Sabtu, 22 November 2008

Diguyur Hujan



Kemarin siang, mulai jelang Jum’atan hingga hampir Asar, hujan deras mengguyur Guluk-Guluk dan sekitarnya. Saya tak mengikuti jalan ceritanya sejak awal, karena dari pagi hingga shalat Jum’at saya berada di Prenduan. Saat bertolak pulang dari Prenduan usai Jum’atan, hujan masih gerimis. Tapi saya lihat di langit utara ketika itu mendung begitu tebal.

Saya tiba di rumah sekitar pukul 13.00 WIB, saat hujan masih deras mengguyur. Melewati gang yang memanjang di belakang madrasah, saya harus berjalan dalam genangan air yang tingginya sekitar semata kaki. Sepanjang 70 meter di gang itu, air menggenang tak menemukan tempat keluar. Curahan air dari barat dan utara begitu deras, mengalir terus di jalan kecil ke arah timur ke komplek madrasah di tengah gang yang memanjang utara-selatan itu. Di gang itu sepertinya tak ada saluran yang cukup untuk menampung air dalam volume besar. Jalan di gang yang menuju ke pemukiman penduduk di utara itu dikeraskan dengan semen yang lebarnya sekitar 130 cm. Di sebelah barat jalan, ada ceruk yang bisa berfungsi sebagai selokan, tapi tak seberapa, karena dalamnya tak lebih dari 10 cm. Jadi, air mengalir ke selatan ke arah selokan di pinggir jalan raya.

Setelah melewati gang dan tiba di rumah, ternyata rumah saya juga tak kuasa menghadapi gempuran hujan lebat. Di sudut timur laut serambi rumah, air tampak mengucur menembus langit-langit. Memang, setiap kali hujan deras turun, sudut timur laut serambi ini memang rentan bocor. Meski sudah berkali-kali berusaha dipecahkan oleh “para ahli”, tapi masalah ini tetap tak kunjung beres. Mungkin masalah teknis arsitekturnya yang kurang tepat, seperti halnya emperan Masjid Jamik Annuqayah yang setiap hujan selalu basah terkena air sehingga tak bisa digunakan.

Tampak adik saya tengah menangani masalah air yang bocor itu. Ada beberapa ember yang menampung cucuran air hujan. Suara hujan deras yang membuyur atap dan tanah begitu keras. Andai tak takut sakit, saya ingin sekali berhujan-hujanan.

Tak lama kemudian, perlahan hujan reda. Setelah makan, saya pun keluar jalan-jalan bersepeda menikmati suasana. Dengan polygon-unitoga, saya keluar melewati gang yang sudah tak begitu banyak digenangi air. Ke arah barat sampai di pertigaan Toko Yayasan, saya berbelok ke selatan. Tiba di timur gedung SMA, saya melihat selokan yang meluap dan airnya menggenang cukup luas. Suara arus begitu kuat. Saya sempatkan berhenti untuk mencoba mendengarkan suara air yang kecokelatan itu. Ada pusaran yang mengingatkan saya pada (katanya) foto tsunami Aceh.

Tertarik dengan air yang sepertinya cukup banyak, saya bergerak ke selatan dengan menuntun sepeda saya. Saya berhenti di pojok selatan SMA, dan kembali mengambil gambar di selokan depan Balai Kesehatan PPA. Saat itulah, saya menerima pesan singkat dari Subaidi Nirmala yang mengabarkan bahwa di Nirmala air bah membanjiri area persawahan. Saya terpancing untuk menuju ke sana.

Saya memutuskan untuk lewat jalur-dalam Latee-Lubangsa. Saya kemudian mengayuh sepeda ke selatan, dan berbelok ke barat ke arah Lubangsa. Di depan Kantor Sekretariat PPA, melirik ke lantai kantor, bertanya-tanya apakah air bah di selokan sampai naik ke sana. Belakangan saya ketahui bahwa katanya air sempat mulai mau naik, tapi untung hujan keburu reda.

