Selasa, 22 April 2008

Menyemai Pendidikan Lingkungan di Sekolah


Beberapa pekan terakhir, kasus penjarahan hutan kembali menguap ke media massa. Di Ketapang, puluhan tersangka ditangkap dan 12 ribu meter kubik kayu olahan disita. Di antara yang ditangkap termasuk juga aparat kepolisian,. Kerugian negara dalam kasus ini diperkirakan bernilai triliunan rupiah. Sementara itu, sebuah data mengungkapkan bahwa laju perusakan hutan di Indonesia mencapai 2 juta hektar per tahun.

Berita penjarahan hutan yang dilakukan secara berjamaah adalah salah satu tragedi lingkungan yang mengenaskan. Pembabatan hutan telah meminta ongkos sosial yang sangat mahal: perubahan iklim dan beragam bencana alam seperti longsor dan banjir pada gilirannya telah semakin sering terjadi, yang menyumbangkan kerugian tak terhingga pada masyarakat luas.

Yang menarik dicermati, kehancuran ekosistem yang mengganggu keseimbangan alam sejauh ini nyaris hanya menjadi perhatian para aktivis lingkungan saja, selain para aparat terkait. Masyarakat umum seperti tak terlalu berkepentingan dan merasa tak terhubung dengan isu-isu lingkungan. Isu-isu lingkungan oleh masyarakat umum dipersepsikan sebagai sesuatu yang hanya terkait dengan soal penebangan liar atau konservasi hutan, dan jauh dari kehidupan sehari-hari yang mereka jalani.

Pemahaman seperti ini semestinya harus diubah. Tanggung jawab untuk merawat bumi dengan segala isinya seharusnya menjadi tugas bersama, tak hanya para pejabat atau aktivis lingkungan. Menyelamatkan masa depan bumi bisa dilakukan oleh setiap orang. Kesadaran untuk peduli, memikirkan, dan ikut ambil bagian dalam upaya menjaga alam dan lingkungan semestinya ditanamkan sejak dini.

Selain di lingkungan keluarga, pendidikan lingkungan hidup akan baik jika dilakukan melalui jalur pendidikan formal atau sekolah. Isu-isu lingkungan dapat diperkenalkan secara integral dengan dipadukan ke dalam berbagai mata pelajaran yang relevan di sekolah. Anak didik sejak dini diperkenalkan dengan krisis lingkungan, seperti perubahan iklim dan pemanasan global.

Menjelaskan perubahan iklim dan pemanasan global dapat dilakukan dengan pendekatan yang sangat ilmiah. Dalam hal ini, mata pelajaran eksak (seperti fisika, kimia, atau biologi) bisa mengambil peran. Akan tetapi, isu perubahan iklim dan pemanasan global bisa juga dijelaskan dari hal-hal yang sederhana. Seperti bahwa sampah plastik turut memiliki andil terhadap perubahan iklim, bahwa sejak proses produksi hingga tahap pembuangan, sampah plastik mengemisikan gas rumah kaca ke atmosfer, bahwa kegiatan produksi plastik membutuhkan sekitar 12 juta barel minyak dan 14 juta pohon setiap tahunnya, bahwa proses produksinya sangat tidak hemat energi, dan bahwa pada tahap pembuangan di lahan penimbunan sampah (TPA), sampah plastik mengeluarkan gas rumah kaca.

Dewi Lestari, penulis novel laris Supernova yang juga seorang environmentalis, dalam weblognya (www.dee-idea.blogspot.com) menulis bahwa pelajaran ilmu alam di sekolah semestinya juga diarahkan untuk menumbuhkan kesadaran kepada anak didik tentang hulu dan hilir dari benda-benda yang kita konsumsi sehari-hari; tentang bagaimana sumber daya alam dikuras untuk memproduksi barang-barang, dan bagaimana barang-barang yang dihasilkan itu pada akhirnya justru menjadi perusak keseimbangan alam itu.

Pendidikan lingkungan di sekolah yang bertolak dari hal-hal yang bersifat ilmiah dan dipadukan dengan contoh sehari-hari yang dekat dengan anak didik selanjutnya diarahkan pada perubahan perilaku anak didik yang lebih bersahabat dengan lingkungan. Penting untuk dicatat bahwa upaya pelestarian lingkungan dapat dilakukan dari hal yang paling sederhana, dari hal-hal yang kecil. Penangkapan para pembabat hutan mungkin merupakan salah satu contoh yang bisa jadi terasa jauh dan terlalu “besar” dari sudut pandang kehidupan sehari-hari anak didik. Sebaliknya, mengurangi penggunaan kantong plastik—atas dasar kesadaran betapa merusaknya sampah plastik bagi kelestarian alam—dapat dilakukan dari sekolah dan juga dari rumah langsung oleh anak didik.

