Satu hari mampir di Jogja sebelum melanjutkan perjalanan ke Jakarta, saya sempat nonton film King di Ambarukmo Plaza bersama Badrus. Saya menerima ajakan Badrus untuk nonton film ini lebih sebagai pengisi waktu, dan juga karena saya merasa sudah lama sekali tak menonton film di studio bioskop di Jogja—menurut catatan saya, terakhir nonton di bioskop Jogja September 1999. Tak ada ketertarikan khusus, karena informasi yang saya dapat tentang film itu hanya sekilas saja.
Ternyata film itu melebihi bayangan saya sebelumnya. Ini film istimewa yang penuh inspirasi, tak kalah dengan Laskar Pelangi (2008). Saya jadi teringat beberapa film yang kemudian saya sukai padahal sebelum menontonnya tak ada bayangan bahwa film itu akan luar biasa—seperti King ini.
Pada dasarnya, King adalah sketsa biografis pebulu tangkis Indonesia ternama, Liem Swie King, yang juga dijuluki King Smash. Hanya saja, biografi King tidak dituturkan dengan cara yang lurus-lurus saja dan konvensional. Kisah hidup dan perjuangan King untuk meraih kesuksesannya di bidang bulu tangkis disajikan dengan menggunakan sosok lain, yakni Guntur (diperankan oleh Rangga Aditya), anak desa yang menjadi tokoh utama film ini.
Hidup di sebuah desa terpencil, Guntur dibesarkan hanya berdua bersama ayahnya yang sangat mencintai bulu tangkis. Namun, ayahnya, yang diperankan dengan luar biasa oleh Mamiek Prakoso, bukannya pintar bermain bulu tangkis. Di kampungnya, dia hanya menjadi komentator di setiap pertandingan bulu tangkis, dan sehari-hari menjual bulu angsa untuk dijadikan shuttlecock.
Hidup berdua dengan obsesi yang tinggi dan kehidupan ekonomi yang pas-pasan, si ayah mendidik Guntur dengan cukup keras. Setiap gagal dalam pertandingan, Guntur mendapatkan hukuman disiplin dari ayahnya. Jadi, Mamiek yang lebih sering tampil sebagai komedian di televisi ini banyak menampilkan akting marah dan serius di hadapan anaknya—sehingga konon Mamiek butuh latihan khusus marah untuk perannya di film ini.
Guntur bukan tipe orang yang mudah menyerah. Dengan raket kayu yang kadang membuatnya tak percaya diri, dia terus berlatih keras dan berusaha untuk menjadi juara di kampungnya. Provokasi temannya, Raden (diperankan oleh Lucky Martin), yang mengatakan bahwa di dalam piala yang diperebutkan terdapat uang berlimpah, membuat Guntur semakin keras berlatih, berharap bahwa uang itu nantinya dapat dia belikan raket yang bagus.
Dengan penggambaran karakter dan alur yang sangat hidup, tak membosankan, penuh lika-liku, serta sarat dengan relasi dan drama kemanusiaan yang menyentuh, perjalanan Guntur meraih impiannya pun perlahan menunjukkan kemajuan yang berarti. Kerja keras dan dukungan orang-orang di sekitarnya sangatlah berarti. Namun demikian, ada saat-saat ketika Guntur tampak surut dan putus asa menghadapi hal-hal yang tampak mengecewakannya. Ada juga momen ketika dia merasa perlu menghargai hal-hal sederhana yang dimilikinya sehingga itu menginspirasi dan menyalakan kembali semangatnya.
Saya sungguh kagum dengan kerja tim kreatif film ini (di antara mereka ada nama Dirmawan Hatta, penulis skenario, kawan yang dulu pernah saya kenal di Komunitas B21 UGM). Seperti halnya Laskar Pelangi, film ini juga berhasil mengangkat satu sisi realitas kehidupan di tanah air di antara kesederhanaan dan segala keindahannya. Mengambil latar di desa, film ini menampilkan gambar-gambar yang menawan dari alam pedesaan yang masih perawan. Menurut berita, film ini mengambil lokasi syuting di Bondowoso—saya jadi ingin berkunjung ke teman-teman di Bondowoso.
Selain itu, film ini juga kaya dengan wawasan multikultural. Dengan memilih menuturkan biografi King melalui Guntur yang seorang Jawa, film ini seperti semacam silaturahim budaya antara etnis Tionghoa dengan elemen kultural lainnya di nusantara. Di film ini pula, ada sosok Batak yang lama tinggal di Jawa. Dan tentu penonton film ini juga tak akan melupakan si tukang pos berwajah Papua yang melafalkan bahasa Jawa. Sungguh, sekali lagi, Arie Sihasale, produser sekaligus sutradara film yang sebelumnya sukses dengan Denias (2006) ini, telah berhasil menampilkan wajah nusantara yang indah dan inspiratif.
Saat meninggalkan Jogja keesokan harinya, di antara perjalanan sambil menyaksikan indahnya alam dari atas kereta, alur dan momen-momen inspiratif dari film ini kadang hadir dengan sejumlah pikiran dan pertanyaan lanjutan. Ada banyak hal inspiratif milik kita di sekitar kita yang perlu terus dibagikan kepada sesama, agar kita dapat belajar menghargai dan mengambil pelajaran dari itu semua. Karena itu, seperti sering saya katakan ke beberapa teman, berbagi informasi, berbagi pengalaman, berbagi pengetahuan, dan berbagi inspirasi itu sejatinya juga bernilai ibadah.
akan segera menonton; segeRRa...
BalasHapus