Kamis, 02 April 2009

Pesantren dan Pendidikan Lingkungan

Di antara ajaran agama yang bersumber dari hadis Nabi Muhammad saw yang diajarkan cukup awal dan cukup populer adalah hadis yang menjelaskan tentang salah satu cabang iman, yang berbunyi: “Kebersihan adalah bagian dari iman.” Sayangnya, hadis ini di pusat komunitas muslim sendiri ternyata nyaris berhenti sebagai slogan dan kehilangan kekuatannya untuk menyuntikkan kesadaran akan kebersihan dan kepedulian lingkungan pada umumnya. Ironisnya, pesantren, yang sering digambarkan sebagai pusat pendidikan muslim tradisional yang telah cukup lama berakar di Indonesia, seperti sulit untuk dilepaskan dari citra yang berseberangan dengan ajaran tersebut. Bagaimana kita bisa memahami salah satu ironi di dunia pesantren ini?

Secara sosiologis, kebanyakan pesantren di Indonesia tumbuh dari lingkungan alam pedesaan. Dengan latar seperti ini, maka kedekatan komunitas pesantren dengan alam terajut secara natural. Seperti di lingkungan masyarakat pedesaan pada umumnya, santri mula-mula terbiasa membersihkan lingkungan pondoknya dua kali sehari, yakni pada pagi hari dan sore hari. Nasi bungkus atau sejenisnya yang dijual di lingkungan pondok menggunakan daun pisang. Warung atau toko di dalam pesantren relatif tidak banyak, karena santri-santrinya kebanyakan masih memasak sendiri untuk memenuhi kebutuhan makan sehari-hari.

Perubahan pola konsumsi masyarakat akibat semakin masifnya infiltrasi dunia industri dan bisnis (lebih tepatnya: kapitalisme) ke wilayah pelosok pedesaan pada satu sisi telah menantang proses pendidikan lingkungan berbasis pendidikan moral yang dilakukan di pesantren. Sementara pesantren masih bergulat keras untuk lebih membumikan ajaran-ajarannya tentang kebersihan, cinta lingkungan, pola hidup sederhana, dan semacamnya, pesantren tiba-tiba juga harus berhadapan dengan tantangan terpaan badai global berupa gaya hidup konsumeristik dan instan yang pada gilirannya dapat menyurutkan pencapaian upaya penanaman pendidikan lingkungan tersebut.

Seperti halnya di komunitas masyarakat lain pada umumnya, modernisasi dengan berbagai produk teknologi dan mesin kapitalismenya telah menceraikan kesadaran akan persaudaraan manusia dengan alam. Masyarakat kita, seperti juga terjadi di pesantren, menjadi miskin wawasan, informasi, dan—yang terpenting—kepekaan, tentang berbagai dampak buruk dari pola dan gaya hidup kita yang berubah itu. Miskinnya informasi dan kepekaan ini praktis kemudian tak memberikan dorongan yang berdaya untuk memikirkan secara lebih intens penanganan teknis masalah lingkungan, kebersihan, dan semacamnya secara lebih terpadu dan “radikal”.

Berbagai potensi bidang studi di sekolah formal, baik sains maupun humaniora, yang dapat diarahkan pada upaya pendidikan lingkungan tetap bergerak dengan alur kurikulum yang standar: mengikuti kehendak negara—bukankah hampir semua pesantren kini memiliki sekolah formal “bermazhab negara” yang seperti nyaris “lebih kuat” dibandingkan dengan kegiatan kepesantrenannya? Kalaupun ada beberapa guru atau sekolah yang mulai melakukan terobosan baru untuk memasukkan unsur ekopedagogi dalam aktivitas kependidikannya, itu masih membutuhkan dukungan integratif dari pihak-pihak dan sistem terkait, termasuk yang bersifat teknis.

Pendidikan sains dan humaniora di sekolah kita tak cukup mampu merespons perubahan cepat pola konsumsi dan gaya hidup instan yang terjadi di masyarakat, sehingga ia tak memberi porsi yang cukup besar untuk memperkaya informasi dan wawasan serta memupuk kesadaran akan kecintaan terhadap bumi—satu-satunya rumah bersama umat manusia. Padahal, jika ditarik ke dimensi religius, penghargaan terhadap sumber daya alam pada dasarnya adalah sebentuk rasa syukur terhadap anugerah Allah swt.

Dewi Lestari, seorang novelis yang belakangan juga memberi perhatian yang besar terhadap isu lingkungan, menulis di weblognya ihwal bagaimana kita tidak dididik untuk tahu—atau mau tahu—tentang dari mana benda-benda yang kita konsumsi berasal, berapa banyak sumber daya alam yang digunakan untuk memproduksi itu semua, dan ke mana semua itu akan berakhir riwayatnya—kertas, tisu, bungkus permen, puntung rokok, komputer, pakaian, dan sebagainya.

Mungkin matematika akan sedikit menunjukkan manfaatnya jika kita secara kasar mencoba berhitung tentang satu segi atau salah satu sumber daya yang terpakai di lingkungan Pesantren Annuqayah ini. Pasta gigi, misalnya. Dari empat ribu lebih santri Annuqayah, ke manakah kemasan pasta gigi mereka tiap bulannya, dan bagaimana nasibnya? Dari sedikitnya 17 unit pendidikan formal di Annuqayah yang hampir dipastikan semuanya mengkonsumsi air dalam kemasan plastik, bagaimana dan ke mana sampah-sampahnya ditangani?

Lemahnya upaya untuk memperkuat dan menyebarkan informasi dan kepekaan ini membuat tantangan untuk membumikan ajaran-ajaran moral tentang kebersihan dan pendidikan lingkungan di pesantren menghadapi tantangan berat. Pendidikan moral untuk menumbuhkan rasa tanggung jawab untuk merawat kehidupan dan alam semesta menjadi seperti tak berjangkar jika tak dibarengi dengan informasi, media, contoh, dan “basis material” yang memadai.

Dari paparan singkat di atas ini, dapatlah disimpulkan bahwa untuk membenahi pendidikan lingkungan di pesantren, pesantren setidaknya harus bermain di dua wilayah sekaligus: perhatian di bidang pengayaan dan penyebaran informasi serta aspek teknis terkait, serta integrasi pendidikan lingkungan berbasis moral ke dalam seluruh aktivitas kependidikan.

Pergulatan pesantren untuk mengokohkan pendidikan lingkungan di komunitasnya pada sisi yang lain juga memperlihatkan cara pesantren merespons perubahan yang bersumber dari luar. Aspek yang cukup terkait dengan pendidikan lingkungan ini dapat berupa pola konsumsi komunitas pesantren pada umumnya dan juga praksis pendidikan moral, yakni pendidikan nilai-nilai keagamaan, di lingkungan pesantren. Sungguh, dua hal ini sangat menarik dan menggoda untuk ditelaah secara lebih serius dan mendalam, terutama hal yang terakhir. Karena bagaimanapun, pendidikan di pesantren sejatinya adalah pendidikan moral yang berlandaskan ajaran-ajaran Islam.



Tulisan ini dimuat di Majalah Muara, 2009.

Baca juga:

1 komentar:

partelon mengatakan...

Hmmm... Masalah besar yang sering gak keliatan...