Senin, 29 Mei 2006

“Ateis-Yahudi” Menafsir Salahuddin al-Ayyubi

Judul buku: Kitab Salahuddin: Sebuah Novel
Penulis : Tariq Ali
Penerjemah: Anton Kurnia
Penerbit: Serambi, Jakarta
Cetakan: Pertama, Januari 2006
Tebal: 592 halaman


Di antara sekian banyak tokoh muslim terkemuka, Salahuddin al-Ayyubi (1138-1193), yang di Barat dikenal dengan nama Saladin, memiliki tempat yang sangat terhormat di kalangan umat Islam. Ini terutama karena Salahuddin adalah pejuang muslim yang berhasil merebut kembali kota suci Yerusalem pada 1187, setelah dikuasai Tentara Salib selama hampir sembilan puluh tahun. Peran kunci Salahuddin dalam Perang Salib itu menancapkan pengaruh yang dalam seiring dengan residu Perang Salib itu sendiri yang hingga kini terus membayangi pola relasi kaum muslim dan Barat pada umumnya.

Kisah kepahlawanan Salahuddin telah banyak dicatat dalam buku-buku sejarah. Bahkan baru-baru ini penggalan kisahnya diangkat oleh Ridley Scott dalam film Kingdom of Heaven (2005). Lalu bagaimana jika kisah Salahuddin disajikan dalam bentuk novel?
Tariq Ali, seorang penulis dan aktivis Kiri Baru ateis kelahiran Pakistan, mengangkat riwayat hidup Salahuddin al-Ayyubi dalam novel ini dengan menggunakan pena seorang sejarawan Yahudi bernama Ibnu Yakub. Alkisah, atas rekomendasi Ibnu Maymun (1135-1204), filsuf besar Yahudi yang bekerja sebagai dokter pribadi Salahuddin di Mesir, Ibnu Yakub ditunjuk untuk menjadi penulis memoar Salahuddin. Ibnu Yakub mulai menuliskan memoar Salahuddin pada tahun 1181, ketika Salahuddin telah menjadi penguasa paling berpengaruh di dunia Islam. Untuk itu, Ibnu Yakub harus mundur ke belakang menggali masa kanak-kanak dan masa remaja Salahuddin ketika masih tinggal di Baalbek dan Damaskus. Saat itu semangat jihad sedang gencar dikampanyekan Sultan Nuruddin (w. 1174), penerus Sultan Imaduddin Zengi (w. 1146) yang memelopori perlawanan umat Islam menghadapi kaum Franj (Tentara Salib) dalam Perang Salib Kedua.

Peristiwa yang mengantarkan Salahuddin ke kejayaannya dimulai ketika ia diminta menemani pamannya, Shirkuh, yang menjadi panglima Nuruddin, dalam sebuah operasi militer untuk meredam gejolak politik di Mesir. Tidak saja kemenangan yang diraihnya di Mesir, tetapi tak lama kemudian Salahuddin dibaiat sebagai penguasa Mesir pada tahun 1169, setelah Shirkuh meninggal dunia secara mendadak.

Pamor Salahuddin terus melesat, sampai-sampai Nuruddin di Damaskus cemas akan tersaingi. Tapi takdir berbicara lain. Pada 1174 Sultan Nuruddin wafat, sehingga Salahuddin kemudian menjadi satu-satunya pemimpin muslim yang kekuasaannya paling berpengaruh di masa itu. Puncaknya, pada 2 Oktober 1187, Salahuddin berhasil merebut kota suci Yerusalem. Kisah Salahuddin dalam novel yang edisi bahasa Inggrisnya terbit pada 1998 ini ditutup saat dia meninggal dunia enam tahun kemudian, pada 1193.

Salahuddin sangat dikenal dengan sifat-sifatnya yang mulia: sederhana dan tak gila harta, cinta pada ilmu, saleh dan taat beribadah, dan sangat akrab serta toleran terhadap orang lain, bahkan kepada kaum Frank yang kafir. Pemilihan Tariq Ali untuk menampilkan sosok narator utama buku ini pada seorang yang beragama Yahudi seperti ingin menegaskan sikap toleran Salahuddin yang memang masyhur itu. Dalam hal penggambaran sosok pribadi Salahuddin yang lebih mendalam, Tariq Ali banyak menggali melalui perspektif Ibnu Yakub ini dan juga melalui Shadhi, penasihat yang juga “paman” Salahuddin. Dari dua tokoh fiktif ciptaan Tariq Ali ini pula pembaca akan menemukan banyak sisi alternatif dan mendalam dari setiap peristiwa, termasuk kisah-kisah cinta Salahuddin.