Pada titik ini pendidikan lingkungan diharapkan dapat membiasakan anak didik untuk hidup dengan pola yang ramah lingkungan. Dengan mengambil contoh pengurangan sampah plastik misalnya, anak didik diajak untuk terbiasa menggunakan tas kain ketika berbelanja atau membawa kantong plastik bekas sendiri dari rumah. Tentu saja ini bukan langkah yang mudah—bahkan bagi seorang aktivis lingkungan sekali pun.

Menyemai pendidikan lingkungan hidup di sekolah telah menjadi perhatian para aktivis lingkungan. Pada Environmental Teachers’ International Convention (ETIC) 2008 yang diselenggarakan di Pasuruan akhir Maret lalu, penulis mendapatkan banyak pengalaman yang cukup berharga tentang beragam metode dan pendekatan yang mungkin dilakukan untuk menanamkan kesadaran lingkungan pada anak didik. Di antaranya dengan mengarusutamakan isu-isu lingkungan dalam kurikulum dan aktivitas sekolah. Juga dengan kegiatan-kegiatan lapangan yang mendekatkan anak didik dengan problem lingkungan sehari-hari.
Agenda penguatan pendidikan lingkungan di sekolah ini harus mendapatkan perhatian khusus bagi kalangan pendidik. Di kota-kota besar, lingkungan sekolah terbukti juga menjadi pusat penyumbang sampah yang tidak kecil. Seorang rekan penulis yang menjadi guru di sebuah sekolah swasta di Surabaya menyatakan bahwa di sekolahnya setiap hari rata-rata seluruh siswa membuang lebih dari 100 kemasan minuman berbahan plastik. Itu pun baru dari dua merek minuman dalam kemasan yang paling laku. Belum lagi bungkus makanan ringan yang semuanya berbahan plastik.

Data sederhana seperti ini tentu saja harus menjadi perhatian pihak sekolah untuk kemudian turut berpartisipasi menyalakan kembali kesadaran dan tanggung jawab siswa dan seluruh elemen sekolah tentang upaya pelestarian bumi. Ikhtiar ini akan sangat menantang karena pada dasarnya juga akan masuk pada soal penyadaran dan pengubahan gaya hidup kita yang kian hari nyaris semakin tak peduli dengan nasib dan masa depan bumi. Akan tetapi, jika tak kunjung dimulai, bahkan dari hal yang sangat sederhana sekali pun, nasib bumi akan semakin merana, dan itu juga berarti bahwa masa depan umat manusia juga akan suram dan nestapa.

4 komentar:

Hammad Riyadi mengatakan...

Membaca tulisan Ra Musthafa, saya jadi teringat sebuah tayangan di tv (saya lupa stasiunnya) kemarin. Tentang sebuah sekolah yang membuka “bank sampah”. Bank ini bekerja layaknya bank komersial. Ia menampung sampah yang disetor oleh “nasabah”-nya. Nasabah-nasabah yang saya maksud tidak lain adalah para siswa yang mengumpulkan sampah-sampah-kering mereka sendiri—botol air mineral atau bungkus camilan yang kesemuanya, kalau bukan plastik pasti alumunium foil. Ketika sudah menggunung, bank sampah akan “mencairkan” sampahnya ke pedagang barang bekas. Dari sini, baik pihak sekolah maupun siswa, jelas untung ganda: sudah lingkungannya bersih, dapat keuntungan material pula!

Saya jadi mengangankan Annuqayah dengan bank sampah. Tempatnya, biar tidak mengganggu santri dan siswa, jauh-jauhlah dari mereka. (Ra, masihkah sampah santri Latee dibuang di belakang TK? Malang benar anak-anak kecil itu! Pak Arief apalagi!) Mungkin memang diperlukan riset tentang banyak hal: teknik pengelolaan bank sampah, mitra kerja (pembeli barang bekas), dan lain sebagainya.

Bagaimana?

Nadya Pramita mengatakan...

okey, sekaligus mengomentari coment dari hammad riyadi.
Ide bank sampah tidaklah jelek, bagus, namun memang paling ideal adalah reduce... bukankah begitu ya must...
Namun tatkala reduce menjadi suatu solusi yang membutuhkan banyak pemikiran-pemikiran dan kendala-kendala yang lain, ide bank sampah masih bisa dilakukan.
Pembanding - baca dong http://nadyapramita.blogspot.com/berjalan-lambat/

Pangapora mengatakan...

udah lama ga mampir. ternyata masih bikin saya rindu pulang :D great idea. met hari bumi dan sukses untuk go green-nya! (thanks. tulisannya Dee renyah dan puwenak banget!)

Anonim mengatakan...

Tulisan artikel di blog Anda bagus-bagus. Agar lebih bermanfaat lagi, Anda bisa lebih mempromosikan dan mempopulerkan artikel Anda di infoGue.com ke semua pembaca di seluruh Indonesia. Salam Blogger!
http://www.infogue.com/
http://pendidikan.infogue.com/menyemai_pendidikan_lingkungan_di_sekolah