Jumat, 16 Desember 2005

Mata Itu...

Di balik kelopak mata ini ada luka, lara, gelisah dan air mata. Saat dia terbuka, berjuta warna akan menyilaukannya. Jadi biarkan dia tertutup, mengatup dalam gelap. Karena gelap melindunginya dari kelelahan dalam perjalanan panjang.



Aku terdiam, terpaku menatap mata itu. Mata yang seperti menyimpan berjuta enigma. Mata yang seperti menanggung beban tiada terkira. Mata yang seperti tiba di titik frustrasi, tak menemukan ruang untuk berbagi. Mata yang bila membuka seperti hanya menemukan ufuk-lazuardi yang terluka di serambi rumahnya.

Mata itu seperti betul-betul ingin bertutur tentang banyak hal yang tak kuasa ia ungkapkan. Tapi mengapa bila kutanya dia hanya menjawab dengan diam? Malah kadang dengan sedikit nada marah, sambil mengingatkan, agar aku tak lagi menyinggung soal itu. Teramat banyak cerita; begitu miskin kata-kata. Mungkin, bila tiba saatnya ia harus mendedahkan semuanya, dengan terbata ia akan bertutur dengan air mata, yang mengalir ke hidung mungil dan sudut bibirnya yang kadang bergetar. Ia berlari menjauh, menumpahkan itu semua dalam kesendiriannya. Dalam kesunyiannya.

Sementara dunia tak akan ke mana-mana; ia akan tetap di sana, dengan segala merah, jingga, kuning, biru, dan kelabunya.

Akan tetapi, bagaimanapun juga, aku sadar bahwa aku tak akan pernah bisa tahu sepenuhnya, apalagi merasakan sedalamnya, hamparan catatan harian yang tak kutulis sendiri. Jalan setapak yang rumputnya tak kuinjak. Paling-paling, dengan anugerah yang luar biasa, dengan imajinasi dan empati, aku mungkin saja melibatkan diri, membaca aksara-aksara yang ia pahatkan, garis-garis yang ia goreskan dan coretan-coretan spontan yang ia torehkan, yang kadang mewujud sesuatu yang membutuhkan penjelasan. Meski sering aku sadar, bahwa suatu saat imajinasi dan empati akan membentur garis demarkasi, yang memisahkan dunia-yang-dicipta-olehnya dan dunia-yang-terberi-di-hadapan-kita-begitu-saja.

Sementara imajinasi dan empati sangat tidak cukup bila hanya diolah dari (pemandangan) mata. Ia membutuhkan sejumlah bahan lainnya. Semacam catatan resep, ruang, waktu, dan juga tempat adonan.

Kadang aku berpikir bahwa mata adalah semacam tabung besar tempat menyimpan rahasia-rahasia diri yang terdalam. Mungkin juga tempat menyimpan kegelisahan dan kebahagiaan. Tebersit tanya, seberapa besar sebenarnya daya tampung tabung itu? Mungkinkah, suatu saat, tabung itu meluap, memuntahkan segala isinya? Atau jangan-jangan ternyata di dalam ada semacam alat yang dapat mendaur sebagian atau seluruh isinya, mengolah gelisah menjadi gairah, mengubah air mata menjadi api semangat, mengubah resah menjadi senyum sumringah… Jangan-jangan, seperti kata seorang teman, mata-yang-memutuskan-untuk-terpejam itu melewatkan kelebat fajar, cahaya pagi yang menyegarkan, dan hanya kembali membuka saat ia hanya bisa menemukan temaram…

Sejauh masih ada nikmat kesempatan dan kekuatan, mengapa tak kau tatap lanskap dunia, meski horison senja terhalang kepul asap bercampur jelaga? Tidakkah kau yang mengajariku, bahwa kita tak pernah sendiri di sini, dalam perjalanan panjang yang memang melelahkan ini? Perjalanan panjang, tak pernah kita tahu seberapa juta jengkal untaiannya terhampar, ke arah mana berkelok, dengan siapa kita akan bergenggam tangan, di mana akhir tanjakan. Di antara sisa-sisa titik keberadaan kita yang rentan, kita mungkin masih punya kesungguhan, kecermatan, dan niat suci untuk menjalaninya dengan tegar hati.

Mata itu… Aku ingin selalu becermin di antara retakan-retakan semesta. Tapi aku juga ingin menyaksikan saudaraku, kerabatku, orang-orang yang kucinta, bisa menemukan bahagia di antara cermin yang selalu ia bawa.

4 komentar:

Anonim mengatakan...

baru tahu sekarang apa makna gambar yang sepertinya sangat berarti di layar hape sampean itu..
ini membuat saya sadar bahwa mata benar-benar selalu menjadi tempat berpijarnya seluruh yang kita rasa..
semoga mata itu bisa lebih berani menatap pelangi sekalipun sinarnya mungkin akan sedikit perih di serat-serat retina sampean....

hehe.... tidak boleh begitu, kan katanya mau jadi matahaaariiii...
yang selalu akan siap bertanya...mana lagi cucian yang perlu aku keringkan...:-)

Anonim mengatakan...

Mata itu...
Hanya saat ia terpejam bisa menikmati indahnya terang bulan...
Hanya saat ia mengatup, bisa merasakan kehangatan matahari yang berpijar...
Jadi, biarkan ia terpejam, rapat dalam diam..terkatup,mengatup dalam damai...tidak akan membuat retina siapapun perih,apalagi membuatnya mengeluarkan tetesan duka...
Tidak akan...
Karena dalam diam, dalam terpejam...mata itu menyimpan ....( heheee....b'canda, ding...)

Unknown mengatakan...

saya hanya bisa berkomentar"sangat menarik tulisan sampean, padahal saya akui gambar itu saya lihat terlalu biasa, apa mungkin saya kurang menghayatinya. tapi, ntahlah! saya lebih suka bila membaca tulisan sampean yang 'bergizi'.he...

Fikrialvaro mengatakan...

Biarkan sedikit rahasia tersisa tanpa ditanya, krn dengannya, dia akan lebih menarik!