Pada titik inilah pembaca akan mendapatkan penggambaran yang cukup terang tentang pengalaman seksual Salahuddin terutama melalui kisah kehidupan dua orang istri Salahuddin dalam harem, Halimah dan Jamilah. Kehadiran sosok Halimah, yang muncul di bagian awal novel ini, mungkin akan cukup mengganggu bagi beberapa pembaca yang sebelumnya begitu menyucikan sosok Salahuddin. Bagaimana tidak: Halimah dikisahkan diperistri Salahuddin setelah perempuan cantik itu diperebutkan oleh dua orang perwira tinggi Salahuddin di Mesir.

Kisah-kisah romantika, bahkan juga skandal-skandal seksual, memang cukup banyak ditemukan dalam novel ini. Nyaris setiap tokoh penting tak suci dari hal semacam ini. Ibnu Maymun, yang di Barat dikenal dengan nama Maimonides, misalnya diceritakan sempat tertangkap basah berhubungan badan dengan istri Ibnu Yakub; Imaduddin al-Ishfahani (w. 1201), ulama dan penasihat Salahuddin, dan juga Sultan Imaduddin Zengi, digambarkan sebagai homoseks; ayah Salahuddin, Najmuddin Ayyub, diceritakan menjalin hubungan gelap dengan seorang penyanyi cantik bernama Zubaidah. Halimah dan Jamilah sendiri digambarkan sebagai pasangan lesbian.

Hingga tingkat tertentu, penggambaran semacam ini memang terkadang kelihatan agak mengganggu, terutama jika dilihat dari perspektif tingkat akurasi historis fakta-fakta tersebut. Sayangnya, tentang akurasi historis ini Tariq Ali tidak memberi penjelasan secara cukup detail, kecuali sekadar pernyataan bahwa sosok Ibnu Yakub, Shadhi, dan tokoh-tokoh perempuan dalam novel ini sepenuhnya rekaan belaka.

Mengangkat penggalan sejarah dalam bentuk novel, apalagi dengan eksplisit seperti dalam karya ini (yakni, bahwa ini adalah kisah Salahuddin al-Ayyubi), cenderung memicu persoalan epistemologis yang cukup serius: seberapa jauh dan seberapa mendalam aspek “fiktif” yang dihadirkan penulis sehingga pada tingkat tertentu (tidak) mencederai alur sejarah yang “sesungguhnya terjadi”? Meski di pengantar singkat Tariq Ali menegaskan bahwa “semakin seseorang menjelajahi kehidupan batin yang dibayangkan dari tokoh-tokohnya, kian penting ia mesti bersetia pada fakta-fakta dan peristiwa-peristiwa historis” (hlm. 15), pertanyaan di atas masih akan cukup menantang untuk dijawab dalam konteks novel ini.

Tentu saja, pada akhirnya persoalan ini semakin memperjelas karakter penulisan sejarah, baik dalam bentuk konvensional maupun yang difiksikan, yang pada dasarnya memang penuh nuansa interpretasi. Mengapa Tariq Ali berfokus pada kisah hidup Salahuddin, bukannya tokoh penting Perang Salib lainnya seperti Imaduddin Zengi, Nuruddin, atau Baybars (1260-1277), yang dalam sejarah Perang Salib sendiri kurang mendapat tempat yang sebanding dengan peran penting mereka, atau bahkan Richard si Hati Singa (1157-1199); mengapa Bahauddin Ibnu Syaddad (1145-1234), sahabat dan penulis biografi Salahuddin, sama sekali tidak dihadirkan dalam novel ini; mengapa momen peralihan Salahuddin menjadi sosok yang lebih religius tidak ditelisik lebih teliti; atau mengapa banyak skandal seksual yang dikemukakan—semuanya menegaskan aspek interpretatif dari penulisan sejarah.

