Selasa, 15 September 2009

Dari Pinggiran Kota Kecil Dekat Utrecht


Sebelum tiba di Belanda, saya tidak tahu bahwa saya tidak akan tinggal di kota Utrecht. Maklum, saya memang masih belum mengerti peta lokasi dan detail tempat yang akan saya tinggali. Saya mendapat kepastian akomodasi saya tepat satu minggu sebelum keberangkatan saya. Karena mencari akomodasi di Belanda cukup sulit, maka saat penyedia akomodasi memberi penawaran kamar buat saya, saya tak berpikir panjang untuk menerimanya.

Warande, itu nama komplek dua bangunan berbentuk L yang terletak di pinggiran kota Zeist yang kini saya tinggali. Zeist adalah sebuah kotamadya yang berada di arah timur kota Utrecht. Karena berada di wilayah pinggiran, suasana Warande relatif sepi. Apalagi ia dikelilingi oleh rerimbunan pohon-pohon menjulang serupa cemara yang tingginya bisa melebihi kamar saya yang berada di lantai empat. Lebih sepekan tinggal di Warande, saya merasakan suasana yang sunyi. Jarang sekali ada “keramaian” di sekitar sini. Suara-suara kendaraan dari jalan utama yang berjarak sekitar 250 meter pun tidak terdengar cukup keras dari sini.

Jarak Warande dengan Kampus Uithof sekitar 5 kilometer. Jika menggunakan sepeda ontel, ini ditempuh sekitar 20 menit. Jika dengan bus, tentu bisa lebih cepat. Ada beberapa halte bus di sekitar Warande yang bisa mengantar saya ke kampus, pusat kota Utrecht, atau tempat yang lain.

Untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, komplek pertokoan Vollenhove, yang oleh website SSH (pengelola komplek ini) disebut “big shopping center”, dapat dicapai dalam hitungan beberapa menit. Di sana ada beberapa supermarket, toko buah, toko pakaian, toko obat, dan sebagainya. Setelah beberapa kali ke komplek itu, saya jadi agak heran mengapa tempat itu mereka sebut “big”, karena bangunannya hanya seperti ruko biasa, dan para pengunjungnya pun tidaklah ramai—biasa-biasa saja.

Dari ketinggian lantai empat di kamar saya, setiap hari saya menikmati sajian ujung-ujung pohon yang menari diterpa angin musim gugur yang mulai tiba. Biasanya, di pagi hari, saat matahari mulai terbit, saya membuka pintu ke arah balkon agar udara segar masuk ke kamar. Kebetulan, kamar saya agak menghadap ke timur.

Pemandangan menarik di balkon pagi hari selalu saya dapatkan jika langit sedang tidak begitu mendung. Setiap pagi, saya dapat menyaksikan langit yang seperti dilukis oleh jejak asap pesawat terbang yang menuju atau lepas landas dari Bandara Schipol, Amsterdam—bandara tersibuk kelima di Eropa. Garis-garis putih yang tampak lembut saling menyilang di angkasa, berlatar langit biru yang sebagian menyala merah keperakan. Sungguh, ini pemandangan indah.

Akan tetapi, saya tidak berani berlama-lama membuka pintu ke arah balkon itu. Apalagi duduk-duduk agak lama. Udara dingin sudah terasa sangat menusuk buat saya yang berasal dari negeri tropis dan baru pertama kali tinggal di negeri berempat musim seperti di sini. Jika sebelum tiba ke sini saya cukup terobsesi dengan balkon, membayangkan bisa duduk-duduk santai sambil menikmati pemandangan dari ketinggian, saya baru sadar bahwa itu tidak berlaku jika kita tidak cukup siap berhadapan satu lawan satu dengan udara dingin yang bisa mencapai 11 derajat celcius—atau bahkan lebih rendah!

Sejak sore kemarin, gerimis sesekali datang. Beberapa bagian di lantai balkon tampak tergenang air bersama dedaunan yang kecokelatan. Hingga siang ini, gerimis kadang masih turun. Saya di kamar saja, tak bisa ke mana-mana. Lagipula, semalaman saya mengerjakan tugas kuliah dan baru selesai pagi ini.

Gerimis mengolah kesunyian Warande mencipta suasana yang tampak absurd buat saya. Saya tak mencium bau tanah, seperti saat hujan pertama turun di rumah. Gerimis hanya menebalkan kesunyian—tak lebih. Saya tidak tahu, apakah orang-orang yang sudah cukup lama tinggal di komplek ini memang sudah terbiasa dengan suasana semacam ini. Atau, barangkali, saya saja yang merasakan kesunyian di Warande.

Saya tak mau berpikir terlalu lama tentang ini. Tapi, rasa gentar tiba-tiba tampak berkelebat mendatangi saya, saat ingat bahwa sebentar lagi musim dingin akan tiba. Saya tidak punya cukup senjata untuk mengantisipasi serangan salju dan suhu di sekitar nol derajat—dan kesunyian yang akan menyertainya.

Dari pinggiran kota kecil dekat Utrecht di suatu siang yang dingin, sekali lagi saya tersadar bahwa saya kini tengah memulai satu perjalanan baru untuk rentang waktu 10 bulan ke depan. Perjalanan yang harus dilalui dengan penuh perjuangan dan kerja keras. Saya datang ke sini bukan untuk berlibur. Saya ke sini untuk menimba ilmu, pengetahuan, pengalaman, dan banyak hal lainnya. Saya telah menyimpan banyak harapan dan keinginan tepat saat saya meninggalkan kampung halaman jelang akhir Agustus kemarin. Dan saya butuh kesungguhan, optimisme, keteguhan, dan kekuatan untuk melaluinya dengan baik dan penuh makna. Saya berdoa untuk itu semua. Amien.

4 komentar:

Tintin Prihatiningrum mengatakan...

serasa ada di sana.
dan ternyata sunyi sepi itu tidak bisa dibunuh.
saat membuka pintu apartemen sehabis pergi seharian, dia menyergap tanpa ampun. selesai mandi dan bermaksud makan malam, dia mengalahkan nyaring suara televisi. sewaktu hendak menuntaskan literatur kuliah, dia yang justru membunuhku, dan aku hanya bisa berharap waktu cepat berlalu untuk kembali pulang ke Indonesia yang ribut.

M. Naqib mengatakan...

selamat pa, seburuk apapun keadaannya tetapi dari kampung halaman tetap terdengar menyenangkan. udara dingin bisa kauusir dengan bara "kehausan pengetahuan" di dadamu.

Anonim mengatakan...

Selamat Gus, meski dipisahkan ruang dan waktu, kita selalu menanti kepulanganmu dengan sekerangjang pengetahuan. Tanah yang mendengar tangis kita pertama kali memang akau selalu dirindukan... Good Luck!

Muhammad-Affan mengatakan...

menyentuh empati...