Judul buku: Perjalananku Mengelilingi Dunia: Catatan Perjalanan Seorang Penulis Feminis
Penulis: Nawal el Saadawi
Penerjemah: Hermoyo
Penerbit: Yayasan Obor Indonesia, Jakarta
Cetakan: Pertama, November 2006
Tebal: xiv + 306 halaman
Konon beberapa penulis banyak menemukan inspirasi mereka di perjalanan. Bagi para penulis, perjalanan seperti membuka banyak kemungkinan pemaknaan dalam pertemuannya dengan beragam realitas kompleks kehidupan. Dalam perjalanan, seorang penulis diajak untuk merekam bermacam sketsa peristiwa, untuk kemudian menatap dan mencermatinya dengan perspektif dan kerangka pandang yang dimilikinya.
Dalam kata pengantar buku yang merupakan kumpulan kisah perjalanan ini, penulisnya, Nawal el Saadawi, menegaskan bahwa dengan perjalanan, yakni dengan pertemuan dengan orang lain, kita akan lebih mampu mempelajari diri kita sendiri. Feminis Mesir terkemuka yang lahir pada 1931 itu menjelaskan bahwa kita akan melihat realitas tanah air kita dengan lebih jelas bila kita jauh berada di luar lingkungan kita sendiri.
Hal yang mengemuka dari sebelas kisah perjalanan yang dituturkan Nawal dalam buku ini, yang berlangsung sepanjang tahun 1960-an dan 1970-an, adalah potret carut marut dunia dan tragedi penindasan manusia. Secara lebih khusus, Nawal menatap berbagai persoalan yang ditemuinya itu dengan perspektif perempuan khas kaum feminis, sambil diolah dengan perspektif kritis hegemoni kapitalisme. Cara pandang demikian yang dominan dalam buku ini cukup dapat dimaklumi, mengingat Nawal berasal dari belahan dunia ketiga, yakni Mesir, yang kental dengan realitas kemiskinan, ketertindasan (kaum perempuan khususnya), dan semacamnya.
Berbagai negeri yang dikunjunginya pun kebanyakan merupakan dunia ketiga dengan problem yang serupa dengan di Mesir, mulai dari Aljazair, Iran, India, Thailand, hingga Etiopia dan Senegal. Problem umum yang ditemukan Nawal di sana adalah problem khas negara bekas jajahan. Kaum imperialis meninggalkan warisan kemiskinan dan sistem sosial yang menindas masyarakat kelas bawah. Di India misalnya Nawal menjumpai wajah kemiskinan di mana-mana. Bahkan ketika dinyatakan merdeka, kekayaan India banyak sekali yang mengalir ke kantong perusahaan asing. Di daerah Madras Nawal menemukan sebuah kawasan perkebunan teh. Para warga di sana mengabdikan seluruh hidup dan keluarganya untuk produksi teh, dengan pembatasan jumlah anak oleh perusahaan (agar tidak mengganggu proses produksi) dan upah buruh yang sangat murah.
Sementara itu, di Bangkok Nawal mencatat sebuah pengalaman unik, saat ia menyamar sebagai seorang laki-laki dan masuk ke sebuah panti pijat. Aksi Nawal ini ia lakukan setelah setiba di penginapan suaminya ditawari “layanan khusus” oleh petugas hotel. Di tempat pelacuran berkedok panti pijat itu, Nawal menyaksikan dengan jelas bagaimana para perempuan dipajang dan diperlakukan sebagai barang dagangan pemuas nafsu seks laki-laki.