Tiba di mushalla Latee, saya berbelok ke selatan, ingin melihat selokan besar di Latee yang alirannya juga bermuara ke Nirmala. Ternyata di situ air juga begitu banyak. Menurut Awiek, putranya Kiai A’la, air di situ tadi sempat meluap. Tapi sayang, dia tidak sempat mengambil gambar. Saya membayangkan, betapa banyak air, karena saya yakin selokan itu tingginya melebihi tinggi Peter Crouch, penyerang tim nasional Inggris. Saat saya tiba di situ, sejumlah santri sedang asyik “mandi” di selokan yang cukup dalam.

Saya tak berlama-lama di situ. Saya segera melanjutkan perjalanan ke Nirmala melewati Lubangsa. Di Lubangsa tak ada tanda-tanda istimewa tentang hujan yang lebat. Sejumlah mobil parkir di depan Masjid Jamik. Saat bergerak ke utara melewati depan Masjid, ada mobil pick-up di depan saya yang mengangkut belasan orang tua—sepertinya orang tua santri yang baru mengunjungi anaknya.

Begitu sampai di Nirmala, sepeda saya parkir di jembatan pintu masuk Nirmala. Ada Akhtar, putra sulung Kiai Naqib, yang telanjang dan sedang gendong pada seorang santri. Seperti biasa, dia langsung bicara cas-cis-cus begitu melihat saya mengeluarkan telepon seluler dan siap mengambil gambar.

Dari tempat saya memarkir sepeda, ke arah barat saya bisa melihat genangan air yang begitu luas, dan arus di selokan yang begitu deras. Saya segera ke sana. Beberapa santri tampak masih bermain-main air di area persawahan yang menjadi tempat luapan air selokan.

Saya melihat-lihat lebih detail situasinya. Kata salah seorang santri, air meluap menjadi begitu besar karena ada dinding selokan yang roboh. Belakangan, setelah agak sore, saat air mulai surut, saya bisa melihat dinding selokan yang roboh itu. Di situ juga terlihat sampah-sampah plastik yang tersangkut di antara reruntuhan batu.

Air menjadi begitu besar karena selokan di Nirmala menjadi pertemuan tiga arus besar: dari Latee dan dari Lancaran yang datang dari arah timur, dan dari Lubangsa Putri yang melewati belakang Masjid Jamik. Kedua jalur utama itu sama-sama membawa arus yang sama besarnya.

Saya cukup lama mengambil gambar di wilayah Nirmala. Orang-orang juga banyak yang melihat-lihat suasana. Termasuk santri putri dan beberapa orang tua santri.

Saya mengakhiri perjalanan sekitar 15.20 WIB. Sebelum 16.00 WIB saya sudah harus kembali ke rumah, karena jadwal saya selanjutnya adalah dengan anak-anak Klub Penerjemah di Sabajarin.

Di antara bekas-bekas air hujan, saya mengayuh sepeda melewati jalur utara, melewati tempat pembuangan sampah depan rumah Bapak Haji Zubairi, yang juga dikenal dengan sebutan Taman Kodok. Saat lewat di situ, saya menyaksikan tumpukan sampah yang kebanyakan berupa sampah plastik. Saat itu, terlintas dalam benak saya, bahwa mungkin saja air bah yang begitu besar ini salah satunya juga menjadi tambah dahsyat karena sampah-sampah yang masih belum tertangani secara rapi di sekitar sini. Mungkin juga karena Bukit Lancaran sudah tak mampu lagi menyerap air yang begitu deras menyerbunya di sepanjang siang itu. Bukit Lancaran sudah semakin gersang dan mulai tak menghijau.

Saya berharap ada orang lain yang juga berpikiran serupa. Pikiran yang selanjutnya memantik api kesadaran untuk mulai melakukan sesuatu. Ya, sebuah pekerjaan rumah lain yang juga menunggu penyelesaian dan kepedulian dari semua pihak.

1 komentar:

Sunan Achmad Sunandar mengatakan...

Saya sempat menyesal juga, kenapa kemarin saya bobo, sehingga tidak bisa secara langsung melihat hujan dan banjir di Annuqayah. tapi dari cerita teman-teman, juga berita dan cerita yang diposting di web annuqayah dan blog ini, cerita yang saya dapatkan semakin lengkap. btw,air bah sempat akan menerjang kantor sekretariat, cuma ditambak dengan batu oleh pak Hasyim (alhamdulillah). di samping itu, air setinggi peter crouch, wow!