Relevan dengan hal tersebut, maka kehadiran dan pergulatan tokoh-tokoh perempuan (fiktif) yang dihadirkan Tariq Ali dalam novel ini akan terlihat sangat jauh berbeda konteks dan maknanya dengan kehadiran sosok Sibylla dalam film Kingdom of Heaven yang disutradarai Ridley Scott, yang terkesan cenderung hanya “dieksploitasi” secara seksual, meski sosok Sibylla sendiri secara historis memang ada. Halimah dan Jamilah, dengan kecerdasan dan penguasaan mereka atas pemikiran filsafat Ibnu Rusyd, Ibnu Sina, al-Farabi, dan sebagainya, dalam novel ini seperti hendak menjadi corong Tariq Ali untuk menunjukkan dunia patriarki Abad Pertengahan dan ketertenggelaman peran kaum perempuan baik dalam pergaulan sosial maupun dalam penulisan sejarah. Dalam percakapan dengan Ibnu Yakub, misalnya, Halimah mengutip Ibnu Rusyd yang mengkritik kecenderungan memanfaatkan perempuan secara terbatas untuk tujuan memiliki keturunan semata (hlm. 166); Jamilah juga mengutip Ibnu Rusyd untuk mempertegas peran penting perempuan dalam ranah sosial, bahkan juga intelektual (hlm. 216).

Dalam konteks historiografi, jika kita membuka catatan sejarah yang relevan seperti buku Perang Salib: Sudut Pandang Islam karya Carole Hillenbrand (Serambi, 2005) atau Perang Suci karya Karen Armstrong (Serambi, 2003), kita akan cukup kesulitan menemukan penggambaran peran dan nasib kaum perempuan dalam peristiwa sejarah Perang Salib. Dalam buku Hillenbrand misalnya hanya ada deskripsi singkat tentang bagaimana para perempuan kaum Franj dipandang oleh kaum muslim. Dalam konteks ini maka sosok Halimah dan Jamilah dalam novel ini dapat dilihat sebagai sebentuk kritik historiografis di tengah kecenderungan pembungkaman suara kaum perempuan di balik tirai patriarkis ilmu sejarah atau ilmu-ilmu sosial pada umumnya.

Lebih jauh lagi, Tariq Ali, yang sangat lantang mengkritisi kebijakan-kebijakan politik luar negeri Amerika dan Israel, terlihat juga hendak melakukan demitologisasi dan dekonstruksi atas pensucian tokoh-tokoh penting sejarah semacam Salahuddin, Sultan Nuruddin, Imaduddin al-Ishfahani, dan yang lainnya. Ini tak hanya berlaku dalam konteks skandal seksual seperti yang digambarkan di atas. Di beberapa bagian novel yang dinarasikan secara mengalir dengan latar kota Mesir, Damaskus, dan Yerusalem ini, tak ada semacam beban bagi Tariq Ali untuk menegaskan bahwa di awal kekuasaan Nuruddin maupun Salahuddin, keduanya tak segan memerangi sesama muslim untuk tujuan konsolidasi (hlm. 278, 362). Penggambaran dan data sejarah semacam ini sebenarnya juga dapat kita temukan dalam karya Hillenbrand (2005: 149, 207, 222) tersebut di atas, yang justru secara khusus mengolah dari sumber-sumber yang ditulis oleh sejarawan muslim Abad Pertengahan.

Lepas dari itu semua, novel yang disusun dengan cukup apik dan lugas ini layak diapresiasi, bukan karena novel ini dapat memberi pemahaman tentang akar historis konflik Islam dan Barat, seperti yang tertulis di sampul belakang novel terjemahan ini, karena memang novel ini tidak terlalu mengarah ke sana, tetapi lebih karena novel ini memotret pertemuan dan pergaulan budaya dan agama di Abad Pertengahan dari perspektif yang unik, seperti yang menjadi tema besar tiga novel Tariq Ali lainnya—Shadows of Pomegranate Tree (1996), The Stone Woman (2000), dan A Sultan in Palermo (2005). Sudut pandang yang diolah Tariq Ali dalam novel ini menempatkan tokoh dan peristiwa dalam lintasan kehidupan Salahuddin tidak saja dalam kerangka ideologi, teologi, atau narasi-narasi besar semata, tetapi lebih dikembalikan ke dunia sehari-hari—dunia fenomenologis, yang oleh Husserl disebut Lebenswelt—yang mendasar yang dihidupi oleh para subjek yang terlibat di dalamnya. Dengan cara ini, perspektif kemanusiaan akan sangat mungkin lebih mudah tampil ke permukaan dalam memotret peristiwa-peristiwa besar sejarah yang sarat dengan konflik dan tragedi, yang memang sangat membutuhkan cara pembacaan yang cermat dan bijak.


Versi lebih pendek tulisan ini dimuat di Harian Jawa Pos, 28 Mei 2006, 1 hari setelah Gempa Jogja.

0 komentar: