, dia tak bisa keluar kamar sampai goncangan berakhir karena dia tak berhasil membuka kunci pintu kamarnya. Beruntung bahwa dinding dan atap kamarnya tak roboh. Ya, kami beruntung. Di perkampungan kami, Papringan, tak ada bangunan roboh. Hanya ada tembok rumah yang sebagian roboh, tepat di perempatan masuk ke jalan ke arah tempat saya.

Beberapa teman mengajak untuk melihat-lihat keadaan di sekitar Papringan. Mereka berencana ke Sapen. Saya pun mencoba menyusul mereka dengan naik sepeda. Namun, saya tak melanjutkan rencana saya begitu melihat lalu-lintas di Jalan Adisucipto yang tampak begitu kacau. Orang-orang seperti terlihat panik. Pada saat itulah saya berpikir bahwa gempa yang baru saja terjadi ini bisa jadi lebih parah dari yang saya bayangkan. Saya pun kembali ke kos.

Ternyata apa yang saya bayangkan itu memang benar. Beberapa saat kemudian, informasi yang lebih utuh berhasil didapatkan dari radio. Gempa telah terjadi. Gempa tektonik itu berkekuatan 5,9 skala Richter, terjadi pada pukul 05.55 WIB selama 57 detik. Episentrum gempa terletak di dekat pantai selatan.

Bersamaan dengan gempa susulan yang terjadi pada pukul 08.15 WIB, kepanikan bertambah karena isu tsunami menyebar di antara orang-orang yang masih kebingungan. Tentu, kata “tsunami” terdengar begitu menakutkan. Gambar-gambar tragedi Tsunami Aceh yang cukup untuk membuat orang-orang cemas masih belum hilang dari ingatan. Salah seorang teman yang pagi itu ikut berkumpul di tempat saya langsung meninggalkan saya dan teman-teman, bergegas membawa motornya tanpa mengajak saya atau teman-teman lainnya—bahkan dia lupa tak memakai alas kakinya. Begitulah. Orang-orang panik.

Semakin siang, saya semakin tahu bahwa gempa kali ini telah memakan banyak korban dan telah membuat Jogja menjadi tak lagi “berhati nyaman”. Makanan, air bersih, listrik, jelas akan menjadi masalah. Saat itu uang tunai di dompet saya cuma sekitar 25 ribu rupiah. ATM jelas tak bisa digunakan. Beruntung, tak lama setelah gempa, saya dengan adik saya sempat makan di warung sebelah yang buka sebentar.

Menyadari situasi ini, saya pun, bersama adik dan beberapa teman, memutuskan untuk pulang. Sebenarnya, sejak tengah hari, banyak mahasiswa dan orang-orang yang memutuskan untuk meninggalkan Jogja. Rupanya, pemberitaan di televisi yang memperlihatkan dahsyatnya gempa dan korban jiwa serta bangunan yang diruntuhkannya telah membuat keluarga mereka masing-masing di luar Jogja cemas, sehingga meminta mereka untuk pulang saja. Begitu pula yang terjadi dengan saya.

Dengan uang terbatas, saya pun meninggalkan Jogja sekitar pukul lima sore. Dengan uang tunai terbatas, saya naik bis sampai Solo, untuk kemudian mencari uang tunai di ATM, dan melanjutkan perjalanan ke Madura. Sepanjang perjalanan, orang-orang bercerita tentang gempa Jogja. Mereka bercerita tentang korban jiwa dan kerusakan yang terjadi di mana-mana. Sepanjang perjalanan Jogja-Solo, saya dapat menyaksikan bangunan-bangunan yang hancur, rusak, atau miring.