Perjalanan Nawal ke luar negeri kadang juga dilakukan dalam rangka kepentingan ilmiah, seperti untuk menghadiri kongres para dokter, para penulis, dan sebagainya. Dalam forum semacam ini, Nawal kadang menemui sikap yang paradoksal. Dalam sebuah pertemuan pakar internasional PBB di Dakkar untuk proyek pembangunan di Senegal, Nawal mencatat sikap paradoks para pakar itu. Setelah merancang anggaran untuk pembangunan di Senegal, Nawal mengajukan hasil laporan PBB tentang kegagalan proyek-proyek pembangunan PBB di beberapa negara dunia ketiga—bahkan dalam beberapa kasus proyek pembangunan itu cenderung memperlebar jurang antara kaum kaya dan kaum miskin. Yang menarik adalah komentar para pakar lain menanggapi pemaparan Nawal itu. Saat salah satu di antara mereka menyatakan bahwa kegagalan itu disebabkan oleh ledakan penduduk yang tak terkendali di negara dunia ketiga, pakar yang lain lalu melanjutkan dengan mengkambinghitamkan kesuburan kaum perempuan sebagai penghambat suksesnya proyek pembangunan. Diskusi kemudian berlanjut hangat dan seru, sampai akhirnya terungkap bagaimana proyek pembangunan semacam itu sebenarnya tetap dibuat dalam kerangka kepentingan kaum kapitalis negara adidaya.
Di bagian yang lain, Nawal juga menyorot sikap totaliter penguasa dalam mengontrol pandangan yang berbeda dari kelompok oposisi. Saat mengunjungi Iran, Nawal menyaksikan dari dekat bagaimana rezim Syah Reza yang merupakan boneka dari kekuatan asing terus memantau kaum intelektual-kritis, bahkan tak segan untuk menyingkirkannya dengan paksa. Kasus semacam ini sebenarnya pernah dialami Nawal sendiri. Pada tahun 1972 Nawal diberhentikan dari Kementerian Kesehatan tempat ia bekerja, tak lama setelah menerbitkan buku Women and Sex. Tahun 1981 Nawal dijebloskan ke penjara sebagai tahanan politik rezim Anwar Sadat.
Dalam buku ini sosok Nawal tidak hadir semata sebagai seorang feminis, sebagaimana dia lebih dikenal dengan karya-karyanya yang kental dengan kritik atas konstruksi budaya patriarki. Jika dalam novel-novelnya seperti Perempuan di Titik Nol (Woman at Point Zero, 1979) atau Catatan dari Penjara Perempuan (Memoirs from the Women's Prison, 1984) Nawal banyak menyajikan potret ketertindasan kaum perempuan, dalam kumpulan catatan perjalanan yang tersaji dengan gaya bertutur yang khas ini Nawal dengan cermat memaparkan bagaimana masalah kebebasan berekspresi dan ketimpangan sosial turut terjalin erat dengan masalah yang dihadapi kaum perempuan. Dengan demikian, dalam buku ini Nawal menegaskan bahwa upaya pembebasan kaum perempuan tak boleh dipisahkan dengan upaya pembebasan suatu bangsa dari keterkungkungan berekspresi dan ketidakadilan sosial, politik, dan ekonomi.
Analisis dan pendekatan Nawal yang memberi porsi cukup besar pada ketimpangan sosial menempatkannya sebagai feminis sosialis. Pandangannya ini cukup terlihat ketika Nawal menuturkan perjalanannya ke Uni Soviet, tepatnya ketika ia mengunjungi sebuah pabrik kain terbesar di Leningrad. Nawal menggambarkan suasana pabrik itu dengan kesan kagum atas sistem yang sedemikian rupa sehingga mampu meminimalisasi ketimpangan dan memberi perlakukan yang adil bagi kaum perempuan.
Cara pandang Nawal dalam mencermati problem sosial kemasyarakatan yang disajikan sepanjang catatan perjalanannya ini terasa memiliki makna relevansinya untuk dicermati dalam konteks situasi negeri kita. Kondisi sosial-politik Mesir sebagai latar kehidupan Nawal tak jauh berbeda dengan Indonesia, yang hingga kini masih belum mampu keluar dari warisan suram kaum imperialis. Dalam konteks inilah buku ini menjadi layak diapresiasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Thanks for your visit and your comment.