Minggu, 24 September 2006

Senja Bukit Pusara

Dik, kemarin sore aku bertamu ke Bukit Pusara. Sebelum berangkat, aku ingin sekali mengajakmu. Tapi kau sedang sibuk, sehingga aku mengurungkan niatku, membiarkanmu lanjutkan kesibukan. Selain mengajakmu, sebenarnya aku juga ingin sedikit berbincang tentang apa yang terlintas di pikiranku, tentang kenapa tiba-tiba aku ingin sekali datang ke Bukit Pusara. Tak apalah. Mungkin ada waktu lain yang cukup tepat untuk membicarakan soal ini.

Rasanya lama aku tak ke sana. Mumpung awal puasa, kukira ini dapat meneguhkan niatku yang tak kunjung menemukan waktu luang. Aku tiba di Bukit Pusara agak awal. Sisa-sisa matahari yang begitu terik kemarin masih cukup terasa. Untung saja ada sedikit tempat teduh, di balik rimbun dedaun jati di sebelah pintu masuk. Suasana cukup sepi. Tak ada siapa-siapa. Beberapa daun kering berserakan. Di kejauhan, melalui pintu masuk di arah barat, terlihat seorang ibu tua tengah mencari rumput di antara pematang tegalan di antara sisa-sisa daun tembakau yang selesai dipanen. Aku mencoba menyimak suara alam sekitar yang melantun seperti tanpa ketukan ritmis, tapi terasa penuh harmoni—dedaunan yang berbisik digoyang angin senja, lenguh sapi dan kokok ayam di kejauhan yang sesekali terdengar, deru pita layang-layang besar di kejauhan.

Dik, di manakah kau kemarin sore, saat aku mengamati semua itu? Apakah kau sudah cukup lepas dari beban kesibukan Kota, dan sedikit rileks bersama keluarga? Apakah kau juga bisa merasakan pancaran nuansa makna Bukit Pusara? Dik, adakah Kota telah cukup sering membawamu ke dunianya, yang setiap hari bergegas dalam ritme kesibukan, menggadaikan mimpi-mimpi sederhana dari masa kecil, menukarnya dengan gemerlap instan, dan membuatmu lupa untuk sesekali berkunjung ke Bukit Pusara, mendengarkan pesan-pesan ayah yang tak sempat ia sampaikan?

Semakin dalam aku berusaha mencermati suasana di sini, semakin pertanyaan ini lekat di pikiranku. Dik, aku tahu kau telah cukup dewasa dan bijak untuk sekadar memaknai kefanaan ini. Pengalaman hidupmu juga sudah amat kaya dan penuh warna—aku ingat, kau pernah bercerita tentang keberuntungan yang sering kau dapat, di antara kesulitan dan beban yang kau hadapi. Tapi kadang aku masih agak khawatir. Bukan tentang dirimu saja. Aku pun cukup sering alpa tentang itu semua.

Dalam dunia saat ini, nyaris tak ada tempat yang leluasa untuk menyimpan kesadaran macam itu. Semuanya didesak ke pinggiran, untuk dilupakan. Bukit Pusara itu sementara seperti menjadi tempat yang begitu tepat untuk merayakan kesementaraan, menyimak turunan arti penuh kebijakan yang terpancar di antara harapan suci orang-orang yang terbaring tenang di sana. Saat Kota berlari kencang mengejar tenggat dengan sirine yang tak henti meraung, Bukit Pusara berbicara dengan bahasa yang berbeda, tentang ruang semesta yang seperti tak berhingga dan rentang hidup yang begitu singkat, tentang peran sederhana seorang manusia untuk melanjutkan cita-cita agung Peradaban Manusia yang terus berusaha menyempurnakan dirinya, tentang percakapan seorang bocah dengan ayahnya yang bercerita tentang para leluhurnya, tentang debu dan tanah yang akan menjadi rumah siapa pun kelak.

Dik, saat matahari semakin menurun mendekati ufuk, kemarin sore aku meninggalkan Bukit Pusara dengan sekian harapan, sambil ingin menjadikan ini sebagai sebuah momentum. Aku sudah sering kehilangan momentum untuk memperbaiki diri. Aku pikir aku tak boleh berulang kali kehilangan momentum. Mungkin sebenarnya kita memang perlu terus memperbarui kesadaran macam itu, dengan kunjungan sederhana seperti kemarin sore itu.

Saat aku melangkah meninggalkan Bukit Pusara itu, di antara pepohonan yang meranggas, selembar daun jati terjatuh pelan ditiup angin. Saat hampir tiba di tanah, tampak beberapa semut seperti turut meluncur ikut terjun, menitipkan takdirnya di atas daun yang meninggalkan sisa daun lainnya yang tengah menunggu giliran untuk ikut menyatu dengan tanah.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

waw... terenyuh membacanya...