Dapat dikatakan bahwa saya tak mengalami kerugian material dari bencana alam ini. Meski begitu, gempa Jogja adalah satu pengalaman eksistensial yang memberi banyak hal buat saya. Saya berbincang dengan beberapa teman saya yang penduduk asli Jogja. Buat beberapa di antara mereka, gempa Jogja telah memaksa mereka untuk memulai segalanya dari awal. Tak hanya soal aspek duniawi—mereka pun akhirnya dipaksa untuk berefleksi, tentang banyak hal. Salah seorang di antaranya, yang seorang penulis dan pengamat pendidikan, mengatakan bahwa bencana ini telah menegaskan bahwa harta benda yang dikumpulkan bertahun-tahun bisa saja hilang seketika; dan yang sangat berguna ketika itu adalah para sahabat. Sungguh, ini pelajaran tentang kefanaan yang benar-benar nyata, tapi sering kali dilupakan—apakah itu berarti sebentuk pengingkaran diam-diam?

Saya kembali lagi ke Jogja tepat sepekan setelah musibah yang menewaskan lebih enam ribu korban jiwa itu terjadi. Saya bermaksud untuk membawa pulang buku-buku saya. Beruntung sekali, kamar kos saya tak roboh, karena setelah gempa terjadi, malam harinya hujan deras turun mengguyur Jogja. Salah seorang teman saya yang kamar kosnya roboh harus merelakan buku-bukunya hancur oleh hujan bercampur puing-puing bangunan.

Dua hari saya di Jogja, sebelum akhirnya pulang kembali ke Madura. Hari-hari itu saya tengah berusaha keras fokus untuk menyelesaikan tugas akhir saya yang baru saja dimulai. Dan saya berpikir bahwa situasi Jogja tak lagi kondusif untuk tugas yang harus segera saya tuntaskan itu. Dua hari di Jogja, saya sempat berkeliling melihat-lihat suasana. Ternyata, hari itu adalah hari pertama kota Jogja kembali beraktivitas, setelah selama seminggu sebelumnya dicekam sunyi akibat gempa.

Beberapa bulan setelah gempa Jogja, saya masih mendengar banyak cerita kemanusiaan yang mengundang empati, tentang bagaimana masyarakat korban gempa berusaha bangkit menyusun kehidupan baru mereka di antara harapan yang tersisa. Cerita yang agak detail saya dapatkan dari salah seorang teman kuliah saya yang akhirnya menunda urusan akademiknya dan berfokus mengorganisasi warga kampungnya untuk membangun kembali kehidupan mereka.

Kenangan tentang kejadian gempa Jogja ini serta merta muncul kembali ke benak saya beberapa hari yang lalu saat mendengar kabar bahwa gempa dahsyat terjadi meluluhlantakkan Sumatera Barat. Gempa yang terjadi pada hari Rabu, 30 September 2009 pukul 17.16 WIB itu berkekuatan 7,6 skala Richter. Dari berita yang berhasil saya ikuti, saya dapat dengan mudah menyimpulkan bahwa bencana ini lebih parah daripada gempa Jogja. Korban jiwa mungkin bisa mencapai ribuan. Kekuatan gempa yang lebih besar mengakibatkan kisah-kisah tragis para korban akan terasa lebih mengiris hati. Orang-orang yang meninggal dalam reruntuhan bangunan. Dusun-dusun yang menjadi kuburan massal.

Seperti gempa Jogja, malam hari setelah gempa, hujan juga turun di sana. Saya dapat membayangkan suasana mencekam yang terjadi selama hujan turun. Bencana dahsyat baru saja terjadi. Tanpa penerangan. Suara hujan, yang mungkin bercampur guntur diiringi halilintar. Saya tak dapat membayangkan andaikan gempa itu datang di malam hari. Mungkin akan benar-benar serupa kiamat.

Malam ini, saya berjarak belasan ribu kilometer dengan mereka yang tengah dirundung duka. Dengan keterbatasan yang saya punya, saya berusaha menjangkau mereka, merasakan penderitaan mereka. Saya merasa saya punya keterbatasan untuk menunaikan kewajiban saya terhadap saudara-saudara saya yang tengah ditimpa musibah ini. Dari jauh, saya berdoa untuk mereka.

1 komentar:

Muhammad Izzy mengatakan...

Shubhanallah...